PENDAHULUAN
Penyakit reumatik yang biasa disebut artritis (radang sendi) dianggap sebagai suatu
keadaan yang sebenarnya terdiri atas lebih dari 100 tipe kelainan yang berbeda. Penyakit ini
dapat mengenai otot-otot skeletal, ligamen, tendon, dan persendian pada laki laki maupun
wanita dengan segala usia. Sebagian gangguan lebih besar kemungkinannya untuk terjadi
suatu waktu tertentu dalam kehidupan pasien. Dampak keadaan ini dapat mengancam jiwa
penderitanya atau hanya menimbulkan gangguan kenyamanan dan masalah yang disebabkan
oleh penyakit reumatik ini tidak hanya berupa keterbatasan yang tampak jelas pada mobilitas
dan aktivitas hidup sehari hari, tetapi juga efek sistemik yang tidak jelas dapat
menimbulkan kegagalan organ dan kematian atau mengakibatkan masalah seperti rasa nyeri,
keadaan mudah lelah, perubahan citra serta gangguan tidur .
1.2 TUJUAN
Petugas :
Peningkatan kinerja petugas Puskesmas yang berkontribusi pada program pencegahan
penyakit tidak menular khususnya pemberantasan penyakit Rhematoid Artritis.
Masyarakat :
Agar masyarakat di puskesmas dapat mengetahui tentang penyakit Rhematoid Artritis
serta dapat melakukan pencegahan terhadap penyakit tersebut.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Epidemiologi
Prevalensi RA relative konstan yaitu berkisar antara 0,5-1% diseluruh dunia. Dalam ilmu
penyakit dalam Harisson edisi 18, insidensi dan prevalensi RA bbervariasi berdasarkan lokasi
geografi dan diantara berbagai grup etnik dalam suatu Negara. Misalnya, masyarakat asli
Amerika, Yakima, Pima, dan suku-suku Chippewa di Amerika Utara dilaporkan memiliki
rasio prevalensi dari berbagi studi sebesar 7%. Prevlensi ini merupakan prevalensi tertinggi di
dunia.
RA adalah penyakit inflamasi reumatik yang paling sering dengan prevalensi 0,5%-0,8%
pada populasi dewasa. Insidensinya meningkat seiring usia, 25-30 orang dewasa per 100.000
pria dewasa dan 50-60 per 100.000 wanita dewasa.
2.1.3. Etiologi
Penyebab dari rheumatoid arthritis (RA) tidak diketahui secara pasti, namun berikut ini
diduga yang menyebabkan RA :
a. Faktor genetik
Faktor genetik berperan penting terhadap kejadian RA, berupa hubungan dengan gen HLA-
DRB1 dan faktor ini memiliki angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebesar 60% .
2
b. Hormon sex
Prevalensi RA lebih besar pada perempuan dibandingkan dengan laki laki, sehingga
diduga hormon sex berperan dalam perkembangan penyakit ini. Perubahan profil hormon
berupa stimulasi dari Placental Corticotraonin Releasing Hormone yang mensekresi
dehidropiandrosteron (DHEA), yang merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen
plasenta.
Dan stimulasi esterogen dan progesteron pada respon imun humoral (TH2) dan menghambat
respon imun selular (TH1). Pada RA respon TH1 lebih dominan sehingga estrogen dan
progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan penyakit ini.
c. Faktor Infeksi
Beberapa bakteri dan virus diduga sebagai agen penyebab penyakit RA. Organisme ini
diduga menginfeksi sel induk dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga
mencetuskan timbulnya penyakit.
d. Heat Shock Protein (HSP)
Merupakan protein yang diproduksi sebagai respon terhadap stres. Protein ini mengandung
untaian (sequence) asam amino homolog. Diduga terjadi fenomena kemiripan molekul dimana
antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen infeksi dan sel Host. Sehingga bisa
menyebabkan terjadinya reaksi silang Limfosit dengan sel Host sehingga mencetuskan reaksi
imunologis.
e. Faktor Lingkungan, salah satu contohnya adalah merokok.
Ada beberapa teori penyebab rheumatoid arthritis antara lain infeksi streptokokus
hemolitikus dan streptokokus non-hemolitikus, endokrin, autoimun, metabolik dan faktor
genetik serta faktor pemicu lainnya. Pada saat ini, rheumatoid arthritis diduga disebabkan
oleh faktor autoimun dan infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II, faktor
infeksi mungkin disebabkan oleh virus dan organisme mikoplasma atau grup difterioid yang
menghasilkan antigen tipe II kolagen dari tulang rawan sendi penderita.
2.1.4 Patofisiologi
Rhematoid Artritis merupakan penyakit autoimun sistemik yang menyerang sendi. Reaksi
autoimun terjadi dalam jaringan sinovial. Kerusakan sendi mulai terjadi dari proliferasi
makrofag dan fibroblas sinovial. Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi
proliferasi sel-sel endotel kemudian terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi
3
yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terbentuknya pannus
akibat terjadinya pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami
inflamasi. Pannus kemudian menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang Respon
imunologi melibatkan peran sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan. Respon
ini mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik.
Sel T dan sel B merupakan respon imunologi spesifik. Sel T merupakan bagian dari
sistem immunologi spesifik selular berupa Th1, Th2, Th17, Treg, Tdth, CTL/Tc, NKT.
Sitokin dan sel B merupakan respon imunologi spesifik humoral, sel B berupa IgG, IgA, IgM,
IgE, IgD.
Peran sel T pada RA diawali oleh interaksi antara reseptor sel T dengan share epitop dari
Major Histocompability Complex Class II (MHCII-SE) dan peptida pada Antigen-Presenting
Cell (APC) pada sinovium atau sistemik. Dan peran sel B dalam imunopatologis RA belum
diketahi secara pasti.
2. Stadium destruksi
Pada stadium ini selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada jaringan
sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon.
4
3. Stadium deformitas
Pada stadium ini terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan
gangguan fungsi secara menetap.
2.1.6 Klasifikasi
Buffer (2010) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu:
1. Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala
sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
2. Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala
sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
3. Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala
sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu.
4. Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala sendi
yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 3 bulan.
2.1.8 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosa RA ada beberapa kriteria yang digunakan, yaitu kriteria
diagnosis RA menurut American College of Rheumatology (ACR) tahun 1987 dan kriteria
American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism (ACR/EULAR)
tahun 2010 (Pradana, 2012).
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk diagnosa RA antara lain, pemeriksaan
serum untuk IgA, IgM, IgG , antibodi anti-CCP dan RF, analisis cairan sinovial, foto polos
sendi, MRI, dan ultrasound.
5
2.1.9 Penatalaksanaan
a. Tujuan terapi rheumatoid arthritis
RA harus ditangani dengan sempurna. Penderita harus diberi penjelasan bahwa penyakit
ini tidak dapat disembuhkan. Terapi RA harus dimulai sedini mungkin agar menurunkan
angka perburukan penyakit. Penderita harus dirujuk dalam 3 bulan sejak muncul gejala untuk
mengonfirmasi diganosis dan inisiasi terapi DMARD (Disease Modifying Anti-Rheumatic
Drugs).
b. Terapi non-farmakologi
c. Terapi Farmakologis
Ada dua kelas obat yang digunakan untuk mengobati RA, yaitu obat fast acting (lini
pertama) dan obat slow acting (lini kedua). Obat-obat fast acting digunakan untuk
mengurangi nyeri dan peradangan, seperti aspirin dan kortikosteroid sedangkan obat-obat
slow acting adalah obat antirematik yang dapat memodifikasi penyakit (DMARD), seperti
garam emas, metotreksat dan hidroksiklorokuin yang digunakan untuk remisi penyakit dan
mencegah kerusakan sendi progresif, tetapi tidak memberikan efek anti-inflamasi.
Pengobatan dengan DMARD sebaiknya dimulai selama 3 bulan pertama sejak diagnosis
rheumatoid arthritis ditegakkan. Kombinasi dengan NSAID dan/atau kortikosteroid dapat
diberikan untuk mengurangi gejala. Pengobatan dengan DMARD sejak dini dapat
6
mengurangi mortalitas. DMARD yang paling sering digunakan adalah metotreksat,
hidroksiklorokuin, sulfasalazin dan leflunomid.
Metotreksat lebih banyak dipilih karena menghasilkan outcome yang lebih baik jika
dibandingkan dengan obat lain. Metotreksat juga lebih ekonomis jika dibandingkan dengan
agen biologik. Obat lain yang efikasinya mirip dengan metotreksat adalah leflunomid. Agen
biologik yang mempunyai efek DMARD juga dapat diberikan pada pasien yang gagal dengan
terapi DMARD. Agen ini dirancang untuk memblokir aksi zat alami yang diproduksi oleh
sistem kekebalan tubuh, seperti faktor TNF, atau IL-1. Zat-zat yang terlibat dalam RA adalah
reaksi kekebalan tubuh abnormal sehinggga perlu dihambat untuk memperlambat reaksi
autoimun sehingga dapat meringankan gejala dan memperbaiki kondisi secara keseluruhan.
Agen biologik yang biasa digunakan adalah obat-obat anti-TNF (etanercept, infliximab,
adalimumab), antagonis reseptor IL-1 anakinra, modulator kostimulasi abatacept dan
rituximab yang dapat mendeplesi sel B periferal. Infliximab dapat diberikan secara kombinasi
bersama metotreksat untuk mencegah perkembangan antibodi yang dapat mereduksi efek
obat ataupun menginduksi reaksi alergi. Kombinasi dua atau lebih DMARDs juga diketahui
lebih efektif jika dibandingkan dengan terapi tunggal.
Kortikosteroid berguna untuk mengontrol gejala sebelum efek terapi DMARD muncul.
Dosis rendah secara terus-menerus dapat diberikan sebagai tambahan ketika pengobatan
dengan DMARD tidak dapat mengontrol penyakit. Kortikosteroid dapat disuntikkan ke dalam
sendi dan jaringan lokal untuk mengendalikan peradangan lokal. Kortikosteroid sebaiknya
tidak diberikan sebagai monoterapi dan penggunaannya secara kronis sebaiknya dihindari.
NSAID juga dapat diberikan untuk mengurangi pembengkakan dan nyeri pada RA.
NSAID tidak memperlambat terjadinya kerusakansendi, sehingga tidak dapat diberikan
sebagai terapi tunggal untuk mengobati RA. Seperti kortikosteroid, NSAID digunakan
sebagai terapi penunjang DMARD.
2.1.10 Komplikasi
Komplikasi penyakit dapat mempersingkat hidup beberapa tahun pada beberapa individu,
meskipun rheumatoid arthritis itu sendiri tidak fatal. Secara umum rheumatoid arthritis
bersifat progresif dan tidak dapat disembuhkan, tetapi pada beberapa pasien penyakit ini
secara bertahap menjadi kurang agresif dan gejala bahkan dapat membaik. Bagaimanapun,
jika terjadi kerusakan tulang dan ligamen serta terjadi perubahan bentuk, efeknya akan
permanen.
7
Kecacatan dan nyeri sendi dalam kehidupan sehari-hari adalah hal yang umum. Sendi
yang terkena bisa menjadi cacat, kinerja tugas bahkan tugas biasa sekalipun mungkin akan
sangat sulit atau tidak mungkin. Faktor-faktor ini dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien.
Selain itu, rheumatoid arthritis adalah penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi bagian
lain dari tubuh selain sendi. Efek ini meliputi :
- Anemia
- Infeksi
- Masalah gastrointestinal
- Osteoporosis
- Penyakit paru-paru
- Penyakit jantung dan lainnya.
2.1.11 Prognosis
Diagnosis dan pengobatan yang terlambat dapat membahayakan pasien. Sekitar 40%
pasien rheumatoid arthritis ini menjadi cacat setelah 10 tahun. Akan tetapi, hasilnya
sangatlah bervariasi. Beberapa pasien menunjukkan progresi yang nampak seperti penyakit
yang akan sembuh dengan sendirinya, sedangkan pasien lain mungkin menunjukkan progresi
penyakit yang kronis.
Prognosis yang buruk dapat dilihat dari hasil tes yang menunjukkan adanya cedera tulang
pada tes radiologi awal, adanya anemia persisten yang kronis dan adanya antibodi anti-CCP.
Rheumatoid arthritis yang aktif terus-menerus selama lebih dari satu tahun cenderung
menyebabkan deformitas sendi serta kecacatan. Morbiditas dan mortalitas karena masalah
kardiovaskular meningkat pada penderita rheumatoid arthritis. Secara keseluruhan, tingkat
mortalitas pasien rheumatoid arthritis adalah 2,5 kali dari populasi umum.
8
BAB III
PERMASALAHAN
Dari hasil laporan dari petugas P2PM dan TM masyarakat diwilayah kerja Puskesmas
Syamtalira Bayu banyak yang menderita penyakit Rhematoid Artritis. Data yang didapatkan
dipuskesmas adalah :
1. Permasalahan yang didapat dari program pemberantasan dan pencegahan penyakit
di Puskesmas Syamtalira bayu adalah belum terlaksananya monitoring dan
evaluasi terhadap kasus Rhematoid Artritis yang dijumpai pada setiap desa di
kecamatan Syamtalira Bayu baik dalam bentuk penyuluhan maupun deteksi dini
terhadap kasus Rhematoid Artritis yang terdapat dalam masyarakat terutama
warga desa Syamtalira Bayu. Temuan kasus selama ini diperoleh melalui
kunjungan saat pasien berobat ke Puskesmas Syamtalira Bayu.
2. Serta ketersediaan obat-obatan Rhematoid Artritis yang sangat sulit didapat bila
ada keterlambatan pengiriman obat-obatan Rhematoid Artritis untuk disalurkan ke
puskesmas.
9
BAB IV
PERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI
Untuk warga
Agar masyarakat mengetahui tentang penyakit-penyakit degeneratif yang sering
terjadi khususnya Rhematoid Artritis.
Memberikan edukasi mengenai Rhematoid Artritis pada warga tentang pentingnya
menjaga berat badan seimbang, bahaya dan dampak yang ditimbulkan apabila terkena
Rhematoid Artritis.
Memberikan penyuluhan terkait mengatur life style yang baik bagi tubuh.
10
BAB V
PELAKSANAAN
Kategori Pelaksanaan
Rhematoid Artritis Angka Kungjungan pasien Rhematoid
Artritis ke Poli Lansia pada tanggal 07-18
November 2016 Sejumlah 32 orang.
11
BAB VI
KESIMPULAN
6.1 Kesimpulan
Rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi
tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan
seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi.
Penyebab untuk Rhematoid Artritis adalah factor genetic, hormone sex, Factor Infeksi,
Heat Shock Protein (HSP), dan factor lingkungan. Rhematoid Artritis di tandai dengan gejala
nyeri dan kaku sendi terutama pada pagi hari, bermula sakit dan kekakuan pada daerah lutut,
bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-jari, mulai terlihat bengkak setelah
beberapa bulan, bila diraba akan terasa hangat, terjadi kemerahan dan terasa sakit/nyeri, bila
sudah tidak tertahan dapat menyebabkan demam, dapat terjadi berulang. Pada RA juga
disertai gejala seperti pergerakan yang terbatas, anemia, berat badan menurun, kekuatan
berkurang.
Perawatan untuk Rhematoid Artritis dapat meliputi terapi non-farmakologis dan terapi
farmakologis.
6.2 Saran
Masyarakat :
Mendukung kegiatan (kunjungan penyuluhan) yang dilakukan tentang penyakit-
penyakit degenerative khususnya Rhematoid Artritis.
Melakukan perawatan secara teratur dan menghindari faktor risiko agar terhindar dari
komplikasi
Memanfaat pelayanan untuk memeriksakan diri ke Puskesmas terdekat untuk
mendapatkan tindakan yang benar yang sesuai dengan keluhan atau permasaalahan
yang dirasakan agar tidak semakin parah dan membuat tidak nyaman.
Puskesmas :
Rutin melaksanakan kegiatan berupa penyuluhan tentang penyakit tidak menular
seperti penyakit Rhematoid Artritis di wilayah kerja Puskesmas Syamtalira Bayu
12
Memberikan edukasi tentang pola gaya hidup sehat kepada masyarakat
khususnya pada lansia dan selalu memberikan motivasi untuk perubahan pola
hidup agar lebih baik
Dinas Kesehatan :
Rutin memonitoring kegiatan yang dilakukan di puskesmas tentang penyakit
Rhematoid Artritis agar dapat menurunkan angka mortalitas dan morbiditas
penyakit Rhematoid Artritis.
13
DAFTAR PUSTAKA
1. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24610/4/Chapter%20II.pdf
2. http://repository.ugm.ac.i/chapter1.pdf
3. http://digilib.unila.ac.id/2424/9/2.%20Bab%202.pdf.
4. http://eprints.ums.ac.id/32653/19/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf
14
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN KEGIATAN
Pedamping Peserta
Nip. 197011112002122005
15