2011/2012
diterjemahkan dari:
Mathematical Methods for Engineers and Scientists 1, 2, dan 3
K. T. Tang
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
SEPTEMBER 2011
ii
Daftar Isi
Diberikan sebuah matriks A, untuk menentukan sebuah skalar dan matriks kolom tak nol
x yang secara simultan memenuhi persamaan
Ax = x (1.1)
disebut sebagai persamaan nilai eigen (eigen dalam bahasa Jerman yang berarti proper -
Inggris atau sebenarnya). Solusi dari persamaan ini berkaitan erat dengan pertanyaan apakah
matriks tersebut dapat ditransformasikan dalam bentuk diagonal.
Persamaan nilai eigen banyak sekali dijumpai dalam aplikasi di bidang teknik seperti vi-
brasi mekanik, arus bolak-balik, dan dinamika benda tegar. Hal ini juga sangat penting dalam
fisika modern. Semua struktur dalam mekanika kuantum berdasarkan pada diagonalisasi dari
beberapa jenis matriks.
Dalam persamaan nilai eigen, nilai disebut sebagai nilai eigen (nilai karakteristik) dan
matriks kolom x yang berkaitan dengan ini disebut sebagai vektor eigen (vektor karakteristik).
Jika A adalah matriks n n (1.1) diberikan oleh
a11 a12 a1n x1 x1
a21 a22 a2n x2 x2
. = . .
. . . .
.. .. .. .. .. ..
an1 an2 ann xn xn
Karena
x1 1 0 0 x1
x2 0 1 0 x2
. = . . . = Ix,
.. .. .. .. .. .
. . .
xn 0 0 1 xn
2 1. NILAI EIGEN MATRIKS
(A I)x = 0 (1.2)
Persamaan ini memiliki solusi nontrivial jika dan hanya jika determinan dari matriks
koefisien hilang (bernilai nol):
a a12 a1n
11
a21 a22 a2n
= 0. (1.3)
. .. .. ..
.. . . .
an1 an2 ann
Ekspansi dari determinan ini menghasilkan polinomial berderajat n, yang disebut sebagai
polinomial karakteristik P (). Persamaan
P () = |A I| = 0 (1.4)
P (i ) = 0,
maka
Axi = i xi .
Jika semua nilai eigen yang berjumlah n berbeda, maka kita akan memiliki n vektor eigen
yang berbeda. Jika dua atau lebih nilai eigen sama, kita menyebutnya berdegenerasi. Dalam
persoalan yang sama, sebuah nilai eigen yang berdegenerasi bisa memiliki satu buah vektor
eigen. Di lain pihak, sebuah nilai eigen yang berdegenerasi juga bisa memiliki vektor eigen
yang berbeda.
Contoh 1.1.1. Carilah nilai eigen dan vektor eigen dari A, jika
!
1 2
A= .
2 1
2 2 3 = ( + 1)( 3) = 0.
Sehingga vektor eigennya x11 = x12 , yaitu x11 : x12 = 1 : 1. Sehingga vektor eigennya
dapat dituliskan !
1
x1 = .
1
Sebuah konstanta, baik positif atau negatif, yang dikalikan dengan vektor eigen ini akan tetap
merupakan solusi, namun kita tidak akan menganggapnya sebagai vektor eigen yang berbeda.
Dengan prosedur yang serupa, kita bisa menghitung vektor eigen untuk 2 = 3 yaitu
! !
x21 1
x2 = = .
x22 1
Contoh 1.1.2. Carilah nilai eigen dan vektor eigen dari A, jika
!
3 5
A= .
1 1
yang memberikan
(2 i)x11 5x12 = 0,
x11 (2 + i)x12 = 0.
Sehingga kita telah memiliki sebuah contoh untuk matriks riil dengan nilai eigen dan vektor
eigen kompleks.
Contoh 1.1.3. Carilah nilai eigen dan vektor eigen dari A, jika
2 2 3
A= 2 1 6 .
1 2 0
6 = 3 2 + 21 + 45,
P () = 2 1
1 2
3 + 2 21 45 = ( 5)( + 3)2 = 0.
Persamaan ini memiliki sebuah akar 5 dan dua akar yang sama -3
1 = 5, 2 = 3, 3 = 3.
Vektor eigen yang dimiliki oleh nilai eigen 1 haruslah memenuhi persamaan
2 5 2 3 x11
1 5 6 x12 = 0.
2
1 2 0 5 x13
1.1. NILAI EIGEN DAN VEKTOR EIGEN 5
yang berarti
Dengan memilih x13 = 1 maka x12 = 2 dan x11 = 1. Sehingga untuk nilai eigen 1 = 5,
vektor eigennya x1 adalah
1
x1 =
2 .
1
yang berarti
x1 + 2x2 3x3 = 0.
Kita dapat menyatakan x1 dalam x2 dan x3 dan tidak terdapat batasan untuk x2 dan x3 .
Ambil x2 = c2 dan x3 = c3 sehingga x1 = 2c2 + 3x3 , sehingga kita dapat menuliskan
x1 2c2 + 3x3 2 3
x2 = c2 = c2 1 + c3 0 .
x3 c3 0 1
Karena c2 dan c3 sebarang, pertama kita bisa memilih c3 = 0 dan mendapatkan satu vektor
eigen, kemudian yang kedus, kita memilih c2 = 0 untuk memperoleh vektor eigen yang lain.
Sehingga berkaitan dengan nilai eigen = 3 yang berdegenerasi ini, terdapat dua buah
6 1. NILAI EIGEN MATRIKS
vektor eigen
2 3
x2 = 1
, x3 = 0
.
0 1
Dalam contoh ini, kita hanya memiliki dua buah nilai eigen berbeda, tetapi kita tetap me-
miliki tiga buah vektor eigen yang berbeda.
Contoh 1.1.4. Carilah nilai eigen dan vektor eigen dari A, jika
4 6 6
A= 1 3 2 .
1 5 2
2 = 3 + 52 8 + 4,
P () = 1 3
1 5 2
3 52 + 8 4 = ( 1)( 2)2 = 0.
Dari persamaan untuk vektor eigen x1 yang dimiliki oleh nilai eigen 1
41 6 6 x11
31 = 0,
1 2 x12
1 5 2 1 x13
Dengan menggunakan metode eliminasi Gauss, kita dapat menunjukkan bahwa persamaan
ini ekivalen dengan
1 1 2 x1
0 2 1 x2 = 0,
0 0 0 x3
yang berarti
x1 + x2 + 2x3 = 0,
2x2 + x3 = 0.
3
x2 =
1 .
2
Dua buah persamaan di atas tidak mengijinkan adanya vektor eigen yang merupakan perka-
lian dengan sebuah konstanta dikalikan x2 . Sehingga untuk matriks 3 3 ini, hanya terdapat
dua buah vektor eigen yang berbeda.
8 1. NILAI EIGEN MATRIKS
Polinomial karakteristik memiliki banyak sifat yang berguna. Untuk mengelaborasinya, per-
tama kita perhatikan kasus n = 3.
a11 a12 a13
P () = a21 a22 a23
a31 a32 a33
a11 a12 a13 a12 a13
= a21 a22 a23 + 0 a22 a23
a31 a32 a33 0 a32 a33
a11 a12 a13 a11 0 a13
= a21 a22 a23 + a21 a23
a31 a32 a33 a31 0 a33
a12 a13 0 a13
+ 0 a22 a23 + 0 a23
0 a32 a33 0 0 a33
a a a a a 0 a 0 a a 0 0
11 12 13 11 12 11 13 11
= a21 a22 a23 + a21 a22 0 + a21 a23 + a21 0
a31 a32 a33 a31 a32 a31 0 a33 a31 0
a12 a13 a12 0 0 a13 0 0
+ 0 a22 a23 + 0 a22 0 + 0 a23 + 0 0
0 a32 a33 0 a32 0 0 a33 0 0
!
a
11 a12 a11 a13 a22 a23
= |A| + + + ()
a21 a22 a31 a33 a32 a33
P () = (1 )(2 )(3 ) = 0.
Hal ini berarti jumlah nilai eigen sama dengan trace dari A. Hubungan ini sangat berguna
untuk mengecek apakah nilai eigen yang kita hitung benar. Selanjutnya
a
11 a12 a11 a13 a22 a23
1 2 + 2 3 + 3 1 = + + ,
a21 a22 a31 a33 a32 a33
1.1. NILAI EIGEN DAN VEKTOR EIGEN 9
yang merupakan jumlah dari minor utama (principal minor ) atau minor dari elemen diagonal,
dan
1 2 3 = |A|.
Hal ini berarti perkalian semua nilai eigen tidak lain adalah determinan dari A yang juga
merupakan hubungan yang sangat berguna. Jika A adalah matriks singular |A| = 0, maka
paling tidak salah satu nilai eigen adalah nol. Dari sini berarti jika matriks tersebut memiliki
invers, maka tidak ada nilai eigen yang nol.
Perhitungan yang sama bisa digunakan untuk mengeneralisasi hubungan-hubungan ini
untuk matriks dengan orde yang lebih tinggi.
Contoh 1.1.5. Carilah nilai eigen dan matriks eigen dari matriks A jika
5 7 5
A= 0 4 1
2 8 3
Solusi 1.1.5.
5 7 5
P () =
0 4 1
2 8 3
5 7 5
!
4 1 5 5 5 7
+ (5 + 4 3)2 3
= 0 4 1 + +
8 3 2 3 0 4
2 8 3
= 6 11 + 62 3 = (1 )(2 )(3 ) = 0.
1 = 1, 2 = 2, 3 = 3.
1 + 2 + 3 = 1 + 2 + 3 = 6,
x11
Misalkan x1 adalah
x12 vektor eigen berkaitan dengan nilai eigen 1 maka
x13
5 1 7 5 x11 4 7 5 x11
0 4 1 1 x12 = 0 3 1 x12
= 0.
2 8 3 1 x13 2 8 4 x13
Hanya satu dari tiga buah bilangan yang tak diketahui dapat kita pilih sebarang. Sebagai
contoh, pilih x13 = 3 maka x12 = 1 dan x11 = 2. Sehingga untuk nilai eigen 1 = 1, vektor
eigennya
2
x1 =
1 .
3
Dengan cara yang sama, untuk 2 = 2 dan 3 = 3, vektor eigen yang bersesuaian adalah
1 1
x2 = 1 , dan x3 = 1
.
2 1
Terdapat beberapa sifat nilai eigen yang sangat berguna dalam aplikasi matriks. Sifat-sifat
ini berdiri sendiri tetapi bisa digunakan secara bersamaan
Matriks transpos A atau (AT ) memiliki nilai eigen yang sama dengan A. Nilai eigen A
dan AT adalah solusi dari |A I| = 0 dan |AT I| = 0. Karena AT I = (A I)T
dan determinan sebuah matriks sama dengan determinan transposnya
persamaan sekular untuk A dan (A)T identik. Maka A dan (A)T memiliki nilai eigen
yang sama.
1.2. BEBERAPA TERMINOLOGI 11
Jika A adalah matriks segitiga baik yang atas maupun bawah, maka nilai eigennya
adalah elemen diagonal. Jika |A I| = 0 adalah
a a12 a1n
11
0 a22 a2n
= (a11 )(a22 ) (ann ) = 0,
0 .. ..
0 . .
0 0 0 ann
Jika 1 , 2 , . . . , n adalah nilai eigen dari matriks A, maka nilai eigen dari matriks
invers A1 adalah 1/1 , 1/2 , 1/3 , . . . , 1/n . Kalikan persamaan Ax = x dari kiri
dengan A1
A1 Ax = A1 x = A1 x,
Jika 1 , 2 , 3 , . . . , n adalah nilai eigen dari matriks A, maka nilai eigen dari matriks
Am adalah m m m m
1 , 2 , 3 , . . . , n . Karena Ax = x, maka
A2 x = A(Ax) = Ax = Ax = 2 x.
Konjugasi Kompleks
Jika A = (aij )mn merupakan sebuah matriks sebarang, yang elemennya dapat berupa bi-
langan kompleks, konjugasi kompleks matriks tersebut dinotasikan dengan A juga berupa
12 1. NILAI EIGEN MATRIKS
sebuah matriks dengan orde m n dengan tiap elemennya adalah kompleks konjugat dari
elemen pada matriks A dalam artian
(A )ij = aij .
Jelaslah bahwa
(cA) = c A .
Konjugasi Hermitian
Ketika dua buah operasi dari konjugasi kompleks dan transpos dikerjakan berurutan satu de-
ngan yang lainnya pada sebuah matriks, hasil matriksnya disebut sebagai konjugasi hermitian
dari matriks asalnya dan dinotasikan sebagai A , dinamakan A dagger. Orang matematik
menyebut A sebagai matriks adjoin. Urutan operasi tidak penting. Yaitu
A = (A )T = (A)
. (1.6)
maka
!T (6 i)
(3 i)
(6 i) (1 + 6i) 1
A = (A )T =
= (1 + 6i) 4 , (1.8)
(3 i) 4 3i
1 3i
(6 + i) (3 + i) (6 i) (3 i)
= (1 6i)
A = (A) 4 = (1 + 6i)
4 . (1.9)
1 3i 1 3i
Seperti yang telah dipelajari sebelumnya bahwa transpos dari hasil kali dua matriks adalah
sama dengan perkalian dua buah transpos matriks dengan urutan yang dibalik. Dari sini
kita bisa memperoleh
(AB) = B A ,
karena
(AB) = (A B )T = B
A = B A . (1.10)
1.2. BEBERAPA TERMINOLOGI 13
1.2.2 Ortogonalitas
Inner Product
Jika a dan b merupakan vektor kolom dengan orde yang sama n, inner product atau perkalian
skalar didefinisikan a b. Konjugasi hermitian sebuah vektor kolom adalah vektor baris
a1
a2
a = . = (a1 a2 an ),
..
an
Terdapat dua buah lagi notasi yang biasa digunakan untuk inner product. Notasi yang
paling sering digunakan dalam mekanika kuantum adalah notasi bracket yang diperkenalkan
Dirac. Vektor baris dinyatakan sebagai bra, sedangkan vektor kolom dinyatakan sebagi ket.
Kita dapat menuliskan vektor kolom sebagai
b = |bi,
sebagai vektor bra. Inner product dari dua vektor ini biasanya dinyatakan sebagai
ha|bi = a b.
ha|cbi = cha|bi,
sedangkan
hca|bi = c ha|bi.
(a, b) = a b = ha|bi.
Sehingga jika
(a, Ab) = (Aa, b) ,
Ortogonalitas
Dua buah vektor a dan b dikatakan ortogonal jika dan hanya jika
a b = 0.
hanyalah perkalian dot (titik) dari a dan b. Dalam analisis vektor, jika perkalian dot dari
dua buah vektor sama dengan nol, maka dua vektor tersebut tegak lurus.
Jika kita mengadopsi definisi ini untuk perkalian skalar dua buah vektor kompleks, maka
kita mempunyai definisi alami panjang sebuah vektor kompleks dalam ruang berdimensin.
Panjang sebuah vektor kompleks kxk dari sebuah vektor x adalah
n
X n
X
kxk2 = x x = ak ak = |ak |2 .
k=1 k=1
Bebas Linier
yang mengimplikasikan ai = 0. Jika tidak maka himpunan tersebut saling bergantung linier.
Pertama marilah kita uji tiga buah vektor
1 0 1
x1 = 0 , x2 = 1
, x3 = 0
,
1 0 0
1.2. BEBERAPA TERMINOLOGI 15
untuk bebas linier. Pertanyaannya apakah kita dapat mencari himpunan ai yang tidak nol
semua sehingga
3 1 0 1 a1 + a3 0
X
ai xi = a1
0 + a2 1 + a3 0 = a2 = 0 .
i=1
1 0 0 a1 0
Jelas ini mensyaratkan a1 = 0, a2 = 0 dan a3 = 0. Sehingga tiga buah vektor ini bebas linier.
Perhatikan bahwa bebas atau bergantung linier adalah sifat dari semua anggota, bukan
hanya masing-masing vektor.
Jelas jika x1 , x2 , x3 merepresentasikan vektor tiga dimensi yang noncoplannar (tak sebi-
dang), maka vektor tersebut bebas linier.
Proses Gram-Schmidt
Diberikan sejumlah n vektor bebas linier, kita dapat membangun dari kombinasi liniernya
sebuah himpunan dari n buah vektor satuan yang saling ortogonal.
Misalkan vektor yang bebas linier x1 , x2 , . . . , xn . Definisikan
x1
u1 = ,
kx1 k
dan
u0k
uk = .
ku0k k
Ketika semua xk telah digunakan, kita memiliki sejumlah n vektor satuan u1 , u2 , . . . , uk
yang saling ortogonal. Himpunan ini dinamakan himpunan ortonormal. Prosedur ini disebut
sebagai proses Gram-Schmidt.
16 1. NILAI EIGEN MATRIKS
U U = I,
maka matriks U dikatakan matriks uniter (satuan). Sejumlah n kolom dalam matriks uniter
dapat dianggap sebagai vektor kolom sejumlah n dalam sebuah himpunan ortonormal.
Dengan kata lain, jika
u11 u21 un1
u12 u22 un2
u1 = . , u2 = . , . . . , un = . ,
.. .. ..
u1n u2n unn
dan
uj1
u 1, jika i = j
j2
ui uj = (ui1 , ui2 , . . . , uin ) . = ,
.. 0, jika i 6= j
ujn
maka
u11 u21 un1
u12 u22 un2
U = .
.. .. .. ..
. . .
u1n u2n unn
adalah uniter. Hal ini karena
u11 u12 u1n
u u u2n
21 22
U = . ,
.. .. .. ..
. . .
un1 un2 unn
sehingga
u11 u12 u1n u11 u21 un1 1 0 0
u u u2n
u12 u22 0 1
un2 0
21 22
U U = . = .
.. .
.. .. ..
.. .. .. ..
.. .. .. ..
. . . . . . . . . .
un1 un2
unn u1n u2n unn 0 0 1
Dengan mengalikan U 1 dari kanan, kita memiliki
U U U 1 = IU 1 .
Dari sini kita memperoleh bahwa hermitian konjugat dari sebuah matriks uniter adalah
inversnya
U = U 1 .
1.3. MATRIKS UNITER DAN MATRIKS ORTOGONAL 17
Misalkan
a = U b, jadi a = b U ,
dan
kak2 = a a = b U U b.
Karena
U U = U 1 U = I,
maka
kak2 = a a = b b = kbk2 .
Sehingga panjang vektor mula-mula sama dengan panjang vektor setelah ditransforma-
sikan.
Misalkan x adalah vektor eigen non-trivial dari sebuah matriks uniter U untuk sebuah
nilai eigen .
U x = x.
x U = x .
x U U x = x x.
x x = ||2 x x.
Sehingga
||2 = 1.
Dengan kata lain, nilai eigen sebuah matriks uniter haruslah berada pada lingkaran
satuan sebuah bidang kompleks berpusat di titik asal.
Jika semua elemen matriks uniter riil, matriks tersebut dikenal sebagai matriks ortogonal.
Sehingga sifat-sifat matriks uniter juga merupakan sifat dari matriks ortogonal. Sebagai
tambahan
18 1. NILAI EIGEN MATRIKS
Determinan sebuah matriks ortogonal sama dengan satu dan minus satu.
A = A = A.
A = A1 .
Sehingga
AA = I. (1.11)
sehingga
Karena determinan A sama dengan determinan A,
= |A||A|
|AA| = |A|2 .
Tetapi
= |I| = 1,
|AA|
sehingga
|A|2 = 1.
= I dituliskan
untuk semua i dan j. Dengan cara yang sama AA
X X
a
ij ajk = aji ajk = ik . (1.13)
j=1 j=1
Sebuah matriks persegi berorde n memiliki elemen sejumlah n2 . Untuk sebuah matriks orto-
gonal, tidak semua elemennya bebas satu dengan yang lain, karena terdapat bebrapa kondisi
yang harus terpenuhi. Pertama, terdapat kondisi sejumlah n agar tiap kolom ternormalisasi.
Kemudian terdapat sejumlah n(n 1)/2 agar tiap kolom ortogonal dengan kolom yang lain.
Sehingga jumlah parameter bebas sebuah matriks ortogonal adalah
Dengan kata lain, sebuah matriks ortogonal berorde n dikarakterisasi oleh sejumlah n(n1)/2
elemen bebas.
Untuk n = 2, jumlah parameter bebas adalah 1. Hal ini diilustrasikan sebagai berikut.
Misalkan sebuah matriks ortogonal sebarang orde 2
!
a c
A= .
b d
a2 + b2 = 1, (1.14)
c2 + d2 = 1. (1.15)
Solusi umum dari (1.14) adalah a = cos dan b = sin dengan sebuah skalar. Dengan cara
yang sama solusi dari (1.15) adalah c = cos dan d = sin dengan adalah skalar yang lain.
Sedangkan (1.16) mensyaratkan
sehingga
= .
2
Sehingga solusi paling umum matriks ortogonal orde 2 adalah
! !
cos sin cos sin
A1 = atau A2 = , (1.17)
sin cos sin cos
Setiap matriks ortogonal berorde 2 dapat dinyatakan dalam bentuk ini dengan nilai tertentu.
Jelas bahwa determinan A1 sama dengan 1 dan determinan A2 sama dengan -1.
20 1. NILAI EIGEN MATRIKS
Gambar 1.1: Interpretasi matriks ortogonal A1 yang determinannya +1. (a) sebagai sebuah operator, me-
rotasikan vektor r1 menjadi r2 tanpa merubah panjang vektor. (b) sebagai matriks transformasi antara ujung
sebuah vektor tetap ketika sumbu koordinatnya dirotasikan. Perhatikan bahwa arah rotasi (b) berlawanan
dengan arah rotasi (a).
Kenyataan bahwa dalam ruang riil, transformasi ortogonal menjaga tetap panjang sebuah
vektor menyarankan kepada kita bahwa matriks ortogonal berasosiasi dengan rotasi sebuah
vektor. Matriks ortogonal ini berkaitan dengan dua buah jenis rotasi di dalam ruang. Perta-
ma, kita dapat melihatnya sebagai operator yang merotasikan sebuah vektor. Hal ini sering
disebut sebagi transformasi aktif. Kedua kita dapat melihatnya sebagai matriks transformasi
ketika sumbu koordinat dari kerangka acuan dirotasikan. Hal ini dikenal sebagai transformasi
pasif.
Pertama marilah kita perhatikan vektor pada Gambar 1.1.(a). Komponen x dan y dari
vektor r1 diberikan oleh x1 = r cos dan y1 = r sin dengan r adalah panjang vektor.
Sekarang marilah kita rotasikan vektor tersebut berlawanan arah jarum jam sebesar sudut
, sehingga x2 = r cos( + ) dan y2 = r sin( + ). Dengan menggunakan trigonometri, kita
dapat menuliskan
Terlihat bahwa matriks koefisien tidak lain adalah matriks ortogonal A1 dalam (1.17). Se-
hingga matriks ortogonal dengan determinan +1 disebut juga matriks rotasi. Matriks ini
merotasikan r1 menjadi r2 tanpa merubah panjang vektor.
1.3. MATRIKS UNITER DAN MATRIKS ORTOGONAL 21
Interpretasi kedua dari matriks rotasi adalah sebagai berikut. Misalkan P adalah ujung
sebuah vektor tetap. Koordinat P adalah (x, y) dalam sebuah sistem koordinat persegi
khusus. Sekarang sumbu koordinatnya dirotasikan searah jarum jam sebesar sudut seperti
yang ditunjukkan Gambar 1.1. (b). Koordinat P dalam sistem yang dirotasikan menjadi
(x0 , y 0 ). Dari geometri pada Gambar 1.1. (b). jelas bahwa
atau ! ! !
x0 cos sin x
= .
y0 sin cos y
Perhatikan bahwa matriks yang terlibat di sini adalah matriks ortogonal A1 . Tetapi, kali ini
A1 bertindak sebagai matriks transformasi antara koordinat ujung vektor tetap ketika sumbu
koordinatnya dirotasikan.
Ekivalensi antara dua buah interpretasi dapat diharapkan sebelumnya, karena orienta-
si relatif antara vektor dan sumbu koordinat adalah sama apakah vektor yang dirotasikan
berlawanan jarum jam dengan sudut atau sumbu koordinat dirotasikan searah jarum jam
dengan sudut yang sama.
Selanjutnya, marilah kita bahas matriks rotasi A2 yang memiliki determinan -1. Matriks
A2 dapat dinyatakan
! ! !
cos sin cos sin 1 0
A2 = = = .
sin cos sin cos 0 1
Transformasi ! ! !
x2 1 0 x1
= ,
y2 0 1 y1
memberikan
x2 = x1 , y2 = y1 .
Jelas bahwa di sini hal ini berhubungan dengan pencerminan (refleksi) vektor terhadap
sumbuX. Sehingga A2 dapat dipandang sebagai sebuah operator yang pertama membalik
vektor r1 simetrik sepanjang sumbuX kemudian merotasikannya menjadi r3 seperti yang
terlihat pada Gambar 1.2. (a).
Dalam suku transformasi koordinat, kita dapat menunjukkan (x0 , y 0 ) dalam persamaan
! ! !
x0 cos sin x
=
y0 sin cos y
merepresentasikan koordinat baru dari ujung sebuah vektor tetap setelah sumbuY dibalik
dan sumbu koordinat dirotasikan dengan sudut , seperti yang ditunjukkan pada Gambar
1.2 (b). Dalam kasus ini kita harus berhati-hati dengan tanda pada sudut. Perjanjian tanda
22 1. NILAI EIGEN MATRIKS
Gambar 1.2: Dua buah interpretasi matriks ortogonal A2 yang determinannya -1. (a) Sebagai sebuah
operator, matriks ini membalik vektor r1 menjadi r2 simetrik terhadap sumbuX, dan kemudian merotasik-
an r2 menjadi r3 .(b) Sebagai matriks transformasi antara ujung vektor tetap ketika sumbuY dibalik dan
kemudian sumbu koordinat dirotasikan. Perhatikan bahwa (b) arahnya tampak sama dengan (a).
adalah sebagai berikut, positif ketika arah rotasi berlawanan jarum jam dan negatif ketika
searah jarum jam. Tetapi setelah sumbuY dibalik seperti tampak pada Gambar 1.2 (b),
rotasi negatif (dalam artian rotasi dari arah sumbuX positif melalui sumbuY negatif)
muncul berlawanan arah jarum jam. Hal ini mengapa pada Gambar 1.1 (a),(b), vektor dan
sumbu koordinat berotasi dalam arah berlawanan, sedangkan dalam Gambar 1.2 (a),(b)
tampak berotasi searah.
Sejauh ini kita telah menggunakan rotasi dalam dua dimensi sebagai contoh. Bagaimana-
pun kesimpulan bahwa matriks ortogonal yang determinannya +1 merepresentasikan rotasi
murni dan matriks ortogonal yang determinannya -1 merepresentasikan pencerminan diikuti
dengan sebuah rotasi secara umum juga valid untuk dimensi yang lebih tinggi. Kita akan
membahas hal ini dalam transformasi vektor.
1.4 Diagonalisasi
Jika A adalah matriks n n dan u adalah matriks kolom n 1, sehingga Au adalah matriks
kolom yang lain. Maka persamaan
Au = v (1.18)
1.4. DIAGONALISASI 23
dengan ui dan vi berturut-turut adalah komponen kei dari matriks u dan v dalam ruang
berdimensin. Komponen-komponen ini diukur dalam sistem koordinat (kerangka acuan)
tertentu. Misalkan vektor satuan ei , dikenal sebagai basis, sepanjang sumbu koordinat sistem
ini adalah
1 0 0
0 1 0
e1 = . , e2 = . , . . . , en = . ,
.. .. ..
0 0 1
maka
u1 1 0 0
u2 0 1 0 X n
u = . = u1 . + u2 . + + un . = ui ei . (1.19)
.. .. .. ..
i=1
un 0 0 1
Misalkan terdapat sistem koordinat yang lain, dikenal sebagai sistem aksen (prime). Jika
diukur dalam sistem ini, komponen u dan v menjadi
u01 v10
u0 v0
2 2
. = u0 , . = v0 . (1.20)
.. ..
u0n vn0
Kita tekanakan di sini bahwa u dan u0 adalah vektor yang sama tetapi diukur dalam sistem
koordinat yang berbeda. Simbol u0 tidak berarti sebuah vektor yang berbeda dari u, hanya
secara sederhana merepresentasikan kumpulan dari komponen u dalam sistem aksen seperti
yang terlihat pada (1.20). Dengan cara yang sama v dan v0 adalah vektor yang sama.
Kita dapat mencari komponen-komponennya jika kita mengetahui komponen ei dalam sistem
aksen.
Dalam (1.19)
u = u1 e1 + u2 e2 + + un en ,
u0 hanyalah angka yang bebas terhadap sistem koordinat. Untuk mencari komponen u dalam
koordinat aksen, kita hanya perlu menyatakan ei dalam sistem aksen.
24 1. NILAI EIGEN MATRIKS
u0 = T u, (1.21)
dengan
s11 s12 s1n
s21 s22 s2n
T = . .
.. .. .. ..
. . .
sn1 sn2 snn
Jelas dari analisis di sini bahwa matriks transformasi antara komponen vektor untuk
dua buah sistem koordinat adalah sama untuk semua vektor karena hanya bergantung pada
transformasi vektor basis dalam dua kerangka acuan. Sehingga v0 dan v0 juga dihubungkan
dengan transformasi matriks T yang sama
v0 = T v. (1.22)
A0 u0 = v 0 .
1.4. DIAGONALISASI 25
Karena u0 = T u dan v0 = T v,
A0 T u = T v.
T 1 A0 T u = T 1 T v = v.
Karena Au = v maka
A = T 1 A0 T. (1.23)
Jika kita kalikan persamaan ini dengan T dari kiri dan T 1 dari kanan, kita mempunyai
T AT 1 = A0 .
Apa yang sudah kita temukan adalah sepanjang kita mengetahui hubungan antara sumbu
koordinat dari dua buah kerangka acuan, kita tidak hanya bisa mentransformasikan sebuah
vektor dari satu kerangka ke kerangka lainnya, tetapi kita juga dapat mentrnasformasikan
matriks yang merepresentasikan sebuah operator linier dari satu kerangka acuan ke yang lain.
Secara umum jika terdapat sebuah matriks non-singular T (mempunyai invers) sehingga
T 1 AT = B untuk sebarang matriks persegi A dan B dengan orde yang sama, maka A
dan B dikatakan matriks similiar dan transformasi dari A ke B dikenal sebagai transformasi
similaritas.
Jika dua buah matriks dihubungkan dengan transformasi similaritas, maka matriks ter-
sebut merepresentasikan transformassi linier yang sama dalam dua kerangka acuan/sistem
koordinat yang berbeda.
Jika sumbu koordinat persegi dalam sistem aksen dibangkitkan oleh rotasi dari sistem
asalnya, maka T merupakan matriks ortogonal seperti yang dibahas pada Subbab 1.3. Da-
lam kasus tersebut T 1 = T dan transformasi similaritasnya dapat dituliskan sebagai TAT .
Jika kita bekerja pada ruang kompleks, matriks transformasinya adalah matriks uniter, dan
transformasi similaritasnya adalah T AT . Dua buah transformasi ini dikenal sebagai tran-
sformasi similaritas uniter.
Sebuah matriks yang dapat dibuat bentuknya menjadi matriks diagonal melalui tran-
sformasi similaritas disebut terdiagonalkan (diagonalizeable). Apakah sebuah matriks terdi-
agonalkan dan bagaimana mendiagonalkannya merupakan pertanyaan yang sangat penting
dalam teori transformasi linier. Bukan hanya karena lebih mudah bekerja dengan matriks
diagonal, tetapi juga karena merupakan struktur dasar mekanika kuantum. Dalam subbab
berikut, kita akan menjawab pertanyaan ini.
Vektor eigen A dapat digunakan untuk membentuk matriks S sehingga S 1 AS menjadi sebu-
ah matriks diagonal. Proses ini membuat permasalahan fisika menjadi jauh lebih sederhana
dengan memilih variabel yang lebih baik.
26 1. NILAI EIGEN MATRIKS
Jika A adalah matriks persegi berorde n, nilai eigen i dan vektor eigen xi memenuhi
persamaan
Axi = i xi , (1.24)
untuk i = 1, 2, . . . , n. Tiap vektor eigen adalah matriks kolom dengan elemen sejumlah n
x11 x21 xn1
x12 x22 xn2
x1 = . , x 2 = . , . . . , xn = . .
.. .. ..
x1n x2n xnn
dan
1 0 0
0 2 0
= . , (1.28)
.. .. .. ..
. . .
0 0 n
dan menuliskan (1.26) sebagai
AS = S. (1.29)
1.4. DIAGONALISASI 27
Dengan mengalikan dua buah ruas dengan S 1 dari kiri, kita memperoleh
S 1 AS = . (1.30)
Sehingga dengan menggunakan vektor eigen dan invers dari matriks, kita bisa mentransfor-
masikan sebuah matriks A dalam bentuk matriks diagonal yang elemennya adalah nilai eigen
dari A. Transformasi (1.30) dikenal sebagai diagonalisasi matriks A.
!
1 2
Contoh 1.4.1. Jika A = , carilah S sehingga S 1 AS adalah matriks diagonal.
2 1
Tunjukkan bahwa S 1 AS adalah nilai eigen dari A.
Solusi 1.4.1. karena persamaan sekularnya adalah
1 2
= ( + 1)( 3) = 0,
2 1
!
1
nilai eigennya adalah 1 = 1 dan 2 = 3. Vektor eigennya adalah x1 = dan
1
!
1
x2 = . Sehingga
1
!
1 1
S= .
1 1
!
1 1 1
Mudah untuk dicek bahwa S 1 = dan
2 1 1
! ! ! ! !
1 1 1 1 1 2 1 1 1 0 1 0
S AS = = = .
2 1 1 2 1 1 1 0 3 0 2
Perhatikan bahwa dalam pendiagonalan matriks, S tidak harus uniter. Tetapi jika vektor
eigennya ortogonal, maka kita dapat menormalisasi vektor eigen dan membentuk sebuah
himpunan ortonormal. matriks dengan anggota himpunan ortonormal ini sebagai kolom
merupakan matriks uniter. Proses diagonalisasi menjadi transformasi similaritas uniter yang
lebih umum dan berguna.
Dua buah vektor eigen pada contoh di atas ortogonal karena
!
1
1 1 = 0.
1
Normalisasinya menghasilkan
! !
1 1 1 1
u1 = , u2 = .
2 1 2 1
28 1. NILAI EIGEN MATRIKS
Matriks yang dibangun dengan dua buah vektor eigen ternormalisasi adalah
!
1 1 1
U = u1 u2 = ,
2 1 1
yang memberikan 1 = /4. Hal ini berarti untuk mendapatkan sumbu utama, kita harus
merotasikan koordinat asal sebesar 45 searah dengan jarum jam. Untuk pengecekan yang
konsisten, kita dapat menghitung 2 , sudut antara u2 dengan sumbu horizontal asal, sehingga
! !
cos 2 1 1
u2 = = ,
sin 2 2 1
Bentuk kuadratik adalah sebuah pernyataan homogen berderajat dua dalam variabel n. Se-
bagai contoh
Q(x1 , x2 ) = 5x21 4x1 x2 + 2x22
1.4. DIAGONALISASI 29
adalah bentuk kuadratik dalam x1 dan x2 . Dengan merubah variabel, ekspresi ini dapat
diubah sehingga tidak terdapat suku silang. Bentuk tanpa suku silang ini dinamakan sebagai
bentuk kanonik. Bentuk kuadratik ini sangatlah penting karena banyak sekali aplikasinya
dalam fisika.
Langkah pertama untuk merubah dalam bentuk kanonik adalah dengan membagi suku
silangnya menjadi dua bagian sama besar, (4x1 x2 = 2x1 x2 +2x2 x1 ), sehingga Q(x1 , x2 ) dapat
kita tuliskan ! !
5 2 x1
Q(x1 , x2 ) = x1 x2 , (1.31)
2 2 x2
dengan matriks koefisien !
5 2
C=
2 2
merupakan matriks simetrik. Seperti akan kita lihat dalam Subbab 1.5 bahwa matriks si-
metrik selalu bisa didiagonalkan. Dalam kasus khusus ini, pertama kita akan mencari nilai
eigen dan vektor eigen dari C
5 2
= ( 1)( 6) = 0.
2 2
merupakan sebuah elips dengan mentransformasikannya menjadi sebuah bentuk irisan keru-
cut. Di manakah pusat dan berapakah panjang sumbu mayor dan minornya?
Solusi 1.4.2. Suku kuadratik persamaan tersebut dapat kita tuliskan
! !
9 2 x
2 2
9x 4xy + 6y = x y .
2 6 y
Misalkan ! ! ! !
x x0 1 1 2 x0
=U = ,
y y0 5 2 1 y0
yang ekivalen dengan
1 1
x = x0 2y 0 , y = 2x0 + y 0 ,
5 5
maka persamaannya dapat dituliskan
!
x 0 1 1
CU 2 5 x0 2y 0 4 5 2x0 + y 0 = 15
0 0
x y U
y0 5 5
atau
(x0 1)2 + 2y 02 = 4,
atau
(x0 1)2 y 02
+ = 1,
4 2
yang merupakan bentuk standar sebuah elips. Pusat elipsnya berada pada x = 1/ 5 dan
y = 2/ 5 (berkaitan dengan x0 = 1 dan y 0 = 0). Panjang sumbu mayor adalah 2 4 = 4 dan
panjang sumbu minor adalah 2 2.
Untuk mentransformasikan persamaannya dalam bentuk standar, kita telah merotasikan
sumbu koordinat. Sumbu mayornya terletak sepanjang v1 dan sumbu minornya terletak
sepanjang v2 . Karena
! !
cos 1 1
v1 = = ,
sin 5 2
sumbu mayor elips membuat sudut terhadap sumbu horizontal koordinat dan = cos1 (1/ 5).
1.5.1 Definisi
Matriks Riil
Jika A = A maka aij = aij . Karena tiap elemen matriks riil, maka matriks ini dinamakan
matriks riil.
Matriks Imajiner
Jika A = A, hal ini mengimplikasikan bahwa aij = aij . Tiap elemen matriks ini imajiner
atau nol, sehingga dikatakan matriks imajiner.
Matriks Hermitian
Sebuah matriks persegi dikatakan hermitian jika A = A. Mudah untuk dibuktikan bahwa
elemen sebuah matriks hermitian memenuhi hubungan aij = aji . Matriks hermitian sangat
penting dalam mekanika (fisika) kuantum.
Matriks Simetrik
Jika semua elemen matriks riil, maka matriks hermitian hanyalah matriks simetrik. Matriks
simetrik sangatlah berguna dalam fisika klasik.
32 1. NILAI EIGEN MATRIKS
A = A, (1.33)
Nilai eigen sebuah matriks hermitian (matriks simetrik riil) semuanya riil.
Misalkan A adalah matriks hermitian dan x adalah vektor eigen non trivial untuk nilai
eigen yang memenuhi persamaan
Ax = x. (1.34)
x A = x . (1.35)
Perhatikan bahwa hanyalah sebuah bilangan (riil maupun kompleks) sehingga konjugat
hermitiannya tidak lain adalah konjugat kompleksnya. Karena hanya sebuah bilangan, maka
tidak menjadi masalah untuk mengalikan dari kanan ataupun kiri.
Kalikan (1.34) dengan x dari kiri
x Ax = x x.
x A x = x x.
( )x x = 0,
Jika dua buah nilai eigen matriks hermitian (matriks riil simetrik) berbeda, maka vektor
eigennya ortogonal.
1.5. MATRIKS HERMITIAN DAN MATRIKS SIMETRIK 33
Misalkan
Ax1 = 1 x1 ,
Ax2 = 2 x2 .
x2 Ax1 = 1 x2 x1 .
Ambil konjugasi hermitian persamaan kedua dan kalikan dengan x dari kanan
x2 Ax1 = 2 x2 x1 ,
(1 2 )x2 x1 = 0.
Karena 1 6= 2 , maka
x2 x1 = 0.
Maka x1 dan x2 ortogonal. Pembuktian untuk matriks riil simetrik juga sama.
Sebuah matriks hermitian (atau riil simetrik) dapat didiagonalkan dengan matriks uni-
ter (ortogonal riil).
Jika nilai eigen sebuah matriks semuanya berbeda, maka matriks tersebut dapat didi-
agonalkan dengan menggunakan transformasi similaritas seperti yang sudah kita bicarakan
sebelumnya. Di sini kita hanya perlu menunjukkan bahwa meskipun nilai eigennya berde-
generasi, sepanjang matriksnya hermitian, maka matriks tersebut bisa didiagonalkan. Kita
akan membuktikan dengan membangun sebuah matriks uniter yang akan mendiagonalkan
sebuah matriks uniter berdegenerasi.
Misalkan 1 merupakan nilai eigen berulang dari matriks hermitian H orde nn, kemudi-
an misalkan x1 adalah vektor eigen untuk nilai eigen 1 . Kita dapat mengambil vektor bebas
linier n sebarang dengan kondisi hanya yang pertama x1 dan dengan proses Gram-Schmidt
membentuk sebuah himpunan ortonormal untuk vektor sejumlah n yaitu x1 , x2 , . . . , xn ,
masing-masing memiliki elemen sebanyak n.
Misalkan U1 adalah matriks dengan xi sebagai kolom kei
x11 x21 xn1
x12 x22 xn2
U1 = . ,
.. .. .. ..
. . .
x1n x2n xnn
34 1. NILAI EIGEN MATRIKS
seperti yang sudah kita tunjukkan bahwa hal ini mebuat U1 sebuah matriks uniter. Transfor-
masi uniter U1 HU1 memiliki nilai eigen yang sama persis dengan H, karena matriks tersebut
memiliki polinomial karakteristik yang sama
U1 HU1 I = U11 HU1 U11 U = U11 (H I)U1
U1 HU1 = (HU1 ) U1 = U1 H U1 = U1 HU1 .
Sekarang
x11 x12 x1n x11 x21 xn1
x x x2n
x12 x22 xn2
21 22
U1 HU1 = . H
.. .. .. .. .
. .. .. ..
. . . . . . .
xn1 xn2 xnn x1n x2n xnn
x x12 x1n 1 x11 h12 hn1
11
x x
x2n
1 x12 h22 hn2
21 22
= . ,
. . .
. .. .. .
. .. .. ..
. . .
. . . .
xn1 xn2 xnn 1 x1n h2n hnn
dengan kenyatan bahwa x1 adalah vektor eigen dari H untuk nilai eigen 1
x11 x11
x12 x12
H . = 1 . ,
.. ..
x1n x1n
dan menuliskan
xi1 hi1
xi2 hi2
H . = . ,
.. ..
xin hin
1.5. MATRIKS HERMITIAN DAN MATRIKS SIMETRIK 35
untuk i 6= 1. Selanjutnya
x11 x12 x1n 1 x11 h21 hn1
x x x2n 1 x12 h22 hn2
21 22
U1 HU1 = .
.. .. .. .. .
. .. .. ..
. . .
. . . .
xn1 xn2 xnn 1 x1n h2n hnn
0 0 0
1
0
22 32 n2
= 0
.
.. .. .. .. ..
. . . . .
0 2n 3n nn
x11
x12 1, jika i = 1,
xi1 xi2 xin . =
.. 0, jika i 6= 1.
x1n
Baris pertama haruslah transpos dari kolom pertama karena U1 HU1 adalah matriks her-
mitian (atau riil simetrik) dan 1 riil dan kompleks konjugat dari nol adalah dirinya sendiri.
Fakta krusial dari proses ini adalah elemen ke n 1 terakhir dari baris pertama adalah semu-
anya nol. Hal ini yang membedakan matriks hermitian (atau riil simetrik) dengan matriks
persegi lainnya.
Jika 1 nilai eigen H berdegenerasi 2, maka dalam polinomial karakteristik p() = |H I|
terdapat faktor (1 )2 . Karena
p() = |H I| = U1 HU1 I
1 0 0 0
0
22 32 n2
= 0 23 33 n3
.. .. .. .. ..
. . . . .
nn
0 2n 3n
32 n2
22
23 33 n3
= (1 ) . ,
.. .. .. ..
. . .
2n 3n nn
36 1. NILAI EIGEN MATRIKS
suku
32 n2
22
23
33 n3
. .. .. ..
..
. . .
2n 3n nn
harus memiliki faktor (1 ). Dengan kata lain jika kita mendefinisikan H1 sebagai subma-
triks (n 1) (n 1)
22 32 n2
23 33 n3
= H1 ,
. .. .. ..
.. . . .
2n 3n nn
maka 1 haruslah merupakan nilai eigen dari H1 . Sehingga kita bisa mengulangi proses
ini dan membentuk himpunan ortonormal dari sejumlah n 1 vektor kolom dengan yang
pertama adalah vektor eigen H1 untuk nilai eigen 1 . Misalkan himpunan ortonormal ini
y22 y32 yn2
y23 y33 yn3
y1 = . , y2 = . , . . . , yn1 = . ,
.. .. ..
y2n y3n ynn
Jika 1 berdegenerasi sebanyak m buah, kita dapat mengulang proses ini m kali. Sisanya
dapat didiagonalkan dengan vektor eigen untuk nilai eigen yang berbeda. Setelah matriks
n n ditransformasikan n 1 kali, matriksnya menjadi diagonal.
Marilah kita definisikan
U = U1 U2 Un1 ,
maka U adalah matriks uniter karena semua Ui uniter. Dari sini, matriks hermitian H
didiagonalkan dengan transformasi uinter U HU dan teormanya telah dibuktikan.
Konstruksi ini membawa kita kepada akibat wajar yang sangat penting
Setiap matriks hermitian (atau riil simetrik) n n memiliki sejumlah n vektor eigen
ortogonal tanpa memandang jumlah degenerasi nilai eigen.
Hal ini karena U HU = dengan elemen matriks diagonal adalah nilai eigen dari
H. Karena U = U 1 , maka dari persamaan U (U HU ) = U yaitu HU = U , yang
menunjukkan bahwa tiap kolom dari U adalah vektor eigen ternormalisasi dari H.
Contoh berikut mengilustrasikan bagaimana prosedur ini bekerja.
x1 + ix2 + x3 = 0,
ix1 x2 + ix3 = 0,
x1 ix2 x3 = 0
adalah identik satu sama lain. Sebagai contoh jika kita mengalikan persamaan kedua dengan
i kita akan mendapatkan persamaan ketiga (persamaan kedua didapatkan dari persamaan
pertama dikalikan i). Persamaan
x1 ix2 x3 = 0 (1.36)
memiliki solusi yang tak hingga. Pilihan sederhana adalah x2 = 0 sehingga x1 = x3 . Maka
1
E1 = 0
1
1 0 1
E1 =
0 , E2 = 1 , E3 = 0
1 0 0
bebas linier. Sekarang marilah kita gunakan proses Gram-Schmidt untuk mendapatkan him-
punan ortonormal x1 , x2 , x3
1
E1 2
x1 = =
,
0
kE1 k 2
1
0
x2 = E2 = 1
,
0
1.5. MATRIKS HERMITIAN DAN MATRIKS SIMETRIK 39
Karena H dan U HU1 memiliki himpunan nilai eigen yang sama, maka = 3 dan = 0
haruslah merupakan nilai eigen dari submatriks
!
2 2i
H1 = .
2i 1
Hal ini juga bisa ditunjukkan secara langsung. Dua buah vektor eigen H1 berkaitan dengan
= 3 dan = 0 dapat dicari berturut-turut adalah
6 3
3 i i
, y2 = 3 .
y1 =
3 6
3 3
40 1. NILAI EIGEN MATRIKS
Sehingga
1 0 0
6 3
0 3 i
U2 = i
3
3 6
0 i
3 3
dan
2 2 1 0 0
2 0
2
6 3
U = U1 U2 = 0 i i
0 1 0
3 3
2 2 3 6
0 0 i
2 2 3 3
2 6 3
2 6 3
= 0 6i 3 .
i
3 3
2 6 3
2 6 3
Dapat dengan mudah dihitung bahwa
2 2 2 6 3
0 2 i 1
2 2 2 6
3
U HU =
6 6
6 3 i 66 i 2 i 0 36 i 3
3i
3 3 3 2
3 3 i 3 1 i 2 2 66 33
3 0 0
=0 3 0
0 0 0
yang juga merupakan matriks diagonal dan elemen diagonalnya adalah nilai eigen. Selanjut-
nya tiga buah kolom dari U adalah tiga buah vektor eigen H yang saling ortogonal.
2 2
2 i 1
2 2
i 2 i 0 = 3 0 ,
Hu1 = 1 u1 :
2 2
1 i 2 2 2
6 6
2 i 1 6 6
Hu2 = 2 u2 : 6 6
i 2 i 3 i = 3 3 i ,
1 i 2 66 66
3 3
2 i 1
3 3
Hu3 = 3 u3 : 3 3
i 2 i 3i = 0 3i .
1 i 2 33 33
Kita telah mengikuti langkah pembuktian untuk mengilustrasikan prosedur. Ketika su-
dah mapan, kita dapat menggunakan teorema dan proses mencari vektor eigen dapat lebih
disederhanakan.
1.5. MATRIKS HERMITIAN DAN MATRIKS SIMETRIK 41
Dalam contoh ini kita dapat mencari vektor eigen untuk nilai eigen tak berdegenera-
si dengan cara biasa. Untuk nilai eigen berdegenerasi = 3, komponen vektor eigennya
(x1 , x2 , x3 ) harus memenuhi
x1 ix2 x3 = 0,
seperti ditunjukkan pada (1.36). Persamaan ini dapat dituliskan sebagai x2 = i(x3 x1 ),
sehingga secara umum
x1
u=
i(x 3 x 1 ),
x3
vektor eigen yang lain harus memenuhi persamaan yang sama dan ortogonal terhadap u1 .
Sehingga
x1
i(x3 x1 ) = 0,
1 0 1
x3
x1
yang memberikan x1 + x3 = 0 atau x3 = x1 . Dengan normalisasi vektor
2x1 , kita
x1
mendapatkan vektor eigen lain untuk = 3
1
6
u2 = 2i .
6
1
Jika A dan B adalah dua buah matriks hermitian dengan orde yang sama, sebuah pertanyaan
penting muncul dari sini. Apakah matriks ini bisa didiagonalkan secara simultan dengan
sebuah matriks S? Atau dengan kata lain, apakah terdapat sebuah basis sehingga keduanya
diagonal? Jawabannya adalah iya, jika matriks tersebut komut.
Pertama kita akan menunjukkan bahwa keduanya bisa didiagonalkan simultan dan kemu-
dian menunjukkan bahwa keduanya komut. Yaitu, jika
D1 = S 1 AS dan D2 = S 1 BS,
D1 D2 = S 1 ASS 1 BS = S 1 ABS,
D2 D1 = S 1 BSS 1 AS = S 1 BAS.
Karena matriks diagonal dengan orde sama selalu komut (D1 D2 = D2 D1 ), kita mempunyai
S 1 ABS = S 1 BAS.
Dengan mengalikan S dari kiri dan S 1 dari kanan, kita mempunyai AB = BA.
Sekarang kita akan membuktikan bahwa kebalikannya juga benar. Dalam artian jika
keduanya komut, maka keduanya dapat didiagonalkan simultan. Pertama, misalkan A dan
B adalah matriks 2 2. Karena matriks hermitian selalu bisa didiagonalkan, misalkan S
adalah matriks uniter yang mendiagonalkan A
!
1 0
S 1 AS = ,
0 2
Sekarang
! ! !
1 0 b11 b12 b11 1 b12 1
S 1 ABS = S 1 ASS 1 BS = = ,
0 2 b21 b22 b21 2 b22 2
! ! !
b11 b12 1 0 b11 1 b12 2
S 1 BAS = S 1 BSS 1 AS = = .
b21 b22 0 2 b21 1 b22 2
Di lain pihak
! ! !
1 1 1 0 0 1 0
T (S AS)T = T T = T T = .
0 0 0
Apakah A dan B dapat didiagonalkan secara simultan? Jika bisa, carilah matriks uniter U
yang bisa mendiagonalkannya!
Solusi 1.5.2.
! ! !
2 1 3 2 8 7
AB = = ,
1 2 2 3 7 8
! ! !
3 2 2 1 8 7
BA = = .
2 3 1 2 7 8
Sehingga
! !
1 1 1 1 1 1 1
S= , S = .
2 1 1 2 1 1
44 1. NILAI EIGEN MATRIKS
! ! ! !
1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 0
S AS = =
2 1 1 1 2 2 1 1 0 3
! ! ! !
1 1 1 3 2 1 1 1 1 0
S 1 BS = = .
2 1 1 2 3 2 1 1 0 5
Sehingga keduanya terdiagonalkan simultan. Hal ini juga menunjukkan bahwa 1 dan 5 me-
rupakan nilai eigen dari matriks B. Hal ini dapat dengan mudah diverifikasi karena
3 2
= ( 1)( 5) = 0.
2 3
Jika kita mendiagonalkan B terlebih dahulu, kita akan mendapatkan hasil yang benar-benar
sama.
AA = A A. (1.37)
Dapat dengan mudah ditunjukkan bahwa semua matriks hermitian (atau riil simetrik),
anti hermitian (atau riil anti simetrik) dan uniter (atau riil ortogonal) merupakan matriks
normal. Hal yang harus kita lakukan adalah mengganti matriks ini dalam (1.37). Dengan
sifat dari definisi, jelas bahwa dua buah sisi persamaan tersebut sama.
Sejauh ini kita telah menunjukkan bahwa matriks hermitian dapat didiagonalkan dengan
menggunakan transformasi similaritas uniter. Apa yang akan kita lihat adalah generalisasi
dari teorema ini yaitu setiap matriks normal dapat didiagonalkan.
Pertama jika diberikan matriks persegi A, semua elemennya diketahui, sehingga kita dapat
mengambil konjugat hermitiannya A . Kemudian misalkan
1
B= A + A ,
2
1
C= A A .
2i
Sehingga
A = B + iC, (1.38)
karena A = A dan (A + B) = A + B
1 1
B = A + A = A + A = B,
2 2
1 1
C = A A = A A = C.
2i 2i
1.6. MATRIKS NORMAL 45
Sehingga B dan C semuanya hermitian. Dengan kata lain semua matriks simetrik dapat
didekomposisi menjadi dua buah matriks hermitian seperti pada (1.38). Selanjutnya
1 2
BC = A AA + A A A2
4i
1 2
CB = A A A + AA A2 .
4i
Jelas bahwa jika A A = AA , maka BC = CB. Dengan kata lain jika A matriks normal
maka B dan C komut.
Kita telah menunjukkan dalam Subbab 1.3 bahwa jika B dan C komut maka keduanya
bisa didiagonalkan simultan. Dalam artian, kita dapat mencari sebuah matriks uniter S
sehingga S 1 BS dan S 1 CS semuanya diagonal. Karena
S 1 AS = S 1 BS + iS 1 CS,
Sebuah matriks dapat didiagonalkan dengan transformasi similaritas uinter jika dan
hanya jika matriks tersebut matriks normal.
Sehingga baik matriks hermitian maupun matriks uniter keduanya dapat didiagonalkan
dengan transformasi similaritas uniter.
Nilai eigen dari matriks hermitian selalu riil. Hal ini mengapa dalam mekanika kuantum
kuantitas fisis yang teramati berkaitan dengan nilai eigen operator hermitian, karena hasil
pengukuran pastilah merupakan bilangan riil. Tetapi vektor eigen dari matriks hermitian bisa
kompleks, sehingga matriks uniter yang mendiagonalkan matriks hermitian, secara umum,
juga kompleks.
Sebuah matriks riil simetrik juga merupakan matriks hermitian, sehingga nilai eigennya
haruslah juga riil. Karena matriks dan nilai eigen semuanya riil, maka vektor eigennya juga
bisa diambil riil. Sehingga matriks pendiagonalnya juga merupakan matriks riil ortogonal.
Matriks uniter, termasuk matriks riil ortogonal, dapat didiagonalkan dengan trnansforma-
si similaritas uniter. Tetapi secara umum, nilai eigen dan vektor eigen matriks uniter adalah
kompleks. Maka matriks pendiagonalnya bukan merupakan matriks riil ortogonal, melainkan
matriks uniter kompleks. Sebagai contoh, matriks rotasi adalah matriks riil ortogonal, tetapi
hanya bisa didiagonalkan dengan matriks uniter kompleks.
46 1. NILAI EIGEN MATRIKS
Matriks persegi sebarang A dapat dikalikan dengan dirinya sendiri. Hukum asosiatif dari per-
kalian matriks menjamin perkalian A dengan dirinya sendiri sebanyak n kali, yang dinyatakan
dengan An , merupakan operasi tak ambigu. Maka
Am An = Am+n .
Selanjutnya kita telah mendefinisikan invers sebuah matriks non singular A1 sehingga AA1 =
A1 A = I. Sehingga secara alami kita bisa mendefinisikan
n
A0 = A11 = AA1 = I, dan An = A1 .
Dengan definisi ini, kita bisa mendefinisikan fungsi polinomial dari matriks persegi melalui
cara yang persis sama dengan polinomial skalar. !
1 1
Sebagai contoh, jika f (x) = x2 +5x+4 dan A = , kita mendefinsikan f (A) sebagai
2 3
f (A) = A2 + 5A + 4.
Karena ! ! !
1 1 1 1 3 4
A2 = = ,
2 3 2 3 8 11
! ! ! !
3 4 1 1 1 0 12 9
f (A) = +5 +4 = .
8 11 2 3 0 1 18 30
Menarik untuk memperhatikan bahwa f (A) dapat dihitung dengan menggunakan suku
yang difaktorkan dari f (x). Sebagai contoh
sehingga
Solusi 1.7.1.
! !1 !
A 1 1 1 2 4 1 1 1
f (A) = 2 = A A2 1 = = .
A 1 2 3 8 10 6 2 1
Perhatikan bahwa f (A) juga bisa dihitung dengan pecahan parsial. Karena
x 1 1 1 1
f (x) = = + ,
x2 1 2x1 2x+1
1 1
f (A) = (A I)1 + (A + I)1
2 2
!1 !1 !
1 0 1 1 2 1 1 1 1
= + = .
2 2 2 2 2 4 6 2 1
Ketika terdapat matriks persegi A mirip dengan matriks diagonal, penghitungan f (A) dapat
lebih disederhanakan.
Jika A terdiagonalkan maka
S 1 AS = D,
D2 = S 1 ASS 1 AS = S 1 A2 S,
Dk = S 1 Ak1 SS 1 AS = S 1 Ak S.
Maka
Ak = SDk S 1
An + Am = SDn S 1 + SDm S 1 = S (Dn + Dm ) S 1 .
f (A) = Sf (D)S 1 .
Selanjutnya karena D adalah matriks diagonal, maka elemennya adalah nilai eigen dari
A
k 0 0
1
0 k 0
k 2
D = . ,
.. .
.. .. ..
. .
0 0 kn
f (1 ) 0 0
0 f (2 ) 0
f (D) = . .
.. .. .. ..
. . .
0 0 f (n )
48 1. NILAI EIGEN MATRIKS
Sehingga
f (1 ) 0 0
0 f (2 ) 0
1
f (A) = S . S .
.. .. .. ..
. . .
0 0 f (n )
Sehingga ! !
2 1 1 1
S= , S 1 = ,
1 1 1 2
dan !
1 1 0
D=S AS = .
0 2
Maka !
1 f (1) 0
f (A) = Sf (D)S =S S 1 .
0 f (2)
Karena
f (1) = 1, f (2) = 3,
! ! ! !
1 2 1 1 0 1 1 5 8
f (A) = Sf (D)S = = .
1 1 0 3 1 2 4 7
Sehingga ! !
1 3 1 1 5 3
S= , S = ,
1 5 8 1 1
dan ! !
1 4 3 1 0
D=S S= .
5 6 0 9
Sehingga ! !
1 2 1 4 3 1 0
S (A 4A + 4I)S = S S= .
5 6 0 9
Ruas kiri persamaan juga harus diagonal, karena ruas kanan berupa matriks diagonal. Karena
kita telah menunjukkan sepanjang S 1 AS diagonal, maka S 1 Ak S akan diagonal. Kita dapat
mengasumsikan !
1 x1 0
S AS = .
0 x2
Dari sini kita bisa memperoleh
! !
1 2 x21 4x1 + 4 0 1 0
S (A 4A + 4I)S = = ,
0 x22 4x2 + 4 0 9
yang memberikan
x21 4x1 + 4 = 1
x22 4x2 + 4 = 9.
Untuk tiap fungsi skalar yang dapat dinyatakan dalam deret tak hingga, sebuah fungsi
matriks yang berhubungan dapat didefinisikan. Sebagai contoh, dengan
1 1
ex = 1 + x + x2 + x3 + ,
2 3!
dan
1 1
eA = I + A + A2 + A3 + .
2 3!
Jika A terdiagonalkan, maka
S 1 AS = D, An = SDn S 1 ,
1 2 1 3
e = S I + D + D + D + S 1 ,
A
2 3!
dengan
1 0 0
0 2 0
D= . .
.. .. .. ..
. . .
n
Sehingga kita bisa memperoleh
1 + 1 + 12 21 0
0 1 + 2 + 12 22 0
1
eA = S S
.. .. .. ..
. . . .
0 0 1 + n + 21 2n +
e1 0 0
0 e2 0
=S . .
.. .. .. ..
. . .
0 0 en
Maka ! !
1 1 1 1 1 1
S= S = .
1 1 2 1 1
Sehingga
! ! ! !
A e6 0 1 1 1 1 e6 0 1 1
e =S S =
0 e4 2 1 1 0 e4 1 1
4
!
e6 + e e6 e4
1
= .
2 e6 e4 e6 + e4
Teorem Cayley-Hamilton yang terkenal menyatakan bahwa setiap matriks persegi memenuhi
persamaan karakteristiknya sendiri.
Hal ini berarti, jika P () adalah polinomial karakteristik dari matriks A orde ken, maka
P () = |A I| = cn n + cn1 n1 + + c0 ,
sehingga
P (A) = cn An + cn1 An1 + + c0 I = 0.
Untuk membuktikan teorema ini, misalkan xi adalah vektor eigen untuk i . Sehingga
P (i ) = 0, Axi = i xi .
Sekarang
= cn ni + cn1 in1 + + c0 xi
= P (i )xi = 0xi .
Karena ini berlaku untuk semua vektor eigen dari A, P (A) haruslah matriks nol.
Sebagai contoh, jika
!
1 2
A=
2 1
1 2
P () = = 2 2 3.
2 1
! ! ! !
1 2 1 2 1 2 1 0
P (A) = 2 3
2 1 2 1 2 1 0 1
! ! ! ! !
5 4 2 4 3 0 532 44 0 0
= = =
4 5 4 2 0 3 44 532 0 0
52 1. NILAI EIGEN MATRIKS
Teorema Cayley-Hamilton dapat digunakan untuk mencari invers dari matriks persegi. Kita
mulai dari persamaan karakteristik dari A
P () = |A I| = cn n + cn1 n1 + + c1 + c0 ,
kita memiliki
P (A) = cn An + cn1 An1 + + c1 A + c0 I = 0.
Sehingga
1
A1 = cn An1 + cn1 An2 + + c1 I .
c0
Solusi 1.7.3.1.
5 7 5
2 3
P () =
0 4 1 = 6 11 + 6 ,
2 8 3
kemudian
Salah satu aplikasi penting dari teorema Cayley-Hamilton adalah dalam representasi matriks
dengan pangkat yang derajatnya tinggi. Dari persamaan P (A) = 0, kita mempunyai
1
An = cn1 An1 + cn2 An2 + + c1 A + c0 I .
(1.39)
cn
Kalikan dengan A
1
An+1 = cn1 An + cn2 An1 + + c1 A2 + c0 A ,
(1.40)
cn
dan menggantikan An dari (1.39) ke (1.40), kita mempunyai
2
n+1 cn1 cn2 n1 cn1 c1 c0 cn1 c0
A = A + + + I. (1.41)
c2n cn c2n cn c2n
Jelas bahwa proses ini dapat dilanjutkan. Sehingga sebarang pangkat bilangan bulat dari
sebuah matriks berorde n dapat direduksi menjadi polinomial dari matriks, dengan derajat
pangkat paling tinggi adalah n 1. Sehingga kita bisa mendapatkan pangkat yang tinggi
dari A.
nilai eigen dari A adalah 1 = 4 dan 2 = 2. Nilai eigen dari A100 haruslah 100
1 dan 100
2 ,
yaitu
A100 x1 = 100
1 x1 , A100 x2 = 100
2 x2 .
Di lain pihak, dari teorema Cayley-Hamilton, kita tahu bahwa A100 dapat dinyatakan sebagai
kombinasi linier dari A dan I karena A adalah matriks dengan orde 2 (n = 2).
A100 = A + I,
54 1. NILAI EIGEN MATRIKS
dan
Sehingga
100
1 = 1 + , 100
2 = 2 + .
Dari sini
1 1 100
100 100
4 2100
= 1 2 =
1 2 6
1 1 100
1 100 100
4 + 2101 .
= 2 2 1 =
1 2 3
Maka
1 100 1 100
A100 = 4 2100 A + 4 + 2101 I.
6 3
Latihan
1. Carilah nilai eigen dan vektor eigen dari matriks
!
19 10
.
30 16
! !
2 1
Jawab: 1 = 4, x1 = , 2 = 1, x2 = .
3 2
5. Tunjukkan bahwa nilai eigen matriks anti hermitian adalah nol dan imajiner.
7. Bentuklah sebuah matriks uniter U dengan dua buah vektor eigen ternormalisasi dari
soal sebelumnya dan tunjukkan bahwa
U U = I
!
2i 1
Jawab: 1 .
5
1 2i
8. Carilah nilai eigen dan vektor eigen dari matriks simetrik berikut
!
1 6 12
A= .
5 12 1
Buatlah matriks ortogonal U dengan dua buah vektor eigen ternormalisasi dan tun-
jukkan bahwa
AU = ,
U
U AU = .
Carilah matriks
uniter U dan matriks diagonal .
1+i 1+i
!
3 6 0 0
Jawab: U = 1 , = .
2 0 3
3 6
56 1. NILAI EIGEN MATRIKS
Carilah matriks
uniter U dan matriks
diagonal
.
1
1 1
1 0 0
2 6
2 1
3
Jawab: U = 0 6 3 , = 0 1
.
0
12
1
6
1
3
0 0 2
Carilah matriks
uniter U dan matriks
diagonal.
2 1 2
0 0 0
3 3 3
Jawab: U = 2 2 1
3 3 3 , = 0 3 0 .
1 2
3 3 32 0 0 6
12. Jika A adalah matriks simetrik (A = A), S adalah sebuah matriks ortogonal dan
A0 = S 1 AS, tunjukkan bahwa A0 juga matriks simetrik.
13. Jika u dan v adalah matriks kolom dalam ruang dua dimensi yang dihubungkan dengan
persamaan
v = Cu,
dengan !
cos sin
C= ,
sin cos
14. Carilah nilai eigen dan vektor eigen dari matriks rotasi dua dimensi
!
cos sin
C= .
sin cos
adalah
Q0 (x01 , x02 ) = 25x02 02
1 25x2 ,
dengan ! !
x1 x01
=S .
x2 x02
Carilah matriks ortogonal S.
Jawab: !
1 4 3
S= .
5 3 4
!
0 2
16. Jika A = , dan f (x) = x3 + 3x2 3x 1, carilah f (A).
1 3
!
13 26
Jawab .
13 26
!
1 0
17. Jika A = 1
, carilah An dan limn An .
2 4
! !
1 0 1 0
Jawab: An = 8 8 1 n
, limn An =
1 n 8
.
3 3 4 4 3 0
!
6 14
18. Carilah X, jika X3 = .
7 15
!
0 2
Jawab: X = .
1 3
! ! ! !
0 2 1 4 6 4 5 2
Jawab: M1 = , M2 = , M3 = , M4 = .
1 3 2 5 2 0 1 2
20. Menurut teorema Cayley-Hamilton, tiap matriks persegi memenuhi persamaan karak-
teristiknya sendiri. Buktikan untuk matriks berikut
! !
3 4 1 2
(a) , (b) .
5 6 3 4
Hukum-hukum fisika secara universal paling baik jika dideskripsikan dengan kuantitas ma-
tematik yang bebas kerangka acuan. Tetapi persoalan fisika yang dinyatakan dalam hukum-
hukum ini hanya bisa diselesaikan dengan, dalam kebanyakan kasus, hanya jika kuantitas
relevannya diuraikan/dipisahkan dalam suatu sistem koordinat. Sebagai contoh, jika kita
perhatikan sebuah balok yang bergerak dalam bidang miring, gerakan balok tersebut jelas
dapat dinyatakan dalam hukum dinamika Newton II F = ma, tanpa koordinat yang muncul.
Tetapi untuk mendapatkan nilai yang benar dari kecepatan, percepatan dan lain sebagainya
dari balok, kita harus memilih suatu sistem koordinat. Kita akan mendapatkan jawaban yang
benar tidak peduli bagaimana orientasi sumbu yang kita pilih, meskipun ada beberapa pilih-
an yang lebih sesuai. Kita bisa saja memilih sumbux sepanjang bidang datar atau bidang
miring. Jelaslah komponen x dan y dari F dan a dalam dua koordinat ini berbeda nilainya,
tetapi kombinasi keduanya memberikan hasil yang sama. Dengan kata lain, jika sistem ko-
ordinat kita rotasikan, komponen sebuah vektor tentu akan berubah. Tetapi perubahannya
sedemikian rupa sehingga persamaan vektornya tetap valid. Untuk alasan ini, medan vektor
paling baik didefinisikan dalam suku perilaku komponen di bawah rotasi sumbu.
Ketika sistem koordinat dirotasikan, transformasi komponen vektor posisi r dapat dinya-
takan dalam suku matriks rotasi. Kita akan menggunakan matriks rotasi untuk mendefini-
sikan semua vektor yang lain. Sifat-sifat matriks rotasi ini akan digunakan untuk analisis
beberapa cara untuk mengkombinasikan komponen dua buah vektor atau lebih. Pendekatan
pada analisis vektor ini dapat dengan mudah digeneralisasi untuk vektor berdimensi lebih
dari tiga. Hal ini juga secara alami membawa kita pada analisis tensor.
Beberapa kuantitas fisika tidak berupa skalar maupun vektor. Sebagai contoh, rapat
arus listrik J yang bergerak pada sebuah material dihubungkan secara linier dengan medan
listrik E yang menyebabkannya. Jika materialnya isotropik, tiga buah komponen J dan E
60 2. TRANSFORMASI VEKTOR DAN TENSOR CARTESIAN
Ji = Ei ,
dengan ij tensor konduktivitas. Ini merupakan tensor rank dua karena memiliki dua buah
subscript i dan j, yang masing-masing bergerak dari 1 ke 3. Sehingga semuanya terdiri dari
9 komponen. Sifat-sifat untuk mendefinisikan sebuah tensor adalah, ketika kita merotasikan
sumbu koordinat, komponen-komponennya harus berubah menurut aturan transformasi ter-
tentu, analog dengan transformasi vektor. Sebenarnya, sebuah vektor dengan satu subscript
pada komponennya, merupakan tensor rank satu. Sebuah tensor dengan rank n memiliki n
subscript. Dalam bab ini, kita akan mempelajari tensor dalam koordinat Cartesian, sehingga
dinamakan tensor Cartesian.1
Kerangka koordinat yang kita gunakan untuk mendeskripsikan posisi dalam ruang jelaslah
sebarang, tetapi terdapat aturan transformasi spesifik untuk merubah vektor dari satu ke-
rangka ke kerangka lain. Anggap sistem koordinat persegi kita rotasikan berlawanan arah
jarum jam pada sumbuz sebesar sudut . Titik P berada pada posisi (x, y, z) sebelum
rotasi. Setelah rotasi letaknya tidak berubah hanya koordinatnya menjadi (x0 , y 0 , z 0 ), seperti
pada Gambar 2.1. Sehingga posisi vektor dalam sistem koordinat asalnya adalah
r = xi + yj + zk, (2.1)
r = x0 i0 + y 0 j0 + z 0 k0 , (2.2)
dengan (i, j, k) dan (i0 , j0 , k0 ) berturut-turut adalah vektor satuan dalam koordinat asal dan
dirotasikan. Hubungan antara sistem aksen dan tak aksen dapat dengan mudah diperoleh
karena
Gambar 2.1: Sistem koordinat yang dirotasikan pada sumbuz. Kuantitas aksen adalah dalam sistem
dirotasikan dan kuantitas tak aksen (biasa) dalam sistem koordinat asal.
dan
Karena k = k0 maka
z 0 = z.
Jelas bahwa hubungan ini merupakan pernyataan geometrik dari rotasi. Terlihat dalam
Gambar 2.1
OQ OQ
x0 = OA + AB = + P A sin = + (PQ - AQ) sin
cos cos
sin2
x 1
= + (y x tan ) sin = x + y sin
cos cos cos
= x cos + y sin ,
Kuantitas vektor digunakan untuk menyatakan hukum-hukum fisika yang bebas kerangka
koordinat. Sebagai contoh, hukum Newton II tentang dinamika
F = ma, (2.6)
menghubungkan gaya F dengan massa partikel m dan juga percepatannya a. Tidak ada
koordinat yang muncul secara eksplisit dalam persamaan, seperti yang seharusnya karena
hukum ini berlaku universal. Tetapi biasanya kita lebih mudah mencari dengan memilih sa-
tu sistem koordinat dan bekerja dengan masing-masing komponen. Dalam sistem koordinat
tertentu, tiap vektor dinyatakan dalam tiga buah komponen. Ketika kita merubah kerang-
ka acuan, komponen-komponennya akan berubah. Tetapi perubahannya haruslah tertentu
sehingga (2.6) terpenuhi. Koordinat akan berubah karena adanya translasi dan/atau rotasi
sumbu. Sebuah translasi merubah titik asal sistem koordinat dan menghasilkan konstanta
tambahan dalam komponen r. Karena turunan konstanta adalah nol, translasi tidak akan
merubah vektor F dan a. Sehingga perubahan penting disebabkan oleh rotasi sumbu.
Pertama jika kita perhatikan (2.6) berlaku untuk satu sistem koordinat maka ini juga
berlaku untuk semua koordinat yang lain. Persamaannya dapat dituliskan sebagai
F ma = 0, (2.7)
dan dibawah rotasi sumbu, vektor nol akan tetap nol dalam sistem koordinat yang baru.
Dalam suku komponen-komponennya pada sistem koordinat Cartesian (2.7) dapat dituliskan
sebagai
(Fx max )i + (Fy may )j + (Fz maz )k = 0, (2.8)
sehingga
Fx = max , Fy = may , Fz = maz . (2.9)
Sekarang jika sistem dirotasikan berlawanan arah jarum jam pada sumbuz sebesar sudut
seperti Gambar 2.1, (2.7) menjadi
(Fx0 0 ma0x0 )i0 + (Fy0 0 ma0y0 )j0 + (Fz0 0 ma0z 0 )k0 = 0, (2.10)
dengan definisi
d2 0 d2
a0x0 = x = (x cos + y sin )
dt2 dt2
= ax cos + ay sin , (2.11)
d2 0 d2
a0y0 = y = (x sin + y cos )
dt2 dt2
= ax sin + ay cos , (2.12)
2.1. SIFAT-SIFAT TRANSFORMASI VEKTOR 63
d2 0 d2
a0z 0 =
z = z = az . (2.13)
dt2 dt2
Masing-masing komponen (2.10) harus identik sama dengan nol. Hal ini memberikan
Fz0 0 = Fz
Jika dinyatakan dalam bentuk matriks, hubungan ini dapat dinyatakan sebagai
F 00 cos sin 0 Fx
x
F 0 0 = sin cos 0 Fy . (2.14)
y
Fz0 0 0 0 1 Fz
Dengan membandingkan (2.5) dan (2.14), kita melihat bahwa matriks rotasi benar-benar
sama. Dengan kata lain komponen vektor F bertransformasi dengan cara yang serupa dengan
komponen vektor posisi r.
Dalam aplikasi fisis, hal ini berarti agar sebuah kuantitas dapat dipandang sebagai sebu-
ah vektor, nilai yang terukur dari komponen-komponennya dalam sistem terotasi haruslah
dihubungkan dengan cara ini pada sistem koordinat asalnya.
Orientasi antara dua buah sistem koordinat tidak hanya dibatasi pada sebuah rotasi pada
sumbu tertentu. Jika kita mengetahui orientasi relatif sistem, kita dapat mengikuti prosedur
(2.3) untuk memperoleh hubungan
x0 (i0 i) (i0 j) (i0 k) x
0 0 0
y 0 = (j i) (j j) (j k) y .
0 0 0 0
z (k i) (k j) (k k) z
Dalam Subbab 2.1.3 kita akan mempelajari rotasi sebenarnya yang merubah (i, j, k) menjadi
(i0 , j0 , k0 ).
Kita kadang perlu menyatakan matriks transformasi dalam suku rotasi konkrit yang meru-
bah sumbu koordinat dalam orientasi tertentu. Secara umum rotasi dapat dianggap sebagai
kombinasi tiga rotasi yang dilakukan berurutan dalam tiga arah berbeda. Deskripsi paling
bermanfaat untuk hal ini adalah dalam suku sudut Euler , , yang sekarang kita defini-
sikan.
64 2. TRANSFORMASI VEKTOR DAN TENSOR CARTESIAN
Gambar 2.2: Sudut Euler. (a) Orientasi relatif dua buah sistem koordinat persegi XY Z dan X 0 Y 0 Z 0 dengan
titik asal biasa yang dinyatakan dalam tiga buah sudut Euler , , . Transformasi matriksnya merupakan
hasil perkalian tiga buah matriks untuk tiga buah rotasi berikut. (b) Merotasikan sepanjang sumbu Z,
bawa sumbu X agar berhimpit dengan garis simpul (line of nodes). (c) Rotasikan pada garis simpul. (d)
Terakhir rotasikan sepanjang sumbu Z 0 .
2.1. SIFAT-SIFAT TRANSFORMASI VEKTOR 65
Dua buah sistem koordinat ditunjukkan pada Gambar 2.2(a). Misalkan XY Z adalah
koordinat sitem mula-mula, X 0 Y 0 Z 0 merupakan sistem koordinat akhir. Perpotongan bidang
XY dan X 0 Y 0 dikenal sebagai garis simpul (line of nodes). Orientasi relatif dua buah sistem
dispesifikasi tiga buah sudut , , . Seperti yang terlihat pada Gambar 2.2(a), adalah
sudut antara sumbu X dengan garis simpul, adalah sudut antara sumbu Z dengan Z 0 , dan
adalah sudut antara garis simpul dengan sumbu X 0 .
Matriks transformasi dari XY Z menjadi X 0 Y 0 Z 0 dapat diperoleh dengan menuliskan-
nya sebagai perkalian tiga buah rotasi terpisah yang masing-masing memiliki matriks rotasi
yang relatif sederhana. Pertama kita rotasikan sumbu mula-mula XY Z sebesar sudut
berlawanan arah jarum jam pada sumbu Z. Sistem koordinat resultannya kita berikan label
X1 , Y1 , Z1 seperti pada Gambar 2.2(b). Pada langkah kedua sumbu menengahnya (inter-
mediate) dirotasikan pada sumbu X1 berlawanan arah dengan jarum jam sebesar sudut
untuk memperoleh sumbu menengah X11 , Y11 , Z11 seperti pada Gambar 2.2(c). Terakhir
X11 , Y11 , Z11 dirotasikan berlawanan arah jarum jam sebesar sudut pada sumbu Z11 untuk
memperoleh sumbu X 0 Y 0 Z 0 seperti pada Gambar 2.2(d).
Setelah rotasi pertama, koordinat r dalam sistem mula-mula (x, y, z) menjadi (x1 , y1 , z1 )
dalam sistem X1 , Y1 , Z1 . Keduanya dihubungkan matriks rotasi
x1 cos sin 0 x
y1 = sin cos 0 y . (2.15)
z1 0 0 1 z
Rotasi kedua pada sumbu X1 . Setelah rotasi (x1 , y1 , z1 ) menjadi (x11 , y11 , z11 ) dengan hu-
bungan
x11 1 0 0 x1
y11 = 0 cos sin y1 . (2.16)
z11 0 sin cos z1
Setelah rotasi terakhir pada sumbu Z11 koordinat r menjadi (x0 , y 0 , z 0 ) yang diberikan oleh
x0 cos sin 0 x11
y 0 = sin cos 0 y11 . (2.17)
z0 0 0 1 z11
Maka matriks (A) 3 3 merupakan matriks transformasi yang lengkap. hasil perkalian tiga
buah matriks memberikan elemen (A) yaitu
cos cos sin cos sin cos sin + sin cos cos sin sin
(A) =
sin cos cos cos sin sin sin + cos cos cos cos sin (2.20)
sin sin sin cos cos
Tidak terlalu sulit untuk membuktikan bahwa hasil kali matriks (A) dengan transposenya
(A)T adalah matriks identitas I
(A)(AT ) = (I).
Hal ini adalah sifat umum dari matriks rotasi yang akan kita buktikan pada Subbab 2.1.4.
Perlu diperhatikan di sini penulis lain mendefinisikan sudut Euler sedikik berbeda, karena
urutan rotasi yang digunakan dalam mendefinisikan orientasi akhir sistem koordinat boleh
sebarang. Di sini kita mengadopsi definsi yang digunakan secara luas dalam buku mekanika
klasik.
Untuk mempelajari sifat-sifat ruang vektor, akan lebih nyaman jika kita menggunakan notasi
yang lebih sistematik. Misalkan (x, y, z) adalah (x1 , x2 , x3 ); (i, j, k) adalah (e1 , e2 , e3 )
dan (Vx , Vy , Vz ) adalah (V1 , V2 , V3 ). Kuantitas dalam sistem terotasi diberikan label sebagai
kuantitas aksen. Salah satu keuntungan notasi baru adalah mengijinkan kita untuk meng-
P
gunakan simbol jumlah untuk menuliskan persamaan dalam bentuk yang lebih kompak.
Ortogonalitas (i, j, k) dinyatakan sebagai
Secara umum, vektor posisi r yang sama dinyatakan dalam dua buah sistem koordinat ber-
beda dapat dituliskan sebagai
3
X 3
X
r= x0j e0j = xj ej . (2.21)
j=1 j=1
2.1. SIFAT-SIFAT TRANSFORMASI VEKTOR 67
dengan
aij = (e0i ej ) (2.25)
adalah arah cosinus antara e0i dan ej . Perhatikan bahwa i dalam (2.24) tetap sebagai sebuah
parameter yang memberikan tiga buah persamaan berbeda ketika kita masukkan nilai 1, 2,
dan 3. Dalam notasi matriks, (2.24) dituliskan sebagai
x01 a11 a12 a13 x1
x0 = a21 a22 a23 x2 . (2.26)
2
x30 a31 a32 a33 x3
Jika kita mengambil ei r, bukan e0i r, dan mengikuti prosedur yang sama kita memperoleh
3
X
xi = (ei e0j )x0j ,
j=1
karena (ei e0j ) adalah cosinus sudut antara ei dengan e0j yang dapat dinyatakan juga dengan
(e0j ei ) dan dengan definisi (2.25) (e0j ei ) = aij , maka
3
X
xi = aji x0j , (2.27)
j=1
atau
x01 a11 a12 a13 x1
x0 = a21 a22 a23 x2 . (2.28)
2
x03 a31 a32 a33 x3
Jika kita bandingkan (2.26) dengan (2.28) kita melihat bahwa inverse matriks rotasi sama
dengan transposenya
(aij )1 = (aji ) = (aij )T . (2.29)
Transformasi sebarang yang memenuhi kondisi ini dikenal sebagai transformasi ortogonal.
68 2. TRANSFORMASI VEKTOR DAN TENSOR CARTESIAN
Jika kita memberikan nama ulang pada indeks i dan j, kita dapat menuliskan (2.27)
sebagai
3
X
xj = aij x0i . (2.30)
i=1
Jelas dari (2.24) dan persamaan terakhir bahwa
x0i xj
aij = = . (2.31)
xj x0i
Kita tekankan di sini bahwa hubungan ini hanya berlaku untuk sistem koordinat Cartesian.
Sembilan buah elemen matriks rotasi tidak saling bebas satu dengan yang lainnya. Salah
satu cara untuk menurunkan hubungan ini adalah dengan memperhatikan bahwa jika dua
buah sistem koordinat memiliki titik asal yang sama maka panjang vektor posisi haruslah
sama dalam dua sistem ini. Hal ini mengharuskan
3 3
2
X X
rr= x0 i = x2j . (2.32)
i=1 i=1
Hal ini berlaku untuk semua titik, jika dan hanya jika
3
X
aij aik = jk . (2.33)
i=1
Kondisi ini dikenal sebagai syarat ortogonalitas. Matriks sebarang yang elemennya memenuhi
syarat ini dikenal sebagai matriks rotasi. Matriks rotasi adalah matriks ortogonal. Dengan
semua nilai i dan j yang mungkin, (2.33) terdiri dari enam buah persamaan. Himpunan
persamaan ini ekivalen dengan
3
X
aji aki = jk . (2.34)
i=1
yang juga bisa didapatkan dari (2.32), tetapi mulai dari kanan ke kiri dengan transformasi
(2.27).
3
X 3
X
(e0i ej ) = bik (ek ej ) = bik kj = bij .
i=1 i=1
Seperti yang sudah dipelajari dalam analisis vektor, perkalian tiga buah skalar sama dengan
determinan komponennya
a11 a12 a13
sehingga
a11 a12 a13
a21 a22 a23 = +1
a31 a32 a33
Sekarang kita sampai mendefinisikan ulang secara aljabar sebuah vektor dan tensor.
Di bawah rotasi sumbu, koordinat vektor posisi dalam sistem mula-mula xi bertransfor-
masi menjadi x0i dalam sistem terotasi menurut
X
x0i = aij xj (2.35)
j
dengan
X
aij aik = jk . (2.36)
i
Jika di bawah transformasi ini, kuantitas tidak berubah, maka dinamakan sebuah
skalar. Hal ini berarti jika skalar maka
maka kuantitas A = (A1 , A2 , A3 ) dinamakan vektor. Karena (aij )1 = aji , (2.38) ekivalen
dengan
X
Ai = aji A0j . (2.39)
j
Definisi ini memungkinkan generalisasi dan menjamin bahwa kuantitas vektor bebas sistem
koordinat.
Contoh 2.1.3. Anggap A dan B adalah vektor. Tunjukkan bahwa perkalian dotnya A B
adalah skalar.
Solusi 2.1.3. Karena A dan B adalah vektor, di bawah rotasi komponen-komponennya
bertransformasi menurut
X X
A0i = aij Aj ; Bi0 = aij Bj .
j j
adalah skalar, kita harus membuktikan nilainya pada sitem terotasi sama dengan nilainya
pada sistem asalnya
!
X X X X
(A B)0 = A0i Bi0 = aij Aj aik Ak
i i j k
!
XX X XX X
= aij Ak Aj Ak = jk Aj Bk = Aj Bj = A B.
j k i j k j
P
Contoh 2.1.4. Tunjukkan bahwa jika (A1 , A2 , A3 ) sedemikian rupa sehingga i Ai Bi adalah
skalar untuk tiap vektor B, maka (A1 , A2 , A3 ) adalah vektor.
P
Solusi 2.1.4. Karena i Ai Bi adalah skalar dan B adalah vektor
X X X X
Ai B i = A0i Bi0 = A0i aij Bj .
i i i j
2.1. SIFAT-SIFAT TRANSFORMASI VEKTOR 71
Sekarang i dan j adalah indeks berjalan, kita dapat menamai ulang i sebagai j, dan j sebagai
i. Sehingga
X X X XX
Ai B i = A0j aji Bi = aji A0j Bi .
i j i i j
Contoh 2.1.5. Tunjukkan dalam koordinat Cartesian, gradien fungsi skalar adalah
fungsi vektor.
Solusi 2.1.5. Sebagai skalar maka ini haruslah memiliki nilai yang sama pada titik yang
diberikan, bebas dari orientasi sistem koordinat
0 0 0 0 X xj
(x 1 , x2 , x3 ) = (x 1 , x2 , x3 ) = . (2.41)
x0i x0i xj x0i
j
xj
= aij ,
x0i
sehingga
0 X
= aij . (2.42)
x0i xj
j
Komponen ini di bawah rotasi sumbu bertransformasi persis sama dengan komponen vektor,
sehingga adalah fungsi vektor.
72 2. TRANSFORMASI VEKTOR DAN TENSOR CARTESIAN
Sebuah vektor yang komponennya hanyalah berupa angka disebut vektor konstan. Semua
vektor konstan berperilaku seperti vektor posisi. Ketika sumbunya dirotasikan, komponennya
berubah menjadi himpunan angka sesuai dengan aturan transformasi. Sehingga himpunan
tiga angka sebarang dapat dianggap sebagai vektor konstan.
Untuk medan vektor, komponennya berupa fungsi dari (x1 , x2 , x3 ). Di bawah rotasi,
bukan hanya (x1 , x2 , x3 ) berubah menjadi (x01 , x02 , x03 ), kemunculan fungsi komponennya juga
dapat berubah. Hal ini bisa menjadi suatu kerumitan.
Secara matematik aturan transformasi memberikan sedikit batasan dengan apa yang ki-
ta sebut sebagai sebuah vektor. Kita dapat membuat himpunan tiga buah fungsi sebarang
komponen medan vektor hanya dengan mendefinisikan secara sederhana, dalam sistem tero-
tasi, fungsi berkaitan yang diperoleh dari aturan transformasi yang benar sebagai komponen
vektor dalam sistem tersebut.
Tetapi jika kita membicarakan entitas fisik, kita tidak sebebas itu dalam mendefinisikan
komponennya dalam berbagai sistem. Komponen-komponen ini ditentukan oleh fakta fisik.
Seperti yang sudah kita sebutkan di awal, semua hukum fisika yang benar haruslah bebas dari
sistem koordinat. Dengan kata lain, kemunculan persamaan yang mendeskripsikan hukum
fisika haruslah sama dalam semua sistem koordinat. Jika fungsi vektor mempertahankan
kemunculannya dalam sistem terotasi, persamaan yang dituliskan dalam suku tersebut akan
invarian di bawah rotasi. Sehingga kita memasukkan definisi medan vektor, sebuah syarat
tambahan bahwa komponen yang ditransformasikan harus terlihat sama dengan komponen
asalnya.
Sebagai contoh banyak penulis mendeskripsikan
! !
V1 x1
= (2.43)
V2 x2
sebagai medan vektor dalam ruang dua dimensi, tetapi yang lain sebaliknya. Jika kita meng-
anggap (2.43) sebagai sebuah vektor, maka komponen vektor ini dalam sistem dengan sumbu
yang dirotasikan sebesar sudut diberikan oleh
! ! ! ! !
V10 cos sin V1 cos sin x2
= = .
V20 sin cos V2 sin cos x1
Secara matematik kita dapat mendefinisikan (2.44) sebagai komponen vektor dalam sistem
terotasi, tetapi bentuknya tidak sama dengan (2.43).
2.2. TENSOR CARTESIAN 73
yang memiliki bentuk sama dengan (2.45). Dalam arti, kita mengatakan (2.45) invarian di
bawah rotasi.
Di bawah definisi kita (2.45) adalah vektor sedangkan (2.43) bukan vektor.
2.2.1 Definisi
Definisi sebuah vektor dapat diperluas untuk mendefinisikan jenis yang lebih umum sebuah
objek yang dinamakan tensor, yang bisa memiliki subscript lebih dari satu.
Jika dalam sistem koordinat persegi ruang tiga dimensi dibawah rotasi koordinat
3
X
x0i = aij xj
j=1
kuantitas 3N Ti1 ,i2 , ,iN (dengan tiap i1 , i2 , , iN merupakan indeks bebas berjalan dari 1
ke 3) bertransformasi menurut aturan
3 X
X 3 3
X
Ti01 ,i2 , ,iN = ai1 j1 ai2 j2 aiN jN Tj1 ,j2 ,jN , (2.47)
j1 =1 j2 =1 jN =1
sehingga Ti1 ,i2 , ,iN adalah komponen dari tensor Cartesian rank N . Karena bahasan kita
terbatas hanya pada tensor Cartesian, kecuali nanti diberitahukan, maka kata Cartesian kita
buang di sini.
Rank sebuah tensor adalah jumlah subscript bebas. Sehingga tensor dengan rank nol
hanya memiliki satu buah komponen (30 = 1). Sehingga kita bisa menganggapnya sebagai
skalar. Tensor dengan rank satu memiliki tiga buah komponen (31 = 3). Aturan transformasi
komponen-komponennya di bawah rotasi sama dengan aturan pada vektor. Sehingga vektor
adalah tensor rank satu.
Kasus lainnya paling penting adalah tensor rank dua. Tensor ini memiliki sembilan buah
komponen (32 = 9), Tij mengikuti aturan transformasi
3 X
X 3
Tij0 = ail ajm Tlm . (2.48)
l=1 m=1
74 2. TRANSFORMASI VEKTOR DAN TENSOR CARTESIAN
Tetapi, hal ini tidak berarti tiap matriks 3 3 membentuk sebuah tensor. Syarat paling
penting adalah komponen-komponennya memenuhi aturan transformasi.
Sebagai masalah terminologi, tensor rank dua dalam ruang tiga dimensi memiliki sembilan
buah komponen Tij . Tetapi sering Tij dianggap sebagai tensordibandingkan komponen
tensoruntuk sederhananya.Dengan kata lain, Tij digunakan untuk menyatakan komponen
keseluruhan sekaligus komponen individu. Konteks ini akan membuat artinya jelas.
Contoh 2.2.1. Tunjukkan bahwa dalam ruang dua dimensi, kuantitas berikut merupakan
tensor rank dua !
x1 x2 x21
Tij = .
x22 x1 x2
Solusi 2.2.1. Dalam ruang dua dimensi, tensor rank dua memiliki 4 (22 = 4) komponen.
Jika ini adalah tensor maka dalam koordinat terotasi bentuknya haruslah
!
0 x0 1 x02 x0 21
Tij = ,
x0 22 x0 1 x0 2
dengan ! ! ! ! !
x01 a11 a12 x1 cos sin x1
= =
x02 a21 a22 x2 sin cos x2
sekarang kita harus memeriksa jika tiap komponen memenuhi aturan transformasi
0
T11 = x01 x02 = (cos x1 + sin x2 )
= cos sin x21 + cos2 x1 x2 sin2 x2 x1 + sin cos x22 .
= a11 a11 T11 + a11 a12 T12 + a12 a11 T21 + a12 a12 T22
= cos2 x1 x2 cos sin x21 + sin cos x22 sin2 x1 x2 .
Terlihat bahwa dua buah ekspresi identik. Proses yang sama akan menunjukkan bahwa
komponen-komponen lain juga memenuhi aturan transformasi. Sehingga Tij adalah tensor
rank dua dalam ruang dua dimensi.
2.2. TENSOR CARTESIAN 75
Sifat-sifat transformasi ini tidak diambil begitu saja. Dalam contoh di atas, jika salah
satu tanda aljabar kita rubah, aturan transformasinya tidak akan terpenuhi. Sebagai contoh
jika T22 kita rubah menjadi x1 x2
!
x1 x2 x21
Tij = , (2.49)
x22 x1 x2
maka
2 X
X 2
0
T11 6= a1l a1m Tlm
l=1 m=1
merupakan tensor rank dua. Untuk membuktikan ini, perhatikan transformasi berikut
3 X
X 3 3
X
0
ij = ail ajm lm = ail ajl = ij . (2.50)
l=1 m=1 l=1
Maka
1 i=j
0
ij = .
0 i 6= j
Sehingga ij memenuhi aturan transformasi tensor dan invarian di bawah rotasi. Sebagai
tambahan, tensor ini memiliki sifat khusus. Nilai numerik komponennya sama dalam semua
sistem koordinat. Tensor dengan sifat ini disebut sebagai tensor isotropik.
Karena
X
Dik jk = Dij ,
k
tensor delta Kronecker disebut sebagai tensor substitusi. Tensor ini disebut juga sebagai
tensor satuan, karena representasi matriksnya
1 0 0
ij =
0 1 0.
0 0 1
76 2. TRANSFORMASI VEKTOR DAN TENSOR CARTESIAN
Tensor Levi-Civita
yang kita gunakan untuk mendefinisikan determinan orde ketiga, merupakan tensor isotro-
pik rank tiga. Tensor ini dikenal sebagai tensor bolak-balik (alternating tensor ). Untuk
membuktikan ini, ingat definisi dari determinan orde ketiga
a a a
X 3 X 3 X 3 11 12 13
a1l a2m a3n lmn = a21 a22 a23 . (2.51)
l=1 m=1 n=1
a31 a32 a33
Sekarang jika indeks baris (1,2,3) diganti dengan (i, j, k), kita memiliki
ai1 ai2 ai3
X 3 X 3 X 3
ail ajm akn lmn = aj1 aj2 aj3 . (2.52)
l=1 m=1 n=1
ak1
ak2 ak3
Hubungan ini dapat didemonstrasikan dengan menuliskan suku tak hilang dalam dua ruas.
Hal ini dapat juga dibuktikan dengan memperhatikan hal berikut. Pertama untuk i = 1, j =
2, k = 3, (2.52) akan tereduksi menjadi (2.51). Sekarang perhatikan efek jika kita merubah i
menjadi j dan sebaliknya. Ruas kiri berubah tanda karena
3 X
X 3 X
3 3 X
X 3 X
3
ajl aim akn lmn = ajm ail akn mln
l=1 m=1 n=1 l=1 m=1 n=1
X3 X 3 X 3
= ail ajm akn lmn .
l=1 m=1 n=1
Ruas kanan juga berubah tandanya karena dua buah baris determinan saling bertukar. Jika
dua buah indeks i, j, k ada yang sama, maka kedua ruas nilainya nol. Ruas kiri sama de-
ngan nol karena kuantitas tersebut sama dengan negatifnya. Ruas kanan sama dengan nol
karena dua baris determinan identik. Hal ini cukup untuk membuktikan hasil karena semua
permutasi i, j, k dapat diperoleh dengan pertukaran yang berurutan.
Mengikuti sifat-sifat determinan dan definisi ijk yaitu
a a a a a a
i1 i2 i3 11 12 13
aj1 aj2 aj3 = ijk a21 a22 a23 , (2.53)
ak1 ak2 ak3 a31 a32 a33
Hubungan ini berlaku untuk sebarang determinan. Sekarang jika aij adalah elemen matriks
rotasi
a11 a12 a13
a21 a22 a23 = 1,
a31 a32 a33
seperti pada Contoh 2.1.2.
Untuk menentukan apakah ijk merupakan tensor, kita harus melihat nilainya dalam
sistem terotasi. Aturan transformasi mengharuskan
3 X
X 3 X
3
0ijk = ail ajm akn lmn .
l=1 m=1 n=1
Tetapi
a11 a12 a13
3 X
X 3 X
3
ail ajm akn lmn = ijk a21 a22 a23 = ijk .
l=1 m=1 n=1
a31 a32 a33
Sehingga
0ijk = ijk . (2.55)
Terdapat sebuah hubungan yang penting dan menarik antara tensor delta Kronecker dan
tensor Levi-Civita
3
X
ijk ilm = jl km jm kl . (2.56)
i=1
Setelah kita jumlahkan terhadap indeks i, terdapat empat buah subscript bebas j, k, l, m.
Sehingga (2.56) merepresentasikan 81 (34 = 81) persamaan. Tidak sulit untuk membuktikan
(2.56) dengan pengamatan berikut:
1. Jika j = k atau l = m, kedua buah ruas dalam (2.56) sama dengan nol. Jika j = k,
ruas kiri sama dengan nol, karena ikk = 0. Ruas kanan juga sama dengan nol karena
kl km km kl = 0. Hasil yang sama diperoleh untuk l = m. Sehingga kita hanya
perlu mengecek kasus untuk j 6= k dan l 6= m.
2. Agar ruas kiri tidak hilang, i, j, k harus berbeda. Sehingga diberikan j 6= k, i tetap.
Perhatikan ilm , karena i tetap dan i, l, m harus berbeda agar ilm tidak hilang, sehingga
l = j, m = k, atau l = k, m = j hanyalah dua pilihan untuk tidak hilang.
3. Untuk l = j dan m = k, ijk = ilm . Sehingga ijk dan ilm haruslah memiliki
tanda yang sama. (Bisa keduanya +1 atau keduanya -1). Sehingga ruas kiri (2.56)
ijk ilm = +1. Dan ruas kanan (2.56) juga sama dengan +1, karena l 6= m
jl km jm kl = ll mm lm ml = 1 0 = 1.
78 2. TRANSFORMASI VEKTOR DAN TENSOR CARTESIAN
4. Untuk l = k dan m = j, ijk = iml = ilm . Sehingga ijk dan ilm memiliki tanda
yang berlawanan. (Satunya -1 dan yang lain +1, begitu juga sebaliknya). Sehingga
ruas kiri (2.56) nilainya -1. Ruas kanan (2.56) juga nilainya -1 karena l 6= m
jl km jm kl = ml lm mm ll = 0 1 = 1
Hal ini telah melingkupi 81 kasus. Dalam tiap kasus ruas kiri sama dengan ruas kanan.
Sehingga (2.56) terbukti.
Jika Si1 i2 iN merupakan tensor rank N dan Tj1 j2 jM merupakan tensor rank M , maka
Si1 i2 iN Tj1 j2 jM merupakan tensor rank (N + M ).
Hal ini dikenal sebagai teorema outer product.2 Outer product juga dikenal sebagai per-
kalian langsung. Teorema ini dapat dengan mudah dibuktikan. Pertama tensor ini memiliki
komponen sebanyak 3N +M . Di bawah sebuah rotasi
X
Si01 i2 iN = ai1 k1 aiN kN Sk1 kN ,
k1 kN
X
Tj01 j2 jM = aj1 l1 ajM lM Tl1 lM ,
l1 lN
P3 P3 P3 P3
kita telah menuliskan j1=1 j2=1 jN =1 sebagai j1jN
mengikuti ini
3 X
X 3
A0i Bj0 = aik ajl Ak Bl ,
k=1 l=1
2
perkalian luar
2.2. TENSOR CARTESIAN 79
yang menunjukkan Ai Bj adalah tensor rank dua, bersesuaian dengan teorema outer product.
Kita juga mengatakan di sini, tensor rank dua yang dibentuk dengan vektor A dan B
kadang dinyatakan dengan AB (tanpa apapun di antaranya). Ketika kita menuliskannya
seperti ini, hal ini dinamakan dyad. Kombinasi linier beberapa dyad disebut dyadic. Karena
segala sesuatu yang dapat dilakukan dengan vektor dan dyadic dapat juga dilakukan dengan
tensor dan matriks, tetapi tidak dengan cara sebaliknya, maka kita tidak akan mendiskusikan
dyadic lagi.
Contoh 2.2.2. Gunakan teorema outer product untuk membuktikan ekspresi pada Contoh
2.2.1 !
x1 x2 x21
Tij =
x22 x1 x2
adalah tensor rank dua dalam ruang dua dimensi.
Solusi 2.2.2. Vektor posisi dua dimensi diberikan oleh
! !
A1 x1
= .
A2 x2
adalah vektor dalam ruang dua dimensi. Outer product dari keduanya adalah tensor rank
dua !
x1 x2 x21
Ai B j = = Tij .
x22 x1 x2
2.2.4 Kontraksi
Kita dapat menurunkan rank sebuah tensor dengan teorema berikut. Jika Ti1 i2 i3 iN adalah
tensor rank N , maka
XX
Si3 iN = i1 i2 Ti1 i2 i3 iN
i1 i2
Dengan
i01 i2 = i1 i2 ,
X
Ti01 ,i2 , ,iN = ai1 j1 ai2 j2 aiN jN Tj1 j2 , ,jN ,
j1 jN
(2.58) menjadi
X X
Si03 iN = i1 i2 ai1 j1 ai2 j2 aiN jN Tj1 ,j2 , ,jN
i1 i2 j1 jN
!
X X
= i1 i2 ai1 j1 ai2 j2 ai3 j3 aiN jN Tj1 ,j2 , ,jN .
j1 jN i1 i2
Sekarang
X X
i1 i2 ai1 j1 ai2 j2 = ai1 j1 ai2 j2 = j1 ,j2 ,
i1 i2 i1
sehingga
X
Si03 iN = i1 i2 ai3 j3 aiN jN Tj1 ,j2 , ,jN
j1 jN
X X
= j1 j2 aj1 j2 Tj1 ,j2 , ,jN ai3 j3 aiN jN
j3 jN j1 j2
X
= ai3 j3 aiN jN Sj3 jN . (2.59)
j3 jN
(ingat bahwa Ci3 dapat merepresentasikan komponen tertentu dari C, dapat juga merepre-
sentasikan komponen keseluruhan, yaitu vektor C sendiri). Di lain pihak jika i2 dan i3 kita
kontraksikan, diperoleh vektor yang lain
X X
Ti1 ii = Ai1 Bi Ci = Ai1 (B C).
i i
Sehingga dengan mengkontraksikan indeks pertama dan kedua diperoleh sebuah skalar dika-
likan dengan sebuah vektor C, sedangkan kontraksi indeks kedua dan ketiga diperoleh sebuah
skalar dikalikan dengan sebuah vektor A.
Kontraksi merupakan salah satu operasi yang sangat penting dalam tensor. Sehingga
harus diingat.
Contoh 2.2.3. Nyatakan ekspresi Ai Bj Ci dengan konvensi penjumlahan dalam suku notasi
vektor biasa.
Solusi 2.2.3.
3
!
X
Ai B j C i = Ai Ci Bj = (B C)Bj .
i=1
Perhatikan di contoh tersebut bahwa indeks yang menentukan vektor mana yang harus
kita kalikan dot, bukan dari urutan vektor. Urutan di sini tidak penting. Sehingga (AC)Bj =
Ak Ck Bj tetap valid. Huruf j di sini adalah subscript bebas, dan dapat digantikan dengan
indeks lainnya kecuali subscript dummy. Tetapi, jika suku yang digunakan dalam persamaan,
maka subscript bebas tiap suku dalam persamaan tersebut harus dinyatakan dengan huruf
yang sama.
82 2. TRANSFORMASI VEKTOR DAN TENSOR CARTESIAN
Dari sekarang dan selanjutnya, jika kita menuliskan sebuah kuantitas dengan N subscript,
jika semua subscriptnya berbeda, maka kita mengasumsikan bahwa itu adalah tensor rank
N . Jika dua di antaranya ada yang sama, maka tensor ini terkontraksi sehingga ranknya
(N 2).
Contoh 2.2.4. (a) Berapakah rank dari tensor ijk Al Bm ? (b) Berapakah rank dari tensor
ijk Aj Bk ? (c) Nyatakan ijk Aj Bk dalam vektor biasa. Solusi 2.2.4. (a) Karena ijk adalah
tensor rank tiga dan Al Bm tensor rank dua, maka dengan teorema outer product ijk Al Bm
adalah tensor rank 5. (b) ijk Aj Bk terkontraksi dua kali sehingga menjadi tensor rank 1
(5-4=1). (c)
XX
ijk Aj Bk = ijk Aj Bk .
j k
Jika i = 1, maka suku tak nol-nya berasal dari j = 2 atau 3, karena ijk sama dengan nol jika
terdapat dua indeks yang sama. Maka jika j = 2 nilai k = 3. Jika j = 3 maka k haruslah 2.
Sehingga
1jk Aj Bk = 123 A2 B3 + 132 A3 B2 = A2 B3 A3 B2 = (A B)
Sehingga
ijk Aj Bk = (A B)i .
Solusi 2.2.5.
Banyak identitas vektor dapat dengan cepat dan elegan dibuktikan dengan persamaan ini.
2.2. TENSOR CARTESIAN 83
A (B C) = (A C)B C(A B)
Solusi 2.2.6.
(B C)i = ijk Bj Ck
[A (B C)]l = lmn Am (B C)n = lmn Am njk Bj Ck = nlm njk Am Bj Ck
(A B) (C D) = (A C)(B D) (A D)(B C)
Solusi 2.2.7.
(A B) (C D) = kij Ai Bj klm Cl Dm
= (il jm im jl )Ai Bk Cl Dm = Al Bm Cl Dm Am Bl Cl Dm
= (A C)(B D) (A D)(B C)
Sebuah medan tensor rank N , Ti1 iN (x1 , x2 , x3 ) adalah keseluruhan fungsi 3N yang pada
titik tertentu di ruang (x1 , x2 , x3 ) memberikan sebuah tensor rank N .
Medan skalar adalah medan tensor rank nol. Kita telah menunjukkan dalam contoh
2.1.5 bahwa gradien medan skalar adalah medan vektor. Terdapat sebuah teorema untuk
hubungan medan tensor.
Jika Ti1 iN (x1 , x2 , x3 ) adalah medan tensor rank N , maka
Ti i (x1 , x2 , x3 )
xi 1 N
adalah medan tensor rank N + 1
Bukti teorema ini adalah sebagai berikut
0
Ti1 iN (x1 , x2 , x3 ) = Ti i (x0 , x0 , x0 )
xi x0i 1 N 1 2 3
X
= ai1 j1 aiN jN Tj1 jN (x1 , x2 , x3 ).
x0i
j1 jN
84 2. TRANSFORMASI VEKTOR DAN TENSOR CARTESIAN
sehingga
0 X X
Ti1 iN (x1 , x2 , x3 ) = aij ai1 j1 aiN jN Tj j (x1 , x2 , x3 ), (2.61)
xi xj 1 N
j j1 jN
Sehingga 2 ( A) = 0. Maka ( A) = 0.
2.2. TENSOR CARTESIAN 85
Dari sini = 0.
Solusi 2.2.12.
Karena komponen yang berkaitan sesuai, dua ruas persamaan tersebut haruslah sama.
86 2. TRANSFORMASI VEKTOR DAN TENSOR CARTESIAN
Cara lain untuk menentukan kuantitas dengan dua buah subscript adalah tensor rank dua
adalah dengan aturan pembagian berikut ini.
Jika untuk sebarang vektor B, hasil dari menjumlahkan indeks j pada perkalian Kij Bj
adalah vektor lain A
Ai = Kij Bj , (2.62)
dan (2.62) berlaku untuk semua sistem koordinat Cartesian, maka Kij adalah benar-benar
tensor rank dua.
Untuk membuktikan aturan pembagian, kita menguji komponen A dalam sistem terotasi
Diperoleh
A0i = ail Klm Bm = ail Klm ajm Bj0 = ail ajm Klm Bj0 .
A0i = Kij
0
Bj0 .
0
(Kij ail Ajm Klm )Bj0 = 0.
Contoh 2.2.13. Jika Tij xi xj sama dengan sebuah skalar S, tunjukkan bahwa Tij adalah
tensor rank dua.
Solusi 2.2.13. Karena xi xj merupakan outer product dua buah vektor posisi, maka ini
2.2. TENSOR CARTESIAN 87
adalah tensor rank dua. Skalar S adalah tensor rank nol, sehingga dengan aturan pemba-
gian Tij adalah tensor rank dua (2 + 0 = 2). Kita bisa menunjukkannya dengan melihat
komponennya dalam sistem terotasi
Sehingga
(Tij0 ail ajm Tlm )x0i x0j = 0; Tij0 = ail ajm Tlm .
Sijk = Sjik .
Sebuah tensor Aijk disebut anti simetrik dalam indeks i dan j jika
Aijk = Ajik .
Sebagai contoh outer product r dengan dirinya xi xj adalah tensor simetrik rank dua, delta
Kronecker ij juga merupakan tensor simetrik rank dua. Di sisi lain tensor Levi-Civita ijk
adalah anti simetrik pada dua indeksnya, karena ijk = jik .
Simetri adalah sifat fisik tensor. Sifat ini invarian dalam transformasi koordinat. Sebagai
contoh, jika Sij adalah tensor simetrik dalam sistem koordinat tertentu, dalam sebuah sistem
terotasi
0 0
Slm = ali amj Sij = amj ali Sji = Sml .
Maka Sij juga merupakan tensor simetrik dalam sistem yang baru. Hasil yang sama juga
diperoleh untuk tensor anti simetrik.
Tensor simetrik rank dua Sijk dapat dituliskan dalam bentuk
S11 S12 S13
Sij = S12 S22
,
S23
S13 S23 S33
Sehingga sebuah tensor simetrik rank dua memiliki enam buah komponen bebas, sedangkan
sebuah tensor anti simetrik rank dua hanya memiliki tiga buah komponen bebas.
Tensor rank dua sebarang Tij dapat direpresentasikan sebagai jumlah sebuah tensor si-
metrik dan sebuah tensor anti simetrik. Jika diberikan Tij , kita dapat membangun
1 1
Sij = (Tij + Tji ), Aij = (Tij Tji ).
2 2
Jelas bahwa Sij simetrik dan Aij anti simetrik. Selanjutnya
Sehingga sebuah tensor rank dua sebarang memiliki bagian simetrik dan anti simetrik.
Dalam teori matriks sudah kita pelajari bahwa enam buah elemen bebas sebuah matriks
dapat direpresentasikan dengan permukaan kuadratik. Dengan cara yang sama, sebuah tensor
simetrik rank dua dapat dinyatakan dengan sebuah elipsoid yang unik
Tij xi xj = 1,
2.2.9 Pseudotensor
Salah satu alasan mengapa tensor berguna adalah tensor memungkinkan kita merumuskan
hukum-hukum fisika yang bebas terhadap arah ruang tertentu. Kita juga mengharapkan bah-
wa tensor juga bebas apakah kita menggunakan sitem sumbu tangan kanan maupun sistem
sumbu tangan kiri. Tetapi tidak semua tensor berperilaku sama ketika kita mentransforma-
sikannya dari sistem sumbu tangan kanan menjadi tangan kiri.
Sejauh ini pembahasan kita terbatas pada rotasi dengan aturan tangan kanan. Aturan
tangan kanan dinyatakan dengan menamai tiga buah vektor basis e1 , e2 , e3 sedemikian rupa
sehingga jempol memiliki arah e3 sedangkan empat buah jari lainnya dapat berputar (curl)
dari e1 ke e2 tanpa harus melalui negatif e2 . Sebuah sistem tangan kanan dapat dirotasikan
menjadi sistem tangan kanan yang lain. Determinan matriks rotasi sama dengan satu seperti
pada contoh 2.1.2.
Sekarang mari kita perhatikan akibat inversi (balikkan). Tiga buah vektor basis e1 , e2 , e3
dirubah menjadi e01 , e02 , e03 sehingga
Sumbu koordinat baru ini adalah sistem tangan kiri. Dinamakan aturan tangan kiri karena
ketika kita menggunakan tangan kiri, jempol memiliki arah e03 sedangkan empat buah jari
lainnya dapat berputar (curl) dari e01 ke e02 tanpa harus melalui negatif e02 . Perhatikan kita
tidak dapat merotasikan aturan tangan kanan menjadi aturan tangan kiri.
2.2. TENSOR CARTESIAN 89
Jika kita menggunakan aturan tangan kanan yang sama untuk definisi perkalian silang
dalam semua sistem, sehingga dengan sumbu tangan kanan
(e1 e2 ) e3 = 1,
Vektor posisi
r = x1 e1 + x2 e2 + x3 e3
Dengan kata lain hal ini adalah vektor yang sama r = r0 , kecuali dalam sistem aksen ko-
efisiennya menjadi negatif karena sumbunya dibalik. Vektor berperilaku seperti ini ketika
koordinatnya dirubah dari sistem tangan kanan menjadi sistem tangan kiri disebut vektor
polar (kutub). Vektor ini adalah vektor reguler.
Perbedaaan mendasar muncul ketika kita menemui perkalian silang dua buah vektor polar.
Komponen C = B A diberikan oleh
C1 = A2 B3 A3 B2 ,
dan begitu seterusnya. Sekarang jika sumbu koordinatnya dibalik, Ai menjadi Ai , Bi men-
jadi Bi tetapi Ci menjadi +Ci karena merupakan hasil perkalian dua buah bilangan (vektor)
nagatif. Hal ini tidak berperilaku seperti vektor polar di bawah inversi. Untuk membedakan,
perkalian silang disebut pseudo vektor, juga dikenal sebagai vektor aksial.
Sebagai tambahan pada inversi, pencerminan (membalik satu sumbu) dan menukar dua
buah sumbu juga mentransformasi sistem tangan kanan menjadi sistem tangan kiri. Matriks
transformasi dari operasi kanan-kiri adalah sebagai berikut.
Inversi:
x01 1 0 0 x1
0
x = 0 1 0 x2 .
2
x30 0 0 1 x3
Pencerminan terhadap bidang x2 x3
x01 1 0 0 x1
x0 = 0 1 0 x2 .
2
x03 0 0 1 x3
x0i = aij xj .
Jelas bahwa determinan dari matriks transformasi |aij | semuanya sama dengan -1. Sebuah
sistem tangan kiri dapat dirotasikan menjadi sistem tangan kiri yang lain dengan sudut Euler
sama seperti sistem tangan kanan. Maka, jika matriks (aij ) mentransformasikan sistem ta-
ngan kanan menjadi sistem tangan kiri, atau sebaliknya, determinan |aij | selalu sama dengan
-1. Selanjutnya, kita dapat menunjukkan, dengan cara yang sama dengan matriks rotasi,
elemennya juga memenuhi syarat ortogonalitas:
aik ajk = ij .
Jika transformasinya proper, vektor polar dan pseudotensor bertransformasi dengan cara yang
sama. Jika transformasinya improper, vektor polar bertransformasi sebagai vektor reguler,
tetapi pseudotensor berubah arah.
Psedotensor didefiniskan dengan cara yang sama. Komponen sebuah pseudotensor rank
N bertransformasi menurut aturan
1. Outer product dua buah pseudotensor rank M dan N adalah tensor reguler rank M +N .
2. Outer product sebuah pseudotensor rank M dan sebuah tensor rank N memberikan
sebuah psedotensor rank M + N .
Pseudotensor rank nol adalah sebuah pseudoskalar, yang berubah tanda di bawah inversi,
sedangkan skalar tidak berubah. Sebuah contoh pseudoskalar adalah perkalian tiga skalar
(A B) C. Perkalian silang A B adalah pseudotensor rank satu, vektor polar C adalah
2.2. TENSOR CARTESIAN 91
Karena
ail ajm akn lmn = ijk |aij |,
Contoh 2.2.14. Misalkan T12 , T13 , T23 adalah komponen bebas sebuah tenor anti simetrik,
buktikan bahwa T23 , T13 , T12 dapat dipandang sebagai komponen pseudovektor.
Solusi 2.2.14. Karena ijk adalah pseudotensor rank tiga, Tjk adalah tensor rank dua,
setelah kita kontraksikan dua kali
Ci = ijk Tjk
hasilnya Ci adalah pseudotensor rank satu, yang tidak lain pseudovektor. Karena Tij = Tji
maka
T21 = T12 , T31 = T13 , T32 = T23 .
Sekarang
Karena (C1 , C2 , C3 ) adalah pseudovektor, maka (T23 , T13 , T12 , ) juga merupakan pseudovek-
tor.
92 2. TRANSFORMASI VEKTOR DAN TENSOR CARTESIAN
Contoh 2.2.15. Gunakan kenyataan bahwa ijk adalah pseudotensor rank tiga untuk mem-
buktikan A B adalah sebuah pseudotensor.
Solusi 2.2.15. Misalkan C = A B sehingga
Ci = ijk Aj Bk .
Cl0 = 0lmn Am Bn
Tetapi
Aj = amj A0m , Bk = ank Bn0 ,
sehingga
Cl0 = |aij |ali ijk AjBk = |aij |ali Ci .
Salah satu tensor rank dua yang paling sering ditemui adalah tensor momen inersia. Tensor
ini menghubungkan momentum sudut L dan kecepatan sudut dari gerak rotasi sebuah
benda tegar. Momentum sudut L sebuah benda tegar yang berotasi pada titik tertentu
diberikan oleh Z
L= r vdm,
2.3. CONTOH FISIKA 93
dengan r adalah vektor posisi dari titik tertentu (tetap) ke elemen massa dm dan v adalah
kecepatan dm. Kita telah menunjukkan
v = r,
sehingga
Z
L= r( r)dm
Z
= [(r r) (r )r]dm.
Jika kita tuliskan dalam notasi tensor dengan konvensi penjumlahan, komponen kei dari L
adalah Z
Li = [r2 i xj j xi ]dm.
Karena
r2 i = r2 j ij ,
Z
Li = j [r2 ij xj xi ]dm = Iij j ,
Karena ij dan xi xj keduanya tensor rank dua, Iij tensor simetrik rank dua. Secara eksplisit
komponen tensor ini adalah
R
(x22 + x23 )dm x1 x2 dm
R R
x1 x3 dm
R R 2
(x1 + x23 )dm x2 x3 dm
R
Iij =
R x2 x1 dm . (2.66)
R 2
(x2 + x21 )dm
R
x3 x1 dm x3 x2 dm
Nama tensor berasal dari gaya regangan dalam teori elastisitas. Di dalam benda elastik, ter-
dapat gaya antara bagian bertetangga dari material. Bayangkan sebuah irisan pada benda,
material di sebelah kanan memberikan gaya sebesar F pada material di sebelah kiri, dan ma-
terial pada sebelah kiri memberikan gaya yang sama dan berlawanan arah F pada material
di sebelah kanan.
Marilah kita uji material melalui luas yang kecil x1 x3 , Gambar 2.3, dalam bidang
imajiner yang tegak lurus sumbu x2 . Jika luas daerah tersebut cukup kecil, kita mengha-
rapkan gaya sebanding dengan luas. Sehingga kita dapat mendefinisikan stress/tekanan P2
sebagai gaya per satuan luas. Subscript 2 mengindikasikan bahwa gaya yang bekerja pada
bidang tegak lurus sumbu x2 positif. Komponen P2 sepanjang sumbu (x1 , x2 , x3 ) secara ber-
urutan diberikan oleh P12 , P22 , P32 . Sekarang kita dapat melihat pada luas daerah kecil pada
bidang yang tegak lurus sumbu x1 dan mendefinisikan komponen stress sebagai P11 , P21 , P31 .
94 2. TRANSFORMASI VEKTOR DAN TENSOR CARTESIAN
Gambar 2.3: Stress P2 , didefinsikan sebagai gaya per satuan luas, pada luas daerah yang kecil tegak lurus
sumbu x2 . Komponennya sepanjang tiga buah sumbu secara berurutan adalah P12 , P22 , P32
Gambar 2.4: Sembilan buah komponen sebuah tensor stress pada sebuah titik dapat direpresentasikan
sebagai gaya normal dan tangensial pada sebuah kubus tak hingga di sekeliling titik
Sekarang bayangkan bahwa irisannya tegak lurus sumbu x3 sehingga P13 , P23 , P33 juga bisa
didefiniskan dengan cara yang sama. Jika e1 , e2 , e3 adalah vektor basis satuan, hubungan ini
dapat dinyatakan
Pj = Pij ei . (2.67)
Subscript pertama pada Pij mengindikasikan arah dari komponen gaya, subscript kedua
mengindikasikan arah normal pada permukaan tempat gaya bekerja.
Arti fisis dari Pij adalah sebagai berikut. Bayangkan kubus tak hingga banyaknya di
sekeliling titik di dalam material, seperti Gambar 2.4. Agar jelas, gaya hanya dilukiskan
2.3. CONTOH FISIKA 95
Gambar 2.5: Gaya pada permukaan tetrahedron tak hingga. Syarat kesetimbangan mengharuskan tensor
stress adalah tensor rank dua.
dalam tiga permukaan. Terdapat gaya normal Pii (regangan ditunjukkan tetapi dapat di-
tekan dengan panah terbalik) dan gaya tangensial/singgung Pij (i 6= j, shear ). Perhatikan
bahwa dalam kesetimbangan, gaya dalam permukaan berlawanan haruslah sama besar dan
berlawanan arah. Lebih dari itu (2.67) simetrik Pij = Pji , karena adanya kesetimbangan ro-
tasional. Sebagai contoh gaya shear pada permukaan atas dalam arah x2 adalah P23 x1 x2 .
Torsi di sekitar sumbu x1 karena gaya ini adalah (P23 x1 x2 )x3 . Torsi yang berlawanan
karena gaya shear pada permukaan kanan adalah (P32 x3 x1 )x2 . Karena torsi di sekitar
sumbu x1 harus nol, maka
Dengan argumen yang sama kita dapat membuktikan secara umum Pij = Pji , sehingga (2.68)
simetrik.
Sekarang kita akan membuktikan sembilan kompoenen (2.68) adalah sebuah tensor, di-
kenal sebagai tensor stress. Untuk tujuan ini, kita membuat tetrahedron tak hingga dengan
sisinya berarah sepanjang sumbu koordinat pada Gambar 2.5. Misalkan a1 , a2 , a3 me-
rupakan luas permukaan tegak lurus pada sumbu x1 , x2 , x3 , gaya per satuan luasnya adalah
P1 , P2 , P3 , karena permukaan ini arahnya ke sumbu negatif. Misalkan an adalah luas
permuakaan terinklinasi dengan satuan normal eksterior n dan Pn adalah gaya per satuan
luas permukaan ini. Gaya total pada keempat permukaan ini haruslah nol, meskipun terdapat
gaya benda, seperti gravitasi. Gaya benda akan sebanding dengan volume, sedangkan semua
gaya permukaan akan sebanding dengan luas. Karena dimensinya menuju nol, gaya benda
akan sangat kecil dibandingkan dengan gaya permukaan dan dapat diabaikan. Sehingga
Pn an P1 a1 P2 a2 P3 a3 = 0. (2.69)
96 2. TRANSFORMASI VEKTOR DAN TENSOR CARTESIAN
a1 = (n e1 )an .
Dengan ekspresi yang sama untuk a2 dan a3 , kita dapat menuliskan (2.69) dalam bentuk
atau
Pn = (n ek )Pk . (2.70)
Apa yang kita inginkan adalah mencari komponen tensor stress dalam sistemm terotasi de-
ngan sumbu e01 , e02 , e03 . Sekarang tanpa kehilangan generalisasi, kita dapat mengasumsikan
sumbu kej sistem terotasi berarah sepanjang n, yaitu
n = e0j .
kita mempunyai
Pij0 = (e0i el )(e0j ek )Plk .
Di bawah gaya yang diberikan, benda elastik akan berdeformasi yang meregang. Deformasi-
nya dikarakterisasi oleh perubahan jarak antara titik-titik bertetangga. Misalkan P pada r
dan Q pada r + r adalah dua titik berdekatan seperti pada Gambar 2.6. Ketika bendanya
terdeformasi, P bergeser sejauh u(r) ke titik P 0 dan Q sebesar u(r + r) ke titik Q0 . Jika
2.3. CONTOH FISIKA 97
Gambar 2.6: Regangan dari sebuah benda elastik. Sebuah benda teregang apabila jarak relatif dua buah
titik berdekatan berubah. Tensor strain bergantung pada variasi vektor perpindahan u terhadap vektor posisi
r.
perubahan jarak kedua titik ini sama, yaitu jika u(r) = u(r + r), posisi relatif kedua titik
tidak berubah. Bagian benda tersebut tidak teregang, karena jarak P Q dan P 0 Q0 sama.
Maka strain/regangan berasosiasi dengan variasi vektor perpindahan u(r). Perubahan u(r)
dapat dituliskan
u = u(r + r) u(r).
Dengan mengabaikan suku orde kedua dan yang lebih tinggi, komponen u dapat dituliskan
ui = ui (x1 + x1 , x2 + x2 , x3 + x3 ) ui (x1 , x2 , x3 )
ui ui ui ui
= x1 + x2 + x3 = xj .
x1 x2 x3 xj
Karena ui adalah vektor dan /xj adalah operator vektor, ui /xj adalah outer product
dari dua buah tensor rank satu. Sehingga ui /xj adalah tensor rank dua. Tensor ini dapat
didekomposisi dalam bagian simetrik dan anti simetrik
ui 1 ui uj 1 ui uj
= + + . (2.73)
xj 2 xj xi 2 xj xi
Kita juga dapat membagi u menjadi dua bagian
u = us ua ,
dengan
1 ui uj
usi = + xj ,
2 xj xi
a 1 ui uj
ui = xj .
2 xj xi
98 2. TRANSFORMASI VEKTOR DAN TENSOR CARTESIAN
Gambar 2.7: Perubahan jarak antara dua buah titik berdekatan dalam benda elastik. Perubahan ini
ditentukan oleh tensor strain simetrik.
Suku anti simetrik (2.73) tidak merubah jarak antara P dan Q karena hal berikut. Misalkan
jarak P 0 Q0 adalah r0 . Jelas dari Gambar 2.6 yaitu
r0 = [r + u(r + r] u(r).
Sekarang
r0 r = u(r + r) u(r) = u = us + ua .
Hal ini karena dalam ekspresi ini, baik i dan j adalah indeks yang dijumlahkan dan dapat
ditukar. Sehingga ua tegak lurus dengan r dan dapat dianggap sebagai panjang busur
infinitesimal sebuah rotasi di sekitar ekor r, seperti pada Gambar 2.7
Sehingga ua tidak merubah panjan vektor r. Perubahan jarak antara dua titik ber-
dekatan sebuah benda elastik ditentukan secara unik oleh suku simetrik (2.73)
1 ui uj
ua r = uai xi = xj xi = 0.
2 xj xi
Kuantitas ini dinamakan tensor strain. Tensor strain ini memiliki peran penting dalam teori
elastisitas karena mengukur derajat deformasi.
Karena gaya elastik satu dimensi dalam sebuah pegas diberikan oleh hukum Hooke F =
kx, kita bisa mengharapkan dalam media elastik tiga dimensi strain/regangan sebanding
dengan stress/tekanan. Untuk kebanyakan benda padat dengan regangan relatif beberapa
persen, hal ini berlaku. Hubungan linier antara tensor strain dengan tensor stress diberikan
oleh hukum Hooke
1 ui uj
Eij = + . (2.74)
2 xj xi
dengan cijkl dikenal sebagai tensor elastisitas. Karena Pij dan Ekl keduanya tensor rank dua,
dengan aturan pembagian cijkl haruslah tensor rank empat. Terdapat 81 komponen dalam
tensor rank empat, tetapi karena beberapa simetri jumlah komponen bebasnya dalam benda
kristalin hanya 21. Jika bendanya isotropik, konstanta elastik direduksi lebih lanjut sehingga
hanya dua. Kita tidak akan membahas hal ini secara mendalam karena merupakan subjek
dari buku tentang elastisitas, di sini kita hanya menunjukkan konsep tensor sangat berguna
dalam mendeskripsikan kuantitas fisik.
2.3. CONTOH FISIKA 99
Latihan
Jawab :
0 1 0 1 0 0
1 0 0 ; 0 1 0 .
0 0 1 0 0 1
2. Dengan menggunakan matriks transformasi (A) yang diberikan pada (2.20) tunjukkan
bahwa
(A)(AT ) = (I),
3. Dengan menggunakan matriks transformasi (A) yang diberikan pada (2.20), secara
eksplisit buktikan bahwa
3
X
aij aik = jk ,
i=1
4. Dengan menggunakan matriks transformasi (A) yang diberikan pada (2.20), secara
eksplisit buktikan bahwa determinan (A) sama dengan 1.
5. Tunjukkan bahwa tidak terdapat tensor isotropik rank satu nontrivial (semuanya trivi-
al).
Petunjuk: (1) Asumsikan terdapat sebuah tensor isotropik rank satu (A1 , A2 , A3 ). Di
bawah rotasi A1 = A01 , A2 = A02 , A3 = A03 karena isotropik. (2) Lakukan rotasi sebesar
/2 pada sumbu x3 dan tunjukkan bahwa A1 = 0, A2 = 0. (3) Rotasi pada sumbu
x1 akan memberikan A1 = 0. (4) Sehingga hanya vektor nol yang merupakan tensor
isotropik rank satu.
6. Misalkan
1 0 2 3
Tij =
0 2 1 ,
Ai = 2
.
1 2 3 1
Carilah kontraksi berikut
100 2. TRANSFORMASI VEKTOR DAN TENSOR CARTESIAN
(a) Bi = Tij Aj .
(b) Cj = Tij Ai
(c) S = Tij Ai Aj
Aij xi xj = 1.
9. Buktikan !
x2
Ai =
x1
10. Buktikan bahwa matriks 2 2 berikut merepresentasikan tensor rank dua dalam ruang
dua dimensi ! !
x1 x2 x21 x22 x1 x2
(a) , (b) ,
x22 x1 x2 x1 x2 x21
! !
x1 x2 x22 x21 x1 x2
(c) , (d) .
x21 x1 x2 x1 x2 x22
Petunjuk: Buktikan bahwa matriks tersebut merupakan outer product dari vektor posisi
dalam persamaan terakhir.
3 X
X 3 X
3
ail ajm akn lmn ,
l=1 m=1 n=1
2.3. CONTOH FISIKA 101
Petunjuk: Buktikan bahwa determinan tersebut memiliki sifat yang sama dengan ijk .
13. Buktikan
P
(a) ij ijk ij = 0;
P
(b) jk ijk ljk = 2il ;
P
(c) ijk ijk ijk = 6.
(a) ij jk ki = 3,
(b) ijk klm mni = jnl .
Petunjuk: (a) Ingat bahwa ij merupakan tensor substitusi, (b) Gunakan (2.60).
(a) Ai ij = Aj
(b) Bj ij = Bi
(c) 1j j1 = 1
(d) ij ji = ii = 3
(e) ij jl = il
(a) i xj = ij
1
(b) i (xj xj )1/2 = x.
(xj xj )1/2 i
(a) A B = B A,
(b) A (B C) = (A B) C.
(A) = ( A) + () A.
21. Misalkan
1 2 3
Tij =
0 4 5 .
0 0 6
Carilah bagiansimetrik dan anti
simetrik dari Tij .
1 1 1.5 0 1 1.5
Jawab : Sij =
1 4 2.5 , Aij = 1
0 2.5.
1.5 2.5 6 1.5 2.5 0
22. Jika Sij tensor simetrik dan Aij tensor anti simetrik buktikan bahwa
Sij Aij = 0.
23. Misalkan sebuah skalar, Vi sebuah pseudovektor, Tij adalah tensor rank dua, dan
misalkan
Aijk = ijk , Bij = ijk Vk , Ci = ijk Tjk .
Tunjukkan bahwa Aijk adalah pseudotensor rank tiga, Bij tensor rank dua dan Ci
pseudovektor.
24. Carilah tensor strain untuk material isotropik elastik ketika dikenai
Transformasi Laplace
Di antara alat/tools yang sangat berguna untuk menyelesaikan persamaan diferensial adalah
metode transformasi Laplace. Idenya adalah menggunakan sebuah integral untuk mentran-
sformasikan persamaan diferensial menjadi sebuah persamaan aljabar, kemudian dari solusi
persamaan aljabar ini kita memperoleh fungsi yang kita inginkan melalui transformasi invers.
Transformasi Laplace dinamakan demikian karena ditemukan oleh matematikawan Perancis
Pierre Simon Laplace (1749 - 1827), yang juga dikenal untuk persamaan Laplace yang meru-
pakan salah satu persamaan paling penting dalam fisika matematik.
Laplace pertama kali mempelajari metode ini pada 1782. Tetapi, kekuatan dan kegunaan
metode ini tidak disadari sampai 100 tahun kemudian. Teknik dalam bab ini mengadopsi
teknik Oliver Heaviside (1850 - 1925), seorang insyinur listrik Inggris yang inovatif, yang juga
memberikan kontribusi signifikan dalam teori elektromagnetik.
Transformasi Laplace secara khusus berguna untuk menyelesaikan permasalahan dengan
suku tak homogen dari sifat alami yang diskontinu atau impulsif. Persoalan ini biasa kita
temui dalam ilmu fisika tetapi cukup sulit diselesaikan dengan metode persamaan diferensial
biasa.
Dalam bab ini sifat-sifat tertentu dari transformasi Laplace dipelajari dan rumus-rumus
yang relevan ditabulasikan sehingga solusi dari persoalan kondisi awal (initial value problems)
yang melibatkan persamaan diferensial linier dapat dengan mudah diperoleh.
Transformasi Laplace sebuah fungsi L[f ] sebuah fungsi f (t) didefinisikan sebagai
Z
L[f ] = est f (t) dt = F (s), (3.1)
0
kita mengasumsikan bahwa integral ini ada. Salah satu alasan transformasi Laplace berguna
adalah s dapat dipilih cukup besar sehingga (3.1) konvergen meskipun jika f (t) tidak mende-
kati nol ketika t . Tentu, terdapat fungsi-fungsi yang divergen lebih cepat dibandingkan
104 3. TRANSFORMASI LAPLACE
est . Untuk fungsi-fungsi tersebut, transformasi Laplace tidak ada. Untungnya fungsi-fungsi
tersebut jarang dijumpai dalam fisika.
Perhatikan juga bahwa transformasinya adalah sebuah fungsi dari s. Transformasi fungsi
yang kita kerjakan bukan hanya ada, tetapi juga bernilai nol (F (s) 0) ketika s .
Dari definisi, transformasi Laplace adalah operator linier yakni
Z
L [af (t) + bg(t)] = est [af (t) + bg(t)] dt
0
Z Z
st
=a e f (t) dt + b est g(t) dt
0 0
= aL [f ] + bL [g] . (3.2)
Untuk sebuah fungsi sederhana transformasi Laplace dapat dengan mudah dilakukan.
Sebagai contoh
Z
st 1 1
L [1] = e dt = est = . (3.3)
0 s 0 s
Kita juga bisa dengan mudah menghitung transformasi sebuah fungsi eksponensial
1 (sa)t
Z Z
st at (sa)t
at
L e = e e dt = e dt = e .
0 0 sa 0
Sepanjang s > a, limit atas hilang dan limit bawah memberikan 1/(s a). Sehingga
1
L eat =
. (3.4)
sa
Dengan cara yang sama
1
L eat =
. (3.5)
s+a
Dengan hubungan ini, transformasi Laplace fungsi hiperbolik berikut
1 1
cosh at = (eat + eat ), sinh at = (eat eat )
2 2
dapat dengan mudah diperoleh. Karena transformasi Laplace linier
1 at
L[e ] + L[eat ]
L[cosh at] =
2
1 1 1 s
= + = 2 . (3.6)
2 sa s+a s a2
dan
L eit = L [cos t + i sin t] = L [cos t] + iL [sin t] ,
dengan menyamakan suku riil dengan suku riil dan suku imajiner dengan suku imajiner kita
memiliki
s
L [cos t] = (3.8)
s2
+ 2
L [sin t] = 2 . (3.9)
s + 2
atau
Z
s
est cos t dt =
0 s2 + 2
yang sama dengan (3.8) seperti seharusnya.
Secara prinsip, transformasi Laplace dapat diperoleh secara langsung dengan menghitung
integral. Tetapi, sangat sering diperoleh dengan lebih sederhana dengan menggunakan sifat-
sifat transformasi Laplace dibandingkan integral langsung, seperti pada contoh terakhir.
Transformasi Laplace memiliki banyak sifat menarik, yang menjadi alasan transformasi
laplace merupakan alat yang sangat berguna dalam analisis matematik. Sekarang kita akan
mebicarakan beberapa diantaranya dan akan menggunakannya untuk membangkitkan lebih
banyak transformasi seperti ilustrasi.
106 3. TRANSFORMASI LAPLACE
Jika kita misalkan u = est dan dv = df (t), maka du = s est dt dan v = f . Dengan
integral parsial, kita memiliki u dv = d(uv) v du sehingga
Z
L f0 = d est f (t) + f (t)s est dt
0
Z
st
= e f (t) 0 + s est f (t) dt = f (0) + sL [f ] . (3.11)
0
Jelaslah
L f 00 = L (f 0 )0 = f 0 (0) + sL f 0
Secara alami hasil ini dapat diperluas untuk orde yang lebih tinggi
h i
L f (n) = f (n1) (0) sn1 f (0) + sn L [f ] . (3.13)
Sifat ini sangat krusial dalam menyelesaikan persamaan diferensial. Di sini kita akan
menggunakannya untuk mendapatkan L[tn ].
Pertama, misalkan f (t) = t, maka f 0 = 1 dan f (0) = 0. Dengan (3.11)
L [1] = 0 + sL [t] ,
1 1
L [t] = L [1] = 2 . (3.14)
s s
Jika kita misalkan f (t) = t2 , maka f 0 = 2t dan f (0) = 0. Kembali dengan (3.11)
L [2t] = 0 + sL t2 .
n!
L [tn ] = . (3.16)
sn+1
3.1. DEFINISI DAN SIFAT-SIFAT TRANSFORMASI LAPLACE 107
Jika kita mengetahui transformasi Laplace F (s) dari sebuah fungsi f (t), kita bisa menda-
patkan transformasi dari eat f (t) yaitu menggantikan s dengan s a pada F (s). Hal ini dapat
dengan mudah dibuktikan. Dengan definisi
Z
F (s) = est f (t) dt = L [f (t)] ,
0
jelaslah Z Z
(sa)t
est eat f (t) dt = L eat f (t) .
F (s a) = e f (t) dt = (3.17)
0 0
Hubungan sederhana ini sering dikenal sebagai teorema pergeseran s (pergeseran pertama).
Dengan bantuan teorema pergeseran s, kita dapat menurunkan transformasi lebih banyak
fungsi tanpa menghitung integralnya. Sebagai contoh, dari (3.16) dan (3.17) yaitu
n!
L eat tn =
. (3.18)
(s + a)n+1
Jika kita bandingkan (3.10) dengan (3.19) perbedaanya terletak pada s yang digantikan
dengan s + a. Sehingga integral terakhir haruslah sama dengan ruas kanan dari (3.8) dengan
s digantikan s + a yaitu
s+a
L eat cos t =
. (3.20)
(s + a)2 + 2
Dengan cara yang sama
L eat sin t =
. (3.21)
(s + a)2 + 2
d d
L [sin t] = .
ds ds s + 2
2
108 3. TRANSFORMASI LAPLACE
Karena
Z Z
d d st
L [sin t] = e sin t dt = t est sin t dt = L [t sin t]
ds ds 0 0
d 2s
2 2
= 2 .
ds s + (s + 2 )2
Sehingga
2s
L [t sin t] = . (3.24)
(s2 + 2 )2
Dengan cara yang sama
s2 2
L [t cos t] = . (3.25)
(s2 + 2 )2
Karena transformasi Laplace adalah operator linier, dua buah transformasi dapat dikombi-
nasikan untuk membentuk yang baru. Misalnya
1 s 2
L [1 cos t] = 2 = (3.26)
s s + 2 s(s2 + 2 )
3
L [t sin t] = = (3.27)
s2 s2 + 2 s2 (s2 + 2 )
(s2 2 ) 2 3
L [sin t t cos t] = = (3.28)
s2 + 2 (s2 + 2 )2 (s2 + 2 )2
2
(s ) 2
L [sin t + t cos t] = 2 2
+ 2 (3.29)
s + (s + 2 )2
s s (b2 a2 )s
L [cos at cos bt] = = (3.30)
s2 + a2 s2 + b2 (s2 + a2 )(s2 + b2 )
Terdapat tabel transformasi laplace yang lengkap (sebagai contoh, F. Oberherttinger and
E. Badii, Tables of Laplace Transforms, Springer, New York, 1973 ). Tabel sederhananya di-
berikan pada Tabel 3.1. Transformasi yang ada di sebelah kiri sudah kita buktikan, sedangkan
yang ada di sebelah kanan akan kita buktikan.
maka
f (t) = L1 [F (s)] . (3.32)
3.2. SOLUSI PERSAMAAN DIFERENSIAL DENGAN TRANSFORMASI LAPLACE 109
Tabel 3.1: Tabel ringkas transformasi Laplace, dalam tiap kasus s dianggap cukup besar
sehingga transformasinya ada.
1
1 (t) 1
s
1
t (t c) esc
s2
n!
tn 0 (t c) s esc
sn+1
1 1 sc
eat u(t c) e
sa s
1 n!
t eat (t c)n u(t c) esc
(s a)2 sn+1
1 n!
tn eat (t c)n ea(tc) u(t c) esc
(s a)n+1 (s a)n+1
sin t sin (t c)u(t c) esc
s2 + 2 s2 + 2
s s
cos t cosh a(t c)u(t c) esc
s2 + 2 s2 a2
a s
sinh at sin t periode coth
s2 a2 s2 + 2 2
s 1 (1 + ps)eps
cosh at t periode p
s a2
2 ps2 (1 eps )
1 bt sa
eat sin t (e eat ) ln
(s a)2 + 2 t sb
sa 2 s2 a2
eat cos t (1 cosh at) ln
(s a)2 + 2 t s2
2s 2 s2 2
t sin t (1 cos t) ln
(s + 2 )2
2 t s2
2 sin t
1 cos t tan1
s(s2 + 2 ) t s
3 (a + 1)
t sin t ta (a > 1)
s2 (s2 + 2) sa+1
2 3
r
sin t t cos t t1/2
(s2 + 2 )2 s
2s2 1
sin t + t cos t t1/2
(s2 + 2 )2 2 s3/2
(b2 a2 )s 1
cos at cos bt J0 (at)
(s2 + a2 )(s2 + b2 ) (s2 + a2 )1/2
110 3. TRANSFORMASI LAPLACE
Karena
f (t) = L1 [F (s)] = L1 [L [f (t)]] = I [f (t)]
mengikuti hal ini, L1 L adalah operator identitas I. Transformasi invers sangatlah penting
dalam prakteknya dan terdapat berbagai cara untuk mendapatkannya. Dalam sub bab ini,
pertama kita akan mempelajari transformasi dalam bentuk pembagian dua buah polinomial
p(s)
F (s) =
q(s)
jelaslah bahwa derajat p(s) lebih rendah dibandingkan q(s). Terdapat beberapa metode
untuk mendapatkan invers transformasi tersebut. Agar jelas, kita akan mempelajarinya ter-
pisah.
Inspeksi
Jika ekspresinya sederhana, kita dapat memperoleh invers langsung dari tabel. Hal ini bisa
kita lihat dalam contoh berikut
1 s 1
Contoh 3.2.1. Carilah (a) L1 ; (b) L1 ; (c) L1
s4 (s + 4)3 s2 + 4
Solusi 3.2.1.
(a) Karena
3!
3 6 3 1 6
L[t ] = 4 = 4 , t =L ,
s s s4
kita memiliki
1 1 1 1 6 1
L 4
= L 4
= t3 .
s 6 s 6
(b) Karena
4t 2
2 4t 2 1 2
L e t = , e t =L ,
(s + 4)3 (s + 4)3
sehingga
1 4 1 2
L = 2L = 2e4t t2 .
(s + 4)3 (s + 4)3
(c) Karena
2 1 2
L[sin 2t] = 2 , sin 2t = L ,
s +4 s2 + 4
sehingga
1 1 1 1 2 1
L 2
= L 2
= sin 2t.
s +4 2 s +4 2
3.2. SOLUSI PERSAMAAN DIFERENSIAL DENGAN TRANSFORMASI LAPLACE 111
1 2s + 1
Contoh 3.2.2. Carilah (a) L1 ; (b) L 1
s2 + 2s + 5 s2 + 2s + 5
Solusi 3.2.2. (a) Pertama kita perhatikan bahwa
1 1 1 2
= = .
s2 + 2s + 5 2
(s + 1) + 4 2 (s + 1)2 + 4
Karena
t
2 t 1 2
L e sin 2t = , e sin 2t = L ,
(s + 1)2 + 4 (s + 1)2 + 4
sehingga
1 1 1 1 2 1
L 2
= L 2
= et sin 2t.
s + 2s + 5 2 (s + 1) + 4 2
(b) Ingat
2
L et sin 2t =
,
(s + 1)2 + 4
s+1
L et cos 2t =
,
(s + 1)2 + 4
sehingga kita dapat menuliskan
2s + 1 2(s + 1) 1 (s + 1) 1 2
= =2 .
s2 + 2s + 5 2
(s + 1) + 4 (s + 1) + 4 2 (s + 1)2 + 4
2
Maka
1 2s + 1 1 (s + 1) 1 1 2
L = 2L L
s2 + 2s + 5 (s + 1)2 + 4 2 (s + 1)2 + 4
1 1 t
= 2L1 L et cos 2t
L L e sin 2t
2
1
= 2et cos 2t et sin 2t.
2
Ambil pecahan parsial F (s) dan kemudian ambil invers masing-masing. Sangat mungkin
pembaca sudah biasa dengan pecahan parsial. Kita akan menggunakan contoh berikut untuk
mengingat ulang.
s1
Contoh 3.2.3. Carilah L1 .
s2 s 2
Solusi 3.2.3. Pertama kita perhatikan
s1 s1
=
s2 s2 (s 2)(s + 1)
a b a(s + 1) + b(s 2)
= + = .
(s 2) (s + 1) (s 2)(s + 1)
Berikut ini tiga buah cara berbeda untuk menentukan a dan b
112 3. TRANSFORMASI LAPLACE
s 1 = a(s + 1) + b(s 2)
harus berlaku untuk semua s. Ambil s = 2 maka a = 1/3, dengan cara yang sama
ambil s = 1 maka b = 2/3.
Cara lain adalah dengan mengumpulkan suku yang pangkat s-nya sama dan mensya-
ratkan koefisien suku yang berkaitan pada kedua ruas persamaan sama. Yaitu
s 1 = (a + b)s + (a 2b).
Dalam berbagai soal, salah satu cara lebih sederhana, tetapi untuk soal ini
1 s1 1 1 1 2 1
L =L +
s2 s 2 3 (s 2) 3 (s + 1)
1 2 1 2
= L1 L e2t + L1 L et = e2t + et .
3 3 3 3
1
Contoh 3.2.4. Carilah L1 .
s(s2 + 4)
Solusi 3.2.4. Terdapat dua cara untuk mengambil pecahan parsial
1 a b0 s + c0
= + 2 .
s(s2 + 4) s s +4
Hal penting yang harus kita perhatikan adalah jika penyebutnya merupakan orde dua
dari s, pembilangnya harus bisa berupa orde pertama dari s. Dengan kata lain, kita
tidak mungkin mendapatkan jawaban yang benar jika suku b0 hilang. Dengan pema-
haman ini, pecahan parsialnya dapat diambil langsung sebagai
1 a bs + c a(s2 + 4) + (bs + c)
= + =
s(s2 + 4) s s2 + 4 s(s2 + 4)
as2 + 4a + bs2 + cs (a + b)s2 + cs + 4a
= 2
= .
s(s + 4) s(s2 + 4)
Sehingga
1 = (a + b)s2 + cs + 4a.
Koefisien s haruslah sama suku per suku. Hal ini berarti a + b = 0, c = 0, 4a = 1. Hal
ini memberikan a = 1/4, b = 1/4, c = 0. Sehingga
1 1 1 1 1 s 1 1
L 2
=L 2
= cos 2t.
s(s + 4) 4s 4 s + 4 4 4
1
Contoh 3.2.5. Carilah L1 .
s3 (s 1)
Solusi 3.2.5.
1 a b c d
= + 2+ 3+
s3 (s 1) s s s (s 1)
as (s 1) + bs(s 1) + c(s 1) + ds3
2
=
s3 (s 1)
(a + d)s + (b a)s2 + (c b)s c
3
= .
s3 (s 1)
114 3. TRANSFORMASI LAPLACE
2
Contoh 3.2.6. Carilah L1 .
(s2 + 2 )2
Solusi 3.2.6.
2 2
=
(s2 2
+ ) 2 [(s i)(s + i)]2
a b c d
= + 2
+ + .
(s i) (s i) (s + i) (s + i)2
Kalikan kedua ruas dengan (s i)2 dan dengan mengambil limit s i, kita mempunyai
(s i)2 c (s i)2 d
2
lim = lim (s i)a + b + + .
si (s + i)2 si (s + i) (s + i)2
Jelaslah
2 1
b= 2
= .
(2i) 2
Jika setelah mengalikan kedua ruas dengan (s i)2 , kita turunkan lebih dulu lalu ambil
limit s i, kita mempunyai
d (s i)2 c (s i)2 d
d 2
lim = lim a + + .
si ds (s + i)2 si ds (s + i) (s + i)2
Kita mempunyai
4 1
a = lim = .
si (s + i)3 2 2 i
Dengan cara yang sama kita dapat menunjukkan
1 1
d= , c= .
2 2 2 i
Sehingga kita memilki
1 2
L =
(s2 + 2 )2
1 1 1 1 1 1 1 1 1
L =
2 2 i (s i) 2 (s i)2 2 2 i (s + i) 2 (s + i)2
1 1 1 1 1 1 1 1
2
L L 2
=
2 i (s i) (s + i) 2 (s i) (s + i)2
1 1 1 1
eit eit t eit + t eit = 2 sin t t cos t.
2
2 i 2
3.2. SOLUSI PERSAMAAN DIFERENSIAL DENGAN TRANSFORMASI LAPLACE 115
Ekspansi Heaviside
Ekspansi Heaviside secara esensial merupakan cara sistematik untuk mengambil pecahan
parsial. Dalam pecahan parsial dekomposisi p(s)/q(s), faktor tak berulang (s a) dari q(s)
memberikan sebuah pecahan dalam bentuk A/(sa). Sehingga F (s) dapat dituliskan sebagai
p(s) A
F (s) = = + G(s) (3.33)
q(s) sa
(s a)p(s)
= A + (s a)G(s).
q(s)
Jika kita membiarkan s mendekati a, suku kedua di ruas kanan hilang, karena G(s) tidak
memiliki faktor yang dapat menghilangkan (s a). Sehingga
(s a)p(s)
A = lim . (3.34)
sa q(s)
Karena q(a) = 0, karena a merupakan akar tak berulang dari q(s) = 0, limit pada (3.34)
merupakan bentuk tak hingga 0/0. Dengan aturan L Hospital, kita memiliki
Sehingga konstanta dalam dekomposisi pecahan parsial dapat dengan mudah ditentukan.
s1
Contoh 3.2.7. Gunakan ekspansi Heaviside untuk mencari L1
.
s2 s 2
d
Solusi 3.2.7. Akar dari s2 s 2 adalah s = 2 dan s = 1 dan ds (s2 s 2) = 2s 1.
Sehingga
s1 a b
= +
s2 s2 (s 2) (s + 1)
s1 1 s1 2
a = lim = , b = lim = .
s2 2s 1 3 s1 2s 1 3
Maka
1 s1 1 1 1 2 1 1 1 2
L 2
= L + L = e2t + et .
s s2 3 s2 3 s+1 3 3
2s + 1
Contoh 3.2.8. Gunakan ekspansi Heaviside untuk mencari L1 .
s2 + 2s + 5
d
Solusi 3.2.8. Akar dari s2 + 2s + 5 adalah s = 1 2i dan ds (s2 + 2s + 5) = 2s + 2. Sehingga
2s + 1 a b
= +
s2 + 2s + 5 = 0 s (1 + 2i) s (1 2i)
2s + 1 i 2s + 1 i
a= lim =1+ , b= lim =1 .
s1+2i 2s + 2 4 s12i 2s + 2 4
116 3. TRANSFORMASI LAPLACE
Maka
1 2s + 1
L
s2 + 2s + 5
1 1 1 1 1 1
= 1+ i L + 1 i L .
4 s (1 + 2i) 4 s (1 2i)
Ingat kembali
1
L1 = ect ,
sc
kita mempunyai
1 1
L = e(1+2i)t = et ei2t = et (cos 2t + i sin 2t),
s (1 + 2i)
dan
1 1
L = e(12i)t = et ei2t = et (cos 2t i sin 2t).
s (1 2i)
Sehingga
1 2s + 1 1
L = 1 + i et (cos 2t + i sin 2t)
s2 + 2s + 5 4
1
+ 1 i et (cos 2t i sin 2t)
4
1
= 2et cos 2t et sin 2t.
2
Secara umum, jika q(s) adalah sebuah polinomial dengan akar tak berulang, ekspansi
Heaviside adalah cara paling efektif dalam dekomposisi pecahan parsial. Jika q(s) sudah
berbentuk perkalian faktor (s a1 )(s a2 ) (s an ), maka metode lain bisa sama atau
lebih efektif. Dalam sebarang kasus, jika akar kompleks digunakan, berguna untuk diingat
jika fungsi asalnya riil, hasil akhirnya juga harus riil. Jika terdapat suku imajiner dalam hasil
akhir, maka pasti ada langkah yang salah.
Jika q(s) memiliki akar berulang, kita dapat menuliskannya sebagai
p(s) Am Am1 A1
= m
+ m1
+ + .
q(s) (s a) (s a) (s a)
Sayangnya, dalam praktek rumus ini tidak selalu lebih sederhana dibandingkan dengan meto-
de pecahan parsial lainnya, seperti pada Contoh 3.2.6. Faktanya, persoalan yang kita jumpai
di alam paling baik diselesaikan dengan turunan transformasinya.
3.2. SOLUSI PERSAMAAN DIFERENSIAL DENGAN TRANSFORMASI LAPLACE 117
Dalam Contoh 3.2.6, kita menggunakan pecahan parsial untuk mencari L1 [1/(s2 + a2 )2 ].
Cara lebih sederhana untuk menangani persoalan ini adalah dengan menggunakan sifat-sifat
turunan. Prosedur ini bisa kita lihat dalam contoh berikut.
1 s
Contoh 3.2.9. Carilah (a) L1 , (b) L1 ,
(s2 + a2 )2 (s2 + a2 )2
s2 s3
(c) L1 , (d) L1 .
(s2 + a2 )2 (s2 + a2 )2
Solusi 3.2.9. (a) Dengan mengambil turunan
d a 1 2a2
= ,
da s2 + a2 s2 + a2 (s2 + a2 )2
kita dapat menuliskan
1 1 1 d a
2 2 2
= 2 2 2
.
(s + a ) 2a s +a da s + a2
2
Karena
a
L[sin at] = ,
s2 + a2
kita mempunyai
1 1 1 d
= 2 L[sin at] L[sin at]
(s2 + a2 )2 2a a da
Z
1 1 d
= 3 L[sin at] 2 est sin at dt
2a 2a da 0
Z
1 1
= 3 L[sin at] 2 est t cos at dt
2a 2a 0
1 1
= 3 L[sin at] 2 L[t cos at].
2a 2a
Sehingga
1 1 1 1 1
L =L L[sin at] 2 L[t cos at]
(s2 + a2 )2 2a3 2a
1 1
= 3 sin at 2 t cos at.
2a 2a
(b) Ambil turunan terhadap s
d a 2as
2 2
= 2 ,
ds s + a (s + a2 )2
sehingga
s 1 d a 1 d
= = L[sin at]
(s2 + a2 )2 2a ds s2 + a2 2a ds
Z Z
1 d st 1
= e sin at dt = est t sin at dt
2a ds 0 2a 0
1
= L[t sin at].
2a
118 3. TRANSFORMASI LAPLACE
Sehingga
1 s 1 1 1
L 2 2 2
=L L[t sin at] = t sin at.
(s + a ) 2a 2a
(c) Mengikuti hasil (b)
s2
1 s
sL t sin at = s 2 = .
2a (s + a2 )2 (s2 + a2 )2
Ingat
df df
L = sL[f ] f (0); sL[f ] = L + f (0).
dt dt
1 df 1 1
Misalkan f = t sin at, sehingga = sin at + t cos at; f (0) = 0, kita memiliki
2a dt 2a 2
1 1 1
sL t sin at = L sin at + t cos at .
2a 2a 2
Sehingga
s2
1 1 1 1 1
L =L sL t sin at = sin at + t cos at.
(s2 + a2 )2 2a 2a 2
(d) Dari hasil (c)
s3 s2
1 1
=s 2 = sL sin at + t cos at .
(s2 + a2 )2 (s + a2 )2 2a 2
Sekarang, misalkan
1 1 df a
f= sin at + t cos at, sehingga = cos at t sin at; f (0) = 0,
2a 2 dt 2
sehingga
1 1 h a i
sL sin at + t cos at = L cos at t sin at ,
2a 2 2
s3
h h a ii a
L1 2 2 2
= L 1
L cos at t sin at = cos at t sin at.
(s + a ) 2 2
Gambar 3.1: Langkah menggunakan transformasi Laplace untuk menyelesaikan persamaan diferensial.
y 00 + y = sin 2t,
kita memiliki
2
s2 L[y] sy(0) y 0 (0) + L[y] = .
s2 +4
Dengan kondisi awal y(0) dan y 0 (0), persamaan ini dapat dituliskan
2
(s2 + 1)L[y] = 1 + .
s2 +4
Persamaan aljabar ini dapat dengan mudah diselesaikan
s2 + 6
L[y] = .
(s2 + 1)(s2 + 4)
Sehingga
s2 + 6
1
y(t) = L .
(s2 + 1)(s2 + 4)
Menggunakan metode pada subbab terakhir, kita mempunyai
5 1
y(t) = sin t sin 2t.
3 3
kita memiliki
2
s2 L[y] sy(0) y 0 (0) + 4L[y] = .
s2 + 4
Dengan kondisi awal y(0) dan y 0 (0), persamaan ini dapat dituliskan
2
(s2 + 4)L[y] = 10s + .
s2 +4
Sehingga
1 10s 2
y=L + .
(s2 + 4) (s2 + 4)2
Diperoleh solusinya
1 1
y = 10 cos 2t + sin 2t t cos 2t.
8 4
Kumpulkan sukunya
2
(s2 + 4s + 4)L[y] = (s + 2)2 L[y] =
(s + 2)3
atau
2
L[y] = .
(s + 2)5
Solusinya adalah transformasi invers
2 1 4! 1
y= L = t4 e2t .
4! (s + 2)5 12
y 0 2y + z = 0,
z 0 y 2z = 0,
L[y 0 2y + z] = L[0],
L[z 0 y 2z] = L[0],
kita memperoleh
(s 2)L[y] + L[z] = 0,
L[y] (s 2)L[z] = 0.
Sehingga
1 s2
y=L = e2t cos t,
(s 2)2 + 1
1 1
z=L = e2t sin t.
(s 2)2 + 1
Fungsi delta, (t), pertama kali diusulkan pada tahun 1930 dalam pengembangan formalisme
matematik mekanika kuantum. Dirac mensyaratkan sebuah fungsi yang nol di setiap titik,
kecuali pada satu titik, yaitu fungsi yang diskontinu dan berperilaku seperti paku yang tinggi
122 3. TRANSFORMASI LAPLACE
Gambar 3.2: Sebuah fungsi berpuncak tajam. Jika h dan 0 sedemikian rupa sehingga luas di
bawah kurva sama dengan satu, maka fungsi ini menjadi fungsi delta (t t0 ).
dan sempit dari satuan luas. Matematikawan cepat bereaksi dalam hal ini dan mengatakan
tidak terdapat fungsi yang memiliki sifat seperti ini. Tetapi Dirac menganggap ada, dan
terus menggunakan fungsi ini sangat sukses dan akhirnya terbentuklah cabang matematik
baru untuk membenarkan hal ini. Bagian matematik yang mempelajari ini dinamakan teo-
ri distribusi atau fungsi general. Meskipun baik untuk mengetahui dasar matematik fungsi
delta terbangun secara rinci, untuk aplikasi dalam ilmu fisika kita hanya memerlukan definisi
operasionalnya saja.
Definisi Fungsi
. Fungsi delta adalah fungsi memuncak yang sangat tajam didefinisikan sebagai
0, t 6= t0
(t t0 ) = , (3.37)
t = t0
Jelas bahwa limit dan dapat digantikan dengan t0 dan t0 + sepanjang > 0,
karena (t t0 ) sama dengan 0 untuk t 6= t0 . Kita dapat memikirkannya sebagai fungsi yang
sangat tinggi dan sempit seperti pada Gambar 3.2, dengan h dan 0 sedemikian
rupa sehingga luas di bawah kurva sama dengan satu.
Secara matematik, fungsi didefinisikan dengan bagaimana perilaku fungsi ini di dalam
integral. Sebenarnya yang dilakuakan dirac pertama kali dengan fungsi delta ini adalah
3.3. TRANSFORMASI LAPLACE FUNGSI IMPULSIF DAN FUNGSI TANGGA 123
integrasi
Z +
f (t)(t t0 ) dt,
dengan f (t) sebuah fungsi kontinu. Integral ini dapat dihitung dengan argumen berikut.
Karena (t t0 ) nol untuk t 6= t0 , batas integrasi dapat dirubah menajadi t0 dan t0 +
dengan adalah sebuah bilangan kecil positif. Selanjutnya karena f (x) kontinu pada t = t0 ,
nilainya pada interval (t0 , t0 + ) tidak akan berbeda terlalu jauh dengan f (t0 ), sehingga
kita bisa mengatakan, kira-kira, bahwa
Z + Z t0 + Z t0 +
f (t)(t t0 ) dt = f (t)(t t0 ) dt f (t0 ) (t t0 ) dt
t0 t0
Integral ini kadang dinamakan dengan sifat pergeseran fungsi delta: (t t0 ) berperilaku
sebagai penyaring, menyeleksi semua nilai dari f (t) nilainya pada titik t = t0 .
Secara umum argumen fungsi delta dapat berupa fungsi sebarang dengan variabel bebas.
Sehingga fungsi tersebut dapat selalu dituliskan sebagai jumlah fungsi delta dari argumen
sederhana. Berikut adalah beberapa contohnya.
(t)
Misalkan t0 = t maka dt0 = dt, kita dapat menuliskan
Z + Z Z +
0 0 0
f (t)(t) dt = f (t )(t ) dt = f (t0 )(t0 ) dt0 = f (0).
+
Karena
Z +
f (t)(t) dt = f (0),
maka
(t) = (t) (3.40)
(at)
Misalkan t0 = at maka dt = dt0 /a, Sehingga jika a > 0,
Z + Z + 0 0
1 +
Z
t 0 1 0 t
f (t)(at) dt = f (t ) dt = f (t0 ) dt0
a a a a
1 0 1
= f = f (0).
a a a
Karena Z + Z +
1 1 1
f (t) (t) dt = f (t)(t) dt = f (0)
a a a
maka
1
(at) = (t).
a
Karena
(at) = (at),
(t2 a2 )
Argumen fungsi ini menuju nol ketika t = a dan t = a, yang kelihatannya mengimpli-
kasikan dua buah fungsi . Kontribusi pada integralnya
Z + Z +
f (t)(t2 a2 ) dt = f (t) [(t a)(t + a)] dt,
Sehingga
1
(t2 a2 ) = [(t + a) + (t a).] (3.42)
|2a|
3.3. TRANSFORMASI LAPLACE FUNGSI IMPULSIF DAN FUNGSI TANGGA 125
. Mengikuti definsi transformasi Laplace dan fungsi delta, transformasi Laplace fungsi delta
diberikan oleh Z
L[(t a)] = est (t a)dt = esa . (3.43)
0
Transformasi Laplace turunan fungsi delta dapat dihitung dengan integral parsial
Z Z
st d
0
est d((t a))
L (t a) = e (t a) dt =
0 dt 0
Z
st d
= e (t a) 0 (t a) est dt.
0 dt
Karena (t a) hilang di semua tempat kecuali pada t = a, pada batas atas dan bawah, suku
yang diintegralkan nilainya nol. Sehingga
0
Z
(t a)est dt = s esa .
L (t a) = s (3.44)
0
Rumus ini sangat berguna ketika kita menemui fenomena alam yang impulsif.
Fungsi tangga satuan Heaviside u(tc) dapat didefinisikan dari integrasi fungsi delta (t0 c)
Z t
u(t c) = (t0 c) dt0 . (3.45)
Fungsi delta secara identik bernilai nol jika t0 < c. Batas atas variabel t0 adalah t. Jika t
kurang dari c, maka semua t0 akan kurang dari c. Integralnya sama dengan nol. Jika t lebih
besar dari c maka integralnya sama dengan satu dengan definisi fungsi delta. Sehingga
0, t<c
u(t c) = . (3.46)
1, t>c
Fungsi tangga dapat didefinisikan langsung dari (3.46) tanpa melihat (3.45). Tetapi de-
ngan (3.45) jelas terlihat bahwa
d
u(t c) = (t c). (3.47)
dt
Gambar dari fungsi tangga satuan Heaviside y = u(t c) ditunjukkan pada Gambar 3.3.
Menarik, fungsinya tidak diberikan nama karena berat sebelah, tetapi, dari Oliver Heaviside
insinyur Inggris. Biasanya fungsi ini secara sederhana dinamakan fungsi tangga.
Kita sering berurusan dengan sebuah pulsa berdurasi terbatas. Fungsi tangga ini sangat
sesuai dalam situasi tersebut. Sebagai contoh, pulsa persegi
126 3. TRANSFORMASI LAPLACE
0 0<t<
y(t) = 1 < t < 2
0 2 < t <
Operasi Pergerseran
Dalam beberapa persoalan sebuah sitem yang aktif pada t = 0 karena adanya gangguan awal,
setelah itu berperilaku karena gangguan lain yang mulai pada waktu yang lebih akhir t = c.
Dalam situasi ini, deskripsi analitik diberikan oleh fungsi
y = f (t c)u(t c)
3.4. PERSAMAAN DIFERENSIAL DENGAN FUNGSI GAYA DISKONTINU 127
Sehingga
L [f (t c)u(t c)] = esc L [f (t)] . (3.49)
Kita mulai dengan kasus paling sederhana. Sebuah partikel dengan massa m mula-mula
diam kemudian digerakkan oleh ledakan yang tiba-tiba pada t = t0 . Dengan asumsi tanpa
gesekan, kita berharap mencari posisi sebagai fungsi waktu. Kejadian sehari-hari yang terasa
anehuntuk matematika biasa. Tetapi dengan transformasi Laplace dan fungsi delta maka
hal ini menjadi sangat mudah.
Dalam persamaan dinamika Newton
d2 x
m = F, (3.51)
dt2
marilah kita nyatakan gaya oleh ledakan tiba-tiba dengan fungsi delta
F = P (t t0 ). (3.52)
L mx00 = L [P (t t0 )] ,
(3.54)
kita memperoleh
ms2 L [x] = P est0 . (3.55)
Sehingga
P 1 est0
P
= L1 est0 L [t]
x(t) = L 2
m s m
P
= (t t0 )u(t t0 ). (3.56)
m
dx P
v= = , (3.58)
dt m
yang konstan. Faktanya kita melihat bahwa amplitudo P fungsi delta sama dengan mv
yang merupakan momentum. Hal ini menunjukkan bahwa yang dilakukan ledakan tiba-tiba
adalah untuk memberikan momentum P kepada partikel. Momentum ini tetap pada partikel
setelahnya.
3.4. PERSAMAAN DIFERENSIAL DENGAN FUNGSI GAYA DISKONTINU 129
Contoh 3.4.1. Marilah kita perhatikan osilator harmonik terpaksa dan teredam. Massa
m dipaksa oleh gaya F (t). Osilator ini juga mengalami gaya pegas kx(t) dan gaya gesek
bx0 (t) yang selesai dengan kecepatannya. Persamaan diferensial mendeskripsikan gerak ini
F (t) = P0 (t t0 ),
Perhatikan bahwa dalam semua kasus, x(t) sama dengan nol sebelum t = t0 , seperti yang
kita harapkan, karena sistem tidak dapat merespon sampai pulsanya muncul. Perilaku seperti
ini sering dinamakan sebagai kausal (sebab-akibat). Kausalitas, merupakan solusi karakte-
ristik yang melibatkan waktu, mengharuskan tidak boleh adanya respon sebelum aplikasi
sebuah gaya.
Menarik untuk memperhatikan bahwa persamaan Newton invarian di bawah transformasi
t t. Maka jelas kausalitas tidak diimplikasi oleh persamaan Newton. Kausalitas yang
ditunjukkan di sini merupakan hasil dari definisi dari transformasi Laplace. Kenyataannya
adalah syarat fisik ini dibangun dalam transformasi Laplace merupakan alasan bahwa metode
ini berguna.
Contoh 3.4.2. Sebuah massa m = 1 disambungkan dengan sebuah pegas dengan konstanta
k = 4 dan tanpa ada gesekan, b = 0. Massa dilepaskan dari keadaan diam dengan x(0) = 3.
Pada t = 2 massa tersebut dipukul dengan palu, yang menyebabkan P0 = 8. Tentukan
gerak massa.
Solusi 3.4.2. Kita perlu menyelesaikan persoalan kondisi awal
sehingga
(s2 + 4)L[x] = 3s + 8e2s .
Maka
3s 8e2s
L[x] = +
(s2 + 4) (s2 + 4)
diperoleh
2s 2s
1 3s 1 8e 1 s 1 2e
x(t) = L +L = 3L + 4L
s2 + 4 s2 + 4 s2 + 4 s2 + 4
= 3L1 [L[cos 2t]] + 4L1 [e2s L[sin 2t]]
= 3 cos 2t + 4 sin 2(t 2)u(t 2)
3.4. PERSAMAAN DIFERENSIAL DENGAN FUNGSI GAYA DISKONTINU 131
Gambar 3.6: Plot dari x(t) = 3 cos 2t + 4 sin 2(t 2)u(t 2).
atau
3 cos 2t t < 2
x(t) = .
3 cos 2t + 4 sin 2(t 2) t > 2
Karena 3 cos 2t + 4 sin 2t = 5 cos(2t ) dan = tan1 (4/3), kita melihat efek dari
impuls pada t = 2. Hal ini menyebabkan amplitudo osilasi naik dari 3 ke 5 secara tiba-tiba.
Meskipun frekuensinya tetap sama, terdapat diskontinuitas pada kecepatan. Plot dari x(t)
pada Gambar 3.6.
Contoh 3.4.3. Perhatikan rangkaian RLC pada Gambar 3.7 dengan R = 110 , L = 1
H dan C = 0.001 F, dan baterainya memiliki GGL 90 V. Awalnya tidak terdapat arus
pada sirkuit dan tidak ada muatan pada kapasitor. Pada t = 0 saklar ditutup dan pada
t = T, (T = 1) s baterai dileapskan dari sirkuit sedemikian rupa sehingga sirkuit RLC tetap
tertutup tanpa GGL. Carilah arus i(t) sebagai fungsi waktu.
Solusi 3.4.3. Persamaan sirkuit diberikan oleh
1
Li0 + Ri + q = e(t)
C
dq
i=
dt
dan kondisi awalnya adalah
i(0) = 0, q(0) = 0.
Dalam soal ini
e(t) = 90[u(t) u(t 1)].
Aplikasikan transformasi Laplace pada persamaan diferensial untuk memperoleh
1
LsL[i] + RL[i] + L[q] = L[e(t)]
C
L[i] = sL[q].
132 3. TRANSFORMASI LAPLACE
Gambar 3.7: Sebuah sirkuit RLC. Sirkuit terbuka tanpa muatan pada kapasitor ditutup pada t = 0. Pada
t = T baterai dilepaskan dari sirkuit sedemikian rupa sehingga sirkuit tertutup tanpa baterai.
3.5 Konvolusi
Sifat umum lain yang penting dari transformasi Laplace berhubungan dengan perkalian tran-
sformasi. Hal ini terjadi ketika kita diberikan dua buah transformasi F (s) dan G(s) yang
inversnya f (t) dan g(t) kita ketahui, dan kita ingin menghitung invers dari perkalian F (s)G(s)
dari invers yang sudah kita ketahui f (t) dan g(t). Untuk memahami arti dari formulasi ma-
tematik, pertama kita akan memperhatikan contoh yang spesifik.
3.5. KONVOLUSI 133
dengan = b/2m, 2 = k/m (b/2m)2 . Jika f (t) adalah impuls satuan pada waktu
f (t) = (t ), (3.61)
Sekarang jika kita memperhatikan respon sistem di bawah fungsi gaya eksternal ditun-
jukkan pada Gambar 3.8.
Gaya ini dapat diasumsikan terdiri dari deret impuls dengan magnitudo berbeda. Seperti
yang sudah kita diskusikan, impuls tidak lain adalah momentum P yang diberikan. Karena
perubahan momentum sama dengan gaya (P/t = f ), impuls yang diberikan dalam selang
waktu yang pendek sama dengan gaya dikalikan durasi waktu.
Dengan mengasumsikan pada waktu , gaya f ( ) bekerja pada sistem untuk waktu yang
pendek , impuls yang bekerja pada t = diberikan oleh f ( ) . Pada sebarang waktu
134 3. TRANSFORMASI LAPLACE
t, waktu yang dilalui sejak impuls adalah t , sehingga respon sistem pada waktu t yang
diakibatkan oleh impuls adalah
Respon total pada waktu t dapat dicari dengan menjumlahkan semua respon yang diakibatkan
oleh impuls elementer yang bekerja pada semua waktu
X
x(t) = f ( )g(t ). (3.70)
atau Z t
1
x(t) = f ( )e(t ) sin (t )d. (3.72)
m 0
Hasil ini dikenal sebagai integral Duhamel. Dalam berbagai kasus fungsi f ( ) memiliki
bentuk yang mengijinkan integrasi eksplisit. Dalam kasus tidak memungkinkan integrasi,
integral ini dapat diselesaikan secara numerik tanpa banyak kesulitan.
diperoleh
x(t) = L1 [L [f (t)] L [g(t)]] . (3.75)
Di lain pihak Z t
x(t) = f ( )g(t )d, (3.76)
0
maka Z t
f ( )g(t )d = L1 [L [f (t)] L [g(t)]] . (3.77)
0
Dari hal ini, sepanjang transformasinya ada, hubungan
Z t
L f ( )g(t )d = L [f (t)] L [g(t)] (3.78)
0
secara umum berlaku untuk sebarang fungsi f dan g. Hal ini dikenal sebagai teorema kon-
volusi. Jika hal ini berlaku,maka
Z t
L f (t )g()d = L [f (t)] L [g(t)] (3.79)
0
harus juga berlaku, karena peran yang dimainkan oleh f dan g dalam persamaan simetrik.
Hal ini dapat didemonstrasikan langsung dengan penggantian variabel. Misalkan = t
Z t Z 0
f ( )g(t )d = f (t )g()d()
0 t
Z t
= f (t )g()d. (3.80)
0
Bukti teorema konvolusi adalah sebagai berikut
Dari definisi
Z t Z Z t
st
L f (t )g()d = e f (t )g()d dt. (3.81)
0 0 0
Sekarang dengan
1 <1
u(t ) = (3.82)
0 >1
dan
f (t )g() <1
f (t )g()u(t ) = . (3.83)
0 >1
Kita dapat menuliskan
Z Z t
f (t )g()u(t )d = f (t )g()u(t )d
0 0
Z
+ f (t )g()u(t )d (3.84)
t
136 3. TRANSFORMASI LAPLACE
suku kedua pada ruas kanan sama dengan nol karena batas bawah dari adalah t, sehing-
ga > t. Suku pertama ruas kanan , selang adalah antara 0 dan t, sehingga < t,
menggunakan (3.83) kita memiliki
Z Z t
f (t )g()u(t )d = f (t )g()u(t )d. (3.85)
0 0
kita peroleh
Z t Z Z
st
L f (t )g()d = g() e f (t )u(t )dt d. (3.88)
0 0 0
Karena adanya u(t ), integran pada integral dalam secara identik sama dengan nol untuk
t < . Sehingga integral dalam tidak mulai dari t = 0 melainkan pada t = . Maka
Z t Z Z
st
L f (t )g()d = g() e f (t )dt d. (3.89)
0 0
Dari sifat transformasi turunan, kita dapat memperoleh rumus untuk transformasi sebuah
integral Z t Z Z t
st
L f (x) dx = e f (x) dx dt.
0 0 0
Misalkan Z t
g(t) = f (x) dx,
0
maka
g 0 (t) = f (t) dan g(0) = 0.
Karena
L[g 0 (t)] = sL[g(t)] g(0),
kita mempunyai Z t
L[f (t)] = sL f (x) dx . (3.93)
0
Sehingga jika F (s) = L[f (t)]
Z t
L[f (t)] 1
L f (x) dx = = F (s). (3.94)
0 s s
Rumus ini sangat berguna untuk mencari invers transformasi sebuah pecahan yang me-
miliki bentuk p(s)/[sn q(s)]. Sebagai contoh
Z t
1 1
L1 = L1 L eat = L1 L eax dx
s(s a) s 0
Z t
1
eax dx = eat 1 .
=
0 a
138 3. TRANSFORMASI LAPLACE
Metode ini sering lebih nyaman untuk digunakan dibandingkan dengan pecahan parsial.
Turunan dari F (s) berhubungan dengan perkalian f (t) dengan t. Secara alami kita meng-
harapkan bahwa integrasi F (s) berhubungan dengan pembagian f (t) dengan t. Hal ini adalah
kasus yang kita tinjau, yang diberikan oleh batas integrasi yang dipilih secara tepat. Jika
F (s0 ) adalah transformasi Laplace dari f (t) maka
Z Z Z Z Z
0 0 s0 t 0 s0 t 0
F (s )ds = e f (t)dt ds = e f (t)ds dt
0 s 0 0 s
1 s0 t
Z Z Z
s0 t 0
= f (t) e ds dt = f (t) e dt
0 s 0 t s0 =s
Z Z
1 st st 1 f (t)
= f (t) e dt = e f (t)dt = L . (3.95)
0 t 0 t t
1 at bt
sin t
Contoh 3.6.1. Carilah (a) L e e , (b) L .
t t
Solusi 3.6.1. (a)
1 at Z h i Z
1 1
bt at bt 0
L e e = L e e ds = ds0
t s s s0 + a s0 + b
s0 + a
= ln(s0 + a) ln(s0 + b) s0 =s = ln 0
s + b s0 =s
s+a s+b
= ln 1 ln = ln .
s+b s+a
(b)
Z Z
sin t 0 1
ds0 = tan1 s0 s0 =s
L = L[sin t]ds = 02
t s s s +1
1
= tan1 s = cot1 s = tan1 .
2 s
3.6. SIFAT-SIFAT TRANSFORMASI LAPLACE 139
3.6.3 Penskalaan
R
Jika F (s) = L[f (t)] = 0 est f (t)dt sudah diketahui, maka L[f (at)] dapat dengan mudah
diperoleh. Dengan definisi
Z Z
1
L[f (at)] = est f (at)dt = e(s/a)at f (at)d(at). (3.96)
0 a 0
yang merupakan transformasi Laplace dari f dengan parameter s diganti dengan s/a. Se-
hingga
1 s
L[f (at)] = F . (3.97)
a a
Contoh 3.6.2. Jika L[f (t)] diketahui 1/s(1 + 2s), carilah L[f (2t)].
Solusi 3.6.2.
1 1 1
L[f (2t)] = = .
2 (s/2)[1 + 2(s/2)] s(1 + s)
sin t
Contoh 3.6.3. Carilah L
t
sin t 1
Solusi 3.6.3. Karena L = tan1 , kemudian
t s
sin t 1
L = tan1 .
t s
Sehingga
sin t
L = tan1 .
t s
Sering kita menjumpai fungsi input sistem fisika adalah fungsi periodik. Sebuah fungsi dika-
takan periodik jika terdapat sebuah bilangan p sehingga
f (t + p) = f (t).
Nilai p ini disebut sebagai periode dari f . Sebuah fungsi periodik memiliki karakteristik
Sehingga
1 + es/
1
L[f ] = s2/ 2 2
= 2 .
1e s + (s + ) 1 + es/
2
f (t) = | sin t| 0 < t < .
Solusi 3.6.5. Dalam kasus ini periodenya adalah /. Maka
1 + es/
Z /
1 st
L[f ] = e sin t dt = 2 .
1 es/ 0 (s + 2 ) 1 + es/
Hasil ini sangat sempurna untuk disederhanakan. Jika kita kalikan pembilang dan penyebut-
nya dengan exp(s/2)
es/(2) + es/(2)
s
L[f ] = 2 2 s/(2) s/(2)
= 2 2
coth .
(s + ) e e (s + ) 2
Transformasi Laplace sebarang F (s) baik yang memiliki faktor (1 esp )1 , atau dapat di-
tuliskan dalam sebuah bentuk dengan sebuah faktor seperti pada contoh terakhir, mengindi-
kasikan bahwa invers transformasinya merupakan sebuah fungsi periodik. Tetapi, periodenya
bisa merupakan perkalian dari p. Hal ini diilustrasikan pada contoh berikut.
Contoh 3.6.6. Carilah invers transformasi Laplace berikut ini beserta periodenya
s
F (s) = .
(s2 + 1) (1 es )
142 3. TRANSFORMASI LAPLACE
Solusi 3.6.6.
1 s
f (t) = L
(s2 + 1) (1 es )
s
= L1 s 2s 3s
1 + e + e + e +
(s2 + 1)
= cos t + u(t ) cos(t ) + u(t 2) cos(t 2)
+ u(t 3) cos(t 3) + u(t 4) cos(t 4) +
= cos t u(t ) cos t + u(t 2) cos t u(t 3) cos t +
= [1 u(t )] cos t + [u(t 2) u(t 3)] cos t + .
Sehingga f (t) adalah fungsi periodik berperiode 2, dengan definisi satu periodenya
cos t jika 0 < t <
f (t) = .
0 jika < t < 2
Integral terakhir ini dikenal sebagai fungsi Gamma dari n+1 yang dituliskan (n+1). Fungsi
Gamma akan sering kita jumpai dalam aplikasi. Fungsi ini diberikan oleh
Z
(n) = ex xn1 dx, (3.104)
0
hal ini terdefinisi dengan baik sepanjang n tidak nol atau bilangan bulat negatif. Untuk
n = 1, Z
ex dx = ex 0 ex = 1.
(1) = (3.105)
0
Dengan menggunakan integral parsial, kita bisa memperoleh
Z Z
x n
n x x
(n + 1) = e x dx = x e 0
e +n ex xn1 dx = n (n). (3.106)
0 0
selaras dengan hasil yang sudah didapatkan sebelumnya. Karena (n) adalah fungsi yang
ditabulasikan, sepanjang n > 1, L[tn ] masih tetap bisa dihitung meskipun n bukan bilangan
bulat. Sebagai contoh
( 12 )
1
L = 1/2 = 1/2 , (3.109)
t s s
h i (1 + 1 ) 1 1
2 2(2) 1
L t = 1 = 3/2 = , (3.110)
s1+ 2 s 2 s3/2
di sini kita telah menggunakan ( 12 ) = .
s+a
Contoh 3.7.1. Carilah L1
ln .
sb
Solusi 3.7.1. Transformasinya tidak berbentuk pembagian dua buah polinomial, tetapi
turunannya. Misalkan
s+a s+a
L[f (t)] = ln , f (t) = L1 ln .
sb sb
Karena
d d s+a
L[tf (t)] = L[f (t)] = ln
ds ds s b
d d 1 1
= ln(s + a) + ln(s b) = ,
ds ds sb sa
dan
1 d 1 1 1
tf (t) = L L[f (t)] = L
ds sb sa
sehingga
1 s+a 1 1 1 1
L ln = f (t) = L
sb t sb sa
1 bt
= e eat
t
144 3. TRANSFORMASI LAPLACE
R 1
Definisi f (t) F (s) L[t] = 0 est t dt = = F (s)
s2
d d 1 2
Perkalian t tf (t) F (s) L[t t] = 2
= 3
ds ds s s
f (t) R t R 1 1
Pembagian t s F () d L = s 2 d =
t t s
dt 1 1
Turunan f 0 (t) sF (s) f (0) L =s 2 0=
dt s s
Rt F (s) hR i 1/s2 1
t
Integral 0 f ( )d L 0 d = = 3
s s s
1
Shiftings eat f (t) F (s a) L[eat t] =
(s a)2
1
Shiftingt u(t a)f (t a) esa F (s) L[u(t a)(t a)] = esa
s2
1 s 1 1 1
Scaling f (at) F L[at] = 2
=a 2
a a a (s/a) s
Rp
0 est f (t) dt 1 (1 + ps)eps
Periodep f (t) periodik L[f ] =
1 eps s2 (1 eps )
Rt
Konvolusi 0 f ( )g(t )d F (s) G(s) Misal g(t) = f (t), G(s) = F (s)
hR
t
i 1 1 1
L 0 (t )d = 2 2 = 4
s s s
3.8. APLIKASI TAMBAHAN TRANSFORMASI LAPLACE 145
s2 a2
Contoh 3.7.2. Carilah L1 ln .
s2
Solusi 3.7.2.
s 2 a2 s 2 a2
1 1 d 1 1 2s 2s
L1 ln = L ln = L
s2 t ds s2 t s 2 a2 s2
2
= (1 cosh at).
t
s2 + 2
Contoh 3.7.3. Carilah L1 ln .
s2
Solusi 3.7.3.
s2 + 2 s2 + 2
1 1 1 d 1 1 2s 2s
L ln = L ln = L 2
s2 t ds s2 t s2 + 2 s
2
= (1 cos t).
t
1
Contoh 3.7.4. Carilah L1 tan1 .
s
Solusi 3.7.4.
1 1 1 1 1 d 1 1 1 1 1 d 1
L tan = L tan = L
s t ds s t (1/s)2 + 1 ds s
1 1 1
= L1 = sin t
t 1 + s2 t
Banyak integral dari 0 sampai dapat dihitung dengan metode transformasi Laplace.
Substitusi langsung
. Integral yang melibatkan eat dapat diperoleh dari transformasi Laplace dengan substitusi
sederhana Z Z
at st
e f (t) dt = e f (t) dt = {L[f (t)]}s=a . (3.111)
0 0 s=a
Z
Contoh 3.8.1. Hitunglah e3t sin t dt
0
Solusi 3.8.1. Z
3t 1 1
e sin t dt = {L[sin t]}s=3 = 2
= .
0 s +1 s=3 10
146 3. TRANSFORMASI LAPLACE
Z
Contoh 3.8.2. Hitunglah e2t t cos t dt.
0
Solusi 3.8.2. Karena Z
e2t t cos t dt = {L[t cos t]}s=2 ,
0
d d s s2 1
{L[t cos t]} = L[t cos t] = = ,
ds ds s2 + 1 (s2 + 1)2
maka
s2 1
Z
2t 3
e t cos t dt = = .
0 (s2 + 1)2 s=2 25
dengan
Z Z
f (t) f (t)
L = est dt, F (s) = L[f (x)] = est f (t) dt.
t 0 t 0
t
e3t
Z
e
Contoh 3.8.3. Hitunglah dt.
0 t
Solusi 3.8.3.
Z
et e3t
Z Z
t 1 1
3t
dt = L[e e ] ds = ds
0 t 0 0 s+1 s+3
s+1
= [ln(s + 1) ln(s + 3)]0 = ln
s+3 0
1
= ln 1 ln = ln 3.
3
Z
sin t
Contoh 3.8.4. Hitunglah dt.
0 t
Solusi 3.8.4.
Z Z Z
sin t 1
dt = L[sin t]ds = ds
0 t 0 0 s2 + 1
1
= tan s 0
= . (3.113)
2
3.8. APLIKASI TAMBAHAN TRANSFORMASI LAPLACE 147
Kita dapat menyelesaikan soal pada contoh terakhir dengan integral ganda. Kita mulai
dengan Z
1
est dt = ,
L[1] = (3.114)
0 s
jika kita menamai ulang t sebagai x dan s sebagai t, kita peroleh
Z
1
etx dx = . (3.115)
0 t
Jadi Z Z Z Z
sin t 1 tx
dt = sin t dt = sin t e dx dt. (3.116)
0 t 0 t 0 0
Dengan menukar urutan integrasi, kita memiliki
Z Z Z
sin t
dt = etx sin t dt dx. (3.117)
0 t 0 0
Integral di dalam kurung adalah transformasi Laplace sin t dengan parameter s diganti x,
sehingga Z Z
sin t 1 1
dt = dx = tan x 0 = . (3.118)
0 t 0 1 + x2 2
Metode ini dapat diaplikasikan untuk kasus yang lebih rumit.
sin2 t
Z
Contoh 3.8.5. Carilah dt.
0 t2
Solusi 3.8.5. Pertama kita perhatikan
1
sin2 t = (1 cos 2t),
2
kemudian menuliskan
sin2 t
Z Z
1 1
dt = (1 cos 2t) dt.
0 t2 2 0 t2
Dengan Z
1
= etx x dx,
t2 0
kita mempunyai
1
Z
sin2 t
Z Z
tx
dt = (1 cos 2t) e x dx dt
0 t2 2 0 0
1
Z Z
tx
= e (1 cos 2t) dt xdx.
2 0 0
Karena
Z
etx (1 cos 2t) dt = [L(1 cos 2t)]s=x
0
1 x 4
= 2 = 2
,
x x +4 x(x + 4)
148 3. TRANSFORMASI LAPLACE
sin2 t
Z Z
1 4
2
dt = x dx
0 t 2 0 x(x2 + 4)
Z i
2 h
1 x
= dx = tan = .
0 x2 + 4 2 0 2
Jika integralnya sulit dikerjakan, pertama kita dapat melakukan transformasi Laplace kemu-
dian mencari inversnya.
Z
cos x
Contoh 3.8.6. Carilah dx
0 x2 + b2
Solusi 3.8.6. Untuk menggunakan transformasi Laplace dalam menghitung integral ini, kita
mengganti cos x = cos tx kemudian di akhir kita pilih t = 1. Misalkan
Z
cos tx
I(t) = dx.
0 x2 + b2
Z Z
1 1 s
L[I(t)] = 2 2
L[cos tx]dx = dx
0 x +b 0 x + b s + x2
2 2 2
Z
s 1 1
= 2 2 2 2
2 dx
s b 0 x +b s + x2
s 1 1 x 1 1 x
= tan tan
s2 b2 b b 0 s s 0
s n o 1
= = .
s2 b2 2b 2s 2b s + b
1 1
I(t) = L = ebt .
2b s + b 2b
Maka Z
cos x
dx = I(1) = eb .
0 x2 + b2 2b
Solusi 3.8.7.
d 2
L[ty 00 (t)] =
{s L[y(t)] sy(0) y 0 (0)}.
ds
Misalkan L[y(t)] = F (s) dengan y(0) = 0, kita memiliki
Sehingga
L[ty 00 (t) ty 0 (t) y(t)] = s(s 1)F 0 (s) 2sF (s) = 0.
y 0 (0) = C = 2,
Maka
y(t) = 2et t.
Mudah dibuktikan bahwa ini adalah solusinya karena memenuhi persamaan diferensial dan
kondisi awalnya.
atau
dF (s) s ds 1 ds2
= 2 = 2 .
F (s) s +1 2s +1
Mengikuti dari sini
1
ln F (s) = ln(s2 + 1) + ln C,
2
C
F (s) = 2 .
(s + 1)1/2
Untuk mencari invers transformasi Laplace ini, kita ekspansikan menjadi deret untuk kasus
s>1
1 1/2
C
F (s) = 1+ 2
s s
(1)n (2n)! 1
C 1 13 1
= 1 2 + 2 + + .
s 2s 2 2! s4 (2n n!)2 s2n
Karena y(0) = 1, maka C = 1. Dari sini deret dengan C = 1 dikenal sebagai fungsi Bessel
orde ke-nol J0 (t), yaitu
X (1)n t2n
J0 (t) = ,
(2n n!)2
n=0
yang akan kita bicarakan lebih detil dalam bab fungsi Bessel. Maka solusi persamaannya
adalah
y(t) = J0 (t).
Persamaan dengan fungsi yang tidak diketahui muncul di bawah integral disebut persama-
an integral. Jika turunan juga ada pada persamaan tersebut, maka dinamakan persamaan
integrodiferensial. Biasanya persamaan ini sulit dipecahkan. Tetapi jika bentuk integral-
nya adalah konvolusi, maka transformasi Laplace dapat digunakan untuk memecahkannya.
Contoh berikut akan membuat prosedur ini jelas.
3.8. APLIKASI TAMBAHAN TRANSFORMASI LAPLACE 151
Gambar 3.11: Kontur pertama yang digunakan untuk memperoleh inversi kompleks transformasi Laplace.
Sekarang jika kita ijinkan R menuju tak hingga, (3.120) tetap berlaku, tetapi semua nilai
z pada C1 sangat besar. Karena F (z) 0 ketika z
Z
F (z)
lim dz = 0.
R C1 z s
Gambar 3.12: Kontur pertama yang digunakan untuk memperoleh inversi kompleks transformasi Laplace.
Dalam langkah terakhir kita telah merubah tanda integran dan menukar batas atas dan
bawah integral.
Dengan mengambil invers transformasi Laplace, kita peroleh
Z b+i
1 1 1 F (z)
L [F (s)] = L dz .
2i bi s z
Karena operator invers transformasi Laplace L1 hanya untuk variabel s, kita dapat menu-
liskan Z b+i
1 1
L1 [F (s)] = F (z)L1 dz.
2i bi sz
Karena
1 1
L = ezt
sz
Kita memiliki Z b+i
1 1
L [F (s)] = F (z)ezt dz. (3.121)
2i bi
Prosedur ini dikenal sebagai inversi Mellin. Integral ini dari b i ke b + i sepanjang C2 .
Biasanya perhitungan integral ini diselesaikan dengan teorema residu. Untuk menggunakan
teorema residu, kita harus memiliki kontur tertutup. Untuk menutup kontur, kita harus
menambahkan garis balik dari b + i ke b i sedemikian rupa sehingga nilai integralnya
tidak berubah. Hal ini dapat dilakukan dengan kontur setengah lingkaran C3 dalam setengah
bidang di sebelah kiri seperti Gambar 3.12, karena
Z
lim F (z)ezt dz = 0. (3.122)
R C3
Hal ini dapat dipahami dari kenyataan bahwa dengan t positif, integran
F (z)ezt = F (z)ext+iyt
154 3. TRANSFORMASI LAPLACE
nilainya menuju nol ketika z menuju tak hingga. Faktor eiyt berosilasi dengan nilai maksimum
1. Untuk x agar merubah b dari seperti pada C3 , faktor ext selalu lebih kecil dari ebt .
Sehingga F (z)ezt akan menuju nol sepanjang F (z) juga menuju nol. Perhatikan bahwa hal
ini tidak berlaku pada setengah bidang di sebelah kanan dengan x menuju positif tak hingga
dan ezt akan sangat besar. Maka degan C3 , kita memiliki
Z b+i
1 1
L [F (s)] = F (z)ezt dz
2i bi
Z Z
1 zt zt
= lim F (z)e dz + F (z)e dz
2i R C2 C3
I
1
= F (z)ezt dz, (3.123)
2i C
1 1
2 2
= ,
(s + a) + b [s (a + ib)][s (a ib)]
residu dari
ezt
(z + a)2 + b2
pada dua buah titik singular
ezt
r1 = lim [z (a + ib)]
za+ib [z (a + ib)][z (a ib)]
e(a+ib)t
=
2ib
dan
ezt
r2 = lim [z (a ib)]
zaib [z (a + ib)][z (a ib)]
e(aib)t
= .
2ib
3.9. INVERSI DENGAN INTEGRAL KONTUR 155
Sehingga
e(a+ib)t e(aib)t
1 1
L = +
(s + a)2 + b2 2ib 2ib
1 at 1 ibt
= e (e eibt )
b 2i
1
= eat sin bt.
b
Ini adalah hasil yang familiar. Contoh ini menunjukkan inversi integral kompleks merupakan
cara lain untuk mencari invers transformasi Laplace. Dalam aplikasi yang lebih sulit, peng-
gunaan inversi integral kompleks dan integral kontur bisa merupakan satu-satunya cara atau
cara paling sederhana untuk mencari invers transformasi Laplace.
Latihan
1. Carilah transformasi Laplace tiap fungsi berikut dengan integral langsung
1
(a) t2 , (b) e3t , (c) 3 sin(3t).
2
1 1 9
Jawab. (a) 3 , (b) , (c) 2 .
s s3 s +9
2. Carilah transformasi Laplace fungsi berikut dengan menggunakan operasi Perkalian t
pada Tabel 3.2.
(a) tet ,(b) t cos t, (c) t2 cos t.
1 s2 1 2s(s2 3)
Jawab. (a) , (b) 2 , (c) .
(s 1)2 (s + 1)2 (s2 + 1)3
3. Carilah transformasi Laplace fungsi berikut dengan menggunakan operasi Pembagian
t pada Tabel 3.2.
1 2 1
(a) (e2t e2t ), (b) (1 cos(2t)), (c) sin(4t).
t t 2 t
s+2 s +4
, (c) tan1 s
Jawab. (a) ln , (b) ln 4 .
s2 s2 2
4. Carilah transformasi Laplace fungsi berikut dengan menggunakan operasi Shifting s
pada Tabel 3.2.
(a) eat sin 3t,(b) e2t t sin at, (c) sinh t cos t.
3 2a(s + 2) s2 2
Jawab. (a) 2
, (b) , (c) .
(s a) + 9 [(s + 2)2 + a2 ]2 s4 + 4
5. Gunakan definisi transformasi Laplace untuk membuktikan
1 2a2
(a) L[t cos at] = .
s2 + a2 (s2 + a2 )2
Turunkan bagian (a) soal sebelumnya terhadap s dan buktikan bahwa
1 2s2
(b) L[t cos at] = .
s2 + a2 (s2 + a2 )2
8. Gunakan hasil pada soal 6 dan 7 untuk membuktikan
1 1 1
(a) L = (sin at at cos at),
(s2 + a2 )2 2a3
s2
1 1 1
(b) L = (t cos at + a sin at)
(s2 + a2 )2 2
9. Kerjakan soal 8 dengan teorema konvolusi.
Petunjuk: Anda mungkin memerlukan integral berikut
Z t
1
sin a cos a d = (1 cos 2at);
0 4a
Z t
1
sin2 a d = (2at sin 2at).
0 4a
1 s
Jawab. (a) eas , (b) es , (c) 1s (e5s e10s ).
s2 +1 s2 +1
12. Kerjakan soal sebelum ini dengan menggunakann operasi Shifting t pada Tabel 3.2
dy
= 2y 3z,
dt
dz
= 2y + z,
dt
y(0) = 8, z(0) = 3.
1
Jawab. y(t) = 1 + t2 .
2
19. Selesaikan persamaan berikut dengan kondisi awal pada t = 0, baik y dan turunannya
sama dengan nol.
(a) y 00 + 2y 0 + y = A(t t0 ),
20. Perhatikan hambatan R dan sebuah induktansi L dihubungkan seri dengan tegangan
V (t). Persamaan pembangkitan arusnya
di
L + Ri = V (t).
dt
Anggap i(0) = 0 dan V (t) adalah tegangan impulsif pada t = t0 yang diberikan oleh
V (t) = A(t t0 ).
(a) Carilah solusi persamaan dengan konvolusi (Nyatakan x(t) sebagai integral).
(b) Jika f (t) = P (t t0 ), carilah solusinya dengan menghitung integral konvolusi.
p
(c) Jika b = 0, dan f (t) = F0 sin 0 t dengan 0 = k/m, selesaikan persaman dengan
transformasi Laplace.
(d) Jika b = 0, dan f (t) = F0 u(t t0 ) dengan u(t t0 ) fungsi tangga, selesaikan
persamaannya.
1 Rt
Jawab.(a) x(t) = f ( )e(t ) sin (t )d
m 0
b k b 2
, 2 = m
dengan = 2m 2m ,
P (tt0 )
(b) x(t) = e sin (t t0 )u(t t0 ),
m
F0
(c) x(t) = (sin 0 t 0 t cos 0 t),
2m02
F0
(c) x(t) = [1 cos 0 (t t0 )]u(t t0 ).
m02
22. Gunakan inversi integral kompleks, carilah invers transformasi Laplace berikut.
1 1 1
(a) , (b) 2
, (c) 2 .
(s + 1)(s + 3) (s + 2) (s + 9)(s2 + 4)
1 1
Jawab. (a) (et e3t ), (b) t e2t , (c) (3 sin 2t 2 sin 3t).
2 30
4
Deret Fourier
Salah satu alat (tools) matematik yang sangat penting dan berguna adalah deret Fourier,
dinamakan demikian karena ditemukan oleh seorang matematikawan sekaligus fisikawa ber-
kebangsaan Perancis, Jean Baptiste Joseph Fourier (1768-1830). Analisis Fourier ini bisa
ditemui hampir di semua bidang ilmu fisika (physical sciences).
Pada tahun 1822, Fourier yang saat itu bekerja pada bidang aliran panas membuat suatu
pernyataan bahwa tiap fungsi f (x) dengan periode 2 dapat dinyatakan dengan deret tak
hingga trigonometrik dalam bentuk
1 X
f (x) = a0 + (an cos nx + bn sin nx). (4.1)
2
n=1
Kita tahu bahwa, dengan sdikit batasan pada fungsi, hal ini adalah kasus yang kita tinjau.
Deret tak hingga dengan bentuk ini dinamakan sebagai deret Fourier. Deret ini pada awalnya
digunakan untuk solusi persamaan diferensial parsial dengan syarat batas maupun kondisi
awal. Selain tetap sebagai metode yang ampuh untuk persoalan seperti itu, kegunaannya
bukan hanya untuk menyelesaikan konduksi panas. Deret Fourier sekarang merupakan alat
yang esensial dalam analisis semua jenis gelombang, dari mulai pemrosesan sinyal sampai
dengan fisika kuantum.
Dalam membicarakan deret Fourier, kita memerlukan integral berikut. Jika m dan n adalah
bilangan bulat maka
Z
cos mx dx = 0, (4.2)
Z
sin mx dx = 0, (4.3)
Z
cos mx sin nx dx = 0, (4.4)
160 4. DERET FOURIER
Z
0 m 6= n
cos mx cos nx dx = m = n 6= 0 , (4.5)
2 m=n=0
m 6= n
Z 0
sin mx sin dx = . (4.6)
m=n
Dua buah integral pertama trivial, baik dengan pengintegralan langsung maupun dengan
menandai bahwa tiap fungsi trigonometrik yang diintegralkan satu periode akan bernilai
nol karena suku positif akan menghilangkan suku negatif. Sisa integralnya dapat dihitung
dengan rumus perkalian trigonometri kemuadian diintegralkan. Cara paling mudah adalah
menggunakan bentuk kompleks
sehingga semua perkalian dalam integral hasilnya nol. Dengan cara yang sama
eik2mx + 2 + ei2mx
Z
cos mx cos mx dx = dx
4
m 6= 0,
Z
1
= [1 + cos 2mx] dx =
2 2 m = 0.
dan jika n = m Z Z
1
sin mx sin mx dx = [1 cos 2mx] dx = .
2
Ini tidak lain adalah bukti (4.2)-(4.6).
Secara umum, jika dua buah anggota himpunan n , m dari himpunan fungsi {i } me-
menuhi kondisi Z b
n (x)m (x) dx = 0 jika n 6= m, (4.7)
a
maka n dan m disebut ortogonal, dan (4.7) dinamakan sebagai kondisi ortogonalitas dalam
selang antara a dan b. Himpunan {i } disebut himpunan ortogonal pada selang yang sama.
4.1. DERET FOURIER UNTUK FUNGSI BERPERIODE 2 161
1, cos x, sin x, cos 2x, sin 2x, cos 3x, sin 3x, . . . ,
f (x + 2) = f (x)
dan dinyatakan dengan deret Fourier dalam bentuk (4.1), koefisien an dan bn dapat dicari
dengan cara berikut.
Kalikan kedua ruas (4.1) dengan cos mx, dengan m bilangan bulat positif
1 X
f (x) cos mx = a0 cos mx + (an cos nx cos mx + bn sin nx cos mx).
2
n=1
Dari integral yang sudah kita bicarakan, semua suku yang berhubungan dengan bn hilang
dan yang berhubungan dengan an juga akan hilang kecuali untuk n = m, suku tersebut
diberikan oleh
Z
1
a0 dx = a0 m=0
Z
2Z
f (x) cos mx dx = .
am
cos2 mx dx = am m 6= 0
Hubungan ini mengijinkan kita untuk menghitung koefisien am sebarang yang diinginkan
termasuk a0 ketika fungsi f (x) diketahui.
Koefisien bm juga dapat dicari dengan cara yang sama. Ekspansi tersebut dikalikan
dengan sin mx dan diintegralkan suku per suku. Hubungan ortogonalitas memberikan
Z
f (x) sin mx dx = bm .
Karena m dapat berupa bilangan bulat sebarang, dari sini diperoleh am (termasuk a0 ) dan
bn diberikan oleh:
1
Z
an = f (x) cos nx dx, (4.8)
Z
1
bn = f (x) sin nx dx (4.9)
162 4. DERET FOURIER
Koefisien ini dikenal sebagai rumus Euler untuk koefisien Fourier, atau sederhananya koefisien
Fourier.
Esensinya, deret Fourier mendekomposisi fungsi periodik menjadi gelombang cosinus dan
sinus. Dari prosedur, kita dapat mengamati:
Sebelum kita membicarakan validitas deret Fourier, marilah kita menggunakan contoh ber-
ikut untuk menunjukkan kemungkinan merepresentasikan fungsi periodik berperiode 2 de-
ngan deret Fourier, dengan mengambil suku secukupnya.
Anggap kita ingin mengekspansikan fungsi gelombang persegi seperti pada Gambar 4.1,
menjadi deret Fourier Fungsi ini merupakan fungsi periodik berperiode 2, yang dapat dide-
finisikan sebagai
k, < x < 0
f (x) = , f (x + 2) = f (x).
k 0<x<
selalu menjadi sebuah ide yang bagus untuk menghitung a0 secara terpisah karena diberikan
oleh integral yang sederhana. Dalam kasus ini
1
Z
a0 = f (x)dx = 0
dapat dilihat tanpa integrasi, karena luas di bawah kurva f (x) antara sampai adalah
nol. Koefisien yang lain, diberikan oleh (4.8) dan (4.9). Untuk menghitung integral ini,
kita harus memisahkan masing-masing menjadi dua buah integral karena f (x) didefinisikan
berbeda dalam dua interval yaitu (, 0) dan (0, ). Dari (4.8)
1
Z Z 0 Z
1
an = f (x) cos nx dx = (k) cos nx dx + k cos nx dx
0
( )
sin nx 0 sin nx
1
= k + k = 0.
n n 0
Dari (4.9)
1
Z Z 0 Z
1
bn = f (x) sin nx dx = (k) sin nx dx + k sin nx dx
0
h
1 cos nx 0i h cos nx i 2k
= k + k = (1 cos nx)
n n 0 n
4k
2k jika n ganjil,
= (1 (1)n ) = n
n
0 jika n genap.
Dengan kata lain, SN adalah jumlah N suku pertama dari deret Fourier. S1 adalah suku
pertama (4k/) sin x, S2 adalah jumlah dua buah suku pertama (4k/)(sin x + (1/3) sin 3x)
dan lain sebagainya.
Dalam Gambar 4.2(a) tiga buah jumlah parsial pertama bisa dilihat di kolom kanan,
masing-masing suku terdapat pada kolom kiri. Terlihat jelas bahwa SN mendekati f (x) ketika
N membesar meskipun kontribusi masing-masing suku semakin kecil ketika n membesar.
164 4. DERET FOURIER
Dalam Gambar 4.2(b) terlihat hasil dari S8 . Dengan delapan buah suku, jumlah parsial
sudah mirip dengan fungsi gelombang persegi. Kita melihat pada titik diskontinu, x =
, x = 0 dan x = , semua jumlah parsial memiliki nilai nol, yang merupakan nilai rata-
rata fungsi dari k ke k. Perhatikan juga x mendekati diskontinuitas f (x) dari kedua sisi, nilai
SN (x) cenderung melebihi nilai f (x), dalam kasus ini k dan k. Ketika N naik, kelebihan
nilai (sekitar 9% dari diskontinuitas) didorong semakin mendekati titik diskontinuitas, dan
tidak akan hilang meskipun N menuju tak hingga. Perilaku deret Fourier dekat pada titik
diskontinu ini dikenal sebagai fenomena Gibbs.
dengan
1
Z
an = f (x) cos nx dx, n = 0, 1, 2, . . .
1
Z
bn = f (x) sin nx dx, n = 0, 1, 2, . . .
konvergen pada f (x) dengan f (x) kontinu, dan deret ini konvergen pada rata-rata limit kiri
dan kanan dari f (x) pada titik diskontinu.
Bukti dari teorema ini bisa dilihat pada G. P. Tolstov, Fourier Series, Dover, New York,
1976.
Sepanjang f (t) periodik, pemilihan batas integrasi simetrik (, ) tidaklah penting.
Selang 2 lain seperti (x0 , x0 + 2) juga akan memberikan hasil yang sama.
Kondisi konvergensi ini pertama kali dibuktikan oleh matematikawan berkebangsaan
Jerman P.G. Lejeune Dirichlet (1805-1859), sehingga dikenal sebagai kondisi Dirichlet. Kon-
disi ini hanya memaksa sedikit batasan pada fungsi. Selanjutnya hal ini hanyalah kondisi
(syarat) cukup. Kita juga tahu beberapa fungsi yang tidak memenuhi kondisi ini dapat direp-
resentasikan dalam deret Fourier. Kondisi minimum yang diperlukan untuk konvergensinya
tidak diketahui. Dalam kasus sebarang, kita dapat mengasumsikan bahwa setiap fungsi yang
kita pelajari dapat direpresentasikan dalam deret Fourier.
166 4. DERET FOURIER
Dibandingkan membuktikan teorema konvergensi, kita akan menggunakan fungsi delta untuk
mendemonstrasikan deret Fourier
1 X
S (x) = a0 + (an cos nx + bn sin nx)
2
n=1
Sekarang kita akan membuktikan bahwa D(x0 x) memiliki sifat-sifat ini. Pertama untuk
meyakinkan konvergensi, kita menuliskan deret cosinus sebagai
dengan limit 1 berarti mendekati 1 dari bawah, yang berarti mendekati satu, tetapi
selalu lebih kecil dari 1. Untuk menjumlahkan deret ini, akan lebih menguntungkan untuk
melihat D (x0 x) sebagai bagian riil deret kompleks
" !#
0 1 1 X n in(x0 x)
D (x x) = Re + e .
2
n=1
4.2. KONVERGENSI DERET FOURIER 167
Karena
1 i(x0 x) 0
i(x 0 x) = 1 + e + 2 ei2(x x) +
1 e
0
ei(x x) 0 0 0
= ei(x x) + 2 ei2(x x) + 3 ei3(x x) + ,
1 ei(x0 x)
jadi
0
1 X n in(x0 x) 1 ei(x x)
+ e = +
2 2 1 ei(x0 x)
n=1
0 0 0
1 + ei(x x) 1 + ei(x x) 1 ei(x x)
= 0 =
2(1 ei(x x) ) 2(1 ei(x0 x) ) 1 ei(x0 x)
0 0
1 2 + ei(x x) ei(x x) 1 2 + i2 sin(x0 x)
= 0 0
=
2 1 (ei(x x) + ei(x x) ) + 2 2 [1 2 cos(x0 x) + 2 ]
dengan substitusi x0 x =
dx0
Z I
d
= .
(1 + 2 ) 2 cos(x0 x) (1 + 2) 2 cos
sehingga
1 2 2
Z
D (x0 x)dx0 = = 1.
2 1 2
Hal ini adalah pembuktian kita bahwa D(x0 x) berperilaku seperti fungsi delta (x0 x).
Sehingga jika f (x) kontinu maka deret Fourier konvergen pada f (x)
Z
S (x) = f (x0 )D(x0 x)dx0 = f (x).
Anggap bahwa f (x) diskontinu pada beberapa titik x, sehingga f (x+ ) dan f (x ) adalah
nilai limit ketika kita mendekati dari kanan dan kiri. Sehingga dalam menghitung integral ter-
akhir, separuh D(x0 x) dikalikan dengan f (x+ ) dan separuhnya dengan f (x ), sebagaimana
gambar berikut
Sejauh ini perhatian kita terbatas pada fungsi dengan periode 2. Batasan ini dapat de-
ngan mudah kita rubah. Jika f (t) periodik berperiode 2L, kita dapat melakukan perubahan
variabel
L
t= x
dan misalkan
L
f (x) = f x F (x).
Dengan definisi ini
L L
f (t + 2L) = f x + 2L =f [x + 2] = F (x + 2).
4.3. DERET FOURIER FUNGSI BERPERIODE SEBARANG 169
f (t + 2L) = f (t)
dari sini
F (x + 2) = F (x).
dengan
1
Z
an = F (x) cos nxdx,
Z
1
bn = F (x) sin nxdx.
Karena x = L t, dan F (x) = f (t) maka (4.11) dapat dituliskan
1 X n n
f (t) = a0 + an cos t + bn sin t , (4.12)
2 L L
n=1
dan koefisiennya juga dapat kita nyatakan dalam integral terhadap t. Dengan merubah
variabel integrasi dari x menjadi t dan dx = dt, kita mempunyai
L
Z L
1 n
an = f (t) cos t dt, (4.13)
L L L
1 L
Z n
bn = f (t) sin t dt. (4.14)
L L L
Metode Kronecker
Dalam praktek, kita sering menjumpai f (t) memiliki bentuk tk , sin kt, cos kt atau ekt untuk
beberapa nilai bilangan bulat k. Sehingga kita harus mengintegralkan jenis
Z Z
k nt nt
t cos dt, sin kt cos dt.
L L
Integral ini dapat dihitung dengan integral parsial yang berulang. Pendekatan sistematik
berikut memudahkan pekerjaan kita dalam menghitung secara detil. Perhatikan integral
berikut Z
f (t)g(t) dt
dan misalkan Z
g(t) dt = dG(t), maka G(t) = g(t) dt.
170 4. DERET FOURIER
kita mempunyai
Z Z
0
f (t)g(t) dt = f (t)G(t) f (t)G1 (t) + f 00 (t)G1 (t) dt (4.15)
dan
" 2
Z b
k nt L k nt L nt
t sin dt = t cos + ktk1 sin
a L n L n L
3 # b
L k2 nt
+ k(k 1)t cos + . (4.18)
n L
a
4.3. DERET FOURIER FUNGSI BERPERIODE SEBARANG 171
Solusi 4.3.1.
1 X nt nt
f (t) = a0 + an cos + bn sin
2 L L
n=1
Z L
1
a0 = t dt = 0,
L L
" 2 #L
1 L
Z
nt 1 L nt L nt
an = t cos dt = t sin + cos = 0,
L L L L n L n L
L
1 L
Z
nt
bn = t sin dt
L L L
" 2 #L
1 L nt L nt 2L
= t cos + sin = cos n.
L n L n L n
L
172 4. DERET FOURIER
Gambar 4.3: Konvergensi deret Fourier sebuah fungsi periodik yang definisi satu periodenya f (t) = t, L <
t < L. N suku pertama aproksimasinya ditunjukkan sebagai SN .
Maka
2L X 1 nt 2L X (1)n+1 nt
f (t) = cos n sin = sin
n L n L
n=1 n=1
2L t 1 2t 1 3t
= sin sin + sin . (4.19)
L 2 L 3 L
Konvergensinya dapat dilihat pada Gambar 4.3 dengan SN adalah jumlah parsial yang dide-
finisikan sebagai
N
2L X (1)n+1 nt
SN = sin
n L
n=1
Perhatikan bahwa akurasi meningkat seiring banyaknya suku yang dilibatkan. Dengan tiga
buah suku, S3 sudah menyerupai fungsi. Kecuali untuk fenomena Gibbs, aproksimasi yang
baik diperoleh untuk S9 .
Gambar 4.4: Konvergensi deret Fourier sebuah fungsi periodik yang definisi satu periodenya f (t) = t2 , L <
t < L. Jumlah parsial S3 sudah merupakan aproksimasi yang baik.
Z L
1 nt
an = t2 cos
dt, n 6= 0
L L L
" 2 3 #L
1 L 2 nt L nt L nt
= t sin + 2t cos 2 sin
L n L n L n L
L
2L 4L2
= [L cos n + L cos(n)] = 2 2 (1)n ,
(n)2 n
dan Z L
1 nt
bn = t2 sin dt = 0.
L L L
Sehingga ekspansi Fouriernya
L2 4L2 X (1)n nt
f (t) = + 2 cos
3 n2 L
n=1
L2 4L2
1 2 1 3
= 2 cos t cos t + cos t + . (4.20)
3 L 4 L 9 L
N
L2 4L2 X (1)n nt
SN = + 2 cos ,
3 n2 L
n=1
Gambar 4.5: Fungsi periodik (4.21) ditunjukkan bersama dengan jumlah parsial S5 dari deret Fourier.
Fungsinya ditunjukkan dengan garis penuh dan S5 sebagai garis lingkaran kecil.
Contoh 4.3.3. Carilah deret Fourier fungsi periodik yang definisinya dalam satu periode
0 1 < t < 0
f (t) = , f (t + 2) = f (t) (4.21)
t 0<t<1
Solusi 4.3.3. Periodesitas 2L fungsi ini adalah 2, sehingga L = 1, dan deret Fouriernya
diberikan oleh
1 X
f (x) = a0 + [an cos(nt) + bn sin(nt)]
2
n=1
dengan
Z 1 Z 1
1
a0 = t dt = ,
f (t) dt =
1 0 2
Z 1 Z 1
an = f (t) cos(nt) dt = t cos(nt) dt,
1 0
Z 1 Z 1
bn = f (t) sin(nt) dt = t sin(nt) dt.
1 0
Pada Gambar 4.5 fungsi ini diaproksimasi dengan S5 yang diberikan oleh
1 2 2 2
S5 = 2 cos t 2 cos 3t cos 5t
4 9 25 2
1 1 1 1 1
+ sin t sin 2t + sin 3t sin 4t + sin 5t.
2 3 4 5
4.3. DERET FOURIER FUNGSI BERPERIODE SEBARANG 175
Konvergensi deret ini tidak begitu cepat, tetapi jelas dengan jumlah suku yang cukup, deret
Fourier memberikan representasi akurat dari fungsi ini.
f (t) = f (t),
sehingga deret Fouriernya hanya mengandung suku cosinus saja. Hal ini bisa kita lihat
sebagai berikut. Koefisien bn dapat dituliskan sebagai
1 0 1 L
Z n Z n
bn = f (s) sin s ds + f (t) sin t dt. (4.22)
L L L L 0 L
Jika kita merubah variabel dan memisalkan s = t, integral pertama pada ruas kanan men-
jadi
0
1 0
Z Z
1 n n
f (s) sin s ds = f (t) sin t d(t)
L L L L L L
Z 0
1 n
= f (t) sin t dt,
L L L
yang merupakan negatif dari integral kedua ruas kanan dari (4.22). Sehingga bn = 0 untuk
semua n.
Dengan cara yang sama dan cos(x) = cos(x), kita memperoleh:
0
1 L
Z Z
1 n n
an = f (s) cos s ds + f (t) cos t dt
L L L L 0 L
1 0 1 L
Z n Z n
= f (t) cos d(t) + f (t) cos t dt
L L L L 0 L
1 0 1 L
Z n Z n
= f (t) cos t dt + f (t) cos t dt
L L L L 0 L
2 L
Z n
= f (t) cos t dt. (4.23)
L 0 L
Maka Z L Z L
1 0 0
X 2 0
n
0 0 n
f (t) = f (t ) dt + f (t ) cos t dt cos t. (4.24)
L 0 L 0 L L
n=1
f (t) = f (t),
176 4. DERET FOURIER
maka
Z L
X 2 0
n
0 0 n
f (t) = f (t ) sin t dt sin t. (4.25)
L 0 L L
n=1
Dalam contoh sebelumnya, fungsi periodik pada Gambar 4.3 adalah fungsi ganjil, maka
ekspansi Fouriernya adalah deret sinus. Pada Gambar 4.4 fungsinya adalah fungsi genap,
sehingga ekspansinya adalah deret cosinus. Pada Gambar 4.5, fungsinya tidak memiliki
simetri, sehingga ekspansinya mengandung suku sinus dan cosinus.
Contoh 4.3.4. Carilah deret Fourier fungsi yang ditunjukkan pada Gambar 4.6. Solusi
4.3.4. Fungsi pada Gambar 4.6 dapat dinyatakan sebagai
0
jika 2 < t < 1
f (t) = 2k jika 1 < t < 1 , f (t) = f (t + 4).
0 jika 1 < t < 2
Periode fungsi 2L sama dengan 4 sehingga L = 2. Selanjutnya fungsinya adalah fungsi genap,
maka deret Fouriernya adalah deret cosinus, semua koefisien untuk suku sinus nilainya nol
bn = 0.
Sekarang kita bandingkan Gambar 4.6 dengan Gambar 4.1. Gambar 4.6 merepresentasik-
an fungsi genap yang ekspansi Fouriernya adalah deret cosinus, sedangkan pada Gambar 4.1
adalah fungsi ganjil yang ekspansi Fouriernya adalah deret sinus. Jelas keduanya memiliki
hubungan. Dua buah gambar tersebut dapat kita buat bersinggungan jika (a) kita menggeser
sumbuy pada Gambar 4.6 satu satuan ke kiri (dari t = 0 ke t = 1), (b) kita mengganti
variabel sehingga periodisitas berubah dari 4 menjadi 2, (c) geser 4.6 ke bawah sebesar k.
Perubahan deret Fouriernya karena operasi tersebut adalah sebagai berikut. Pertama,
misalkan t0 = t + 1, sehingga t = t0 1 pada (4.26)
4k 0 1 3 0 1 5 0
f (t) = k + cos (t 1) cos (t 1) + cos (t 1) .
2 3 2 5 2
Karena
n 0 n n sin n t0 n = 1, 5, 9, . . .
cos (t 1) = cos t0 = 2
n 0 ,
2 2 2 sin
t n = 3, 7, 11, . . .
2
f (t) jika dinyatakan dalam t0 menjadi
4 0 1 3 0 1 5 0
f (t) = k + sin t + sin t + sin t = g(t0 ).
2 3 2 5 2
Ekspresi ini kita nyatakan dengan g(t0 ), dan masih memiliki periode sebesar 4. Sekarang kita
rubah variabel t0 = 2x/ sehingga fungsi yang dinyatakan dalam x memiliki periode 2
0 4k 2x 1 3 2x 1 5 2x
g(t ) = k + sin + sin + sin
2 3 2 5 2
4k 1 1
=k+ sin x + sin 3x + sin 5x = h(x).
3 5
Ini tidak lain adalah deret Foureier (4.10) untuk fungsi ganjil pada Gambar 4.1.
Sejauh ini kita hanya memperhatikan fungsi periodik dari ke . Dalam aplikasi fisis,
kita biasanya hanya tertarik pada nilai fungsi untuk selang yang terbatas. Dalam selang
tersebut fungsi mungkin tidak periodik. Sebagai contoh, yaitu ketika kita mempelajari tali
dengan kedua ujung tetap. Tidak terdapat kondisi periodik pada kasus fisis yang ditinjau,
tetapi juga tidak terdapat hal menarik untuk fungsi di luar panjang tali. Analisis Fourier
tetap dapat digunakan untuk persoalan ini, karena kita masih bisa meneruskan fungsinya di
luar selang yang diinginkan untuk membuatnya periodik.
178 4. DERET FOURIER
Gambar 4.7: Ekstensi sebuah fungsi. (a) Fungsi hanya terdefinisi antara 0 dengan L. (b) Ekstensi simetrik
memberikan fungsi genap berperiode 2L. (c) Ekstensi antisimetrik memberikan fungsi ganjil berperiode 2L
Anggap bahwa selang yang kita tinjau dari sebuah fungsi f (t) yang ditunjukkan pada
Gambar 4.7(a) adalah dari 0 sampai L. Kita dapat memperluas selangnya dari L sampai
0 dengan cara yang kita sukai. Jika kita memperluasnya secara simetrik seperti pada bagian
(b), sehingga pada semua garis riil, kondisi periodik f (t + 2L) = f (t), sebuah deret Fourier
hanya dengan suku cosinus dapat ditemukan untuk fungsi genap. Perluasan seperti bagaian
(c) memungkinkan kita mencari deret Fourier untuk fungsi ganjil. Dua buah deret tersebut
akan konvergen pada f (t) dalam interval 0 sampai L. Ekspansi (perluasan) deret seperti ini
dinamakan ekspansi setengah selang (half-range expansion). Untuk lebih jelasnya kita lihat
contoh berikut.
Contoh 4.4.1. Fungsi f (t) hanya terdefinisi pada 0 < t < 1 yaitu
f (t) = t t2 .
dengan
Z 1
1
a0 = 2 (t t2 ) dt = ,
0 3
Z 1
an = 2 (t t2 ) cos nt dt, n 6= 0.
0
4.4. DERET FOURIER FUNGSI NONPERIODIK PADA SELANG TERBATAS 179
Gambar 4.8: Konvergensi deret setengah-selang. Fungsi f (t) = t t2 diberikan antara 0 dan 1. Baik cosinus
maupun sinus sama-sama konvergen pada fungsi dalam selang ini. Tetapi di luar ini, deret cosinus konvergen
pada fungsi genap seperti pada (a) dan deret sinus konvergen pada fungsi ganjil seperti pada (b). S2genap dan
S6genap adalah aproksimasi dua dan empat suku dari deret cosinus. S1ganjil dan S3ganjil adalah aproksimasi satu
dan dua suku dari deret sinus.
sehingga
Z 1 2
2 1
an = 2 (t t ) cos nt dt = 2 (cos n + 1).
0 n
genap
Dengan koefisien-koefisien ini, ekspansi Fourier setengah selang cosinus diberikan oleh S ,
dengan
N
genap 1 2 X (cos n + 1)
SN = 2 cos nt
6 n2
n=1
1 1 1 1
= 2 cos 2t + cos 4t + cos 6t + .
6 4 9
(b) Ekspansi setengah selang sinus diberikan dengan membentuk ekstensi antisimetrik.
180 4. DERET FOURIER
dengan Z 1
bn = 2 (t t2 ) sin nt dt.
0
Sekarang
" 2 #1
Z 1
1 1 1
t sin nt dt = t cos nt + sin nt = cos n
0 n n n
0
Z 1 " 2 3 #1
2 1 2 1 1
t sin nt dt = t cos nt + 2t sin nt + 2 cos nt
0 n n n
0
3 3
1 1 1
= cos n + 2 cos n 2 ,
n n n
sehingga
Z 1 3
2 1
bn = 2 (t t ) sin nt dt = 4 (1 cos n).
0 n
ganjil
Maka ekspansi setengah selang sinusnya diberikan oleh S , dengan
N
ganjil 4 X (1 cos n)
S = 3 sin nt
n3
n=1
8 1 1
= 3 sin t + sin 3t + sin 5t +
27 125
Konvergensi deret ini ditunjukkan pada Gambar 4.8(b).
Terlihat bahwa baik deret cosinus maupun sinus konvergen pada t t2 antara 0 dan
1. Di luar ini, deret cosinus konvergen pada fungsi genap dan deret sinus konvergen pada
fungsi ganjil. Laju konvergensinya juga berbeda. Untuk deret sinus, hanya dengan satu
suku S1ganjil sudah sangat dekat dengan f (t). Hanya dengan dua suku S3ganjil (tiga suku
jika kita memasukkan n = 2 yang nilainya nol), sudah tidak bisa dibedakan dengan f (t)
pada selang yang kita perhatikan. Konvergensi deret cosinus dalam (a) jauh lebih lambat.
Meskipun aproksimasi S6genap lebih dekat dengan f (t) dibandingkan dengan aproksimasi dua
suku S2genap , perbedaan antara S
genap
dengan f (t) masih terlihat dengan jelas.
Hal ini adalah kasus umum jika kita membuat ekstensi halus, hasilnya adalah lebih akurat
untuk jumlah suku tertentu.
Contoh 4.4.2. Sebuah fungsi f (t) terdefinisi hanya pada selang 0 t 2 yaitu f (t) = t.
Carilah deret Fourier yang hanya memeiliki suku sinus untuk fungsi ini.
Solusi 4.4.2. Kita dapat memperoleh ekspansi setengah-selang sinus dengan memperluas
fungsi asimetrik. Fungsi seperti itu dideskripsikan sebagai
Tetapi deret ini tidak konvergen pada 2, nilai fungsi dari t = 2, melainkan konvergen pada
0,, nilai rata-rata limit kanan dan kiri fungsi pada t = 2, seperti pada Gambar 4.3.
Kita bisa memperoleh deret sinus yang konvergen pada nilai yang benar pada titik akhir,
jika kita memperhatikan deret
t untuk 0<t2
f (t) =
4 t untuk 2 < t 4.
Sebuah ekstensi antisimetrik dari fungsi ini memberikan fungsi ganjil dengan periodisitas 8
(2L = 8, L = 4). Ekspansi Fourier dari fungsi ini adalah deret sinus
X nt
f (t) = bn sin
4
n=1
dengan
2 4
Z
nt
bn = f (t) sin dt
4 0 4
2 2 2 4
Z Z
nt nt
= t sin dt + (4 t) sin dt
4 0 4 4 2 4
Dengan menggunakan metode Kronecker, kita memiliki
" 2 #2
nt 4
1 1 nt 4 nt 4
bn = t cos + sin +2 cos
2 4 4 n 4 n 4 2
0
" 2 # 4
1 4 nt 4 nt
t cos + sin
2 n 4 n 4
2
2
4 n
= sin .
n 2
Sehingga
4 2
X n nt
f (t) = sin sin
n 2 4
n=1
16 t 1 3t 1 5t
= 2 sin sin + sin (4.27)
4 9 4 25 4
Pada 0 t 2, deret sinus tersebut konvergen pada f (t) = t. Di luar selang ini,
deret tersebut konvergen pada fungsi ganjil periodik ditunjukkan Gambar 4.9. Deret ini jauh
lebih cepat konvergennya dibandingkan (4.19). Suku pertama (garis putus-putus), sudah
memberikan aproksimasi yang cukup baik. Perbedaan antara aproksimasi tiga buah suku
sudah sangat sulit dibedakan.
182 4. DERET FOURIER
Gambar 4.9: Deret Fourier sebuah fungsi yang terdefinisi pada selang terbatas. Pada 0 t 2 deret
tersebut konvergen pada f (t) = t. Di luar selang ini, deret tersebut konvergen pada fungsi ganjil periodik
dengan periode 8.
Seperti yang sudah kita lihat, sebuah fungsi yang hanya terdefinisi pada selang terbatas,
terdapat kemungkinan untuk memiliki beberapa deret Fourier yang berbeda. Deret tersebut
semuanya konvergen pada selang yang diberikan, meskipun dengan laju konvergensi yang
bisa berbeda. Untungnya dalam aplikasinya, deret yang harus kita gunakan sudah ditentukan
otomatis oleh syarat batas.
Dari contoh-contoh yang sudah kita temui, kita bisa melakukan pengamatan sebag beri-
kut:
Jika fungsinya diskontinu pada beberapa titik, koefisien Fouriernya berkurang dengan
1/n.
Jika fungsinya kontinu, tetapi turunan pertamanya diskontinu pada beberapa titik,
koefisien Fouriernya berkurang dengan 1/n2 .
Jika fungsi dan turunan pertamanya kontinu, koefisien Fouriernya berkurang dengan
1/n3 .
Meskipun komentar ini berdasarkan pada contoh yang sedikit, komentar ini secara umum
valid. Sangat berguna untuk mengingatnya ketika kita menghitung koefisien Fourier.
Deret Fourier
1 X n n
f (x) = a0 + an cos t + bn sin t
2 p p
n=1
n 1 i( n )t i( n )t
cos t= e p +e p ,
p 2
n 1 i( n )t i( n )t
sin t= e p e p
p 2i
4.5. DERET FOURIER KOMPLEKS 183
maka
1 X 1 1 i( n )t 1 1 i( n )t
f (t) = a0 + an + bn e p + an bn e p .
2 2 2i 2 2i
n=1
1 1
cn = an bn
2 Z 2i
11 p 11 p
Z
n n
= f (t) cos t dt f (t) sin t dt
2 p p p 2i p p p
Z p
1
= f (t)ei(n/p)t dt
2p p
dan Z p
1 11
c0 = a0 = f (t) dt,
2 2p p
dengan Z p
1 t
cn = f (t)ei(n/p) dt (4.29)
2p p
Sekarang deret Fourier muncul dalam bentuk kompleks. Jika f (t) adalah fungsi kompleks
dari variabel riil t, maka deret Fourier kompleks merupakan sesuatu yang alami. Jika f (t)
sebuah fungsi riil, maka kita tetap dapat menyatakannya dalam deret kompleks (4.28). Dalam
kasus ini cn adalah kompleks konjugat dari cn (cn = cn ).
Karena
1 1
cn = (an ibn ), cn = (an + ibn ),
2 2
maka
an = cn + cn , bn = i(cn cn ).
Sehingga apabila f (t) fungsi genap, maka cn = cn . Jika f (t) fungsi ganjil maka cn = cn .
184 4. DERET FOURIER
Solusi 4.5.1. Karena periodenya adalah 2, sehingga p = dan deret Fourier kompleksnya
adalah
X
f (t) = cn eint ,
n=
dengan
Z
1 1
c0 = dt =
2 0 2
1 ein 0, n = genap,
Z
1
cn = eint dt = =
2 0 2ni 1 , n = ganjil.
ni
Maka deret kompleksnya adalah
1 1 1 i3t it it 1 i3t
f (t) = + e e + e + e + .
2 i 3 3
Jelas bahwa
1 1
cn = = = cn
(n)i n(i)
seperti yang sudah kita duga, karena f (t) riil. Selanjutnya, karena
1 1
an = cn + cn = + =0
ni (n)i
1 1 2
bn = i(cn cn ) = i =
ni (n)i n
Solusi 4.5.2. Fungsi periodik ini berperiode 2. Kita dapat menyatakannya sebagai deret
Fourier
1 X
f (t) = a0 + (an cos nt + bn sin nt).
2
n=1
4.6. METODE LOMPATAN 185
Tetapi koefisien Fourier kompleksnya lebih mudah dihitung, sehingga pertama kita nyatakan
dalam deret Fourier kompleks
X
f (t) = cn eint
n=
dengan
Z
1 t int 1 1 (1in)t
cn = ee dt = e .
2 2 1 in
Karena
sehingga
(1)n (1)n 1 + in
cn = (e e ) = sinh .
2(1 in) 1 + n2
Sekarang
(1)n 2
an = cn + cn = sinh ,
1 + n2
(1)n 2n
bn = i(cn cn ) = sinh
1 + n2
Sehingga deret Fouriernya diberikan oleh
sinh 2 sinh X (1)n
ex = + (cos nt n sin nt).
1 + n2
n=1
Ji = f (t+
i ) f (ti ).
Gambar 4.10: Satu periode sebuah fungsi kontinu sebagian f (t) berperiode 2p.
J0 = f (t+ +
0 ) 0 = f (t0 )
JN = 0 f (t
N ) = f (tN ).
Lompatan ini digambarkan dengan tanda panah pada Gambar 4.10. Ji akan positif jika
lompatan pada ti ke atas dan akan negatif jika lompatannya ke bawah. Perhatikan bahwa
pada t0 lompatannya adalah dari nol ke f (t+ +
0 ), dan pada tN lompatannya adalah f (tN ) ke
nol.
Sekarang kita akan menunjukkan bahwa koefisien deret Fouriernya dapat dinyatakan de-
ngan suku lompatan ini.
Koefisien deret Fourier kompleks (4.29) diberikan oleh
Z p
1
cn = f (t)ei(n/p)t dt.
2p p
1
Sehingga cn = 2p In [f (t)] Karena
d h p i p df (t) i(n/p)t
f (t)ei(n/p)t = e + f (t)ei(n/p)t ,
dt in in dt
sehingga
h p i p i(n/p)t
f (t)ei(n/p)t dt = d f (t)ei(n/p)t + e df (t)
in in
dari sini diperoleh
Z p h Z p
p i(n/p)t
i p
In [f (t)] = d f (t)e + ei(n/p)t df (t).
p in in p
4.6. METODE LOMPATAN 187
Perhatikan bahwa
Z p Z p
i(n/p)t df (t)
ei(n/p)t dt = In f 0 (t) ,
e df (t) =
p p dt
dan
"Z Z tN #
Z p t1 Z t2
p h i p
d f (t)ei(n/p)t = + + +
p in in t0 t1 tN 1
h i
d f (t)ei(n/p)t .
Karena
Z t1 h i
d f (t)ei(n/p)t = f (t
1 )e
i(n/p)t1
f (t+
0 )e
i(n/p)t0
t0
Z t2 h i
d f (t)ei(n/p)t = f (t
2 )e
i(n/p)t2
f (t+
1 )e
i(n/p)t1
t1
Z tN h i
d f (t)e i(n/p)t
= f (t
N )e
i(n/i)tN
f (t+
N )e
i(n/p)tN 1
,
tN 1
kita mempunyai
Z p
h p
i(n/p)t
i p i(n/p)t0
d f (t)e = f (t+
0 )e
p in in
p +
f (t1 ) f (t
i(n/p)t1
+ 1) e
in
k=N
p p X
+ f (t )e i(n/p)tN
= Jk ei(n/p)tk .
in N in
k=0
Sehingga
k=N
p X p
Jk ei(n/p)tk + In f 0 (t) .
In [f (t)] =
in in
k=0
Jelas In [f 0 (t)] dapat dihitung dengan cara yang sama In [f (t)]. Rumus ini dapat digunakan se-
cara iteratif untuk mencari koefisien Fourier cn untuk nilai n tak nol, karena cn = In [f (t)] /2p.
Bersama dengan c0 yang diberikan oleh integral sederhana, koefisien-koefisien ini menentukan
deret Fourier. Untuk kebanyakan fungsi yang sering ditemui, deret Fouriernya dapat dengan
sederhana didapatkan dari lompatan pada titik-titik diskontinu. Contoh berikut mengilus-
trasikan bagaimana hal ini dapat dilakukan dengan cepat dengan sketsa grafik beserta turu-
nannya.
Contoh 4.6.1. Gunakan metode lompatan untuk mencari deret Fourier fungsi periodik f (t),
salah satu periodenya terdefinisi pada selang < t < sebagai
k untuk < t < 0
f (t) =
k untuk 0 < t <
Periode fungsi ini adalah 2, sehingga p = . Jelas bahwa semua turunan fungsi ini adalah
nol, sehingga kita memiliki
2
1 1 X
cn = In [f (t)] = Jk ei(n/p)tk , n 6= 0,
2 i2n
k=0
dengan
t0 = , t1 = 0, t2 =
dan
J0 = k, J1 = 2k, J2 = k.
Karena
1
kein + 2k kein
cn =
i2n
k 0 n = genap
= [2 2 cos(n)] = 2k .
i2n n = ganjil
in
Dari sini
an = cn + cn = 0
0 n = genap
bn = i (cn + cn ) = 4k .
n = ganjil
n
Selanjutnya Z
1
c0 = f (t) dt = 0,
2
maka deret Fouriernya diberikan oleh
4k 1 1
f (t) = sin t + sin 3t + sin 5t + .
3 5
Contoh 4.6.2. Gunakan metode lompatan untuk mencari deret Fourier fungsi berikut
0, < t < 0
f (t) = , f (t + 2) = f (t).
t, 0<t<
4.6. METODE LOMPATAN 189
turunan yang lebih tinggi nilainya nol. Gambar f (t) dan f 0 (t) adalah sebagai berikut
Jika periodisitas sebuah fungsi periodik f (t) adalah 2p, teorema Parseval menyatakan:
Z p
1 1 1X 2
[f (t)]2 dt = a20 + (an + b2n ),
2p p 4 2
n=1
dengan an dan bn adalah koefisien Fourier. Teorema ini dapat dibuktikan dengan menyatakan
f (t) sebagai deret Fourier
1 X nt nt
f (t) = a0 + an cos + bn sin
2 p p
n=1
Karena Z p Z p
1 i((n)/p)t 1
cn = f (t)e = f (t)ei(n/p)t dt,
2p p 2p p
diperoleh
Z p
1 2
X X
[f (t)] dt = cn cn = c20 cn cn .
2p p n= n=1
Sehingga
Z p 2
1 2
X 1 1X 2
[f (t)] dt = c20 +2 cn cn = a0 + (an + b2n ).
2p p 2 2
n=1 n=1
Teorema ini memiliki interpretasi penting dan menarik. Kita telah belajar bahwa energi
yang dibawa gelombang proporsional dengan kuadrat amplitudonya. Untuk gelombang yang
Rp
dinyatakan dengan f (t), energi dalam satu periode akan sebanding dengan p [f (t)2 ]. Karena
an cos(nt/p) juga merepresentasikan gelombang, maka energi gelombang cosinus murni ini
sebanding dengan
p
n 2
Z Z p
nt
an cos t dt = a2n cos2 dt = pa2n
p p p p
Hal ini juga mengatakan bahwa energi total dalam gelombang hanyalah jumlah total energi
dalam komponen Fouriernya. Untuk alasan ini teorema Parseval juga dikatakan sebagai
teorema energi.
Aplikasi menarik dari deret Fourier yaitu kegunaannya untuk menjumlahkan deret pangkat
bolak-balik. Sebagai contoh, deret Fourier sebuah gelombang persegi
k < x < 0
f (t) = , f (x + 2) = f (x).
k 0<x<
diberikan oleh
4k 1 1
f (x) = sin x + sin 3x + sin 5x + .
3 5
Pada x = /2, kita memiliki
4k 1 1 1
f =k= 1 + + .
2 3 5 7
maka
X (1)n+1
1 1 1
= 1 + + = .
4 3 5 7 2n 1
n=1
Hasil ini pertama kali ditemukan oleh Leibniz pada tahun 1673 secara geometrik. Hasil ini
menjadi terkenal karena menjadi deret pertama yang ditemukan melibatkan .
192 4. DERET FOURIER
Teorema Parseval juga dapat digunakan untuk memberikan hasil tambahan. Dalam per-
soalan ini 4k
n = ganjil
[f (t)]2 = k 2 , an = 0, bn = n
0 n = genap
Z 2
1 2 1X 2 1 2 4k 1 1
[f (t)] dt = k = bn = 1 + 2 + 2 + .
2 2 2 3 5
n=1
Dalam contoh berikut, kita akan menunjukkan penjumlahan seperti itu dengan deret
Fourier.
Contoh 4.7.1. Gunakan deret Fourier untuk fungsi yang definisinya adalah
untuk menunjukkan
X (1)n+1 2 X 1 2
(a) = , (b) =
n2 12 n2 6
n=1 n=1
X (1)n+1 3 X 1 4
(c) = , (d) =
(2n 1)3 32 n4 90
n=1 n=1
Solusi 4.7.1. Deret Fourier fungsi ini diberikan oleh (4.20) dengan L = 1
2 1 4 X (1)n
x = + 2 cos nx.
3 n2
n=1
x2 = 0, cos nx = 1.
Maka
1 4 X (1)n
0= + 2
3 n2
n=1
atau
4 X (1)n 1
2 = .
n2 3
n=1
Kita memperoleh
1 1 1 2
1 + + = .
22 32 42 12
4.7. SIFAT-SIFAT DERET FOURIER 193
kita memiliki 3
4 X (1)n 1
1 1 1 1 n
= + 2 sin
3 2 3 2 n2 n 2
n=1
atau
1 4 X (1)n n
= 3 3
sin .
8 n 2
n=1
Karena
0 n = genap,
n
sin = 1 n = 1, 5, 9, . . . ,
2
1 n = 3, 7, 11, . . .
Maka
1 1 8 X 1
= + 4 .
5 9 n4
n=1
Kita memiliki
4 X 1
= .
90 n4
n=1
Deret terakhir ini sangat penting dalam teori radiasi benda hitam, yang krusial dalam per-
kembangan teori kuantum.
194 4. DERET FOURIER
Jika deret Fourier diintegralkan suku per suku, maka kita akan menemukan faktor 1/n pada
deret tersebut. Hal ini berefek pada percepatan konvergensi. Sehingga kita berharap deret
dari hasil integrasi suku per suku akan konvergen dengan integral dari f (x). Sebagai contoh,
kita telah menunjukkan deret Fourier fungsi ganjil f (t) = t berperiode 2L diberikan oleh
2L X (1)n+1 n
t= sin t.
n L
n=1
Kita mengharapkan integrasi suku per suku ruas kanan persamaan ini konvergen pada integral
dari t. Yaitu
t t
2L X (1)n+1
Z Z
n
x dx = sin x dx
0 n 0 L
n=1
Hasil integrasi ini adalah
1 2 2L X (1)n+1 n t
L
t = cos x
2 n n L 0
n=1
atau
4L2 X (1)n+1 4L2 X (1)n+1 n
t2 = 2 2
2 2
cos t.
n n L
n=1 n=1
Karena
X (1)n+1 2
= ,
n2 12
n=1
kita memiliki
L2 4L2 X (1)n n
t2 = + 2 cos t
3 n2 L
n=1
Hal ini tidak lain adalah deret Fourier konvergen pada t2 berperiode 2L seperti pada (4.20).
Contoh 4.7.2. Carilah deret Fourier fungsi yang definisi dalam satu periodenya adalah
Solusi 4.7.2. Dengan mengintegralkan deret Fourier untuk t2 pada selang tersebut suku per
suku diperoleh
Z "
#
L2 4L2 X (1)n
Z
n
t2 dt = + 2 cos t dt,
3 n2 L
n=1
kita mendapatkan
1 3 L2 4L2 X (1)n L n
t = t+ 2 2
sin t + C.
3 3 n n L
n=1
Kita dapat mencari konstanta integrasi C pada integral tersebut dengan melihat nilai kedua
ruas pada t = 0, diperoleh C = 0. Selanjutnya karena pada selang L < t < L
2L X (1)n+1 n
t= sin t,
n L
n=1
4.7. SIFAT-SIFAT DERET FOURIER 195
Dalam menurunkan deret Fourier suku per suku, kita harus lebih berhati-hati. Turunan suku
per suku akan menyebabkan koefisien an dan bn dikalikan dengan faktor n. Karena n naik
linier, deret hasilnya bisa tidak konvergen. Ambil contoh
2L X (1)n+1 n
t= sin t.
n L
n=1
Persamaan ini valid pada L < t < L, seperti pada (4.19). Turunan dari t jelas sama dengan
1. Tetapi turunan suku per suku deret Fourier ruas kanan
" #
d 2L X (1)n+1 n X n
sin t =2 (1)n+1 cos t.
dt n L L
n=1 n=1
bahkan tidak konvergen.
Untuk melihat di bawah kondisi apa deret Fourier dari sebuah fungsi f (t)
1 X n n
f (t) = a0 + an cos t + bn sin t
2 L L
n=1
dapat diturunkan suku per suku, pertama kita mengasumsikan f (t) kontinu pada selang
L < t < L dan turunan fungsi f 0 (t) dapat diekspansikan dalam deret Fourier yang lain
1 X n n
f 0 (t) = a00 + a0n cos t + b0n sin t .
2 L L
n=1
dengan a0n dan b0n diberikan pada (4.30) dan (4.31) identik dengan yang diberikan (4.32). Kita
menyebut (4.33) kondisi kepala sama dengan ekor. Ketika kondisi ini terpenuhi, turunan
suku per suku deret Fourier sebuah fungsi akan konvergen dengan turunan fungsi. Perhatikan
bahwa jika fungsi periodik f (t) kontinu di semua tempat, kondisi ini otomatis terpenuhi.
Sekarang jelas mengapa (4.19) tidak dapat diturunkan suku per suku. Untuk fungsi ini
f (L) = L 6= L = f (L)
kondisi kepala sama dengan ekortidak terpenuhi. Dalam contoh berikut, fungsinya meme-
nuhi kondisi ini, sehingga turunan deretnya diberikan oleh turunan suku per suku.
Contoh 4.7.3. Deret Fourier t2 pada selang L < t < L diberikan oleh (4.20)
L2 4L2 X (1)n n
+ 2 2
cos t = t2
3 n L
n=1
Deret ini memenuhi kepala sama dengan ekor, seperti ditunjukkan pada Gambar 4.4. Tun-
jukkan bahwa turunan suku per sukunya sama dengan 2t.
Solusi 4.7.3.
" #
d L2 4L2 X (1)n n 4L2 X (1)n d n
+ 2 cos t = cos t
dt 3 n2 L 2 n2 dt L
n=1 n=1
4L X (1)n+1 n
= sin t
n L
n=1
yang merupakan deret Fourier 2t dalam selang yang diinginkan seperti pada (4.19)
d2 x
+ 4x = 4t,
dt2
x(0) = 0, x(1) = 0.
Kita ingin mencari solusi antara t = 0 dan t = 1. Sebelumnya kita telah mempelajari bahwa
solusi umum dari persamaan ini adalah jumlah dari fungsi pelengkap xc dengan solusi khusus
xp . Solusinya yaitu
x = xc + xp ,
dt2 xc
+ 4xc = 0,
dt2
dengan dua buah konsatanta sebarang, dan xp adalah solusi khusus dari
d2 xp
+ 4xp = 4t,
dt2
tanpa konstanta sebarang. Solusi dari kasus ini
x(0) = A = 0
x(1) = A cos 2 + B sin 2 + 1 = 0.
Sehingga
1
A = 0, B= .
sin 2
Sehingga solusi eksak yang memenuhi syarat batas adalah
1
x(t) = t sin 2t.
sin 2
Fungsi ini dalam selang 0 t 1 dapat diekspansikan dalam deret Fourier sinus setengah
selang
X
x(t) = bn sin nt,
n=1
dengan Z 1
1
bn = 2 t sin 2t sin nt dt.
0 sin 2
198 4. DERET FOURIER
Sekarang kita harus menunjukkan bahwa hasil ini bisa didapatkan langsung dari metode
deret Fourier berikut. Pertama kita ekspansikan solusinya, apapun itu, pada deret Fourier
sinus setengah selang
X
x(t) = bn sin nt.
n=1
Prosedur ini valid karena kita tidak peduli dengan solusinya, kita selalu bisa memperluasnya
antisimetrik pada selang 1 < t < 0 dan kemudian pada semua garis riil dengan syarat
periodik x(t + 2) = x(t). Deret Fourier yang merepresentasikan fungsi ganjil ini dengan
periode 2 diberikan di atas. Fungsi ini kontinu di tiap tempat, sehingga dapat diturunkan
suku per suku. Lebih dari itu, syarat batas x(0) = 0 dan x(1) = 1 secara otomatis dipenuhi
deret ini.
Jika kita masukkan deret ini pada persamaan diferensial
X
(n)2 + 4 bn sin nt = 4t.
n=1
Persamaan ini dapat dianggap sebagai fungsi 4t yang dinyatakan dalam deret Fourier sinus.
Koefisien (n)2 + 4 bn diberikan oleh
Z 1
2
(1)n+1
(n) + 4 bn = 2 4t sin nt dt = 8 .
0 n
Diperoleh
8(1)n+1
bn =
n [4 (n)2 ]
4.8. DERET FOURIER DAN PERSAMAAN DIFERENSIAL 199
yang identik dengan (4.34). Sehingga kita bisa memperoleh hasil yang persis sama dengan
sebelumnya.
Hal ini menunjukkan bahwa metode deret Fourier adalah metode yang sesuai dan lang-
sung. Tidak semua persoalan syarat batas dapat diselesaikan dengan cara ini, tetapi keba-
nyakan bisa. Ketika satu persoalan dapat diselesaikan dengan metode deret Fourier, bentuk
solusinya biasanya lebih berguna.
Contoh 4.8.1. Sebuah balok sepanjang L yang ujungnya ditahan memiliki beban yang
seragam. Pergeseran balok tersebut y(x) memeuhi persamaan
d4 y w
4
=
dx EI
dengan w, E dan I adalah konstanta (w beban per satuan panjang, E modulus Young dan
I momen inersia). Selanjutnya y(t) juga memenuhi syarat batas
y(0) = 0, y(L) = 0
y 00 (0) = 0, y 00 (L) = 0
(Hal ini karena tidak ada pergeseran dan juga momen pada dua buah ujung.) Carilah kurva
prgeseran balok y(x).
Solusi 4.8.1. Fungsi ini bisa kita ekspansikan dalam deret Fourier sinusnya
X n
y(x) = bn sin x.
L
n=1
Empat buah syarat batas secara otomatis terpenuhi. Deret ini dan turunannya kontinu,
sehingga bisa diturunkan suku per suku. Jika kita masukkan dalam persamaan, kita mem-
punyai
n 4
X n w
bn sin x= .
L L EI
n=1
Hal ini berarti bn (n/L)4 adalah koefisien deret Fourier sinus dari w/EI. Sehingga
2 1 w
n 4 Z
n 2 w L
bn = sin x dx = (cos n 1).
L L 0 EI L L EI n
Dari sini
4
4wL
1
n = ganjil
bn = EI (n)5 .
0 n = genap
Sehingga
4wL4 X 1 (2n 1)nx
y(x) = sin .
EI 5 (2n 1)5 L
n=1
Deret ini akan cepat konvergen dikarenakan suku pangkat 5 pada penyebut.
200 4. DERET FOURIER
Perhatikan sistem massa dan pegas teredam yang diakibatkan fungsi gaya periodik eksternal.
Persamaan diferensial untuk gerak ini adalah
d2 x dx
m 2
+c + kx = F (t). (4.35)
dt dt
Kita mengingatkan kembali jika fungsi gaya eksternal F (t) merupakan fungsi sinus atau
cosinus, maka solusi keadaan stabil sistem adalah gerak osilatorik dengan frekuensi yang
sama dengan fungsi input. Sebagai contoh jika
F (t) = F0 sin t,
maka
F0
xp (t) = q sin(t ), (4.36)
(k m 2 )2 + (c)2
dengan
c
= tan1 .
k m 2
Tetapi jika F (t) fungsi periodik dengan frekuensi , tetapi bukan merupakan fungsi sinus
dan cosinus, maka solusi stabilnya bukan hanya mengandung suku dengan frekuensi input ,
tetapi juga suku yang lain dikalikan frekuensi ini. Anggap fungsi gaya input diberikan oleh
gelombang persegi
1 0<t<L
F (t) = , F (t + 2L) = F (t). (4.37)
1 L < t < 0
Gelombang persegi ini berulang pada waktu 2L. Jumlah ulangan tiap satu detik dinamakan
frekuensi . Jelaslah = 1/(2L). Ingat bahwa frekuensi sudut didefinisikan sebagai 2.
Maka
1
= 2 = ,
2L L
kadang kita mengatakan sebagai frekuensi.
Sekarang seperti yang sudah ditunjukkan ekspansi deret Fourier F (t) diberikan oleh
X n
F (t) = bn sin t,
L
n=1
4
, n = ganjil,
bn = n
0 n = genap.
Terlihat di sini suku pertama adalah gelombang sinus murni dengan frekuensi yang sa-
ma dengan frekuensi input gelombang persegi. Kita menyebutnya sebagai frekuensi dasar
1 (1 = ). Suku lain dalam deret Fourier memiliki frekuensi dari perkalian frekuensi dasar.
Frekuensi ini dinamakan frekuensi harmonik. Sebagai contoh, frekuensi harmonik kedua dan
4.8. DERET FOURIER DAN PERSAMAAN DIFERENSIAL 201
Sehingga mengikuti (4.36) yaitu dengan input yang berupa fungsi gaya gelombang persegi,
solusi stabil dari sistem massa pegas diberikan oleh
b sin(n t n )
q n
X
xp =
n=1 (k mn2 )2 + (cn )2
dengan
n cn
n = = n, n = tan1 .
L k mn2
Solusi ini mengandung tidak hanya suku dengan frekuensi yang sama dengan frekuensi input
, tetapi juga suku dengan perkalian frekuensi ini. Jika salah satu frekuensi yang lebih
p
tinggi dekat dengan frekuensi alami sebuah sistem 0 (0 = k/m), maka suku tertentu
akan sangat dominan dalam respon sistem. Hal ini merupakan masalah serius dalam analisis
getaran. Frekuensi input bisa saja lebih rendah dibandingkan dengan frekuensi alami sistem,
tetapi jika inputnya bukan sinusoidal murni, maka resonansi bisa saja terjadi. Kita akan lihat
contoh tersebut berikut ini.
Contoh 4.8.2. Anggap kita bekerja pada satuan yang konsisten, m = 1, c = 0.2, k = 9 dan
= 1, dan gaya input F (t) diberikan oleh (4.37). Carilah solusi stabil xp dari sistem massa
pegas ini.
Solusi 4.8.2. Karena = /L = 1 maka L = dan n = n. Seperti yang sudah kita
tunjukkan deret Fourier F (t) adalah
4 1 1
F (t) = sin t + sin 3t + sin 5t + .
3 5
Gambar berikut menunjukkan xp yang dibandingkan dengan fungsi gaya input. Agar memi-
liki dimensi jarak yang sama, gaya input dinyatakan dalam suku jarak statikF (t)/k. Suku
0.7073 sin(3t 1.5708) ditunjukkan sebagai garis titik-titik. Terlihat bahwa suku ini mendo-
minasi respon sistem. Hal ini karena suku dengan n = 3 pada deret Fourier F (t) memiliki
p
frekuensi yang sama dengan frekuensi alami sistem ( k/m) = 3. Sehingga dekat resonansi
getaran muncul, dengan massa berosilasi lengkap tiga kali untuk tiap osilasi gaya luar.
Untuk demonstrasi yang menraik dari fenomena ini bisa dilihat pada Feynmann Lecture
of Physics, Vol. I, Chapter 50.
Marilah kita berikan label untuk dua buah C berurutan di dekat tengah-tengah keyboard
dengan C, C 0 dan di atas G dengan G, G0 . Nada dasar akan memiliki frekuensi relatif sebagai
berikut
C 2, G3
C 0 4, G0 6
Hubungan harmonik ini dapat kita demonstrasikan dengan cara berikut. Anggap kita menek-
an C 0 pelan-pelan sehingga tidak berbunyi tetapi hanya menyebabkan peredamnya terangkat.
Jika kita membunyikan C, maka akan terbentuk nada dasarnya dan nada harmoniknya. Na-
da harmonik kedua akan menyebabkan tali C 0 bergetar. Jika kita lepaskan C (C 0 tetap kita
tekan) peredam akan meredam getaran tali C, dan kita akan mendengar (dengan pelan) nada
C 0 ketika ini hilang. Dengan cara yang sama nada harmonik C ketiga akan menyebabkan
getaran G0 .
Fenomena ini selain menarik juga penting. Dalam sistem mekanik dan elektrik yang
dipaksa dengan sebuah fungsi periodik berfrekuensi lebih kecil dari frekuensi alami sistem,
4.8. DERET FOURIER DAN PERSAMAAN DIFERENSIAL 203
sepanjang fungsi gayanya tidak sinusoidal murni, salah satu frekuensi harmoniknya mungkin
akan beresonansi dengan sistem. Untuk menghilangkan/mengurangi kemunculan abnormal
dari getaran resonansi yang besar dan merusak, kita tidak boleh membiarkan adanya frekuensi
harmonik dari gaya input mendominasi respon sistem.
Latihan
1. Tunjukkan bahwa jika m dan n bilangan bulat maka:
L
Z L , n=m
nx mx
(a) sin sin dx = 2
0 L L
0, n 6= m
L
Z L , n=m
nx mx
(b) cos cos dx = 2
0 L L
0, n 6= m
Z L
nx mx
(c) sin cos dx = 0 untuk semua n, m.
L L L
Z L
nx mx
(d) cos cos dx
L
L L
0
n, m semuanya ganjil atau genap
= L 2n
n ganjil, m genap, atau, n genap, m ganjil
n2 m2
Jawab:
4 1 1
(a) f (x) = 1 + sin x + sin 3x + sin 5x
3 5
4 1 1
(b) f (x) = cos x cos 3x + cos 5x
3 5
1 2 1 1 1 1
(c) f (x) = cos 2x + cos 4x + cos 6x + sin x
3 15 3 2
3. Carilah deret Fourier fungsi berikut:
1 2 < t < 0
(a) f (t) = , f (t + 4) = f (t),
1 0<t<2
204 4. DERET FOURIER
Jawab
4 t 1 3t 1 5t
(a) f (t) = sin + sin + sin +
2 3 2 5 2
4 4 X 1 4X1
(b) f (t) = + 2 2
cos nt + sin nt
3 n n
4. Carilah ekspansi Fourier cosinus dan sinus setengah selang untuk fungsi berikut
Jawab
4X 1 (2n 1)t
(a) 1; sin ,
2n 1 2
1 4 X 1 2 X (1)n+1
(b) 2 cos(2n 1)t; sin nt
2 (2n 1)2 n
36 X (1)n nt
(c) 3 + 2 2
cos ;
n 3
"
2 t 2
18 4 2t
3
3 sin sin
1 1 3 2 3
2 #
3t 2
4 4t
+ 3 sin sin + .
3 3 3 4 3
5. Bentuk keluaran osilator elektronik memiliki bentuk gelombang sinus f (t) = sin t untuk
0 < t /2, kemudian turun menjadi nol dan mulai lagi. Carilah deret Fourier
kompleks bentuk gelombang ini.
Jawab
X 2 4ni 1 i4nt
e .
n=
16n2 1
6. Gunakan metode lompatan untuk mencari deret Fourier sinus setengah selang fungsi
g(t) = sin t terdefinisi pada interval 0 < t < .
Petunjuk: Untuk deret cosinus, kita membutuhkan ekstensi genap dari fungsi. Misalkan
g(t) = sin t 0 < t < ,
f (t) =
g(t) = sin t < t < 0.
Turunannya adalah
cos t 0<t<
f 0 (t) = , f 00 (t) = f (t).
cos t < t < 0,
Jawab
2 4 1 1 1
f (t) = cos 2t + cos 4t + cos 6t + .
3 15 35
7. Gunakan metode lompatan untuk mencari ekspansi Fourier setengah selang (a) cosinus
dan (b) sinus dari g(t) yang hanya terdefinisi pada selang 0 < t < 1 sebagai
Petunjuk: Untuk ekspansi setengah selang cosinus, fungsinya haruslah diperluas sime-
trik untuk negatif t. Sehingga kita harus mengekspansikan deret Fourier fungsi genap
f (t) sebagai
g(t) = t t2 0<t<1
f (t) = .
g(t) = t t2 1 < t < 0
dan turunan lebih tingginya nol. Sketsa fungsi ini dan turunannya
(b) Untuk ekspansi setengah selang sinus, ekstensi antisimetrik g(t) pada negatif t
dieprlukan. Misalkan
g(t) = t t2 0 < t < 1,
f (t) =
g(t) = t + t2 1 < t < 0.
206 4. DERET FOURIER
dan turunan lebih tingginya nol. Sketsa fungsi ini dan turunannya
Jawab
1 1 1 1
(a) f (t) = 2 cos 2t + cos 4t + cos 6t +
6 4 9
8 1 1
(b) f (t) = 3 sin t + sin 3t + sin 5t +
27 125
8. Kerjakan soal nomor 3 dengan metode lompatan.
Jawab
4 X 1 n
f (t) = 1 + 2 2
(cos n 1) cos t, periode = 4.
n 2
1
Jawab
8 X 1 n n
f (t) = 1 2 2
1 + cos n 2 cos cos t, periode = 8.
n 2 4
1
4.8. DERET FOURIER DAN PERSAMAAN DIFERENSIAL 207
11. (a) Tunjukkan deret Fourier dua soal sebelum ini adalah identik.
(b) bandingkan dua buah sketsa dan carilah alasannya mengapa seperti ini.
Jawab. Karena merepresentasikan fungsi yang sama, keduanya dapat dinyatakan dalam
deret Fourier
8 t 1 3t 1 5t
f (t) = 1 2 cos + cos + cos + .
2 9 2 25 2
14. Gunakan
X 1 4 X 1 4
= dan =
n4 90 (2n 1)4 96
n=1 n=1
untuk membuktikan
1 1 1 7 4
1 + + = .
24 34 44 720
15. Sebuah fungsi f (t) berperiode 2 didekati dengan deret Fourier yang hanya memiliki
N buah suku. Deviasi kuadrat didefinisikan sebagai
" N
#2
Z X
= f (t) bn sin nt dt.
n=1
Hal ini merupakan ukuran dari kesalahan aproksimasi. Tunjukkan bahwa agar mini-
mum maka bn haruslah merupakan koefisien Fourier
1
Z
bn = f (t) sin nt dt.
Petunjuk: Ambil = 0.
bn
16. Tunjukkan untuk x
208 4. DERET FOURIER
sin k X 2k sin k
(a) cos k = + (1)n cos nx.
k (k 2 n2 )
n=1
!
1 1 X 2k
(b) cot k =
k n2 k 2
n=1
18. Gunakan metode deret Fourier untuk menyelesaikan persoalan syarat batas berikut
d4 y Px
=
dx4 EIL
y(0) = 0, y(L) = 0,
y 00 (0) = 0, y 00 (L) = 0.
y(x) adalah pergeseran tongkat akibat dari bertambahnya beban yang diberikan oleh
P x/L.
Jawab.
2P L4 X (1)n+1 nx
y(x) = 4 5
sin .
EI n L
19. Carilah deret Fourier untuk
Tunjukkan bahwa deret yang diperoleh dengan turunan suku per suku pada (a) tidak
konvergen dengan f 0 (t) sedangkan penurunan suku per suku pada (b) konvergen dengan
f 0 (t). Mengapa?
5
Transformasi Fourier
Transformasi Fourier adalah generalisasi dari deret Fourier. Transformasi ini memberikan
representasi, dalam suku superposisi dari gelombang sinusoidal, untuk fungsi yang didefini-
sikan pada interval tak hingga tanpa periodesitas tertentu. Transformasi ini merupakan alat
matematik yang sangat penting ketika kita mempelajari gelombang, dalam satu bentuk atau
yang lainnya, yang biasa kita jumpai dalam fisika dan teknologi dewasa ini.
Transformasi Fourier, sama seperti transformasi Laplace, tidak lain adalah anggota dari
sebuah kelas yang dinamakan sebagai transformasi integral. Transformasi ini sangat bergu-
na untuk menyelesaikan persamaan diferensial. Tetapi pentingnya transformasi Fourier jauh
melebihi sekedar menyelesaikan persamaan diferensial. Dalam mekanika (fisika) kuantum,
transformasi ini memungkinkan kita melihat fungsi gelombang baik dalam ruang koordinat
maupun ruang momentum. Dalam teori informasi, transformasi ini memungkinkan seseorang
mempelajari sebuah bentuk gelombang dalam doamin waktu maupun frekuensi. Untuk alas-
an ini, transformasi Fourier menjadi batu pijakan dari berbagai bidang yang berbeda mulai
dari teknologi pengolahan sinyal sampai teori mekanika kuantum.
Seperti yang sudah kita lihat, deret Fourier sangat berguna untuk merepresentasikan baik
fungsi periodik maupun fungsi yang terbatas. Tetapi dalam berbagai permasalahan, fungsi
yang menjadi ketertarikan seperti pulsa tak berulang dari gaya atau tegangan, merupakan
fungsi non periodik dalam waktu yang terbatas. Dalam kasus tersebut, kita masih bisa
membayangkan bahwa fungsinya periodik dengan periode mendekati tak hingga. Dalam
limit ini, deret Fourier menjadi integral Fourier.
Untuk memperluas kosep deret Fourier pada fungsi non periodik, pertama kita tinjau
sebuah fungsi yang berulang setelah periode 2p
X n n
f (t) = an cos t + bn sin t ,
p p
n=0
210 5. TRANSFORMASI FOURIER
dengan
Z p
1
a0 = f (t) dt,
2p p
1 p
Z
n
an = f (t) cos t dt, n = 1, 2, . . . ,
p p p
1 p
Z
n
bn = f (t) sin t dt, n = 0, 1, 2, . . . .
p p p
Perhatikan bahwa tiap suku cos(n/p)t dan sin(n/p)t adalah fungsi periodik. Periodenya Tn
ditentukan oleh hubungan ketika t dinaikkan oleh Tn , fungsinya kembali ke nilai sebelumnya
n n n n
cos (t + Tn ) = cos t+ Tn = cos t.
p p p p
Maka,
n 2p
Tn = 2 dan Tn = .
p n
Frekuensi adalah jumlah osilasi tiap detik. Sehingga tiap suku berhubungan dengan freku-
ensi n ,
1 n
n =
= .
Tn 2p
Sekarang jika t adalah waktu, maka n hanyalah frekuensi temporal. Jika variabel x adalah
n o
n
jarak, maka n merupakan frekuensi spasial. Distribusi dari semua frekuensi 2p disebut
sebagai spektrum frekuensi. Untuk melihat perubahan pada spektrum frekuensi ketika p
naik, perhatikan kasus ketika p = 1, 2 dan 10 yang frekuensinya sebagai berikut:
Terlihat di sini bahwa ketika p semakin besar, maka spektrum diskritnya menjadi semakin
dan semakin rapat. Dan akan menjadi spektrum kontinu ketika p , dan deret Fouriernya
menjadi sebuah integral. Hal ini bisa terjadi ketika f (t) terintegralkan dalam jangkauan tak
hingga (tidak ada singularitas).
Kadang untuk meringkas penulisan, kita memperkenalkan frekuensi sudut sebagai n =
2n . Sehingga
n n
n = 2n = 2 = ,
2p p
sehingga deret Fouriernya dapat dituliskan
Z p
1 X
f (t) = f (t) dt + (an cos n t + bn sin n t) .
2p p
n=1
Rp
Sepanjang f (t) terintegralkan dalam jangkauan tak hingga, hal ini berarti integral p |f (t)| dt
ada meskipun p . Sehingga
Z p
1
lim f (t) dt = 0.
p 2p p
5.1. INTEGRAL FOURIER SEBAGAI SEBUAH BATAS DARI DERET FOURIER 211
Maka,
X
f (t) = (an cos n t + bn sin n t) ,
n=1
dengan
1 p
Z
an = f (t) cos n t dt,
p p
1 p
Z
bn = f (t) sin n t dt.
p p
maka
1 p
Z
Ap (n ) = f (t) cos n t dt,
p
1 p
Z
Bp (n ) = f (t) sin n t dt.
p
Integral ini dikenal sebagai integral Fourier. Kita telah memiliki penurunan yang formal.
Tetapi kita dapat membuatnya lebih ringkas dengan (1) f (t) adalah fungsi kontinu dan dapat
diturunkan dan (2) fungsi ini terintegralkan pada selang tak hingga, seperti yang sudah kita
asumsikan.
Integral ini akan konvergen pada f (t) dengan f (t) adalah fungsi kontinu, dan konvergen
pada rata-rata limit kiri dan kanan dari f (t) pada titik tak koninu, sama seperti deret Fourier.
212 5. TRANSFORMASI FOURIER
1 2
Z Z
A () = f (t) cos t dt = f (t) cos t dt,
0
Z
1
B () = f (t) sin t dt = 0
dan Z
f (t) = A () cos t d.
0
Hal ini dikenal sebagai integral Fourier cosinus. Jika f (t) sebuah fungsi ganjil, maka
1
Z
A () = f (t) cos t dt = 0,
1 2
Z Z
B () = f (t) sin t dt = f (t) sin t dt
dan Z
f (t) = B () sin t d,
0
yang dikenal sebagai integral Fourier sinus.
Perhatikan bahwa fungsi ini diharapkan terdefinisi dari sampai , tetapi karena ada-
nya paritas fungsi, untuk mendefinisikan transformasinya kita hanya memerlukan fungsinya
dari 0 sampai . Hal ini juga berarti kita hanya tertarik pada selang 0 sampai , kita dapat
mendefinisikan fungsinya dari sampai 0 dengan cara yang kita inginkan, sehingga kita
bisa memperoleh baik itu integral cosinus maupun integral sinus dengan memperluas fung-
sinya dalam jangkauan negatifnya baik dalam bentuk genap maupun ganjil. Di sini, integral
Fourier cosinus dan sinus ekivalen dengan ekspansi setengah jangkauan deret Fourier.
Solusi 5.1.2. Untuk integral Fourier cosinus, kita dapat membayangkan f (t) adalah fungsi
genap terhadap t = 0, maka
Z
2
A () = est cos t dt.
0
Integral ini dapat dihitung dengan integral parsial dua kali (buktikan!!). Tetapi di sini kita
akan menggunakan metode yang disebut sebagai transformasi Laplace yang akan kita pelajari
setelah ini. Integral ini tidak lain hanyalah transformasi Laplace dari cos t. Sehingga
2 s
A () = .
s + 2
2
214 5. TRANSFORMASI FOURIER
2 st
Z
2
B () = e sin t dt =
0 s2 + 2
sebagai integral yang tidak lain adalah transformasi Laplace dari sin t. Sehingga integral
Fourier sinus diberikan oleh
Z
2
f (t) = est = sin t d.
0 s2 + 2
Dari sini kita bisa memperoleh rumus integral lain
Z
sin t
2 2
d = est .
0 s + 2
Contoh 5.1.3. Carilah f (t), jika f (t) adalah sebuah fungsi genap dan
Z 1 a jika 0 a 1,
f (t) cos at dt =
0 0 jika a > 1
Solusi 5.1.3. Kita dapat menggunakan integral Fourier cosinus untuk menyelesaikan persa-
maan integral ini. Misalkan
2
2
Z (1 ) jika 0 a 1,
A () = f (t) cos t dt =
0
0 jika a > 1,
maka
Z Z 1
2
f (t) = A () cos t d = (1 ) cos t d
0 0
2 1
= (1 cos t) .
t2
5.1. INTEGRAL FOURIER SEBAGAI SEBUAH BATAS DARI DERET FOURIER 215
Jika f (t) adalah sebuah fungsi genap, kita telah melihat bahwa fungsi tersebut dapat dinya-
takan dalam integral Fourier
Z
f (t) = A () cos t d, (5.1)
0
Z
2
A () = f (t) cos t dt. (5.2)
0
maka
Z
f (t) = fbc () cos t d, (5.6)
0
dengan
21
= .
Sehingga sepanjang
2
= ,
dengan sebuah bilangan sebarang, (5.5) dan (5.6) tetap merupakan pasangan transformasi
Fourier cosinus. Perlu diperhatikan, dalam berbagai literatur yang ada, terdapat berbagai
konvensi dalam mendefinisikan transformasi Fourier. Perbedaannya adalah pada letak faktor
2/. Dengan menggunakan tabel yang ada, kita perlu memperhatikan letak dari faktor
tersebut dalam definisi.
Pertanyaan selanjutnya adalah mengapa kita perlu dua nama untuk satu hal yang esen-
sinya sama. Jawabnya adalah karena kita mempunyai dua cara pandang (persektif) yang
berbeda dalam melihatnya. Dalam integral Fourier, f (t), dideskripsikan sebagai gelombang
cosinus (sinus) kontinu dan A() hanyalah amplitudo dari komponen harmonik f (t) dalam
domain waktu. Sedangkan dalam transformasi Fourier, fbc () dianggap sebagai fungsi dalam
domain frekuensi. Fungsi dalam domain frekuensi ini mendeskripsikan entitas yang sama de-
ngan fungsi domain waktu f (t). Terdapat banyak alasan mengapa kita sering bekerja dengan
transformasi sebuah fungsi. Sebagai contoh, dalam domain frekuensi, kita bisa dengan mu-
dah melakukan operasi yang secara matematik sulit dilakukan seperti diferensial dan integral
hanya dengan pertambahan dan perkalian.
f (t) 0 ketika t
5.1. INTEGRAL FOURIER SEBAGAI SEBUAH BATAS DARI DERET FOURIER 217
Dengan menggunakan integral parsial, kita dapat menghitung transformasi dari turunan
r Z
0 2 df
Fc f (t) = cos t dt
0 dt
r Z
2 d
= f (t) cos t 0
f (t) cos t dt
0 dt
r Z r
2 2
= f (0) + f (t) sin t dt = Fs {f (t)} f (0) .
0
r Z
0 2 df
Fs {f (t)} = sin t dt
0 dt
r Z
2 d
= f (t) sin t0 f (t) sin t dt
0 dt
r Z
2
= f (t) cos t dt = Fc {f (t)} .
0
r
00 n
0
0 o 0 2 0
Fc f (t) = Fc f (t) = Fs f (t) f (0)
r r
2 0 2 2 0
= [Fc {f (t)}] f (0) = Fc {f (t)} f (0) .
n 0 o
Fs f 00 (t) = Fs f 0 (t) = Fc f 0 (t)
" r # r
2 2 2
= Fs {f (t)} f (0) = Fs {f (t)} + f (0) .
maka
Fs f 00 (t) = Fs a2 f (t) = a2 Fs {f (t)} .
Tetapi r
00
2 2
Fs f (t) = Fs {f (t)} + f (0)
218 5. TRANSFORMASI FOURIER
kita mendapatkan r
2 2
Fs {f (t)} + = a2 Fs {f (t)}
atau r
2 2
2
a + Fs {f (t)} = .
Sehingga r
at
2
Fs {f (t)} = Fs e = .
a + 2
2
Contoh 5.1.6. Gunakan transformasi Fourier sinus untuk menyelesaikan persamaan dife-
rensial berikut:
Solusi 5.1.6. Karena kita tertarik pada daerah positif, kita dapat mengambil y(t) seba-
gai fungsi ganjil dan melakukan transformasi Fourier sinus. Jelas dari definisinya bahwa
transformasi Fourier tersebut linier
Fs {af1 (t) + bf2 (t)} = aFs {f1 (t)} + bFs {f2 (t)} .
Dengan menggunakan sifat ini dan melakukan transformasi kedua ruas dari persamaan dife-
rensial, kita mempunyai
Karena r
2
Fs y 00 (t) = 2 Fs {y (t)} +
y (0) .
sehingga r
2
2
y0 9Fs {y (t)} = 50Fs e2t ,
Fs {y (t)} +
setelah kita kumpulkan suku-sukunya
r r
2
2 2
+ 9 Fs {y (t)} = 50 + y0 .
2 + 4
Sehingga r r
2 1 2
Fs {y (t)} = 50 2 2
+ y0 2 .
+ 4 ( + 9) ( + 9)
Dengan pecahan parsial dari
1 1 1 1 1
=
( 2 + 4) ( 2 + 9) 5 2 + 4 5 2 + 9
5.2. TABEL TRANSFORMASI FOURIER 219
kita mempunyai
r r r
2 2 2
Fs {y (t)} = 10 10 + y0
2 + 9 2 + 4 ( 2 + 9)
r r
2 2
= (10 + y0 ) 10
2 + 9 2 + 4
= (10 + y0 ) Fs e3t 10Fs e2t
sehingga
Z p
X 1 i n t i n t
f (t) = f (t) e p dt e p .
n=
2p p
Mari kita definisikan lagi
n
n =
p
dan
= n+1 n = ,
p
kemudian menuliskan persamaan sebagai
Z p
X 1
f (t) = f (t)ein t dt ein t (5.7)
n=
2 p
X 1 b
= fp (n ) ein t
n=
2
dengan Z p
fbp () = f (t) ein t dt.
p
220 5. TRANSFORMASI FOURIER
2 1 2
eat (a > 0) e /4a
2a
r
1 1 a
(a > 0) a
t2 + a2 2a
r
2 n!
tn eat (a > 0) Re(a + i)n+1
(a2 + 2 )n+1
cos t r
jika 0 < t < a
1 sin a(1 ) sin a(1 + )
+
0 lainnya 2 1 1+
r
2
1
cos at2 (a > 0) cos
2a 4a 4
r
sin at
(a > 0) u(a )
t 2
Transformasi turunan:
r
2
f 0 (t) fbs () f (0)
r
2 0
f 00 (t) 2 fbs () f (0)
Teorema konvolusi:
Z
1
[f (|t x|) f (|t + x|)] g(x) dx fbc ()gbs ()
2 0
5.3. TRANSFORMASI FOURIER 221
1 1
t
r
2 (a)
ta1 (0 < a < 1) a
sin
2
r
2
et
1 + 2
r
t a
(a > 0) e
t2 + a2 2
r
2 n!
tn eat (a > 0) Im(a + i)n+1
(a2 + 2 )n+1
2 2
teat (a > 0) 3/2
e /4a
(2a)
sin t r
jika 0 < t < a
1 sin a(1 ) sin a(1 + )
0 lainnya 2 1 1+
r
cos at
(a > 0) u( a)
t 2
Transformasi turunan:
f 0 (t) fbc ()
r
2
f 00 (t) 2 fbs () f (0)
Teorema konvolusi:
Z
1
[f (|t x|) f (|t + x|)] g(x) dx fbc ()gbs ()
2 0
222 5. TRANSFORMASI FOURIER
1 a||
(a > 0) e
t 2 + a2 a
1
u(t)eat
a + i
1
u(t)eat
a i
2a
ea|t| (a > 0)
a2 + 2
2 2 /4
et e
1 2 2 2 2
et /(2a) (a > 0) ea
2a
r
1 2
p
|t| ||
2 sin a
u(t + a) u(t a)
(t a) eia
1 ib/a b
f (at + b) (a > 0) e f
a a
Transformasi turunan:
Transformasi integral:
Z t
1
f (t) = g(x) dx fb() = gb()
i
Teorema Konvolusi:
Z
f (t) g(t) = f (t x)g(x) dx fb()b
g ()
1 b
f (t)g(t) f () gb()
2
5.3. TRANSFORMASI FOURIER 223
Proses untuk mendapatkan kembali f (t) dari fb() dinamakan invers transformasi Fourier
n o
F 1 fb(t)
Z
n o 1
F 1 fb() = fb() eit d = f (t) . (5.11)
2
Kita telah menurunkan pasangan transformasi Fourier ini dengan argumen yang sama
ketika kita memperkenalkan transformasi Fourier cosinus. Komentar yang ada di sana juga
berlaku di sini. Rumus (5.10) dan (5.11) juga bisa didapatkan dengan (1) f (t) kontinu dan
R
dapat diturunkan dan (2) terintegralkan mutlak, yakni |f (t)| dt berhingga.
Faktor pengali di depan integral sebarang. Jika f (t) dari fb() didefinisikan sebagai
Z
F {f (t)} = f (t) eit dt = fb() ,
n o
maka F 1 fb(t)
n o Z
1
F f () =
b fb() eit d = f (t) ,
dengan
1
= .
2
p
Beberapa penulis memilih = = 1/2 sehingga pasangan transformasi Fouriernya si-
metrik. Penulis lain memilih = 1/2, = 1. Dalam (5.10) dan (5.11) dipilih 1 dan
= 1/2.
Konvensi lain yang biasa digunakan dalam analisis spektrum adalah menggunakan freku-
ensi dibandingkan frekuensi sudut dalam mendefinisikan transformasi Fourier. Karena
= 2, (5.10) dapat dituliskan sebagai:
Z
F {f (t)} = f (t) eit dt = fb() (5.12)
Perhatikan bahwa dalam pasangan persamaan ini, faktor 2 sudah tidak ada lagi. Di samping
itu, frekuensi adalah konsep yang terdefinisi dengan baik dan tak seorangpun mengukur
frekuensi sudut. Terdapat alasan yang baik untuk menggunakan (5.12) dan (5.13) sebagai
definisi transformasi Fourier. Tetapi untuk alasan sejarah, sebagian besar buku teknik dan
fisika menggunakan . Sehingga kita akan tetap menggunakan (5.10) dan (5.11) sebagai
definisi transformasi Fourier.
Fungsi f (t) dalam transformasi Fourier ini bisa memiliki ataupun tidak paritas baik ganjil
ataupun genap. Tetapi jika fungsinya adalah fungsi genap, maka akan dengan mudah dibuk-
tikan bahwa transformasinya akan direduksi menjadi transformasi Fourier cosinus, sedangkan
jika fungsi ganjil, maka akan direduksi menjadi transformasi Fourier sinus.
Solusi 5.3.1.
Z Z
it
F {f (t)} = f (t) e dt = e(+i)t dt
0
1 1
= e(+i)t = .
+ i 0 + i
Hasil ini tentunya dapat dinyatakan dalam suku riil dan imajiner
1 1 i
= = 2 2
i 2 .
+ i + i i + + 2
Gambar 5.1: kontur untuk invers transformasi Fourier. (a) kontur tertutup pada setengah bidang bagian
atas. (b) Kontur tertutup pada setengah bidang bagian bawah.
Untuk t < 0, kontur tertutup searah jarum jam dalam setengah bidang bagian bawah seperti
pada Gambar 5.1(b). Karena tidak terdapat titik singular pada setengah bidang bagian
bawah
Z I
1 1 1 1
eit d = eit d = 0.
2i i 2i setengah bidang bagian bawah i
Untuk t < 0,
n o
F 1 fb() = 0
kita dapat mengkombinasikan hasil untuk t > 0 dan untuk t < 0 sebagai:
n o
1 b
F f () = u (t) et .
Terlihat bahwa invers transformasi Fourier sama dengan f (t) pada contoh sebelumnya.
5.4.1 Ortogonalitas
Jika kita meletakkan fb() pada (5.8) kembali pada integral Fourier (5.9), representasi Fourier
f (t) berbentuk Z Z
1 0 it0 0
dt eit d,
f (t) = f t e
2
yang setelah integrasi diperoleh
Z Z
0 1 i(tt0 )
dt0 .
f (t) = f t e d
2
226 5. TRANSFORMASI FOURIER
Dua buah persamaan terakhir adalah kondisi ortogonalitas. Sebuah fungsi eit ortogonal
0
dengan semua fungsi dalam bentuk ei t ketika diintegralkan untuk semua t sepanjang 0 6=
.
Karena (x) = (x), (5.14) dapat ditulis
Z
0 1 0
ei(tt ) d.
tt =
2
Rumus ini sangat berguna dalam representasi fungsi delta. Penurunan pasangan tran-
sformasi lebih sederhana dengan penggunaan fungsi delta. Meskipun fungsi ini bukan fungsi
matematik yang tepat, penggunaannya dapat dibenarkan oleh teori distribusi.
f (t) = K (t) ,
dengan K merupakan sebuah konstanta. Transformasi Fourier f (t) dengan mudah diturunkan
dengan menggunakan fungsi delta
Z
F {f (t)} = K (t) eit dt = Ke0 = K.
F {K} = 2K ()
dan inversnya
F 1 {2K ()} = K.
Gambar 5.2: transformasi Fourier untuk fungsi konstan dan fungsi delta. Transformasi Fourier fungsi
konstan adalah fungsi delta. Transformasi Fourier fungsi delta adalah fungsi konstan.
Karena
1 i0 t
+ ei0 t ,
cos 0 t = e
2
sehingga Z
A h i
F {A cos 0 t} = ei(0 )t + ei(+0 )t dt.
2
F {A cos 0 t} = A ( + 0 ) + A ( 0 ) . (5.15)
F {A sin 0 t} = iA ( + 0 ) iA ( 0 ) . (5.16)
Sejauh ini kita telah menggunakan variabel t dan untuk merepresentasikan waktu dan
frekuensi sudut. Matemaika, tentunya, akan tetap sama jika kita merubah nama variabelnya.
Dalam mendeskripsikan variasi ruang sebuah gelombang, biasanya kita menggunakan r, x y
dan z untuk merepresentasikan jarak. Dalam fungsi waktu, periode T adalah interval waktu
pada saat fungsi tersebut berulang. Dalam fungsi jarak, fungsi yang sama dikenal sebagai
panjang gelombang , yaitu pertambahan jarak ketika fungsi tersebut berulang. Sehingga
jika t diganti r, maka frekuensi sudut yang sama dengan 2/T haruslah diganti dengan
kuantitas yang sama dengan 2/ yang dikenal sebagai bilangan gelombang k.
Z
01 0
eik1 (xx ) dk1 ,
xx =
2
Z
0 1 0
eik2 (yy ) dk2 ,
yy =
2
Z
0 1 0
eik3 (zz ) dk3 .
zz =
2
5.4. TRANSFORMASI FOURIER DAN FUNGSI DELTA 229
r r0 = y y 0 y y 0 z z 0
Z Z Z
1 ik1 (xx0 ) 1 ik2 (yy 0 ) 1 0
= e dk1 e dk2 eik3 (zz ) dk3
2 2 2
Z Z Z
1 0 0 0
= 3 ei[k1 (xx )+k2 (yy )+k3 (zz )] dk1 dk2 dk3 .
(2)
Notasi yang biasa digunakan adalah dengan memperkenalkan sebuah vektor gelombang k
k = k1bi + k2bj + k3 k
b
dan juga
r r0 = x x0 bi + y y 0 bj + z z 0 k
b
kita mempunyai
Z Z Z Z Z Z
10 0
eik(rr ) d3 k d3 r0 ,
f (r) = f r
(2)3
Lagi, bagaimana kita memisahkan faktor 1/(2)3 antara transformasi Fourier dengan invers-
nya adalah sebarang. Di sini kita memisahkan sama besar agar memiliki kesesuaian dengan
kebanyakan buku mekanika kuantum.
Dalam mekanika kuantum, momentum p diberikan oleh p = ~k. Pasangan transformasi
Fourier dalam suku r dan p diberikan oleh
Z Z Z
1
f (p) =
b
3/2
f (r) eipr/~ d3 r,
(2~)
Z Z Z
1
f (r) = 3/2
fb(p) eipr/~ d3 p.
(2~)
230 5. TRANSFORMASI FOURIER
k r = kr cos
dan
d3 r = r2 sin d dr d.
maka Z
2sk
resr sin kr dr = .
0 (s2 + k 2 )2
Dengan s = 2z, kita mempunyai
Z
4zk
e2zr r sin kr dr = .
0 (4z 2 + k 2 )2
5.5. BEBERAPA PASANGAN TRANSFORMASI PENTING 231
Sehingga
r 3/2
2 1 z3 4zk 2 2z 2
F {f (r)} = = .
k (4z 2 + k 2 )2 (4z 2 + k 2 )2
Terdapat beberapa prototipe pasangan transformasi Fourier yang sebaiknya kita familiar
dengannya. Bukan hanya karena seringnya muncul dalam teknik maupun fisika, tetapi juga
karena transformasi fungsi lainnya juga berdasarkan fungsi-fungsi ini.
Fungsi ini kadang juga disebut sebagai fungsi kotak atau fungsi atas topi. Fungsi ini dapat
dinyatakan sebagai
(t) = u(t + a) u(t a)
Dalam fungsi sinc, yang didefinisikan sebagai sin c(x) = sin x/x, kita mempunyai
2
f (t) = et .
232 5. TRANSFORMASI FOURIER
Gambar 5.4: Transformasi Fourier untuk fungsi persegi. Perhatikan bahwa fb(0) = 2a, dan nilai nol dari
fb() adalah pada = /a, 2/a, 3/a, .
Misalkan
i
u= t + , du = dt
2
sehingga kita bisa menuliskan transformasi Fouriernya sebagai
2
Z
1 2
fb() = exp eu du.
4
Karena Z
2
eu du =
maka
2
r
fb() = exp .
4
Hal menarik yang perlu diperhatikan adalah fb() juga merupakan fungsi Gaussian de-
ngan puncak pada titik asal, dan secara monotonik menurun ketika k . Jika f (t)
memiliki puncak yang tacam ( besar) maka fb() datar, begitu juga sebaliknya. Hal ini
merupakan fitur yang umum dalam transformasi Fourier. Dalam mekanika kuantum, hal ini
berkaitan dengan prinsip ketidakpastian Heisenberg. Pasangan transformasi fungsi Gaussian
ditunjukkan Gambar 5.5.
5.5. BEBERAPA PASANGAN TRANSFORMASI PENTING 233
Gambar 5.5: Fourier sebuah fungsi Gaussian adalah fungsi Gaussian yang lain.
Gambar 5.6: Fourier sebuah fungsi yang meluruh eksponen adalah sebuah profil Lorentz.
diberikan oleh
n o Z
a|t|
F e = ea|t| eit dt
Z 0 Z
t it
= e e dt + eat eit dt
0
0
e(ai)t e(a+i)t
= +
a i (a + i)
0
1 1 2a
= + = 2 = fb().
a i a + i a + 2
Fungsi ini memiliki bentuk seperti bel, memiliki penampakan yang sama dengan kurva Gaus-
sian dan dikenal sebagai profil Lorentz. Pasangan transformasinya bisa dilihat pada Gambar
5.6.
234 5. TRANSFORMASI FOURIER
Bukti. Karena Z
fb() = f (t)eit dt,
dari definisi Z
1
f (t) = fb()eit d.
2
Dengan menukar antara t dan
Z
1
f () = fb(t)eit dt.
2
Jelas bahwa Z
1
f () = fb(t)eit dt.
2
Maka
n o Z
F fb(t) = fb(t)eit dt = 2f ().
Dengan mengguakan hubungan sederhana ini, kita bisa menghindari manipulasi matema-
tik yang rumit.
dari
n o 2a
F ea|t| = .
a2 + 2
Solusi 5.6.1. Misalkan
dan
2a
F {f (t)} = fb() = .
a2 + 2
Maka
2a
fb(t) = 2 ,
a + t2
n o 2a
F fb(t) = F = f ().
a + t2
2
Sehingga
1
F 2 2
= ea|| .
a +t a
Hasil ini juga bisa didapatkan dengan integral kontur kompleks.
5.6. SIFAT-SIFAT TRANSFORMASI FOURIER 235
= af (t) + bg(t).
Hubungan sederhana ini sangat penting karena merefleksikan kegunaan transformasi Fourier
dalam analisis sistem linier.
Pergeseran Waktu
Perhatikan bahwa waktu tunda dalam transformasi Fourier hanya akan merubah fase bukan
besarnya (magnitudo). Sebagai contoh
1
sin 0 t = cos 0 t = cos 0 t ,
2 2 0
1
Sehingga jika f (t) = cos 0 t, maka sin 0 t = f (t a) dengan a = . Kita memiliki
2 0
i 2 1
F{A sin 0 t} = e 0 F {A cos 0 t}
i 2 1
=e 0 [A( 0 ) + A( + 0 )]
= ei 2 A( 0 ) + ei 2 A( + 0 )
= iA( 0 ) + iA( + 0 ),
Pergeseran Frekuensi
Jika frekuensi dalam fb() digeser sebesar a, inversnya dikalikan dengan faktor eiat . Karena
Z
1 b 1
F {f ( a)} = fb( a)eit f (t) d,
2
dengan mengganti $ = a, kita mempunyai
Z
1
F 1 {fb( a)} = fb($)ei($+a)t d$ = eiat f (t)
2
atau
fb( a) = F {eiat f (t)}.
Untuk mengilustrasikan efek dari pergeseran frekuensi, marilah kita perhatikan kasus f (t)
dikalikan dengan cos 0 t. Karena cos 0 t = ei0 t + ei0 t /2, maka
1 1
f (t) cos 0 t = ei0 t f (t) + ei0 t f (t)
2 2
dan
1 1
F{f (t) cos 0 t} = F{ei0 t f (t)} + F{ei0 t f (t)}
2 2
1b 1b
= f ( 0 ) + f ( + 0 ).
2 2
Proses ini dikenal sebagai modulasi. Dengan kata lain ketika f (t) dimodulasi oleh cos 0 t,
frekuensinya akan bergeser ke atas dan ke bawah secara simetrik sebesar 0 .
Penskalaan Waktu
Jika F{f (at)} = fb(), maka transformasi Fourier dari f (at) dapat ditentukan dengan meng-
ganti t0 = at dalam integral Fourier
Z
F{f (at)} = f (at)eit dt
Z
0 1 1
= f (t0 )eit /a dt0 = fb .
a a a
Pernyataan ini benar untuk a > 0. Tetapi untuk a negatif, maka t0 = at = |a|t. Sebagai
sebuah konsekuensi, ketika variabel integrasi dirubah dari t menjadi t0 , batas integral juga
harus dirubah. Dalam artian
Z Z
it 0 1
F{f (at)} = f (at)e dt = f (t0 )eit /a dt0
|a|
Z
1 it0 /a 1 b
= f (t0 )e dt0 = f .
|a| |a| a
Sehingga secara umum
1 b
F{f (at)} = f
|a| a
Hal ini berarti ketika skala waktu membesar, skala frekuensi bukan hanya berkontraksi meng-
ecil, amplitudonya juga naik. Amplitudonya naik sedemikian rupa sehingga luas daerahnya
tetap.
5.6. SIFAT-SIFAT TRANSFORMASI FOURIER 237
Penskalaan Frekuensi
n o
Hal ini hanyalah kebalikan dari penskalaan waktu. Jika F 1 fb() = f (t), maka
Z
1
n o 1
F f (a) =
b fb(a)eit d
2
Z
1 0 i 0 t/a 1 0 1 t
= f ( )e
b d = f .
2 |a| |a| a
Hal ini berarti ketika skala frekuensinya membesar, skala waktunya berkontraksi dan ampli-
tudo fungsi waktu akan naik.
Jika transformasi turunan ken dari f n (t) ada, maka f n (t) haruslah terintegralkan sepanjang
(, ). Hal ini berarti f n (t) 0 ketika t . Dengan asumsi ini transformasi Fourier
dari turunan f (t) dapat dinyatakan dalam suku transformasi f (t). Hal ini tampak sebagai
berikut:
Z Z
0 df (t) it
F{f (t)} = eit dt = e dt
dt
Z
= f (t)eit + i f (t)eit dt.
Dapat diperoleh
Sehingga
F{f n (t)} = (i)n F f (t) = (i)n fb()
Maka turunan dalam domain waktu menjadi perkalian sederhana dalam domain frekuensi.
dapat dengan mudah diperoleh dengan menggunakan transformasi Fourier turunan. Karena
d
I(t) = f (t),
dt
didapatkan Z t
dI(t)
F{f (t)} = F = iF{I(t)} = iF f (x)dx .
dt
238 5. TRANSFORMASI FOURIER
Maka Z t
1
F f (x)dx = F {f (t)}.
i
Sehingga integral dalam domain waktu menjadi pembagian dalam domain frekuensi.
Teorema Parseval dalam deret Fourier juga berlaku untuk transformasi Fourier. Integral dari
sebuah fungsi kuadrat dihubungkan dengan transformasi integral dari fungsi kuadrat dengan
cara berikut Z Z
1 2
|f (t)| dt = |fb()|2 d.
2
Karena Z
1
f (t) = fb()eit d,
2
kompleks konjugatnya
Z Z
1 1
f (t) = fb()eit d = fb()eit d.
2 2
Maka
Z Z Z Z
1
2
|f (t)| dt = f (t)f (t) dt = f (t) fb ()eit d dt.
2
Jika kita menuliskan dalam frekuensi , bukan dalam frekuensi sudut ( = 2),
teorema ini dapat dinyatakan
Z Z
2
|f (t)| dt = |fb()|2 d.
Dalam fisika, energi total yang berkaitan dengan sebuah bentuk gelombang f (t) (radiasi
R
elektromagnetik, gelombang air, dll) sebanding dengan |f (t)|2 dt. Dengan teorema Par-
R 2 2
seval, energi juga diberikan oleh fb() d. Sehingga fb() adalah energi tiap satuan
interval frekuensi dan dikenal sebagai rapat energi. Untuk alasan ini, teorema Parseval
juga dikenal sebagai teorema energi.
dan Z Z 1
|f (t)|2 dt = dt = 2
1
Di sisi lain
2 sin 2
Z
sin2
Z Z
b 2
f () d = d = 4 d.
2
kita mempunyai
sin2
Z
2
2= d.
2
Dari sini
sin2
Z
d =
2
2
Karena sin / 2 merupakan fungsi genap
sin2 x sin2 x
Z Z
1
2
dx = 2
dx =
0 x 2 x 2
5.7 Konvolusi
Konvolusi merupakan konsep yang penting dan berguna. Konvolusi c(t) dari dua buah fungsi
f (t) dan g(t) biasanya dituliskan sebagai f (t) g(t) dan didefinisikan sebagai
Z
c(t) = f ( )g(t ) d = f (t) g(t)
Gambar 5.7: Konvolusi dari f ( ) ditunjukkan pada (a) dan g( ) pada (b) dan diberikan pada (e).
4. Luas di bawah hasil perkalian g(t ) dengan f ( ) adalah nilai konvolusi pada t.
Marilah kita ilustrasikan dengan contoh sederhana pada Gambar 5.7. Misalkan f ( )
diberikan pada (a) dan g( ) pada (b). Citra pencerminan g( ) adalah g( ) yang diberikan
oleh (c). Pada (d), g(t ) adalah g( ) yang digeser sebesar t.
Jelas di sini bahwa jika t < 0 maka tidak ada overlap antara f ( ) dan g(t ). Hal
ini berarti, untuk sebarang nilai , baik f ( ) maupun g(t ), atau keduanya nol. Karena
f ( )g(t ) = 0 untuk t < 0, maka
c(t) = ab pada t = 1
Untuk t > 2, tidak terdapat overlap dan integral konvolusinya sama dengan nol. Sehingga
konvolusi f (t) dan g(t) diberikan oleh segitiga pada (e).
Misalkan t = x, t = x + , dt = dx,maka
Z Z
g(t )eit dt = g(x)ei(x+ ) dx
Z
i
=e g(x)eix dx = ei gb().
Sehingga
Z Z
F{f (t) g(t)} = f ( )e i
gb() = gb() f ( )ei d
= gb()fb().
Misalkan $ = , = + $, d = d, maka
Z Z
1 b 1 i$t
F {f () gb()} = f ($)e d$
b gb()eit d
2
= 2f (t)g(t).
F{cos 0 t} = ( + 0 ) + ( 0 ),
2 sin a
F{a (t)} = ,
dan teorema konvolusi untuk mencari transformasi Fourier gelombang berikut
cos 0 t |t| < a,
a (t) =
0 |t| > a,
Karena
1 i0 t
+ ei0 t ,
cos 0 t = e
2
5.7. KONVOLUSI 243
sehingga
Z a
1
F{f (t)} = ei(0 )t + ei(0 +)t dt
2
a
" a a #
1 ei(0 )t ei(0 )t
=
2 i(0 ) i(0 + )
a a
sin a( 0 ) sin a( + 0 )
= + .
0 + 0
Pasangan transformasi Fourier ini ditunjukkan pada Gambar 5.8
Solusi 5.7.2. Dengan mengikuti prosedur seperti pada Gambar 5.7, dapat dengan mudah
ditunjukkan bahwa fungsi segitiga merupakan konvolusi dari dua buah fungsi pulsa persegi
identik
f (t) = a (t) a (t)
Karena
2 sin a
F{a (t)} = ,
maka
2 sin a 2 sin a 4 sin2 a
F{f (t)} = = .
2
244 5. TRANSFORMASI FOURIER
Sebuah sifat karakteristik dari transformasi Fourier adalah, sama seperti transformasi integral
yang lain, yaitu dapat digunakan untuk mereduksi jumlah variabel bebas dalam persamaan
diferensial sebanyak satu. Sebagai contoh, jika kita menggunakan transformasi pada persama-
an diferensial biasa (yang hanya memiliki satu buah variabel bebas), maka kita mendapatkan
sebuah persamaan aljabar untuk fungsi yang ditransformasikan. Persamaan gelombang satu
dimensi adalah persamaan diferensial parsial dengan dua buah variabel bebas. Persama-
an ini dapat ditransformasikan menjadi persamaan diferensial biasa. Biasanya jauh lebih
mudah menyelesaikan persamaan dalam bentuk yang telah ditransformasikan dibandingkan
dengan menyelesaikannya secara langsung dalam bentuk asalnya, karena variabelnya sudah
berkurang satu. Setelah bentuknya didapatkan, kita bisa mendapatkan solusi dari persamaan
asalnya dengan transformasi inversnya. Kita akan mengilustrasikan metode ini dalam dua
contoh berikut.
dengan a sebuah konstanta dan f (t) fungsi yang diberikan. Kondisi yang harus dipenuhi
adalah fungsi tersebut hilang ketika t . Hal ini menjamin transformasi Fouriernya
5.8. TRANSFORMASI FOURIER DAN PERSAMAAN DIFERENSIAL 245
ada.
Solusi 5.8.1. Lakukan transformasi Fourier pada persamaan dan misalkan
Karena
F{y 00 } = (i)2 F{y(t)} = 2 yb(),
( 2 + a2 )b
y () = fb().
Maka
1
yb() = fb()
( 2 + a2 )
Ingat kembali
n o 2a
F ea|t| = ,
( 2 + a2 )
sehingga
1 1 1 a|t|
2 =F e .
( + a2 ) 2a
Dengan kata lain jika kita mendefinisikan
1 1 a|t|
gb() = , maka g(t) = e .
( 2 + a2 ) 2a
Karena
1
yb() = fb() = gb()fb() = F{g(t) f (t)},
( 2 + a2 )
kita mendapatkan
y(t) = F 1 {b
y ()} = F 1 F {g(t) f (t)} = g(t) f (t).
Sehingga Z
1
y(t) = ea|t | f ( ) d,
2a
yang merupakan solusi khusus dari persamaan. Dengan f (t) tertentu persamaan ini bisa
dihitung.
dengan v 2 konstan.
Solusi 5.8.2. Marilah kita lakukan analisis Fourier y(x, t) terhadap x. Pertama nyatakan
y(x, t) dalam integral Fourier
Z
1
y(x, t) = yb(k, t)eikx dk, (5.19)
2
jelas
yb(k, 0) = fb(k). (5.23)
1 2
k 2 yb(k, t) = yb(k, t).
v 2 t2
Jelas solusi umum persamaannya adalah
dengan c1 (k) dan c2 (k) konstanta yang bergantung waktu. Pada t = 0, menurut (5.23)
Persamaan ini dapat dipenuhi dengan bentuk simetrik dan anti simetrik
1 hb i
c1 (k) = f (k) + gb(k) ,
2
1 hb i
c2 (k) = f (k) gb(k) ,
2
dengan gb(k) fungsi yang belum didefinisikan. Sehingga
1 1
yb(k, t) = fb(k)(eikvt + eikvt ) + gb(k)(eikvt eikvt ).
2 2
Substitusi pada (5.19), kita memiliki
Z
1 1 b h ik(x+vt) i
y(x, t) = f (k) e + eik(xvt) dk
2 2
Z
1 1 h i
+ gb(k) eik(x+vt) + eik(xvt) dk.
2 2
dengan (5.22), kita melihat integralnya sama hanya argumen x diganti dengan x + vt. Se-
hingga
I1 = f (x + vt)
Diperoleh:
1 1
y(x, t) = [f (x + vt) + f (x vt)] + [g(x + vt) g(x vt)],
2 2
dengan g(x) adalah invers transformasi Fourier dari gb(k). Fungsi g(x) ditentukan oleh kondisi
awal atau syarat batas tambahan.
pulsa persegi/kotak pada Gambar 5.4. Di luar selang waktu ini, kita tidak memiliki informasi,
sehingga fungsinya kita berikan nilai nol. Transformasi Fourier fungsi ini adalah 2 sin a/.
Seperti yang terlihat pada Gambar 5.4 terdapat penyebaran frekuensi di sekitar = 0.
Dengan kata lain terdapat ketidakpastian frekuensi gelombang. Kita dapat mengatakan
ketidakpastian dengan mengukur lebar dari puncak pusatnya. Dalam contoh ini t =
2a, = 2/a . Menarik untuk memperhatikan bahwa t = 4 yang merupakan sebuah
konstanta. Karena sebuah konstanta, maka nilainya tidak bisa nol, tidak peduli seberapa
besar atau kecilnya t. Sehingga akan selalu terdapat derajat ketidakpastian.
Menurut mekanika kuantum, foton atau elektron, dapat kita anggap sebagai gelombang.
Sebagai gelombang, maka akan terdapat ketidakpastian yang berlaku untuk semua gelom-
bang. Sehingga dalam dunia subatomik, fenomena hanya dapat dideskripsikan dengan jang-
kauan presisi yang mengijinkan adanya ketidakpastian gelombang. Hal ini dikenal sebagai
prinsip ketidakpastian yang pertama kali dikemukakan oleh Werner Heisenberg.
Dalam mekanika kuantum, jika f (t) fungsi gelombang ternormalisasi, yaitu
Z
|f (t)|2 dt = 1,
Jika fb() adalah transformasi Fourier dari f (t), maka menurut teorema Parseval
Z Z
b 2
f () d = 2 |f (t)|2 dt = 2.
1 2a 1/2 2
Z Z
2 1 b 2 2
h i = f () d = exp 2 d
2 2 a 2a
1 2a 1/2
= a(2a)1/2 = a
2 a
Maka
= h 2 i1/2 = (a)1/2
E = ~ dan p = ~k,
dengan E adalah energi, p momentum dan ~ adalah konstanta Planck yaitu h/2. Sehingga
ketidakpastian energi adalah E = ~ dan ketidakpastian momentum p = ~k. Dengan
gelombang Gaussian kita memiliki
~ ~
t E = x p = .
2 2
Karena tidak ada bentuk fungsi gelombang yang dapat mereduksi ketidakpastian di bawah
nilai ini, hubungan ini biasanya dituliskan sebagai
~ ~
t E , x p ,
2 2
yang merupakan pernyataan formal dari prinsip ketidakpastian dalam mekanika kuantum.
250 5. TRANSFORMASI FOURIER
Latihan
3. Tunjukkan bahwa
0 t < 0,
Z
cos t + sin t
d = t = 0,
0 1 + 2
2
et
t > 0.
4. Tunjukkan bahwa
sin t
Z
sin sin t 0t
d = 2
0 1 2
0 t>
Z
2 sin a cos t
Jawab: f (t) = d.
0
6. Carilah integral Fourier dari
t 0 < t < a,
f (t) =
0 t > a.
a sin a cos a 1
Z
2
Jawab: f (t) = + cos t d.
0 2
2
Z
2 2a cos t
Jawab: f (t) = a2 2 sin a + cos a d.
0
9. Carilah transformasi Fourier cosinus dan sinus dari
1 0 < t < 1,
f (t) =
0 t > 1.
2 1 cos 2 sin
Jawab: fbs = , fbc = .
10. Carilah transformasi Fourier dari
et 0 < t,
f (t) =
0 t < 0.
1
Jawab:
(1 + i)
11. Carilah transformasi Fourier dari
1 t |t| < 1,
f (t) =
0 1 < |t|.
2ei ei ei
Jawab: + .
i 2
12. Carilah transformasi Fourier dari
et |t| < 1,
f (t) =
0 1 < |t|.
e1i e1+i
Jawab: .
1 i
13. Tunjukkan bahwa jika f (t) fungsi genap, maka transformasi Fourier menjadi transfor-
masi Fourier cosinus, jika f (t) fungsi ganjil, maka transformasi Fourier menjadi tran-
sformasi Fourier sinus.
Perhatikan bahwa konstanta pengali dan bisa berbeda dengan apa yang sudah kita
definisikan. Tetapi ingat sepanjang hasil kali = 2/, maka ekivalen.
16. (a) Carilah konstanta normalisasi A dari fungsi Gaussian exp(at2 ) sehingga
Z
|A exp(at2 )|2 dt = 1
(b) Carilah transformasi Fourier fb() dari sebuah fungsi Gaussian dan buktikan teo-
rema Parseval dengan integrasi eksplisit
Z
b 2
f () d = 2.
Jawab: A = (2a/)1/4
17. Gunakan transformasi Fourier dari exp(|t|) dan teorema Parseval untuk menunjukkan
Z
d
2 2
= .
(1 + ) 2
(b) Gunakan hasil (a) dan teorema Parseval untuk menghitung integral
sin t 4
Z
I= dt.
t
Jawab I = 2/3
Tentukan f (r).
1
Jawab. f (r) =
4r
20. Carilah transformasi Fourier dari
2
f (t) = te4t
2 /16
Jawab f () = i
b e
16
21. Carilah invers transformasi Fourier dari
fb() = e2||
2 1
Jawab f (t) =
t2 + 4
5.9. KETIDAKPASTIAN GELOMBANG 253
22. Hitunglah
1 1
F 2
+ 4 + 13
Petunjuk: 2 + 4 + 13 = ( + 2)2 + 9
1
Jawab: f (t) = ei2t e3|t| .
6