Disusun oleh :
Windarto G4A015090
Jelita Numa N G4A015176
PRESENTASI KASUS
Disusun Oleh :
Windarto G4A015090
Jelita Numa N G4A015176
Dokter Pembimbing :
STATUS PENDERITA
A. Identitas Penderita
Nama : Ny. L
Umur : 46 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jl. Kom BB Suprapto No 392 002/002
Purwokerto, Kab. Banyumas, Jawa Tengah
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal masuk RSMS : 26 April 2017
Tanggal periksa : 27 April 2017
No.CM : 01083363
B. Anamnesis
Keluhan utama : Sesak napas
Keluhan tambahan : Badan bengkak
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD pada tanggal 26 April 2017 dengan keluhan sesak
nafas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan sesak nafas dirasakan
semakin memberat. Pasien juga mengeluhkan kedua tangan dan kaki menjadi
bengkak. Pasien menyangkal adanya nyeri dada, batuk, mual, maupun
muntah.
Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat keluhan yang sama : Disangkal
2. Riwayat hipertensi : Ada, kurang lebih sejak sekitar 1
tahun yang lalu dan pasien rutin kontrol dan minum obat hipertensi
3. Riwayat DM : Diakui
4. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
5. Riwayat penyakit ginjal : Disangkal
6. Riwayat asam urat : Disangkal
7. Riwayat alergi : Disangkal
8. Riwayat mondok : Diakui
9. Riwayat cuci darah : Disangkal
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : Sedang
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Vital sign
Tekanan Darah : 170/90 mmHg
Nadi : 68 x/menit
Respiration Rate : 26 x/menit
Suhu : 37 0C
4. Berat badan : 86 kg
5. Tinggi badan : 159 cm
6. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
1) Bentuk kepala
Mesocephal, simetris, venektasi temporalis (-)
2) Rambut
Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut dan terdistribusi merata
3) Mata
Simetris, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
4) Telinga
Discharge (-), deformitas (-)
5) Hidung
Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)
6) Mulut
Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-)
b. Pemeriksaan leher
Deviasi trakea (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Palpasi :JVP R+2 cm
c. Pemeriksaan thoraks
Paru
Inspeksi : Dinding dada tampak simetris, tidak tampak
ketertinggalan gerak antara hemithoraks kanan dan
kiri, kelainan bentuk dada (-)
Palpasi : Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri
Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiri
Perkusi : Perkusi orientasi selurus lapang paru sonor
Batas paru-hepar SIC V LMCD
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+
Ronki basah halus-/-
Ronki basah kasar -/-
Wheezing-/-
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tampak di SIC V 2 jari medial LMCS
Palpasi : Ictus Cordis teraba pada SIC V 2 jari medial LMCS
dan kuat angkat (-)
Perkusi : Batas atas kanan : SIC II LPSD
Batas atas kiri : SIC II LPSS
Batas bawah kanan : SIC IV LPSD
Batas bawah kiri : SIC VI 2 jari lateral LMCS
Auskultasi : S1>S2 reguler; Gallop (-), Murmur (-)
d. Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : Cembung
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, pekak sisi (+), pekak alih (+)
Palpasi : Nyeri tekan (-), undulasi (+), Nyeri Ketok CVA (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
e. Pemeriksaan ekstremitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas inferior
superior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema + + + +
Sianosis - - - -
Akral dingin - - - -
Reflek fisiologis + + + +
Reflek patologis - - - -
D. Pemeriksaan Penunjang
Tanggal 26 April 2017 Nilai rujukan
Hemoglobin 7,4 g/dL (L) 11,7 15,3
Leukosit 8290 U/L (H) 3600-11000
Hematokrit 24 % (L) 35 47
Eritrosit 2,5 x106/uL (L) 3,8 5,2
Trombosit 376.000 /Ul 150000 - 440000
MCV 99,4 fL 80-100
MCH 29,2 pg 26-34
MCHC 31,4 % (L) 32-36
RDW 18,1 fL (H) 11,5-14,5
MPV 9,6 % 9,4-12,3
Hitung Jenis
Eosinofil 1,9 % (L) 2-4
Basofil 0,1 % 0-1
Batang 1,9 % (L) 35
Segmen 65,9 % 50 70
Limfosit 19,8 % (L) 25 40
Monosit 10,4 % (H) 28
GDS 259 mg/dL (H) <= 200
Kalium 5,6 mmol/L (H) 3,4-4,5
Klorida 114 mmol/L (H) 96-108
Natrium 143 mmol/dL 134-146
Ureum 182,3 mg/dL 14,98-38,52
(HH)
Kreatinin 9,67 mg/dL (HH) 0,55-1,02
E. Diagnosis
- CKD
- Hipertensi
- DM
- Anemia
G. Penatalaksanaan
Farmakologi :
1. O2 4 lpm
2. IVFD RL 0,9% 20 tpm
3. Inj. Furosemid 3x2 amp iv
4. Inj Ceftriaxon 1g/12 jam
5. Inj. Novorapid 3x6 U sc
6. PO Amlodipin 10 mg 1-0-0
7. PO Valsartan 160 mg 0-0-1
8. PO Bicnat 3x1 tab
9. PO Asam folat 3x1 tab
10. PO Calos 3x1 tab
11. Diet Rendah Protein Rendah Garam Rendah Karbohidrat (P=1,2g/Kg BB/
hari)
12. Transfusi PRC 3 kolf
Non Farmakologi
1. Bed rest
2. Motivasi hemodialisa
3. Pembatasan Cairan dan Elektolit
Monitoring
1. Hb, Ureum dan Kreatinin
2. Tekanan darah
3. Gula darah
H. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad functionam : dubia ad malam
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Gagal ginjal kronik / Chronic Kidney Disease (CKD) didefinisikan
sebagai penurunan progresif fungsi ginjal menahun dan perlahan yang
bersifat irreversible. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme atau keseimbangan cairan dan elektrolit, yang berakibat
terjadinya uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah)
(Suwitra, 2007).
Batasan penyakitginjal kronik:
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau fungsi
ginjal,dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus berdasarkan
penanda kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan gambaran
radiologi.
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m selama > 3 bulan
denganatau tanpa kerusakan ginjal.
B. Klasifikasi
CKD diklasifikasikan menjadi 5 derajat yang dilihat dari derajat penyakit
dan nilai GFR, semakin besar derajat CKD prognosis penyakit akan semakin
buruk (Eknoyan, 2009; Levey et., al., 2005).
Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronik berdasarkan laju filtrasi
glomerolus (LFG)
C. Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya CKD antara lain (Sudoyo, 2006) :
1. Gangguan imunologis
a. Glomerulonefritis
b. Poliartritis nodosa
c. Lupus eritematous
2. Gangguan metabolik
a. Diabetes Mellitus
b. Amiloidosis
c. Nefropati Diabetik
3. Gangguan pembuluh darah ginjal
a. Arterisklerosis
b. Nefrosklerosis
4. Infeksi
a. Pielonefritis
b. Tuberkulosis
5. Gangguan tubulus primer
a. Nefrotoksin (analgesik, logam berat)
6. Obstruksi traktus urinarius
a. Batu ginjal
b. Hipertopi prostat
c. Konstriksi uretra
7. Kelainan kongenital
a. Penyakit polikistik
b. Tidak adanya jaringan ginjal yang bersifat kongenital (hipoplasia
renalis)
D. Epidemiologi
Insidens penyakit CKD di Amerika Serikat diperkirakan sejumlah 100
juta kasus perjuta penduduk per tahun, dan angka ini meningkat sekitar 8%
setiap tahunnya. Terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya di
Malaysia, dandi negara berkembang lainnya, insidens ini diperkirakan sekitar
40-60 kasus perjuta penduduk per tahun (Suwitra, 2007). Penyakit gagal
ginjal kronik lebih sering terjadi pada pria daripada wanita. Insidennya pun
lebih sering pada kulit berwarna daripada kulit putih.
Beberapa penyebab CKD yang menjalani hemodialisis di Indonesia
pada tahun 2000 antara lain Glomerulonefritis(46,39%), Diabetes
Mellitus(18,65%), Obstruksi dan infeksi (12,85%), Hipertensi(8,46%), dan
penyebab yang lain dengan presentase sebesar (13,65%) (Murray et al, 2007).
E. Patofisiologi
Berdasarkan hipofisis nefron yang utuh, mengatakan bahwa bila nefron
terserang penyakit maka seluruh unitnya akan hancur, namun sisa nefron
yang masih utuh tetap bekerja normal. Uremia akan timbul jika jumlah nefron
sudah berkurang sehingga keseimbangan cairan dan elektrolit tidak dapat
dipertahankan lagi (Price et al, 2005).
Sisa nefron yang ada beradaptasi dengan mengalami hipertrofi dalam
usahanya untuk mengimbangi beban ginjal. Terjadinya peningkatan filtrasi
dan reabsorbsi glomerulus tubulus dalam setiap nefron, meskipun GRF untuk
seluruh massa nefron yang terdapat dalam ginjal turun di bawah nilai normal,
namun jika 75% massa nefron telah hancur maka kecepatan filtrasi dan beban
solut bagi setiap nefron akan semakin tinggi. Ini mengakibatkan
keseimbangan glomerulus tubulus tidak dapat dopertahankan lagi (Price et al,
2005).
Hilangnya kemampuan memekatkan atau mengencerkan kemih
menyebabkan BJ urin tetap pada nilai 1,010 atau 285m Osmot (sama dengan
konsentrasi plasma) dan merupakan penyebab gejala poliuria dan nokturia.
Retensi cairan dan natrium ini mengkibatkan ginjal tidak mampu
mengkonsentrasikan dan mengencerkan urin. Respon ginjal yang tersisa
terhadap masukan cairan dan elektrolit sehari-hari tidak terjadi. Penderita
sering menahan cairan dan natrium, sehingga meningkatkan risiko terjadinya
edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi. Hipertensi juga dapat terjadi
akibat aktivasi aksis rennin dan angiotensin. Kerjasama keduanya
meningkatkan sekresi aldosteron. Saat muntah dan diare menyebabkan
penipisan air dan natrium yang dapat memepreberat stadium uremik. Dengan
berkembangnya penyakit renal terjadi asidosis metabolik seiring dengan
ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan.
Penurunan sekresi asam terutama akibat ketidakmampuan tubulus ginjal
mengekskresikan amonia dan mengabsorbsi natrium bikarbonat (Price et al,
2005).
Anemia pada CKD sebagai akibat terjadinya produksi erytropoetin
yang tidak adekuat dan memendekkan usia sel darah merah. Erytropoitin
adalah suatu substansi normal yang diprosuksi oleh ginjal, menstimulus sum-
sum tulang untuk menghasilkan sel darah merah. Pada penderita CKD,
produksi erytropoetin menurun dan anemia berat akan terjadi disertai
keletihan, angina dan sesak nafas (Price et al, 2005).
Pada penderita CKD, juga terjadi gangguan metabolisme kalsium dan
fosfat. Kedua kadar serum tersebut memiliki hubungan yang saling
berlawanan. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat
peningkatan kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium (Price et
al, 2005).
Pada pendeita DM, konsentrasi gula dalam darah yang meningkat,
menyebabkan kerusakan pada nefron ginjal atau menurunkan fungsinya yang
akhirnya akan merusak sistem kerja nefron untuk memfiltrasi zat zat sisa.
Keadaan ini bisa mengakibatkan ditemukannya mikroalbuminuria dalam
urine penderita. Inilah yang biasa disebut sebagai nefropati diabetik (Price et
al, 2005).
Penderita CKD juga dapat mengalami osteophorosis sebagai akibat dari
menurunnya fungsi ginjal untuk memproduksi vitamin D, sehingga terjadi
perubahan kompleks kalsium, fosfat dan keseimbangan hormone (Price et al,
2005).
Perjalanan penyakit CRF secara umum terjadi dalam beberapa tahapan,
yaitu (McCance dan Sue, 2006):
1. Penurunan Fungsi Ginjal
Penurunan fungsi ginjal ditandai dengan GFR < 50%. Pada
keadaan ini, tanda dan gejala CRF belum muncul, namun sudah terdapat
peningkatan pada ureum dan kreatinin darah.
2. Insufisiensi Ginjal
Insufisiensi ginjal menandakan bahwa ginjal sudah tidak dapat lagi
menjalankan fungsinya secara normal, pada keadaan ini GFR mengalami
penurunan yang bermakna. Tanda dan gejala serta disfungsi ginjal yang
ringan sudah muncul. Nefron yang masih berfungsi akan melakukan
kompensasi untuk memaksimalkan fungsi ginjal. Kelainan konsentrasi
urin, nokturia, anemia ringan, dan gangguan fungsi ginjal saat stres dapat
terjadi pada tahapan ini.
3. Gagal Ginjal
Keadaan gagal ginjal dikarakteristikan dengan azotemia, asidosis,
ketidakseimbangan konsentrasi urin, anemia berat, dan gangguan elektrolit
(hipernatremia, hiperkalemia, dan hiperpospatemia). Keadaan gagal ginjal
terjadi saat GFR < 20% dan penyakit mulai memberikan efek pada sistem
organ lain.
4. ESRD
ESRD (End Stage Renal Disease) merupakan tahapan terakhir dari
gangguan fungsi ginjal. Fungsi filtrasi ginjal mengalami gangguan yang
berat. GFR hampir tidak ada lagi. Kemampuan reabsorbsi dan ekskresi
juga terganggu, dikarenakan perubahan yang besar dari elektrolit, regulasi
cairan, dan gangguan keseimbangan asam basa. Gangguan kardiovaskuler,
hematologi, neurologi, gastrointestinal, endokrin, metabolik, gangguan
tulang dan mineral juga dapat terjadi.
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis CKD terdiri dari kelainan hemopoeisis, saluran
cerna, mata, kulit, selaput serosa, dan kelainan kardiovaskular (Murray et al.,
2007).
a. Kelainan hemopoeisis
Anemia normokrom normositer dan normositer (MCV 78-94 CU),
sering ditemukan pada pasien gagalginjalkronik. Anemia pada pasien
gagal ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoetin. Hal
lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah defisiensi besi,
kehilangan darah (misal perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup
eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat,
penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut
ataupun kronik (Suwitra, 2007).
Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g/dL
atau hematokrit < 30 %, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi
serum / serum iron, kapasitas ikat besi total / Total Iron binding
Capacity(TIBC), feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi
eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan sebagainya ((Murray et al.,
2007; Suwitra, 2007).
Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di
samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoetin (EPO)
merupakan hal yang dianjurkan. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal
kronik harus dilakukan hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan
pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak
cermat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia, dan
perburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi
klinik adalah 11-12 g/dL (Suwitra, 2007).
G. Penegakan Diagnosis
Penegakan diagnosis CKD berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik mengenai manifestasi klinis yang ada pada pasien dan serta tambahan
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya seperti DM, infeksi traktus
urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, lupus
Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya.
b. Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual,
muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus,
perikarditis, kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya, seperti anemia, asidosis metabolik, dan
sebagainya.
2. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah ditemukan anemia normositik normokrom dan
terdapat sel Burr pada uremia berat. Leukosit dan trombosi masih dalam
batas normal. Klirens kreatinin meningkat melebihi laju filtrasi
glomerulus dan turun menjadi kurang dari 5 ml/menit pada gagal ginjal
terminal. Dapat ditemukan proteinuria 200-1000mg/hari.
b. Penurunan fungsi ginjal berupa penurunan ureum dan kreatinin serum,
dan penghitungan TKK
c. Kelainan biokimiawi darah seperti penurunan kadar hemoglobin dan
asam urat.
d. Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria dan leukosuria.
3. Gambaran radiologis;
a. Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak
b. USG bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang
menipis adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.
4. Biopsi
Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat dilakukan pada
penderita dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana
diagnosis secara invasif sulit ditegakkan (Suwitra, 2007).
H. Penatalaksanaan
Diagnosis CRF harus dilakukan berdasarkan klasifikasi etiologi dan
patologi sehingga petugas kesehatan dapat merencanakan terapi yang tepat
untuk mencegah progresi penyakit dan memperbaiki keadaan umum. Tujuan
dari terapi CRF adalah (K/DOQI, 2002):
1. Terapi Spesifik terhadap Penyakit Dasarnya
Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah
sebelum penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi.
Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan
pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat
terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-
30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasarnya sudah tidak banyak
bermanfaat (Suwitra, 2006).
2. Pencegahan dan Terapi terhadap Kondisi Komorbid
Penting untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG
pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi
komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor
komorbid ini antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang
tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan
radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya (Suwitra,
2006).
3. Memperlambat Pemburukan Fungsi Ginjal
Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya
hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi
glomerulus ini adalah dengan (Suwitra, 2006):
a. Pembatasan asupan protein
Pembatasan mulai dilakukan pada LFG 60 ml/menit, sedangkan
di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu
dianjurkan. Protein diberikan 0,6-0,8/kgBB/hari, yang 0,35-0,50 gr di
antaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang
diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Bila terjadi malnutrisi, jumlah
asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak
dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi
dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama
diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang
mengandung ion hydrogen, fosfat, sulfat, dan ion nonorganic lain juga
diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi
protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain dan
mengakibatkan gangguan klinis dan metabolic yang disebut uremia,
dengan demikian pembatasan protein akan mengakibatkan
berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan
protein berlebih akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal
berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus yang
akan meningkatkan progresivitas pemburukan fungsi ginjal.
Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan
fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama.
Pembatasa fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia
(Suwitra, 2006).
b. Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus
Pemakaian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk
memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk
memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi
hipertensi intraglomerulus dan hipertrfi glomerulus. Selain itu, sasaran
terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria, karena
proteinuria merupakan factor risiko terjadinya pemburukan fungsi
ginjal. Beberapa obat antihipertensi terutama golongan ACE inhibitor
melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses
pemburukan fungsi ginjal (Suwitra, 2006).
I. Komplikasi
1. Hiperkalemia
Hiperkalemia dapat terjadi akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik,
katabolisme dan masukan diit berlebih.
2. Perkarditis akibat terjadinya infeksi akibat efusi pleura dan tamponade jantung
akibat produk sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
3. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem renin-
angiotensin-aldosteron.
4. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah.
5. Penyakit tulang serta kalsifikasi akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum rendah,
metabolisme vitamin D dan peningkatan kadar aluminium.
J. Prognosis
Pasien dengan gagal ginjal kronik umumnya akan menuju stadium
terminal atau stadium V. Angka prosesivitasnya tergantung dari diagnosis
yang mendasari, keberhasilan terapi, dan juga dari individu masing-masing.
Pasien yang menjalani dialisis kronik akan mempunyai angka kesakitan dan
kematian yang tinggi. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang
menjalani transpantasi ginjal akan hidup lebih lama daripada yang menjalani
dialisis kronik. Kematian terbanyak adalah karena kegagalan jantung (45%),
infeksi (14%), kelainan pembuluh darah otak (6%), dan keganasan (4%)
(Medscape, 2011).
K. Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah
mulaidilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya
pencegahanyang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal
dankardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah
makinkecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak
darah,anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan
pengendalian beratbadan.
DAFTAR PUSTAKA
Kumar, Vinay., Cotran, Ramzi S., Robbins, Stanley L. 2007. Robbins buku ajar
patologi volume 2 edisi 7. Jakarta: EGC.
Levey, Andrew S., Kai-Uwe E., Yusuke T., Adeera L., Josef C., Jerome R., Dick
DZ., Thomas H. H., Norbert L., Garabed E. 2005. Definition and
Classification of Chronic Kidney Disease: A Position Statement from
Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO). Kidney
International: 67; 2089-2100.
Sudoyo, Aru W, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
Keempat. Jilid I. Jakarta Balai Penerbit FKUI. p. 725 33 ; 766 71.