Prolematika yang patut menjadi perhatian besar dan darurat di Indonesia adalah
masalah korupsi. Korupsi telah menjadi penyakit yang muncul perlahan-lahan sebagai
momok yang dapat membawa kehancuran bagi perekonomian negara. Diakui atau tidak,
praktik korupsi yang terjadi dalam bangsa ini telah menimbulkan banyak kerugian. Tidak saja
kerugian bidang ekonomi, maupun juga dalam bidang politik, sosial budaya, maupun
keamanan.1Samuel Huntington dalam buku Political Order in Changing Societies,
mendefinisikan korupsi sebagai behavior of public officials with deviates from accepted
norms inorder to serve private ends (1968:59).2 Melihat dari definisi tersebut, jelas bahwa
korupsi tidak hanya menyangkut aspek hukum, ekonomi dan politik tetapi juga menyangkut
perilaku manusia.
Korupsi berarti busuk, buruk, bejat dan dapat disogok, suka disuap, pokoknya
merupakan perbuatan yang buruk. Perbuatan korupsi dalam istilah kriminologi digolongkan
kedalam bentuk kejahatan white collar crime.3 Dalam praktek berdasarkan undang-undang
yang bersangkutan, korupsi adalah tindak pidana yang memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara
dan perekonomian. Artidjo Alkostar berpendapat bahwa korupsi merupakan sebuah kejahatan
luar biasa atau extra ordinary crime sehingga perlu penanganan yang luar biasa pula.
Dalam sistem pemidanaan yang kita anut, selain mengatur tentang pidana pokok
dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) pasal 10 huruf b juga mencantumkan
adanya pidana tambahan. Pidana tambahan yang dijatuhkan kepada terpidana dapat berupa
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan
hakim.
1 Deni Styawati, KPK Pemburu Koruptor, Cet I, (Yogyakarta:Pustaka Timur 2008), hal. 1.
2 http://digilib.uinsby.ac.id/8064/4/BAB%20II.pdf, hal. 72
3 Ibid
penanganan yang luar biasa pula, sehingga langkah yang dilakukan oleh majelis hakim
Mahkamah Agung menjadi angin penyejuk bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
PEMBAHASAN
Pidana berasal dari kata straf (Belanda). Pidana lebih tepat didefenisikan sebagai
suatu penderitaan yang sengaja dijatuhkan atau diberikan oleh negara pada seseorang atau
beberapa orang sebagai akibat hukum (sanksi) bagianya atas perbuatannya yang telah
melanggar larangan hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut
sebagai tindak pidana (stafbaar feit), ( Adami Chazawi, 2002: 2).
Pidana di Indonesia sebagaimana yang telah tertera dalam pasal 10 KUHP merupakan
dasar dari sistem pemidanaan. seperti yang kita ketahui bahwa di dalam pasal 10 KUHP
tersebut, di bagi menjadi berbagai macam antara lain, yaitu:
Pada tindak pidana korupsi juga mengenal hal tersebut, seperti tindak pidana biasa,
pidana yang dijatuhkan hampir sama yang membedakan adalah jenis pidana dan besarnya
pidana. Pengertian Tipikor disebutkan dalam Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bahwa Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Tingkat kerugian yang tinggi terhadap ekonomi dan keuangan negara diperkirakan
mencapai 30% dari seluruh anggaran belanja negara, bahkan kemungkinan lebih. Oleh
karenanya dikatakan pula bahwa korupsi merupakan suatu pelanggaran hak-hak asasi
manusia, yaitu hak asasi masyarakat secara kolektif, yang akibat kebocoran tersebut rakyat
menjadi miskin dan terhambat hak-haknya untuk memperoleh kemajuan secara ekonomi
karena ketidakberdayaan pemerintah melaksanakan pembangunan. Konvensi PBB tahun
2003 yaitu Convention Against Corruption sudah ditanda tangani Pemerintah Indonesia dan
telah pula disahkan atau diratifikasi dengan undang-undang No. 7 tahun 2006. Meskipun
konvensi tersebut yang telah berlaku sebagai hukum internasional tidak mengatakan bahwa
korupsi itu merupakan extraordinary crime, sifat sebagai extraordinary crime tersebut telah
diadopsi secara khusus dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia, menyebutkan sebagai berikut :
b) Bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, juga telah menghambat pertumbuhan
dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi.
b) Lembaga pemerintah yag menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi
secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Upaya-upaya yang dimulai sejak lama untuk memberantas tindak pidana korupsi
dalam bentuk kelembagaan yang menangani sebagaimana telah terlihat diatas, juga telah
beberapa kali melahirkan perubahan Undang-undang yang mengubah rumusan delik untuk
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi secara lebih efektif. Namun tampaknya
seluruh perubahan Undang-Undang maupun badan-badan yang berulangkali diganti tetap
juga tidak membawa hasil. Tetapi masalah terbesar yang dihadapi sekarang justru
merajalelanya korupsi, yang menjadikan kelumpuhan penegak hukum. Bahkan terdapat opini
dalam masyarakat yang cukup miris yang menyatakan bahwa korupsi saat ini sudah menjadi
pemerataan korupsi di seluruh sendi negara, Korupsi telah merupakan bagian dari budaya itu
sendiri, sehingga menyebabkan penegakan hukum itu menjadi sangat lemah. Seperti
dikatakan oleh seorang penulis : Corruption has been a latent virus to Indonesia, eating
away the social institution, spreading in all levels and state institutions. So widespread is this
crime that some even asserted that it has become institutionalised and might be a part of
culture.
b) Lembaga-lembaga yang dipandang sebagai lembaga yang paling korup juga dilihat
sebagai yang paling tidak efisien pelayanannya, masyarakat cenderung untuk
berpaling kepada lembaga-lembaga non pemerintah sebagai alternatif bagi pelayanan
tertentu seperti mencari keadilan serta penyelesaian sengketa.
c) Survey itu memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang sebab-sebab dari
korupsi di Indonesia. Meskipun hasil survey tersebut menunjukkan suatu keyakinan
yang kuat bahwa korupsi disebabkan oleh gaji pegawai negeri yang rendah, moral
individu yang bobrok dan kurang nya pengawasan serta akuntabilitas, tetapi analisis
yang lebih hati-hati dari data-data yang dihasilkan menunjukkan suatu konklusi yang
lebih kompleks.
Dengan uraian tentang tindak pidana atau kejahatan korupsi dalam hukum pidana,
masyarakat juga telah mengembangkan sendiri istilah-istilah yang secara umum menjadi
bagian dari korupsi ataupun korupsi itu sendiri dengan nama beragam, money politics, suap
pungli, uang terima kasih dan lain sebagainya. Anggota msyarakat yang menghadapi
persoalan hukum dan meminta jasa hukum dari para professional di bidangnya masing-
masing, kerap menginginkan keberhasilan mutlak dalam arti dimenangkan, terlepas dari
unsur kebenaran, sehingga berani mengeluarkan jumlah uang yang besar sebagai suap, yang
kadangkala dikemas dengan istilah uang terima kasih untuk memenangkan satu perkara
tersebut. Meskipun dia menyadari bahwa putusan demikian dasar hukumnya tidak benar,
namun pergeseran budaya yang terjadi dimana nilai-nilai yang dianut bukanlah menerima
dengan sportif dan lapang dada satu kebenaran diungkapkan, melainkan arrogansi dan
kesombongan menyebabkan terbentuknya kultur bahwa yang adil itu adalah jikalau menang
dalam berperkara(justice is winning). Di lain pihak, seorang yang berniat menjadi Kepala
Daerah sebagai Gubernur, Walikota dan Bupati, juga tidak segan mengeluarkan uang besar
untuk memenangkan jabatan tersebut, meskipun diketahuinya prediksi perolehan suara tidak
akan mencapai keterpilihan, lalu berupaya mencari jalan-jalan yang mudah untuk
mewujudkannya dengan money politics. Money politics, yang sesungguhnya hanyalah satu
jenis suap, merupakan penggunaan uang untuk membeli suara melalui transaksi jual belis
suara. Uang yang digunakan untuk menjual belikan dukungan politik biasanya bersumber
dari negara.
Atas dasar itulah sekiranya perlu diadakan pencabutan hak politik sebagai benntuk
pidana tambahan, hal ini dimaksudkan agar kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah
kembali dan masih menganggap bahwa masih banyak wakil rakyat yang bersih dan jujur,
serta pencabutan hak ini juga merupakan antisipasi dari tindakan masyarakat yang asal pilih
sebagaimana pertimbangan Prof. Mahfud MD pada saat menjabat ketua mahkamah
konstitusi, pencabutan hak politik ini juga merupakan salah satu bentuk pembatasan tindak
ruang agar pelaku tindak pidana korupsi tidak lagi melakukan korupsi dengan memanfaatkan
jabatan publik.
PENUTUP
Pencabutan hak politik terpidana korupsi merupakan sebuah terobosan hukum dalam
pidana tambahan. Hal ini menjadi oase yang patut untuk kita apresiasi. Koruptor
menggunakan jabatan dan kewenangannya guna kepentingan pribadi maupun kelompoknya,
hal ini dinilai sangat mencederai tanggung jawab atau amanah yang dipercayakan rakyat
terhadap pejabat tersebut. Pro dan kontra dalam sebuah kebijakan merupakan sebuah
kewajaran, tetapi yang perlu kita telaah lebih mendalam adalah bahwa kita sepakat bersama
jika memang perbuatan korupsi ini sangat membawa dampak yang sangat buruk terhadap
segala sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Adanya keberanian hakim untuk memberikan putusan dalam perkara korupsi berupa pidana
tambahan pencabutan hak politik haruslah menjadi semangat atau spirit baru dalam
memberantas praktik korupsi di negeri ini. Korupsi memberikan dampak domino terhadap
segala aspek bernegara. Karena itu penambahan berupa pencabutan hak politik terhadap
terpidana korupsi sudah sangat mendesak dan urgen, melihat dengan adanya pemerataan
korupsi sudah sepatutnya terobosan ini menjadi penting dalam pemberantasan korupsi di
Indonesia.
Saran yang kami dapat berikan adalah bagaimana regulasi tentang yang seperti
apakah koruptor yang dapat dikenakan sanksi pidana tambahan pencabutan hak politik ini
dapat diterapkan. Melihat masih minor hakim yang memberikan sanksi pidana tambahan ini,
regulasi tentang hal ini haruslah dapat menemukan kepastian hukum yang kuat dan jelas,
sehingga nantinya pidana tambahan ini menjadi sebuah terobosan hukum tidak hanya sebagai
taring hakim tertentu saja melainkan menjadi sebuah penegas supremasi hukum
pemberantasan korupsi di negeri ini.
DAFTAR PUSTAKA
Dwi Saputra dkk., 2004, Tiada Ruang Tanpa Korupsi, Semarang: KP2KKN Jawa Tengah.
Indriyanto Seno Adji, 2009, Humanisme dan Pembaharuan Penegakan Hukum, Jakarta:
Kompas Media Nusantara
Deni Styawati, 2008, KPK Pemburu Koruptor, Cet I, Yogyakarta:Pustaka Timur
http://digilib.uinsby.ac.id/8064/4/BAB%20II.pdf