Anda di halaman 1dari 14

BAB I

STATUS PASIEN

1. Identitas Pasien

Nama : F

Usia : 16 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Pelajar

Alamat : Kp. Bojong, RT 02/RW 12, Desa Sabanda, Kec. Karang


Tengah, Kab. Cianjur

Tanggal Pemeriksaan : 21 Mei 2017

2. Anamnesis (Autoanamnesa)

Keluhan Utama:

Timbul bercak-bercak merah kecoklatan dan bersisik halus pada lipatan paha dan
meluas ke perut bagian bawah yang disertai rasa gatal.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Kabupaten Cianjur dengan
keluhan timbul bercak-bercak merah kecoklatan dan bersisik halus pada lipatan paha
kanan dan kiri dan meluas ke perut bagian bawah disertai rasa gatal dirasakan memberat
1 bulan terakhir sebelum datang ke Poliklinik Kulit Kelamin.

Keluhan ini disertai rasa gatal yang bertambah berat jika berkeringat. Pasien sering
menggaruk bercak tersebut menggunakan tangan sehingga terdapat beberapa luka bekas

1
garukan. pasien mengaku rasa gatal berkurang saat digaruk namun setelah digaruk terasa
perih dan panas. Pasien menyangkal adanya rasa baal pada bercak.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengaku keluhan seperti ini sudah dialami dua tahun terakhir, awalnya sebesar
sebesar uang logam, lama-kelamaan lebar dan meluas. Kemudian 1 tahun terakhir bercak
kemerahan timbul di perut bagian bawah dan 1 bulan terakhir semakin lebar dan meluas.

Riwayat Penyakit Keluarga

Pasien mengatakan dirumah ada yang mengalami keluhan gatal yang sama yaitu
kakaknya. Namun bercak-bercak pada kakaknya ditempat yang berbeda dan tidak
sebesar pasien.

Riwayat Pengobatan

Pasien mengaku belum pernah minum obat atau menggunakan salap sebelumnya.

Riwayat Psikososisal

Pasien mengaku setiap hari pasien mandi 2 kali sehari


Pasien tidak memiliki kebiasaan menggunakan handuk bersamaan
Pasien mengaku handuk jarang dijemur setiap habis digunakan dan baru diganti setiap 2
bulan sekali.
Pasien mengaku sering berkeringat terutama pada daerah lipatan paha, pasien juga
mengatakan pakaian dalam yang digunakan tidak menyerap keringat sehingga sering
lembab pada daerah perut bagian bawah dan selangkangan. Pasien mengatakan pakaian
dalam yang digunakan ketat

Riwayat Alergi

tidak ada alergi terhadap obat, makanan, debu dan cuaca disangkal.

3. PEMERIKSAAN FISIK

2
Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan

Kesadaran : Composmentis

Tekanan Darah : 120/80 mmHg

RR : 20 x/ menit

Suhu : 36.8 0 C

Nadi : 84 x/ menit

Status Generalisata:
Kepala
Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-/-)
Mulut : Mukosa bibir kering (-), stomatitis (-)
Kulit Wajah : tidak terdapat lesi
Kulit Kepala : tidak terdapat lesi
Leher : Pembesaran KGB (-).
Kulit Leher : tidak terdapat lesi
Thorax
Inspeksi : Pergerakan dada simetris
Palpasi : Vocal fremitus (+/+)
Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler (+/+), Wheezing (-/-), Rhonki (-/-)
Kulit : Tidak terdapat lesi
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak nampak
Palpasi : Ictus cordis tidak terlihat
Perkusi : Redup
Auskultasi : BJ I&II Reguler, murni, murmur (-), gallop (-).
Abdomen :
Inspeksi : supel
Auskultasi : Bising Usus (+)
Palpasi : Nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani (+)
Kulit : lihat status dermatologikus
Ekstremitas : Akral hangat (+/+), CRT <2detik , Edema (-/-).
Kulit ekstremitas: tidak terdapat lesi

Status Dermatologikus
3
Distribusi Regional

A/R Ingunalis dextra dan sinistra, hipogastric

Lesi multiple, ireguler, polisiklik, sirkumskrip dengan lesi tepi


Lesi aktif, lesi menimbul, ukuran terbesar 15x8 cm,terkecil 2x3cm,
lesi kering.

Efloresensi Makula hiperpigmentasi disertai skuama halus

4
4. RESUME

Laki-laki usia 16 tahun datang ke Poli Kulit dan Kelamin RSUD Kabupaten
Cianjur dengan keluhan timbul bercak-bercak merah kecoklatan dan berskuama halus
pada ingunalis dextra dan sinistra dan meluas ke regio hipogastric disertai pruritus yang
bertambah saat berkeringat, dirasakan memberat 1 bulan terakhir sebelum datang ke
Poliklinik Kulit Kelamin. Pasien sering menggaruk bercak tersebut menggunakan tangan
sehingga terdapat beberapa luka bekas garukan. pasien mengaku rasa gatal berkurang
saat digaruk namun setelah digaruk terasa perih dan panas.

Pemeriksaan Fisik dan Status generalisata dalam batas normal.

Status dermatologikus :

Distribusi Regional

A/R Ingunalis dextra dan sinistra, hipogastric

Lesi multiple, ireguler, polisiklik, sirkumskrip dengan lesi tepi


Lesi aktif, lesi menimbul, ukuran terbesar 8x6 cm,terkecil 2x3cm, lesi
kering.

Efloresensi Makula hiperpigmentasi disertai skuama halus

4. DIFERENSIAL DIAGNOSA
Tinea Kruris
Eritrasma

5. DIAGNOSA KERJA : Tinea Kruris

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG:
Kerokan kulit dengan KOH 20%
Pemeriksaan dengan Lampu wood

Pemeriksaan Kerokan Kulit:


5
Pemeriksaan KOH 20% diambil dari kerokan kulit pada tepi lesi yang
eritema, ditetesi dengan KOH 20% dengan preparat kaca objek dan biarkan
selama 15 menit, lalu dilihat dengan mikroskop pada pembesaran 10x dan
pembesaran 40x.
Hasil : tampak hifa panjang, bercabang.

Pembesaran 40x

7. PENATALAKSANAAN

Non-Medikamentosa

Edukasi :

Menerangkan kepada pasien bahwa penyakit yang diderita oleh pasien adalah
infeksi jamur dan dapat menular.
Memberikan saran kepada pasien agar selalu menjaga kebersihan diri dan juga
lingkungan sekitar.
Memberikan saran kepada pasien untuk menggunakan pakaian dalam yang
menyerap keringat untuk menghindari lembab agar tidak menjadi tempat
pertumbuhan jamur.
Menyarankan kepada pasien untuk tidak menggaruk-garuk lesi agar tidak terjadi
infeksi.

6
Menyarankan pasien untuk menjemur handuk setelah dipakai dan mengganti
handur setiap 1 minggu.
Dikarenkan tinea merupakan penyakit yang menular maka dinformasikan kepada
pasien untuk membawa kakaknya berobat.

Medikamentosa

1 Sistemik

Ketokonazol tablet 1x200 mg selama 2 minggu

2 Topikal

Ketokonazol cream 2% dioleskan pada bagian yang gatal, sehari digunakan 2 kali
selama 14 hari

9. PROGNOSIS

1 Quo Ad Vitam : Ad Bonam

2 Quo Ad Functionam : Ad Bonam

3 Quo Ad Sanationam : Ad Bonam

BAB II

ANALISA KASUS

1. Mengapa pada pasien di diagnosis Tinea Kruris e.c Trichopyton?


Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang diperoleh dari pasien ini:
Pada kasus ini didapatkan keluhan bercak-bercak kecoklatan dan bersisik halus pada
daerah selangkangan dan perut bagian bawah yang disertai rasa gatal dan bertambah berat
saat berkeringat.
Pasien mengatakan dirumah ada yang mengalami keluhan gatal yang sama yaitu
kakaknya. Sehari-hari pasien jarang menjemur handuk yang digunakan setelah mandi dan
diganti setiap 2 bulan sekali. Pasien juga sering berkeringat dan sering lembab pada
pakaian dalam. Pasien juga mengatakan menggunakan pakaian dalam yang tidak
menyerap keringat dan ketat.

7
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status dermatologis lesi berupa multiple bentuk
polisiklik, berbatas tegas dengan tepi aktif, makula hiperpigmentasi disertai skuama
halus.

Secara Teori :
Tinea Kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum dan sekitar
anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit
yang berlangsung seumur hidup. Lesi kulit dapat berbatas tegas pada daerah genitokrural
saja, atau meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau
bagian tubuh lain. 1,4
Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas.
Peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya. Bila penyakit ini menahun,
dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya
akibat garukan. Keluhan utama gatal diwaktu panas dan berkeringat. 1,3,4,5
Tinea kruris menyebar melalui kontak langsung ataupun kontak dengan peralatan
yang terkontaminasi dan dapat mengalami eksaserbasi karena adanya oklusi dan
lingkungan yang hangat, serta iklim yang lembab. Faktor risiko yang berperan penting
dalam penyebaran tinea kruris adalah kondisi lingkungan yang buruk, daerah pedesaan
dan kebiasaan menggunakan pakaian yang ketat dan lembab. 3,6

Berdasarkan pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH 20%:


Pemeriksaan KOH 20% diambil dari kerokan kulit pada tepi lesi yang eritema,
ditetesi dengan KOH 20% dengan preparat kaca obyek dan dibiarkan selama 15 menit,
kemudian dilihat dengan mikroskop pada pembesaran 40x. Hasil : Tampak hifa panjang
dan bercabang.

8
pembesaran 40x

Secara Teori :
Untuk mengetahui suatu ruam yang disebabkan oleh infeksi jamur, biasanya kita lakukan
pemeriksaan kerokan dari tepi lesi yang meninggi atau aktif tersebut. Spesimen dari hasil
kerokan tersebut kita letakkan diatas kaca preparat dan diteteskan larutan KOH 10-20%.
Kemudian tutup dengan object glass. Setelah sediaan dicampur dengan larutan KOH,
tunggu 15-20 menit hal ini diperlukan untuk melarutkan jaringan. Untuk mempercepat
proses pelarutan dapat dilakukan pemanas diatas api bunsen. Pada saat mulai keluar uap
dari sedimen tersebut, pemanasan sudah cukup. Kemudian dilihat dibawah mikroskop
mula-mula dengan pembesaran 10x10, kemudian 10x40. 1
Pemeriksaan mikroskopik secara langsung menunjukkan hifa panjang yang
terbagi oleh sekat dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) yang khas pada
infeksi dermatofitosis. 7
Karakteristik Trycophyton spp secara mikroskopik memiliki hifa panjang dengan
dinding tipis yang melimpah dengan sedikit atau tidak ada microcinidia berbentuk bulat.
Hasil pemeriksaan secara mikroskopik didapatkan gambaran hifa panjang dan bercabang
dengan microcinidia berbentuk bulat .7,8
2. Mengapa Pemeriksaan Penunjang yang disarankan pada pasien adalah
pemeriksaan lampu wood, kultur kerokan kulit dengan agar sabouraud dan
pemeriksaan fungsi hati?
Pemeriksaan Lampu Wood
Secara teori:
Lampu Wood menghasilkan sinar ultraviolet 360 nm, (atau sinar hitam) yang
dapat digunakan untuk membantu evaluasi penyakit-penyakit kulit dan rambut
tertentu. Dengan lampu Wood, pigmen fluoresen dan perbedaan warna pigmentasi
melanin yang subtle bisa divisualisasi.9
Eritrasma merupakan penyakit yang tersering berlokalisasi di sela paha.
Efloresensi yang sama yaitu eritema dan skuama, pada seluruh lesi merupakan tanda-
tanda khas penyakit ini. Pemeriksaan dengan lampu wood dapat menolong dengan
adanya fluoresensi merah (coral red).1
Kultur kerokan kulit dengan agar sabouraud.
Secara teori :
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan
langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini

9
dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap
paling baik adalah medium agar dekstrosa sabouraud. 1,3
Pemeriksaan Fungsi Hati
Pemeriksaan fungsi hati dilakukan untuk melihat fungsi hati pada pasien
sebelum diberikan pengobatan karena pengobatan ketokonazole mempunyai efek
samping terhadap fungsi hati, pemeriksaan ini dilakukan supaya penatalaksanaan
yang diberikan kepada pasien tidak memberatkan fungsi hati pada pasien.
Secara Teori :
Ketokonazole merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar, karena
ketokonazole mempunyai sifat hepatotoksik terutama bila diberikan lebih dari
sepuluh hari.1
3. Mengapa diambil diagnose banding Eritrasma dan Kandidosis Intertriginosa ?
Pada laporan kasus ini penyusun mengambil diagnosis banding adalah Eritrasma.
Eritrasma
Secara Teori :
Eritrasma adalah infeksi kulit superficial, ditandai oleh makula eritematosa hingga
kecoklatan, berbatas tegas, didaerah lipatan (intertriginosa), atau berbentuk fisura dengan
maserasi putih disela-sela jari.
Infeksi ini umumnya ditemukan didaerah lipatan yang tertutup (seperti inguinal, aksila,
lipatan intergluteal, infra-mammae, umbilikus dan sela-sela jari). Faktor predisposisi
adalah iklim lembab dan hangat, higiene yang buruk, hiperhidrosis, obesitas, diabetes
mellitus, usia lanjut dan keadaan imunosupresi. 10
Pada pemeriksaan fisis, dapat ditemukan lesi berupa makula eritematosa hingga
coklat, berbatas tegas, dengan skuama halus diatasnya. 10
Kandidosis Intertriginosa
Merupakan kandidosis kutis yang paling sering disebabkan oleh Candida albicans.
gambaran lesi tersebut dikelilingi oleh satelit berupa vesikel-vesikel dan pustul-pustul
kecil atau bula yang bila pecah meninggalkan daerah erosif, dengan pinggir yang
kasar dan berkembang seperti lesi primer.
Pada pemeriksaan kerokan kulit dengan larutan KOH 10% atau dengan pewarnaan
gram, terlihat sel ragi, blastosporan dan hifa semu.

4. Berdasarkan Penatalaksanaan :
Non Medikamentosa
Edukasi :

10
- Menerangkan kepada pasien bahwa penyakit yang diderita oleh pasien adalah infeksi
jamur dan dapat menular.
- Memberikan saran kepada pasien agar selalu menjaga kebersihan diri dan juga
lingkungan sekitar.
- Memberikan saran kepada pasien untuk menggunakan pakaian dalam yang menyerap
keringat untuk menghindari lembab agar tidak menjadi tempat pertumbuhan jamur.
- Menyarankan kepada pasien untuk tidak menggaruk-garuk lesi agar tidak terjadi
infeksi.
- Menyarankan pasien untuk menjemur handuk setelah dipakai dan mengganti handuk
setiap 1 minggu.
- Dikarenkan tinea merupakan penyakit yang menular maka dinformasikan kepada
pasien untuk membawa kakaknya berobat.

Medikamentosa :

- Topikal
Ketokonazol cream 2% dioleskan pada bagian yang gatal, sehari digunakan 2 kali
selama 14 hari
- Sistemik
Ketokonazol tablet 1x200 mg selama 2 minggu.

Secara Teori :

Pengobatan medikamentosa pada tinea kruris dapat berupa topikal dan sistemik yaitu :
1,11,12

Dua kelas obat antijamur paling sering digunakan untuk mengobati tinea cruris adalah
azoles dan allylamines.12

Pada terapi topikal direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit yang
hidup pada jaringan kulit dan ketokonazole krim yang digunakan untuk infeksi
jamur dengan dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien. 1,10
Pada terapi sistemik dipilih ketokonazole yang merupakan obat antifungi sistemik
pertama yang berspektrum luas dan juga merupakan turunan imidazole sintetik
yang bersifat lipofilik dan larut dalam air pada PH asam. obat Ini bekerja dengan
cara menghambat C-14 dimetilase (enzim P-450 sitokrom) pembentukan ergosterol

11
membrane jamur. Penghambatan ini mengganggu fungsi membrane dan
meningkatkan permeabilitas. 1,11

Ketokonazole mempunyai ikatan yang kuat dengan keratin dan mencapai keratin
dalam waktu 2 jam melalui kelenjar keringat eccrine. Pengahantaran akan menjadi lebih
lambat ketika mencapai lapisan basal epidermis dalam waktu 3-4 minggu.11,13
Konsentrasi ketokonazole masih tetap dijumpai, sekurangnya 10 hari setelah obat
dihentikan. Pemakaian ketokonazole belum ditemukan adanya resistensi selama
diobservasi sehingga obat ini sangat efektif dalam pengobatan jamur. Efek samping
yang sering timbul dalam penggunaan ketokonazol berupa dispepsia, mual, sakit perut
dan diare, sakit kepala, peningkatan enzim hati yang reversibel (seperti edema papil,
bulging fontanel pada bayi), impotensi (sangat jarang).11,13

Indikasi : 11,13
- Infeksi pada kulit, rambut, dan kuku (kecuali kuku kaki) yang disebabkan oleh
dermatofit dan atau ragi (dermatofitosis, onikomikosis, candida perionixis, pitiriasis
versicolor, pitiriasis kapitis, infeksi pitiriosporum, folikulitis, kandidosis kronik
mukokutan), bila infeksi ini tidak dapat diobati secara topikal karena tempat lesi
tidak dipermukaan kulit atau kegagalan pada terapi topikal.
- Infeksi jamur pada rongga pencernaan.
- Kandidosis vaginalis kronik dan kandidosis rekuren.
- Infeksi mikosis sistemik seperti kandidosis sistemik, parakokidioidomikosis,
histoplasmosis, kokidioidomikosis, blastomikosis.
- Pengobatan profilaksis pada pasien yang mekanisme pertahanan tubuhnya menurun
(keturun, disebabkan penyakit atau obat) yang berhubungan dengan meningkatnya
risiko infeksi jamur.

Kontraindikasi : 11,13
- Penderita penyakit hati akut atau kronik
- Hipersensitif terhadap ketokonazol
- Pada pemberian peroral, ketokonazol tidak boleh diberikan bersama-sama dengan
terfenadine, astemizole, cisapride dan triazolam.
- Wanita hamil.

Ketokonazol sistemik tersedia dalam sedian tablet 200 mg dosis yang dianjurkan
pad dewasa adalah 200-400 mg perhari. Lama pengobatan untuk tinea kruris selama 2-4
minggu. Karena keunggulan ketokonazol sebagai obat berspektrum luas, tidak resisten,

12
efek samping minimal dan harga yang terjangkau maka obat ini paling banyak
digunakan dalam pengobatan antifungi.11

5. Berdasarkan Prognosis Pada Kasus


Prognosis pada kasus : 14
a. Qua Ad Vitam : Bonam
Tidak ada gejala atau tanda yang mengancam pada ancaman kematian, keadaan
umum, kesadaran dan tanda vital pasien masih dalam batas normal.
b. Qua Ad functionam : Bonam
Tinea menimbulkan lesi kulit yang tidak mengganggu fisiologi kulit secara
bermakna.
c. Qua Ad Sanationam : Bonam
Dengan menghilangkan faktor predisposisi maka penyakit ini dapat diobati secara
tuntas dan sembuh.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Widaty Sandra, Budimulja Unandar. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: Dermatofitosis. Ed.
7. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2015. p. 109-116.
2. Siregar. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta : EGC; 2004. p. 13-15.
3. Yossela Tanti. Diagnosis And Treatment Of Tinea Cruris. Journal Majority Faculty Of
Medicine University of Lampung. 2015; 4(2). p. 122-128
4. Wolff, Klaus. Fitzpatrick Dermatology in General Medicine. Ed 7. USA: McGraw-Hill
Companies; 2008. p. 345-352.
5. Abdel EB, Shalaby MAS, Abdo HM, Alzafarany MA, Abubakar AA. Detection Of
Dermatophytes in Clinically Normal Extracrural Sites in Patient with Tinea Cruris. The Gulf
Journal of Dermatology and Venereologi. 2013; 1(20). p. 31-39.
6. Kurniati, Rosita Cita. Etiopathogenesis Of Dermatophytoses. Journal of Dermatology
University Of Air Langga. 2008; 20 (1). p. 243-250
7. Arenas. Bonifaz. Atlas De Identificacion Micologica. Mexico: McGraw-Hill; 2012. p. 66.
8. Tangarife V. Trichophyton spp. Instituto Nasional De Seguridad e Higiene En El Trabajo:
Fichas de agentes biolgicos; 2013. p.1-3
9. Boediardja, Siti Aisah. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin : Uji Diagnosis Di Bidang
Dermato- Venereologi. Ed 7. Jakarta : Balai Penerbit FKUI; 2015.p. 57-68.
10. Widaty Sandra. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin: Eritrasma. Ed 7. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI; 2015. p. 404.
11. Kuswadji, Widaty KS. Obat anti jamur in : Budimulja U, Kuswadji Bramono K, Menaldi
SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis Superfisialis. Jakarta : Balain Penerbit
FKUI; 2004. p. 108-116.
12. Michael Wiederkehr MD. Tinea Cruris Medication. English : Medscape; 2016. p. 1.
13. Moriarty B. Hay R and Morris-Jones R. The Diagnosis and Management of Tinea. England :
BMJ; 2012. p.1-10.
14. Sobore JO. Elewski BE. Fungal disease. In : Bolognia JL, Jorizzo JL, Raiini RP. Editors
Dermatology. Spain : Elseiver Science. 2003. p. 1174-1183.

14

Anda mungkin juga menyukai