Anda di halaman 1dari 40

1

LAPORAN KASUS

SINDROM NEFROTIK DENGAN SELULITIS KRURIS

Oleh :

Anindhita Dyah Sekartaji

132011101086

Pembimbing :

dr. Yuli Hermansyah, Sp. PD

SMF/LAB ILMU PENYAKIT DALAM RSD dr. SOEBANDI JEMBER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JEMBER

2017
2

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................
BAB 1. PENDAHULUAN..................................................................................
BAB 2. LAPORAN KASUS................................................................................
BAB 3. PEMBAHASAN..................................................................................
3.1 Sindroma Nefrotik...................................................................................
3.1.1 Definisi...........................................................................................
3.1.2 Epidemiologi....................................................................................
3.1.3 Etiologi...........................................................................................
3.1.5 Patofisiologi.....................................................................................
3.1.6 Gejala Klinis....................................................................................
3.1.7 Diagnosis........................................................................................
3.1.8 Pemeriksaan Penunjang.......................................................................
3.1.9 Komplikasi......................................................................................
3.1.10 Terapi...........................................................................................
3.1.11 Prognosis......................................................................................
3.2 Selulitis ..................................................................................................
3.2.1 Definisi..............................................................................................
3.2.2 Patofisiologi........................................................................................
3.2.3 Definisi..............................................................................................
3.2.4 Tata Laksana.......................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................
3

BAB 1. PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik adalah kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari proteinuria


massif (lebih dari 3,5 gram/hari pada dewasa atau 40 mg/ m2 LPB/ hari pada
anak), hipoalbuminemia (2,5 gr/dL), edema, hiperkolestrerolemia (250 mg/uL),
dan lipiduria (oval fat bodies) (Tjokroprawiro, 2015).
Angka kejadian sindrom nefrotik di Amerika dan Inggris berkisar antara 2-7
per 100.000 anak berusia dibawah 18 tahun per tahun, sedangkan di Indonesia
dilaporkan 6 per 100.000 anak per tahun, sedangkan perbandingan anak laki-laki
dan perempuan 2:1. Di Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM Jakarta,
sindrom nefrotik merupakan penyebab kunjungan sebagian besar pasien di
Poliklinik Khusus Nefrologi, dan merupakan penyebab tersering gagal ginjal anak
yang dirawat antara tahun 1995-2000. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan
2:1.
Etiologi sindrom nefrotik secara garis besar dapat dibagi 3 yaitu kongenital,
glomerulopati primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit sistemik seperti
pada purpura Henoch-Schonlein dan lupus eritematosus sistemik. Sindrom
nefrotik pada tahun pertama kehidupan, terlebih pada bayi berusia kurang dari 6
bulan, merupakan kelainan kongenital (umumnya herediter) dan mempunyai
prognosis buruk. Pada tulisan ini akan dibicarakan aplikasi klinis dari sindrom
nefrotik idiopatik pada pasien anak yang dirawat di RSD dr. Soebandi, Jember.
4

BAB 2. LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. W
Usia : 26 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Status perkawinan : Menikah
Suku : Madura
Alamat : Slateng, Ledokombo
Tanggal MRS : 1 Mei 2017
Tanggal pemeriksaan : 8 Mei 2017
Tanggal KRS : 9 Mei 2017
No. RM : 16656

2.2 ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan kepada pasien (Autoanamnesis) pada tanggal 8 Mei


2017 di Ruang Adenium RSD dr Soebandi Jember.

2.2.1 Keluhan Utama

Bengkak seluruh tubuh.

2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien mengeluhkan badan bengkak semua sejak 1 bulan yang lalu.


Keluhan bengkak dialami terutama di kedua kaki, tangan, dan kelopak mata.
Bengkak diawali pada daerah kelopak mata dan muka sejak 6 minggu yang lalu,
bengkak terutama pada pagi hari setelah bangun tidur dan membaik pada siang
hari. Keluhan bengkak kemudian menjalar ke daerah kaki sejak 4 minggu yang
lalu sebelum masuk rumah sakit, bengkak makin bertambah ke daerah perut, dan
kedua tangan. Selama bengkak, pasien mengeluh BAK berwarna kuning keruh.
Pasien mengaku frekuensi BAK 3-4 kali dalam sehari. Tidak ada nyeri saat BAK.
5

Pasien mengaku ada rasa mual, muntah, dan tidak nafsu makan. Keluhan Riwayat
sering terbangun pada malam hari untuk BAK disangkal. Keluhan bengkak ini
tidak disertai sesak napas saat tidur dan masih bisa tidur dengan satu bantal.
Selama bengkak pasien tidak pernah tampak pucat, lemah, atau lesu.
Pasien mengaku terkena flu sekitar 2 bulan yang lalu dengan keluhan
utama nyeri telan. Kemudian pasien membeli obat di warung dan sembuh dari flu.
Meskipun begitu, pasien mengaku sering terkena flu terutama jika dia sedang
kecapekan.
Sekitar 2 minggu yang lalu pasien mengaku kakinya yang bengkak terasa
panas, nyeri, dan berwarna kemerahan. Keluhan ini berlangsung semakin lama
semakin berat. Awalnya kaki pasien yang bengkak terasa gatal kemudian digaruk
sehingga timbul sedikit luka kemudian kaki menjadi terasa panas, nyeri, dan
kemerahan.

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu

Infeksi saluran pernapasan atas


Diabetes mellitus disangkal
Riwayat penyakit hati disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
Hipertensi disangkal
Gagal ginjal disangkal

2.2.4 Riwayat Pengobatan

Minyak urut dan kompres hangat

2.2.5 Riwayat Penyakit Keluarga

Orang tua pasien memiliki riwayat penyakit DM

2.2.6 Anamnesis Sistem

o Sistem Cerebrospinal : Nyeri kepala (-)


o Sistem Kardiovaskular : Nyeri sekitar jantung dan
epigastrium (-), berdebar (-)
o Sistem Pernapasan : Sesak (-), batuk (-)
6

o Sistem Gastrointestinal : Mual (+), muntah (+) muntah


darah (-), nafsu makan menurun
(+), abdominal discomfort (+), BAB
berwarna hitam (-) asites (+)
o Sistem Urogenital : BAK spontan berwarna kuning
keruh
o Sistem Integumentum : Purpura (-), ptekie (-), spider
telengiektasis (-), ikterus (-), edema
palpebra dex et sin (+)
o Sistem Muskuloskeletal : Edema (+) ekstremitas superior
et inferior

Kesimpulan: Ditemukan gejala mual, abdominal discomfort, urin


berwarna kuning keruh, dan tanda edema anasarka.

2.3 Pemeriksaan Fisik

A. Keadaan umum : lemah


Kesadaran : 4-5-6 Compos Mentis
Vital sign :
Tekanan Darah :100/70 mmHg
Nadi : 88x / menit, reguler, kuat angkat
Pernafasan : 20 x / menit
Suhu aksila : 36,2o C

Status gizi :

Dahulu (Sebelum sakit) Sekarang

BB 60 kg BB 75 kg
TB 155 cm TB 155 cm
BMI 24,97 kg/m2 (normal) BMI 29,13 kg/m2
(overweight)
Kesimpulan: keadaan umum lemah dan status gizi kesan peningkatan berat
badan dalam waktu singkat
7

B. Pemeriksaan Kepala Leher


1. Kepala
Bentuk : normocephal
Rambut : hitam, lurus
Mata : Konjungtiva anemis : -/-
Sklera ikterus : -/-
Edema palpebra : +/+
Refleks cahaya : +/+
Hidung : sekret (-), bau (-), pernapasan cuping hidung (-),
perdarahan (-)
Telinga : sekret (-), bau (-), perdarahan (-)
Mulut : sianosis (-), kering, bau (-)
2. Leher :
KGB : tidak ada pembesaran
Tiroid : tidak membesar
JVP : tidak dilakukan
Kaku kuduk : tidak ada
Deviasi trakea : tidak ada
Kesimpulan: edema palpebra
C. Thorax :
1. Umum
Bentuk : simetris,
Kulit : normal, spider nevi (-), vena kolateral (-), ikterik (-)
Axilla : pembesaran kelenjar getah bening (-)

2. Paru
Ventral Dorsal

Inspeksi

Simetris +/+ Simetris +/+

ICS tidak melebar ICS tidak melebar


8

Retraksi -/- Retraksi -/-

Ketertinggalan gerak -/- Ketertinggalan gerak -/-

Palpasi: P: Palpasi:
Fremitus raba Fremitus raba
N N N N
N N N N
N N N N

Perkusi : Perkusi :
S S S S
S S S S
S S S S
S S S S S S S S
S S S S
Ventral Dorsal
Auskultasi : Auskultasi :
DS DS
V V V V
V V V V
V V V V
V V V V V V V V
V V V V

Rho Rho
nki nki
- - - -
- - - -
- - - -
- - - - - - - -
- - - -

Whee Whee
zing zing
- - - -
- - - -
- - - -
- - - - - - - -
- - - -
Dextra Sinistra
9

I: simetris,retraksi -/- I: simetris, retraksi -/-


P:fremitus raba normal P: fremitus raba normal
P: sonor P: sonor
A: vesikuler(+),rhonki(-),wheezing (-) A: vesikuler (+), rhonki(-),wheezing(-)
Kesimpulan : paru dalam batas normal
3. Jantung
Inspeksi Ictus cordis tidak tampak
Palpasi Ictus cordis teraba di ICS V midclavikula sinistra
Perkusi Batas kanan atas: redup pada ICS II PSL D
Batas kanan bawah: redup pada ICS 4 PSL D
Batas kiri atas : redup pada ICS II PSL S
Batas kiri bawah: redup pada ICS V midklavikula S
Auskultasi S1, S2: tunggal, murmur -, gallop -, ekstrasistole -
Kesimpulan : jantung dalam batas normal

D. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi Bentuk:
Cembung, distended
Kulit: turgor normal, dilatasi vena abdomen (-)
Auskultas Bising usus: (+) normal
i
Palpasi Distended, turgor kulit normal
Hepar sde
Lien sde
Nyeri tekan(-)
Ginjal tidak teraba
Nyeri ketok ginjal (-)
Undulasi (+)
Perkusi Shifting dullness (+), Fluid wave (+)
Kesimpulan: ascites

E. Pemeriksaan Ekstremitas
Atas Akral hangat
Tidak didapatkan petekie, purpura dan ekimosis
Tidak didapat deformitas
Sendi: tidak ada nyeri
Kuku: tidak didapat kelainan
10

Jari: tidak didapat kelainan


Edema (+)/ (+), eritema (-)/ (-), ulkus (-)/ (-)
Bawah Akral hangat
Tidak didapatkan petekie, purpura dan ekimosis
Tidak didapat deformitas
Sendi: tidak ada nyeri
Kuku: tidak didapat kelainan
Jari: tidak didapat kelainan
Edema (+)/ (+), Eritema (+)/ (+), Ulkus (-)/ (-)
Kesimpulan: Edema ekstremitas superior et inferior dextra et sinistra,
makula eritematosa berbatas tidak tegas ekstremitas inferior dextra et
sinistra
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
2.4.1 Pemeriksaan Laboratorium
a. Hasil Laboratorium tanggal 1 Mei 2017 dari RSD dr. Soebandi

Jenis
Hasil Nilai Normal Satuan
Pemeriksaan
Darah Lengkap
Hemoglobin 11,2 12,0-16,0 gr/dL
Leukosit 6,2 4,5-11,0 109/L
Hematokrit 32,7 36-46 %
Trombosit 304.000 150-450 109/L
Faal Hati
SGOT 17 10-31 U/L(370C)
SGPT 10 9-36 U/L(370C)
Albumin 1,4 3,4-4,8 Gr/dL
Faal Ginjal
Kreatinin serum 0,5 0,5-1,1 mg/dL
BUN 4 6-20 mg/Dl
Urea 9 12-43 mg/dL
GDA 94
Kesimpulan : anemia, hipoalbumenmia, penurunan RFT.

b. Hasil Laboratorium tanggal 2 Mei 2017 dari RSD dr. Soebandi

Jenis
Hasil Nilai Normal Satuan
Pemeriksaan
GDA 83 <200 gr/dL
Albumin 1,7 3,4-4,8 gr/ dL
11

Profil Lipid
Trigliserida 156 120-190 mg/dl
Kolesterol total 576 150-200 mg/dl
HDL 63 45-65 mg/dl
LDL 386 <100 mg/dl
Kesimpulan : hipoalbumenmia, hiperlipidemia.

c. Hasil Laboratorium tanggal 4 Mei 2017 dari RSD dr. Soebandi

Jenis
Hasil Nilai Normal Satuan
Pemeriksaan
Urine Lengkap
Warna keruh kuning jernih
pH 5,0 4,5-7,5
Berat jenis 1.030 1,015-1,025
Protein +4 ~ Negatif
500mg/dl
Glukosa Normal Normal
Urobilin +1 Normal
Bilirubin Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Keton +1 Negatif
Lekosit macros +2 Negatif
Blood makros +1 Negatif
Eritrosit 2-5 0-2 sel/Lpb
Lekosit 5-10 0-2 sel/Lpb
Epitel squamous 5-10 2-5 sel/Lpb
Epitel renal Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif
Silinder Negatif Negatif
Bakteri Positif Negatif
Yeast Negatif Negatif
Tricomonast Negatif Negatif
Lain-lain Negatif Negatif
Kesimpulan: proteinuria, ketonuria, lekosituria, hematuria, dan piuria

d. Hasil Laboratorium tanggal 9 Mei 2017 dari RSD dr. Soebandi

Jenis
Hasil Nilai Normal Satuan
Pemeriksaan
Urine Lengkap
Warna kuning agak kuning jernih
keruh
pH 5,0 4,5-7,5
12

Berat jenis 1.010 1,015-1,025


Protein +4 ~ Negatif
500mg/dl
Glukosa Normal Normal
Urobilin +1 Normal
Bilirubin Negatif Negatif
Nitrit Positif Negatif
Keton Negatif Negatif
Lekosit macros +2 Negatif
Blood makros Negatif Negatif
Eritrosit 0-2 0-2 sel/Lpb
Lekosit 5-10 0-2 sel/Lpb
Epitel squamous 5-10 2-5 sel/Lpb
Epitel renal Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif
Silinder Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Yeast Negatif Negatif
Tricomonast Negatif Negatif
Lain-lain Negatif Negatif
Kesimpulan: proteinuria, ketonuria, dan lekosituria.

2.4.2 Pemeriksaan Radiologi


a. Foto Thorax
13

Kesimpulan : thoraks dan jantung dalam batas normal. Terdapat peningkatan


gambaran cabang bronkiolus dan vaskularisasinya. Kesan paru: peradangan
jaringan bronkiolus.
VI. Resume

Anamnesis :
Pasien wanita usia 26 tahun mengeluhkan badan bengkak semua sejak 1
bulan yang lalu. Bengkak diawali pada daerah kelopak mata dan muka
kemudian menjalar ke daerah kaki lalu bengkak makin bertambah ke daerah
perut, dan kedua tangan. Selama bengkak, pasien mengeluh BAK berwarna
kuning keruh. Keluhan bengkak ini tidak disertai sesak napas saat tidur.
Sekitar 2 minggu yang lalu pasien mengaku kakinya yang bengkak terasa
panas, nyeri, dan berwarna kemerahan. Keluhan ini berlangsung semakin
lama semakin berat. Awalnya kaki pasien yang bengkak terasa gatal
kemudian digaruk sehingga timbul sedikit luka kemudian kaki menjadi terasa
panas, nyeri, dan kemerahan. Selain itu, pasien mengaku terkena flu sekitar
2 bulan yang lalu dengan keluhan utama nyeri telan. Kemudian pasien
membeli obat di warung dan sembuh dari flu.
Pemeriksaan fisik :
o Keadaan umum lemah
o Thoraks:
Pulmo: asimetris, retraksi -/-, ICS hemithoraks dalam batas normal,
fremitus raba hemithoraks dalam batas normal, perkusi hemithoraks sonor,
14

auskultasi vesikuler pada seluruh hemithoraks. Tidak ditemukan adanya


suara tambahan rhonki -/- maupun wheezing -/-

o Abdomen :
Cembung, distended, hepar dan lien sulit dievaluasi,
shifting dullnes (+) fluid wave (+) asites
Edema ekstremitas superior et inferior dextra et sinistra, inflamasi jaringan
kulit ekstremitas inferior dextra et sinistra.

Pemeriksaan penunjang :
Laboratorium :
DL : anemia
Faal hati : hipoalbuminemia
Faal ginjal : penurunan RFT
Profil Lipid : hiperlipidemia
UL : proteinuria, ketonuria, lekosituria makro
dan mikro, hematuria makro dan mikro,
piuria
VII. Assesmen
Diagnosis:
Sindrom Nefrotik
Selulitis Kruris

VIII. Planning

Planning Diagnostik:
o Sindroma Nefrotik :
DL, SGOT/SGPT, Albumin, GDA, RFT, UL, Urin rebus, Profil
lipid
o Selulitis kruris
Klinis dan kultur bakteri
15

Daftar masalah:
o Bengkak seluruh tubuh
o Mual dan muntah
o Lemas
o Kaki luka kemerahan disertai nyeri

Planning Terapi:
inf. RL 10 tpm
Inj Ceftriaxone2x1
Inj santagesik 3x1
Inj Metronidazole 2x500 mg
Inj ranitidin 2x1
Inj Ondansentron 3x1
Inj Lasix 2x1
Transfusi Albumin 20% 100cc
Fluconazole tablet 3x150 mg
Methylprednisolone 3 x 16 mg
Planning Monitoring:
o Gejala klinis (bengkak, BB, dan kesadaran)
o Vital sign (TD, nadi, RR, Tax)
o Urine output
o GDA, DL, RFT, UL, Sedimen urin, dan Albumin

Planning Edukasi:
o Menjelaskan mengenai penyakit, pemeriksaan yang perlu
dilakukan, dan tindakan medis kepada pasien serta keluarga.
o Menjelaskan kemungkinan komplikasi dan prognosis kepada
pasien dan keluarga.
o Menjelaskan tentang faktor risiko yang perlu dihindari nantinya.
16

o Perlu menjaga asupan cairan moderat dan jangan berlebihan.


o Diet tinggi kalori, cukup protein esensial dan rendah lemak

IX. Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam


Quo ad functionam : dubia
Quo ad Sanationam : dubia ad bonam
17

X. Follow Up

Rabu, 4 Mei 2017 Kamis, 9 Mei 2017


H4MRS H9MRS

S Badan bengkak, lemas, mual, muntah Bengkak, mual, muntah, berkurang,


tapi masih lemas
O KU : lemah KU : lemah
Kes : CM Kes : CM
TD : 120/80mmHg TD : 100/60mmHg
N : 80x/mnt N : 80x/mnt
RR : 20x/mnt RR : 20x/mnt
Tax : 36,7 oC Tax : 36,0 oC
K/L : a/i/c/d : +/-/-/- K/L : a/i/c/d : -/-/-/-
Thorax: Thorax:
Cor Cor
I : ictus cordis tidak tampak I : ictus cordis tidak tampak
P : ictus cordis teraba di ICS V mcl s P : ictus cordis teraba di ICS V mcl s
P : redup P : redup
A : S1S2 tunggal, reguler, e/g/m : -/-/- A : S1S2 tunggal, reguler, e/g/m: -/-/-
Pulmo : Pulmo :
I : Deviasi trakea (-), simetris, retraksi I : Deviasi trakea (-), simetris,
-/- retraksi -/-,
P : fremitus raba normal +/+ P : fremitus raba normal +/+
P : sonor +/+ P : sonor +/+
A : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/- A : Ves +/+, Rh -/-, Wh -/-
Abd : Cembung, BU (+) N, distended, Abd : cembung, BU (+) N, timpani,
, hepatomegaly (sde), splenomegaly soepel, hepatomegaly (-),
(sde), asites (+) splenomegaly (sde), asites berkurang
Ext : AH (+) & edema (+) di keempat Ext : AH (+) & edema (+) di kedua
ekstremitas, makula eritematosa ekstremitas inferior berkurang,
disertai nyeri tekan di kedua makula eritematosa dengan nyeri
ekstremitas inferior minimal di kedua ekstremitas inferior
A Sindrom nefrotik dan selulitis kruris Sindrom nefrotik dan selulitis kruris
P inf. RL 14 tpm KRS
Inf metronidazole 3 x 500mg Terapi KRS :

Transfusi albumin 20% 100cc Clindamycin 3 x 300 mg

Inj Ceftriaxone 2x1 Levofloxacin 1x 1

Inj ranitidin 2x1 Furosemid 1 x 1

Inj Santagesic 3 x 1 Spironolakton 1x 100 mg

Lasix 2 x 1 Captopril 2 x 6,25 mg


18

Rencana kultur luka Methylprednisolone 3 x 16 mg


P/o fluconazole tablet 3 x 150 mg
P/o Artovastatin 1 x 20 mg
P/o Concor 2 x 4 mg
19

BAB 3. PEMBAHASAN

Sindrom Nefrotik dan Selulitis Kruris

Textbook Pasien
Anamnesis
Seluruh badan bengkak +
Lemas +
Nafsu makan berkurang +
Mual +
Muntah +
Berat badan meningkat +
Urin berbuih -
Urin keruh +
Kaki yang luka terasa panas dan +
nyeri
Pemeriksaan Fisik
Kepala Leher
Edema palpebra +
Abdomen
Asites +
Ektremitas
Edema (pitting oedema) +
Makula eritematosa berbatas +
tidak tegas disertai nyeri

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Proteinuri masif ~ +4 atau >3,5 +
g/ hari
Hipoalbumin +
Hiperlilpidemia +

USG
Asites tidak dilakukan
Kultur Bakteri menunjukkan adanya +
koloni bakteri flora normal dan patogen
pada luka
Tatalaksana
Mencegah kerusakan ginjal lebih +
lanjut
Terapi hipoalbuminemia +
Terapi edema +
Terapi hiperlipidemia +
Asites +
20

Antibiotik yang sesuai +


konsumsi garam +
Diet tinggi kalori, cukup protein, dan +
rendah lemak
Cairan 1,5 liter/hari +
Rawat luka +

3.1 Sindroma Nefrotik

3.1.1 Definisi
Sindrom nefrotik adalah kumpulan gejala-gejala yang terdiri dari
proteinuria massif (lebih dari 3,5 gram/hari pada dewasa atau 40 mg/ m2 LPB/
hari pada anak), hipoalbuminemia (2,5 gr/dL), edema, hiperkolestrerolemia (250
mg/uL), dan lipiduria (oval fat bodies) (Tjokroprawiro, 2015). Pasien dengan
sindrom nefrotik terjadi suatu gangguan pada membran basal glomerulus yang
mengakibatkan timbulnya kebocoran protein plasma ke urin. Kondisi ini
mengakibatkan terjadinya hipoproteinemia, penurunan serum protein dan
albumin, adanya edema serta hiperlipidemia (Okada dan Takemura, 2009).

3.1.2 Epidemiologi
Sindrom nefrotik lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita (2:1)
dan kebanyakan terjadi pada umur 2 dan 6 tahun. Telah dilaporkan terjadi paling
muda pada anak umur 6 bulan dan paling tua pada masa dewasa. SNKM terjadi
pada 85-90% pasien dibawah umur 6 tahun dan di Indonesia dilaporkan 6 kasus
per 100.000 anak per tahun. Pada penelitian di Jakarta (Wila Wirya) menemukan
hanya 44,2% tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer
yang dibiopsi, sedangkan ISKDC melaporkan penelitiannya diantara 521 pasien,
76,4% merupakan tipe kelainan minimal.
Angka kejadian sindrom nefrotik pada anak dibawah usia 18 tahun
diperkirakan berkisar 2-7 kasus per 100.000 anak per tahun, dengan onset
tertinggi pada usia 2-3 tahun. Hampir 50% penderita mulai sakit saat berusia 1-4
tahun, 75% mempunyai onset sebelum berusia 10 tahun.

3.1.3 Etiologi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
21

1. Sindrom nefrotik primer (idiopatik)


Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara
primer terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab
lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam sindrom
nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, salah satu jenis sindrom
nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau usia dibawah 1 tahun.
Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik
idiopatik. Sindrom nefrotik idiopatik terdiri dari 3 tipe secara histologis :sindrom
nefrotik kelainan minimal, glomerulonephritis proliferative (mesangial
proliferation), dan glomerulosklerosis fokal segmental. Ketiga gangguan ini dapat
mewakili 3 penyakit berbeda dengan manifestasi klinis yang serupa; dengan kata
lain, ketiga gangguan ini mewakili suatu spektrum dari satu penyakit tunggal.
Klasifikasi
Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)
Pada 85% dari kasus sindrom nefrotik pada anak, glomerulus terlihat
normal atau memperlihatkan peningkatan minimal pada sel mesangial dan
matriksnya. Penemuan pada mikroskop immunofluorescence biasanya
negatif, dan mikroskop elektron hanya memperlihatkan hilangnya epithelial
cell foot processes (podosit) pada glomerulus. Lebih dari 95% anak dengan
SNKM berespon dengan terapi kortikosteroid.
Glomerulonephritis proliferative (Mesangial proliferation)
Pada 5% dari total kasus sindrom nefrotik ditandai dengan adanya
peningkatan sel mesangial yang difus dan matriks pada pemeriksaan
mikroskop biasa. Mikroskop immunofluorescence dapat memperlihatkan
jejak 1+ IgM mesangial dan/atau IgA. Mikroskop elektron memperlihatkan
peningkatan dari sel mesangial dan matriks diikuti dengan menghilangnya
sel podosit. Sekitar 50% pasien dengan lesi histologis ini berespon dengan
terapi kortikosteroid.
Glomerulosklerosis fokal segmental (Focal segmental
glomerulosclerosis/FSGS)
22

Pada kasus 10% dari kasus sindrom nefrotik, glomerulus


memperlihatkan proliferasi mesangial dan jaringan parut segmental pada
pemeriksaan dengan mikroskop biasa. Mikroskop immunofluorescence
menunjukkan adanya IgM dan C3 pada area yang mengalami sklerosis.
Pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron, dapat dilihat jaringan parut
segmental pada glomerular tuft disertai dengan kerusakan pada lumen
kapiler glomerulus. Lesi serupa dapat terlihat pula pada infeksi HIC, refluks
vesicoureteral, dan penyalahgunaan heroin intravena. Hanya 20% pasien
dengan FSGS yang berespon dengan terapi prednisone. Penyakit ini
biasanya bersifat progresif, pada akhirnya dapat melibatkan semua
glomeruli, dan menyebabkan penyakit ginjal stadium akhir (end stage renal
disease) pada kebanyakan pasien.
Glomerulonefritis membrano proliferative (GNMP)
Ditandai dengan penebalan membrane basalis dan proliferasi
seluler (hiperselularitas), serta infiltrasi sel PMN. Dengan mikroskop
cahaya, MBG menebal dan terdapat proliferasi difus sel-sel mesangial dan
suatu penambahan matriks mesangial. Perluasan mesangium berlanjut ke
dalam kumparan kapiler perifer, menyebabkan reduplikasi membrane
basalis (jejak-trem atau kontur lengkap). Kelainan ini sering ditemukan
pada nefritis setelah infeksi streptococcus yang progresif dan pada sindrom
nefrotik. Ada MPGN tipe I dan tipe II.
Glomerulopati membranosa (GM)
Penyakit progresif lambat pada dewasa dan usia pertengahan secara
morfologi khas oleh kelainan berbatas jelas pada MBG. Jarang ditemukan
pada anak-anak. Mengenai beberapa lobus glomerulus, sedangkan yang lain
masih normal. Perubahan histologik terutama adalah penebalan membrane
basalis yang terlihat baik dengan mikroskop cahaya maupun elektron.
2. Sindrom nefrotik sekunder
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat
dari berbagai sebab yang nyata seperti misalnya efek samping obat. Penyebab
yang sering dijumpai adalah :
23

Penyakit metabolic atau kongenital : diabetes mellitus, amiloidosis,


sindrom Alport, miksedema
Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus,
AIDS
Toksin dan allergen : logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun
serangga, bisa ular
Penyakit sistemik imunologik : lupus eritematosus sistemik, purpura
Henoch-Schinlein, sarkoidosis
Neoplasma : tumor paru, penyakit hodgin, tumor gastrointestinal

3.1.5 Patofisiologi
Proteinuria merupakan kelainan dasar SN. Proteinuri sebagian besar
berasal dari kebocoran glomerulus (proteinuri glomerular) dan hanya sebagian
kecil berasal dari sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas
membrana basalis glomerulus terhadap protein plasma dan protein utama yang
dieksresikan dalam urin adalah albumin. Dalam keadaan normal membran basal
glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah
kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul
(size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (change barrier). Pada
SN kedua mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain konfigurasi
molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG.
Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran
molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila yang keluar
terdiri dari molekul kecil misalnya albumin. Sedangkan non-selektif apabila
protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti immunoglobulin.
Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG.
Hipoalbuminemi disebabkan oleh hilangnya albumin melalui urin dan
peningkatan katabolisme albumin di ginjal. Sintesis protein di hati biasanya
meningkat (namun tidak memadai untuk mengganti kehilangan albumin dalam
urin), tetapi mungkin normal atau menurun.
24

Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill dan overfill.


Teori underfill menjelaskan bahwa hipoalbuminemia merupakan faktor kunci
terjadinya edema pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan
onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan intestitium
dan terjadi edema. Akibat penurunan tekanan onkotik plasma dan bergesernya
cairan plasma terjadi hipovolemia dan ginjal melakukan kompensasi dengan
meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan
memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya
hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut. Teori overfill menjelaskan
bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal
menyebabkan cairan ekstraseluler meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan
laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium
dan edema akibat teraktivasinya sistem Renin-angiotensin-aldosteron terutama
kenaikan konsentrasi hormone aldosteron yang akan mempengaruhi sel-sel
tubulus ginjal untuk mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium
(natriuresis) menurun. Selain itu juga terjadi kenaikan aktivasi saraf simpatetik
dan konsentrasi katekolamin yang menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler
glomerulus meningkat, hal ini mengakibatkan penurunan LFG dan kenaikan
desakan Starling kapiler peritubuler sehingga terjadi penurunan ekskresi natrium.
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein
(HDL) dapat meningkat, normal, atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan
sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan
pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein
dari darah). Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan
albumin serum dan penurunan tekanan onkotik.

3.1.6 Gejala Klinis


Gejala utama yang ditemukan adalah :
1. Edema. Pada awalnya dijumpai edema terutamanya jelas pada kaki, namun
dapat juga pada daerah periorbital, skrotum atau labia. Bisa juga terjadi asites
dan efusi pleura. Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif (anasarka).
25

2. Proteinuria > 3,5 g/hari pada dewasa atau 40 mg/ m2 LPB/ hari pada anak
3. Hipoalbuminemia 2,5 gr/dL.
4. Hiperlipidemia atau hiperkolesterolemia > 250mg/dl (Tjokroprawiro, 2015)
Pada sebagian pasien dapat ditemukan gejala lain yang jarang:

1. Hipertensi
2. Hematuria
3. Diare
4. Anorexia
5. Fatigue atau malaise ringan
6. Nyeri abdomen atau nyeri perut
7. Berat badan meningkat
8. Hiperkoagulabilitas (Tjokroprawiro, 2015)

3.1.8 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.

1. Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di kedua kelopak mata, perut,
tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang berkurang.
Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna kemerahan yang
menandakan hematuria.
2. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan edema di kedua kelopak mata, tungkai,
atau adanya asites dan edema skrotum atau labia. Kadang-kadang ditemukan
hipertensi.
3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain :


Urinalisis dan bila perlu biakan urin
Protein urin kuantitatif, dapat berupa urin 24 jam atau rasio protein/
kreatinin pada urin pertama pagi hari
Pemeriksaan darah antara lain
o Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis, trombosit,
hematokrit, LED)
o Kadar albumin dan kolesterol plasma
26

o Kadar ureum, kreatinin, serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau
dengan rumus Schwartz
o Titer ASTO
o Kadar komplemen C3, bila dicurigai Lupus Eritematosus Sistemik
pemeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (Ana nuclear
antibody) dan anti ds-DNA
Indikasi biopsi ginjal :
Sindrom Nefrotik dengan hematuri nyata, hipertensi, kadar kreatinin dan
ureum plasma meninggi, atau kadar komplemen serum menurun
Sindrom Nefrotik resisten steroid
Sindrom Nefrotik dependen steroid

3.1.11 Komplikasi
Komplikasi yang sering dijumpai antara lain (Rauf, 2002):
1. Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis. Dua mekanisme kelainan
hemostasis pada sindrom nefrotik:
Peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan:
Meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein di dalam urin
seperti antithrombin III (AT III), protein S bebas, plasminogen dan
antiplasmin. Hipoalbuminemia menimbulkan aktivasi trombosit lewat
tromboksan A2 dan meningkatnya sintesis protein prokoagulan dan
tertekannya fibrinolisis.
2. Aktivasi sistem hemostatik di dalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan
monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerolus yang
selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi trombosit.
3. Infeksi sekunder terutama infeksi kulit oleh streptococcus, staphylococcus,
bronkopneumonia, TBC. Erupsi erysipelas dan selulitis pada kulit perut atau
ekstremitas bawah sering ditemukan.
4. Gangguan klirens renali pada pasien sindrom nefrotik mungkin disebabkan
kurangnya reabsorbsi natrium di tubulus proksimal dan berkurangnya
hantaran natrium dan air ke ansa henle tebal. Gangguan pengasaman urin
27

ditandai dengan ketidakmampuan menurunkan pH urin sesudah pemberian


beban asam.
5. Gagal ginjal akut terjadi bukan karena nekrosis tubulus atau fraksi filtrasi
berkurang, tapi karena edema interstisial dengan akibatnya meningkatnya
tekanan tubulus proksimalis yang menyebabkan penurunan laju filtrasi
glomerulus (LFG).
6. Anemia yang disebabkan protein pengangkut Fe yaitu transferin serum
yang menurun akibat proteinuria. Anemia hipokrom mikrositik, karena
defisiensi besi yang tipikal, namun resisten terhadap pengobatan preparat
Fe.
7. Peritonitis karena adanya edema di mukosa usus membentuk media yang
baik untuk perkembangan kuman-kuman komensal usus. Biasanya akibat
infeksi streptokokus pneumonia, E.coli.
8. Gangguan keseimbangan hormon dan mineral.
i. Karena protein pengikat hormon hilang melalui urin . Hilangnya globulin
pengikat tiroid (TBG) dalam urin pada beberapa pasien sindrom nefrotik
dan laju ekskresi globulin umumnya berkaitan dengan beratnya
proteinuria.
ii. Hipokalsemia disebabkan albumin serum yang rendah, dan
berakibat menurunkan kalsium terikat, tetapi fraksi yang terionisasi
normal dan menetap. Disamping itu pasien sering mengalami
hipokalsiuria, yang kembali menjadi normal dengan membaiknya
proteinuria. Absorbsi kalsium yang menurun di GIT, dengan eksresi
kalsium dalam feses lebih besar daripada pemasukan.

3.1.12 Terapi
Pada prinsipnya terapi untuk SN terdiri dari terapi umum dan terapi spesifik.
Terapi spesifik yang diberikan meiliki prinsip imunosupresif karena patogenesis
sebagian besar penyakit glomeruler dikaitkan dengan imun. Penderita SN
dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan biopsi terlebih dahulu sebelum
menjalani terapi spesifik (Tjokroprawiro, 2015).
Terapi umum
28

1. Pengobatan untuk edema


a. Diberikan diuretic loop (furosemid) oral, bila belum membaik dosis
ditingkatkan sampai terjadi dieresis, bila perlu bisa dikombinasi dengan
Hidroklorotiasid oral (bekerja sinergistik dengan Furosemid). Bila tetap
belum membaik, furosemid diberikan secara intravena, bila perlu disertai
pemberian transfuse albumin, dan bila tetap belum ada respons perlu
dipertimbangkan ultrafiltrasi mekanik.
b. Pembatasan diet garam 1-2 g/ hari dan pembatasan cairan
c. Bila perlu tirah baring, terutama untuk orang tua dengan edema tungkai
berat karena kemungkinan adanya insufisiensi vena.
d. Pengukuran berat badan secara berkala untuk mengevaluasi edema dan
keseimbangan cairan harus dicatat. Berat badan diharapkan turun 0,5-1
kg/ hari
2. Pengobatan untuk proteinuria
a. ACE Inhibitor dengan cara kerja menghambat terjadinya vasokonstriksi
pada arteriol eferen
b. Angiotensin II Receptor Blocker (ARB) yang mempunyai efektivitas
yang sama dengan ACE Inhibitor, tetapi tanpa efek samping batuk.
3. Koreksi hipoproteinemia
Untuk memelihara keseimbangan nitrogen yang positif dibutuhkan
peningkatan kadar protein serum. Tetapi pemberian diet tinggi protein selain
sulit dipenuhi penderita karena adanya anoreksia juga terbukti justru
meningkatkan ekskresi protein urin. Untuk penderita SN diberikan diet tinggi
kalori atau karbohidrat (untuk memaksimalkan penggunaan protein yang
dimakan) dan cukup protein (0,8-1mg/kgBB/hari)
4. Terapi hiperlipidemia
Walaupun belum ada bukti yang jelas bahwa hiperlipidemia pada SN
meningkatkan risko penyakit kardiovaskuler, tetapi apa yang terjadi pada
populasi umum perlu dipakai sebagai pertimbangan untuk menurunkan kadar
lipid pada penderita SN. Dapat digunakan golongan HMG-Co A reductase
inhibitor (golongan statin)
29

5. Hiperkoagulabilitas
Masih terdapat silang pendapat mengenai perlunya pemberian antikoagulan
jangka panjang untuk semua penderita SN guna mencegah terjadinya
thrombosis. Tetapi bila sudah terjadi thrombosis atau emboli paru, maka perlu
dipertimbangkan antikoagulan jangka panjang, seperti warfarin
6. Pengobatan infeksi: antibiotik yang sesuai
7. Pengobatan hipertensi
Bila didapatkan hipertensi, bisa diberikan ACE Inhibitor, ARB, Non-
dihydropyridinca Calsium Channel Blocker (CCB). Pemberian diuretika dan
pembatasan diet garam juga ikut berperan dalam pengelolaan hipertensi.
Terapi Spesifik
1. Steroid
Prednison 1 mg/ kgBB/ hari atau 60 mg/ hari dapat diberikan antara 4-12
minggu, selanjutnya diturunkan secara bertahap dalam 2-3 bulan. Steroid
memberi respon yang baik untuk tipe minimal change, walaupun pada orang
dewasa responnya lebih lambat dibandingkan anak.
2. Cyclophosphamide
Untuk penderita yang mengalami relaps setelah steroid dihentikan (steroid
dependent) atau mengalami relaps >3 kali dalam setahun (frequently
relapsing) bisa diberikan Cyclophosphamide 2 mg/ kgBB/ hr selama 8-12
minggu. Pada penggunaan Cyclophosphamide perlu diwaspadai terjadinya
efek samping, berupa infertilitas, cystitis, alopecia, infeksi, malignansi.
3. Chlorambucil
Digunakan dengan alasan yang sama dengan cyclophosphamide. Dosis 0,1-
0,2/ kgBB/ hari selama 8-12 minggu
4. Cyclosponne A (CyA)
Pada penderita yang mengalami relaps setelah pemberian Cyclophosphamide,
diberikan CyA dengan dosis awal 4-5mg/ kgBB/hari di mana dosis
selanjutnya perlu disesuaikan dengan kadar CyA dalam darah. Pemberian
berlagsung selama 1 tahun kemudian diturunkan pelan-pelan. Mengingat CyA
mempunyai efek nefrotoksik, perlu memonitor fungsi ginjal.
30

5. Azathioprine
Azathioprine dengan dosis 2-2,5 mg/kgBB/hari digunakan untuk nefritis
lupus.

3.1.13 Prognosis
Prognosis baik bila penderita sindrom nefrotik memberikan respons yang
baik terhadap pengobatan kortikosteroid dan jarang terjadi relaps. Prognosis
jangka panjang sindrom nefrotik kelainan minimal selama pengamatan 20 tahun
menunjukan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal terminal, sedangkan pada
glomerulosklerosis, 25% menjadi gagal ginjal terminal dalam 5 tahun, dan pada
sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi ginjal..

3.2 Selulitis

3.2.1 Definisi
Selulitis merupakan infeksi bakterial akut pada kulit. Infeksi yang terjadi
menyebar ke dalam hingga ke lapisan dermis dan sub kutis. Infeksi ini biasanya
1

didahului luka atau trauma dengan penyebab tersering Streptococcus beta


hemolitikus dan Staphylococcus aureus. Pada anak usia di bawah 2 tahun dapat
disebabkan oleh Haemophilus influenza, keadaan anak akan tampak sakit berat,
sering disertai gangguan pernapasan bagian atas, dapat pula diikuti bakterimia dan
septikemia. Terdapat tanda-tanda peradangan lokal pada lokasi infeksi seperti
3

eritema, teraba hangat, dan nyeri serta terjadi limfangitis dan sering bergejala
sistemik seperti demam dan peningkatan hitungan sel darah putih. Selulitis yang
4

mengalami supurasi disebut flegmon, sedangkan bentuk selulitis superfisial yang


mengenai pembuluh limfe yang disebabkan oleh Streptokokus beta hemolitikus
grup A disebut erisepelas. Tidak ada perbedaan yang bersifat absolut antara
selulitis dan erisepelas yang disebabkan oleh Streptokokus. 1

Sebagian besar kasus selulitis dapat sembuh dengan pengobatan antibiotik.


Infeksi dapat menjadi berat dan menyebabkan infeksi seluruh tubuh jika terlambat
dalam memberikan pengobatan. 5
31

Gambar 1: Anatomy of Skin and Soft Tissues and Different Types of Skin and Soft-
Tissue Infection (B)

3.2.2 Epidemiologi

Selulitis dapat terjadi di semua usia, tersering pada usia di bawah 3 tahun
dan usia dekade keempat dan kelima (2). Insidensi pada laki-laki lebih besar
daripada perempuan dalam beberapa studi epidemiologi. Insidensi selulitis
ekstremitas masih menduduki peringkat pertama. Terjadi peningkatan resiko
selulitis seiring meningkatnya usia, tetapi tidak ada hubungan dengan jenis
kelamin (C).

3.2.3 Etiologi

Penyebab selulitis paling sering pada orang dewasa adalah Staphylococcus


aureus dan Streptokokus beta hemolitikus grup A sedangkan penyebab selulitis
pada anak adalah Haemophilus influenza tipe b (Hib), Streptokokus beta
hemolitikus grup A, dan Staphylococcus aureus. Streptococcuss beta hemolitikus
group B adalah penyebab yang jarang pada selulitis. Selulitis pada orang dewasa
6

imunokompeten banyak disebabkan oleh Streptococcus pyogenes dan


Staphylococcus aureus sedangkan pada ulkus diabetikum dan ulkus dekubitus
32

biasanya disebabkan oleh organisme campuran antara kokus gram positif dan
gram negatif aerob maupun anaerob. Bakteri mencapai dermis melalui jalur
eksternal maupun hematogen. Pada imunokompeten perlu ada kerusakan barrier
kulit, sedangkan pada imunokopromais lebih sering melalui aliran darah
33

Tabel 1: Etiologi Soft Tissue Infection (STIs)


34

3.2.4 Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi erisepelas dan selulitis adalah: kaheksia, diabetes


melitus, malnutrisi, disgamaglobulinemia, alkoholisme, dan keadaan yang dapat
menurunkan daya tahan tubuh terutama bila diseratai higiene yang jelek. Selulitis
umumnya terjadi akibat komplikasi suatu luka atau ulkus atau lesi kulit yang lain,
namun dapat terjadi secara mendadak pada kulit yang normal terutama pada
pasien dengan kondisi edema limfatik, penyakit ginjal kronik atau hipostatik (7).

3.2.5 Gejala Klinis


Gambaran klinis tergantung akut atau tidaknya infeksi. Umumnya semua
bentuk ditandai dengan kemerahan dengan batas jelas, nyeri tekan dan bengkak.
Penyebaran perluasan kemerahan dapat timbul secara cepat di sekitar luka atau
ulkus disertai dengan demam dan lesu. Pada keadaan akut, kadang-kadang timbul
bula. Dapat dijumpai limfadenopati limfangitis. Tanpa pengobatan yang efektif
dapat terjadi supurasi lokal (flegmon, nekrosis atau gangren) (6).

Selulitis biasanya didahului oleh gejala sistemik seperti demam, menggigil,


dan malaise. Daerah yang terkena terdapat 4 kardinal peradangan yaitu rubor
(eritema), color (hangat), dolor (nyeri) dan tumor (pembengkakan). Lesi tampak
merah gelap, tidak berbatas tegas pada tepi lesi tidak dapat diraba atau tidak
meninggi. Pada infeksi yang berat dapat ditemukan pula vesikel, bula, pustul, atau
jaringan neurotik. Ditemukan pembesaran kelenjar getah bening regional dan
limfangitis ascenden. Pada pemeriksaan darah tepi biasanya ditemukan
leukositosis.

Periode inkubasi sekitar beberapa hari, tidak terlalu lama. Gejala prodormal
berupa: malaise anoreksia; demam, menggigil dan berkembang dengan cepat,
sebelum menimbulkan gejala-gejala khasnya. Pasien imunokompromais rentan
mengalami infeksi walau dengan patogen yang patogenisitas rendah. Terdapat
gejala berupa nyeri yang terlokalisasi dan nyeri tekan. Jika tidak diobati, gejala
akan menjalar ke sekitar lesi terutama ke proksimal. Kalau sering residif di tempat
yang sama dapat terjadi elefantiasis (Djuanda, 2014).
35

Lokasi selulitis pada anak biasanya di kepala dan leher, sedangkan pada
orang dewasa paling sering di ekstremitas karena berhubungan dengan riwayat
seringnya trauma di ekstremitas. Pada penggunaan salah obat, sering berlokasi di
lengan atas. Komplikasi jarang ditemukan, tetapi termasuk glomerulonefritis akut
(jika disebabkan oleh strain nefritogenik streptococcus, limfadenitis, endokarditis
bakterial subakut). Kerusakan pembuluh limfe dapat menyebabkan selulitis
rekurens.
36

3.2.6. Patogenesis

Bakteri patogen yang menembus lapisan luar menimbulkan infeksi pada


permukaan kulit atau menimbulkan peradangan. Penyakit infeksi sering berjangkit
pada orang gemuk, rendah gizi, kejemuan atau orang tua pikun dan pada orang
yang menderita diabetes mellitus yang pengobatannya tidak adekuat.

Setelah menembus lapisan luar kulit, infeksi akan menyebar ke jaringan-


jaringan dan menghancurkannya, hyaluronidase memecah substansi polisakarida,
fibrinolysin mencerna barrier fibrin, dan lecithinase menghancurkan membran sel
(Fitzpatrick, 2008).

Bakteri patogen (streptokokus piogenes, streptokokus grup A,


stapilokokus aureus)

Menyerang kulit dan jaringan subkutan

Meluas ke jaringan yang lebih dalam

Menyebar secara sistemik

Terjadi peradangan akut

Eritema lokal pada kulit

Edema kemerahan

Lesi

Nyeri tekan
37

Kerusakan integritas kulit

Gangguan rasa nyaman dan


nyeri

Gambar .Skema patogenesis

3.2.7 Diagnosis Banding

Deep thrombophlebitis, dermatitits statis, dermatitis kontak, giant urticaria,


insect bite (respons hipersensitifitas), erupsi obat, eritema nodosum, eritema
migran (Lyme borreliosis), perivascular herpes zooster, acute Gout, Wells
syndrome (selulitis eosinofilik), Familial Mediterranean fever-associated
cellulitis like erythema, cutaneous anthrax, pyoderma gangrenosum, sweet
syndrome (acute febrile neutrophilic dermatosis), Kawasaki disease, carcinoma
erysipeloides.

3.2.8 Diagnosis

Diagnosis selulitis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan


klinis. Pada pemeriksaan klinis selulitis ditemukan makula eritematous, tepi tidak
meninggi, batas tidak jelas, edema, infiltrat dan teraba panas, dapat disertai
limfangitis dan limfadenitis. Penderita biasanya demam dan dapat menjadi
septikemia.
Selulitis yang disebabkan oleh H. Influenza tampak sakit berat, toksik dan
sering disertai gejala infeksi traktus respiratorius bagian atas bakteriemia dan
septikemia. Lesi kulit berwarna merah keabu-abuan, merah kebiru-biruan atau
merah keunguan. Lesi kebiru-biruan dapat juga ditemukan pada selulitis yang
disebabkan oleh Streptokokus pneumonia Pada pemeriksaan darah tepi selulitis
terdapat leukositosis (15.000-400.000) dengan hitung jenis bergeser ke kiri.(Wolff
et al, 2008)
38

Gejala dan tanda Selulitis


Gejala prodormal : Demam, malaise, nyeri sendi dan menggigil
Daerah predileksi : Ekstremitas atas dan bawah, wajah, badan dan
genitalia
Makula eritematous : Eritema cerah
Tepi : Batas tidak tegas
Penonjolan : Tidak terlalu menonjol
Vesikel atau bula : Biasanya disertai dengan vesikel atau bula
Edema : Edema
Hangat : Tidak terlalu hangat
Fluktuasi : Fluktuasi
Tabel 2. Gejala dan tanda selulitis (Concheiro et al, 2009)
Pemeriksaan laboratorium sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan pada
sebagian besar pasien dengan selulitis. Seperti halnya pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan pencitraan juga tidak terlalu dibutuhkan. Pada pemeriksaan darah
lengkap, ditemukan leukositosis pada selulitis penyerta penyakit berat, leukopenia
juga bisa ditemukan pada toxin-mediated cellulitis. ESR dan C-reactive protein
(CRP) juga sering meningkat terutama penyakit yang membutuhkan perawatan
rumah sakit dalam waktu lama. Pada banyak kasus, pemeriksaan Gram dan kultur
darah tidak terlalu penting dan efektif.

3.2.9 Terapi

Selulitis karena streptokokus diberi penisilin prokain G 600.000-2.000.000


IU IM selama 6 hari atau dengan pengobatan secara oral dengan penisilin V 500
mg setiap 6 jam, selama 10-14 hari. Pada selulitis karena H. Influenza diberikan
Ampicilin untuk anak (3 bulan sampai 12 tahun) 100-200 mg/kg/d (150-300 mg),
>12 tahun seperti dosis dewasa.

Pada selulitis yang ternyata penyebabnya bukan staphylococcus aureus


penghasil penisilinase (non SAPP) dapat diberi penisilin. Pada yang alergi
terhadap penisilin, sebagai alternatif digunakan eritromisin (dewasa: 250-500
gram peroral; anak-anak: 30-50 mg/kgbb/hari) tiap 6 jam selama 10 hari. Dapat
juga digunakan klindamisin (dewasa 300-450 mg/hari PO; anak-anak 16-20
mg/kgbb/hari). Pada yang penyebabnya SAPP selain eritromisin dan klindamisin,
39

juga dapat diberikan dikloksasilin 500 mg/hari secara oral selama 7-10 hari.
(Concheiro et al, 2009)

3.2.10 Komplikasi

Pada anak dan orang dewasa yang immunocompromised, penyulit pada


selulitis dapat berupa gangren, metastasis, abses dan sepsis yang berat. Selulitis
pada wajah merupakan indikator dini terjadinya bakteriemia stafilokokus beta
hemollitikus grup A, dapat berakibat fatal karena mengakibatkan trombosis sinus
cavernpsum yang septik. Selulitis pada wajah dapat menyebabkan penyulit
intrakranial berupa meningitis (Concheiro et al, 2009).
40

DAFTAR PUSTAKA

Concheiro J, Loureiro M, Gonzlez-Vilas D, et al. 2009. Erysipelas and cellulitis:


a retrospective study of 122 cases. 100(10): 888-94

Djuanda, Adhi. 2013. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ketujuh. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Fitzpatrick, Thomas B. Dermatology in General Medicine, seventh edition. New


York: McGrawHill: 2008

Nurdjanah, Siti. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Jakarta:
Interna Publishing.

Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis


Proses-Proses Penyakit. Vol 2. Ed. 6. Jakarta: EGC.

Rauf, S., 2002, Hematuria, dalam Alatas, H., Tambunan, T., Trihono, P., dan
Pardede, S. (Editor), Buku Ajar Nefrologi Anak: Jakarta, Balai Penerbit
FKUI, hal. 114-25

Sudoyo, Ari W dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. Juni 2006. 452 454

Tjokroprawiro, Askandar. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya :


Unair Press.

Wila Wirya IG, 2002. Sindrom Nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI pp. 381-426
Wong,Florence. Advance in clinical practice: Management of ascites in
cirrhosis. Journal of Gastroenterology and Hepatology 2012;27:1120.
Wolff K, Johnson RA, Fitspatricks: color atlas and synopsis of clinically
dermatology. New York: McGrawHill. 2008

Anda mungkin juga menyukai