Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

Ketuban pecah dini (KPD) diduga terjadi karena


adanya pengurangan kekuatan selaput ketuban,
peningkatan tekanan intrauterine maupun keduanya.
Sebagian besar penelitian menyebutkan bahwa KPD terjadi
karena berkurangnya kekuatan selaput ketuban. Selaput
ketuban dapat kehilangan elastisitasnya karena bakteri
maupun his. Pada beberapa penelitian diketahui bahwa
bakteri penyebab infeksi adalah bakteri yang merupakan
flora normal vagina maupun servix. Mekanisme infeksi ini
belum diketahui pasti. Namun diduga hal ini terjadi karena
aktivitas uteri yang tidak diketahui yang menyebabkan
perubahan servix yang dapat memfasilitasi terjadinya
penyebaran infeksi. Faktor lainnya yang membantu
penyebaran infeksi adalah inkompetent cervix, vaginal
toucher (VT) yang berulang-ulang dan koitus. Moegni,
1999, mengemukakan bahwa banyak teori yang
menyebabkan KPD, mulai dari defek kromosom, kelainan
kolagen sampai infeksi. Namun sebagian besar kasus
disebabkan oleh infeksi.
Ketuban Pecah Dini (KPD) merupakan salah satu
penyebab terjadinya infeksi pada kehamilan (Caughey et
al., 2008). KPD terjadi pada sekitar 10% kehamilan
(Jazayeri, 2015). Risiko infeksi pada KPD meningkat seiring
dengan lamanya kejadian KPD. Risiko terjadinya
korioamnitis pada KPD <24 jam adalah <10%, dan
meningkat hingga 40% jika KPD terjadi >24 jam (Seaward
et al., 1997). Walaupun infeksi menjadi perhatian utama,
komplikasi lainnya pada KPD termasuk solusio plasenta,
hipoplasia paru janin, fetal hypoxia akibat kompresi tali
pusat atau prolaps tali pusat, fetal deformation syndrome,
persalinan prematur, meningkatnya insiden seksio sesarea,
atau gagalnya persalinan normal perlu diwaspadai (Garite,
2004 dan Soewarto, 2007).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. KETUBAN PECAH DINI


1. Definisi
Ketuban pecah dini (PROM, premature rupture of membrane)
adalah kondisi dimana ketuban pecah sebelum proses persalinan dan usia
gestasi 37 minggu. Jika ketuban pecah pada usia gestasi <37 minggu
maka disebut ketuban pecah dini pada kehamilan premature (PPROM,
preterm premature rupture of membrane)
Terdapat istilah periode laten, yaitu waktu dari rupture hingga
terjadinya proses persalinan. Makin muda usia gestasi ketika ketuban
pecah, periode laten akan semakin panjang. Ketuban pecah saat usia
gestasi cukup bulan, 75% proses bersalin terjadi dalam 24 jam. Jika
ketuban pecah di usia 26 minggu, 50% ibu hamil akan terjadi persalinan
dalam 1 minggu sedangkan usia gestasi 32 minggu, persalinan terjadi
dalam 24-48 jam.
Ketuban dapat pecah karean kontraksi uterus dan peregangan
berulang yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh sehingga
pecah. Salah satu factor risiko dari KPD adalah kurangnya asam askorbat,
yang merupakan kompnen dari kolagen. Pada kehamilan trimester awal,
selaput ketuban sangat kuat. Namun, pada trimester ketiga menjadi mudah
pecah, berkaitan dengan pembesaran uterus, kontraksi Rahim, dan gerakan
janin. Sedangkan pada kehamilan premature biasanya penyebabnya adalah
infeksi dari vagina, polihidramnion, inkompeten serviks, dsb.
2. Etiologi Dan Patogenesis
Idiopatik, infeksi traktus genitalis, perdarahan antepartum,
polihidramnion, inkompetensi serviks, abnormalitas uterus, amniocentesis,
trauma, riwayat KPD sebelumnya.
Faktor predisposisi KPD:
a. Kehamilan multiple
b. Riwayat persalinan preterm sebelumnya
c. Koitus, namun hal ini tidak merupakan predisposisi kecuali bila
hygiene buruk
d. Perdarahan pervaginam
e. Bakteriuria
f. pH vagina diatas 4,5
g. Servix yang tipis/kurang dari 39 mm
h. Flora vagina abnormal
i. Fibronectin > 50 ng/ml
j. Kadar CRH (Corticotropin Releasing Hormone) maternal tinggi
3. Diagnosis
Diagnosis KPD dapat ditegakkan dengan beberapa cara :
a. Menanyakan riwayat keluar air dari vagina dan tanda lain persalinan.
b. Pemeriksaan inspekulo melihat adanya cairan ketuban keluar dari
kavum uteri (meminta pasien batuk atau mengedan atau
menggerakkan sedikit abgian terbawah janin). Atau terlihat kumpulan
cairan di forniks posterior.
c. Vaginal toucher (VT) tidak dianjurkan kecuali pasien diduga inpartu.
Hal ini karena VT dapat meningkatkan insidensi korioamnionitis,
postpartum endometritis, dan infeksi neonates. Selain itu, juga
memperpendek periode laten.
d. pH vagina menggunakan kertas lakmus (Nitrazin test). Bila ada
cairan ketuban, warna merah berubah menjadi biru. Selama hamil. pH
normal vagina adalah 4.5-6.0. sedangkan pH cairan amnion 7.1-7.3.
e. Dengan USG dapat mengkonfirmasiadanya oligohidramnion. Normal
volum cairan ketuban antara 250-1200 cc.
f. Singkirkan adanya infeksi suhu ibu >38 derajat celcius, air ketuban
keruh dan berbau, leukosit > 15000/mm3, janin takikardi.
4. Komplikasi
KPD dapat menyebabkan beberapa komplikasi baik pada ibu
maupun pada janin, diantaranya :
a. Infeksi
Infeksi korioamniotik sering terjadi pada pasien dengan KPD.
Diagnosis korioamnionitis dapat dilihat dari gejala klinisnya antara
lain demam (37,80C), dan sedikitnya dua gejala berikut yaitu takikardi
baik pada ibu maupun pada janin, uterus yang melembek, air ketuban
yang berbau busuk, maupun leukositosis.
b. Hyaline membrane disease
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa hyaline memnrane disease
sebagian besar disebabkan oleh ketuban pecah dini (KPD). Terdapat
hubungan antara umur kehamilan denganhyaline membrane disease
dan chorioamnionitis yang terjadi pada pasien dengan KPD. Pada usia
kehamilan kurang dari 32 minggu, angka risiko hyaline mebran
disease lebih banyak dibandingkan risiko infeksi.
c. Hipoplasi pulmoner
Hal ini terjadi bila ketuban pecah sebelum usia kehamilan 26 minggu
dan fase laten terjadi lebih dari 5 minggu yang diketahui dari adanya
distress respirasi yang berat yang terjadi segera setelah lahir dan
membutuhkan bantuan ventilator.
d. Abruptio placenta
Hal ini tergantung dari progresifitas penurunan fungsi plasenta yang
mengakibatkan pelepasan plasenta. Gejala klinik yang terjadi adalah
perdarahan pervaginam.
e. Fetal distress
Hal ini dapat diketahui dari adanya deselerasi yang menggambarkan
kompresi tali pusat yang disebabkan oleh oligohidramnion. Sehingga
untuk mengatasinya maka dilakukan sectio cesaria, yang
mengakibatkan tingginya angka section cesaria pada pasien dengan
KPD.
f. Cacat pada janin
g. Kelainan kongenital
5. Tatalaksana
Manajemen pada pasien dengan ketuban pecah dini tergantung dari
keadaan pasien.
a. Pasien yang sedang dalam persalinan
Tidak ada usaha yang dapat dilakukan untuk menghentikan proses
persalinan dan memperlama kehamilan jika sudah ada his yang teratur
dan pada pemeriksaan dalam didapatkan pendataran servix 100 % dan
dilatasi servix lebih dari 4 cm. Penggunaan tokolitik tidak efektif dan
akan mengakibatkan oedem pulmo.
b. Pasien dengan paru-paru janin yang matur
Maturitas paru janin dapat diketahui dari rasio lesitin-spingomielin,
phosphatidylglycerol dan rasio albumin-surfaktan. Maturitas paru
janin diperlukan untuk amniosintesis pada evaluasi awal pasien
dengan ketuban pecah dini.
c. Pasien dengan cacat janin
Terapi konservatif dengan risiko infeksi pada ibu tidak perlu dilakukan
bila janin mempunyai kalainan yang membahayakan. Namun pada
janin dengan kelainan yang tidak membahayakan harus diperlakukan
sebagai janin normal, namun input yang tepat merupakan terapi yang
sangat penting.
d. Pasien dengan fetal distress
Kompresi tali pusat dan prolps tali pusat merupakan komplikasi
tersering ketuban pecah dini, terutama padapresentasi bokong yang
tidak maju (engaged), letak lintang dan oligohidramnion berat. Jika
DJJ menunjukkan pola deselerasi sedang atau berat maka pasien harus
cepat diterminasi. Jika janin dalam presentasi belakang kepala, maka
dapat dilakukan amnioinfusion, induksi dan dapat dilakukan
persalinan pervaginam. Namun bila janin tidak dalam presentasi
kepala maka terapi yang dapat dilakukan adalh section cesaria.
e. Pasien dengan infeksi
Pasien dengan chorioamnionitis harus dilakukan induksi bila tidak ada
kontraindikasi untuk dilakukan persalinan pervaginam dan bila belum
dalam persalinan. Bila ada kontraindikasi untuk persalinan
pervaginam, maka dilakukan section cesaria setelah pemberian
antibiotic yang dimaksudkan untuk menurunkan komplikasi pada ibu
dan janin. Beberapa penelitian menyebutkan section cesaria sebaiknya
dilakukan bila persalinan pervaginam tidak dapat terjadi setelah 12
jam diagnosis chorioamnionitis ditegakkan.

Terapi ketuban pecah dini adalah :


a. Terapi konservatif
Jika terjadi PPROM sangat disarankan untuk dirawat di rumah sakit
selama minimal 48 jam untuk diobservasi. Hal ini dikarenakan 48-72
jam merupakan waktu yang rentan persalinan atau terjadi
korioamnionitis. Prinsip tata laksana untuk perawatan di rumah sakit:
- Usia gestasi <37 minggu, disarankan dirawat inap, jika air ketuban
masih keluar. Tunggu hingga berhenti, berikan steroid, antibiotic,
observasi kondisi ibu dan janin.
- Usia gestasi 32-37 minggu:
1) Belum inpartu: steroid, profilaksis antibiotic, observasi
tanda infeksi, dan kesejahteraan janin.
2) Sudah ada tanda inpartu: berikan steroid, antibiotic
intrapartum profilaksis, induksi setelah 24 jam.
- Usia gestasi >37 minggu, evaluasi infeksi, pertimbangkan
pemberian antibiotic jika ketuban pecah sudah lama, terminasi
kehamilan (pertimbangkan pemberian induksi).
b. Terapi Aktif
- kehamilan lebih dari 36 minggu, bila 6 jam belum terjadi
persalinan maka induksi dengan oksitosin atau misoprostol 25-50
microgram intravaginal tiap 6 jam maksimal 4 kali sehari, bila
gagal lakukan section cesaria.
- pada keadaan DKP, letak lintang terminasi kehamilan dengan
section cesaria
- bila ada tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi dan
terminasi persalinan
a) Bila bishop score kurang dari 5, lakukan pematangan serviks
kemudian diinduksi, jika tidak berhasil, akhiri persalinan
dengan section cesaria
b) Bila bishop score lebih dari 5, induksi persalinan dan partus
pervaginam
c) Bila ada infeksi berat maka lakukan section cesaria

Pemberian antibiotik
Pemberian antibiotik, terutama pada usia gestasi <37 minggu,
dapat mengurangi risiko terjadinya korioamnionitis, mengurangi jumlah
kelahiran bayi dalam 2-7 dan mengurangi morbiditas neonateus. Salah satu
rekomendasi mengenai pemilihan antibiotik antepartum yaitu:
Ampicillin 1-2 gram IV setiap 4-6 jam, selama 48 jam
Eritromisin 250 mg IV, setiap 6 jam, selama 48 jam
Kemudian dilanjutkan dengan 2 terapi oral selama 5 hari, amoksisilin
dan eritromisin (4x250 mg PO). Pada pasien yang alergi penisilin,
diberikan teraou tunggal klindamisin 3x600mg PO. SUmber lain
mengatakan bahwa pada PPROM pemberian eritromisin hingga 10
hari.
Hindari pemberian co-amoksiklav pada perempuan dengan PPROM
karena dapat menyebabkan Necrotizing Enterocolitis (NEC).

Tokolisis
Tidak direkomendasikan pemberian obat tokolotik pada pasien
dengan KPD di usia gestasi < 37 mingg (diatas 34 minggu). Pada beberapa
penelitian pemberian tokoloyok tidak memperpanjang periode laten
(ketuban pecah-persalinan), meningkatkan luaran janin, atau mengurangi
morbiditas neonates. Pemberian tokolisis di usia gestasi 34 minggu,
berfungsi untuk pematangan paru. Usia gestasi > 34 minggu, tidak perlu
lagi untuk pematangan paru.
6. Komplikasi
Persalinan premature, infeksi maternal/neonates, hipoksia karena
kompresi tali pusat, naiknya insiden seksio caesarea, hypoplasia pulmonal.
Pecahnya ketuban menyebabkan oligohidramnion sehingga tali pusat
tertekan dan terjadi hipoksia. Makin sedikitnya air ketuban, janin dalam
keadaan gawat.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Bari, S. 2003. Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi. PB


POGI, FKUI, Jakarta. Pp : 35-45
Allan, H., et all. 1994. Current Obstetric & Ginecologic Diagnosis and Treatment.
8th edition. Appleton, Norwak, Connecticut.
Brandon dkk , 2002. The Johns Hopkins Manual of Gynecology and Obstetrics
2nd edition The Johns Hopkins University Department By Lippincott
Williams & Wilkins Publishers
Chrisdiono M. A. 2004. Kehamilan Postterm. Dalam : Prosedur Tetap Obstetri
dan Ginekologi. EGC. Jakarta. Pp: 32-33.
Cunningham, Mac Donald, Gant, Levono, Gilstrap, Hanskin, Clark. 1997.
Williams Obstretics 20th edition. Prentice-Hall International Inc. Pp : 773-
818
Fukushima R, Yamazaki E. 2010. Vitamin C requirement in surgical patients. Curr
Opin Clin Nutr Metab Care. 12(6): 669-76.
Ismail S. 2012. What is new in postoperative analgesia after caesarean sections?
Anesth, pain & Intensive Care. 16(2): 123-126.
James R., Md. Scott, Ronald S., Md. Gibbs, Beth Y., Md. Karlan, Arthur F., Md.
Haney, David N Danforth's Obstetrics and Gynecology, 9th Ed:. Danforth
By Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 9th edition.
Joy, Satu and Lyon, Deborah. 2005. Diagnosis of Abnormal Labor.
http://www.emedicine.com/med/topic3488.htm
Merck. 2005. Problem in the First and Second Stage of Labor. The Merck Manual
of Diagnosis and Therapy.
http://www.merck.com/mrkshared/mmanual/section18/chapter253/253g.jsp
Neville, dkk. 2001. Esential Obstetri dan Gynecologi. Hipokrates, Jakarta. Pp :
20-30
Price dan Wilson. 1995. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi 4. EGC. Pp : 722-23
Repke JT, Johnson TR, Ludmir J. 2005. Diagnosis of Abnormal Labor.
http://www.cgmh.org.tw/intr/intr5/c6700/OBGYN/f/web/Abnormal
%20Labor/
Rustam Mochtar. 1998. Kelainan Pada Letak Kepala. Dalam : Sinopsis Obstetri
Jilid 1. Editor: Delfi Lutan, EGC, Jakarta. Pp: 339-340.
S. Martohoesodo dan R. Hariadi. 1999. Distosia Karena Kelainan Letak dan
Bentuk Janin. Dalam Wiknjosastro H, Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga
Cetakan Kelima. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.
Pp : 597-598.
S. Martohoesodo dan R. Hariadi. 1999. Distosia Karena Kelainan Panggul.
Dalam Wiknjosastro H, Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga Cetakan Kelima.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. Pp : 641-645.
SMF Obsgin RSDM. 2004. Disproporsi Kepala Panggul. Dalam : Prosedur Tetap
Pelayanan Profesi Kelompok Staf Medis Fungsional Obstetri & Ginekologi.
RSUD Dr. Moewardi, Surakarta. Pp : 36-37.
Wardhani DF, Kayika IPG. 2014. Ketuban pecah dini. Dalam Kapita Selekta
Kedokteran. Jilid 1 Edisi IV. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta ES
(eds). Jakarta: Meda Aesculapis.
WHO. 2013. Ketuban Pecah Dini. Dalam Pelayanan Kesehatan Ibu Di Fasilitas
Kesehatan Dasar Dan Rujukan. Moegni EM, Ocviyanti D (eds). Jakarta:
Kementrian Kesehatan RI
Winknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. 2005. Ilmu kebidanan edisi
ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiro

Anda mungkin juga menyukai