Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang berada di jalur dua pegunungan muda, yaitu
pegunungan muda sirkum Pasifik dan Mediteran, juga terletak di pertemuan
lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik. Letak Indonesia yang berada di
pertemuan tiga lempeng ini menyebabkan Indonesia berada pada jalur gunung api
dunia. Menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG)
Indonesia memiliki 13% dari total Gunung api yang ada di dunia atau sekitar 129
buah gunung api. Hal ini mengakibatkan Indonesia rawan akan bencana bencana
letusan gunung api yang banyak menelan korban jiwa dan kerugian yang sangat
besar. Contoh yang paling popular adalah letusan Gunung Galunggung pada tahun
1822 menelan korban sebanyak 4.011 jiwa, Gunung Krakatau pada tahun 1883
menelan 36.000 jiwa, Gunung Tambora pada tahun 1915 menelan 90.000 jiwa.

Salah satu pulau yang memiliki bahaya bencana geologi adalah Pulau Jawa.
Tercatat terdapat 35 gunung api diantaranya 21 tipe A, 9 tipe B, dan 5 tipe C
(sumber: Vulcanological Survey of Indonesia Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral Tahun 2010). Tujuh diantaranya berada di Jawa Tengah, yaitu Gunung
Merapi, Merbabu, Sumbing, Sindoro, Dieng, Ungaran dan Slamet.

Gunung api di Jawa Tengah yang sekarang berada dalam pengawasan


PVMBG karena aktivitasnya meningkat adalah Gunung Slamet yang merupakan
gunung tetinggi kedua di Pulau Jawa, yakni 3432 meter diatas permukaan laut
(mdpl). Gunung Slamet berada di lima wilayah administratif, yaitu Kabupaten
Pemalang, Brebes, Tegal, Purbalingga dan Kabupaten Banyumas. Berdasarkan data
dari PVMBG, Gunung Slamet pertama kali meletus pada tahun 1772 dan sampai
akhir 2014 Gunung Slamet masih dalam keadaan siaga. Periode letusan terpanjang
Gunung Slamet yaitu 53 tahun. Pada 5 januari 2015, Gunung Slamet dinyatakan
waspada (sumber: http://www.vsi.esdm.go.id). Bila terjadi letusan, Gunung Slamet
berpotensi memiliki bahaya primer (bahaya langsung akibat letusan) adalah adanya
luncuran awan panas, lontaran piroklastik, dan aliran lava yang dapat memicu
kerusakan infrastruktur, tempat tinggal, lahan produktif, mata pencaharian bahkan
nyawa penduduk di sekitarnya.

Kerugian akibat letusan Gunung Slamet dapat terjadi di lima wilayah


administratifnya, salah satunya wilayah Kabupaten Banyumas. Hal ini
menyebabkan Kabupaten Banyumas rentan terhadap bahaya letusan Gunung
Slamet. Kecamatan yang memiliki kerentanan adalah Kecamatan Baturraden,
Kecamatan Sumbang, dan Kecamatan Kudungbanteng karena berada di kaki
Gunung Slamet. Selain karena keberadaannya di kaki Gunung Slamet, sebagian
wilayah Kecamatan Baturraden berada pada zona Kawasan Rawan Bencana (KRB),
total ada 13 desa dari tiga kecamatan itu yang termasuk KRB (tabel 1.1). Kerugian
yang bisa disebabkan oleh bencana letusan Gunung Slamet bisa berupa hilangnya
harta benda, sertifikat berharaga, mata pencaharian, lahan produktif, sampai korban
jiwa. Untuk meminimalisir kerugian yang ditimbulkan dari bencana masyarakat
harus mempunyai kapasitas dalam mengurangi kerugian akibat bencana.

Tabel 1.1 Data Kependudukan G. Slamet

Kabupaten Kecamatan Desa Jumlah KRB


Penduduk
Banyumas Baturaden Karang salam 2306 I & II
Kemutug Lor 4652 I & II
Pandak 2401 I
Rempoah 7316 I
Kemutug Kidul 2766 I
Kedung Melung 2031 I
Banten Kutaliman 4256 I
Dawuhan Kulon 2897 I
Karangnangka 3938 I
Sumbang Limpa Kuwus 4898 I
Ketayasa 8337 I
Banjarsari Kulon 3249 I
Karanggintung 4167 I
53.165
Sumber : Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
Banyaknya kerugian yang diakibatkan oleh letusan gunung api, khususnya
Gunung Slamet bagi wilayah administratifnya, mengharuskan masyarakat peka dan
memiliki kesiapsiagaan terhadap bencana. Kesiapsiagaan (preparedness) adalah
upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana, melalui pengorganisasian
langkah-langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Menurut Randolph Kent (dalam
Maryani, 2009, hlm. 6) kesiapan bencana mencakup peramalan dan pengambilan
keputusan tindakan-tindakan pencegahan sebelum munculnya ancaman. Di
dalamnya meliputi pengetahuan tentang gejala munculnya bencana, gejala awal
bencana, pengembangan dan pengujian secara teratur terhadap sistem peringatan
dini, rencana evakuasi atau tindakan lain yang harus diambil selama periode
waspada untuk meminimalisir kematian dan kerusakan fisik yang mungkin terjadi.
Kesiapan juga meliputi pendidikan dan pelatihan kepada penduduk, petugas, tim-
tim khusus, pengambil kebijakan, standar baku penanganan bencana, pengamanan
supply dan penggunaan dana.

Kesiapsiagaan masyarakat dapat dibentuk melalui berbagai upaya, seperti


penyampaian pesan lewat media massa, penyuluhan, pembuatan media, pelatihan,
dan lain sebagainya. Media massa adalah institusi atau lembaga yang berperan
sebagai agent of change yaitu sebagai lembaga pelopor perubahan. Ini adalah
paradigma utama media massa. Dalam menjalankan paradigmanya, media massa
berperan sebagai: (1) Institusi pencerahan masyarakat, yaitu perannya sebagai
media edukasi. Media menjadi media yang setiap saat mendidik masyarakat supaya
cerdas, terbuka pikirannya dan menjadi masyarakat yang maju. (2) Media
informasi, yaitu media yang setiap saat menyampaikan informasi kepada
masyarakat. Informasi yang banyak dimiliki oleh masyarakat menjadikan
masyarakat sebagai masyarakat dunia yang dapat berpatisipasi dengan berbagai
kemampuannya. (3) Media hiburan. Sebagai pelopor perubahan media juga
menjadi institusi budaya, yaitu institusi yang setiap saat menjadi corong
kebudayaan, katalisator perkembangan budaya (Bungin, 2009, hlm 85-86).
Sehingga, dalam hal ini, memiliki peran yang penting bagi terbentuknya
kesiapsiagaan masyarakat.

Perkembangan media massa atau informasi di Indonesia saat ini sangat pesat,
mengikuti perkembangan teknologi dan zaman. Semakin berkembangnya teknologi,
sumber informasi menjadi sangat mudah untuk didapatkan.Seiring berkembangnya
teknologi berkembang juga sarana untuk memperoleh informasi, surat kabar sekarang
tidak hanya dalam berupa cetak melainkan dalam bentuk online atau media digital,
selain itu di zaman sekarang informasi akan sangat mudah didapat melalui pesan
singkat, bahakan pemerintah atau pihak berkepentingan bisa bekerja sama dengan
perusahaan provider untuk menyebarkan informasi kepada masyarakat luas. Pada
tahun 2006 menteri komunikasi dan informasi (Menkominfo) mengeluarkan Peraturan
No. 20/2006 yang berisi peran stasiun tv dan radio dalam menyampaikan pesan
peringatan bencana. Peraturan menteri ini menjadi pedoman penerapan peraturan
pemerintah (PP) No. 50/2005 pasal 17 tentang kewajiban lembaga penyiaran untuk
menyebarluaskan informasi peringatan tentang kemungkinan munculnya bencana.
Dengan semakin berkembangnya media informasi menimbulkan hal positif untuk
masyarakat. Masyarakat menjadi semakin dekat dengan informasi dan tidak akan
ketinggalan informasi.

Kesiapsiagaan merupakan salah satu bentuk perilaku masyarakat terhadap


suatu bencana yang terjadi. Masyarakat umumnya tahu tentang bencana dari media
masa dan obrolan antarteman atau tetangga, khususnya tahun-tahun belakangan
ini yang mana di Indonesia kerap terjadi berbagai bencana. Pemahaman tentang
bencana umumnya masih sangat rendah. Sebagian besar belum pernah
mendapatkan penyuluhan apalagi pelatihan cara penyelamatan diri kalau ada
bencana, dan mereka pun tidak tahu daerah mana saja daerah-daerah yang rawan
terhadap bencana (Maryani,2009, hlm.10). Kurangnya pengetahuan mengenai
bencana akan turut mempengaruhi kesiapsiagaan masyarakat, sehingga media
informasi sangat dibutuhkan untuk mengubah perilaku masyarakat yang berkaitan
dengan kesiapsiagaan.

Berdasarkan hal tersebut, maka penulis ingin melakukan penelitian


mengenai pengaruh media informasi terhadap kesiapsiagaan masyarakat dalam
menghadapi bencana, yang mana bencana dalam penelitian ini terkait dengan
letusan Gunung Slamet yang berada di Jawa Tengah.
BAB II

GEOLOGI

2.1 Seting Tektonik

Selama zaman Tersier di Pulau Jawa telah terjadi tiga periode tektonik yang

telah membentuk lipatan dan zona-zona sesar yang umumnya mencerminkan gaya

kompresi regional berarah Utara-Selatan (Van Bemmelen, 1949). Ketiga periode

tektonik tersebut adalah :

1. Periode Tektonik Miosen Atas (Mio-Pliosen),

2. Periode Tektonik Pliosen Atas (Plio-Plistosen), dan

3. Tektonik Holosen.

1. Periode Tektonik Miosen Atas (Mio-Pliosen)

Periode Tektonik Miosen Atas (Mio-Pliosen) dimulai dengan

pengangkatan dan perlipatan sampai tersesarkannya batuan sedimen Paleogen

dan Neogen. Perlipatan yang terjadi berarah relatif barat-timur, sedangkan yang

berarah timurlaut-baratdaya dan baratlaut-tenggara hanya sebagian. Sedangkan

sesar yang terjadi adalah sesar naik, sesar sesar geser-jurus, dan sesar normal.

Sesar naik di temukan di daerah barat dan timur daerah ini, dan berarah hampir

barat-timur, dengan bagian selatan relatif naik. Kedua-duanya terpotong oleh

sesar geser. Sesar geser-jurus yang terdapat di daerah ini berarah hampir

baratlaut-tenggara, timurlaut-baratdaya, dan utara-selatan. Jenis sesar ini ada

yang menganan dan ada pula yang mengiri. Sesar geser-jurus ini memotong

struktur lipatan dan diduga terjadi sesudah perlipatan. Sesar normal yang terjadi

di daerah ini berarah barat-timur dan hampir utara-selatan, dan terjadi setelah

perlipatan. Di daerah selatan Pegunungan Serayu terjadi suatu periode


transgresi yang diikuti oleh revolusi tektogenetik sekunder. Periode tektonik ini

berkembang hingga Pliosen, dan menyebabkan penurunan di beberapa tempat

yang disertai aktivitas vulkanik.

2. Periode Tektonik Pliosen Atas (Plio-Plistosen)

Periode Tektonik Pliosen Atas (Plio-Plistosen) merupakan kelanjutan dari

periode tektonik sebelumnya, yang juga disertai dengan aktivitas vulkanik, yang

penyebaran endapan-endapannya cukup luas, dan umumnya disebut Endapan

Vulkanik Kuarter.

3. Periode Tektonik Holosen

Periode Tektonik Holosen disebut juga dengan Tektonik Gravitasi, yang

menghasilkan adanya gaya kompresi ke bawah akibat beban yang sangat besar,

yang dihasilkan oleh endapan vulkanik selama Kala Plio-Plistosen. Hal tersebut

menyebabkan berlangsungnya keseimbangan isostasi secara lebih aktif

terhadap blok sesar yang telah terbentuk sebelumnya, bahkan sesar-sesar

normal tipe horst dan graben ataupun sesar bongkah atau sesar menangga dapat

saja terjadi. Sesar-sesar menangga yang terjadi pada periode inidapat dikenal

sebagai gawir-gawir sesar yang mempunyai ketinggian ratusan meter dan

menoreh kawah atau kaldera gunung api muda, seperti gawir sesar di Gunung

Beser, dan gawir sesar pada kaldera Gunung Watubela.

Situmorang, dkk (1976), menafsirkan bahwa struktur geologi di Pulau

Jawa umumnya mempunyai arah baratlaut-tenggara ,sesuai dengan konsep

Wrench Fault Tectonics Moody and Hill (1956) yang didasarkan pada model

shear murni.
2.1 Geologi Sejarah Regional

Sejarah pengendapan semua batuan yang ada di daerah penelitian tidak

terlepas dari perkembangan tektonik Pulau Jawa dan pertumbukan antara

Lempeng Benua Asia Tenggara dan Lempeng Hindia-Australia sejak Kapur akhir

atau Tersier Awal. Dua hal yang pokok pada pembentukan batuan sedimen adalah

pembentukan cekungan sebagai wadah dari endapan tersebut yang erat kaitannya

dengan lingkungan pengendapan dan sumber dari batuan yang diendapkan.

Selama Paleosen Tengah dan Akhir terjadi pendesakan (thrusting) dari

selatan yang dihasilkan karena pergerakan mengarah ke utara oleh lempeng Indo-

Australia. Pendesakan ini menghasilkan bancuh di selatan Serayu Utara,

pergerakan ke utara ini juga menghasilkan kompresi, blok penyesaran, dan

pengangkatan. Kompresi ini memulai terbentuknya pasangan kekar-kekar gerus

utama (conjugate set of primary shear fractures) yang nantinya mengontrol posisi

aktivitas volkanik. Pada akhir Paleosen kompresi agak berkurang, hal ini

menyebabkan terjadinya penurunan (subsidence), dan pada kala Eosen endapan

laut dangkal menempati bagian sedimen Paleosen Awal yang telah tererosi.

Selama Oligosen terjadi penurunan muka air laut secara tajam di seluruh

dunia yang menyebabkan erosi pada blok yang paling tinggi dan bersamaan

dengan itu, terendapnya material erosi ini di blok yang lebih rendah (Ratman dan

Robinson, 1996). Sedangkan menurut Martono (1992) Gejala tektonik tertua yang

ditemukan di daerah ini ditunjukkan oleh proses pembentukan batuan Paleogen,

yang diduga berlangsung sampai Oligosen. Terjadinya pencampuradukan

tektonik yang melibatkan barbagai jenis batuan, termasuk sedimen yang sedang

dalam proses pengendapan, memberikan kesan bahwa batuan Paleogen tersebut


terbentuk di dalam zona tunjaman (subduksi). Menurut Van Bemmelen (1949),

pada Oligosen Miosen, geantiklin bagian utara mengalami penurunan yang

terjadi akibat naiknya geantiklin bagian selatan. Penurunan ini terjadi sampai intra

Miosen Tengah, saat itu terjadi reaksi gravitasional yang menyebabkan geantiklin

bagian selatan patah, sayap utara geantiklin tersebut tergelincir ke arah depresi

geosinklin.

Miosen Awal merupakan kala yang tenang dengan penaikan muka air laut

dan pembentukan terumbu di sekitar dan pada bagian blok sesar yang tererosi.

Orogenesis merupakan ciri-ciri Miosen Tengah, dengan adanya pendesakan

kembali dari selatan, kompresi blok sesar dan sedimen-sedimen yang

menindihnya, aktivitas volkanik di sepanjang kekar-kekar gerus gunting yang

terbentuk sebelumnya, dan akhirnya pengangkatan. Intensitas orogenesis dan

aktivitas volkanik secara bertahap menurun selama Miosen Tengah dan Akhir dan

berhenti pada awal Pliosen (Ratman dan Robinson, 1996). Menurut Martono

(1992), setelah Oligosen daerah penelitian merupakan cekungan belakang busur

yang menampung sedimen pelitik dari arah benua dan sesekali bahan volkanik

berbutir halus dari arah busur volkanik. Masa ketenangan tektonik Miosen Awal

ini diikuti oleh periode pengangkatan disertai perlipatan dan penyesaran. Dalam

proses perlipatan ini, Formasi Merawu membentuk pola lipatan yang

dikendalikan oleh sesar naik batuan Paleogen yang teraktifkan kembali. Pada

akhir Miosen awal Pliosen kegiatan tektonik mengakibatkan pembentukan

busur pulau gunungapi, kegiatan magmatik ini dikenali dengan terobosan intensif

pada Formasi Merawu, sebagian diantaranya melalui zona sesar dan sumbu

lipatan yang terbentuk sebelumnya. Menurut Condon, Pardyanto, Ketner, Amin,

Gafoer, dan Samodra (1996), pada Miosen Tengah terjadi genang laut dan
terendapkannya Formasi Rambatan serta terjadi penerobosan batuan bersusunan

diorit pada akhir Miosen Tengah.

Pada Miosen Atas cekungan termobilisasi, dimulai dengan perlipatan dan

adanya gejala magmatik sampai akhir Miosen.

Menurut van Bemmelen (1949), pada awal Pliosen, Pegunungan Serayu Utara

kembali mengalami pengangkatan akibat bergesernya sistem ke arah utara (ke

arah dataran Sunda). Pada Akhir Pliosen pengangkatan terus terjadi yang

diiringi dengan beberapa gejala volkanisme. Pada Plistosen, aktivitas

volkanisme semakin meningkat disertai unsur tektonik hingga membentuk pola

struktur geologi seperti sekarang ini.

Pada zaman Kuarter dicirikan lagi dengan aktivitas volkanik di sepanjang

kekar-kekar gerus gunting utama. Pada zaman ini kompresi sudah sangat

berkurang, tapi belum sepenuhnya berhenti. Sebelum dan selama aktivitas

volkanik, pengubahan volkanik di bawah Gunung Slamet dan Kompleks

Gunungapi Dieng menyebabkan terbentuknya zona kompresi di antara dua kubah

yang menghasilkan pendesakan (thrusting) dan perlipatan sedimen laut Miosen.

Di atas kubah volkanik sendiri, pengangkatan dan pengekaran tensional yang

menyertainya menyebabkan penyesaran normal beberapa sedimen Miosen.

Dari Kuarter Akhir hingga sekarang terdapat pengangkatan di beberapa

daerah dan penurunan di tempat-tempat lainnya. Daerah utama penurunan adalah

di utara bagian tengah Jawa, yang terjadi disepanjang kekar-kekar gerus utama

vertikal.
2.2 Sejarah Gunung Api

GUNUNG Slamet merupakan gunung api tertinggi kedua di Pulau Jawa.


Gunung ini memiliki tinggi 3.428 meter di atas permukaan laut. Berada di
perbatasan Kabupaten Brebes, Banyumas, Purbalingga, Tegal, dan Pemalang,
Provinsi Jawa Tengah (Jateng). Nama Gunung Slamet diambil dari bahasa Arab
yang artinya membawa selamat. Sedangkan dalam bahasa Sunda, Gunung Slamet
biasa disebut dengan Gunung Agung. Gunung ini dipercaya membawa berkah,
dan keselamatan, dan ketentraman. Menurut mitos masyarakat sekitar, Gunung
Slamet pertama ditemukan oleh seorang pangeran dari negeri Rum-Turki yang
bernama Syeh Maulana Maghribi. Syeh Maulana dikenal juga dengan sebutan
Mbah Atas Angin, karena berasal dari negeri atas angin. Mitos masyarakat sekitar
juga menyebut Syeh Maulana sebagai salah seorang penyebar agama Islam di
tanah Jawa. Hal ini seolah membenarkan teori sejarawan Belanda J Noorduyn
yang menyebut nama Gunung Slamet ada sejak masuknya Islam.
Dalam catatan sejarah Nusantara, agama Nabi Muhammad SAW mulai dipeluk
dan masuk ke Indonesia sejak abad ke-7 Masehi. Selama itu, Gunung
Slamet belum pernah dikabarkan meletus, hingga abad ke-19 dan berlanjut
kini.Sejak pertama meletus, aktivitas vulkanik Gunung Slamet sebenarnya tidak
pernah diam. Data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG)
menyebut, Gunung Slamet pernah mengalami gempa letusan sebanyak 171 kali
pada Jumat 14 Maret 2014. Dengan meletusnya Gunung Slamet secara terus
menerus, mitos letusan Gunung Slamet membelah Pulau Jawa kembali
menghantui sebagaian masyarakat yang percaya. Dalam mitos itu disebutkan,
letusan Gunung Slamet membuat rekahan besar. Rekahan Gunung Slamet itu
yang akan membelah Pulau Jawa menjadi dua bagian, karena membentang dari
utara ke selatan. Rekahan yang dalam itu kemudian diisi air laut hingga menyatu.
Hingga wilayah di barat dan timur bergeser saling menjauh.
Letaknya Gunung Slamet yang berada di antara batas pantai utara dan pantai
selatan, serta dikelilingi lima kabupaten, ditambah dua wilayah tidak langsung,
yakni Kabupaten Cilacap, dan Kota Tegal, seperti membentuk garis lurus. Garis
lurus itu yang oleh mitos tersebut dikatakan akan menjadi potongan yang
membelah Pulau Jawa. Mitos terbelahnya Pulau Jawa menjadi dua bagian juga
pernah disinggung oleh ramalan Sri Aji Joyoboyo yang hidup di awal abad ke-12
MasehiMenurut Joyoboyo, Pulau Jawa akan terbelah menjadi dua akibat
amblesnya permukaan tanah yang membujur dari garis pantai Laut Jawa (Utara)
hingga Samudera Indonesia (Laut Selatan).

2.3 Periode Letusan Gunung Api

Berdasarkan catatan sejarah letusannnya, Gunung api Slamet yang bertipe


A ini sudah meletus sebanyak 25 kali lebih sejak tahun 1772. Berikut ini beberapa
kejadian letusan Gunung Api Slamet pada masa lalu yang dicatat oleh
(Kusumadinata 1979; Abdurachman dkk. 2007);

1. 11-12 Agustus 1771: Letusan abu dan leleran/kubah lava


2. Oktober 1825: Letusan abu
3. September 1935: Letusan abu
4. 1 Desember 1849: Letusan abu
5. 19 Maret dan 11 April 1860: Letusan abu
6. Mei, Juni, Nov., Desember 1875: Letusan abu
7. 21-30 Maret 1885: Letusan abu
8. 14 Juli-9 Agustus1904: Letusan abu dan leleran/kubah lava
9. Juni 1923: Letusan abu dan leleran/kubah lava
10. November 1926: Letusan abu dan leleran/kubah lava
11. 27 Februari 1927: Letusan abu dan leleran/kubah lava
12. 20-29 Maret dan 8-12 Mei 1928: Letusan abu dan leleran/kubah lava
13. 6,7 dan 15 Juni 1929: Letusan abu dan leleran/kubah lava
14. 2-13 April 1930: Letusan abu dan leleran/kubah lava
15. 1 Juli dan 20 September 1932: Letusan abu dan leleran/kubah lava
16. 18 Maret,April, 6 Mei, 15 Juli, 4 Desember 1939: Letusan abu
17. 15-20 Maret dan 15 April 1940: Letusan abu
18. Juli, Agustus, Oktober 1953: Letusan abu dan leleran/kubah lava
19. 12-13 November, 6-16 Desember 1955: Letusan abu dan leleran/kubah
lava
20. 8 Februari 1957 8 Februari: Letusan abu
21. 17 April, 4-6 Mei, 13 Oktober, Desember 1958: Letusan abu dan
leleran/kubah lava
22. Desember 1960: Letusan abu
23. Januari 1961: Letusan abu
24. 1966: Letusan abu
25. Juni, Juli, Agustus 1969: Letusan abu
26. Agustus 1973: Letusan abu dan leleran/kubah lava
27. 12-13 Juli 1988: Letusan abu dan leleran/kubah lava
28. 23 April 6 Mei 2009: Letusan abu dan lontaran lava pijar (tipe
Stromboli)
BAB III

PRODUK LETUSAN DAN DAMPAK POSITIF, NEGATIV

3.1 Produk Letusan Gunung Api Slamet

Pada tahun 2012, LIPI mengeluarkan sebuah buku tentang Ekologi Gunung
Slamet. Dalam buku tersebut ada sebuah makalah yang menurut saya cukup menarik
tentang Karakteristik Erupsi Gunung Slamet, Jawa Tengah yang ditulis oleh Pak
Indyo Pratomo yang berasal dari Museum Geologi PSG, Badan Geologi dan Pak
Mohamad Hendrasto dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan
Geologi.

Dalam makalah tersebut mereka mencatat bahwa Gunung api Slamet letusannya
mulai tercatat dalam sejarah sejak tahun 1772. Berdasarkan karakteristik bentang
alamnya, tubuh vulkanik Gunung api Slamet terdiri atas Gunung api Slamet Tua,
Gunung api Slamet Muda yang terletak di sebelah timurnya dan Gunung api Slamet
Menengah. Kelompok endapan vulkanik produk erupsi Gunung api Slamet Tua terdiri
atas leleran lava andesit dan endapan piroklastik yang telah mengalamiubahan
hidrotermal, dan kelompok endapan Gunung api Slamet Muda, yang terdiri atas leleran
lava basaltik dan piroklastik jatuhan yang tidak terubah. Kelompok Slamet Tua diwakili
oleh lava Mingkrik, lelerannya tersingkap terbatas di bagian barat kawah G. Slamet,
satuan batuan ini adalah pembentukan tubuh Slamet Tua (Gunung Cowet), ditindih oleh
produk Slamet Muda yang diwakili oleh leleran lava andesit piroksin.

3.2 Dampak Positif dan Negatif Letusan Gunung Api Slame

Kita ketahui ketika sebuah gunung berapi meletus sangat menakutkan dengan
dampak yang terjadi , namun kita harus sepenuhnya paham akan Dampak Positif dan
negatif Gunung Berapi Meletus . jadi setiap seusatu hal yang buruk pasti ada hal manis
yang di dapat sama saj dengan gunung berapi .
Meletusnya gunung berapi adalah salah satu fenomena alam yang ada di alam kita bumi
. setaip sebuah letusan gunung api mempunyai dampak yang sangat hebat , namun
dampak mempunyai beberapa dapatk yang bermanfaat dan merugikan , dari sisi mana
kita melihat itu . berikut Dampak Positif dan negatif Gunung Berapi Meletus :Dampak
Positif Gunung berapi meletus Ketika gunung berapi meletus dan mengeluarkan Abu
vulkanik, abu ini dapat menyuburkan tanah pertanian di sekitarnya sehingga dapat
meningkatkan produksi pertanian penduduk. kita kethui banyak orang tinggal di lereng
gungung , bekerja sebagai petani dan perkebunan . Teh dan Kopi menjadi komoditas
utama .
1. Di daerah vulkanis memungkinkan banyak turun hujan melalui hujan orografis. Hal
tersebut disebabkan gunung merupakan daerah penangkap hujan yang baik,
2. Di daerah gunung api memungkinkan dibangun pembangkit tenaga listrik , yang
berasal dari energi panas yang berada di sekitar gunung berapi .
3. Banyak di temukan sumber air panas dan air makdani yang dapat dimanfaatkan
untuk pariwisata.
4. Banyak terdapat aneka bahan tambang seperti belerang, logam, dan permata. yang
dapat kita manfaatkan sebagai jalan untuk mendaptkan hasil .
5. Namun kalo kita pahami ketika sudah terjadi gunung berapi akan menjadi sebuah
wisata . itu adalah Gejala pasca vulkanik merupakan objek wisata yang menarik.
Dampak Negatif Gunung berapi meletus :

1. Pada waktu gunung meletus puluhan ribu manusia dan ternak banyak yang menjadi
korban,
2. Gas beracun yang dikeluarkan dari gunung api sangat membahayakan bagi manusia
ketuka manusia menghidup gas tersebut .
3. Awan panas yang di keluarkan gunung api dapat menewaskan makhluk dan tumbuh-
tumbuhan.
4. Lahar dingin dan panas dapat merusak daerah yang dilalui nya menjadi rata dengan
tanah .
5. Bom lapili dan pasir vulkanik dapat merusak rumah, jembatan, dan daerah pertanian.
6. Abu vulkanik yang bertaburan diangkasa dapat mengganggu penerbangan dan udara
yang di hriup manusia akan menjadi beracun .
Jadi itulah Dampak Positif dan negatif Gunung Berapi Meletus namun semoga
tidak ada banyak korban ketika fenomena alam ini terjadi , siapa yang tahu gunung
berapi akan meletus manusia hanya dapat memprediksi saja

Anda mungkin juga menyukai