(MEDIK) Kasus Asma Bronkial
(MEDIK) Kasus Asma Bronkial
Subyektif : sesak dialami 3 jam SMRS. Batuk (-), Nyeri dada (-). Pasien sejak 8 tahun yang
lalu dinebu jika timbul sesak. Sejak terkena hujan, pasien merasa sangat sesak dan sulit
beraktivitas.
Obyektif :
Paru :
Inspeksi : simetris statis dan dinamis
Palpasi : benjolan (-), fremitus kiri dan kanan sama
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : vesikuler, rhonki -/-, wheezing +/+
Jantung :
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : BJ I-II reguler, murmur (-), gallop(-)
Abdomen :
Inspeksi : datar
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan limpa tidak teraba
Perkusi : sdn
Auskultasi : sdn
Punggung : tidak ditemukan kelainan
Anggota gerak : akral hangat, edema (-), perfusi perifer cukup
Pada pemeriksaan fisik didapatkan takikardi, takipneu, tanpa tanda-tanda sianosis dan suhu
yang afebris. Di temukan adanya napas cuping hidung. Tonsil T1/T1 faring hiperemis. Pada
pemeriksaan paru-paru didapatkan bunyi napas vesikuler dengan rongki dan wheezing di
kedua lapang paru. Pemeriksaan jantung dalam batas normal, abdomen datar. Pada
ekstremitas perfusi perifer dinilai cukup. Oleh karena itu, didiagnosis asma bronkial
Asma bronkial adalah penyakit inflamasi kronik saluran pernapasan yang ditandai dengan
peningkatan respon oleh berbagai pencetus pada traktus trakeobronkial. 1 Inflamasi kronik
menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik
berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan
atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas,
bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
Mekanisme utama dari patofisiologi asma adalah berkurangnya diameter dari saluran napas
akibat dari: Bronkokonstriksi, Kongesti vaskular, Edema dinding bronkial, Hipersekresi
bronkus. Berbagai sel inflamasi berperan dalam proses inflamasi asma terutama sel mast,
eosinofil, sel limfosit T, makrofag, dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai faktor lain
berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma.3
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus,
iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut yang terdiri dari reaksi asma tipe cepat
dan rekasi asma tipe lambat. Reaksi asma tipe cepat terjadi akibat terikatnya alergen pada IgE
yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut
mengeluarkan preformed mediator seperti histamin, protease, dda newly generated mediator
seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus,
sekresi mukus dan vasodilatasi. Reaksi fase lambat timbul antara 6-9 jam setelah provokasi
yang melibatkan aktivasi eosinofil sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.1,2
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik seperti sel T, eosinofil, makrofag,
sel mast, sel epitel dan otot polos bronkus. Proses inflamasi kronik pada asma akan
menimbulkan kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses
penyembuhan yang menghasilkan perbaikan dan pergantian sel mati dengan sel yang baru.
Proses penyembuhan akan melibatkan pergantian sel jaringan yang rusak dengan sel
parenkim jenis yang sama dan jaringan penyambung atau skar. Hal ini menyebabkan
perubahan struktur yang mempunyai mekanisme sangat kompleks yang disebut dengan
airway remodelling.
Diagnosis asma tergantung dari perpaduan riwayat penderita, pemeriksaan jasmani dan
pemeriksaan laboratorium. Asma ditandai dengan sesak, mengi atau batuk. Serangan kerap
terjadi di waktu malam atau pagi hari, berhubungan dengan produksi kadar kortikosteroid
yang periodik rendah. Pemicu yang relevan dapat berupa infeksi virus, alergen lingkungan,
bakan obat-obatan tertentu. Pada pemeriksaan jasmani biasanya ditemukan mengi dan fase
ekspirasi memanjang. Namun, pada penderita asimtomatik, pemeriksaan jasmani dapat
normal. 4
Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi dapat
menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi pasien bernapas pada volume paru yang
lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Tanda klinisnya berupa sesak napas,
mengi dan hiperinflasi. Pada serangan yang sangat berat terdapat gejala tambahan seperti
sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi, dan penggunaan otot bantu napas.
Sedangkan pada serangan ringan, mengi hanya dapat terdengar pada ekspirasi paksa.
Pemeriksaan laboratorium terpenting ialah pemeriksaan fungsi paru atau Peak Expiratory
Flow, sebelum dan sesudah terapi dengan bronkodilator. 5 Asma dianggap sebagai penyakit
saluran napas reversibel. Pemberian bronkodilator yang memberikan perbaikan FEV1 15%
adalah diagnostik untuk asma. Pada penderita dengan faal paru normal, mungkin diperlukan
tes provokasi dengan metakolin/histamin. Pada asma akibat latihan jasmani dilakukan uji
dengan latihan jasmani sebagai pengganti metakolin/histamin. Pemeriksaan laboratorium
lainnya adalah pemeriksaan darah lengkap, differential count untuk melihat jumlah eosinofil,
dan tes terhadap aeroalergen.
Tabel 1. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (sebelum pengobatan)
Seperti telah disebutkan di atas bahwa serangan asma secara potensial dapat mengancam
nyawa. Oleh karena itu pengobatan dan penilaian keadaaan penderita harus akurat dan tempat
yang ideal adalah di rumah sakit. Meskipun pengelolaan serangan asma sebaiknya dilakukan
di rumah sakit, tetapi yang paling penting dalam strategi pengobatan serangan asma adalah
adanya pengobatan dini. 7 Terutama pada para penderita asma yang memiliki faktor resiko
yang memiliki resiko besar untuk mengalami kematian.
Sewaktu pasien datang ke Gawat Darurat dengan serangan eksaserbasi asma akut
maka harus segera ditangani. Gejala yang terdapat adalah sesak napas, dada terasa berat dan
mengi. Gejala-gejala diatas juga ada terdapat pada penyebab lain seperti pneumotorak,
emboli paru, PPOK, udem paru, dan bronkiolitis. Sehingga perlu juga didapatkan suatu tanda
objektif yaitu evaluasi dari pengukuran ulang FEV1 pasien. Setelah itu dapat diteliti lanjut
dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang menunjang ke arah riwayat asma sebelumnya.
Terapi utama di ruang gawat darurat terdiri dari oksigen, agonis beta 2 hirup, dan
kortikosteroid sistemik. Oksigen diberikan bila terjadi hipoksemia yang nyata dan pada
pasien yang mempunyai FEV1 kurang dari 50%. Obat untuk asma akut terdiri dari: 12,13
1. Oksigen
Dianjurkan untuk penderita sampai saturasi oksigen mencapat >90%. Pemantauan
saturasi oksigen diperlukan sampai terdapat respon yang nyata terhadap bronkodilator.
3. Antikolinergik
Pemberian ipratropium bromida 250-500 mg pada cairan yang telah mengandung agonis
beta 2 dapat menambah bronkodilatasi terutama pada penderita dengan obstruksi yang
berat. Diberikan setiap 4-6 jam
4. Kortikosteroid sistemik
Terutama diberikan pada penderita yang tidak respon dengan beta 2 agonis. Dosis oral 40-
60 mg perharai, dosis parenteral berkisar 4 kali 40 mg metilprednisolon sampai 4 kali 125
mg perhari. Terapi parenteral berlangsung selama 2-3 hari, selanjutnya dilanjutkan dengan
terapi oral. Dan tidak perlu taperring off jika pemberian kurang dari 1 minggu
5. Epinefrin
Baru dapat diberikan jika agonis beta 2 hirup baik suntikan tidak tersedia. Dengan dosis
0,3 cc subkutan dapat diberikansetiap 20 menit sampai 3 kali
6. Obat-obat lain
Dapat diberikan antibiotik jika terdapat infeksi sekunder
Penilaian ulang dilakukan setlah pemberianterapi awal selesai (60-90 menit) setelah terapi
awal dimulai.2 Respon terapi awal di ruang gawat darurat menentukan apakah penderita
dirawat atau tidak. Kebutuhan merawat penderita diambil berdasrkan lama dan beratnya
serangan asma, beratnya obstruksi saluran napas, riwayat berat dan perjalan serangan
sebelumnyam obat-obat yang dipakai sekarang, fasilitas perawatan, dukungan keluarga,
situasi rumah serata adanya gangguan psikiatrik. Prinsip perawatan di ruang rawat adalah
pemberian oksigen, bronkodilator kortikosteroid sistemik dan penilaian yang lebih sering
terhadap gejala, kelelahan ataupun fungsi paru.
Plan :
Diagnosis : didiagnosis apabila seseorang mengeluh sesak napas, yang pada pemeriksaan
fisis didapatkan wheezing
Pengobatan : Penanganan berupa oksigen 3-4 liter/menit, IVFD NaCl 0,9 %, Dekstrose 5 %
, Inhalasi ventolin: bisolvon
Pendidikan : Dilakukan kepada pasien agar menghindari faktor pencetus asma
Konsultasi : Konsultasikan segera ke dokter penyakit dalam jika tidak ada perubahan
Rujukan : (-)
Kontrol : kontrol ke poli penyakit dalam dan poli kebidanan
Peserta Pendamping