Miftachul Hadi
Penerbit Euler
23 Desember 2022
1
Prakata
Draf ini dalam tahap rintisan paling awal, masih sangat kasar sehingga pembaca mesti
berhati-hati dengan kesalahan penulisan, sistematikanya yang masih acak maupun ke-
salahan interpretasi penulis. Saran, masukan, koreksi dan tanggapan bisa dilayangkan
di alamat email: itpm.id@gmail.com. Insyaallah, draf ini terus diupayakan untuk di-
lengkapi, diperbaiki. Versi terkini ditunjukkan oleh penanggalan di halaman sampul.
Semoga berguna.
Terima kasih setulusnya kepada Bapak, Ibu Guru yang telah mendidik, mengajar il-
mu fisika dan matematika kepada penulis. Jazakallah khair.
Semoga Allah memberi pahala atas karya ini dan semoga pahalanya tercurah kepada
Ayah-Ibunda tercinta. Semoga Allah menyayangi, menempatkan keduanya di Jannatul
Firdaus.
Daftar Isi
1 Mekanika Klasik 7
1.1 Apa itu Mekanika? . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7
1.2 Apa itu Mekanika Klasik? . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 7
1.3 Mekanika Klasik sebelum Era Newton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
2 Konsep Dasar 9
2.1 Partikel . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 9
2.2 Ruang, Waktu . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 10
2.3 Massa . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12
2.4 Momentum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12
2.5 Gaya . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12
2.6 Ruang Konfigurasi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12
2.7 Ruang Fase . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12
2.8 Derajat Kebebasan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13
2.9 Kendala . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13
2.10 Koordinat Umum . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13
2.11 Persamaan Gerak . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 14
2.12 Kerangka Acuan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 14
3 Azas Variasi 15
3.1 Apa itu Azas Variasi? . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
3.2 Azas Variasi Integral . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16
3.2.1 Azas Aksi Terkecil . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 16
3
DAFTAR ISI 4
8 Aljabar Hamiltonian 53
10 Transfromasi Legendre 58
11 Relativitas Khusus 59
11.1 Apa itu Relativitas? . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 59
11.2 Kerangka Acuan dan Koordinat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 60
11.3 Interaksi dan Kecepatan Penjalaran Interaksi . . . . . . . . . . . . . . 60
11.4 Relativitas Newtonian . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 62
11.5 Ketiadaan Kerangka Acuan Absolut . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 64
11.6 Postulat Teori Relativitas Khusus . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 64
11.7 Invariansi Galileo . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 66
11.8 Transformasi Lorentz . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 67
11.9 Konsekuensi Transformasi Lorentz . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 70
11.10Penambahan Kecepatan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 74
DAFTAR ISI 6
12 Relativitas Umum 83
12.1 Gaya Berat Menurut Newton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 83
12.2 Aksi Seketika Gaya Berat Newton . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 83
12.3 Azas Kesetangkupan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 83
Mekanika Klasik
Secara kasar, mekanika adalah ilmu pengetahuan alam yang mempelajari gerak.
Secara kasar, mekanika klasik adalah ilmu pengetahuan alam yang mempelajari
gerak, ditinjau secara klasik (terkait dengan ukuran relatif besar objek yang bergerak).
Selain itu, terdapat mekanika relativistik (terkait dengan gerak objek berkelajuan
mendekati kelajuan cahaya) maupun non-relativistik (berkelajuan rendah ketimbang
kelajuan cahaya).
Mekanika klasik bersifat deterministik, yakni jika keadaan objek saat ini diketahui
maka keadaan objek di masa depan dapat diramal. Demikian juga keadaan objek di
masa lalu dapat pula diramal [63].
7
BAB 1. MEKANIKA KLASIK 8
Konsep yang berkaitan dengan hukum gerak Newton juga diungkapkan oleh be-
berapa fisikawan Muslim selama Abad Pertengahan. Versi awal hukum inersia, yang
dikenal sebagai hukum gerak pertama Newton dan konsep yang berkaitan dengan mo-
mentum, bagian dari hukum gerak kedua Newton, dijelaskan oleh Ibn al-Haytham
(Alhacen) dan Avicenna. Kesebandingan antara gaya dan percepatan, prinsip penting
dalam mekanika klasik, pertama kali dinyatakan oleh Hibat Allah Abu’l-Barakat al-
Baghdaadi dan teori tentang gravitasi dikembangkan oleh Ja’far Muhammad ibn Mūsā
ibn Shākir, Ibn al-Haytham dan al-Khazini. Diketahui bahwa perlakuan matematika
Galileo Galilei tentang percepatan dan gaya penyebabnya muncul dari analisis gerakan
di abad pertengahan sebelumnya, terutama analisis Avicenna, Ibn Bajjah dan Jean
Buridan [64].
Bab 2
Konsep Dasar
2.1 Partikel
Salah satu konsep paling mendasar mekanika klasik adalah partikel. Apa itu
partikel? Partikel dapat dipahami sebagai benda yang ukurannya bisa diabaikan dalam
memerikan gerak. Sebagai contoh, planet bumi atau bulan dapat dianggap sebagai
partikel dalam tinjauan geraknya mengelilingi matahari. Namun, hal ini tidak berlaku
jika kita meninjau gerak memutar terhadap sumbunya [39].
Partikel dalam mekanika klasik diasumsikan bersifat stabil, bermassa tak nol. Ini
berbeda dengan partikel dasar penyusun atom atau inti atom misalnya, yang dipahami
sebagai ”eksitasi mirip-gelombang” dari medan. Eksitasi mirip-gelombang bisa jadi
bersifat tak stabil, ”melenyap” seperti halnya gelombang di permukaan air [60]1 .
Posisi sebuah partikel dalam ruang didefinisikan oleh vektor jaraknya, ~r. Komponen-
komponen vektor jarak dalam sistem koordinat Kartesian2 adalah x, y, z. Turunan
vektor jarak terhadap waktu t [39]
d~r
~v = (2.1)
dt
1
Dalam tinjaun soliton topologi, sebagai misal, Skyrme (1962) [1] mengajukan gagasan bahwa
partikel tak melenyap karena mereka memiliki ”bilangan topologi”, yang bersifat lestari, tak dapat
diubah oleh deformasi kontinyu terhadap medan (partikel) [60]. [1] Skyrme, T. H. R. 1962, “A unified
field theory of mesons and baryons”, Nucl. Phys. 31, 556-569.
2
Pilihan koordinat tak selalu koordinat Kartesian, namun disesuaikan dengan situasi masalah [39].
9
BAB 2. KONSEP DASAR 10
d2~r
~a = 2 (2.2)
dt
disebut percepatan partikel. Kecepatan dan percepatan bisa pula ditulis sebagai, secara
berturut-turut, ~v = ~r˙ dan ~a = ~r¨.
Bagaimana mendefinisikan posisi sistem N partikel dalam ruang tiga dimensi? Gu-
nakan N vektor jarak, sehingga terdapat 3N koordinat. Jumlah kuantitas tak gayut
yang mesti diberikan untuk mendefinisikan secara unik posisi sistem sembarang adalah
bilangan derajat kebebasan. Dalam hal ini bilangan derajat kebebasan sistem N
partikel dalam ruang tiga dimensi adalah 3N [39].
Ruang adalah perluasan tiga dimensi tak terbatas, di mana objek dan peristiwa
terjadi. Objek dan peristiwa yang terjadi di ruang memiliki posisi relatif dan arah
relatif [65, 66]. Ruang seringkali dipahami sebagai perluasan tiga dimensi linier. Ru-
ang dalam tinjauan teori relativitas khusus diperlakukan sebagai bagian dari kontinum
empat dimensi tak terbatas yang dikenal sebagai ruang-waktu.
Konsep ruang dianggap sangat penting untuk memahami alam semesta. Para filsuf
belum menyepakati konsep ruang. Yakni, apakah ruang itu sendiri merupakan entitas 3 ,
hubungan antar entitas, atau bagian dari kerangka konseptual 4 [65].
Waktu adalah kemajuan berkelanjutan yang tidak terbatas dari keberadaan dan
peristiwa yang terjadi dalam urutan yang tampaknya tidak dapat dibalik dari masa
lalu, melalui saat ini, menuju ke masa depan. Ini adalah kuantitas komponen dari
berbagai pengukuran yang digunakan untuk mengurutkan peristiwa, untuk memban-
dingkan durasi peristiwa atau interval di antara mereka, dan untuk mengukur laju
perubahan kuantitas dalam realitas material atau dalam pengalaman sadar. Waktu
sering disebut sebagai dimensi keempat, bersama dengan tiga dimensi ruang [68].
3
Sesuatu dengan keberadaan yang berbeda dan tak gayut.
4
Kerangka konseptual adalah alat analisis dengan beberapa variasi dan konteks [67].
BAB 2. KONSEP DASAR 11
Waktu, periode terukur atau dapat diukur, sebuah kontinum yang tidak memiliki
dimensi ruang [69].
Baca Carlo Rovelli, ”What is Time? What is Space?”
In the book From Eternity to Here, Carroll explores the nature of the arrow of
time, that goes forward from the past to the future, and posits that the arrow owes its
existence to conditions before the Big Bang. However, reasoning about what was there
before the Big Bang has traditionally been dismissed as meaningless, for space and
time are considered to be created exactly at the Big Bang. Carroll argues that ”un-
derstanding the arrow of time is a matter of understanding the origin of the universe”
and in his explanations relies on the second law of thermodynamics, which states that
all systems in the Universe tend to become more and more disorganized (increase in
entropy).[3][4] The arrow of time is based on ideas that go back to Ludwig Boltzmann,
an Austrian physicist of the 1870s [?].
Ruang dan waktu (Newton). Ruangwaktu (Einstein, SR). Ruangwaktu adalah
medan (gravitasi) (Einstein, GR). Ref; Carlo Rovelli.
Galileo mengamati lampu gantung yang bergoyang. Ia mengukur goyangan lampu
(gerak osilasi) menggunakan denyut nadinya. Dokter mengukur denyut nadi pasien
menggunakan jam (katakanlah, jam bandul). Karena itu sbnrnya kita tak mengukur
”waktu, t”, secara langsung. Yang kita ukur adalah gerak suatu objek dikaitkan dg
gerak objek lain. Newton mengasumsikan adanya ”waktu, t”. Sebenarnya, ada pan-
dangan yang lebih ”ekstrim” soal waktu. Tak ada ruangwaktu, karena ruangwaktu
adalah medan (gravitasi). Ref: Carlo Rovelli
BAB 2. KONSEP DASAR 12
2.3 Massa
2.4 Momentum
2.5 Gaya
Dalam kasus gerak partikel tunggal, kita dapat mewakili lintasannya dalam ruang
tiga dimensi dengan cara menentukan variabel-variabelnya. Untuk kasus sistem N
partikel yang diperikan oleh 3N koordinat ruang dengan k persamaan kendala dalam
ruang riil, terdapat kerumitan untuk menggambarkan gerak sistem keseluruhan. Oleh
karena itu, lebih sesuai untuk memerikan keadaan sistem memiliki koordinat-koordinat
3N − k = n dalam ruang hipotetik n-dimensi. Ini adalah perluasan dari ruang tiga
dimensi menuju ruang n-dimensi. Keadaan sesaat sistem partikel diperikan dengan
titik yang memiliki koordinat umum qi , i = 1, 2, .., n. Titik disebut titik sistem dan
ruang n-dimensi disebut ruang konfigurasi [20].
Titik sembarang di ruang konfigurasi memerikan seluruh unsur pokok sistem. Se-
bagaimana sistem bergerak, n koordinat-koordinatnya akan berubah dan titik sistem
dalam ruang konfigurasi akan memerikan kurva, menunjukkan lintasan sistem. Dalam
perumusan Hamiltonian qi koordinat dan pi momentum dengan i = 1, 2, .., n adalah
variabel-variabel tak gayut. Jika hanya n momentum digunakan sebagai sumbu dalam
ruang n-dimensi, maka diperoleh ruang momentum. Kombinasi koordinat dan ruang
momentum diperlukan untuk memerikan fungsi seperti H(q, p). Ruang 2n-dimensi me-
miliki n koordinat qi , i = 1, 2, .., n dan n momentum pi , i = 1, 2, .., n dikenal sebagai
ruang fase [20].
BAB 2. KONSEP DASAR 13
2.9 Kendala
Seringkali kita perlu berurusan dengan sistem mekanis yang terdapat di dalamnya
interaksi antar partikel atau benda-benda yang berbeda. Interaksinya berbentuk ken-
dala (constraints), yakni pembatasan posisi relatif antar partikel atau benda [39]. Jika
distribusi titik adalah tetap (fixed) dalam cara sembarang, maka bilangan derajat ke-
bebasan mungkin kurang dari 3N [24]. Jika massa partikel atau benda berbeda yang
berinteraksi dalam sistem diabaikan, efek kendala adalah mengurangi bilangan derajat
kebebasan sistem, nilainya lebih kecil ketimbang 3N [39].
Sebagai contoh, jika dua buah titik dikendala oleh penggandengan tegar tak beru-
bah bentuk (rigid nondeformable coupling), maka terdapat enam koordinat Kartesian
dari dua titik tersebut yakni x1 , y1 , z1 dan x2 , y2 , z2 , dikenai kondisi berikut [24]
dimana R12 adalah jarak antara dua titik tersebut. Koordinat Kartesian tak lagi
koordinat-koordinat tak gayut, yakni terdapat hubungan antara koordinat-koordinat
Kartesian. Hanya lima dari enam koordinat Kartesian x1 , .., z2 yang sekarang tak
gayut [24]:
Sebuah sistem mekanis yang terdiri dari dua partikel memiliki lima derajat
kebebasan.
umum sistem, q˙s . Jika seluruh koordinat dan kecepatan secara serempak diberikan,
maka ini bermakna keadaan sistem partikel secara lengkap ditentukan.
Hubungan antara ketiga kuantitas fisis yakni koordinat, kecepatan dan percepatan
disebut persamaan gerak [39].
Untuk memerikan gerak sistem mekanis, kita perlu menentukan posisi sistem meka-
nis tersebut di ruang sebagai fungsi waktu. Hal ini bermakna, kita berurusan dengan
posisi relatif titik sembarang. Sistem, relatif terhadapnya gerak diperikan, disebut
kerangka acuan [24].
Bab 3
Azas Variasi
Azas dasar mekanika klasik, secara matematis, dapat dinyatakan dalam bentuk
hubungan variasi. Hukum mekanika mematuhi hubungan variasi atau azas variasi.
Dengan kata lain, azas variasi mekanika klasik dapat dianggap sebagai aksioma, dan
hukum mekanika dapat diturunkan dari azas variasi [59].
Dalam azas variasi, gerak nyata sebuah partikel atau sistem partikel yang terjadi
di bawah pengaruh gaya eksternal dibandingkan dengan gerak yang mungkin secara
kinematik yang diizinkan oleh suatu kendala yang dikenakan pada sebuah partikel (atau
sistem partikel), memenuhi kondisi tertentu [59].
Dalam kasus kebanyakan, kondisi tertentu yang dengannya gerak nyata dipilih dari
kelompok gerak yang mungkin secara kinematik yang ditinjau, adalah kondisi ekstre-
mitas (atau stasioner) dari fungsi skalar atau fungsional yang menjamin ketakubahan
(simetri) dari deskripsinya [59].
Sesuai dengan bentuknya, azas variasi dapat dibedakan sebagai azas variasi dife-
rensial dan azas variasi integral. Azas variasi diferensial menjelaskan sifat-sifat gerak
sebuah partikel (atau sistem partikel) pada sembarang sesaat waktu. Azas variasi di-
ferensial mencakup antara lain azas perpindahan virtual, azas D’Alembert-Lagrange,
azas Gauss, azas Hertz, azas Chetaev, azas Jourdain [59].
15
BAB 3. AZAS VARIASI 16
Formulasi paling umum hukum yang menentukan gerak sistem mekanis adalah asas
aksi terkecil atau asas Hamilton [10]. Menurut asas ini, setiap sistem mekanis dicirikan
oleh sebuah fungsi tertentu L(q1 , ..., qn , q̇1 , ..., q̇n , t) atau L(q, q̇, t), dan gerak sistem
adalah sedemikian hingga suatu kondisi tertentu dipenuhi. Selanjutnya L diasumsikan
tak gayut waktu.
Misalkan sistem berada pada waktu t1 di q1 dan pada saat t2 di q2 . Sistem bergerak
antara posisi-posisi ini dalam suatu cara sehingga integral
Z tf
S= L(q, q̇)dt (3.1)
ti
menempuh nilai paling kecil yang mungkin. Fungsi L disebut Lagrangian sistem dan
integral (3.1) disebut aksi. Sebagai penyederhanaan, diasumsikan bahwa sistem hanya
memiliki satu derajat kebebasan, sehingga hanya satu fungsi q(t) yang harus ditentuk-
an. Asumsikan juga bahwa q = q(t) menjadi fungsi untuk S minimum. S bertambah
ketika q(t) diganti dengan sembarang fungsi berbentuk:
dimana fungsi δq(t) bernilai kecil di setiap tempat dalam interval waktu dari t1 ke t2 ;
δq(t) disebut variasi fungsi q(t). Untuk t = t1 dan t = t2 , seluruh fungsi-fungsi (3.2)
harus bernilai q1 dan q2 berturut-turut, maka:
Agar nilai S minimum, maka bentuk-bentuk ini (variasi pertama atau variasi integral)
harus bernilai nol. Jadi, asas aksi terkecil dapat ditulis sebagai:
Z t2
δS = δ L(q, q̇)dt = 0. (3.4)
t1
Karena δ q̇ = (d/dt)δq maka bentuk kedua dalam kurung (3.5) dapat diintegrasikan
bagian demi bagian, diperoleh [15]:
Z t2 Z t2
∂L ∂L d
δ q̇dt = δqdt
t1 ∂ q̇ t1 ∂ q̇ dt
Z t2
∂L t2 d ∂L
= δq|t1 − δqdt
∂ q̇ t1 dt ∂ q̇
Karena variasi δq diasumsikan bernilai sembarang, (3.6) dapat menjadi benar hanya
jika pernyataan dalam kurung lenyap
∂L d ∂L
− =0 (3.7)
∂q dt ∂ q̇
Ketika sistem memiliki lebih dari satu derajat kebebasan, n fungsi berbeda qi (t) ha-
rus diubah secara tak gayut dalam asas aksi terkecil, kemudian diperoleh n persamaan
berbentuk [10]:
d ∂L ∂L
− = 0, (i = 1, 2, .., n). (3.8)
dt ∂ q̇ i ∂qi
BAB 3. AZAS VARIASI 18
Persamaan ini mewakili himpunan persamaan diferensial yang menentukan fungsi qi (t)
dalam suatu cara untuk meminimkan S dalam persamaan (3.1). Penurunan persamaan
(3.8) dibentuk dengan asumsi qi dan q̇i adalah peubah-peubah tak gayut [15]. Persama-
an diferensial ini dalam mekanika disebut persamaan Lagrange (dalam kalkulus variasi
disebut persamaan Euler). Secara lengkap disebut persamaan Euler-Lagrange.
Pertanyaan:
Jika ditinjau gerak partikel yang terkendala pada suatu permukaan bidang, maka
diperlukan adanya gaya tertentu yakni gaya konstrain yang berperan mempertahankan
kontak antara partikel dengan permukaan bidang. Namun sayang, tak selamanya ga-
ya konstrain yang beraksi terhadap partikel dapat diketahui. Pendekatan Newtonian
memerlukan informasi gaya total yang beraksi pada partikel. Gaya total ini meru-
pakan keseluruhan gaya yang beraksi pada partikel, termasuk juga gaya konstrain.
Oleh karena itu, jika dalam kondisi khusus terdapat gaya yang tak dapat diketahui,
maka pendekatan Newtonian tak berlaku. Sehingga diperlukan pendekatan baru de-
ngan meninjau kuantitas fisis lain yang merupakan karakteristik partikel, misal energi
totalnya. Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan prinsip Hamilton, dimana
BAB 3. AZAS VARIASI 19
persamaan Lagrange yakni persamaan umum dinamika partikel dapat diturunkan dari
prinsip tersebut. Prinsip Hamilton mengatakan, ”Dari seluruh lintasan yang mungkin
bagi sistem dinamis untuk berpindah dari satu titik ke titik lain dalam interval waktu
spesifik (konsisten dengan sembarang konstrain), lintasan nyata yang diikuti sistem di-
namis adalah lintasan yang meminimumkan integral waktu selisih antara energi kinetik
dengan energi potensial” [?, ?].
Azas integral variasi dalam mekanika yang dikukuhkan oleh C.G.J. Jacobi untuk
sistem konservatif holonomik [31, 32].
Azas integral variasi dalam dinamika sistem holonomik yang dibatasi oleh kendala
stasioner ideal (ideal stationary constraints) dan terjadi di bawah aksi gaya potensial
yang tidak secara eksplisit gayut waktu [33].
Merujuk ke [33], azas Lagrange dalam bentuk implisit pertama kali dikemukakan
oleh P.L.M. Maupertuis [34]; L. Euler [35] memberikan pembuktiannya untuk kasus
pergerakan satu partikel daam medan sentral. J.L. Lagrange [36] memperluas azas ini
ke masalah yang lebih umum.
Azas Maupertuis menyatakan bahwa lintasan yang diikuti oleh sistem fisis adalah
lintasan terpendek. Azas Maupertuis adalah kasus khusus dari azas aksi terkecil [28].
BAB 3. AZAS VARIASI 20
Pertanyaan:
Jika persamaan Lagrange bisa diturunkan dari azas aksi terkecil dan azas D’Alembert,
lalu bagaimana hubungan antara azas aksi terkecil dan azas D’Alembert?
Azas D’Alembert disebut ”azas diferensial”, karena kita meninjau di dalamnya keadaan
sistem sesaat dengan pergeseran maya tak hingga kecil dari posisi sistem. Azas aksi
terkecil (azas Hamilton, azas variasi) adalah ”azas integral”, karena kita meninjau
gerak sistem keseluruhan antara dua waktu sesaat, t1 dan t2 , dan meninjau variasi
maya kecil keseluruhan gerak sistem dari gerak nyata [20].
Azas D’Alembert lebih umum ketimbang azas Hamilton karena azas D’Alembert
tidak dibatasi oleh kendala holonomik. Azas D’Alembert hanya gayut koordinat dan
waktu [26, 27].
Keberadaan azas variasi mengikuti, jika sistem asal dapat diubah menjadi sistem
orde tinggi adjoin-diri. Sebaliknya, jika diberikan sembarang sistem yang memenuhi
syarat kesetangkupan, maka azas variasi segera tampak dengan jelas [62].
Penggunaan azas variasi integral dari mekanika klasik secara alami mengarah pada
konsep solusi umum dan kelas ruang fungsi yang diperluas, di mana solusi masalah
fisika matematika dapat ditemukan [59] .
BAB 3. AZAS VARIASI 21
Azas-azas variasi dari mekanika klasik terbukti dapat diterapkan tidak hanya untuk
sistem diskrit, tetapi juga untuk sistem dengan parameter terdistribusi dan media
kontinu. Azas variasi berperan penting dalam teori medan dan dalam fisika matematika
[59].
Analogi optika-mekanika, transformasi kanonik, grup Lie dan hukum kelestarian
berhubungan erat dengan azas variasi mekanika klasik [59].
Bab 4
Jika kita punya sebatang mistar, panjangnya sama saat kita ukur di rumah atau
pun di kebun, maka ini adalah akibat dari sifat homogenitas ruang.
Homogenitas ruang menyiratkan sifat metrik yang identik, di semua titik dari ruang
[39]. Ruang bersifat homogen, jika ia memperkenankan satu himpunan transformasi
(satu grup gerak) yang memungkinkan kita untuk membawa sembarang titik yang
diberikan ke posisi sembarang titik yang lain [39].
Dalam ruang Euclidean, homogenitas ruang diekspresikan oleh invariansi (kese-
tangkupan) metrik dalam perpindahan paralel (translasi) di sistem koordinat Cartesian
[39]. Dalam ruang homogen non-Euclidean, transformasi grup gerak kembali mening-
galkan tak berubah tiga bentuk diferensial linier independen, yang tidak, bagaimana-
pun, mereduksi menjadi diferensial total dari sembarang fungsi koordinat [39].
Jika kita menghadap ke barat, panjang mistar kita adalah sama (tak berubah,
invarian, setangkup) dengan saat kita menghadap ke selatan, timur atau utara, maka
ini adalah akibat sifat isotropik ruang.
Homogenitas dan isotropi ruang1 berarti kita dapat memilih waktu dunia, sehingga
1
Isotropi ruang: isotropi tertutup (kelengkungan positif), isotropi terbuka (kelengkungan negatip)
[39].
22
BAB 4. HOMOGENITAS DAN ISOTROPI RUANG 23
pada setiap saat, metrik ruang adalah sama pada seluruh titik dan ke segala arah.
Asumsi homogenitas dan isotropi ruang menentukan metrik sepenuhnya [39].
Homogenitas dan isotropi adalah konsep yang berbeda, namun saling terkait. Alam
semesta yang isotropik adalah homogen, sedangkan alam semesta yang homogen mung-
kin tidak isotropik. Alam semesta yang hanya isotropik di sekitar satu titik tidaklah
homogen. Alam semesta yang homogen dan isotropik dikatakan memenuhi prinsip kos-
mologi. Diyakini, bahwa alam semesta kita memenuhi prinsip kosmologi. Homogenitas
ruang membatasi metrik yang boleh digunakan di persamaan medan Einstein [61].
The homogeneity and isotropy of space mean that we can choose a world time,
so that at each moment, the metric of the space is the same at all points and in all
directions. The assumption of homogeneity and isotropy of space determines the metric
completely [39].
Homogeneity and isotropy are distinct yet inter-related concepts. For example a
universe which is isotropic will be homogeneous while a universe that is homogeneous
may not be isotropic. A universe which is only isotropic around one point is not
homogeneous. A universe that is both homogeneous and isotropic is said to satisfy
the Cosmological Principle. It is believed that our Universe satisfies the Cosmological
Principle [61].
Homogeneity severely restrict the metrics that we are allowed to work with in
the Einstein field equation. For a start, they must be independent of space, and
solely functions of time. Furthermore, we must restrict ourselves to spaces of constant
curvature of which there are only three: a flat euclidean space, a positively curved
space and a negatively curved space [61].
Alam Semesta
Apakah homogenitas dan isotropi juga berlaku di fase awal evolusi alam semesta?
Tampaknya, sifat homogenitas dan isotropik ruang adalah ”fungsi waktu”. Di masa
BAB 4. HOMOGENITAS DAN ISOTROPI RUANG 24
lalu, saat awal kelahiran alam semesta, adakah alasan untuk meyakini bahwa sifat
homogenitas dan isotropik ruang berlaku? Menurut Landau-Liftshitz [39], tak ada
alasan bahwa sifat homogenitas dan sifat isotropik ruang berlaku saat awal evolusi
alam semesta, di ”singularitas waktu”.
Asumsi homogenitas dan isotropi alam semesta adalah perkiraan, karena asumsi ini,
tentunya tidak valid jika kita beralih ke skala yang lebih kecil [39]. Kecukupan model
isotropik untuk mendeskripsikan evolusi alam semesta tidak menjadi alasan bahwa
isotropi juga berlaku di fase awal evolusi alam semesta, dekat singularitas waktu (lihat
Landau-Liftshitz, hal.387 [39]).
The adequacy of the isotropic model for the description of the later stages of evolu-
tion of the universe is in itself no reason for expecting that it will be equally suited for
the description of early stages of the evolution, near the time singularity (see Landau-
Liftshitz, p.387 [39]).
Pertanyaan:
Apakah ini berarti bahwa dalam skala kecil (waktu), metrik tak invarian?
Apakah turunan Lie berlaku di ”skala waktu kecil” (dekat singularitas waktu)?
Apakah itu bermakna bahwa model isotropik alam semesta terkait waktu?
Jika ya, apakah homogenitas dan isotropi di ruang internal juga berlaku di awal
evolusi alam semesta?
BAB 4. HOMOGENITAS DAN ISOTROPI RUANG 25
It is clear that, by its very nature, the assumption of homogeneity and isotropy of
the universe can have only an approximate character, since these properties surely are
not valid if we go to a smaller scale [39].
Homogeneity of space implies identical metric properties at all points of the space
[39]. A space is homogeneous, if it admits a set of transformations (a group of motions)
that enables us to bring any given point to the position of any other point [39].
In Euclidean space, the homogeneity of space is expressed by the invariance of the
metric under parallel displacements (translations) of the Cartesian coordinate system
[39].
In non-Euclidean homogeneous space, the transformations of its group of motions
again leave invariant the three independent linear differential forms, which do not,
however, reduce to total differentials of any coordinate functions [39].
Bab 5
Kesetangkupan berperan penting bagi fisikawan dalam melakukan karya pionir un-
tuk merumuskan hukum fisika dan menemukan fenomena baru [Muslim, Simetri dalam
Fisika, Beberapa Masalah Menarik dan Penyelesaiannya, Prosiding Pertemuan Ilmiah
XVII HFI, 1997.].
Kuantitas lestari sistem fisis terkait dengan kesetangkupan tertentu dari sistem fi-
sis tersebut. Fakta ini dibuktikan oleh teorema Noether. Sistem setangkup dalam
transformasi ruang-waktu memiliki kelestarian momentum linier dan energi total, se-
cara berturut-turut. Sistem setangkup oleh konjugasi muatan (C), operasi paritas (P),
pembalikan waktu (T), memiliki kelestarian operasi CPT [Arthur Beiser, Konsep Fisika
Modern, edisi ke-4, McGraw-Hill, 1987.].
Kesetangkupan internal isospin memiliki peranan penting dalam interaksi inti (pro-
ton dan neutron). Kesetangkupan (internal) konjugasi muatan memiliki peranan pen-
ting dalam interaksi partikel dan anti-partikelnya [Agus Purwanto, Simetri: Pola Dasar
Penciptaan, Paradigma, No.9, Th.VII, FMIPA Universitas Brawijaya, 1995.].
Kesetangkupan memiliki arti yang ekivalen dengan ketakubahan (invariansi). Kese-
tangkupan dapat diartikan sebagai sifat tak berubah dari objek (sistem fisis, kuantitas
fisis, azas fisika atau hukum fisika) setelah transformasi tertentu. Objek memiliki sifat
26
BAB 5. AZAS KESETANGKUPAN DAN HUKUM KELESTARIAN 27
setangkup, jika tak dapat dibedakan antara yang baru dari yang lama setelah aksi
selesai [http://walet.phy.umist.ac.uk]. [?, ?, ?, ?].
Yang setangkup adalah persamaan dinamika partikel dan persamaan medan (inte-
raksi). Lebih tepatnya adalah Lagrangian sistem fisis. Artinya, persamaan dinamika
partikel dan persamaan medan (keduanya dapat diturunkan dari prinsip aksi terkecil)
invarian dalam transformasi [?, ?].
Ya, karena setiap teori ”yang benar” dalam fisika ditunjukkan oleh Lagrangian
sistem, diasumsikan mesti memenuhi azas kesetangkupan [?, ?].
Kesetangkupan fase (gauge symmetry) memiliki makna yang berbeda dengan kese-
tangkupan biasa (usual symmetry). Solusi persamaan di kesetangkupan fase mewakili
BAB 5. AZAS KESETANGKUPAN DAN HUKUM KELESTARIAN 28
keadaan yang sama (same state), sedangkan solusi persamaan di kesetangkupan biasa
mewakili keadaan yang berbeda (different state) [38].
lestarian
jika setelah dilakukan transformasi tertentu padanya, sistem fisis tersebut tampak sama
sebagaimana sebelumnya [9]. Secara umum, simetri suatu objek menunjukkan sifat
invariansinya dalam transformasi [8].
Hal yang menarik dari gagasan simetri ini adalah adanya besaran kekal (kekekalan)
bagi sistem fisis yang memiliki simetri tertentu terhadap transformasi [9].
Ditinjau transformasi translasi ruang dan transformasi translasi waktu terhadap
sistem fisis, maka:
besaran kekal (kekekalan) apakah yang muncul dalam transformasi translasi ru-
ang?
besaran kekal (kekekalan) apakah yang muncul dalam transformasi translasi wak-
tu?
Dengan meninjau sistem fisis yang invarian terhadap transformasi, maka dapat
diketahui adanya besaran kekal terkait sistem fisis tersebut.
Secara khusus, akan dibuktikan keberadaan:
kekekalan momentum linier bagi sistem fisis yang invarian terhadap transformasi
translasi ruang;
kekekalan energi bagi sistem fisis yang invarian terhadap transformasi translasi
waktu.
Jika (q, p) mematuhi persamaan kanonik (11.28) maka (q, p) adalah koordinat-koordinat
kanonik, dan persamaan (11.29) mendefinisikan transformasi kanonik [11]. Sembarang
himpunan koordinat (qi , ..., qn ) dan momentum terkait dibangkitkan dalam aljabar La-
∂L
grangian (pi = ∂ q̇i
) adalah koordinat-koordinat kanonik [8].
Apakah himpunan baru koordinat (q(q, p), p(q, p)), adalah koordinat kanonik jika
diasumsikan (q, p) adalah kanonik? Dengan merujuk (11.18) untuk sembarang ω(x, p)
maka:
∂ω ∂H ∂ω ∂H
ω̇ = {ω, H} = Σi − . (5.3)
∂qi ∂pi ∂pi ∂qi
Jika metode di atas diterapkan terhadap terhadap q j (q, p) maka
∂q j ∂H ∂q j ∂H
q̇ j = q j , H = Σi − . (5.4)
∂qi ∂pi ∂pi ∂qi
Jika H dipandang sebagai fungsi (q, p) dan digunakan aturan rantai, maka diperoleh:
∂H(q, p) ∂H(q, p)
=
∂pi ∂pi
(5.5)
∂H ∂q k ∂H ∂pk
= Σk +
∂q k ∂pi ∂pk ∂pi
dan
∂H(q, p) ∂H(q, p)
=
∂qi ∂qi
(5.6)
∂H ∂q k ∂H ∂pk
= Σk + .
∂q k ∂qi ∂pk ∂qi
BAB 5. AZAS KESETANGKUPAN DAN HUKUM KELESTARIAN 31
Persamaan (11.34) dan (11.35) dapat diturunkan menjadi persamaan kanonik (5.1)
untuk sembarang H(q, p) jika memenuhi syarat sebagai berikut:
q j , q k = 0 = pj , pk
(5.9)
q j , pk = δjk .
Syarat (11.36) adalah syarat bagi peubah-peubah baru agar menjadi peubah-peubah
kanonik [8].
Transformasi tersebut dapat dipandang sebagai transformasi pasif, (q, p) dan (q, p)
merujuk pada titik yang sama dalam ruang fase yang digambarkan oleh dua sistem
koordinat berbeda. Dalam transformasi (q, p) 7−→ (q, p), nilai numerik dari seluruh
peubah dinamis tak berubah (merujuk pada keadaan fisis yang sama), namun bentuk
fungsionalnya berubah [8].
BAB 5. AZAS KESETANGKUPAN DAN HUKUM KELESTARIAN 32
Transformasi (q, p) 7−→ (q, p) dapat dipandang sebagai transformasi aktif atau tran-
sformasi pasif; keduanya adalah transformasi kanonik, jika (q, p) mematuhi (11.36).
Jika H invarian dalam sembarang transformasi kanonik (q, p) 7−→ (q, p), dan jika
(q(t), p(t)) adalah solusi persamaan gerak, maka demikian juga trayektori tertran-
sformasinya. Secara ekivalen, eksperimen dan versi tertransformasinya memberi
BAB 5. AZAS KESETANGKUPAN DAN HUKUM KELESTARIAN 33
Konsekuensi 1:
Sembarang peubah dinamis g bernilai kekal, jika H invarian dalam transformasi
yang dibangkitkannya
∂H ∂H
δH = Σi δqi + δpi
∂qi ∂pi
∂H ∂g ∂H ∂g
=Σ + −
∂qi ∂pi ∂pi ∂qi
∂H ∂g ∂H ∂g
= Σ −
∂qi ∂pi ∂pi ∂qi (5.11)
= Σ {H, g}
= Σ − {g, H}
= 0.
dg
= {g, H} . (5.12)
dt
∂p ∂p
δx = = ; δ = − = 0.
∂p ∂x
bernilai tetap dan V (x + ) = V (x). Potensial yang tidak berubah dari titik ke
titik menunjukkan bahwa tak ada gaya yang beraksi pada partikel dan dengan
demikian p bernilai kekal [10].
Konsekuensi 2:
Tinjau sebuah sistem dua partikel yang Hamiltoniannya invarian dalam translasi
sistem keseluruhan, yakni sistem kedua partikel tersebut. Pengamat SA menyi-
apkan pada t = 0 keadaan (x01 , x02 ; p01 , p02 ) yang berkembang sebagai (x1 (t), x2 (t); p1 (t), p2 (t))
untuk waktu sesaat dan berakhir dalam keadaan (xT1 , xT2 ; pT1 , pT2 ) pada waktu T .
Misalkan keadaan akhir hasil eksperimen dihubungkan dengan pengamat SA .
Untuk kasus lain, tinjau keadaan awal (x01 + a, x02 + a; p01 , p02 ). Keadaan mene-
ngah dan akhir juga dipindah dengan pergeseran yang sama. Bagi pengamat
SB , yang dipindah relatif terhadap SA dengan a, mengamati perubahan keadaan
sistem kedua identik sebagaimana SA mengamati keadaan sistem pertama. Jika
diasumsikan, SB telah menyiapkan sistem kedua, maka dpat dikatakan bahwa
eksperimen yang dilakukan dalam keadaan sistem pertama dan versi tertransfor-
masi translasinya dalam keadaan sistem kedua memberi hasil eksperimen yang
sama (sebagaimana diamati oleh SA dan SB ) jika H invarian secara translasional
[8]. Ide fisisnya adalah, invariansi translasi H menunjukkan invariansi V (x1 , x2 );
akibatnya V (x1 , x2 ) = V (x1 − x2 ). Jadi, tiap-tiap partikel hanya mempedulikan
posisi-posisi partikel lain relatif terhadap dirinya dan tidak mempedulikan posisi
sistem secara keseluruhan berada dalam ruang. Konsekuensinya, hasil ekspe-
rimen tidak dipengaruhi oleh translasi sistem keseluruhan dalam ruang. Sifat
homogenitas ruang: sifat-sifat mekanis sistem tertutup (sistem partikel yang ha-
nya berinteraksi dengan dirinya sendiri dan tidak dengan benda lain) tak berubah
dengan sembarang translasi paralel sistem keseluruhan dalam ruang [10].
BAB 5. AZAS KESETANGKUPAN DAN HUKUM KELESTARIAN 35
Translasi:
x 7−→ x + , p 7−→ p (Mekanika Klasik)
hxi 7−→ hxi + , hpi 7−→ hpi (Mekanika Kuantum).
Invariansi Translasi:
H 7−→ H (Mekanika Klasik)
hHi 7−→ hHi (Mekanika Kuantum).
Hukum Kekekalan:
ṗ = 0 (Mekanika Klasik)
hṗi = 0 (Mekanika Kuantum).
Tinjau transformasi translasi partikel dalam satu dimensi dengan melibatkan nilai
harap posisi dan nilai harap momentum liniernya:
Aksi operator translasi T () mentranslasi keadaan kuantum menuju keadaan kuantum
tertranslasi [14].
T ()|ψi = |ψ i. (5.17)
BAB 5. AZAS KESETANGKUPAN DAN HUKUM KELESTARIAN 36
Bila (11.43) dinyatakan dengan menggunakan operator translasi T () dengan mengi-
ngat (11.44) diperoleh
hψ|T ()+ xT ()|ψi = hψ|x|ψi + (5.18)
Makna fisis (11.47) adalah jika posisi partikel mula-mula berada di x maka setelah
digeser sejauh pergeseran infinitesimal , maka posisi partikel berada di x + .
Jika operasi dari T () terhadap sebuah basis lengkap diketahui, maka operasi T ()
terhadap sembarang ket |ψi dapat dilakukan dengan meninjau ulang (11.44) [8]:
|ψ i = T ()|ψi
Z ∞
= T () |xihx|ψidx
−∞
Z ∞ (5.21)
= |x + ihx|ψidx
−∞
Z ∞
= |x0 ihx0 − |ψidx0 ; (x0 = x + )
−∞
maka
hx|T ()|ψi = hx|ψ i = ψ(x − ) (5.22)
Persamaan (11.49) bermakna bahwa fungsi gelombang ψ (x) dapat diperoleh dengan
mentranslasi fungsi gelombang ψ(x) dengan sejumlah pergeseran ke kanan tanpa
perubahan bentuk (distorsi).
BAB 5. AZAS KESETANGKUPAN DAN HUKUM KELESTARIAN 37
Karena = 0 berhubungan dengan tak adanya translasi, maka operator T () dapat
diekspansikan terhadap orde sebagai:
1
T () = I − G (5.24)
h̄
Operator G disebut pembangkit translasi; bersifat hermitian dan −i/h̄ adalah kon-
stanta [8]. Operator G dicari dengan meninjau persamaan (11.49):
Jika kedua sisi persamaan di atas diekspansikan terhadap orde maka diperoleh:
sehingga
hx|G|ψi = −ih̄(dψ/dx).
= hT ()ψ|H|T ()ψi
Teorema Ehrenfest untuk operator Ω yang tak gayut waktu secara jelas adalah [8]:
= (−i/h̄)h[p, H]i
=0
sehingga
(d/dt)hpi = 0 7−→ hṗi = 0 (5.28)
Jika eksperimen yang sama diulang pada waktu t2 dan dimulai dari keadaan awal
yang sama |ψ0 i, maka keadaan sistem pada waktu t2 + menjadi
dH/dt = 0. (5.33)
Jika Ω disubstitusi dengan operator energi total, H, maka hubungan di atas menjadi
= h[HH − HH]i
=0
sehingga
hḢi = 0 (5.34)
Ide kesetangkupan ini dapat diperluas dengan mencangkup beragam jenis transfor-
masi terhadap sistem fisis, lalu tinjau bentuk kekekalan yang muncul: apakah selalu
diperoleh bentuk kekekalan dalam setiap transformasi terhadap sistem fisis?
antum
Dalam fisika partikel, azas kesetangkupan adalah konsep terpenting dalam pembu-
atan model. Kesetangkupan memainkan peran penting agar teori dapat dinormalisasi
dan unitari. Lagrangian harus dipilih agar memenuhi azas kesetangkupan. Kesetang-
kupan Lagrangian adalah konsep klasik. Tidak ada jaminan bahwa kesetangkupan
Lagrangian dapat ditingkatkan menjadi kesetangkupan kuantum, yaitu kesetangkupan
aksi efektif. Jika kesetangkupan klasik Lagrangian tidak dapat dipertahankan dalam
proses kuantisasi, teori tersebut dikatakan memiliki anomali. Ada banyak jenis anoma-
li: anomali lengan (chiral anomaly), anomali fase (gauge anomaly), anomali gravitasi
dan sebagainya [37].
42
BAB 6. KESETANGKUPAN DAN INTERAKSI 43
wai
Persamaan (11.4) sama dengan persamaan hukum kedua Newton jika didefini-
sikan sebuah besaran
∂L
pi = (7.2)
∂ q̇i
44
BAB 7. ALJABAR LAGRANGIAN DAN ALJABAR NEWTONIAN 45
yang disebut momentum kanonik konjugat terhadap koordinat umum qi dan be-
saran
∂L
Fi = (7.3)
∂qi
disebut gaya umum konjugat terhadap qi .
Dari (11.3), jika koordinat Kartesian xi adalah koordinat siklis, momentum yang
berhubungan mi ẋi bernilai kekal, namun bentuk (11.7) lebih umum.
Dalam tinjauan mekanika klasik, gerak sistem mekanis ditentukan oleh asas aksi
terkecil [11]. Menurut asas aksi terkecil gerak nyata suatu sistem dinamis yang konse-
rvatif dari suatu titik, misalnya yang dicirikan oleh koordinat (xi , ti ) ke titik lain (xf , tf )
terjadi dengan cara sedemikian rupa sehingga aksinya bernilai minimum terhadap se-
mua lintasan yang mungkin terjadi antara titik (xi , ti ) dan titik (xf , tf ) untuk energi
yang sama. Keadaan sistem mekanis dicirikan oleh koordinat umum dan kecepatan
umum dalam bentuk Lagrangian.
Persamaan gerak partikel ditunjukkan oleh persamaan Euler-Lagrange yang ditu-
runkan dari asas aksi terkecil. Persamaan Euler-Lagrange merupakan bentuk umum
persamaan gerak partikel dalam berbagai sistem koordinat, invarian dalam sembarang
perubahan sistem koordinat dimana persamaan hukum kedua Newton dapat diturunk-
an darinya merupakan bentuk khusus yang berlaku dalam sistem kordinat Kartesian
[8].
Keadaan mekanis sistem sebagai fungsi koordinat umum dan kecepatan umum di-
transformasi Legendre ke keadaan mekanis sistem sebagai fungsi koordinat umum dan
momentum umum dalam bentuk Hamiltonian sistem [10].
BAB 7. ALJABAR LAGRANGIAN DAN ALJABAR NEWTONIAN 46
Keadaan mekanis sistem secara lengkap didefinisikan ketika posisi dan kecepatan
partikel ditentukan. Hal ini telah dilakukan dalam formulasi Lagrangian dengan cara
mendefinisikan posisi dan kecepatan partikelnya [10].
Dalam formulasi Lagrangian, keadaan suatu partikel dalam suatu potensial V (x)
ditentukan dengan cara: partikel terletak di xi dan xf pada waktu ti dan tf berturut-
turut. Dari semua lintasan yang mungkin yang menghubungkan posisi partikel di xi
pada saat ti dan posisi partikel di xf pada saat tf , ditentukan lintasan terpendek yang
menghubungkan (xi , ti ) dan (xf , tf ).
Lagrangian dari partikel tersebut didefinisikan sebagai
L=T −V (7.5)
dimana T adalah energi kinetik dan V adalah energi potensial. Untuk selanjutnya,
diasumsikan bahwa Lagrangian sistem tak gayut waktu, L = L(x, ẋ).
Aksi, S[(t)] yang menghubungkan (xi , ti ) dan (xf , tf ) didefinisikan sebagai:
Z tf
S[(x)] = L(x, ẋ) dt
ti
dengan
1
T = (mẋ2 ) (7.7)
2
dan
V = V (x) (7.8)
diperoleh
∂L ∂T
= = mẋ
∂ ẋ ∂ ẋ
dan
∂L ∂V
=−
∂x ∂x
sehingga persamaan (11.1) menjadi
d ∂V
(mẋ) = −
dt ∂x
yakni, hukum kedua Newton [8], menggambarkan sebuah partikel bermassa m yang
bergerak sepanjang sumbu x dalam suatu potensial, V (x).
Jika ditinjau sebuah sistem yang digambarkan oleh n koordinat Kartesian dengan
menggunakan prosedur yang sama (cf. 11.1), diperoleh:
d ∂L ∂L
= , i = (1, 2, 3, ..., n). (7.9)
dt ∂ ẋi ∂xi
Jika ditinjau sebuah partikel yang bergerak pada sebuah bidang. Lagrangian dalam
koordinat Kartesian adalah [8]:
1
L = m(ẋ2 + ẏ 2 ) − V (x, y)
2 (7.15)
1
= mv.v − V (x, y)
2
BAB 7. ALJABAR LAGRANGIAN DAN ALJABAR NEWTONIAN 49
dan
1
L = m(ṙ2 + r2 θ̇2 ) − V (r, θ) (7.18)
2
(energi kinetik, T dalam hal ini dinyatakan oleh hubungan ṙ, θ̇, r; berbeda bila dinya-
takan dalam koordinat Kartesian).
Persamaan gerak yang dibangkitkan L ini adalah:
d ∂V
(mṙ) = − + mrθ̇2 (7.19)
dt ∂r
d ∂V
(mr2 θ̇) = − (7.20)
dt ∂θ
Dalam persamaan (7.20) momentum kanonik mr2 θ̇ adalah momentum anguler dan
gaya umum − ∂V
∂θ
adalah torka; keduanya sepanjang sumbu z.
Jika diinginkan bentuk hukum kedua Newton dalam sistem koordinat bola untuk r
dan θ maka dapat diperoleh bentuk
∂V
mr̈ = − + mrθ̇2 (7.21)
∂r
1 ∂V 2mṙθ̇
mθ̈ = − 2 − (7.22)
r ∂θ r
Persamaan (7.21), (7.22) pada satu sisi sama dengan (7.19),(7.20), namun berbeda
dengan (7.16),(7.17) pada sisi lain. Dalam (7.21) muncul gaya sentrifugal (mrθ̇2 ) dan
di (7.22) muncul bentuk gaya Coriolis (−2mṙθ̇).
BAB 7. ALJABAR LAGRANGIAN DAN ALJABAR NEWTONIAN 50
nik
Tinjau trayektori (q(t), p(t)) dalam ruang fase yang memenuhi persamaan gerak
Hamilton. Diasosiasikan dengannya trayektori bayangan, (q̄(t), p̄(t)) yang diperoleh
dengan mentransformasi kanonik reguler masing-masing titik (q, p) ke titik bayangan
(q̄, p̄). Apakah berlaku [8]:
Jika (q, p) 7−→ (q̄, p̄) adalah transformasi kanonik pasif (7.24) dapat ditulis (karena
kurung Poisson invarian dalam transformasi kanonik tersebut)
Ini adalah transformasi aktif [8]. Karena simetri H, yakni H(q, p) = H(q̄, p̄) dapat
dituju langkah yang sama menuju (11.34) dari (11.31) dan buktikan hasilnya.
Dengan alasan yang sama, diperoleh
pengaruh gaya atau interaksi akan bergerak sedemikian rupa sehingga laju perubahan
waktu dari momentum sama dengan gaya tersebut”. Hukum-hukum gerak Newton
baru memiliki arti fisis, jika hukum-hukum tersebut diacukan terhadap suatu kerangka
acuan tertentu, yakni kerangka acuan inersia (suatu kerangka acuan yang bergerak
serba sama - tak mengalami percepatan). Prinsip Relativitas Newtonian menyatakan,
”Jika hukum-hukum Newton berlaku dalam suatu kerangka acuan maka hukum-hukum
tersebut juga berlaku dalam kerangka acuan lain yang bergerak serba sama relatif ter-
hadap kerangka acuan pertama”. Konsep partikel bebas diperkenalkan ketika suatu
partikel bebas dari pengaruh gaya atau interaksi dari luar sistem fisis yang ditinjau
(idealisasi fakta fisis yang sebenarnya). Gerak partikel terhadap suatu kerangka acuan
inersia tak gayut (independen) posisi titik asal sistem koordinat dan tak gayut arah ge-
rak sistem koordinat tersebut dalam ruang. Dikatakan, dalam kerangka acuan inersia,
ruang bersifat homogen dan isotropik. Jika partikel bebas bergerak dengan kecepatan
konstan dalam suatu sistem koordinat selama interval waktu tertentu tidak mengalami
perubahan kecepatan, konsekuensinya adalah waktu bersifat homogen [?, ?].
Persamaan gerak partikel yang dinyatakan oleh persamaan Lagrange dapat dipero-
leh dengan meninjau energi kinetik dan energi potensial partikel tanpa perlu meninjau
gaya yang beraksi pada partikel. Energi kinetik partikel dalam koordinat kartesian ada-
lah fungsi dari kecepatan, energi potensial partikel yang bergerak dalam medan gaya
konservatif adalah fungsi dari posisi. Jika didefinisikan Lagrangian sebagai selisih an-
tara energi kinetik dan energi potensial. Dari prinsip Hamilton, dengan mensyaratkan
kondisi nilai stasioner maka dapat diturunkan persamaan Lagrange. Persamaan Lagra-
nge merupakan persamaan gerak partikel sebagai fungsi dari koordinat umum, kece-
patan umum, dan mungkin waktu. Kegayutan Lagrangian terhadap waktu merupakan
konsekuensi dari kegayutan konstrain terhadap waktu atau dikarenakan persamaan
transformasi yang menghubungkan koordinat kartesian dan koordinat umum mengan-
BAB 7. ALJABAR LAGRANGIAN DAN ALJABAR NEWTONIAN 52
dung fungsi waktu. Pada dasarnya, persamaan Lagrange ekivalen dengan persamaan
gerak Newton, jika koordinat yang digunakan adalah koordinat kartesian [?, ?].
Dalam mekanika Newtonian, konsep gaya diperlukan sebagai kuantitas fisis yang
berperan dalam aksi terhadap partikel. Dalam dinamika Lagrangian, kuantitas fisis
yang ditinjau adalah energi kinetik dan energi potensial partikel. Keuntungannya, ka-
rena energi adalah besaran skalar, maka energi bersifat invarian terhadap transformasi
koordinat. Dalam kondisi tertentu, tidaklah mungkin atau sulit menyatakan seluruh
gaya yang beraksi terhadap partikel, maka pendekatan Newtonian menjadi rumit pula
atau bahkan tak mungkin dilakukan. Oleh karena itu, pada perkembangan berikutnya
dari mekanika, prinsip Hamilton berperan penting karena ia hanya meninjau energi
partikel saja [?, ?].
Bab 8
Aljabar Hamiltonian
Koordinat qi dan kecepatan q̇i adalah peubah-peubah tak gayut dalam aljabar
Lagrangian. Momentum adalah besaran turunan yang didefinisikan sebagai:
∂L
pi = . (8.1)
∂ q̇i
Dalam aljabar Hamiltonian, peran q̇ ditukar dengan p: Lagrangian L(q, q̇) diganti oleh
Hamiltonian H(q, p) yang membangkitkan persamaan gerak dengan q̇ menjadi besaran
turunan [8]
∂H
q̇i = (8.2)
∂pi
Dengan menggunakan transformasi Legendre [10], dapat didefinisikan Hamiltonian se-
bagai:
H(q, p) = Σni=1 pi q̇i − L(q, q̇). (8.3)
Ditinjau
∂H ∂
= (Σj pj q̇j − L)
∂pi ∂pi
∂ q̇j ∂L ∂ q̇j
= q̇i + Σj pj − Σj (8.4)
∂pi ∂ q̇j ∂pi
= q̇i
karena
L
pj = .
∂ q̇j
Catatan:
53
BAB 8. ALJABAR HAMILTONIAN 54
∂H
∂pi
∂H ∂H
= q̇i , − = ṗi (8.6)
∂pi ∂qi
dH ∂H
= =0
dt ∂t
diperoleh
X
H= pi ẋi − L
i
(8.8)
= 2T − (T − V )
=T +V
dimana T + V adalah energi total [13]. Persamaan (11.16) adalah hubungan skalar
sehingga tak gayut koordinat yang digunakan untuk menyatakannya.
Jika dibandingkan aljabar Lagrangian dan aljabar Hamiltonian [13]:
1. Aljabar Lagrangian:
Keadaan sistem dapat diwakili oleh sebuah titik yang bergerak dengan kecepatan
tertentu dalam sebuah ruang konfigurasi n dimensi.
Untuk sebuah L yang diberikan, beberapa lintasan boleh melewati sebuah titik
yang diberikan dalam ruang konfigurasi gayut q̇.
2. Aljabar Hamiltonian:
Keadaan sistem dapat diwakili oleh sebuah titik dalam ruang fase [11] berdimensi
2n, dengan koordinat-koordinat (q1 , ..., qn ; p1 , ..., pn ).
Untuk sebuah H yang diberikan, hanya terdapat satu lintasan yang melewati
sebuah titik yang diberikan dalam ruang fase.
Bab 9
Pendefinisian koordinat siklis dalam aljabar Hamiltonian memiliki arti yang sama
dengan pendefinisiannya dalam aljabar Lagrangian. Jika koordinat qi diabaikan dalam
H, maka:
∂H
ṗi = − =0 (9.1)
∂qi
Jika ditinjau ω sebagai fungsi peubah-peubah keadaan q dan p sehingga ω = ω(q, p)
dan tak gayut waktu secara eksplisit, maka turunan ω(q, p) terhadap waktu:
dω X ∂ω ∂ω
= q̇i + ṗi
dt i
∂q i ∂p i
X ∂ω ∂H ∂ω ∂H
= − (9.2)
i
∂q i ∂p i ∂pi ∂qi
= {ω, H}
dimana kurung Poisson antara dua peubah ω(q, p) dan λ(q, p) didefinisikan sebagai
[10]:
X ∂ω ∂λ ∂ω λ
{ω, λ} ≡ − . (9.3)
i
∂q i ∂p i ∂p i ∂q i
Dari (11.18) diketahui, jika sembarang peubah, misalkan ω, terdapat dalam kurung
Poisson dengan H lenyap {ω, H} = 0, maka peubah ω tersebut konstan terhadap
waktu dω/dt = 0, yakni bernilai kekal. Secara khusus, H adalah konstanta gerak
(diidentifikasi sebagai energi total) jika H tak gayut waktu.
56
BAB 9. KOORDINAT SIKLIS DAN KURUNG POISSON 57
dan
{qi , pj } = δij (9.5)
δij = 1 jika i = j
(9.6)
δij = 0 jika i 6= j
Persamaan Hamilton jika dinyatakan dalam kurung Poisson dengan merujuk (11.18):
dan
ṗi = {pi , H} (9.8)
Transfromasi Legendre
Perubahan dari satu himpunan peubah tak gayut ke peubah tak gayut lain dapat
dilakukan dengan menggunakan transformasi Legendre. Tinjau transformasi Legendre:
diferensial total Lagrangian sebagai fungsi koordinat umum dan kecepatan umum
∂L ∂L
dL(q, q̇) = Σi dqi + Σi dq̇i .
∂qi ∂ q̇i
Persamaan di atas dapat ditulis sebagai
karena, ∂L/∂ q̇i didefinisikan sebagai momentum umum, pi , dan ∂L/∂qi = ṗi oleh
persamaan Euler-Lagrange. Bentuk kedua (10.1) dapat ditulis
Argumen diferensial adalah energi sistem; dinyatakan dalam koordinat dan momentum,
disebut fungsi Hamilton atau Hamiltonian sistem
58
Bab 11
Relativitas Khusus
Relativitas, dalam hal ini adalah Relativitas Khusus, atau dikenal juga sebagai Teori
Relativitas Khusus adalah teori fisika terkait pengukuran di dalam kerangka acuan
inersia. Teori ini diajukan oleh Albert Einstein dalam karya tulisnya yang berjudul
”On the Electrodynamics of Moving Bodies (judul asli: Zur Elektrodynamik bewegter
Korper )” dan dimuat dalam Annalen der Physik, 17, 30 Juni 1905 [1], [2].
Teori ini merupakan bentuk perluasan dari Prinsip Relativitas Galileo, menyatakan
bahwa seluruh gerak serba sama adalah relatif, dan tak ada keadaan diam absolut serta
tertentu (tak ada kerangka acuan istimewa). Prinsip Relativitas Khusus menyatakan
bahwa, kecepatan cahaya adalah sama untuk seluruh pengamat inersia tak peduli
keadaan gerak sumber cahaya [1].
Teori ini dinamai ”khusus” karena dalam teori ini prinsip relativitas berlaku hanya
untuk kerangka acuan inersia. Albert Einstein, pada perkembangan selanjutnya juga
mengembangkan Relativitas Umum, dimana prinsip relativitas berlaku untuk semba-
rang kerangka acuan, tak hanya untuk kerangka acuan inersia [1].
Relativitas Khusus memiliki konsekuensi yang terbukti secara eksperimen, anta-
ra lain meliputi konstraksi panjang, dilasi waktu, berlawanan dengan ide klasik yang
menyatakan bahwa selang waktu antara dua peristiwa adalah sama untuk semua pe-
59
BAB 11. RELATIVITAS KHUSUS 60
ngamat.
Prediksi Relativitas Khusus bersesuaian dengan mekanika klasik, khususnya da-
lam eksperimen dimana kecepatan objek adalah kecil dibandingkan dengan kecepatan
cahaya.
berbeda gayut pada sistem kerangka acuan yang digunakan untuk mendeskripsikan per-
istiwa tersebut. Sedangkan waktu adalah absolut, yakni sifat-sifat waktu diasumsikan
tak gayut sistem kerangka acuan; terdapat satu waktu untuk seluruh kerangka acuan.
Ide waktu absolut adalah kontradiktif dengan Prinsip Relativitas Einstein (percobaan
Michelson-Morley).
Teori Relativitas Khusus gayut pada kerangka acuan. Kerangka acuan adalah sisi
pengamatan pengamat dalam ruang pada keadaan diam atau bergerak serba sama,
dimana posisi dapat diukur bersama dengan tiga sumbu ruang. Sebagai tambahan,
suatu kerangka acuan memiliki kemampuan untuk menentukan pengukuran waktu dari
suatu peristiwa menggunakan ”jam” (sembarang perangkat acuan dengan periodisitas
serba sama).
Peristiwa adalah kejadian yang dapat ditentukan oleh waktu dan lokasi unik tung-
gal dalam ruang relatif terhadap kerangka acuan: ia disebut ”titik” dalam ruang-
waktu. Kecepatan cahaya adalah konstan dalam relativitas dalam tiap-tiap dan setiap
kerangka acuan, sehingga pulsa cahaya dapat digunakan untuk mengukur jarak dan
menghubungkan waktu peristiwa terjadi dengan jam, sungguh pun cahaya mengambil
waktu untuk mencapai jam setelah peristiwa berlangsung.
Sebagai contoh, ledakan petasan dapat ditinjau sebagai ”peristiwa”. Peristiwa da-
pat diperinci dengan menggunakan empat koordinat ruang-waktu: waktu kejadian dan
lokasi ruang tiga dimensinya mendefinisikan titik acuan.
Fenomena ”gerak” telah menjadi bidang minat utama sejak peradaban manusia
bermula. Meskipun dikenali bahwa gerak benda mencangkup perpindahannya relatif
terhadap sesuatu, Newton berargumentasi bahwa ”gerak absolut adalah translasi su-
atu benda dari satu tempat absolut ke tempat absolut yang lain”. Namun, apa yang
dimaksud dengan ”tempat absolut”? Pertanyaan ini tak pernah terjawab. Newton me-
nyatakan secara eksplisit bahwa ”gerak translasi dapat dideteksi hanya dalam bentuk
BAB 11. RELATIVITAS KHUSUS 63
r0 = r − vt
(11.1)
0
t = t.
ṙ0 = ṙ − v
(11.2)
0
r̈ = r̈.
Dari persamaan di atas, nampak jelas bahwa kecepatan partikel berbeda dalam dua
sistem yang berbeda. Transformasi di atas disebut transformasi Galileo [5].
BAB 11. RELATIVITAS KHUSUS 64
Teori Relativitas Khusus berkaitan dengan soal yang mencangkup kerangka acuan
inersia. Kerangka acuan inersia yang kita maksud adalah kerangka acuan dimana
hukum inersia berlaku. Kerangka acuan inersia bergerak dengan kecepatan serba sama
terhadap kerangka acuan inersia yang lain. Teori Relativitas Umum, yang diajukan
oleh Einstein pada tahun 1915, berkaitan dengan soal yang mencangkup kerangka
acuan yang dipercepat terhadap kerangka acuan inersia yang lain [5].
Teori Relativitas Khusus berbasiskan pada postulat berikut [4, 5, 7]:
2. Kecepatan cahaya dalam ruang vakum ke segala arah memiliki nilai yang sama
untuk seluruh pengamat tak peduli keadaan gerak pengamat maupun sumber
cahaya.
Prinsip Relativitas Khusus menyatakan, jika sistem koordinat K dipilih sehingga, da-
lam hubungan dengannya hukum fisika tetap berlaku, maka hukum yang sama tetap
berlaku dalam hubungannya dengan sembarang sistem koordinat lain K 0 yang bergerak
translasi serba sama relatif terhadap K.
Penurunan relativitas khusus gayut tak hanya pada dua postulat eksplisit tersebut
di atas, namun juga pada beberapa asumsi implisit, mencangkup isotropi dan homo-
genitas ruang.
Postulat pertama, yang Einstein sebut sebagai Prinsip Relativitas, adalah basis
fundamental untuk Teori Relativitas Khusus. Postulat pertama dinyatakan karena ti-
dak ada kerangka acuan universal sebagai kerangka acuan mutlak. Jika hukum-hukum
fisika berbeda untuk pengamat dalam gerak serba sama relatif terhadap kerangka acu-
an yang lain, perbedaan ini akan memungkinkan kita untuk menentukan objek yang
”diam” dalam ruang dan objek yang ”bergerak”. Namun, kerangka acuan univer-
sal demikian tidak ada dan kita tak dapat menyatakan perbedaan demikian dalam
hukum-hukum fisika [5].
Postulat kedua adalah hukum penjalaran cahaya. Persamaan Maxwell mempre-
diksi kecepatan cahaya dalam ruang vakum adalah c, dan Einstein meyakini bahwa
kecepatan cahaya, c, berlaku dalam seluruh kerangka acuan inersia [4]. Postulat ke-
dua mengikuti secara langsung hasil negatip eksperimen Michelson-Morley dan banyak
eksperimen lain yang dilakukan untuk tujuan yang sama [5]. Postulat kedua memiliki
konsekuensi bahwa, penjumlahan kecepatan tidak berlaku untuk cahaya. Kecepatan,
waktu, panjang dan massa benda bersifat relatif [7].
Dalam bahasan Relativitas ini, kita batasi untuk kasus Relativitas Khusus, dimana
kita meninjau hanya kerangka acuan inersia, yakni kerangka acuan yang bergerak serba
sama terhadap kerangka acuan yang lain. Perlakuan yang lebih umum dari kerangka
acuan yang dipercepat adalah subjek Teori Relativitas Umum.
BAB 11. RELATIVITAS KHUSUS 66
Dalam mekanika Newtonian, konsep ruang dan waktu adalah terpisah. Waktu
diasumsikan sebagai kuantitas absolut yang tak gayut kerangka acuan [4].
Tinjau dua kerangka acuan inersia K dan K 0 , yang bergerak sepanjang sumbu x1
dan x01 dengan kecepatan relatif serba sama v. Transformasi koordinat suatu titik dari
satu sistem kerangka acuan ke sistem kerangka acuan yang lain memiliki bentuk
x01 = x1 − vt
x02 = x2
(11.3)
x03 = x3
t0 = t.
Dalam sistem K 0 , kecepatan diukur sebagai x˙01 = c, sehingga persamaan (11.5) mengin-
dikasikan kecepatan pulsa cahaya menjadi ẋ1 = ẋ0 1 + v = c + v, dengan jelas melanggar
postulat kedua [4].
BAB 11. RELATIVITAS KHUSUS 67
Kita tulis kembali transformasi Lorentz. Jika gerak sistem kerangka acuan K 0
terhadap sistem kerangka acuan K sepanjang hanya sumbu x, maka persamaan yang
menghubungkannya dapat ditulis sebagai [5]
r0 = r − vt (11.6)
x0 = x − vt
y0 = y (11.7)
z 0 = z.
Lebih lanjut, karena kita tidak mengalami sesuatu yang berlawanan, kita mengasum-
sikan bahwa
t0 = t. (11.8)
Jika kecepatan diukur dalam sistem K dan kita berharap untuk memperoleh kom-
ponen kecepatan dalam sistem K 0 dalam bentuk sebagaimana dalam sistem K, kita
dapat menulis
dx0
Vx0 = = Vx − v
dt
dy 0
Vy0 = = Vy (11.9)
dt
dz 0
Vz0 = = Vz .
dt
Apakah transformasi kecepatan yang diperoleh dalam persamaan (11.9) konsisten de-
ngan postulat Teori Relativitas Khusus?
Jika kecepatan cahaya dalam kerangka K adalah c, maka dalam kerangka K 0 akan
menjadi c0 = c − v. Oleh karena itu, diperlukan persamaan transformasi yang berbeda
jika Postulat Teori Relativitas Khusus dipenuhi. Persamaan transformasi ini, disebut
transformasi Lorentz, dikembangkan sebagai berikut:
Marilah kita asumsikan bahwa hubungan yang mungkin antara x dan x0 adalah
dimana k adalah konstanta kesebandingan yang tak gayut x dan t, namun ia mungkin
merupakan fungsi v. Dalam pemilihan hubungan antara x dan x0 dalam bentuk yang
dinyatakan dalam persamaan (11.10) hal-hal berikut berlaku:
(i) hubungan adalah linier dalam x dan x0 . Oleh karena itu, suatu peristiwa tunggal
dalam kerangka acuan K berhubungan dengan peristiwa tunggal dalam kerangka
acuan K 0 .
dimana kuantitas prima (0 ) diganti dengan kuantitas tanpa prima dan kebalikannya
serta v dengan −v. Hubungan lain akan menjadi seperti sebelumnya
y0 = y
(11.12)
0
z = z.
Sedangkan, waktu t tidak sama dengan t0 . Untuk membuktikan hal ini, marilah kita
mensubstitusikan nilai x0 dari persamaan (11.10) ke persamaan (11.11), diperoleh
x = kk 0 (x − vt) + k 0 vt0
1 − kk 0
(11.13)
0
t = kt + x.
k0v
Untuk menentukan nilai k dan k 0 kita menggunakan postulat kedua Teori Khusus
Relativitas.
Misalkan pada t = 0, titik asal dari dua sistem kerangka acuan K dan K 0 berimpitan
satu sama lain. Misalkan waktu yang berhubungan adalah t0 = 0. Anggaplah bahwa
sinyal cahaya dipancarkan dari titik asal K dan K 0 pada t = t0 = 0. Sinyal yang
menjalar dalam dua sistem kerangka acuan memenuhi persamaan
x = ct
(11.14)
x0 = ct0
BAB 11. RELATIVITAS KHUSUS 69
Dari persamaan transformasi Lorentz, ditemukan bahwa pengukuran posisi dan waktu
gayut pada kerangka acuan pengamat. Persamaan transformasi Lorentz mereduksi
ke transformasi Galileo ketika kecepatan relatif v sangat kecil dibandingkan dengan
kecepatan cahaya. Oleh karena itu, sifat khas Teori Relativitas Khusus akan teramati
hanya ketika kecepatan v secara praktis dapat dibandingkan dengan kecepatan cahaya
[5].
a. Relativitas Keserempakan.
Salah satu konsekuensi terpenting sifat relatif ruang dan waktu adalah bahwa
keserempakan bersifat relatif. Peristiwa-peristiwa yang terjadi secara serempak
terhadap satu pengamat tidak serempak bagi pengamat lain dalam gerak relatif
dan sebaliknya.
Anggap dua peristiwa terjadi pada saat yang sama di dua posisi berbeda x1
dan x2 , dalam kerangka acuan K. Pengamat lain dalam kerangka acuan K 0
yang bergerak relatif terhadap K akan mengukur waktu terjadinya dua peristiwa
sebagai
t1 − vx
c2
1
t01 = p ,
1 − v 2 /c2
(11.20)
0 t2 − vx
c2
2
t2 = p .
1 − v 2 /c2
Karena keserempakan peristiwa adalah relatif, teori fisika yang mencangkup ke-
serempakan peristiwa pada posisi berbeda harus dimodifikasi [5].
dimana x02 dan x01 adalah koordinat ujung-ujung batang. Jadi, L0 adalah panjang
batang dalam kerangka acuan dimana batang dalam keadaan diam.
Sekarang, marilah kita mengukur panjang batang L dalam sistem kerangka acuan
K relatif terhadap batang dalam keadaan gerak dengan kecepatan v. Persamaan
transformasi Lorentz memberikan
x1 − vt1
x01 = p
1 − v 2 /c2
(11.23)
x2 − vt2
x02 = p .
1 − v 2 /c2
x2 − x1 − v(t2 − t1 )
L0 = x02 − x01 = p . (11.24)
1 − v 2 /c2
yakni, panjang batang yang bergerak terhadap pengamat terukur lebih pendek
dibandingkan dengan panjang batang dalam keadaan diam terhadap pengamat.
Fenomena ini disebut kontraksi Lorentz-FitzGerald.
p
L = L0 1 − v 2 /c2
dimana L adalah jarak yang ditempuh oleh meson dalam kerangka acuannya
sendiri yang bergerak dengan kecepatan 0, 998c sebelum meluruh. Jadi, L = 600
meter. Jarak L0 berhubungan dengan kerangka acuan kita dan dinyatakan oleh
relasi
L
L0 = p
1 − v 2 /c2
600
=p
1 − (0, 998)2
∼
= 9500 meter
Oleh karena itu, meskipun memiliki waktu hidup yang pendek, meson µ mampu
mencapai bumi dari ketinggian dimana meson µ tercipta.
c. Dilasi Waktu.
Tinjau jam yang ditempatkan pada posisi x0 dalam kerangka acuan K 0 yang
BAB 11. RELATIVITAS KHUSUS 73
bergerak. Anggaplah bahwa t01 dan t02 adalah dua waktu yang direkam oleh pe-
ngamat dalam kerangka acuan K 0 . Interval waktu diukur oleh pengamat tersebut
diberikan oleh [5]
t0 = t02 − t01 . (11.26)
t = t2 − t1
t0 − t01 (11.28)
=p 2
1 − v 2 /c2
atau,
t0
t= p . (11.29)
1 − v 2 /c2
p
Karena, 1 − v 2 /c2 adalah pecahan, kita menyimpulkan bahwa jam mengukur
interval waktu lebih panjang antara peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam ke-
rangka acuannya sendiri dibandingkan dengan interval waktu yang diukur oleh
jam dalam kerangka acuan yang bergerak relatif terhadapnya. Dalam kata la-
in, bagi pengamat yang bergerak relatif terhadap jam, interval waktu terukur
lebih panjang. Fenomena ini disebut dilasi waktu. Karena, persamaan (11.29)
mencangkup faktor v 2 , opini pengamat akan timbal balik.
Meskipun waktu adalah kuantitas relatif, kita dapat mengamati fenomena beri-
kut:
ii. Tak ada pengamat yang dapat melihat suatu peristiwa sebelum peristiwa
tersebut terjadi.
BAB 11. RELATIVITAS KHUSUS 74
Tinjau suatu benda yang bergerak terhadap kedua kerangka acuan K dan K 0 .
Pengamat dalam kerangka acuan K mengukur komponen kecepatan benda, V , sebagai
[5]
dx dy dz
Vx = , Vy = , Vz = . (11.30)
dt dt dt
Pengamat dalam kerangka acuan K 0 mengukur kecepatan benda, V 0 , sebagai berikut
dx0 dy 0 dz 0
Vx0 = , Vy0 = , Vz0 = . (11.31)
dt dt dt
dx − vdt
dx0 = p
1 − v 2 /c2
dy 0 = dy
dz 0 = dz
0 dt − vdx
c2
dt = p
1 − v 2 /c2 (11.32)
dx0 dx − vdt
Vx0 = 0 =
dt dt − v dx
c2
dx
dt
−v
=
1 − cv2 dx
dt
0 Vx − v
Vx = .
1 − cv2 Vx
BAB 11. RELATIVITAS KHUSUS 75
dy 0
Vy0 =
dt0
dy
= p
dt − v dx
c2
/ 1 − v 2 /c2
p
dy 1 − v 2 /c2 (11.33)
=
dt − v dx
c2
p
Vy 1 − v 2 /c2
= .
1 − vV
c 2
x
Dengan cara yang sama, kita dapat menulis hubungan antara komponen z dari
kecepatan sebagai p
Vz 1 − v 2 /c2
Vz0 = . (11.34)
1 − vV
c2
x
Vx0 + v
Vx =
1 + vV
c2
x
p
Vy0 1 − v 2 /c2
Vy = 0 (11.35)
1 + vV
c2
x
p
Vx0 1 − v 2 /c2
Vz = vVx0
.
1+ c2
Anggap bahwa Vx0 = c. Hal ini berarti bahwa cahaya diemisikan dalam kerangka acuan
bergerak K 0 dalam arah yang sama sebagaimana geraknya terhadap sistem K. Maka,
seorang pengamat dalam sistem K akan mengukur kecepatan ini sebagai
Vx0 + c
Vx = 0
1 + vV
c2
x
c+v (11.36)
=
1 + vc
c2
=c
Hasil ini, persamaan (11.36) konsisten dengan Postulat Teori Relativitas Khusus.
BAB 11. RELATIVITAS KHUSUS 76
Kita akan tiba pada kesimpulan yang sama jika kita memulai dengan Vx = c dan
menggunakan persamaan (11.32) untuk menghitung Vx0 . Anggaplah bahwa roket ber-
gerak dengan kecepatan 0, 9c terhadap bumi dalam arah tertentu. Kita berharap untuk
menyusulnya dengan kecepatan lebih dari 0, 9c dengan penambahan 0, 4c. Maka, me-
nurut fisika klasik, kita harus bergerak dengan kecepatan 1, 3c terhadap bumi. Jadi,
kecepatan kita harus lebih besar dibanding kecepatan cahaya. Ini kontradiksi.
Teori Relativitas Khusus menyediakan petunjuk. Misalkan kecepatan roket adalah
v = 0, 9c dalam kerangka acuan K 0 terhadap bumi dalam kerangka acuan K. Ma-
ka, Vx0 = 0, 4c adalah kecepatan roket terhadap kerangka acuan K 0 . Secara alami,
kecepatan kita terhadap bumi diberikan oleh
Vx0 + v
Vx = 0
1 + vVc2
x
0, 4c + 0, 9c
=
1 + 0,4c×0,9c
c2
1, 3
= c = 0, 977c
1, 36
lebih kecil dibandingkan dengan kecepatan cahaya.
bersatu dengan cara demikian akan berada pada posisi diam menurut hukum kekekalan
momentum terhadap sistem K 0 .
Jika tumbukan dua benda diamati dari kerangka acuan K, kecepatan dua benda
sebagaimana diamati dari kerangka acuan K diberikan oleh
u0 + v
u1 = 0 (11.37)
1 + uc2v
dan
−u0 + v
u2 = 0 (11.38)
1 − uc2v
dimana u1 dan u2 adalah kecepatan sepanjang sumbu x. Di sini, kita telah menggu-
nakan hukum relativistik untuk penambahan kecepatan. Misalkan m1 dan m2 adalah
massa dua benda terhadap kerangka acuan K. Maka, benda yang terbentuk ketika
dua benda bersatu memiliki massa (m1 + m2 ) menurut hukum kekekalan massa dan ia
bergerak dengan kecepatan v sepanjang sumbu x terhadap K. Catat bahwa benda ini
dalam keadaan diam terhadap K 0 . Maka, menurut hukum kekekalan momentum, kita
dapat menulis
m1 u1 + m2 u2 = (m1 + m2 )v (11.39)
m 1
=p (11.47)
m0 1 − v 2 /c2
atau,
m0
m= p . (11.48)
1 − v 2 /c2
BAB 11. RELATIVITAS KHUSUS 79
Kombinasikan kedua efek kontraksi panjang dan variasi massa, kita menyimpulkan
bahwa, diukur dari bumi, panjang roket dalam keadaan bergerak adalah lebih pendek
sementara massanya adalah lebih besar. Akan tetapi, efek-efek ini adalah sangat kecil,
karena kecepatan yang diperoleh roket dianggap kecil dibandingkan dengan kecepatan
cahaya [5].
Momentum didefinisikan sebagai
m0 v
mv = p (11.49)
1 − v 2 /c2
dan momentum adalah juga kekal dalam teori relativitas.
Hukum kedua Newton sekarang memiliki bentuk
d d m0 v
F = (mv) = q . (11.50)
dt dt 1− v
2
c2
Telah diketahui bahwa energi kinetik T dari benda bergerak adalah usaha yang
dilakukan terhadap benda tersebut untuk bergerak dari keadaan diam [5]. Jadi,
Z r
T = F dr (11.53)
0
BAB 11. RELATIVITAS KHUSUS 80
dimana F adalah komponen gaya F paralel terhadap arah perpindahan dr. Kuantitas
r mewakili jarak dimana gaya beraksi.
Sekarang,
d(mv)
F = . (11.54)
dt
Oleh karena itu,
Z r
d(mv)
T = dr
dt
Z0 mv
= vd(mv) (11.55)
0
!
Z v
m0 v
= vd p .
0 1 − v 2 /c2
= mc2 − m0 c2
= (∆m)c2
dimana ∆m = m − m0 .
Jadi, energi kinetik benda adalah sama dengan perkalian kenaikan massa dan kua-
drat kecepatan cahaya.
Persamaan (11.56) dapat ditulis sebagai
mc2 = T + m0 c2 . (11.57)
Jika kita sebut mc2 = E, energi total benda, energi benda pada keadaan diam sama
dengan E0 = m0 c2 . Kuantitas E0 disebut energi (massa) diam benda. Oleh karena itu,
persamaan (11.57) dapat ditulis sebagai
E = E0 + T. (11.58)
BAB 11. RELATIVITAS KHUSUS 81
Pernyataan energi diam, E0 = mc2 menunjukkan bahwa massa adalah bentuk lain
energi. Faktanya, konversi materi menjadi energi adalah sumber energi yang dilepaskan
dalam seluruh reaksi eksotermal.
Karena massa dan energi dihubungkan satu sama lain, kita harus meninjau prin-
sip kekekalan massa dan energi. Massa dapat diciptakan atau dilenyapkan, asalkan
sejumlah yang sama energi lenyap atau tercipta dan kebalikannya.
Pernyataan relativistik energi kinetik adalah
T = mc2 − m0 c2 (11.59)
1
T = m0 v 2 (11.60)
2
T = mc2 − m0 c2
m0 c2
=q − m0 c2
2
1 − vc2
−1/2
v2
2
= m0 c 1 − 2 − m 0 c2 (11.61)
c
v2
= m0 c 1 + 2 ... − m0 c2
2
2c
1
= m0 v 2 .
2
Nampak bahwa seluruh formula relativitas mereduksi ke formula mekanika klasik ter-
kait pada kecepatan rendah. Formula mekanika relativistik adalah pendekatan yang
lebih akurat, sementara formula klasik adalah aproksimasi mekanika relativistik. Tran-
v
sisi dari relativistik ke mekanika klasik diperoleh ketika kita mengambil limit c
7−→ 0.
Berikut adalah beberapa formula mekanika relativistik yang sering digunakan dalam
fisika modern dan yang dapat diturunkan dengan menggunakan formula sebelumnya
BAB 11. RELATIVITAS KHUSUS 82
untuk E, m dan T .
s
1
q
E = m20 c4 + p2 c2 , p = m0 c −1
1 − v 2 /c2
" #
1
T = m0 c2 p −1
1 − v 2 /c2
s (11.62)
v 1
= 1−
c [1 + (T /m0 c2 )]2
s
1 p2 T
p = 1+ = 1 + .
1 − v 2 /c2 m0 c2 m0 c2
11.13 Gaya
Dalam Teori Relativitas Khusus, hukum kedua Newton tidaklah berlaku dalam
bentuk F = ma, namun dinyatakan sebagai
dp
F= (11.63)
dt
dimana,
p = γmv (11.64)
p
γ = 1/ 1 − v 2 /c2 adalah faktor Lorentz. Sehingga, gaya dinyatakan oleh
d(γ v)
F=m
dt (11.65)
dγ dv
=m v+γ .
dt dt
γ 3 mv dv
F= v + γm a (11.66)
c2 dt
Relativitas Umum
”Aksi seketika pada suatu jarak” (instantaneous action at a distance) tersirat dalam
hukum kuadrat terbalik interaksi gravitasi Newton [?].
83
Bab 13
Ide keadaan stasioner di dalam atom yang berhubungan dengan gelombang materi
tegak digunakan oleh Schrodinger di tahun 1926 untuk memformulasikan mekanika ge-
lombang. Kuantitas yang memegang peranan penting dalam mekanika gelombang ada-
lah fungsi gelombang sebagai ukuran ”gangguan gelombang” dari gelombang materi.
Sebagai contoh: untuk gelombang tali, gangguan gelombang adalah ukuran pergeseran
transversal; untuk gelombang bunyi, gangguan gelombang adalah variasi tekanan dan
untuk gelombang elektromagnetik, vektor medan listrik sebagai gangguan gelombang-
nya. Mekanika gelombang diinspirasi oleh teori gelombang materi de Broglie, yang
mengatakan, ”Panjang gelombang materi sama dengan suatu konstanta fundamental
(konstanta Planck) dibagi dengan momentum liniernya”. Arti fisis mekanika gelom-
bang pada tahapan ini belumlah jelas. Schrodinger pertama-tama meninjau gelombang
materi de Broglie sebagai suatu entitas fisis. Interpretasi ini menemui kendala, karena
gelombang dapat sebagian direfleksikan dan sebagian ditransmisikan pada suatu batas
medium. Akan tetapi, partikel katakanlah elektron tidak dapat ”dipecah”, sebagian di-
refleksikan dan sebagian ditransmisikan. Kendala ini diselesaikan oleh Max Born yang
84
BAB 13. DARI KUANTUM KE KLASIK (ASAS KEBERSESUAIAN) 85
Hubungan mekanika klasik dan mekanika kuantum dinyatakan oleh asas kebersesu-
aian (correspondence principle). Menurut asas ini, karena hukum-hukum fisika klasik
mampu mendeskripsikan perilaku sistem makroskopis, maka asas-asas mekanika ku-
antum yang harus ditaati oleh sistem kuantum harus memberikan hasil yang sama
dengan yang dihasilkan fisika klasik untuk sistem yang besar, misalnya yang melibatk-
an besaran-besaran nilai harap kuantum: persamaan yang berlaku untuk nilai harap
kuantum seperangkat observabel harus sama dengan persamaan yang berlaku untuk
observabel klasik yang bersesuaian [14].
Dengan kata lain, sebuah sistem dapat ditinjau sebagai sistem ”klasik”, jika parameter-
parameter yang menggambarkannya dan memiliki dimensi aksi yang sama adalah pada
skala besar dibandingkan dengan h̄ dimana h̄ = h/2π, h adalah konstanta Planck [15].
Dalam mekanika klasik, jika posisi dan kecepatan atau momentum partikel diketa-
hui pada saat t0 maka kedudukan x(t) dan kecepatan ẋ(t) atau momentum p(t) pada
sembarang saat t dapat ditentukan dengan tepat [14]. Yakni, posisi dan momentum
partikel dapat ditentukan dengan pasti dan persamaan gerak menentukan nilai beri-
kutnya dari posisi dan momentum sebagai fungsi waktu.
Dalam mekanika kuantum adalah tak mungkin dengan sembarang pengukuran fisis
yang diketahui, untuk menentukan secara bersamaan (simultan) posisi dan momentum
partikel [15]. Hal ini adalah asas ketaktentuan Heisenberg yang secara kuantitatif dapat
BAB 13. DARI KUANTUM KE KLASIK (ASAS KEBERSESUAIAN) 86
∆x · ∆p ≥ h̄/2 (13.1)
Dalam tinjauan klasik, gaya (konservatif) adalah negatip gradien energi potensial.
Dalam tinjauan klasik, kuantitas fisis yang dinyatakan sebagai hasil pengukuran
selalu disertai dengan ketidakpastian. Ketidakpastian hasil pengukuran kuantitas fisis
disebabkan oleh banyak hal, misalnya faktor manusia, alat ukur serta sifat kuantitas
fisis itu sendiri. Ketidakpastian nilai estimasi kuantitas fisis komponen penyusun ber-
pengaruh terhadap ketidakpastian hasil pengukuran kuantitas fisis komposit. Hal ini
ditunjukkan dengan mengevaluasi komponen ketidakpastian tipe A (deviasi standar
rata-rata, standard deviation of the mean), komponen ketidakpastian tipe B (aprok-
simasi deviasi standar yang bersesuaian), serta komponen ketidakpastian kombinasi
(dengan meninjau hukum propagasi ketidakpastian). Dalam tinjauan kuantum, ter-
dapat postulat yang menyatakan, jika suatu sistem yang dideskripsikan dengan suatu
fungsi gelombang ψ, nilai ekspektasi dari sembarang observabel a yang bersesuaian
dengan operator observabel A diperoleh dengan
Z
hai = ψ ∗ Aψ dr (13.2)
memberikan nilai rata-rata dari sejumlah pengukuran observabel a yang dilakukan ter-
hadap sistem identik [Robert Dicke and Wittke, Introduction to Quantum Mechanics,
Addison-Wesley, 1978.]. [?, ?, ?, ?].
Bab 14
Dalam mekanika klasik, formulasi gerak atau dinamika partikel ditunjukkan oleh
persamaan Euler-Lagrange (tak lagi Newtonian) karena lebih mudah menggunakan
konsep energi ketimbang menggunakan konsep interaksi (gaya) yang mempengaruhi
dinamika partikel yang ditinjau.
Dinamika partikel memenuhi azas aksi terkecil (least action principle) sebagai ber-
ikut
δS = 0 (14.1)
dimana
L=T −V (14.3)
88
BAB 14. DINAMIKA KLASIK, KUANTUM DAN RELATIVISTIK 89
Secara fisis, azas aksi terkecil menyatakan bahwa partikel berpindah dari satu titik
ke titik lain dengan cara menempuh lintasan terpendek. Azas aksi terkecil memiliki
peranan sangat mendasar dalam dinamika partikel, karena dinamika partikel mesti
memenuhi azas aksi terkecil.
Dalam teori medan kuantum, dinamika partikel juga memenuhi azas aksi terkecil.
Yakni, cara partikel berpindah merupakan penjumlahan dari semua cara (lintasan)
yang mungkin bagi partikel untuk berpindah dari suatu titik ke titik lain yang dinya-
takan oleh integral lintasan Feynman (Feynman path integral).
[2] Sandi Setiawan, Kiprah dan Gelegar Teori Relativitas Einstein, Andi Offset, Yo-
gyakarta, 1992.
[3] L. D. Landau and E. M. Lifshitz, Teori Medan Klasik, Alih Bahasa: Miftachul
Hadi, http://sivitas.lipi.go.id/mift001/, 2008.
[4] Jerry B. Marion, Stephen T. Thornton, Classical Dynamics of Particles and Sys-
tems, Fourth Edition, Harcourt College Publishers, 1995.
[5] R.G. Takwale, P.S. Puranik, Introduction to Classical Mechanics, Tata Mc Graw
Hill Publishing, 1989.
[6] P.A.M. Dirac, Teori Relativitas Umum, Alih Bahasa: Miftachul Hadi, ht-
tp://sivitas.lipi.go.id/mift001/, 2005.
[7] Bob Foster, Terpadu Fisika SMU Jilid 3B, Penerbit Erlangga, 2000.
[8] R. Shankar, Principles of Quantum Mechanics, Plenum Press, New York, 1988.
[9] A. Purwanto, Simetri: Pola Dasar Penciptaan, Paradigma, No.9, Th.VII, FMIPA
Unibraw, Malang, 1995.
[10] L.D. Landau and E.M. Lifshitz, Mechanics, Pergamon Press, New York, 1960.
[11] L. Wilardjo, H.C. Yohannes, E.F. da Silva, Kamus Fisika: Mekanika, Balai Pus-
taka, Jakarta, 1989.
90
BIBLIOGRAFI 91
[12] R.G. Takwale and P.S. Puranik, Introduction to Classical Mechanics, Tata
McGraw Hill, New Delhi, 1989.
[13] H. Goldstein, Classical Mechanics, 2nd ed., Addison-Wesley, Menlo Park: Califor-
nia, 1980.
[14] Muslim, Pramudita, Kamus Fisika: Mekanika Kuantum, Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Jakarta, 1992.
[15] R.H. Dicke and J.P. Wittke, Introduction to Quantum Mechanics, Addison-Wesley,
Singapore, 1978.
[16] A. Beiser, Konsep Fisika Modern, alih bahasa: The Houw Liong, ed. 4, Erlangga,
Jakarta, 1990.
[19] Alonso-Finn
[20] Takwale-Puranik
[21] Landau
[22] Halliday-Resnick
[23] Hans-Puri
[27] Cornelius Lanczos, The Variational Principles of Mechanics, 4th ed., Dover Pu-
blications Inc. p. 92, 1970.
[30] J.L. Lagrange, Mécanique analytique, 1–2 , Paris (1788) ((Also: Oeuvres, Vol.
11.))
[34] P.L.M. Maupertuis, Histoire l’Acad. Royale Sci. Paris 1744 (1748) pp. 417
[35] L. Euler, Methodus inveniendi lineas curvas maximi minimive proprietate gauden-
tes sive solutio problematis isoperimetrici latissimo sensu accepti, Lausanne-Geneva
(1744)
[36] J.L. Lagrange, Essai d’une nouvelle méthode pour déterminer les maxima et les
minima des formules intégrales indéfinies, J.A. Serret (ed.) , Oeuvres , 1 , G. Olms,
reprint (1973) pp. 333–362
[55] https://core.ac.uk/download/pdf/11816027.pdf
[62] https://core.ac.uk/download/pdf/11816027.pdf