DASAR MANAJEMEN
KESUBURAN TANAH
E. HANDAYANTO
S.R. UTAMI
JANUARI 2013
E. Handayanto: Guru Besar pada Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya;
menempuh pendidikan S1 (Ir) di Universitas Brawijaya, S2 (MSc) di University of Adelaide,
dan S3 (PhD) di University of London.
S.R. Utami: Lektor Kepala pada Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya;
menempuh pendidikan S1 (Ir) di Institut Pertanian Bogor, S2 (MSc) dan S3 (PhD) di
University of Gent, Belgia.
PENGANTAR
Tanah merupakan bahan alami yang mempunyai beragam fungsi di dalam
ekosistem, mulai dari sebagai penyangga pertumbuhan tanaman, sebagai sarana
untuk daur ulang produk limbah, sebagai habitat organisme, sebagai pengendali air
dan lingkungan, sampai sebagai bahan konstruksi. Dari sisi produksi pertanian,
tanah merupakan sarana produksi yang sangat penting. Namun demikian, seiring
dengan pesatnya pertumbuhan penduduk, luasan lahan yang layak untuk produksi
pangan semakin hari semakin menyempit karena alih fungsi untuk berbagai
kebutuhan manusia. Luasan lahan yang semakin sempit tersebut diiringi dengan
makin merosotnya kesuburan tanah.
Oleh karena itu, upaya mempertahankan kesuburan tanah, untuk mempertahankan
dan bahkan meningkatkan produksi pangan agar bisa memenuhi kebutuhan pangan
penduduk yang semakin bertambah, harus tetap terus dilakukan. Agar upaya
mempertahankan kesuburan tanah berada pada jalan yang tepat dan benar,
diperlukan pemahaman tentang dasar kesuburan tanah dan pengelolaan kesuburan
tanah.
Buku ini dapat digunakan sebagai salah satu referensi untuk mahasiswa (program
sarjana dan program pascasarjana) dan masyarakat umum pemerhati pertanian
dan bidang lainnya yang terkait dengan produksi pangan dan pengelolaan
lingkungan.
iv E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah
ISI
PENGANTAR .......................................................................................... iii
1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Konsep Dasar...................................................................................................... 1
1.2. Kesuburan Tanah dan Produktivitas Tanah ...................................................... 2
1.3. Faktor Kesuburan Tanah .................................................................................... 4
3 KARBON ........................................................................................... 21
3.1. Siklus Karbon.................................................................................................... 21
3.2. Sumber Karbon dalam Tanah........................................................................... 21
3.3. Bentuk Karbon Organik dalam Tanah .............................................................. 22
3.5. Dekomposisi Bahan Organik dalam Tanah....................................................... 23
4 NITROGEN ......................................................................................... 27
4.1. Nitrogen dan Pertumbuhan Tanaman ............................................................. 27
4.2. Bentuk Nitrogen............................................................................................... 28
4.3. Sumber Nitrogen............................................................................................... 30
4.4. Imobilisasi dan Mineralisasi Nitrogen Tanah ..................................................... 30
4.5. Denitrifikasi ...................................................................................................... 33
4.6. Fiksasi Nitrogen................................................................................................. 34
4.7. Kehilangan Nitrogen......................................................................................... 35
4 FOSFOR ............................................................................................ 37
4.1. Fosfor dalam Tanaman..................................................................................... 37
4.2. Fosfor dalam Tanah.......................................................................................... 38
4.3. Sumber Pupuk Fosfor....................................................................................... 39
4.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Ketersediaan Fosfor ................................... 39
4.5. Ketersediaan Fosfor dalam Tanah ..................................................................... 40
4.6. Fiksasi Fosfor dalam Tanah .............................................................................. 41
4.7. Fosfor dan Lingkungan ...................................................................................... 42
5 KALIUM ............................................................................................ 43
5.1. Kalium dalam Tanaman.................................................................................... 43
5.2. Kalium dalam Tanah......................................................................................... 44
5.3. Sumber Kalium.................................................................................................. 45
1 PENDAHULUAN
1.1. Konsep Dasar
Tanah adalah media untuk pertumbuhan tanaman dan memasok unsur hara untuk
tanaman. Pada umumnya tanah memasok 13 dari 16 unsur hara esensial yang
diperlukan untuk partumbuhan tanaman, terutama tanaman pangan. Unsur hara
esnsial tersebut harus terus-menerus tersedia dalam takaran yang berimbang/
Tetapi hal ini tidak selalu terjadi pada semua jenis tanah. Beberapa tanah tertentu
yang tidak dapat memenuhi tujuan tersebut disebut sebagai tidak tidak
subur.Sebaliknya, ada beberapa tanah yang dapat memenuhi tujuan tersebut dan
tanah tersebut disebut tanah subur. Oleh karena itu, kesuburan tanah adalah
aspaek hubungan tanah-tanaman, yaitu pertumbuhan tanaman dalam
hubungannya dengan unsur hara yang tersedia dalam tanah.
Tanaman bergantung pada tanah tidak hanya tempat untuk bertumpu tetapi unsur
hara yang diperlukan untuk proses-proses fisiologi dan pembentukan struktur
tanaman. Semua unsur hara yang telah diketahui sebagai unsur hara esensial untuk
pertumbuhan tanaman dan produksi diperoleh dari tanah, kecuali karbon yang
diperoleh dari udara melalui stomata. Hidrogen dan oksigen diperoleh dari air
melalui akar tanaman. Unsur hara lainya, nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, sulfur
dan unsur hara mikro diperoleh langsung dari tanah. Oleh karena itu tanaman
tergantung pada tanah untuk memperoleh unsur hara.
Semua unsur hara tanaman berada dalam tanah. Namun demikian keberadaan
unsur hara di dalam tanah tidak selalu dapat diartikan bahwa tanah tersebut subur.
Tanaman menyerap unsur hara dalam bentuk ion yang terlarut dalam larutan
tanah. Selain itu, untuk mencapai pertumbuhan tanaman yang optimum unsur hara
harus tersedia dalam jumlah yang cukup. Oleh karena itu, tanah harus dapat
memasok unsur hara dalam jumlah cukup, dalam bentuk yang dapat diserap oleh
tanaman selama siklus hidupnya.
Jadi, secara sederhana kesuburan tanah dapat didefinisikan sebagai kemampuan
tanah untuk menyediakan unsur hara dalam jumlah cukup dalam bentuk yang
tersedia. Bentuk unsur hara tersedia adalah dalam bentuk ion yang dapat diserap
oleh tanaman yang tumbuh. Namun demikian, karena kandungan unsur hara dan
respon tanaman merupakan interaksi dari komponen kimia tanah serta kondisi
tanah yang mempengaruhi ketersediaan dan serapan unsur hara, maka sifat fisika,
kimia dan biologi tanah semuanya mempunyai peranan terhadap kesuburan tanah.
Atas dasar pandangan tersebut maka kajian kesuburan tanah meliputi pengamatan
bentuk unsur hara tanaman di dalam tanah, bagaimana unsur-unsur tersebut menjadi
tersedia untuk tanaman, dan faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan unsur
hara oleh tanaman.
2 E E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah
Hasil kajian tersebut dapat digunakan sebagai landasan pengelolaan kesuburan tanah
untuk memperbaiki pertumbuhan dan produksi tanaman. Kesuburan tanah bersifat
site specific dan crop specific, artinya tanah yang subur untuk suatu jenis tanaman
belum tentu subur untuk jenis tanaman lainnya. Konsep yang lebih luas berkaitan
dengan kemampuan tanah untuk menyangga pertumbuhan tanaman secara
berkelanjutan adalah produktivitas tanah, yaitu kemampuan tanah untuk
mempertahankan kesuburan tanah dalam jangka panjang.
Kesuburan tanah merupakan kunci dari sistem pertanian yang berkelanjutan, yaitu
suatu praktek pertanian yang melibatkan pengelolaan sumberdaya alam untuk
pertanian untuk memenuhi kebutuhan manusia bersamaan dengan upaya
mempertahankan atau meningkatkan kualitas lingkungan dan konservasi
sumberdaya alam.
Secara umum, terdapat lima prinsip dasar pengelolaan kesuburan tanah dalam
kaitannya dengan sistem pertanian berkelanjutan, yaitu
1. unsur hara tanah yang terangkut oleh tanaman harus diganti / ditambahkan,
2. kondisi fisik tanah harus dipertahankan, yang dalam hal ini berarti bahwa
kandungan humus (bahan organik tanah) harus tetap atau meningkat,
3. harus tidak ada pertumbuhan gulma, hama dan penyakit,
4. harus tidak ada peningkatan kemasamam tanah atau konsentrasi unsur beracun,
dan
5. erosi tanah harus dikendalikan agar sama atau lebih kecil dari kecepatan
pembentukan tanah.
Kesuburan tanah dan produktivitas tanah sekilas nampak serupa, tetapi di dalam
lingkup ilmu tanah dua istilah di atas mempunyai arti yang berbeda. Tanah subur
adalah tanah yang menghasilkan tanaman pada kondisi lingkungan yang cocok.
Oleh karena itu, kesuburan tanah dapat didefinisikan sebagai kemampuan tanah
untuk menyediakan unsur hara esensial dalam bentuk tersedia dan dalam
kesimbangan yang sesuai.
Produktivitas tanah pada dasarnya adalah konsep ekonom dan kemampuan tanah
untuk menghasilkan tanaman tertentu, atau tanaman dalam sistem manajemen
masukan (input) dan kondisi lingkungan tertentu, misalnya kondisi iklim.
Produktivitas tanah tidak hanya sifat tanah saja, tetapi merupakan fungsi dari
berbgai factor. Produktivitas tanah diukur dalam hal keluaran (output) hasil panen
dalam hubungannya dengan factor-faktor produksi untuk suatu jenis tanah tertentu
pada sistem nanajemen tertentu.
Suatu tanah bisa saja dinyatakan subur, yakni tanah yang mempunyai unsur hara
dalam bentuk tersedia tetapi belum tentuk tanah tersebut produktif. Tanah
tergenang bisa saja merupakan tanah yang subur tetapi mungkin tidak dapat
menghasilkan tanaman karena kondisi fisik yang tidak mendukung. Tanah-tanah
berpasir bisa dinyatakan tidak subur, tetapi dengan penggunaan pupuk dan
E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah 3
pasokan air tanah pasir tersebut menjadi produktif. Sampai saat ini belum ada
standar untuk kesuburan tanah maupun produktivitas tanah karena keduanya
tergantung pada tanaman yang ditumbuhkan. Tanah yang produktif untuk kentang
bisa saja tidak produktif untuk tanaman pangan lainnya.
Sebagai gambaran umum, perbedaan kesuburan tanah dengan produktivitas tanah
disajikan pada Tabel 1.
Pada dasarnya terdapat dua factor yang mempengaruhi kesuburan tanah, yaitu
factor alam dan factor buatan.
Bahan Induk
Bahan induk adalah bahan tidak mantap yang merupakan asal pembentukan tanah.
Bahan induk dapat terbentuk setempat melalui pelapukan batuan, atau terbentuk
dari pengangkutan dari tempat asal lainnya. Keseburan tanah tergantung komposisi
kimia bahan induk tanah. Misalnya tanah alluvial yang terbentuk da bahan induk
alluvium umumnya merupakan tanah yag subur.
Topografi
Topografi atau relief terkait adalah ketinggian (elevasi) atau ketidak samaan
permukaan lahan. Lereng tanah yang merupakan bagian dari relief, dan merupakan
suatu bagian integral tanah sebagai tubuh alami adalah kemiringan permukaan
wilayah dan juga horizon tanah.
Topografi mempengaruhi kesuburan tanah melalui pengaruhnya terhadap
drainase, limpasan permukaan (run-off), erosi tanah dan ikil mikro, yakni paparan
permukaan lahan pada sinar matahari dan angin. Tanah pada lereng atas umumnya
kurang subur dibandingkan dengan tanah pada lereng bawah. Perbedaan tersebur
terjadi karena tingginya erosi dan pencucian tanah lereng atas.
Umur Tanah
Pada titik waktu tertentu, tubuh tanah mencerminkan pengaruh kombinasi dari
berbagai proses pembentukan tanah dan factor pembentuk tanah dalam
perkembangan profil tanah. Kurun waktu mulai dari permulaan pembentukan
tanah sampai waktu sekarang di sebut dengan umur tanah, yang bervariasi dari
beberapa tahun sampai dengan ribuan tahun.
Tanah-tanah yang sangat tua seringkali tidak subur karena budidaya pertanian
intensif selama bertahun-tahun yang mempengaruhi kemampuan tanah untuk
menyediakan unsur hara. Hal yang sama juga terjadi pada tanah-tanah yang masih
muda dimana proses pembentukan tnah masih sedang berjalan aktif. Oleh karena
itu tanah muda umumnya kurang subur dibandingkan dengan tanah dewasa.
Iklim
Iklim mencakup curah hujan, subu, kelembaban dan angin. Faktor-faktor iklim
tersebut sangat mempengaruhi kesuburan tanah. Pada daerah dengan curah hujan
tinggi, unsur hara terlarut akan tercuri ke horizon bawah sehingga tidak tersedia
E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah 5
bagi tanaman. Pada daerah iklim tropika atau sub-tropika, dekomposisi bahan
organik berjalan lebih cepat dan lebih mudah dibandingkan dengan daerah beriklim
sedang. Oleh karena itu, tanah-tanah di daerah tropika dan sub-tropika umumnya
kurang subur dibandingkan dengan tanah di daerah sedang.
Erosi Tanah
Dalam erosi tanah, lapisan tanah atas yang subur akan terakngkut dari asalnya dan
diendapkan di tempat lain. Oleh karena itu erosi tanah menyebabkan merosotnya
kesuburan tanah. Diperkirakan, jumlah kehilangan unsur hara tanah akibat erosi
bisa mencapai 20 kali jumlah yang hilang akibat serapan tanaman.
Genangan air
Jika tanah mengandung air melebihi kebutuhannya, dan tidak ada upaya untuk
membuang kelbihan air tersebut, maka aerasi tanah menjadi sangat buruk. Tanpa
adanya oksigen, mikroorganisme aerobic tidak dapat aktif. Selain itu,
mikroorganisme pengganggu yang umumnya mikroorganisme anaerobic menjadi
aktif dan membentuk asam-asam berbahaya dalam tanah. Pada tanah tergenang,
unsur hara tanaman hilang melalui pencucian sehingga pertumbuhan tanaman
terganggu. Tanah-tanah tersebut menjadi tidak subur.
Pola tanam
Di Indonesia umumnya terdapat 3 pola tanam, yakni monokultur, tumpangsari, dan
tumpang gilir (rotasi). Dalam pola monokultur, suatu jenis tanaman tertentu
ditanam tiap tahun pada lahan yang sama. Akar tanaman melepaskan senyaya
beracun yang sama yang terakumulasi dalam tanah. Setelah bertahun-tahun,
kondisi tersebut menyebabkan tanah menjadi tidak sehat sehingga tanah
kehilangan kesuburannya. Selain itu, tanaman juga mengambil sejumlah besar
6 E E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah
unsur hara tertentu dari tanah. Jika unsur hara tersebut tidak dipasok secara rutin
melalui pengembalian sisa tanaman atau pemupukan, dalam waktu tidak lama
tanah akan menjadi tidak subur.
Reaksi tanah
Tanah dapat bersifat masam, basa atau netral. Beberapa tanaman tidak dapat
tumbuh baik pada tanah masam, sementara tanaman lain juga tidak dapat tumbuh
baik pada tanan basa atau alkalin. Nilai pH larutan tanah menentukan
ketersedaiaan unsur hara tertentu sehingga menyebabkan masalah kesuburan
tanah. Peningkatan kemasaman tanah menyebabkan garam-garam mineral lebih
larut. Kondisi ini akan meningkatkan ketersediaannya dalam konsentrasi yang
beracun dan dapat merusak tanaman.Pada tanah-tanah salin dan alkalin, beberapa
unsur hara tertentu menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Oleh karena itu reaksi
tanah menurunkan kesuburan tanah.
2 UNSUR HARA
2.1. Unsur Hara Esensial
Ringkasan peran penting beberapa unsur hara esensial dalam tanaman disajikan
dalam Tabel 2, sedangkan kisaran konsentrasi unsur di dalam jaringan tanaman
disajikan dalam Tabel 3.
Selain unsur hara esiensial, terdapat unsur lain yang dijumpai di dalam tanaman
mempunyai fungsi penting walaupun tidak termasuk unsur hara esensial. Unsur-
unsur tersebut adalah Cobalt (Co), Vanadium (V), Natrium (Na), dan Silikon (Si). Co
diperlukan oleh bakteri Rhizobium. Co juga merupakan salah satu unsur penyusun
vitamin B12 dalam tubuh ternak, oleh karena itu keberadaan Co pada rumput dan
pakan ternak sangat penting. Unsur V diperlukan bakteri Rhizobium dalam proses
fiksasi nitrogen. Selain itu, unsur V dapat menggantikan Mo untuk nutrisi
Azotobacter. Na diserap oleh tanaman dalam bentuk kation Na+, dan diketahui
bahwa dalam kondisi tertentu Na dapat menggantikan kebutuhan K. Penambahan
Si dapat meningkatkan produksi tanaman, terutama tanaman tebu pada Oxiol dan
Ultisol, karena dapat menurunkan fiksasi P dan meningkatkan penyediaan P.
Pemberian Si biasanya dalam bentuk sodium silikat atau kalsium silikat.
Tanaman menyerap unsur esensial melalui sistem perakaran atau melalui daun
dalam berbagai bentuk. Sebenarnya tanah mengandung hampir semua unsur
dalam jumlah cukup besar, tetapi hanya sejumlah kecil dari unsur-unsur tersebut
yang tersedia bagi tanaman. Sebagai contoh, kandungan total unsur besi dalam
tanah dapat melebihi 50.000 ppm, tetapi hanya kurang dari 5 ppm yang berada
dalam bentuk tersedia untuk diserap tanaman.
Unsur hara esensial dapat berada dalam satu atau lebih bentuk fisik, padat, cair
atau gas. Uraian berikut ini hanya mengemukakan unsur hara dalam tanah yang
berada dalam bentuk padat dan cair, walaupun unsur non-mineral maupun
nitrogen dan sulfur juga dapat berada dalam bentuk gas pada kondisi tertentu.
Bentuk kimia suatu unsur sangat mempengaruhi bagaimana unsur tersebut
bereaksi dengan unsur dan senyawa lainnya yang berada dalam tanah. Masing-
masing unsur hara dalam tanah dapat berada dalam berbagai bentuk ion (Tabel 4).
Ion adalah unsur kimia atau sekelompok unsur kimia yang berada dalam bentuk
partikel bermuatan listrik (charged particles). Kation adalah ion dengan muatan
positif, sedangkan anion adalah ion yang bermuatan negatif.
Natrium klorida atau garam dapur merupakan bentuk padatan ber ion yang cepat
larut dalam air yang kemudian melepaskan kation natrium dan anion klorida.
Padatan ber ion umumnya dijumpai dalam tanah termasuk liat silikat, hidroksida
besi dan aluminium, dan beberapa senyawa yang mengandung fosfor dan unsur
esensial lainnya. Padatan ber ion ini agak kurang larut sehingga tidak segera bisa
melepaskan ion-ion nya jika dicampur dengan air. Karena strukturnya yang unik, liat
silikat dalam tanah merupakan padatan dengan muatan negatif. Bahan organik
10 E E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah
mengandung sejumlah besar karbon yang mempengaruhi sifat kimia dan struktur
tanah. Tetapi secara mendasar, bahan organik memiliki muatan negatif yang besar.
Di dalam tanah, bahan organik juga bereaksi kuat dengan molekul organik yang
lebih kecil, seperti pestisida dan eksudat akar.
Nitrogen tanah dapat berada dalam bentuk organik dan anorganik, dalam larutan
dan dalam bentuk gas, dan sebagai kation dan anion. Akar tanaman hanya
menyerap bentuk anorganik. Bentuk umum nitrogen yang dikandung dalam pupuk
buatan dan pupuk kandang meliputi amoniak, urea, amonium dan nitrat. Amoniak
(NH3) yang berbentuk gas, bereaksi cepat dengan air tanah untuk membentuk
kation amonium yang bermuatan positif (NH4+). Urea -CO(NH2)2 cepat dikonversi
dari bentuk padat atau cair oleh enzim urease menjadi amoniak. Jika urea diberikan
di permukaan tanah, dapat terjadi kehilangan N dalam bentuk gas amoniak,
terutama pada kondisi kering pada tanah dengan pH tinggi. Jika dibenamkan atau
dialirkan ke dalam tanah, urea diubah menjadi amonium yang bermuatan positif
yang kemudian di tahan oleh muatan negatif tanah. Hal ini mencegah pencucian
amonium, kecuali pada tanah dengan kapasitas tukar kation (KTK) rendah.
Sumber muatan kedua pada liat adalah patahan kisi (broken edges), yang
sebenarnya merupakan kisi lembar alumina dan silika dimana atom H+ sebagai
bagian dari ion hidroksil yang diikat kuat oleh atom O pada kondisi masam. Disini
muatan patahan kisi tersebut adalah netral. Tetapi, jika pH tanah > 6 atom H+ diikat
agak lemah dan dapat dipertukarkan dengan kation Ca2+ dan Mg2+. Muatan tersebut
tergantung pH (pH-dependent charge) (Gambar 1). Sebagian besar muatan pada liat
tipe 2:1 adalah substitusi isomorf (permanent charge), sedangkan pada liat tipe 1:1
adalah disebabkan oleh patahan kisi (pH-dependent charge).
12 E E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah
Humus merupakan modifikasi lignin, poliuronida dan senyawa lain yang tersusun
dari karbon, hidrogen dan oksigen, serta sebagian kecil nitrogen, fosfor, sulfur dan
unsur lainnya. Muatan humus tanah sama dengan muatan pada patahan kisi
(broken edges) yang tergantung pH (pH dependent charge), kecuali sumber
muatannya gugus karboksil (-COOH) karena gugus ini berdisosiasi pada pH tanah
(Gambar 3). Pada kondisi masam, ion H+ terikat kuat pada koloid organik sehingga
tidak mudah digantikan oleh kation lain. Pada pH yang lebih tinggi, ion dari asam
karboksilat secara bertahap diganti oleh kation lain.
E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah 13
Walaupun jumlah koloid organik lebih kecil dibanding koloid mineral, muatan
koloid organik lebih besar dibandingkan koloid mineral, dan dapat berkontribusi 30-
90% total muatan di permukaan kisi tanah. Karena memiliki struktur terbuka dan
kompleks, kemampuan humus untuk menarik air dari atmosfer tanah di sekitarnya
mendekati 80-90% beratnya, jika dibandingkan dengan 15-20% untuk liat tanah.
Namun demikian, humus tidak segera memfiksasi kation yang dapat dipertukarkan,
seperti halnya yang dilakukan liat, tetapi mempertahankan ion-ion tersebut dalam
bentuk yang mudah dipertukarkan. Mineralisasi humus tanah melepaskan sejumlah
nitrogen, fosfor dan sulfur dari bentuk organik, dan dapat mempengaruhi
ketersediaan unsur mikro.
(satu centimole = 0,01 M) muatan positif atau negatif per kg tanah (yakni cml(+)/kg
tanah atau cmol(-)/kg tanah).
KTK mempengaruhi cara pengelolaan tanah untuk perbaikan produksi tanaman dan
untuk perlindungan lingkungan. Tanah dengan KTK rendah (kurang dari 5
meq/100g) umumnya mempunyai kandungan liat dan bahan organik yang rendah,
kapasitas menahan air yang rendah, memperlukan lebih sering panambahan kapur
dan pupuk, dan peka terhadap pencucian NO3, NH4, K dan mungkin Mg. Tanah
semacam ini mempunyai protensi produksi yang rendah dibandingkan dengan
tanah dengan KTK lebih tinggi pada tingkat pengelolaan yang sama. Tanah-tanah
dengan KTK rendah biasanya lebih mudah diolah dibandingkan tanah dengan KTK
tinggi karena cepat mengering, dan unsur hara yang ditambahkan sangat tersedia
untuk serapan tanaman.
Tanah dengan KTK lebih tinggi dari 20 umumnya mempunyai kandungan liat yang
tinggi, kandungan bahan organik sedang sampai tinggi, kapasitas menahan air
tinggi, kurang sering diperlukan pupuk dan kapur (kecuali N), dan potensi pencucian
kation rendah. Namun demikian tanah tersebut sulit diolah untuk
mempertahankan aerasi yang baik. Selain itu, tanah-tanah dengan KTK tinggi
umumnya peka pada fiksasi K.
Unsur hara dijerap tanah atau tetap larut dalam larutan tanah, yaitu air yang
mengitari partikel tanah. Di dalam larutan tanah, unsur hara berada dalam bentuk
ion sempurna dan siap untuk diserap oleh sistem perakaran tanaman. Tetapi
larutan tanah hanya dapat memasok unsur hara beberapa hari sebelum larutan
tanah hilang. Akar tanaman berada dalam kontak langsung hanya dengan sebagian
kecil volume tanah yang tersedia. Diketahui bahwa serapan unsur hara melalui
kontak langsung dengan larutan tanah hanya kurang dari 3% serapan total. Oleh
karena itu, unsur hara dalam larutan tanah yang dalam kontak langsung dengan
sistem akar harus secara konstan diganti dari sejumlah cadangan yang dipegang
oleh koloid tanah melalui proses keseimbangan dan pengangkutan.
Larutan tanah menahan sebagian besar unsur hara, terutama kation, dalam
keadaan seimbang dengan jumlah kation yang ditahan oleh padatan tanah. Tanah
menyerap kation dan anion dari larutan tanah, dan melepaskan sejumlah kecil ion
seperti H+, OH-, and HCO3-. Reaksi ini menyebabkan ion dalam larutan tanah tidak
lagi seimbang dengan ion pada padatan tanah. Sebagai contoh, penyerapan
tanaman terhadap kation seperti K+ dari larutan tanah menyebabkan ketidak
seimbangan K+ dalam larutan tanah dengan yang ada dalam padatan tanah. Maka,
ion K+ dilepaskan dari permukaan tanah, atau dilarutkan dari mineral tanah untuk
memulihkan kesimbangan. Proses keseimbangan ini sering disebut penyanggaan
(buffering), yang prosesnya tergantung pada sifat dan ciri tanah. Tanah dengan
jumlah liat yang rendah lebih cepat terkuras cadangan ion nya, sehingga
mempunyai kapasitas penyangaan yang rendah dibandingkan dengan tanah yang
mengandung liat tinggi. Mineral liat tertentu mempunyai kapasitas penyanggaan
yang lebih tinggi dibandingkan lainnya.
Larutan tanah dapat dipengaruhi oleh faktor lain selain serapan tanaman dan reaksi
pertukaran. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan perubahan konsentrasi larutan
termasuk reaksi yang melibatkan udara tanah, organisme tanah, bahan organik
tanah, curah hujan dan evapotranspirasi, pelarutan dan pengendapan mineral, dan
penambahan unsur hara dalam bentuk pupuk buatan dan pupuk kandang.
Tanaman mengambil unsur hara esensial dapat melalui akar (terutama rambut akar),
atau daun dan bagian tanaman lainnya, terutama melalui stomata daun. Rambut akar
memperoleh unsur hara dari larutan tanah, diserap dalam bentuk air; tetapi sebagian
besar ion unsur hara diserap melalui proses yang melibatkan pertukaran ion dari
permukaan akar atau rambut akar. Penyerapan unsur hara memerlukan energi.
Terbatasnya penyediaan oksigen pada akar akan mengurangi penyediaan energi untuk
metabolisme sehingga dapat mengurangi kecepatan penyerapan unsur hara. Proses
penyerapan unsur hara oleh tanaman terjadi melalui intesepsi akar, aliran masa dan
difusi.
16 E E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah
Intersepsi akar, adalah proses dimana ion-ion unsur hara di serap oleh akar pada
saat akar tumbuh berkembang di dalam tanah. Intersepsi unsur hara oleh akar
terutama terjadi pada unsur Ca dan Mg, meskipun kedua unsur ini juga bergerak ke
akar tanaman melalui proses aliran masa.
Pada proses aliran massa, unsur hara dibawa oleh air tanah yang bergerak mendekati
akar; terjadi karena proses penggantian air dalam tanaman akibat transpirasi. Karena
air tanah mengandung unsur hara, maka dalam proses penggantian air ini akan terjadi
masukan unsur hara. Jadi jumlah unsur hara yang diambil melalui aliran masa ini
berkaitan erat dengan jumlah air yang diambil oleh tanaman.
Pada proses difusi ion bergerak sendiri melalui larutan tanah pada posisi dimana ion
tersebut dapat diserap oleh akar tanaman terjadi karena pengambilan ion unsur hara
oleh akar lebih cepat daripada ion unsur hara yang menggantikannya, sehingga terjadi
perbedaan konsentrasi yang menyebabkan ion bergerak dari suatu area dengan
konsentrasi tinggi yang jauh dari dari akar ke area dengan konsentrasi rendah yang
dekat dengan akar. Pergerakan unsur hara melalui difusi ditentukan oleh kecepatan
difusi unsur hara itu sendiri. Fosfat bergerak relatif lambat, dan hanya akan dapat
diambil oleh akar tanaman jika berada sangat dekat dengan akar tanaman atau
rambut akar. Perkembangan sistem perakaran kurang begitu penting untuk unsur hara
yang kecepatan difusinya tinggi (bergerak lebih mudah meskipun dalam kondisi sistem
perakaran yang terbatas). Kalium mempunyai kecepatan difusi diantara fosfat dan
nitrat; perkembangan akar hanya memberikan pengaruh yang kecil terhadap
penyerapan nitrat, pengaruh sedang terhadap kalium dan pengaruh yang besar
terhadap fosfat. Aliran masa penting di dalam pergerakan Ca dan S terhadap
permukaan akar, sedangkan difusi penting untuk P. Aliran masa maupun difusi
semuanya penting untuk K, Mg dan N. Walaupun difusi merupakan proses yang lebih
lambat dibandingkan aliran massa, tetapi merupakan berperan penting dalam
pengurasan larutan tanah, terutama untuk unsur hara yang bereaksi kuat dengan
koloid tanah.
Secara ringkas, pergerakan unsur hara ke akar tanaman adalah sebagai berikut
Intersepsi Akar Ca, Mg : 100%
Aliran Massa N, Ca, Mg, S, Cl, Mo, Cu, B : 100%
Fe, Mn, Zn : 30-50%
Difusi P dan K bergantung pada difusi, beberapa unsur mikro juga
bergerak melalui difusi
2.5.1. Iklim
Sebagian besar ion unsur hara berasal dari larutan tanah, sehingga sebaran unsur hara
di dalam profil tanah dipengaruhi oleh pergerakan air. Kandungan air tanah
mempengaruhi absorbsi air tanaman dan kecepatan pergerakan ion unsur hara
melalui aliran masa. Pada saat air bergerak ke permukaan tanah, air membawa unsur
hara yang kemudian tertinggal pada permukaan tanah bila air menguap. Pada saat
turun hujan, air bergerak ke lapisan tanah yang lebih dalam dengan membawa unsur
E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah 17
hara yang berada di tanah lapisan atas. Anion nitrat yang sangat mobil jika berada di
lapisan atas pada akhir musim kering akan segera dibawa ke lapisan bawah jika terjadi
hujan. Sulfat umumnya dijumpai dalam jumlah besar pada lapisan bawah, dimana
kapasitas pertukaran kationnya mungkin lebih besar di lapisan bawah dibanding di
lapisan atas. Jika kandungan air tanah dalam keadaan kapasitas lapang, maka
tambahan air akan bergerak melalui profil dengan membawa ion unsur hara sehingga
hilang melalui pencucian. Kation yang paling mudah hilang karena pencucian adalah
kalsium dan magnesium.
2.5.2. pH tanah
Sebagian besar unsur hara tersedia bagi tanaman dalam kisaran pH tanah 5.5-7.5.
Semua unsur hara mikro, kecuali molibdenum, lebih tersedia pada tanah masam
dibanding pada tanah alkalin. Pada tanah masam dengan pH di bawah 5.5, aluminium
bebas biasanya dijumpai dan hal ini dapat menghambat ketersediaan fosfat karena
terjadi pembentukan fosfat aluminum yang tidak larut. Tanaman yang tumbuh pada
tanah alkalin biasanya memerlukan penyediaan kalsium yang tinggi, sedangkan
tanaman yang tumbuh di tanah masam, misalnya tanaman teh, memerlukan
penyediaan aluminium yang tinggi.
Hubungan antara pertumbuhan dan penyediaan unsur hara yang menjadi pembatas
dapat digambarkan dalam bentuk kurva yang meningkat di awal ketika penyediaan
meningkat, kemudian menjadi datar pada saat penyediaan telah mencukupi, sampai
pada akhirnya kurva menurun lagi karena unsur hara berada dalam jumlah tertentu
yang menyebabkan keracunan atau menganggu unsur hara lainnya. Beberapa kurva
respon pemupukan juga sama dengan dengan pola tersebut, yakni pada awalnya
penambahan pupuk akan meningkatkan produksi tanaman, tetapi pada suatu titik
tertentu penambahan pupuk berikutnya tidak dapat meningkatkan produksi tanaman
(Gambar 6).
Hukum tersebut menyatakan bahwa jika dua faktor sama-sama rendah, peningkatan
salah satu faktor saja tidak akan memberikan hasil tanpa disertai dengan peningkatan
faktor lainnya. Sebaliknya peningkatan kedua faktor akan meningkatkan pertumbuhan
dan produksi. Jika peningkatan produksi yang disebabkan oleh peningkatan kedua
faktor tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan peningkatan produksi akibat
peningkatan satu faktor saja, maka telah jadi interaksi antara kedua faktor tersebut,
dan interaksi kedua faktor tersebut memberikan pengaruh yang positif. Sebaliknya jika
peningkatan produksi akibat peningkatan kedua faktor tersebut sama dengan
peningkatan produksi akibat penambahan satu faktor, maka tidak terjadi interaksi.
Hukum Leibig ini mempunyai suatu keterbatasan di dalam penerapannya dan bahkan
dapat menyulitkan interpretasi hubungan penyediaan unsur hara-produksi. Jika
beberapa faktor rendah misalnya, tetapi tidak ada satu faktorpun yang sangat rendah,
maka produksi akan tetap meningkat jika salah satu dari faktor-faktor tersebut di
tingkatkan. Di dalam praktek, untuk dapat memperoleh penyediaan unsur hara yang
E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah 19
lebih baik dapat diatur dengan tindakan lainnya, misalnya kerapatan tanaman yang
lebih tinggi, atau penggantian tanaman yang tidak respon dengan jenis tanaman yang
lebih responsif.
2.6. Sinkronisasi
Sinkroni adalah matching menurut waktu, ketersediaan unsur hara dan kehutuhan
tanaman akan unsur hara. Apabila penyediaan unsur hara tidak match, maka akan
terjadi defisiensi unsur hara atau kelebihan unsur hara, meskipun jumlah total
penyediaan sama dengan jumlah total kebutuhan (Gambar 7).
Tidak terjadinya sinkroni (disebut asinkroni) disebabkan oleh dua hal,
1. jika penyediaan terjadi lebih lambat untuk kebutuhan, dan
2. jika penyediaan terjadi lebih awal dibanding kebutuhan pada situasi dimana
unsur hara yang tersedia melebihi kebutuhan tanaman saat itu mempunyai
resiko hilang dari sistem atau dikonversi menjadi bentuk yang tidak tersedia.
Dalam skala luas, sinkroni dapat ditingkatkan melalui berbagai macam formulasi,
penempatan dan waktu pemberian pupuk, dan cara pengelolaan seperti
pengolahan tanah, waktu tebar benih.
20 E E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah
Pada tahun 1994, TSBF memfokuskan sinkroni dalam upaya mencari cara yang
tepat untuk meningkatkan efisiensi penggunaan unsur hara dengan cara
pengelolaan yang lebih baik terhadap sisa tanaman dan masukan organik lainnya.
Sampai saat ini, sebagian besar sistem produksi pertanian belum menunjukkan
adanya sinkroni, namun demikian belum bisa ditemukan cara yang baik untuk
meningkatkan sinkroni dengan perbaikan cara pengelolaan masukan organik.
E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah 21
3 KARBON
3.1. Siklus Karbon
Sebagian besar kabon di bumi ini dalam bentuk terikat (terutama dalam bentuk
karbonat), baik dalam batuan induk maupun karbon fosil. Pada tanah mineral,
bahan organik tanah merupakan cadangan karbon global yang jumlahnya bisa
mencapai 2 kali di atmosfer. Oleh karena itu segala perubahan pada pool bahan
organik tanah akan sangat mempengaruhi kadar CO2 global. Peningkatan
konsentrasi CO2 di atmosfer terutama disebabkan oleh pembakaran bahan bakar
dari fosil dan pembakaran hutan. Selain itu, CO2 juga terus menerus dihasilkan oleh
organisme heretotrof di biosfer. Di lain pihak, CO2 difiksasi oleh organisme autotrof,
terutama melalui proses fotosintesis. Walaupun cadangan karbon global total
sangat besar (lebih dari 1016 ton), hanya sebagian kecil yang terlibat aktif dalam
siklus karbon.
Mikroorganisme tanah menggunakan komponen sisa organik sebagai subsrat untuk
energi dan sumber karbon dalam sintesis sel baru. Energi yang diberikan ke sel
mikroba melalui oksidasi senyawa organik. Hasil akhir berupa CO2 yang dilepas
kembali ke atmosfer. Secara keseluruhan, dekomposisi (disebut juga respirasi
mikroba atau mineralisasi) merupakan salah satu bagian dari siklus karbon (Gambar
8). Dari pool CO2 atmosfer tanaman dan organisme autotrof lainnya (yakni bakteri
fotosintesis dan khemoautotrof) memfiksasi karbon menjadi bentuk organik. Fiksasi
karbon tersebut diimbangi oleh dekomposisi heterotrofik yang dilakukan oleh
mikroorganisme tanah.
Sumber karbon yang utama adalah CO2 atmosfer yang difiksasi oleh tanaman dan
organisme fotoautotrof lainnya. CO2 atmosfer difiksasi menjadi bentuk karbon
organik penyusun jaringan tanaman melalui reaksi: CO2+H2O CH2O+O2. Jaringan
tanaman kemudian dikonsumsi oleh herbivora. Sisa tanaman merupakan sumber
karbon langsung untuk tanah, sedangkan tubuh hewan herbivora dan limbahnya
merupakan sumber karbon yang tidak langsung. Selain sisa tanaman dan hewan,
beberapa organisme tanah seperti sianobakteri dan beberapa bakteri fotoautotrof
dan khemoautotrof juga memberikan sumbangan karbon ke dalam tanah karena
kemampuannya memfiksasi CO2.
22 E E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah
Selain sumber karbon tersebut di atas, karbon juga dapat masuk ke tanah dalam
bentuk hidrokarbon aromatik polisiklik dari pembakaran bahan bakar fosil dan
dalam bentuk produk industri seperti pestisida. Pada ekosistem yang produktif,
pergantian (turnover) karbon umumnya berjalan cepat. Misalnya, hutan tropika
basah mempunyai pool karbon tanah lima kali lebih besar daripada ekosistem
pertanian. Semakin tidak produktif suatu ekosistem semakin rendah kecepatan
turnover karbon dalam tanah.
Separoh dari karbon organik dalam tanah berada dalam bentuk aromatik, 20%
berasosiasi dengan nitrogen, dan sekitar 30% berada dalam bentuk karbon
karbohidrat, asam lemak, dan karbon alkan. Walaupun karbon organik tanah dapat
dalam berbagai bentuk, secara sederhana karbon organik tanah dapat
dikelompokkan menjadi 3 pool, yakni
(a) karbon tidak larut (insoluble),
(b) karbon larut (soluble), dan
(c) karbon biomasa.
Karbon organik tidak larut menyusun sekitar 90% total kabon organik tanah,
meliputi komponen utama dinding sel tanaman (selulosa dan lignin) dan komponen
utama dinding sel jamur dan eksoskeleton fauna tanah (khitin). Karbon organik
tanah tidak larut ini juga termasuk bahan terlapuk dalam bentuk humus
tanah.
E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah 23
Karbon organik larut sebagai besar dihasilkan oleh akar tanaman dalam bentuk
eksudat akar, oleh organisme lain yang menghasilkan eksudat, dan oleh
dekomposisi enzimatik pada karbon tidak larut dan karbon biomasa. Di dalam
tanah, karbon organik larut ini merupakan substrat antara bagi berbagai mikroba
tanah. Karena cepat diasimilasi oleh mikroba tanah, jumlah karbon organik yang
larut ini bisanya kurang dari 1% total karbon organik tanah. Karbon biomasa terdiri
atas mikroorganisme dan fauna tanah.
Turnover karbon biomasa di dalam tanah terutama dilakukan oleh mikroorganisme
perombak (decomposer), dan juga fauna tanah. Semua bahan organik melalui pool
mikroba dulu sebelum di redistribusikan ke pool lainnya. Oleh karena itu jumlah
pool karbon biomasa ini di dalam tanah hanya berkisar 1-2% total karbon organik
tanah. Meskipun jumlahnya kecil, karbon biomasa berperan penting dalam siklus
karbon dan unsur hara tanah lainnya (Paul dan Voromey, 1980).
Sisa tanaman (tajuk, akar dan eksudat akar) merupakan penyusun utama karbon
yang masuk ke dalam tanah, walaupun mikroba dan fauna tanah juga memberikan
kontribusi pada karbon tanah. Pada saat sisa tanaman masuk ke dalam tanah,
awalnya dekomposisi berjalan dengan cepat dan kemudian berjalan lambat dan
stabil.
Hal ini disebabkan oleh dua faktor, yakni
(a) ada beberapa komponen penyusun jaringan tanaman yang lebih resisten
dibandingkan komponen lainnya, dan
(b) terbentuknya senyawa stabil yang mencegah aktivitas lanjutan oleh mikroba
tanah.
Hasil akhir dekomposisi bahan organik adalah CO2, jika kondisi aerasi tanah cukup
baik (Gambar 9). Oleh karena itu produksi CO2 (evolusi CO2) seringkali digunakan
sebagai indikator kecepatan dekomposisi, walaupun ini tidak akurat karena CO2
juga dapat masuk ke dalam tanah melalui cara lain, misalnya respirasi akar
tanaman.
Dekomposisi karbon organik dalam tanah dilakukan oleh organisme perombak yang
terdiri atas komunitas mikroorganisme dan fauna yang berperan dalam berbagai
macam fungsi dalam ekosistem. Aktivitas organisme perombak menyebabkan
terjadinya dekomposisi bahan organik dalam tanah. Aktivitasnya tergantung pada
jumlah dan kualitas bahan organik, dan faktor fisik, kimia dan iklim mikro yang ada
di dalam subsistem tanah (Swift et al., 1979). Mikroorganisme tanah mengatur
siklus unsur hara dengan cara mempengaruhi proses dekomposisi yang
mempengaruhi pelepasan dan retensi unsur hara. Selain daripada itu, biomasa
mikroorganisme tanah mencerminkan pool bahan organik yang dinamis yang
berfungsi sebagai penyedia unsur hara yang tersedia bagi tanaman (Paul dan Clark,
1989).
24 E E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah
Menurut Swift et al. (1979), dekomposisi sisa tanaman terdiri atas tiga proses yang
berkaitan, yakni pencucian (leaching) senyawa mudah larut, katabolisme (catabolisms)
organisme perombak dan pelumatan (comminution) bahan oleh fauna tanah. Proses
kehilangan awal yang berlangsung sangat cepat disebabkan oleh pencucian. Hujan
yang menimpa sisa tanaman dapat mengkikis senyawa mudah larut hanya dalam
beberapa hari. Jumlah bahan yang terlindi ini bisa mencapi 15% dari bobot kering
serasah hutan. Aktivitas lainnya berlangsung secara biologi dan dapat dipisahkan
antara aktivitas fauna tanah dan mikroorganisme tanah. Mikroorganisme tanah
berperan dalam transformasi kimia selama proses dekomposisi. Aktivitas fauna tanah
merangsang aktivitas mikroorganisme dalam melapuk sisa tanaman menjadi partikel
yang lebih kecil, meningkatkan luas permukaan untuk kolonisasi mikroba dan
menambah permukaan baru untuk kegiatan enzim.
ln (At/A0) = -kt
Dalam kenyataan di lapangan, dekomposisi sisa organik yang kompleks tidak selalu
mengikuti pola reaksi first-order tersebut. Pada keadaan seperti ini, konstanta
kecepatan (k) dapat dihitung ganda, yaitu nilai k untuk fase dekomposisi cepat dan
nilai k untuk fase dekomposisi lambat.
Kualitas Substrat
Jika sisa tanaman tercampur dengan tanah, sekitar sepertiga karbonnya akan hilang
pada tahun petama tetapi kemudian dekomposisi berjalan sangat lambat, jadi
sekitar lima sampai sepuluh tahun kemudian 10-15% karbon sisa tanaman tersisa
dalam tanah (Jenkinson, 1981). Perubahan kecepatan dekomposisi setelah satu
tahun tersebut disebabkan oleh adanya sintesis senyawa humik selama stadium
awal dekomposisi. Dekomposisi menghasilkan konversi atau mineralisasi hara yang
semula terikat dalam bentuk organik menjadi bentuk anorganik, tetapi pada waktu
yang sama senyawa anorganik juga diimobilisasi oleh jaringan mikroba. Secara
umum, kecepatan dekomposisi bahan organik dipengaruhi oleh kelembaban dan
temperatur tanah, dan komposisi sifat fisik dan kimia bahan, yang disebut dengan
kualitas (Swift and Sanchez, 1984). Parameter kualitas yang menyebabkan mudah
tidaknya bahan terdekomposisi antara lain kandungan nisbah C:N, lignin dan
polifenol (Handayanto et al., 1994).
26 E E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah
Iklim
Faktor utama dalam proses pelapukan fisika dan kimia adalah air dan temperatur,
di samping faktor-faktor yang lain. Iklim terutama temperatur dan curah hujan
sangat mempengaruhi jumlah nitrogen dan bahan organik dalam tanah. Rata-rata
kandungan bahan organik dan nitrogen meningkat sampai tiga kali setiap kali
temperatur rata-rata tahunan turun 10oC. Disamping temperatur dan curah hujan,
kelembaban tanah efektif juga mempengaruhi kecepatan dekomposisi dan
mineralisasi bahan organik.
E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah 27
4 NITROGEN
Nitrogen (N) adalah unsur hara esensial yang digunakan dalam jumlah besar oleh
semua bentuk kehidupan. Pertumbuhan tanaman seringkali dibatasi oleh defisiensi
nitrogen dibandingkan dengan defisiensi unsur hara lainya, karena nitrogen
diperlukan tanaman dalam jumlah yang relatif besar dibandingkan dengan unsur
hara lainnya. Sehingga umumnya pupuk nitrogen dibutuhkan dalam jumlah yang
lebih besar dibanding pupuk lainnya.
Fungsi utama nitrogen adalah,
a. bahan penyusun protein,
b. merangsang pertumbuhan vegetatif tanaman dan memberikan tanaman
warna hijau, dan
c. mengatur dan mempengaruhi penggunaan unsur hara lainnya.
Kondisi alami nitrogen bukan sebagai penyusun batuan atau mineral, tetapi
sebenarnya dalam bentuk gas N2 dalam atmosfer; 78% udara yang kita hirup ini
adalah nitrogen. Namun demikian, N2 dalam atmosfer tidak tersedia bagi tanaman.
Molekul N2 mempunyai tiga ikatan dan merupakan molekul diatomik yang paling
stabil. Agar bisa tersedia bagi tanaman, diperlukan kondisi khusus untuk
mengkonversi N2 atmosfer menjadi bentuk yang bisa digunakan tanaman.
Tanaman menyerap nitrogen dalam bentuk anion nitrat dan kation amonium. Nitrat
terutama berupa ion dalam larutan tanah, sedangkan amonium berada dalam bentuk
kation yang dapat dipertukarkan yang diikat oleh koloid tanah, dan hanya sebagian
kecil yang berada dalam larutan tanah.
Setelah diserap, di dalam tanaman amonium langsung digunakan oleh tanaman
tetapi nitrat ditransformasi menjadi amonium dari penggunaan energi yang
dihasilkan fotosintesis. Ion amonium berkombinasi dengan ion karbon untuk
membentuk asam glutamik yang kemudian digunakan oleh tanaman untuk
menghasilkan asam-asam amino. Asam amino digabung bersama membentuk
protein. Protein yang dibentuk berperan untuk mengendalikan proses
pertumbuhan tanaman melalui aktivitas enzimatik. Pasokan nitrogen yang baik
akan menghasilkan pertumbuhan tanaman yang baik dan daun berwarna hijau tua.
Tanaman yang defisiensi nitrogen maka daunnya akan berwarna kekuningan
(klorosis) dan perkembangan sistim perakarannya terhambat sehingga tanaman
tumbuh kerdil (Gambar 11). Namun demikian, kelebihan pasokan nitrogen dapat
menyebabkan tanaman tetap berada dalam fase vegetatif dan menunda
28 E E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah
pembentukan bunga atau buah. Selain itu, pasokan nitrogen yang berlebihan juga
menyebabkan tanaman lunak dan sukulen sehingga tanaman menjadi lebih peka
pada penyakit tanaman tertentu.
Tabel 6. Fraksionasi Klasik nitrogen Organik tanah atas dasar Hidrolisis asam
(Stevenson, 1982)
Bentuk Nitrogen Keberadaan Kisaran
(%)
N tidak larut asam Sebagian besar N aromatik. 10-20
N-amonia NH4+ dapat ditukar plus N amida. 20-35
N-asam amino N protein, N peptida, N amino bebas. 30-45
N- gula amino Dinding sel mkroba. 5-10
Kisaran kandungan nitrogen gula amino pada dinding sel mikroba adalah sama
dengan yang dijumpai untuk nitrogen biomasa mikroba, yakni sekitar 5% dari total
nitrogen tanah. Tujuan fraksionasi nitrogen organik tanah adalah menentukan
fraksi mana yang paling aktif dalam turnover hara. Salah satu metode untuk
mengamati turnover nitrogen organik tanah adalah menambahkan nitrogen
anorganik yang diberi label 15N (isotop stabil) dan diamati bagaimana 15N tersebut
terpisah dari fraksi nitrogen organik tanah. Hasil beberapa penelitian tentang
nitrogen terimobilisasi menunjukkan bahwa asam amino dan fraksi nitrogen yang
dapat dihidrolisa seringkali diperkaya 15N sedangkan fraksi yang tidak larut asam
tidak terlebur dengan 15N.
Hampir semua nitrogen yang digunakan oleh tanaman diduga berasal dari udara,
dimana 4/5 nya adalah berupa dinitrogen (nitrogen gas, N2). Dalam bentuk ini
nitrogen tidak tersedia bagi tanaman dan harus diubah menjadi bentuk amonium atau
nitrat sebelum dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Jadi, ketersediaan unsur hara
nitrogen dalam tanah tergantung ketersediaan ion nitrat dan amonium tersebut.
Nitrogen tanah sangat dinamik dan secara konstan terjadi perubahan antara bentuk
organik dan anorganik. Imobilisasi nitrogen diartikan sebagai serapan bentuk
nitrogen tersedia bagi tanaman (NH4+ dan NO3-) oleh tanaman dan mikroba serta
transformasinya menjadi asam-asam amino dan protein. Bentuk nitrogen ini tidak
lagi tersedia bagi tanaman atau mikroba dan telah di imobilisasi dalam jaringan
tanaman atau mikroba. Kelak senyawa nitrogen organik akan kembali mengalami
E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah 31
proses dekomposisi oleh bakteri, jamur dan organisme lainnya untuk melepaskan
bentuk nitrogen anorganik yang tersedia bagi tanaman (NH4+, NO2- dan NO3-).
Proses dekomposisi dan pelepasan NH4+, NO2- dan NO3- dari jaringan tanaman
dikenal sebagai mineralisasi. Imobilisasi dan mineralisasi merupakan proses yang
terus berjalan di dalam tanah dan umumnya satu sama lain berjalan seimbang.
Artinya, jumlah nitrogen yang dibebaskan ke dalam tanah oleh mineraliasi
(dekomposisi bahan organik) sama dengan jumlah yang diimobilisasi (diserap
tanaman).
Kecepatan dekomposisi bahan organik yang melepaskan N tergantung pada kondisi
yang mempengaruhi kehidupan mikroorganisme perombaknya, yakni suhu tanah,
kelembaban tanah, pH tanah, sistem pengolahan tanah, sistem budidaya, dan
keberadaan unsur hara lainnya. Selain itu, kecepatan proses pelepasan nitrogen
anorganik dari bahan organik juga tergantung dari kualitas (komposisi) bahan itu
sendiri. Faktor yang menentukan baik atau buruknya kualitas; bahan organik dalam
kaitannya dengan penyediaan unsur hara untuk tanaman adalah nisbah C:N, lignin
dan polifenol (Handayanto et al., 1994).
Sisa organik yang mempunyai nisbah C:N tinggi sangat sulit untuk didekomposisi
karena tingginya kandungan karbon. Bahan ini termasuk jerami padi, daun pinus,
tongkol jagung, daun kering, serbuk gergajian. Beberapa bahan tersebut bahkan
mempunyai nisbah C:N yang melebihi 100:1. Senyawa nitrogen organik yang lebih
sulit terdekomposisi termasuk selulosa, lignin, minyak, lemak dan resin. Sisa organik
yang mempunyai nisbah C:N rendah yang umumnya mudah terdekomposisi, antara
lain pupuk kandang, sisa tanaman legum, rumput muda. Stevenson (1986)
menyatakan bahwa agar terjadi mineralisasi, kandungan nitrogen suatu bahan
organik harus lebih dari nilai kritis 1,5%-2,5%; di bawah nilai kritis tersebut akan
terjadi imobilisasi. Janzen dan Kucey (1988) melaporkan bahwa nilai kritis
kandungan nitrogen adalah 1,1%-1,9%.
Sesaat setelah pembenaman sisa organik ke dalam tanah, mikroorganisme tanah
mulai menyerang dan mendekomposisi bahan tersebut. Mikroorganisme tanah
menggunakan komponen karbon sisa organik sebagai sumber energi dan
memerlukan nitrogen tersedia agar dapat membentuk protein untuk tubuhnya.
Terjadi kompetisi antar mikroorganisme terhadap jumlah nitrogen tanah yang
terbatas. Mikroorganisme tidak banya bersaing antar mereka tetapi juga bersaing
dengan tanaman untuk mendapatkan unsur nitrogen. Selama proses dekomposisi,
jumlah nitrogen tanah yang teredia menurun drastis dan karbon dalam bahan
organik dibebaskan dalam bentuk CO2 ke atmosfer.
Pada kondisi lapangan konsep nisbah C:N yang mempengaruhi keseimbangan
mineralisasi-imobilisasi tersebut ternyata tidak dapat diberlakukan secara umum
karena adanya keragaman fraksi organik yang sukar dirombak oleh organisme
tanah. Beberapa peneliti menyatakan bahwa jika suatu bahan organik mempunyai
kandungan lignin yang tinggi, meskipun kandungan nitrogen tinggi atau nisbah C:N
rendah, lignin akan lebih berperan dibandingkan nisbah C:N dalam mempengaruhi
laju dekompisisi dan mineralisasi nitrogen bahan organik tersebut. Makin tinggi
kandungan lignin, makin lemah pengaruh kandungan nitrogen atau nisbah C:N
terhadap laju dekomposisi bahan organik, dan makin besar jumlah nitrogen bahan
organik yang tidak dilepaskan selama proses dekomposisi terjadi (Handayanto et
32 E E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah
al., 1995). Hal ini diduga karena terbentuknya senyawa derivatif N-lignin (Schubert,
1973).
Faktor kualitas lain yang telah terbukti mempengaruhi laju dekomposisi dan
mineralisasi nitrogen bahan organik adalah polifenol. Semakin tinggi kandungan
polifenol dalam bahan organik, maka akan semakin lambat laju dekomposisi dan
pelepasan nitrogen dari bahan organik karena kemampuan protein diikat oleh
polifenol aktif (Handayanto et al., 1997). Polifenol adalah senyawa aromatik
hidroksil yang mempunyai kemampuan membentuk komplek dengan protein
(Haslam, 1989; Handayanto, 1994).
Setelah bahan terdekomposisi, mikroorganisme tidak lagi mempunyai sumber
makanan dan mulai mati. Dekomposisi mikroorganisme yang mati tersebut
kembali melepaskan NH4+ dan NO3- yang tersedia untuk tanaman, demikian
seterusnya.
Proses biologi dapat berperan penting dari waktu ke waktu tergantung pada
kondisi tanah. Proses dapat dipercepat dengan aplikasi sumber nitrogen saat
pencampuran sisa organik untuk mamasok cukup nitrogen untuk mempertahankan
aktivitas mikroorganisme. Dalam proses mineralisasi, senyawa organik komplek
dirombak menjadi senyawa organik sederhana, dan senyawa organik sederhana ini
pada akhirnya kehilangan karbon nya menjadi NH4+ anorganik yang dapat
dikonversi ke NO3-.
Proses mineralisasi berlangsung secara bertahap melalui proses aminisasi,
amonifikasi dan nitrifikasi. Aminisasi dan amonifikasi dilakukan oleh
mikroorganisme heterotrof dan nitrifikasi dilakukan oleh bakteri tanah autotrof.
Organisme heterotrof memerlukan senyawa karbon untuk sumber energinya,
sedangkan organisme autotrof memperoleh enerjinya dari oksidasi garam-garam
organik dan karbon dioksidanya dari udara.
4.4.1. Aminisasi
Mikroorganisme heterotrof dalam tanah sangat beragam meliputi berbagai
kelompok bakteri dan jamur. Tiap kelompok berperan dalam satu atau beberapa
tahap proses dekomposisi bahan organik. Produk akhir dari akitivitas suatu
kelompok mengurangi susbtrat untuk berikutnya dan seterusnya menurun sampai
bahan terdekomposisi. Aminisasi adalah salah satu dari tahap awal dalam
dekomposisi bahan mengandung nitrogen. Protein sederhana dihidrolisa (ikatan
dipecah dan molekul air ditambahkan) untuk membentuk amina dan asam amino.
Prosesnya dapat digambarkan sebagai berikut:
protein = R-NH2 + CO2 + energi + produk lain
4.4.2. Amonifikasi
Amina dan asam amino yang dilepaskan dalam aminisasi digunakan oleh heterotrof
tanah yang lain dan dirombak lebih lanjut menjadi senyawa mengandung amonium.
Proses ini disebut amonifikasi yang dapat digambarkan sebagai berikut:
R-NH2 + HOH = NH3 + R-OH + energi
E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah 33
Amoniak yang dihasilkan melalui proses ini dapat digunakan melalui berbagai cara
di dalam tanah, yaitu dikonversi menjadi nitrit dan nitrat oleh proses nitrifikasi,
digunakan langsung oleh tanaman, digunakan langsung oleh mikroorganisme
tanah, dan diikat / dijerap oleh liat tanah jenis tertentu.
4.4.3. Nitrifikasi
Konversi amonium menjadi nitrat disebut nitrifikasi, yang merupakan proses
oksidasi dan pelepasan energi untuk digunakan mikroorganisme tanah. Proses
nitrifikasi berlangsung dalam dua tahap yang dilakukan oleh dua organisme tanah
yang mengoksidasi amonium menjadi nitrat, dimana nitrogen anorganik berperan
sebagai sumber energi untuk bakteri nitrifikasi. Tahap pertama proses nitrifikasi
adalah oksidasi amonium, konversi amonium menjadi nitrit dilakukan oleh bakteri
pengoksidasi amonium dari genus Nitroso, yang paling dikenal adalah
Nitrosomonas. Prosesnya dapat digambarkan sebagai berikut:
2 NH4+ + 3 O2 = 2 NO2- + 2 H2O + 4 H+
Kemudian nitrit dioksidasi menjadi nitrat oleh bakteri pengoksidasi nitrit dari genus
Nitro, yang paling dikenal adalah Nitrobacter. Prosesnya dapat digambarkan
sebagai berikut:
2 NO2- + O2 = 2 NO3-
NO3- yang dihasilkan sangat mobil di dalam tanah dan mudah hilang dari tanah
melalui pergerakan air ke bawah profil tanah. NO3- merupakan pencemar
lingkungan yang berbahaya jika mencapai permukaan air tanah. Penting untuk
diingat bahwa proses nitrifikasi memerlukan oksigen, yakni berlangsung sebagian
besar pada tanah yang bereaksi baik. Aerasi tanah yang jelek akan menghambat
atau menghentikan proses mineralisasi.
4.5. Denitrifikasi
Denitrifikasi adalah reduksi nitrat tanah menjadi gas N2 dan N2O pada kondisi
anaerob. Gas-gas tersebut kemudian dilepas ke atmosfer. Reaksi denitrifikasi
adalah,
2NO3- + 5 H2 + 2 H+ N2 + 6 H2O
34 E E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah
Nitrogen dapat difiksasi dari atmosfer baik secara alami atau sintesis. Dalam hal
keduanya, gas N2 ditransformasi menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman,
seperti NH4+ or NO3-.
Bakteri dalam nodul memfiksasi N2 dari atmosfer dan membuatnya tersedia bagi
tanaman. Tanaman legum menyediakan karbohidrat yang digunakan bakteri
sebagai sumber energi. Jumlah nitrogen simbiotik yang dapat difiksasi berkisar dari
beberapa kilogram per hektar sampai lebih dari 200 kg per hektar. Dari sisi
pengelolaan unsur hara, sisa tanaman legum sangat bermanfaat digunakan sebagai
pupuk hijau. Selain mengurangi peluang polusi juga mengurangi penggunaan
jumlah pupuk.
Fiksasi nitrogen non simbiotik dilakukan oleh bakteri hidup bebas dan gangang
hijau biru dalam tanah. Jumlah nitrogen yang difiksasi oleh organisme tersebut
lebih kecil dibandingkan dengan jumlah yang difiksasi secara simbiotik.
Nitrogen dapat hilang dari lahan pertanian melalui volatilisasi, pencucian dan
limpasan permukaan, dan pengangkutan hasil panen tanaman.
4 FOSFOR
4.1. Fosfor dalam Tanaman
Jumlah kandungan fosfor (P) dalam tanaman berkisar antara 0,10,46% bobot
kering tanaman, atau sekitar sepuluh kali lebih sedikit dibandingkan N atau K.
Walaupun jumlah fosfor yang diperlukan tanaman lebih sedikit dibandingkan unsur
hara makro lainnya, unsur fosfor sangat penting dalam pertumbuhan awal dan dalam
transfer energi dalam tanaman selama pertumbuhan. fosfor juga penting dalam
berbagai proses biokimia yang mengatur proses fotosintesis, respirasi, pembelahan
sel, dan beberapa proses perkembangan dan pertumbuhan tanaman.
Fosfor berkonsentrasi pada bagian tanaman yang mempunyai pertumbuhan cepat,
terutama pada ujung akar. fosfor mempengaruhi periode pemasakan dan dijumpai
dalam jumlah besar dalam biji dan buah. Defisiensi fosfor menyebabkan tanaman
tumbuh kerdil, perkembangan sistem perakaran buruk; daun tanaman berwarna
keunguan; pemasakan terlambat dan pembentukan buah menjadi buruk (Gambar 14).
Fosfor diserap tanaman dalam bentuk H2PO4- dan HPO4-2. Bentuk yang diserap
tergantung pada pH tanah, HPO4-2 sangat penting pada tanah masam. Di dalam
tanaman, konsentrasi fosfor tertinggi dijumpai pada jaringan paling muda yang aktif
tumbuh. Ketika tanaman menua, Fosfor cenderung bergerak dan lebih terkonsentrasi
dalam biji atau buah. Kecepatan serapan ion fosfat dipengaruhi oleh konsentrasinya di
dalam larutan tanah; konsentrasi optimum berkisar antara 0,07 sampai 0,20 ppm,
tergantung pada tekstur tanah (setara dengan hanya beberapa gram fosfat dalam
38 E E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah
larutan tanah dalam satu hektar dengan kadalaman sekitar 1 m). Karena tanaman
dapat dengan mudah menyerap 10 kg P /ha, maka jumlah fosfor dalam larutan tanah
sangat kecil, maka perlu dilakukan penambahan P. Jika tidak ada faktor pembatas
lainnya, kecepatan pertumbuhan tanaman ditentukan oleh kecepatan penggantian
fosfor yang diangkut dari larutan tanah. Anion fosfat bersifat tidak mobil di dalam
tanah, oleh karena itu ion fosfor harus berada dekat dengan sistem perakaran.
Jumlah fosfor yang diambil oleh tanaman bervariasi tergantung pada jenis tanaman,
tanah, iklim dan tingkat produksi. Serapan fosfor oleh tanaman bijian dan legum kira-
kira < 10kg /ha (produksi rendah sekitar 1 ton kg/ha) sampai 15-35 kg/ha untuk
produksi tinggi (4-8 ton/ha). Tanaman umbian memerlukan fosfor dalam jumlah
tinggi; untuk produksi 8 ton/ha diperlukan sekitar 35-49 kg P/ha. Tebu dan rumput
memerlukan fosfor lebih tinggi lagi, sekitar 20-70 kg P/ha tergantung tingkat
produksinya.
respon pada penambahan P jika derajad larutan tanah kurang dari 0,1-0,2 ppm.
Kandungan P dalam larutan secara konstan tergantikan, sebanyak dua kali per hari
selama periode pertumbuhan. Proses keseimbangan (pertukaran dan pelarutan)
maupun pelapukan bahan organik dan penambahan pupuk memacu pergerakan P
dari cadangan tanah kedalam bentuk larutan.
Meskipun P tidak mudah tercuci dari tanah, P dapat menjadi bahan pencemar
berbahaya pada air permukaan. P dapat memasuki permukaan air melalui erosi
tanah. Meskipun diikat kuat oleh permukaan tanah pada kondisi areasi,
ketersediaan P secara cepat meningkat jika diendapkan dalam air. Jadi erosi tidak
hanya menghasilkan kehilangan tanah subur yang produktif, tetapi juga
berkontribusi pada masalah kualitas air melalui pengkayaan ekosistem yang
berkembang pada kondisi P rendah.
Pupuk P dapat berasal dari berbagai sumber (Tabel 8). P larut air mudah dilarutkan
dalam air. P larut sitrat adalah P tambahan yang diekstrak oleh sitrat. Jumlah P larut
air dan P sitrat disebut P tersedia.
Sisa P setelah ekstrasi dengan air dan sitrat disebut P tidak larut sitrat, dan
meskipun pada akhirnya akan dilepaskan, P ini tidak mudah segera tersedia bagi
tanaman saat tanam. P sebenarnya tidak terjadi dalam bentuk P2O5 dalam pupuk
atau tanah. Sebagian besar literatur sekarang menggunakan persen unsur P (%)
saja. Untuk mengkonversi % P2O5 menjadi %P, dikalikan 0,44.
(a) Jumlah liat: kandungan liat yang meningkat menghasilkan retensi P yang lebih
besar di dalam tanah.
(b) Tipe liat: kaolinit dan oksida besi menahan P lebih banyak dibandingkan liat tipe
2:1
(c) pH tanah: menentukan bentuk P, dan aras Al, Fe dan Ca dalam larutan tanah.
Juga mempengaruhi pH dependent charge.
(d) Kandungan P tanah: tanah dengan kandungan P tinggi pada akhirnya akan
dijenuhi kisi ikatan dan cenderung melepaskan konsentrasi P yang lebih tinggi ke
larutan tanah
(e) Temperatur: pada temperatur tinggi dan rendah, kemampuan tanaman untuk
menyerap P menurun
(f) Pemadatan: menghambat penetrasi akar dan volume tanah yang kontak dengan
sistem perakaran
(g) Aerasi: aerasi jelek dan tanah berdranase jelek dapat menghambat
perkembangan sistem perakaran
(h) Kelembaban: kelembaban rendah menghambat pergerakan P dan
mempengaruhi perkembangan tanaman, kelemababan berlebihan
mempengaruhi perakaran dan memdatasi serapan P
(i) Waktu dan metode aplikasi: meningakatnya waktu kontak meningkatkan jumlah
P yang ditahan oleh tanah dalam bentuk tidak tersedia. Pada tanah dengan
retensi P tinggi, aplikasi lajur dapat meningkatkan ketersediaan P untuk
tanaman jika kandungan P tanah rendah. Jika tingkat kesuburan tanah
meningkat, penempatan alur kurang bermanfaat, walaupun pupuk awal
seringkali menghasilkan perbaikan hasil tanaman karena perbaikan
perkembangan tanaman. Aplikasi dengan cara sebar lebih cepat dan murah,
tanpa merusak tanaman, dan dapat menghasilkan pencampuran lebih baik
dalam seluruh daerah perakaran yang kemudian dapat meningkatkan
kedalaman perakaran.
(j) Kelarutan dan/atau ukuran partikel: Retensi cenderung meningkatkan seperti
jika kelarutan meningkat dan ukuran partikel pupuk yang diaplikasikan menurun
(k) Pembenaman atau aplikasi di permukaan tanah: P yang diaplikasi di permukaan
biasanya merupakan metode penempatan P yang kurang efisien. Pembenaman
melalui lapisan bajak dapat meningkatkan kedalaman perakaran dan serapan
yang lebih efektif. Pada kondisi tanpa olah tanah, pembenaman tidak mungkin
dilakukan. Oleh karena itu membangun kandungan P yang bagus sebelum
memulai sistem tanpa olah tanah sangat direkomendasikan.
P tersedia adalah P larut yang dapat memasuki larutan tanah dan diserap oleh
tanaman. Sebagian besar P dalam tanah berada dalam bentuk tidak larut (disebut P
tidak tersedia), dan akan tetap tidak tersedia selama tetap dalam bentuk tidak larut.
Dua macam ketidak-tersediaan P, yakni (a) bentuk organik, dan (b) bentuk anorganik.
P tidak tersedia dalam bentuk organik berada dalam bentuk senyawa organik
(termasuk yang berada dalam humus) dan akan menjadi tersedia jika mengalami
E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah 41
Fiksasi adalah proses-proses dalam tanah dimana unsur yang tersedia menjadi tidak
tersedia bagi tanaman. Dalam kaitannya dengan P, fiksasi terdiri atas transformasi P
tersedia menjadi bentuk kalsium, aluminium atau besi fosfat yang tidak larut. Pada
tanah berkapur, ion fosfat berada dalam bentuk kalsium dan magnesium fosfat yang
tidak larut. Dalam tanah yang mengandung kalsium karbonat bebas, dikalsium fosfat
atau apatit dapat diendapkan di luar permukaan partikel kalsium karbonat atau
konkresi. Pada tanah-tanah tropika, oksida besi dan aluminium umumnya bereaksi
dengan P untuk membentuk aluminium dan besi fosfat. Senyawa ini kemudian di
endapkan dalam bentuk partikel kecil atau film, atau dijerap pada permukaan oksida
besi dan oksida aluminium, atau pada permukaan partikel liat. Oksida besi dan
42 E E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah
aluminium sangat berkait dengan mineral liat kaolinit, dan dalam keadaan ini fiksasi P
meningkat dengan meningkatnya kandungan liat dalam tanah.
Fiksasi juga berkaitan dengan tekstur; fiksasi pada tanah bertekstur berat (banyak
mengandung liat) lebih besar dibandingkan tanah tanah bertekstur ringan. Pada tanah
masam dengan pH di bawah 5,5, keberadaan aluminium menambah kemungkinan
terjadinya fiksasi fosfat (Gambar 15). Jika fosfat monomerik yang larut ditambahkan
ke dalam tanah, misal sebagai pupuk superfosfat, akan bereaksi dengan aluminium
dapat ditukar untuk membentuk aluminium fosfat Al(OH)2H2PO4. Beberapa fosfat yang
di fiksasi biasanya akan dapat menjadi tersedia dalam waktu yang sangat lama. Pada
tanah masam, ketersediaan P dapat dipercepat dengan pengapuran yang memadai.
Fosfat juga dapat dilepaskan jika tanah digenangi, seperti halnya pada padi sawah.
5 KALIUM
5.1. Kalium dalam Tanaman
Kalium (K) diperlukan oleh tanaman dengan jumlah yang hampir sama dengan N. K
sangat esensial untuk pembentukan dan transfer karbohidrat dalam tanaman, dan
untuk fotosintesis serta sintesis protein. K diserap oleh tanaman dalam bentuk kation
K+, yang dijerap oleh koloid tanah (liat dan bahan organik) bersama dengan kation
lainnya yang dapat ditukar. Rambut akar menyerap kation K dari larutan tanah, atau
langsung dari koloid tanah.
Sebagian besar fungsi K dalam tanaman adalah tidak langsung dimana K diperlukan
untuk reaksi kimia lainnya agar berlangsung dengan baik. Sekitar 60 enzim
memerlukan keberadaan K, dengan konsentrasi K yang tinggi dijumpai pada titik
pertumbuhan aktif dan biji muda. Kalium tidak membentuk senyawa organik
dengan tanaman, tetapi tetap berada dalam bentuk K+. Tanaman menggunakan K
dalam fotosintesis, dalam pengangkutan karbohidat, dalam pengaturan air, dan
dalam sintesis protein.
Defisiensi K, terutama jika N rendah, menyebabkan tanaman kerdil, daun menjadi
kecil, berwarna kelabuan (Gambar 16), dan mati secara prematur mulai dari ujung
daun; ukuran buah dan biji menjadi lebih kecil.
Ketersediaan K tanah tergantung pada jenis dan jumlah mineral tanah yang ada di
dalam tanah.. Secara umum, K dalam tanah dapat dibedakan menjadi tiga bentuk,
yakni K tidak tersedia, K lambat tersedia, dan K tersedia.
5.2.3. K tersedia
K tersedia adalah K yang dapat segera diserap tanaman, berada dalam bentuk ion K+. K
tersedia meliputi adalah: kation K yang dijerap oleh koloid tanah, ion K dalam larutan
tanah, dan K dalam bentuk larut. Pengamatan jumlah K di dalam tanah biasanya
dilakukan dengan mengukur kadar K dapat ditukar.
Perbedaan antara K tersedia, tidak tersedia dan lambat tersedia tidak jelas, dan ada
kecenderungan K untuk berubah dari satu bentuk ke bentuk lainnya dalam upaya
mencapai keseimbangan. Dalam kenyataan ini berarti bahwa jika tanaman mengambil
K tersedia, ada kecenderungan K untuk bergerak dari lambat tersedia menjadi bentuk
yang tersedia untuk menjaga keseimbangan; hal yang sama K bentuk tidak tersedia
berubah menjadi bentuk lambat tersedia sebagai akibat serapan K oleh tanaman.
Pada sebagian besar tanah, K tidak mudah dipindahkan. Perpindahan atau
pergerakan K terutama melalui proses difusi. Jika dibandingkan dengan nitrat N, K
kurang mobil, tetapi lebih mobil daripada P. Pada tanah-tanah berpasir dengan KTK
rendah, Kalium dapat digerakkan melalui proses aliran massa, dan kehilangan dari
tanah permukaan akan terjadi, terutama setelah hujan lebat.
Perilaku K yang ditambahkan tergantung pada KTK dan mineral liat tanah. K dapat
tercuci dari daerah perakaran sebelum sempat berinteraksi dengan padatan tanah,
atau dapat ditukar dengan kation lain pada komplek pertukaran, dan dapat ditahan
dalam bentuk tersedia untuk tanaman. Jika di dalam tanah terdapat vermikulit atau
montmorilonit yang bermuatan kuat, K dapat difiksasi dalam daerah antar lapisan
lempeng liat tipe 2:1, dan secara pelahan dilepaskan ketika mineral liat mengalami
pembasahan dan pengeringan.
E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah 45
Kemampuan tanaman menyerap K tersedia bervariasi tergantung sifat dan ciri tanah
dan tergantung kation lain yang ada di dalam tanah. Tanah dengan KTK rendah lebih
cepat menyediakan K dibanding KTK tinggi. Jika 0.1 me K dapat ditukar ditahan oleh
tanah dengan KTK 10 me/100 g tanah, maka persen kejenuhannya hanya 1%, dan
tanah akan mengalami defisiensi K. Jika 0.1 me K dapat ditukar ditahan oleh tanah
dengan KTK 5 me/100 g tanah, maka persen kejenuhan K adalah 2%, yang nampaknya
cukup untuk menyediakan kebutuhan tanaman.
Walaupuan K tidak banyak menyebabkan masalah lingkungan, dari sisi ekonomi
sangat bermanfaat untuk melakukan pengelolaan yang benar untuk meminimalkan
kehilangan K. Kehilangan K dapat diminimalkan dengan menerapkan praktek
pengendalian erosi yang baik dan benar, mempertahankan pH yang baik untuk
meningkatkan KTK tanah, mengembalikan sisa organik, dan menggunakan aplikasi
terpisah untuk mengurangi kehilangan melalui pencucian pada tanah-tanah dengan
KTK rendah.
Sumber utama K dalam tanah adalah mineral yang mengandung K, terutama kalium
feldspar, penyusun batuan beku dan mika. K dalam mineral tersebut dilepaskan jika
mineral mengalami pelapukan kimia. Pada saat terjadi pelapukan, K dibebaskan
sebagai ion K dan kemudian
(a) diserap oleh tanaman atau organisme tanah, atau
(b) hilang melalui air yang memasuki tanah, atau
(c) ditahan oleh kisi pertukaran kation pada koloid tanah, atau
(d) dikonversi menjadi bentuk tidak tersedia.
Sumber K lainnya berasal dari luar tanah, yaitu berupa pupuk K, diantaranya kalium
klorida (60% K2O), kalium sulfat (50% K2O), kalium magnesium sulfat (22% K2O),
kalium nitrat (44% K2O), dan pupuk kandang (1-2% K2O) (Tabel 9). Kandungan K
dalam pupuk biasanya dinyatakan dalam K2O walaupun K tidak berada dalam
bentuk ini di dalam pupuk. Untuk mengitung jumlahnya cukup mengalikan K
dengan 1,2; untuk menghitung jumlah K dari K2O, dikalikan 0,83.
Kalsium (Ca) adalah komponen struktur dinding sel tanaman dan dijumpai dalam
jumlah besar pada daun. Kebutuhan tanaman akan Ca sangat bervariasi. Ca terlibat
dalam pertumbuhan sel, dan juga memacu serapan N nitrat. Karena Ca tidak
ditranslokasikan dalam tanaman, maka pasokan yang cukup selama musim tanam
sangat penting untuk mempertahankan pertumbuhan tanaman dan akar.
Defisiensi Ca menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tunas dan ujung akar,
sehingga tanaman menjadi kerdil (Gambar 17). Gejala pada daun sangat bervariasi.
Karena Ca bersifat tidak mobil dalam tanaman, tanaman yang kekurangan Ca
menghasilkan pertumbuhan daun muda yang tidak normal.
Sulfur (S) merupakan salah satu komponen biokimia tanaman yang mengatur
pertumbuhan tanaman. Unsur S sangat diperlukan dalam sintesis klorofil dan dalam
reaksi fotosintesis. Bersama-sama dengan Mg, S berperan dalam pembentukan
minyak dalam biji tanaman.
Gejala defisiensi S ditandai dengan wana daun yang hijau pucat sampai kuning
bersama-sama dengan tubuh tanaman yang pendek dan lemah. Gejala defisiensi S
48 E E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah
sama dengan gejala defisiensi N, tetapi gejala defisiensi N terjadi di dekat bagian
bawah tanaman sedangkan gejala defisiensi S di bagian atas tanaman.
Tanaman menyerap S terutama dalam bentuk anion sulfat (SO42-) melalui akar;
tanaman juga dapat menyerap molekul-molekul mengandung S, misal asam amino.
Daun tanaman dapat menyerap sulfur dioksida (SO2) langsung dari atmosfer
Jumlah S yang digunakan oleh tanaman sangat berbeda tergantung berbagai faktor.
Kebutuhan S yang tinggi umumnya terjadi pada tanaman legum dan tanaman
penghasil minyak (misalnya kacang tanah). Kebutuhan S yang rendah umumnya
terjadi pada tanaman bijian dan rumput. Efisiensi tanaman dalam hal mengekstrak S
dari tanah juga berbeda antara satu dengan lainnya; tanaman rumput yang memiliki
sistem akar berserabut, memiliki kemampuan ekstraksi S lebih baik dibanding
leguminosa.
Tambahan S tahunan yang diperlukan untuk perbaikan pertumbuhan tanaman sangat
bervariasi tergantung pada: (a) sifat dan ciri tanah serta jumlah S yang dilepaskan, (b)
apakah curah hujan menyebabkan pencucian tanah, (c) jumlah yang diangkut oleh
tanaman, dan (d) apakah S dikembalikan dalam bentuk sisa tanaman.
S dapat merupakan faktor pembatas pertumbuhan tanaman di daerah tropika. Jumlah
S yang di serap oleh tanaman kira-kira sebanding dengan P. S adalah unsur esensial
yang pada umumnya berasosiasi dengan sintesis protein. S banyak dijumpai pada
minyak tanaman, termasuk yang berasal dari kacang tanah. Jika S merupakan faktor
pembatas, maka nitrat dapat berakumulasi di jaringan tanaman dan tidak dapat
digunakan untuk pembentukan protein. Defisiensi S dalam tanaman menunjukkan
gejala sama dengan N (Gambar 19).
Mangan (Mn) diserap oleh akar dalam bentuk Mn2+, dan juga dalam bentuk khelat
organik. Bentuk-bentuk tersebut juga dapat diserap oleh daun. Di dalam tanaman, Mn
berkaitan dengan aktivasi berbagai enzim tanaman. Mn juga bersifat racun jika
konsentrasi melebihi tingkatan tertentu. Tingkat meracuni umumnya terjadi pada
tanah dengan pH < 5.5, karena Mn menjadi sangat larut. Kelarutan Mn juga meningkat
jika Mn4+ direduksi menjadi Mn2+ pada kondisi drainase tanah yang jelek. Tanaman
yang kekurangan Mn akan menampakkan harus-haris kuning pada daun bagian atas
(Gambar 20).
Seng (Zn) diserap oleh akar tanaman dalam bentuk kation Zn2+, dan seperti halnya Fe,
Mn dan Cu, Zn juga dapat diserap dalam bentuk khelat organik. Zn di dalam tanaman
berperan sebagai aktivator berbagai enzim tanaman. Defisiensi Zn umumnya terjadi
pada tanah kalkareous, tetapi dapat juga terjadi pada tanah masam yang diberikan
pengapuran berlebihan, atau jika pH tanah meningkat secara temporer akibat praktek
pembakaran sisa tanaman. Zn juga dapat bersifat racun bagi tanaman jika berada
dalam jumlah cukup tinggi di dalam tanah. Defisiensi Zn dalam tanah menyebabkan
muncuknya klorosis pada daun muda (Gambar 21).
52 E E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah
Tembaga (Cu) diserap oleh akar tanaman dan oleh daun dalam bentuk Cu2+, dan
dalam bentuk khelat Cu, atau diberikan dalam bentuk pupuk daun yang disemprotkan.
Cu juga berperan penting sebagai aktivator berbagai enzim tanaman. Defisiensi Cu
umumnya terjadi pada tanah organik, termasuk gambut. Gejala defisiensi ditunjukkan
oleh daun muda yang berwrna kuning dan tanaman tumbuh kerdil. Pada tanaman
sayuran, defisiensi Zn menyebabkan tanaman layu dan mucul warna hijau kebiruan
(Gambar 22).
Besi (Fe) diserap oleh akar tanaman dalam bentuk ion Fe2+ atau Fe3+, walaupun Fe2+
lebih aktif dalam metabolisme tanaman dibandingkan Fe3+. Fe juga dapat diserap akar
tanaman dalam bentuk senyawa organik yang dikenal sebagai 'khelat', dan diserap
oleh daun tanaman akibat pemberian pupuk daun. Fe merangsang aktivitas enzim-
enzim yang terlibat dalam produksi khlorofil. Defisiensi Fe umumnya terjadi pada
tanah alkalin dan tanah kalkareous, terutama dalam kondisi yang berdrainase baik
(Gambar 23).
E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah 53
Boron (B) diserap oleh tanaman dalam berbagai bentuk anion, termasuk B4O72-, H2BO3-
, HBO32-, dan BO33-. Namun demikian, fungsinya di dalam tanaman belum diketahui
dengan jelas. Defisiensi B menyebabhan terhambatnya pertumbuhan tanaman.
Pertumbuhan tunas terhambat (Gambar 24).
Khlorin (Cl) telah diketahui sebagai salah satu unsur hara esensial, diperlukan dalam
jumlah sangat kecil. Namun demikian fungsinya dalam tanaman masih belum
diketahui dengan jelas. Kelebihan Cl dapat memberikan pengaruh yang buruk
terhadap beberapa jenis tanaman, terutama tembakau dan kentang (Gambar 25).
54 E E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah
Gejala defisiensi ditunjukkan oleh terhambatnya pertumbuhan akar, teiapi sulit dilihat
di lapangan.
Molibdenum (Mo) diserap oleh tanaman dalam bentuk anion MoO42-. Mo berbeda
dengan unsur mikro lainnya dalam hal ketersediaanya yang lebih besar pada tanah
alkalin dibandingkan pada tanah masam. Mo diperlukan oleh tanaman dalam jumlah
sangat kecil untuk reduksi N dan sintesis protein. Mo diperlukan oleh bakteri
Rhizobium untuk fiksasi N, sehingga tanaman legum pada tanah masam seringkali
diberi tambahan unsur ini. Gejala defisiensi Mo pada tanaman mirip dengan gejala
defisiensi N, yaitu terjadi khlorosis pada daun (Gambar 26).
Bahan organik tanah merupakan penimbunan dari sisa-sisa tanaman dan hewan
yang sebagian telah mengalami pelapukan dan pembentukan kembali. Bahan
organik tanah tersebut berada dalam pelapukan aktif dan menjadi mangsa
serangan organisme tanah. Sebagai akibatnya bahan organik tanah berubah terus
sehingga harus selalu diperbaharui melalui penambahan sisa-sisa tanaman atau
hewan.
Sumber primer bahan organik adalah jaringan tanaman berupa akar, batang,
ranting, daun, dan buah. Bahan organik dihasilkan oleh tumbuhan melalui proses
fotosintesis sehingga unsur karbon merupakan penyusun utama dari bahan organik
tersebut. Unsur karbon ini berada dalam bentuk senyawa-senyawa polisakarida,
seperti selulosa, hemiselulosa, pati, dan bahan- bahan pektin dan lignin. Selain itu N
merupakan unsur yang paling banyak terakumulasi dalam bahan organik karena
merupakan unsur yang penting dalam sel mikroba yang terlibat dalam proses
perombakan bahan organik tanah. Jaringan tanaman ini akan mengalami
dekomposisi dan akan terangkut ke lapisan bawah serta diinkorporasikan dengan
tanah. Tumbuhan tidak saja sumber bahan organik, tetapi sumber bahan organik
dari seluruh makhluk hidup. Sumber sekunder bahan organik adalah fauna. Fauna
terlebih dahulu harus menggunakan bahan organik tanaman setelah itu barulah
menyumbangkan pula bahan organik. Bahan organik tanah selain dapat berasal dari
jaringan asli juga dapat berasal dari bagian batuan.
Perbedaan sumber bahan organik tanah tersebut akan memberikan perbedaan
pengaruh yang disumbangkannya ke dalam tanah. Hal itu berkaitan erat dengan
komposisi atau susunan dari bahan organik tersebut. Kandungan bahan organik
dalam setiap jenis tanah tidak sama. Hal ini tergantung dari beberapa hal yaitu; tipe
vegetasi yang ada di daerah tersebut, populasi mikroba tanah, keadaan drainase
tanah, curah hujan, suhu, dan pengelolaan tanah. Komposisi atau susunan jaringan
tumbuhan akan jauh berbeda dengan jaringan binatang. Pada umumnya jaringan
binatang akan lebih cepat hancur daripada jaringan tumbuhan. Jaringan tumbuhan
sebagian besar tersusun dari air yang beragam dari 60-90% dan rata-rata sekitar
75%. Bagian padatan sekitar 25% dari hidrat arang 60%, protein 10%, lignin 10-30%
dan lemak 1-8%. Ditinjau dari susunan unsur karbon merupakan bagian yang
terbesar (44%) disusul oleh oksigen (40%), hidrogen dan abu masing-masing sekitar
8%. Susunan abu itu sendiri terdiri dari seluruh unsur hara yang diserap dan
diperlukan tanaman kecuali C, H dan O.
56 E E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah
8.2.1. Humus
Humus merupakan komponen bahan organik mati yang tertinggal setelah
pemisahan bahan makroorganik atau fraksi ringan, umumnya disebut humus.
Humus biasanya berwarna gelap dan dijumpai terutama pada lapisan tanah atas.
Definisi humus yaitu fraksi bahan organik tanah yang kurang lebih stabil, sisa dari
sebagian besar residu tanaman serta binatang yang telah terdekomposisikan.
Humus merupakan bentuk bahan organik yang lebih stabil, dalam bentuk inilah
bahan organik banyak terakumulasi dalam tanah. Humus memiliki kontribusi
terbesar terhadap durabilitas dan kesuburan tanah. Humuslah yang aktif dan
bersifat menyerupai liat, yaitu bermuatan negatif. Tetapi tidak seperti liat yang
kebanyakan kristalin, humus selalu amorf (tidak beraturan bentuknya).
Humus merupakan senyawa rumit yang agak tahan lapuk (resisten), berwarna
coklat, amorf, bersifat koloidal dan berasal dari jaringan tumbuhan atau hewan
yang telah diubah atau dibentuk oleh berbagai mikroorganisme. Humus
mengandung senyawa-senyawa humik dan non-humik. Senyawa non-humik
menyusun sekitar 30% humus yang terdiri atas senyawa-senyawa organik yang
telah diketahui jelas seperti, karbohidrat, lipida, asam-asam organik, pigmen dan
protein. Senyawa humik yang merupakan penyusun utama dari bahan organik
tanah telah dipelajari secara intensif. Namun demikian, karena kompleksitas
molekul dan heterogenitas dan polidispersitas molekulnya, sampai saat ini masih
belum diperoleh gambaran yang jelas tentang struktur kimia senyawa humik.
E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah 57
Tabel 11. Klasifikasi bahan organik tanah berdasarkan pool fungsi, waktu turnover
dan komposisinya berdasarkan estimasi perhitungan komputer model
CENTURY (Parton et. al., 1987).
Pool fungsi Waktu Komposisi Nama lain
turnover (th.)
Bahan 0.1 0.5 isi sel (cellular contents), sisa tanaman
Metabolik selulose atau hewan
Bahan 0.3 2.1 lignin, polifenolik sisa tanaman
Struktural
Pool Aktif 0.2 1.4 biomass microbia, karbohidrat fraksi labil
dapat larut, enzim eksoselular
Pool Lambat 8 50 BO berukuran partikel
(Particulate organik matter,
berukuran 50 m -2.0 mm)
Pool Pasif 400 2200 asam-asam humik, fulvik, substansi
kompleks organo-mineral humus
gula, asam amino, polifenol dan lignin. Jadi boleh dikatakan bahwa humus adalah
produk akhir dekomposisi bahan organik oleh mikroba.
Tahannya susbstansi humik terhadap dekomposisi adalah dikarenakan konfigurasi
fisik maupun struktur kimia yang sulit dipecahkan oleh mikroba. Substansi ini secara
fisik terikat kuat dengan liat atupun koloidal tanah, dapat juga dikarenakan letaknya
di dalam agregat mikro (Hassink, 1995; Matus, 1994) dan ditambah lagi dengan
adanya hifa ataupun akar-akar halus. Kontribusi substansi humik terhadap
ketersediaan hara masih belum banyak data penelitian tersedia, dikarenakan
terlalu panjangnya waktu turnover nya.
Namun demikian pool stabil dari bahan organik ini tetap memegang peranan
penting sebagai biological ameliorant terhadap unsur beracun bagi tanaman, juga
sangat berperan dalam pembentukan agregat tanah dan pengikatan kation dalam
tanah. Peranan sebagai pengikat kation lebih diutamakan artinya pada tanah-tanah
masam dimana bahan organik tanah merupakan satu-satunya fraksi tanah
bermuatan positif.
Seperti diketahui bahan organik tanah tersusun dari berbagai komponen baik yang
masih hidup maupun yang sudah mati. Hasil berbagai penelitian menunjukkan
bahwa C-organik hidup sekitar 4% dari total C tanah, terutama terdiri atas akar-akar
halus, mikroba fauna tanah. C-organik mati terutama terdiri atas seresah pada
permukaan tanah (surface litter), seresah akar, sisa-sisa metabolik mikrorganisme
dan substansi humik. C-organik hidup dan C-organik mati saling berinteraksi,
termasuk juga organisme saprofit yang membutuhkan C-organik mati untuk
kebutuhan metabolismenya.
berdasarkan berat jenis dapat dilakukan dengan menggunakan bahan suspensi silikat
LUDOX yang mempunyai berat jenis (BJ) 1,8 g/cm3 dan dapat dibedakan menjadi:
(a) fraksi ringan, merupakan bahan yang telah atau hanya sebagian
terdekomposisi, BJ <1,13 g/cm3
(b) fraksi sedang: sebagian terdiri atas humus, BJ 1,13-1,37 g/cm3
(c) fraksi berat: bahan organik yang terjerap oleh partikel liat dalam bentuk
organo mineral, bersifat amorf, BJ >1,37 g/cm3.
Fraksi kasar terutama tersusun dari seresah tanaman (plant debris) yang memiliki
nisbah C:N tinggi, fraksi yang bertekstur halus kebanyakan bahan organik yang telah
dilapuk lanjut dan berasosiasi dengan debu dan liat.
Prinsip penetapan fraksi bahan organik tanah berdasarkan ukuran partikel adalah
menentukan jumlah absolut dan proporsi relatif C dan N dari partikel organik dalam
tanah. Fraksi bahan organik tanah berukuran pasir (50 m-2,0 mm) biasanya lebih labil
daripada bahan organik tanah berukuran liat atau debu (Tiesen and Steward, 1983).
Bahan organik tanah yang mempunyai ukuran pasir selanjutnya oleh Cambardella and
Elliot (1992) disebut dengan bahan organik berukuran partikel (Particulate Organik
Matter = POM).
Teknik radioisotop 14C, dapat merunut (tracing) umur bahan organik tanah; dengan
isotop stabil 13C dapat membedakan asal bahan organik tanah, dari tanaman
bertipe C3 atau C4 (rantai fotosintesis): contoh tipe C3 adalah tanaman hutan,
pohon leguminosa; tipe C4: tebu, jagung.
Diantara sekian banyak faktor yang mempengaruhi kadar bahan organik tanah,
faktor yang penting adalah kedalaman tanah, iklim, tekstur tanah dan drainase
yang saling berkaitan. Kedalaman lapisan menentukan kadar bahan organik dan N.
Kadar bahan organik terbanyak ditemukan di lapisan atas setebal 20 cm (15-20%).
Semakin ke bawah kadar bahan organik semakin berkurang. Hal itu disebabkan
akumulasi bahan organik memang terkonsentrasi di lapisan atas.
Faktor iklim yang berpengaruh adalah suhu dan curah hujan. Makin ke daerah
dingin, kadar bahan organik dan N makin tinggi. Pada kondisi yang sama kadar
bahan organik dan N bertambah 2 hingga 3 kali tiap suhu tahunan rata-rata turun
100C. bila kelembaban efektif meningkat, kadar bahan organik dan N juga
bertambah. Hal itu menunjukkan suatu hambatan kegiatan organisme tanah.
Tekstur tanah juga cukup berperan, makin tinggi jumlah liat maka makin tinggi
kadar bahan organik dan N tanah, bila kondisi lainnya sama. Tanah berpasir
memungkinkan oksidasi yang baik sehingga bahan organik cepat habis. Pada tanah
dengan drainase buruk, dimana air berlebih, oksidasi terhambat karena kondisi
aerasi yang buruk. Hal ini menyebabkan kadar bahan organik dan N tinggi daripada
tanah berdrainase baik. Disamping itu vegetasi penutup tanah dan adanya kapur
dalam tanah juga mempengaruhi kadar bahan organik tanah. Vegetasi hutan akan
berbeda dengan padang rumput dan tanah pertanian.
E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah 61
Bahan organik tanah adalah salah satu kunci keberhasilan sistim pertanian
berkelanjutan Untuk produksi berkelanjutan perlu dipertahankan kandungan bahan
organik tanah sekitar 2%, tetapi pada daerah tropika kandungan bahan organik
umumnya kurang dari 2% karena cepatnya proses dekomposisi.
Telah lama diketahui bahwa salah satu dari yang terpenting dan paling banyak
diteliti adalah tentang kontribusi bahan organik tanah terhadap kesuburan tanah.
Unsur hara dijebak atau dilepas dari bahan organik tanah melalui dua proses utama
yakni
(a) proses biologi yang mengendalikan penyimpanan dan pelepasan N, P dan S
karena unsur tersebut terkandung dalam satusn struktural bahan organik
tanah, dan
(b) proses kimia yang mengendalikan interaksi dengan kation-kation unsur hara
makro dan mikro (Ca, Mg, K, Fe, Cu, Zn dan Mn).
Bahan organik tanah memiliki peranan kimia di dalam menyediakan N, P dan S
untuk tanaman peranan biologis di dalam mempengaruhi aktivitas organisme
mikroflora dan mikrofauna, serta peranan fisik di dalam memperbaiki struktur
tanah dan lainnya. Hal ini akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman yang
tumbuh di tanah tersebut. Besarnya pengaruh ini bervariasi tergantung perubahan
pada setiap faktor utama lingkungan.
Beberapa peran penting bahan organik tanah terhadap kesuburan tanah adalah:
(a) penyedia unsur hara (melalui dekomposisi dan mineralisasi),
(b) pemacu aktivitas mikroorganisme tanah dan fauna tanah, sehingga
memperbaiki agregasi tanah dan mengurangi resiko erosi,
(c) pengikat unsur-unsur beracun pada tanah masam, misal Al, dan
(d) meningkatkan kapasitas penyangga tanah; kaitannya dengan efisiensi
penggunaan unsur hara (termasuk pupuk).
62 E E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah
9.1. pH tanah
Asam adalah senyawa yang dapat memberikan proton (H+) ke senyawa lainnya.
Beberapa contoh umum adalah asam muriatik atau asam klorida (HCl) yang
merupakan asam kuat, dan cuka (asam asetat) yang merupakan asam lemah.
Basa adalah senyawa yang dapat menerima H+. Jika ditempatkan dalam air, suatu
asam mengalami ionisasi menjadi hidrogen (H+) dan anion asosiasinya, seperti
contoh di bawah ini disosiasi asam klorida:
HCl H+ + Cl- .
Jumlah H+ adalah kemasaman aktif yang ada. Pada asam kuat, semua senyawa
dapat mengalami ionisasi dan melapaskan H+. Pada asam lemah, inonisasi hanya
terjadi pada sebagian asam yang ada. Hidrogen tidak larut dalam senyawa seperti
cuka dapat memberikan 99% asam, yang disebut kemasaman potensial, sedangkan
yang aktif hanya 1%.
pH adalah ukuran konsentrasi H+ aktif dalam larutan tanah, dan menunjukkan
kemasaman atau kebasaan relatif. Keadaan netral terjadi pada pH 7,0. Nilai di atas
7,0 adalah basa, sedangkan nilai di bawah 7,0 adalah asam. Skala pH bersifat
logaritmik, yang berarti bahwa tiap unit mempunyai 10 kali lipat peningkatan
kemasaman atau kebasaan. Sebagai gambaran, nilai pH 6,0 adalah 10 kali lipat lebih
asam dibandingkan nilai pH 7,0, dan pH 5,0 adalah 100 kali lebih asam dari pH 7,0.
Semakin banyak H+ yang ditahan dalam tanah, semakin tinnggo kemasaman tanah.
Pada tanah-tanah pertanian, N atau S bentuk organik dan beramoniak dikonversi
menjadi nitrat atau sulfat oleh mikroorganisme dan melepaskan asam.
Penambahan asam dan pencucian dapat menyebabkan pelarutan mineral ketika pH
menurun. Hal ini kemudian melepaskan kation seperti Al3+, Mn2+ dan Fe3+ yang
dapat bereaksi dengan air untuk melepaskan kation H atau mengganti kation-kation
basa pada komplek pertukaran. Kation-kation basa yang digantikan tersebut
kemudian diserap oleh tanaman, atau tercuci, dan kejenuhan basa menjadi rendah.
Tanah berperan sebagai asam lemah, dengan hanya sebagian kecil potensial
kemasamannya dalam bentuk aktif. Jumlah H+ sebenarnya yang ada dalam larutan
tanah merupakan bagian sangat kecil dari kemasaman total sampai pH kurang dari
E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah 63
Ketersediaan unsur hara sangat terkait dengan aktivitas H, atau pH dalam larutan
tanah. Menurunnya pH tanah secara langsung meningkatkan kelarutan Mn, Zn, Zu
dan Fe. Pada pH kurang dari sekitar 5,5, tingkat meracun dari Mn, Zn or Al
bertambah. Ketersediaan N, K, Ca, Mg dan S cenderung menurun dengan
menurunnya pH.
Pengaruhnya pH pada P dan B tidak langsung, karena ketersediaan unsur ini
tergantung pada pembentukan senyawa kurang larut dengan Al, Fe, Mn dan Ca,
yang dipengaruhi oleh pH. Sebagai akibatnya, ketersediaan P dan B menurun, baik
pada pH tinggi maupun rendah dengan ketersediaan maksimum pada kisaran pH
5,5-7,0.
64 E E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah
Kapur tersusun terutama dari kalsium dan magnesium karbonat larut. Beberapa
bahan pengapuran mengandung Ca oksida atau Ca hidroksida yang tingkat
kelarutannya lebih tinggi. Jika bahan tersebut dicampur dengan air, kapur pelahan-
lahan larut. Jika ada sumber asam, pelarutan tersebut berjalan lebih cepat. Banyak
orang berpendapat kurang benar bahwa Ca (atau Mg) merupakan bahan yang aktif
untuk meningkatkan pH. Sementara Ca membantu mengganti kemasaman dapat
ditukar dari tanah. Ca adalah komponen ber ion (karbonat, oksida atau hidroksida)
yang bereaksi dengan kemasaman tanah. Karbonat dan oksida larut dalam air
membentuk hidroksida. Untuk kalsium karbonat reaksinya terjadi sebagai berikut:
CaCO3 (padat) + H2O Ca2+ + HCO3- + OH-.
Untuk kalsium oksida reaksinya adalah
CaO + H2O Ca2+ + 2 OH
dan asam dalamlarutan dinetralisasi
H+ + OH- H2O.
Kation kalsium tetap berada dalam bentuk dapat dipertukarkan untuk dapat
diserap tanaman, demikian juga untuk magnesium.
Kebanyakan batu kapur terbentuk sebagai endapan tebal, endapan kalkaerus yang
kompak dari hewan laut di dasar laut. Deposit kalsit yang relatif murni disebut batu
kapur berkalsit, sedangkan bahan mengandung lebih banyak Mg disebut batu kapur
E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah 65
berdolomit. Jika kapur dolomit atau kalsit di panaskan, karbonat akan dilepaskan,
dan terbentuklan kalsium (magnesium) oksida. Jika diperlakukan dengan air,
kalsium oksida membentuk Ca(OH)2. Bahan ini sangat reaktif sehingga sulit
diterapkan di lapangan untuk mencapai tujuan pH yang dikehendaki untuk
budidaya pertanian.
Untuk membandingkan nilai netralisasi asam dari berbagai bahan pengapuran,
dapat dilakukan uji kalsium karbonat ekuivalen (KKE) menggunakan kalsit murni
(CaCO3) sebagai standar dengan kisaran nilai 100%. Nilai KKE > 100 menunjukkan
bahwa bahan tersebut dapat menetralisasi asam lebih banyak dibandingkan
dengan kalsit dengan berat yang sama. Batu kapur dolomit murni memiliki KKE 108,
atau 8% lebih tinggi dibandingkan kalsit murni. Karena Mg lebih ringan
dibandingkan Ca, persentase bahan yang lebih besar adalah karbonat yang
merupakan bahan aktif dalam kapur.
pH tanah hanya memberikan sedikit informast tentang kemasaman total yang ada
dalam tanah, tetapi jika digabung dengan pengetahuan tentang sifat dan ukuran
tanah lainnya, pH tanah dapat menjadi indikator yang bermanfaat terhadap
masalah-masalah potensial.
Pada kondisi tersebut pH tanah menunjukkan prekiraan kejenuhan basa (atau
asam). Melalui pengamatan kemasaman yang dapat diekstrak pada tingkat
kejenuhan basa tertentu, dapat dihitung jumlah kemasaman yang harus
dinetralisasi untuk meningkatkan pH tanah sesuai target tertentu untuk tanaman.
Sebagai contoh; tanah dengan pH 5,0 dan kejenuhan basa 40%. Pada level ini, hasil
pengukuran kemasaman dapat diekstrak adalah 3 meq/100g. Jika kejenuhan basa
hendak di tingkatkan menjadi 90% (pH 6.0), Kemasaman yang harus dinetralisasi
dapat dihitung pertama kali dengan mengkuting KTK. Karena tanah mempunyai
kejenuhan basa 40%, kejenuhan asam harus menjadi 60%. Karena kemasaman
dapat diekstrak adalah 3 meq/100g, maka KTK adalah: 3.00/0.6 = 5.0 meq/100 g.
Peningkatan kejenuhan basa adalah: 90% - 40% = 50%., limapuluh persen dari5,0
adalah 2,5me.
Sebagian besar laboratorium uji tanah menggunakan larutan penyangga pH untuk
menetapkan komponen kemasaman dapat ditukarkan. Jadi istilah pH penyangga,
kemasaman dan kemasaman dapat ditukar sangat sering muncul dalam laporan
hasil uji tanah. Secara umum, tanah berpasir lebih memiliki kapasitas penyangga
yang rendah, atau kurang mempunyai cadangan kemasaman dibandingkan tanah
bertekstur halus; maka jumlah batu kapur yang diperlukan untuk meningkatkan pH
tanah berpasir akan lebih rendah dibandingkan untuk tanah berlempung, meskipun
kedua tanah tersebut memiliki pH yang sama sebelum pengapuran.
Uji tanah meliputi tahapan, (a) pengambilan contoh tanah (b) analisis contoh tanah di
laboratorium, dan (c) interpretasi hasil analisis dan rekomendasi awal. Pengambilan
contoh yang salah merupakan sumber kesalahan utama dalam interpretasi hasil
analisis. Dua macam pengambilan contoh tanah: (a) pengambilan contoh pada tiap
horizon dalam profil tanah (umumnya untuk survei tanah dan klasifikasi tanah), tetapi
kurang sesuai untuk evaluasi kesuburan tanah untuk rekomendasi pemupukan,
kenapa?, karena hanya menunjukkan tanah pada titik tertentu, dan (b) pengambilan
contoh tanah pada plot untuk karakterisasi kesuburan rata-rata dari wilayah tersebut
dengan tujuan untuk rekomendasi pemupukan. Untuk tujuan ini, wilayah yang diambil
contohnya harus dikelompokkan, paling tidak dalam 10 sampai 20 tempat
pengambilan contoh, biasanya cukup pada kedalaman 15-20 cm. Masing-masing
contoh kemudian dikompositkan dan diambil subcontoh pewakil sekitar 500 g untuk
analisis di laboratorium. Hasil yang diperoleh dari pendekatan tersebut secara hati-
hati digunakan untuk menduga kondisi tanah, berkaitan dengan iklim, pertumbuhan
tanaman dan tingkat produksi yang diharapkan
Fisolofi ini menagsumsikan ada nisbah basa dapat ditukar yang ideal di dalam tanah
yang akan mengpotimasi penggunaan unsur hara tanaman untuk perbaikan
produksi tanaman. Persentase yang umum digunakan adalah 65% kalsium, 10%
magnesium, dan 5% kalium. Nilai ini setara dengan nisbah Ca/Mg= 6,5, Ca/K= 13,
dan Mg/K= 2. Jika nisbah tersebut tidak ditemui, maka dapat dinyatakan salah salah
satu diantara unsur hara tersebut defisien. Persentase tersebut juga menghasilkan
kejenuhan basa 80%. Filosofi ini umumnya paling tepat untuk tanah dengan KTK
yang tinggi dan pH tinggi. Filosofi ini tidak mengarah pada fosfor, sulfur dan unsur
mikro.
68 E E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah
Filosofi ini berasumsi bahwa tingak kesukupan unsur hara untuk menggantikan
yang diangkut tanaman seharusnya dipertimbangkan tanpa memperhatikan tingkat
unsur hara tanah. Hal ini tidak termasuk tanah-tanah dimana tingkat kandungan
hara sangat tinggi, meskipun bisa menjadi bersifat racun.
Tingkat Kecukupan
Filosofi ini didasarkan pada kalibrasi uji tanah yang menunjukkan tidak ada respon
hasil terhadap aplikasi unsur hara juga hasil uji tanah menunjukkan tingkat hara
yang lebih tinggi. Dengan kata lain, jika hasil uji tanah menunjukkan kandungan
suatu hara cukup tinggi, tidak perlu dilakukan penambahan unsur hara melalui
pupuk.
Kalibrasi
Uji tanah terkalibrasi adalah prosedur ekstraksi tanah yang menghasilkan nilai uji
tanah yang dapat dikorelasikan dengan respon tanaman yang positif terhadap
pemupukan. Proses kalibrasi melibatkan percobaan-percobaan lapangan yang
berulang kali dengan menggunakan berbagai jenis tanah, resim kelembaban, dan
kondisi iklim, pada tanaman tertentu. Proses ini tidak ada kejelasan kapan berakhir
karena respon kultivar baru seringkali berbda dengan kultivar lama, adanya praktek
pengelolaan yang modern, dan makin canggihnya laboratorium.
Skala Penilaian
Sangat tinggi - Tidak bisa diharapkan kenaikan hasil tanaman melalui penambahan
unsur hara. Tanah dapat menyediakan unsur hara lebih banyak dibandingkan yang
dibutuhkan tanaman. Tidak disarankan dilakukan pemupukan untuk menghindari
masalah nutrisi dan dampak lingkungan.
lingkungan tropika yang panas dan basah menyebabkan tingginya laju dekomposisi
dan mineralisasi bahan organik. Peran kunci dari proses-proses biologi tanah dalam
produksi tanaman konversi senyawa organik menjadi senyawa anorganik yang
dikenal dengan istilah mineralisasi (Handayanto et al., 1994).
Secara alami, unsur hara mineral yang dilepaskan melalui proses dekomposisi
tersebut sebagian digunakan oleh tanaman, sebagian digunakan oleh mikrobia
tanah dan sebagian lagi hilang di lingkungan (akibat pencucian, dan atau
penguapan). Untuk mempertahankan kandungan bahan organik tanah, diperlukan
tambahan bahan organik ke dalam, dapat berupa sisa tanaman atau sisa organik
lainnya. Dalam sistem pertanian dengan masukan rendah dan berkelanjutan,
masukan bahan organik diharapkan terjadi secara in-situ, artinya bahan organik
dihasilkan pada lahan yang sama dan bukan impor dari lain tempat. Salah satu cara
yang sampai saat ini terus dikembangkan oleh para peneliti, adalah penggunaan
sistem wanatani atau agroforestry .
Penyediaan unsur hara bagi tanaman oleh masukan bahan organik ditentukan
kecepatan mineralisasi bahan organik. Kecepatan mineralisasi dipengaruhi oleh (a)
jumlah bahan organik yang ditambahkan, (b) kualitas bahan organik yang
ditambahkan, (c) cara pemberian bahan organik (dibenamkan atau dimulsakan), (d)
waktu pemberian bahan organik, dan (d) kondisi lingkungan (Handayanto et al.,
1997). Salah satu faktor penting yang sampai saat ini makin menarik perhatian para
peneliti adalah kualitas bahan organik yang digunakan. Parameter kualitas yang
penting adalah rasio C:N, kandungan lignin dan kandungan polifenol serta kapasitas
pengikatan protein oleh polifenol (Handayanto et al., 1997).
Pengertian biofertilizer secara umum adalah pemanfaatan strain- strain unggul baik
berupa sel hidup ataupun dalam bentuk latent dari mikroba penambat N (N),
mikroba pelarut fosfor (P) atau mikroba perombak selulosa yang diberikan ke biji,
tanah ataupun tempat pengomposan dengan tujuan meningkatkan jumlah mikroba
dan mempercepat proses tersedianya hara bagi tanaman. Di Indonesia penggunaan
"biofertilizer" belum memasyarakat di kalangan petani meskipun dalam
peningkatan produksi kedelai telah dimasukkan Rhizogin/Legin mikroba penambat
N. Pemanfaatan biofertilizer yang dikombinasikan dengan pupuk anorganik dan
organik memberikan prospek cukup baik untuk memperbaiki dan meningkatkan
produktivitas tanah.
Azotobacter
Populasi Azotobacter dalam tanah kira-kira 103/kg tanah. Azotobacter
mengekskresikan sejumlah kecil senyawa N ke dalam media tumbuhnya (Broto-
negoro dalam Prihatini et al., 1996). Percobaan di laboratorium menunjukkan
E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah 75
telah digunakan dalam skala kecil oleh beberapa kelompok tani di Jawa Barat dan
terbukti penggunaan EM dapat meningkatkan produksi tanaman pangan,
hortikultura dan perkebunan. Namun teknologi yang telah diterapkan di tingkatkan
petani tersebut perlu didukung oleh hasil-hasil penelitian yang mendasar.
78 E E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah
Unsur hara dapat langsung ditambahkan melalui aplikasi pupuk kimia ke dalam
tanah. Namun demikian, penambahan pupuk kimia saja tidak cukup untuk
mempertahankan tingkat kesuburan tanah yang mencukupi, Jika bahan organik
dalam tanah menurun, hasil tanaman juga turun, meskipun ditambahn banyak
pupuk. Hal ini terjadi karena degradasi struktur tanah, penurunan kapasitas tanah
menahan air dan unsur hara, dan meningkatnya kemasaman. Untuk tanah-tanah
tropika yang miskin unsur hara dan telah melapuk lanjut nampaknya tidak cukup
untuk meningkatkan kandungan bahan organik tanah. Pada kondisi seperti itu lebih
baik menggunakan pendekatan terpadu tang memadukan aplikasi pupuk kimia
dengan upaya peningkatan kansungan bahan organik.
mempunyai nisbah khusur dari unsur nitrogen (N), fosfor (P) dan kalium (K). maka
seringkali disebut sebagai pupuk NPK. Kantong pupuk NPK selalu dituliskan
kandungan masing-masing untuk N,P dan K. Suatu pupuk NPK yang berlabel
10:10:10 mengandung 10 kg N, 10 kg P205 dan 10 kg K20 per 100 kg. Jadi setiap
100kg pupuk NPK mengandung 70kg bahan pengisi yang tidak mengandung NPK.
Tabel 13. Jenis pupuk kimia, kandungan unsur hara dan jumlah kapur yang
diperlukan untuk netralisasi pengaruh kemasaman dari pupuk.
Pupuk Kimia Formula Kimia Kandungan (%) CaCO
yang
diperlukan
*
N P K
Amonium sufat (AS) (NH4)2 SO4 21 - - 110
Kalsium amonium nitrat (NH4 NO3)*CaCO3 20 - - -
(CAN)
Urea CO(NH2)2 45 - - 80
Mono-amonium foosfat NH4H2 PO4 11 20 - -
(MAP)
Di-amonium fosfat (DAP) (NH4)2 PO4 21 23 - -
Super fosfat (SSP) Ca(H2PO4)2 - 8 - -
Triple super phosphate TSP Ca(H2PO4)2 - 22 - -
Basic slag (CaO)5*P2O5 *SiO - 3-8 - -
Natural rock phosphate - 11-17 -
Potassium chloride KCl - - 50
Potassium nitrate KNO3 14 - 37 -
Potassium sulphate K2 SO4 - - 24
Potassium magnesium K2 SO4 *MgSO4 - - 81
sulphate
*Jumlah CaCO yang diperlukan untuk netralisasi pupuk kimia
12.2. Kompos
Kompos merupakan pupuk yang ideal. Untuk memnuat timbunan kompos, bahan
organik (misalnya sisa tanaman, jerami, pupukkandang, limbah dapur dlsb)
dikumpulkan dan disimpan bersama. Dalam timbunan ini mikroorganisme
mendekomposisi bahan-bahan organik tersebut. Sasarannya adalah setelah aplikasi
di lahan kompos dapat menyediakan unsur hara dan meningkatkan kandungan
bahan organik dalam tanah.
daerah yang sangat kering pengkomposan agak sulit karena keterbatasan bahan
organik dan air. Bahan organik yang tersedia juga digunakan sebagai bahan bakar
rumah tangga (untuk memasak di dapur). Kompos masih tetap merupakan
alternatif yang baik di samping pemulsaan, yang kurang popular di daerah kering
karena seringkali menimbulkan berkembangan rayap. Kompos juga memberikan
hasil lebih baik dibanding pupuk kimia karena kompos mengandung lebih banyak
unsur hara dan secara kimia memimilik komposisi yang lebih seimbang dibanding
pupuk kimia. Disamping komposisi kimianya, kompos juga mampu meningkatkan
kapasitas tanah menahan air dan memperbaiki struktur tanah. Jika di suatu daerah
nampak jelas perbedaan musim hujan dan musimkering,maka pengkomposandapat
dilakukan di awal musim hujan di lokai pengkomposan yang telah disiapkan.
bahan bakar rumah tangga. Hal ini bisa di atasi denganmenanam pohon
untukkayu bakar,misalnya sebagai tanaman pagar. Pengkomposan tanpa
adanya kotoran hewan memang agak sulit, tetapi tetap bisa dilakukan.
(c) Timbunan kompos dapat menarik bau menyengat,terutama jika digunakan
limbah dari dapur. Hal ini bisa mengganggu lingkungan jika proses
pengkomposan dilakukan di lahan dekat pemukiman.
12.3. Pembakaran
12.4. Pemulsaan
Pemulsaan adalah kegiatan penutupan tanah dengan bahan organik, seperti sisa
tanaman, jerami atau daun, atau dengan bahan lainnya seperti pastik atau batu
kerikil. Tujuan pemulsaan adalah untuk (a) memperbaiki infiltrasi, (b) melindungi
tanah dari erosi angin dan air dan dari dehigrasi, (c) mencegah suhu tinggi pada
tanah, dan (d) meningkatkan tingkat kelengasan dalam tanah. Jika permulsaan
dengan bahan organik, maka ditujukan untuk (a) meningkatkan atau menahan
kandungan bahan organik dalam tanah, (b) meningkatkan penggunaan unsur hara
dari pupuk kimia, dan (c) menstimulasi organisme tanah
(c) Pemupukan hijau juga berpengaruh positif pada struktur tanah karena
penetrasi sistem perakarannya, pupuk hijau menambah bahan organik, dan
pupuk hijau menstimulasi pertumbuhan organisme tanah. Bahan organik
memacu pertumbuhan organisme tanah yang juga memperoleh manfaat dari
kandungan air yang tinggi danketerbatasan temperatur ekstrem di siang hari.
Jika bahan pupuk hijau dibenamkan ketika sudah tua dan keras maka akan melapuk
lambat. Dalam hal ini penambahan bahan pupuk hijau tersebut tidak menambah
kandungan bahan organik dalam tanah. Karena unsur hara sangat lambat tersedia
pengarunya dalam musim pertama lebih kecil dibandingkan jika menggunakan
bahan pupuk hijau yang muda dan sukulen (segar).Namun demikian pengaruhnya
akan nampak selama bebera musim.
Jika tanah mempunyai kandungan bahan organik yang rendah, maka lebih baih baik
membiarkan tanaman pupuk hijau cukup tua dan kuat sehingga ada penambahan
kandungan bahan organik tanah. Kandungan bahan organik dalam tanah pada
akhirnya merupakan indikator penting untuk kesuburan tanah. Bahan yang tua dan
keras biasanya sulit melapuk. Banyak organisme tanah diperlukan untuk melakukan
dekomposisi ini. Sebelum organisme dapat memulai melapuk bahan organik
organisme tanah tersebut harus tumbuh sendiri. Menumbuhkan organisme
menggunakan nitrogen seperti yang dilakukan tanaman (hal ini juga disebut
imobilisasi nitrogen). Hal ini berarti bahwa jika tanaman tumbuhpada waktu yang
samadengan organisme maka tanaman akan kekurangan nitrogen. Oleh karena itu
lebih baik yang pertamakali membiarkan organisme tanah untuk tumbuh dahuku
dan mendekomposisi bahan organik sebelum tanaman ditanam. Jadi pupuk hijau
harus dibenamkan 5-6minggu sebelum tanaman utama ditanam.
12.6. Tumpangsari
Dalam periode bero hijau, spesies ditanam yang mempunyai kualitas lebih baik
dibanding sepesies yang biasanya tumbuh normal secara prontan dalam periode
bero. Sasaran bero hijau ini adalah memulihkan kesuburan tanah secara cepat.
Secara tradisional, periode bero digunakan untuk memulihkan kesuburan tanah
setelah masa pertanaman, atau untuk menekan pertumbuhan gulma yang
umumnya tumbuh diantara tanaman. Banyak jenis gulma semacam ini tidak bisa
berkompetisi dengan gulma yangtumbuh selama periode bero. Jika petanihanya
memiliki lahan yang sempit, periode bero menjadi sangat pendek untuk
memulihkan kesuburan tanah.Hal ini sering merupakan masalah dalam transisi dari
sistem ladang berpindah ke sistem permanen
12.8. Agroforestri
13.1. Landasan
Pertanian organik sebenarnya bukan hal yang baru bagi komunitas petani
Indonesia. Berbagai bentuk pertanian organik sudah merupakan praktek yang
berhasilpada berbagai kondisi iklim, terutama pada lahan kering. Sebagian besar
hutan menghasilkan produk yang penting secara ekonomi seperti tanaman obat
dlsb. Diantara berbagai sistem pertanian, pertanian organik mulai mendapatkan
perhatian luas antar petani, wirausahawan, para pembuat kebijakan, dan pakar
pertanian dengan alasan yang berragam, seperti meminimumkan ketergantungan
pada masukan kimia (pupuk, perstisida, herbisida dan bahan-bahan agrokimia
lainnya), jadi meningkatkan keamanan pangan atau kualiat lingkjungan. Sistem
pertanian organik memerlukan banyak tenaga kerja dan memberikan peluang
untuk peningkatan tenaga kerja pedesaan dan mencapai perbaikan jangka panjang
pada kualitas berdasarkan sumberdaya lokal.
Sistem pertanian organik didasarkan pada standar khusus yang secara tepat
diformulasikan untuk produksi pangan dan bertujuan mencapai agroekosistem
yang berkelanjutan secara ekologi dan sosial. Banyak definisi yang diajukan untuk
pertanian organik dengan fokus utama pada prinsip-prinsip ekologi sebagai
landasan produksi tanaman dan peternakan.
Komisi Alimentarius Codex yang merupakan salah satu bagian dari FAO/WHO
mendefenisikan pertanian organik sebagai sistem manajemen produksi pangan yang
holistik (menyeluruh) yang mengarah dan memacu kesehatan agroekosistem, termasuk
biodiversitas, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah. Pertanian organik menekankan
92 E E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah
13.2. Biodinamik
Pertanian organik tidak akan bisa terlepas dari biodinamik, yaitu pendekatan
terhadap ilmu tentang kehidupan (alam) yang mengacu kepada alam itu sendiri
sebagai titk tolaknya. Di dalam biodinamik, alam didekati sedemikian rupa dengan
memperhatikan semua fenomena alam, pertanda-pertanda alam, kemampuan-
kemampuannya, kekuatannya, kelemahannya dan segala hal yang bisa tumbuh,
hilang dan hidup di alam.
Wacana tentang Biodinamik pertama kali diluncurkan oleh Rudolf Steiner (1861 -
1925) dari Austria. Pada dasarnya pertanian biodinamik adalah sebuah konsep
pertanian yang berorientasi pada alam sebagai subyeknya. Di dalam konsep ini
dikembangkan sebuah wawasan berpikir tentang pertanian yang berkelanjutan dan
menganggap bahwa tanah pertanian itu sendiri adalah sebuah kehidupan yang
harus diperhatikan dan diakui keberadaannya. Tanah pertanian bukanlah melulu
tempat eksploitasi atau dapat sekenanya dieksploitasi sedemikian rupa tanpa
mempedulikan kondisinya. Di sini tanah pertanian harus sebagai subjek; bukan
hanya sebagai obyek eksploitasi.
Biodinamik mengarah kepada wawasan proses bertani yang sehat. Tanah Pertanian
tidak hanya sekedar tanah usaha milik perorangan. Tetapi merupakan bagian dari
lingkaran kehidupan besar yang bernama alam semesta. Apa yang dikerjakan
manusia di lahan pertanian secara langsung merupakan bagian dari proses gerak
hidup alam semesta dan juga sekaligus mempengaruhi gerak kehidupan alam
semesta itu sendiri.
Sebagai bagian dari alam semesta harus diperhatikan gejala-gejala yang terjadi di
alam untuk menyelaraskan kehidupan manusia (apa dikerjakan di tanah pertanian)
dan juga manusia harus peduli, bahwa sekecil apapun yang dikerjakannya pada
E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah 93
lahan pertanian, sebenarnya adalah sesuatu yang mempunyai pengaruh pada alam
semesta ini. Memang ini terlihat tidak berarti jika hanya dilihat pada satu per satu
orang. Tapi masalahnya menjadi lain jika misalnya ada sepuluh juta orang yang
memperlakukan hal sama pada saat yang bersamaan pada lahan pertaniannya.
akhirnya bisa diserap akar tumbuhan sebagai makanan dan di kotoran ternak itulah
juga organisme hidup yang ada di lahan pertanian hidup (bertempat tinggal).
Harus dijadikan perhatian yang sungguh-sunguh, bahwa organisme hidup yang ada
di tanah bersama- sama tanah dan lingkungan sekitarnya membentuk sebuah
sinergi kehidupan yang menentukan daya dukung lahan pertanian terhadap
tanaman. Tanpa adanya organisme hidup di tanah, daya dukung kehidupan lahan
pertanian akan menjadi sangat buruk kalau tidak boleh dikatakan menjadi 0.
Organisme hidup tersebut yang menjadi sumber utama vitamin, enzim dan
penyelaras kehidupan mikro di dalam tanah. Dari proses metabolisme mereka,
dihasilkan sejumlah enzim dan vitamin yang sangat diperlukan oleh tanaman dalam
proses fotosintesis, metabolisme dan proses kehidupan yang lain. Banyak penyakit
tanaman yang dapat ditekan karena keberadaan jasad renik yang ada di tanah.
E. Handayanto dan S.R. Utami: Dasar Manajemen Kesuburan Tanah 95
BAHAN BACAAN
Paul, E. A. and Voroney, R. P. 1984. Field interpretation of microbial biomass activity measurements.
Pp. 509-514 in: Klug, M. J. and Reddy, C. A. (eds). Current Perspectives in Microbial Ecology.
American Society of Microbiology, Washington, D.C. Carlson QR100.I57 1983
Post, W.M., T.H. Peng, W.R. Emanuel, A.W. King, V.H. Dale, and D.L. DeAngelis. 1990. The global
carbon cycle. American Scientist 78:310-326.
Prihatini, T. Kentjanasari\, A. and Sri Adiningsih, J. 1996. Meningkatkan kesuburan tanah melalui
pemanfaatan biofertilizer dan bahan organik. Proseding Seminar Nasional Pengelolaan
Kesuburan Tanah Masam secara Biologi. Universitas Brawijaya, 13 Juni 1996.
Schubert, W. J. 1973 . Lignin. In Phytochemistry: Inorganik elements and special groups of chemicals.
Eds. L. P. Miller. pp. 132?153. Van Nostrand Reindhold Company, New York.
Stevenson, F. J. 1986 . Cycles of Soil Carbon, Nitrogen, Phosphorus, Sulphur, Micronutrients. John
Wiley & Sons, New York. 380 p.
Stevenson, F.J. 1982. Origin and distribution of nitrogen in soil, pp 1042. In: F.J. Stevenson (ed).
Nitrogen in agricultural soils. American Society of Agronomy, Madison, Wis.
Swift, M. J. and Sanchez, P. A. 1984 . Biological management of tropical soil fertility for sustained
productivity. Nature and Resources 20, 2-10.
Swift, M. J. Heal, O. W. And Anderson, J. M., 1979. Decomposition in Terrestrial Ecosystems. Studies
in Ecology 5. Berkeley, California, USA : University of California Press.
Tiessen, H. and Stewart, J. W. B. 1983. Particle-size fractions and their use in studies of soil organik
matter: II. Cultivation effects on organik matter composition in size fractions. Soil Science
Society of America Journal 47: 509-514.
Van Noordwijk, M., Hairiah, K, Sitompul, S.M and Syekhfani, M.S. 1993. Rotational hedgerow
intercropping Peltophorum pterocarpum. New hope for weed infested soils. Agroforestry
Today 4, 4-6.
Van Scholl, L. 1998. Soil Fertility Management. Agrodok 2.
Wijewardene, R. and Waidyanatha. Conservation farming for small farmers in the tropics. 1984.
Dept. of Agriculture, Colombo, Sri Lanka.
Wilson, D. O. and Hargrove, W. L. 1986. Release of N from crimson clover residue under two tillage
systems. Soil Science Society of America Journal 50, 1251-1253.