Anda di halaman 1dari 8

FIQIH MUAMALAH

BAI AL-WAFA

OLEH :
BAYU ADJI DHARMAWAN 201510170311262
TITIN ISTIANA 201510170311
TRI AHMMAD ZAKKY 201510170311
NOVIA LENDRYANI 201510170311

JURUSAN AKUNTANSI E
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMADIYAH MALANG
Jl. Raya Tlogomas No.246 Malang, Jawa Timur, Phone: +62 341 464 318
APRIL 2017
Pengertian Bay Al-wafa
Secara kebahasaan , bai berarti jual beli dan al-wafa pelunasan hutang. Secara
terminologis, bai al-wafa berarti jual beli bersyarat : barang yang dijual dapat ditebus kembali
jika tenggang waktunya tiba. Jual beli dalam bai al-wafa biasanya mengenai baramg tak
bergerak, seperti tanah dan rumah. Bentuk jual beli ini muncul pada abad ke-5 H di Bukhara dan
Balkh.[1]
Mustafa Ahmad az-Zarqa, tokoh fiqih dari Suriah, mendefenisikan bai al-wafa dengan jual
beli yang dilangsungkan dua pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa barang yang dijual
tersebut dapat dibeli kembali oleh penjual apabila tenggang waktu yang ditentukan telah tiba.
Akad bai al-wafa sebenarnya berawal dari hutang piutang atau pinjam meminjam , yang
ketika itu amat sulit tanpa ada imbalan dari yang berutang atau yang meminjam. Dalam
menghindari riba, masyarakat Bukhara dan Balkh (selatan rusia) menciptakan semacam akad,
yang secara sepintas berbentuk jual beli, tetapi hakikatnya adalah pinjam meminjam dengan
imbalan jasa.
Dalam rangka menghindari terjadinya riba dalam pinjam-meminjam, masyarakat Bukhara
dan Balkh ketika itu merekayasa sebuah bentuk jual beli yang dikenal kemudian dengan bai al-
wafa. Banyak diantara orang kaya ketika itu tidak mau meminjamkan uangnya tanpa ada
imbalan yang mereka terima. Sementara banyak pula para peminjam uang tidak mampu
melunasi utangnya akibat imbalan yang harus mereka bayarkan. Sementara menurut ulama fiqh,
imbalan yang diberikan atas dasar pinjam-meminjam uang termasuk riba.
Bai al-wafa tidak sama dengan rahn (jaminan utang), karena rahn dalam islam hanya
merupakan jaminan utang, sementara barang yang dijadikan jaminan tidak dapat dimanfaatkan
oleh pemberi utang. Hal ini didasarkan pada hadist Rasulullah SAW dari Abu Hurairah yam
diriwayatkan oleh al-Hakim Ibn Majah, Ibnu Hibban, dan al-Baihaki yang intinya menyatakan
bahwa pemegang barang yang dijadikan jaminan utang pada prinsipnya tidak boleh
memanfaatkan barang gadaian tersebut, kecuali jika yang yang dijadikan jaminan utang itu
adalah hewan ternak. Hadis yang sama diriwayatkan oleh al-Bukhari, at-Tirmizi, dan Abu Daud
dari Abu Hurairah.
Apabila pemberi utang memanfaatkan barang jaminan tersebut, maka hasil yang
dimakannya atau dimanfaatkannya itu termasuk dalam kategori riba. Hal ini sejalan pula dengan
sebuah hadist Rasulullah SAW :Setiap utang yang dibarengi dengan pemanfaatan (untuk
pemberi utang ) adalah riba(HR.al-Bukhari)
Perbedaan mendasar antara bai al-wafa dan rahn (gadai) adalah :
1. Pembeli tidak sepenuhnya memiliki barang yang ia beli (Karena harus dikembalikan kepada
penjual)
2. Selama di tangan pembeli menjadi tanggung jawab pembeli
3. Segala biaya yang tersebang dibutuhkan untuk pemeliharaan menjadi tanggung jawab penjual.
4. Kedua belah pihak tidak boleh memindahtangankan barang trsebut ke pihak ketiga
5. Ketika uang sejumlah pembelian semua dikembalikan penjual kepada pembeli setelah tenggang
waktu jatuh tempo, pembeli wajib membrikan barang itu kepada penjual.
Adapaun persamaan antara keduanya adalah sbb :
1) Kedua belah pihak tidak dapat memindahtangankan barang tersebut ke pihak ketiga
2) Ketika uang sejumlah pembelian semula dikembalikan penjual kepada pembeli setelah tanggang
waktu jatuh tempo, pembeli wajib memberikan barang tersebut kepada penjual.
Karena akad baiul wafa sejak semula telah ditegaskan sebagai jual beli, maka dengan bebas
pembeli memanfaatkan barang tersebut. Hanya saja pembeli tidak boleh menjual barang itu
kepada orang lain kecuali pada penjual semula, karena jaminan yang berada di tangan pemberi
utang merupakan jaminan utang selama tenggang waktu yang disepakati tersebut. Apalagi pihak
yang berutang telah mempunyai uang untuk melunasi hutangnya sebesar harga jual semula pada
saat tennggang waktu jatuh tempo, barang tersebut harus diserahkan kembali kepada penjual.
Dengan cara bai ul-wafa ini, kemungkinan terjadinya riba dapat dihindarkan.
Jual beli yang dibarengi dengan syarat tersebut termasuk jual beli yang dilarang syara. Hal
ini sesuai dengan hadis yang artinya : Rasulullah SAW melarang jual beli yang dibarengi dengan
syarat. (HR.Muslim, An-NasaI, Abu Daud, At-Tirmizi, Ibnu Majah).
Menurtu Mustafa Ahmad az-Zarqa, dari gambaran baI ul-wafa diatas terlihat bahwa
akadnya terdiri atas tiga bentuk, yaitu :
1) Pada saat akad terjadi itu merupakan jual beli
2) Ketika harta itu telah berada di tangan pembeli, akad ini berbentuk ijarah (pinjam-
meminjam/sewa-menyewa), karena barang tersebut harus dikembalikan sekalipun pemegang
harta itu berhak memanfaatkan dan menikmati hasil barang tersebut selama waktu yang
disepakati.
3) Diakhir akad, bai al-wafa ini seperti gadai, karena dengan jatuhnya tempo yang disepakati
kedua belah pihak, penjual harus mengembalikan uang pembeli sejumlah harga yang diserahkan
pada awal akad, dan pembeli harus mengembalikan barang yang dibelinya itu kepada pejual
secara utuh. Dari sini terlihat bahwa baial-wafa diciptakan dalam rangka menghindari riba,
sekaligus sarana tolong menolong antara pemilik modal dan orang yang membutuhkan uang
dalam jangka waktu terentu.
Oleh sebab itu, ulama Mazhab Hanafi menganggap bai al-wafa adalah sah dan tidak
termasuk dalam larangan Rasulullah SAW yang melarang jual beli yan dibarengi dengan syarat.
Karena sekalipun disyaratkan bahwa harta itu harus dikembalikan kepada pemilik semula,
namun pengembaliannya itupun melalui akad jual beli. Disamping itu, inti dari jual beli ini
adalah dalam rangka menghidarkan masyarakat melakukan suatu transaksi ynag mengandung
riba. Kemudian dalam prosese pemanfaatan objek akad (barang yang dijual), statusnya tidak
sma dengan rahn, karena barang tersebut benar-benar telah dijual kepada pembeli. Seseorang
yang telah membeli suatu barang berhak sepenuhnya memanfaatkan barang tersebut. Hanya
saja, barang itu harus dijual kembali kepada penjual semula seharga penjualan pertama. Menurut
mereka, inipun bukan suatu cacat dalam jual beli.
B. Dasar Hukum Bai ul wafa
Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, dalam sejarahnya, bai al-wafa baru mendapatkan
justifikasi ulama, yaitu Mazhab Hanafi, setelah berjalan beberapa lama dan telah menjadi urf.
Imam Nazmuddin An-Nasafi(461-573 H), seorang ulama terkemuka Mazhab Hanafi di Bukhara,
mengatakan : Para syekh kami (Hanafi) membolehkan bai al-wafa sebagai jalan keluar dari
riba.
Muhammad Abu Zahrah, tokoh fikih dari Mesir, mengatakan bahwa dilihat dari segi sosio-
historis, kemunculan bai al-wafa ditengah-tengah masyarakat Bukhara dan Balkh pada
pertengahan abad ke-5 H disebabkan keengganan para pemilik modal untuk member utang
kepada orang-orang yang membutuhkan uang jika mereka tidak mendapat imbalan. Hal ini
menyulitkan masyarakat yang membutuhkan. Keadaan ini membawa mereka untuk membuat
akad tersendiri, sehingga kebutuhan masyarakat terpenuhi dan keinginan orang kaya pun
terayomi. Jalan keluar yang mereka ciptakan ialah bai al-wafa. Dengan cara ini, demekian Az-
Zarqa, disatu pihak kebutuhan masyarakat lemah terpenuhi, sementara pada saat yang sama
mereka terhindar dari praktek riba.
Jalan fikiran ulama Mazhab Hanafi dalam memberikan justifikasi terhadap bai al-wafa
didasarka pada istihsan urfi (menjustifikasi suatu permasalahn yang telah berlaku umum dan
berjalan baik di tengah-tengah masyarakat). Akan tetapi ulam fiqih lainnya tidak bisa
melegalisasi bentuk jual beli ini, alasan mereka adalah :
1) Dalam suatu akad jual beli tida dibenarkan adanya tenggang waktu, karena jula beli adalah akad
yang mengakibatkan perpindahan hak milik secara sempurna dari penjual ke pembeli.
2) Dalam jual beli tidak boleh ada syarat bahwa barang yang dijual itu harus dikembalikan oleh
pembeli ke penjual semula, apabila ia telah siap mengembalikan uang seharga jual semula (HR.
Muslim, An-NasaI, Abu Daud, At-Tirmizi, Ibnu Majah).
3) Bentuk jual beli ini tidak ada di zaman Rasulullah SAW maupun di zaman sahabat
4) Jual beli ini merupakan hilah yang tidak sejalan dengan maksud syara dan persyariatan jual beli.
Namun demikian ulama fiqih mutaakhirin (generasi belakangan) dapat menerima baik bentuk
jual beli ini dan menganggapnya sebagai akad yang sah. Dalam perkembangan selanjutnya,
menurut Az-Zarqa dan Muhammad Abu Zahrah, ketika mesir menyusun kitab UU hukum
perdata pada tahun 1948, bai al-wafa juga diakui sah dan dicantumkan dalam pasal 430 UU
tersebut. Akan tetapi ketika terjadi revisi terhadap UU ini pada tahun 1971, baial-wafa tidak
dicantumkan lagi. Menurut Az-Zarqa pembuangan ini bukan karena akad itu tidak diakui sah
oleh ulama fiqih Mesir, melainkan lebih disebabkan oleh perubahan situasi dan kondisi ketika
UU itu dibuat.
Di Indonesia bentuk yang mirip dengan baial-wafa ini adalah apa yang dinamakan
pagang gadai di Minangkabau. Persamaannya terlihat ketika barang yang digadaikan oleh
pemiliknya harus ditebus kembali oleh pemilik barang pada waktu pagang gadai tersebut jatuh
tempo, seharga yang diterimanya ketika akad dilaksanakan. Disamping itu, pihak pemegang
gadai dengan bebas dapat memanfaatkan barang gadaian sampai utang dilunasi pihak
penggadai. Akan tetapi, menurut HAMKA ulama besar yang berasal dari Minangkabau, dalam
praktek pagang gadai di Minangkabau, banyak barang yang digadaikan tersebut tidak ditebus
kembali oleh pemiliknya, sehingga persetujuan yang ditetapkan bersama ketika transaksi
dilaksanakan tidak berjalan dengan baik. Untuk menyelesaikan kasus ini belum terlihat pada
penyelesaian yang tuntas, sehingga pagang gadai yang sejak semula dimaksudkan sebagai sarana
tolong-menolong sering tidak mencapai sasarannya.
C. Rukun dan Syarat Bai Al-Wafa
Menurut ulama Mazhab Hanafi, rukun bai al-wafa sama dengan rukun jual beli pada
umumnya yaitu ijab (pernyataan menjual), dan qabul (pernyataan membeli). Dalam jual beli
ulama Mazhab Hanafi hanya menjadikan ijab dan qabul sebagai rukun, sedangkan adanya pihak
yang berakad (penjual dan pembeli), barang yang dibeli, dan harga barang tidak termasuk rukun,
termasuk syarat jual beli.
Demikian juga persyaratan bai al-wafa menurut mereka sama dengan persyaratan jual beli
pada umumnya. Penembahan syarat untuk bai al-wafa hanyalah dari segi penegasan bahwa
barang telah dijual itu harus dibeli kembali oleh penjual dan tenggang waktu berlakunya jual beli
itu harus tegas, misalnya satu tahun, dua tahun, atau lebih.
Menurut Az-ZArqa, dalam bai al-wafa, apabila terjadi keengganan salah satu pihak untuk
membayar utangnya, penyelesaiannya akan dilakukan melalui pengadilan. Jika yang berutang
tidak mampu membayar utangnya ketika jatuh tempo, maka berdasarkan penetapan pengadilan
barang yang dijadikan jaminan tersebut dapat dijual dan utang pemilik barang dapat dilunasi.
Jika pemegang barang enggan memberikan barangnya ketika utang pemilik barang telah
dilunasi, pengadilan berhak memaksanya pengembalikan barang tersebut kepada pemiliknya.
Dengan demikian, transaksi yang berlaku dalam bai al-wafa cukup jelas dan terperinci serta
mendapatkan jaminan yang kuat dari lembaga hokum. Dengan demikian, tujuan yang
dikehendaki oleh bai al-wafa diharapkan dapat tercapai.
D. Hikmah Bai al-wafa
Dari beberapa pembahasan bai al-wafa diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa hikmah bai
al-wafa adalah :
Kebutuhan masyarakat lemah terpenuhi
Keinginan orang-orang kaya terayomi
Terhindar dari praktek riba[2]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Bai al-wafa merupakan jual beli yang dilangsungkan dua pihak yang dibarengi dengan
syarat bahwa barang yang dijual tersebut dapat dibeli kembali oleh penjual apabila tenggang
waktu yang ditentukan telah tiba.
Jalan fikiran ulama Mazhab Hanafi dalam memberikan justifikasi terhadap bai al-wafa
didasarka pada istihsan urfi (menjustifikasi suatu permasalahn yang telah berlaku umum dan
berjalan baik di tengah-tengah masyarakat.
Menurut ulama Mazhab Hanafi, rukun bai al-wafa sama dengan rukun jual beli pada
umumnya yaitu ijab (pernyataan menjual), dan qabul (pernyataan membeli), Demikian juga
persyaratan bai al-wafa menurut mereka sama dengan persyaratan jual beli pada umumnya.
Penembahan syarat untuk bai al-wafa hanyalah dari segi penegasan bahwa barang telah dijual
itu harus dibeli kembali oleh penjual dan tenggang waktu berlakunya jual beli itu harus tegas,
misalnya satu tahun, dua tahun, atau lebih.
Hikmah bai al-wafa adalah bahwa Kebutuhan masyarakat lemah terpenuhi, keinginan
orang-orang kaya terayomi, terhindar dari praktek riba.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. H.Nasrun Haroen, M.A. Ensiklopedi hukum islam.Jakarta :PT.Ikrar Mandiriabadi, 2000
A. Bakir Ihsan, Msi. Ensiklopedi Islam. Jakarta :PT. Intermasa. 2005
http://www.badilag.net/component/content/article/161-ensiklobadilag/1632-bai-al-wafa.html. di
akses tgl 18 oktober 2012

[1] A. Bakir Ihsan, Msi. Ensiklopedi Islam. Jakarta :PT. Intermasa. 2005,hal 278
[2] Dr. H.Nasrun Haroen, M.A. Ensiklopedi hukum islam.Jakarta :PT.Ikrar Mandiriabadi,

Anda mungkin juga menyukai