Anda di halaman 1dari 21

Journal Reading

Perbandingan Regimen Magnesium Sulfat Intramuskular


dan Intravena pada Manajemen Preeklamsi Berat dan
Eklamsi
Oleh Kanti V, Gupta A, Seth S, Bajaj M, Kumar S, dan Singh M

Intl J Reprod Contracept Obstet Gynecol, 2015;4(1):195-201.

Oleh :
Kartika Anggakusuma, S.Ked
I1A008061

Pembimbing :
Dr. Hardyan Sauqi, Sp.OG(K)

BAGIAN/SMF ILMU KEBIDANAN


DAN PENYAKIT KANDUNGAN
FK UNLAM/RSUD ULIN
BANJARMASIN

Agustus, 2015
Perbandingan Regimen Magnesium Sulfat Intramuskular dan Intravena
pada Manajemen Preeklamsi Berat dan Eklamsi.
Abstrak.

Latar belakang : tujuan dari penelitian ini untuk membandingkan efikasi, efek

samping, serta prognosis terhadap ibu dan bayi antara regimen magnesium sulfat

intramuskular (IM) dan intravena (IV).

Metode : merupakan penelitian prospektif yang dilakukan terhadap 82 pasien dari

bulan September 2008 - Januari 2010 dan membandingkan antara kelompok IM

dan IV, setiap kelompok terdiri dari 17 pasien eklamsi dan 24 pasien PEB.

Kelompok IV mendapatkan magnesium sulfat (MgSO4) IV berkesinambungan,

yang terdiri dari 4 mg dosis awal, yang diberikan lebih dari 15 menit diikuti

dengan dosis pemeliharaan 2 mg/jam. Kelompok IM mendapatkan magnesium

sulfat (MgSO4) IM sesuai dengan regimen Pritchard.

Hasil : kekambuhan kejang ditemukan sebnayak 1/17 (5,88%) pada kelompok IV

pasien eklamsi dan 1/17 (5,88%) pada kelompok IM, yang tidak signifikan secara

statistik (P=1). Tidak terjadinya kejang pada kasus PEB manapun dari kedua

secara statistik (IM = 1/41 (2,43%) dan tidak terdapat mortalitas pada kelompok

IV, P= 0,314). Secara statistik, insidensi terjadinya tanda toksisitas seperti

hilangnya refleks patella di masa yang akan datang, terjadi pada kelompok IM

dibandingkan dengan kelompok IV. Meskipun tanda-tanda toksisitas lain, seperti

oliguria dan depresi laju pernapasan lebih terlihat pada kelompok IM, secara

statistik insignifikan.

Tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam pengukuran morbiditas ibu,

morbiditas atau mortalitas perinatal.

Kesimpulan : Kedua kelompok dapat dibandingkan dalam hal pengkotrolan dan

pencegahan terjadinya kejang, serta morbiditas dan mortalitas ibu.


PENDAHULUAN.

Eklamsi dan preeklamsi adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas

selama masa persalinan dan nifas. Eklamsia sendiri menyumbang sekitar 50000

kematian ibu di dunia setiap tahunnya.1 Angka kejadian eklamsi pada negara maju

adalah satu dalam 2000 persalinan dan satu dalam 50-500 persalinan di negara

berkembang.2 WHO mencatat bahwa tekana darah tinggi selama kehamilan

(preeklamsi dan eklamsi) adalah salah satu penyebab utama dari kematian ibu

secara global dan mengkontribusi sebanyak 14% pada tahun 2014.3

Hipertensi dan komplikasinya adalah tiga penyebab utama dari kemmatian

selama kehamilan, dilanjutkan dengan perdarahan yang berhubungan dengan

peningkatan risiko solusio plasenta, gagal ginjal akut, komplikasi serebrovaskular

dan kardiovaskular, disseminated intravascular coagulation, dan kematian ibu.4

Banyak negara berkembang, seperti India, khususnya daerah pedesaan, eklamsi

harus ditatalaksana meskipun dalam koma yang dalam setelah kejang berulang di

rumah. Diantara prinsip manajemen tata laksana eklamsi, hal yang paling pertama

dan paling penting adalah mengkontrol konvulsi. Hasil dari banyak penelitian

kolaboratif eklamsi menyarankan magnesium sulfat (MgSO4) sebagai pilihan obat

pertama untuk manajemen rutin antikonvulsan pada wanita dengang eklamsi,

dibandingkan dengan diazepam dan fenitoin.5


Terobosan besar dalam manajemen eklamsia mucul ketika Dr. J. A.

Pritchard menerbitkan standar protokol pengobatan miliknya pada tahun 1984.

Protokol manajemen miliknya dikenal dengan nama regimen Pritchard. 6 Zuspan

dan Sibai Baha, keduanya telah mengajukan protokol yang terdiri dari infus

magnesium sulfat secara berkelanjutan, dimana toksisitas yang disebabkan

MgSO4 dapat dikontrol dan komplikasi akibat toksisitas MgSO4 dapat dicegah.

Ekele BA, Badung SL di tahun 2002 menyimpulkan estimasi kation magnesium

tidak diperlukan. Penelitian ini menyarankan estimasi serum dibatasi untuk kasus

toksisitas yang memerlukan pemantauan klinis.7

Kebanyakan pusat pelayanan kesehatan di dunia melakukan pemberian

MgSO4 dengan infus IV secara berkelanjutan, karena jalur IV memberikan

keuntungan dibandingkan pemberian jalur IM dalam hal kemudahan pemberian,

kurang menyakitkan bagi pasien, dan rata-rata level magnesium yang dapat

dikontrol. Namun di India, kebanyakan pusat pelayanan kesehatan lebih memilih

pemberian IM seperti yang dijelaskan oleh Pritchard karena buruknya persiapan

dalam pemberian infus IV magnesium sulfat, dimana tidak praktis diakibatkan

tidak tersedianya alat set infus dan petugas perawat yang terlalu sibuk mengambil

contoh tingkat serum magnesium dengan jarak waktu yang terlalu sering, tidak

efektif secara biaya.

Hal-hal tersebut memberanikan kami untuk melakukan penelitian dimana

kedua jalur pemberian MgSO4 dibandingkan dan toksisitas magnesium dinilai

dengan parameter klinis sehingga sebuah penelitian institusional dapat membantu


pelayanan kesehatan primer dan unit kesehatan lainnya untuk menggunakan

MgSO4 tanpa ada keterlambatan dan ketakutan.

METODE.

Penelitian dilakukan di Meerut, Universitas Medis Lala Lajpat Rai. Rumah

sakit ini merupakan pusat rujukan daerah dan menyajikan populasi miskin dari

kondisi sosio-ekonomi yang buruk. Tujuan utama dari penelitian inni adaalah

untuk membandingkan kedua kelompok dalam hal pencegahan terjadinya

konvulsi pada kasus eklamsi dan komplikasi ibu lainnya.

Penilaian hasil sekunder untuk penelitian ini yaitu untuk membandingkan

prognosis maternal dan perinatal diantara kedua kelompok. Prognosis maternal

meliputi cara persalinan. Prognosis perinatal meliputi skor APGAR, berat lahir

bayi, mortalitas perinatal, dan banyaknya kasus di unit perawatan neonatal.

Kriteria inklusi yaitu wanita dengan hipertensi dan proteinuria berat yang akan

melahirkan, atau kurang dari 24 jam postpartum, atau kedua kriteria tersebut: 1.

gejala premonitor seperti, sakit kepala, gangguan penglihatan, nyeri epigastrium

persisten, oliguria atau hasil temuan laboratorium biokimiawi yang abnormal:

hitung platelet <100x109, ALT <50 IU/L,ditandai dengan meningkatnya kreatinin

>2 mg/dl; 2. Hipertensi berat (160/110 mmHg) dengan proteinuria sedikitnya 2+

yang didapatkan dengan metode dipstik semi kuantitatif; 3. eklamsi: eklamsi

didiagnosis dengan melihat riwayat kejang umum tonik klonik dengan atau tanpa

peningkatan tekanan darah dan proteinuria (metode dipstik) dan tidak adanya
penyakit yang mendasari terjadinya gangguan kejang setelah umur kehamilan 20

minggu.

Semua kasus eklamsi antepartum, intrapartum, dan postpartum yang ada di

kamar bersalin dimasukkan ke dalam penelitian. Pasien dengan preeklamsi berat

dan eklamsi yang mempunyai penyakit gagal ginjal, edema pulmonal berat

dengan gagal napas, atau hydatiform mole, diabetes melllitus, tirotoksikosis,

epilepsi, pernah mendapatkan magnesium sulfat dan/atau antikonvulsan lainnya

sebelum datang ke rumah sakit, kecelakaan serebrovaskular dan Disseminated

Intravascular Coagulation (DIC), dieksklusikan dari penelitian. Para pasien yang

masuk kriteria inklusi diklasifikasikan menjadi dua kelompok.

Setiap kelompok IV dan IM terdapat 41 pasien (24 pasien preeklamsi berat

dan 17 pasien eklamsi. Kelompok IV menerima infus IV secara berkala, 4 mg

MgSO4 dalam 100 ml cairan Ringer Laktat habis dalam waktu 20 menit, diikuti

dengan dosis pemeliharaan 2mg/jam menggunakan infusion pump. Kelompok IM

diberikan MgSO4 intramuskular berdasarkan regimen Pritchard: 4 mg 20%

MgSO4 IV dan 10 mg IM (5 mg bokong kiri dan kanan) sebagai dosis awal diikuti

dengan dosis pemeliharaan 5 mg magnesium sulfat IM pada salah satu bokong

setiap 4 jam. Kedua kelompok diberikan MgSO4 selama 24 jam setelah persalinan

atau 24 jam setelah kejang yang paling terakhir. Jika konvulsi terjadi diantara 4

jam setelah pemberian dosis awal dan masih terjadi kejang selanjutnya, maka

dosis tambahan 2mg magnesium sulfat IV diberikan secara pelan dan jadwal dosis

sebelumnya tetap diberikan.


Setiap pasieen diawasi sebelumdiberikan dosis awal, untuk melihat tanda-

tanda dari toksisitas dengan mengobservasi refleks spontan patella, urine output,

dan laju pernapasan. Dengan melihat kondisi pasien, parameter klinis lainnya

ditandai dan panduan manajemen eklamsia dilakukan sesuai dengan prosedur.

Dosis pemeliharaan ditangguhkan jika refleks spontan patella tidak ada, atau

urine output <100 ml dalam 4 jam, atau laju pernapasan <16 kali/menit. Pada

semua kasus, riwayat yang lengkap terkait tekanan darah tinggi dan obat-obatan

yang diminum, sakit kepala, penglihatan kabur, nyeri epigastrium, jumlah kejang,

riwayat terjadinya eklamsi/preeklamsi pada kehamilan sebelumnya dan sekarang

harus dicatat.

Pemeriksaan fisik umum, termasuk menilai tanda-tanda vital, rekaman

tekanan darah, pallor, edema, sianosis, dan permeriksaan sistemik, yaitu

pemeriksaan respiratori, kardiovaskular, dan neurologik. Obstetrikal, pemeriksaan

pelvis dan skor bishop telah dilakukan. Penilaian laboratorium dinilai dengan

mengamati jenis darah dan tipe Rh, hemogram, hitung platelet, uji fungsi hati, uji

fungsi ginjal, serum elektrolit, profil koagulasi dan dan pemeriksaan fundus, dan

pemeriksaan protein urin. Setelah pasien stabil, induksi persalinan pada semua

kasus antepartum dan intrapartum dapat dilakukan.. Jika tekanan diastolik lebih

dari 110 mmHg, nifedipin oral 10 mg dapat diberikan pada preeklamsi berat dan

nifedipin sublingual pada eklamsi.Seksio sesaria dilakukan jika ada indikasi

obstetrik. Berat lahir bayi, skor APGAR, dan prognosis neonatal harus dicatat.

Level serum magnesium tidak dapat dinilai karena tidak efektif dari segi biaya.

Statistik.
Sebuah analisis komparatif dibuat antara dua kelompok ini. Data dianalisis

menggunakan SPSS versi 15.0, semua data non-parametrik (data proporsional)

ditampilkan sebagai angka dan persentase, data parametrik sebagai rata-rata, dan

standar deviasi. Perbedaan antar kelompok dihitung menggunakan Tes Pearsons

Chi square untuk proporsi dan contoh independen dari Tes T, Batas angka

kepercayaan pada penelitian ini samapai 95%, nilai P 0,05 sebagai tingkat

perbedaan signifikan secara statistik.

HASIL

Terdapat total 2739 persalinan di rumah sakit selama penelitian berlangsung.

Angka eklamsi di rumah sakit kami sebesar 1,24% dan preeklamsi berat sebesar

1,75%. Angka insidensi yang cukup tinggi dikarenakan rumah sakit kami sebagai

rujukan utama dari pelayanan kesehatan di daerah-daerah tersier. Karakteristik

pasien dan parameter penelitian ditampilkan di Tabel 1.

Tabel di bawah, menunjukkan karakteristik pasien dari kedua kelompok,

distribusi umur, tipe eklamsi, pencatatan selama antenatal dan status gravid,

periode gestasi, IMT, status tekanan darah sistolik dan diastolik, semua

dibandingkan pada kedua kelompok. Gejala dan tanda premonitor yang paling

umum pada pasien preeklamsi berat adalah penglihatan kabur sebesar 12,5% pada

kelompok IV dan 16,66% pasien pada kelompok IM. Interval waktu dari mulai

masuk rumah sakit hingga waktu persalinan kira-kira 13,375 7 jam pada

kelompok IM dan 13,06 5,9 jam pada kelompok IV. Dosis rata-rata magnesium

sulfat untuk kelompok IV dan IM adalah 63,27 16,62 mg dan 65,93 18,12 mg,
secara respektif (secara statistik tidak signifikan). Seperti yang terlampir di Tabel

4, 68,29% pasien pada kelompok IV menjalani persalinan pervaginam dan 75,6%

pada kelompok IM.

Tabel 1. Karakteristik Fisik dan Demografi.

Tanda-tanda impending toksisitas seperti pada Tabel 2, ditemukan lebih

banyak pada kelompok IM 16/41 (39,02%) dibandingkan dengan kelompok IV

5/41 (12,19%). Hilangnya refleks patellar terdapat 10/41 (24,39%) subjek

penelitian pada kelompok IM dan hanya 3/41 (7,31%) pada kelompok IV dan

signifikan secara statistik P=0.034. Tanda-tanda impending toksisitas lainnya


(seperti oliguria, RR < 16 kali/menit, komplikasi lokal) terjadi lebih banyak pada

kelompok IM, tetapi secara statistik tidak signifikan.

Tabel 2. Tanda-tanda Toksisitas Magnesium.

Komplikasi pengobatan dapat dilihat di Tabel 3. Kami mendefinisikan

kambuhnya kejang jika terjadi 30 menit setelah pemberian dosis awal.

Kambuhnya kejang terjadi pada 1 (5,88%) pasien di kelompok IV dan 1 (5,88%)

pasien pada kelompok IM. Setiap episode diobati dengan penambahan 2 gram

magnesium sulfat. Pada penelitian ini, tidak ada pasien preeklamsi berat yang

mengalami kejang setelah pemberian terapi. Komplikasi obstetrik dapat dilihat di

Tabel 3 selama persalinan dan kelahiran (seperti atonia HAP dan abrupsi dan RD),

sekitar 14,63% dan 17,07% pada kelompok IV dan IM secara respektif (secara

statistik tidak signifikan P=0,672).

Komplikasi lainnya (gagal ginjal akut, edema pulmonal, trombositopenia)

sebesar 9,75% dan 17,07% pada kelompok IV dan IM secara respektif. 1/41

(2,43%) pasien meninggal pada kelompok IM dan tidak terdapat mortalitas di

kelompok IV. Tabel 5 menunjukkan angka mortalitas yang lebih tinggi pada

kelompok IM dibandingkan dengan kelompok IV (17,07 pada kelompok IV dan


13,95% pada kelompok IM), tetapi tidak signifikan. Rata-rata berat lahir bayi

hampir sama pada kedua kelompok, 2,34 6 kg pada kelompok IV dan 2.31

0,75 kg pada kelompok IM. Skor APGAR dan banyaknya jumlah bayi yang

dirawat di NICU didapatkan seimbang pada kedua kelompok.

Tabel 3. Tanda-tanda Toksisitas Magnesium.

Tabel 3. Tanda-tanda Toksisitas Magnesium.


Tabel 4. Tipe-tipe Persalinan

Tabel 5. Prognosis Perinatal.

DISKUSI.

Penggunaan MgSO4 sebagai pengontrol kejang dan profilaksis telah

menunjukkan efikasi pada wanita dengan preeklamsi berat dan eklamsi.

Penggunannya secara rutin sebgai profilaksis kejang pada wanita dengan

preeklamsi ringan tidak pernah didukung karena belum terbukti. Telah ditemukan

bahwa penggunaan terapi magnesium sulfat bukan tanpa komplikasi. Morbiditas

dan mortalitas maternal dapat terjadi karena kelebihan dosis dan toksisitas dari

nnagnesium, yang dapat dicegah dengan memberikan magnesium sulfat dengan

dosis yang terkontrol dan monitoring pasien yang ketat. Hal ini dapat dicapai

dengan memberikan regimen MgSO4 IV secara berkala.

Sementara banyak pusat pelayanan kesehatan di dunia memberikan infus

MgSO4 secara berkala karena dianggap pemberian jalur IV lebih memiliki banyak
manfaat dibandingkan jalur IM. Namun, di India kebanyakan pusat kesehatan

lebih memilih pemberian secara IM seperti yang dideskripsikan oleh Pritchard

karena kebanyakan persiapan memiliki alat-alat yang tidak baik dan memberikan

MgSO4 IV tidak praktis akibat tidak tersedianya set alat infus, perawat yang terlalu

sibuk, dan mengabil level serum magnesium dengan interval waktu yang sering

tidak efektif dari segi biaya. Pada penelitian kedua jalur pemberian MgSO 4

dibandingkan dan toksisitas magnesium diukur dengan melihat parameter klinis.

Kebanyakan pasien pada kedua kelompok IV dan IM adalah kelompok

umur 20-30 tahun. Pada kelompok IV 36/41 (87,80%) dan kelompok IM 39/41

(95,12%) merupakan kelompok umur ini. Pasien yang paling muda berumur 19

tahun dan yang tertua berumur 40 tahun. Rata-rata umur pada kelompok IV adalah

26,03 3,984 tahun dan kelompok IM 25,4 3,969 tahun (P=0,525). Tidak

terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik (P=0,934).

Hasil penelitian kami mirip dengan Singh VK dan Pandey K, et al (1992),8

pada penelitian mereka didapatkan 80 pasien eklamsi rentang umur 15-40 tahun

dengan rata-rata umur 26,5 tahun. Sibai melaporkan rata-rata umur 18,5 tahun. 9 33

(80,5%) pada kelompok IV dan 36 (87,8%) pada kelompok IM yang tinggal di

pedesaan. Kebanyakan kasus eklamsi (79,41%) dan preeklamsi berat (87,5%)

yang bertempat tinggal di pedesaan. Terdapat 7 (17,07%) kasus yang dicatat pada

kelompok IV dan 5 (12,19%) kasus pada kelompok IM. Kebanyakan kasus yang

tidak tercatat (85,3%), persentase yang hampir sama dengan kasus eklamsia yang

tidak tercatat yang dilaporkan oleh Agarwal10 (1983) 92%, Sahu L11 (2012) anatar

84-92%. Secara statistik, kedua kelompok cocok dari segi paritas dan usia
kehamilan (P> 0,05). Sebanyak 26 (63,41%) nulipara dalam kelompok IV dan 24

(58,53%) dalam kelompok IM. Secara statistik tidak terdapat perbedaan yang

signifikan (P = 0,651).

Mayoritas dari kasus eklamsi (64,70%) dan preeklamsi berat (58,33%)

adalah nullipara, Ekel7 (2005) melaporkan sebanyak 89% sementara Seth et al.2

(2010) menemukan insidensi terjadinya eklamsi pada primigravida sebesar 74,2%.

Rata-rata umur gestasional pada kelompok IV 36,11 2,93 minggu sementara

kelompok IM 35,31 3,11 minggu. Sebesar 52,94% pasien eklamsi pada

kelompok IV dan 72,64% pasien eklamsi pada kelompok IM masuk rumah sakit

pada usia kehamilan 32-37 minggu dan pasien preeklamsi berat kebanyakan pada

usia kehamilan 32-37 minggu ( 51,21%). Lama gestasional pasien eklamsi

bervariasi pada beberapa penelitian. Seth et al.2 menemukan (31,8%) antara 32-36

minggu.

30 (88,23%) pasien terjadi eklamsi antepartum / intrapartum sementara 4

(11,87%) pasien terjadi eklamsi postpartum. Penelitian oleh Bangal et al.12 60%

kasus terjadi eklamsi antepartum, 28% kasus terjadi eklamsi intrapartum, dan 12%

kasus terjadi eklampsia postpartum. Rata-rata tekanan darah sistolik adalah

174,44 12,97 mmHg dalam kelompok IM sementara di kelompok IV 173,22

14,81 mmHg. Demikian pula, rata-rata tekanan darah diastolik sebesar 110,98

10,48 dan 110,24 7,58 mmHg masing-masing pada kelompok IM dan kelompok

IV. Coetzee EJ et al.13 (822 pasien preeklamsia berat) ditemukan rata-rata tekanan

darah sistolik 173 mmHg dan diastolik 116 mmHg.


Pada kedua kelompok 1/17 (5,88%) kasus, masing-masing terjadi

kekambuhan kejang setelah pemberian dosis awal. Terdapat perbedaan yang tidak

signifikan antara kedua kelompok secara statistik (P=1). Pritchard6 dan Sibai14

telah melaporkan tingkat kekambuhan masing-masing kelompok sebesar 11% dan

16%. Tingkat kekambuhan dalam percobaan kolaboratif eklampsia15

menggunakan rejimen Pritchard dilaporkan berkisar antara 5,7 dan 13,2%. Tidak

terjadi kejang pada setiap pasien dengan preeklamsia berat. Coetzee et al.13

menemukan tingkat terjadinya kejang sebesar 0,3% pada kelompok eklampsia

berat setelah menerima magnesium sulfat IV.

Chinayon P16 (1998) dan Ekele7 (2005) mengemukakan bahwa penilaian

klinis refleks spontan patella, laju pernapasan dan output urin sudah cukup untuk

memantau toksisitas magnesium pada ibu tanpa perlu menentukan tingkat serum

yang sebenarnya. Dalam penelitian ini kami juga mengevaluasi tanda-tanda klinis

dari toksisitas magnesium; hilangnya refleks patella, yang lebih tinggi pada

kelompok IM 10/41 (24,39%) dibandingkan dengan kelompok IV 3/41 (7.31),

secara signifikan, (P=0.034). Oliguria terjadi lebih sedikit pada kelompok IV

dibandingkan kelompok IM 2,43% vs 7.31% (P=0,396). Abses lokal terlihat

dalam 1 kasus eklampsia pada kelompok IM yang dikelola secara konservatif.

Tidak ada pasien dalam kelompok IV yang memiliki depresi pernafasan atau

komplikasi lokal seperti flebitis. Keseluruhan tanda-tanda akan terjadinya

toksisitas lebih umum terjadi pada kelompok IM dibandingkan dengan kelompok

IV (39,02% IM / 12,19% IV), tapi hal tersebut tidak signifikan secara statistik.
Chissell S17 (1994) menjelaskan toksisitas magnesium pada kelompok IV adalah

1/8 (12,5%) kasus dan tidak ada dalam kelompok IM.

Tabel 6. Perbandingan Komplikasi dengan Penelitian Sardesai et al.18 (2003).

Komplikasi yang sering diamati pada pasien kami, yaitu solusio, HAP

atonia, trombositopenia, gagal ginjal akut, dan edema paru. Ada 3/41 (7,31%)

kasus pada kelompok IV dan jumlah yang sama 3/41 (7,35%) pada kelompok IM

terjadinya HAP. Abruptio ditemukan 3/41 (7,31%) kasus pada kelompok IV dan

3/41 (7,31%) pada kelompok IM. Trombositopenia terlihat sama 4/41 (9,57%)

kasus pada kedua kelompok. 3/41 (7,31%) kasus terjadi gagal ginjal akut pada

kelompok IM, tetapi tidak terjadi pada kelompok IV. 1/41 (2,43%) kasus terjadi

edema paru pada kelompok IV dan tidak ada komplikasi seperti itu hadir dalam
kelompok IM. Tak satu pun dari pasien pada kedua kelompok memiliki luka

akibat tempat tidur, selulitis, hematuria, dan psikosis postpartum. Dalam

penelitian kami 24,39% kelompok IV dan 34,14% kelompok IM memiliki

komplikasi selama persalinan dan kelahiran yang secara statistik tidak signifikan.

Perbandingan komplikasi dengan studi Sardesai et al.18 (2003) dapat dilihat di

Tabel 6.

Satu pasien (2,43%) eklampsia meninggal setelah terjadi depresi pernafasan,

pasien tersebut alih rawat ke ICU. Namun, meninggal meskipun telah diberikan

penanganan yang intensif. Tidak ditemukan kasus seperti itu pada kelompok IV.

Dengan demikian, angka kematian ibu sebesar 1,22%. Chowdhary et al.19

melaporkan angka kematian ibu sebesar 5% pada kelompok IM dan 3,3% pada

kelompok IV. Cara persalinan pada sebagian besar kasus dengan melalui jalur

pervaginam 28/41 pasien (68,29%) pada kelompok IV dan 31/41 pasien (75,60%)

pada kelompok IM. Pasien eklamsia (17 pasien dari masing-masing kelompok IM

dan kelompok IV) motode persalinan yang paling sering terjadi adalah melalui

jalur vagina pada 24/34 (70,58%), seksio sesaria dilakukan pada 10 (29,41%)

wanita eklamsi. Juga di antara preeklamsia berat (24 masing-masing IM dan

kelompok IV) rute biasa melahirkan adalah rute vagina 35/48 (72,91%) dan oleh

LSCs di 13/48 (27,08%). Tingkat operasi caesar di kolaboratif eklampsia trial15

adalah 66-72% menggunakan standar Pritchard "s rejimen. Dalam studi Chissell

S17 tingkat operasi caesar adalah 4/8 dalam kelompok IV dan 3/9 di grup IM

masing-masing.
Prognosis neonatal tergantung pada tingkat keparahan terkait terhambatnya

pertumbuhan janin intrauterin (IUGR), usia kehamilan, berat lahir dan tingkat

fasilitas di NICU. Ada 34 kelahiran hidup dalam kelompok IM dibandingkan

dengan kelompok IV sebesar 37 kelahiran. Secara statistik, tidak terdapat

perbedaan yang signifikan dalam dua kelompok. Kematian perinatal sebesar 7/41

(13,95%) pada kelompok IV dan 6/43 (17,07%) pada kelompok IM. Secara

keseluruhan kematian perinatal dalam penelitian kami adalah 15,47%. Sardesai et

al.,18 Pritchard6 menunjukkan sebesar 20,22% dan 33,83% kematian perinatal

pada masing-masing penelitian. Percobaan kolaboratif eklamsi15 menggunakan

rejimen dosis standar mengemukakan bahwa angka kematian perinatal sebesar 24-

26% dan terjadinya asfiksia ketika lahir sebesar 44-48% pada pasien eklamsi.

Chissell S17 menunjukkan 1/8 dan 1/9 bayi lahir dalam keadaan mati pada kedua

kelompok IV dan IM, pada ibu dengan eklampsia berat . Hal ini terlihat bahwa

subjek dalam kelompok IM terdapat perbedaan yang tidak signifikan dari segi

bayi berkaitan dengan skor Apgar yang rendah dibandingkan dengan subjek di

kelompok IV (P=0,751). Dalam penelitian kami, terdapat 10 kelahiran hidup

(14,92%) pada kelompok IV dan 9 (13,43%) kelahiran hidup pada kelompok IM,

yang memerlukan perawatan di NICU.

Dalam penelitian Shela Noor et al.20 menggunakan regimen Pritchard,

3,77% bayi dari ibu dengan eklamsi dan 10% bayi dari ibu dengan preeklamsia

berat memerlukan perawatan secara itensif. Rata-rata berat badan bayi dalam

kelompok IM adalah 2,31 0,75 kg dibandingkan dengan 2,34 6 kg dalam

kelompok IV, sehingga menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara
kedua kelompok (P=0,839). Diantara pasien eklampsia terdapat 35,29% bayi

hidup yang berat badan lahir 2.5 kg dan terdapat 45,83% bayi hidup yang berat

badan lahir 2.5 kg diantara pasien preeklamsia berat.

KESIMPULAN.

Kita dapat menyimpulkan dari penelitian di atas bahwa regimen Pritchard

dan pemberian infus magnesium sulfat secara berkala sama efektifnya dalam hal

mengkontrol dan mencegah terulangnya kejang. Tanda-tanda toksisitas

magnesium (kecuali untuk hilangnya refleks patela yang lebih banyak terjadi pada

kelompok IM) hampir sama pada kedua rejimen. Secara keseluruhan untuk

prognosis perinatal adalah sama pada kedua kelompok. Regimen IM memiliki

kelemahan, yaitu cara menyuntik yang menyakitkan bagi pasien, tetapi memiliki

keuntungan dari segi kenyamanan. Tidak tersedianya pengaturan pompa infus IV

dan staf perawat yang mungkin terlalu sibuk untuk memberikan pemantauan terus

menerus. Jalur IM, dimana dosis hanya diberikan sekali; setelah refleks patella,

respirasi dan output urin telah diperiksa, mungkin menjadi pilihan yang lebih

aman. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada dua regimen ini. Dosis IM dapat

diberikan secara khusus, dimana pemantauan tingkat magnesium yang sering

tidak praktis.

DAFTAR PUSTAKA.

1. Bhargava A, Pant R, Chutani I, Singh SR. Accelerated recovery from


eclampsia. J Obstet Gynecol India. 2006;56:402-5.
2. Seth S, Nagrath A, Singh DK. Comparison of low dose, single loading dose
and standard Pritchard regimen of magnesium sulphate in ante-partum
eclampsia. Anatol J Obstet Gynecol. 2010;1(1):1-4.

3. World Health Organization. Maternal mortality: fact sheet N348", 2014.


Available at: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs348/en/. Accessed
20 June 2014.

4. Mackay AP, Berg CJ, Atrash HK. Pregnancy-related mortality from


preeclampsia and eclampsia. Obstet Gynecol. 2001;97:533-8.
5. No Author. Which anticonvulsant for women with eclampsia? Evidence from
the Collaborative Eclampsia Trial. Lancet. 1995;345(8963):1455-63.

6. Pritchard JA, Cunningham, FG Pritchard SA. The parkland memorial hospital


protocol for treatment of eclampsia evaluation of 245 cases. Am J Obstet
Gynecol. 1984:148(7);951-63.

7. Ekele BA, Badung SL. Is serum magnesium estimate necessary in patients


with eclampsia on magnesium sulphate? Afr J Reprod Health. 2005
Apr;9(1):128-32

8. Singh VK, Pandey K. Study of 80 patients with eclampsia. J Obstet Gynaecol


India. 1992;43(4):547-61.

9. Sibai BM, Graham JM, McCubbin JH. A comparison of IV and IM


magnesium sulphate regimens in preeclampsia. Am J Obstet Gynecol.
1984;150:728-33.

10. Agarwal S, Dhall K, Bhatia K. Epidemiologic IV of eclampsia. J Obstet


Gynaecol India. 1983;33:83.

11. Latika Sahu, Shubhra Singh, Anjali Tempe, B. C. Koner. A randomized


comparative study between low-dose magnesium sulphate and standard dose
regimen for management of eclampsia. Int J Reprod Contracept Obstet
Gynecol. 2014;3(1):79-86.

12. Bangal VB, Purushottam A. Giri, Satyajit P. Gavhane. A study to compare the
efficacy of low dose magnesium sulphate regime with Pritchard regime in
eclampsia. Int J Biomed Adv Res. 2012;3(1):53-7.

13. Coetzee EJ, Dommisse J, Anthony JA. Randomized controlled trial of IV


magnesium sulphate versus placebo in the management of women with
severe preeclampsia. S Afr Med J. 1994 Sep;84(9):607-10.
14. Sibai BM. Magnesium sulfate is the ideal anticonvulsant in preeclampsia -
eclampsia. Am J Obstet Gynecol. 1990;162(5):1141-5.

15. Duley L. The Eclampsia Trial collaborative Group. Which anticonvulsant for
women with eclampsia? Evidence from the Collaborative Eclampsia trial.
Lancet. 1995;345:1455-63.

16. Chinayon P. Clinical management and outcome of eclampsia at Rajavithi


Hospital. J Med Assoc Thai. 1998;81(8):579-85.

17. Chissell S, Botha JH, Moodley J, McFadyen L. IV and IM magnesium


sulphate regimens in severe preeclampsia. S Afr Med J. 1994 Sep;84(9):607-
10.
18. Sardesai S, Maira S, Patil A. Low dose magnesium sulphate therapy for
eclampsia and imminent eclampsia - regimen tailored for Indian women. J
Obstet Gynecol India. 2003;53(6):546-50.

19. Joydeb Roy Chowdhury, Snehamay Chaudhuri, Nabendu Bhattacharyya,


Pranab Kumar Biswas, Madhabi Panpalia. Comparison of IM magnesium
sulfate with low dose IV magnesium sulfate regimen for treatment of
eclampsia. J Obstet Gynaecol Res. 2009;35(1):119-25.

20. Shehla Noor, Mussarat Halimi, Nasreen Ruby Faiz, Fouzia Gull, Nasreen
Akbar. Magnesium sulphate in the prophylaxis and treatment of eclampsia. J
Ayub Med Coll Abbottabad. 2004 Apr-Jun;16(2):50-4.

Anda mungkin juga menyukai