oleh:
BAHARUDDIN
G2 D1 010 022
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk : 1) mengetahui pengaruh kecerdasan intelektual terhadap
counterproductive bevavior pada perawat di lingkungan Dinas Keseatan Kabupaten Konawe Selatan. 2)
mengetahui pengaruh kecerdasan emosional terhadap counterproductive bevavior pada perawat di
lingkungan Dinas Keseatan Kabupaten Konawe Selatan. 3) mengetahui pengaruh budaya organisasi
terhadap counterproductive bevavior pada perawat di lingkungan Dinas Keseatan Kabupaten Konawe
Selatan.
Lokasi penelitian ini di Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe Selatan. Jumlah sampel sebanyak
73 orang perawat. Variabel penelitian terdiri dari (1) kecerdasan intelektual, (2) kecerdasan emosional,
(3) budaya organisasi dan (4) counterproductive behavior. Analisis yang digunakan adalah Regresi
Linear berganda dengan data primer yang bersumber dari kuisioner dan data sekunder bersumber dari
Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe Selatan.
Hasil penelitian diperoleh beberapa kesimpulan yaitu pertama, Kecerdasarkan intelektual,
kecerdasan emosional dan budaya organisasi secara parsial berpengaruh signifikan terhadap
counterproductive behavior perawat yang menunjukkan bahwa setiap peningkatan dari sikap intelektual,
emosional dan budaya organisasi akan meningkatkan counterproductive behavior seorang perawat. Hal
ini berhubungan dengan sikap dan kondisi budaya organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe
Selatan. Semakin baik sikap perawat dan budaya organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe Selatan,
akan memperbaiki perilaku kontraproduktif perawat. Kedua Kecerdasarkan intelektual, kecerdasan
emosional dan budaya organisasi secara simultan berpengaruh signifikan terhadap counterproductive
behavior perawat yang menunjukkan bahwa perubahan keseluruhan sikap intelektual, emosional dan
budaya organisasi akan mempenpengaruhi counterproductive behavior perawat yang berdampak pada
kegiatan pelayanan kesehatan dan pekerjaan administrasi. Ketiga Budaya organisasi mempunyai
pengaruh yang dominan terhadap counterproductive behavior perawat di Lingkungan Dinas Kesehatan
Kabupaten Konawe Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa budaya organisasi mempunyai dampak positif
terhadap perilaku kontraproduktif perawat. Para perawat bekerja dengan profesionalisme dan menjaga
jarak dengan manejemen, percaya rekan sekerja penuh keteraturan dan integrasi dengan semua bagian di
dalam instansi Dinas Kesehatan, Semakin baik atau tinggi budaya organisasi pada Dinas Kesehatan
Kabupaten Konawe Selatan, maka semakin baik perilaku kontraproduktif perawat dalam melaksanakan
pekerjaannya..
Kata Kunci : Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional, Budaya Organisasi dan Counterproductive
Behavior.
THE ABSTRACK
The research aimed to : 1) Knowing influence intelectual wits to counterproductive bevavior at nurses
in area of health Official of Konawe South Regency. 2) knowing influence emotional wits to
counterproductive bevavior at nurses in area of health Official of Konawe South Regency. 3) knowing
influence organization cultur to counterproductive bevavior at nurses in area of health Official of
Konawe South Regency.
This research location Lokasi penelitian in Health Official Konawe South Regency. Sum the
sampel as many as 73 nurse. This research variable are (1) intelectual wits, (2) emotional wits, (3)
organization culture and (4) counterproductive behavior. The analysis using is double regretion with
primery data that sounce of quitioner and secondary data that source form Health South Konawe
Regency.
The finish research, was be acquired several conclusion, that is firth, intellectual witd, emotional
wits and organization culture as partial, influential significant top counterproductive behavior nurses that
knowing that each the raising from, intellectual attitude, emotional and organisation culture can have
raising to counterproductive behavior a nurse. This is connection to attitude and condition of organization
culture of Health Office South Konawe Regency. More and good more the attitude nurse and organization
cultur Health Official South Konawe Regency, can have reapiring counterproductive behavior nurse.
Second, Intelectual wits, emotional wits and organization culture as simultant influention significant to
counterproductive behavior nurse that knowing that changing all attitude in intelectual, emotional and
organization can be influencing to counterproductive behavior nurse have the impact to health service
activity and andministration work. Third, organization culture have influencing is dominant to
counterproductive behavior nurse in Health Official Area of South Konawe Regency. This is knowing
that organization culture have been positive impact to counterproductive behavior a nurse. The nurses
work with a proffesionals and guard distance of management, believ for partnerwork, full regularity and
integration with all unit in Health Official, More than more good or high organization culture from Health
Official South Konawe Regency, then more than good counterproductive behavior a nurse in bring about
wortking.
Key Word : Intelectual Wits, Emotional Wits, Organization Culture and Counterproductive Behavior.
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Pelayanan kesehatan di daerah-daerah sangat disadari penuh bahwa hal itu tidak mudah karena
dalam pelaksanaan tugas pelayanan kesehatan membutuhkan kemampuan verbal, kemampuan
numerik, daya nalar, dan kemampuan spesial yang diiringi dengan kesadaran, pengaturan diri,
motivasi dan keterampilan sosial dalam menjalankan pekerjaan secara profesional dengan manajemen
yang baik dan kepercayaan serta tingkat keteraturan yang terintegrasi untuk nantinya dapat
mengurangi sikap dan perilaku counterproductive.
Pegawai puskesmas yang ada pada masing-masing wilayah kerja memiliki wewenang untuk
melaksanakan pelayanan kesehatan. Namun demikian para pegawai tersebut tidak lepas dari
permasalahan pelayanan dan kondisi kesehatan masyarakat di wilayah kerja masing-masing. Ada
beberapa penyebab terjadinya counterproductive pada seorang pegawai yakni kesalahan pemimpin
dalam menilai, kurangnya perhatian atasan, penyalahgunaan senioritas dalam bekerja, pembagian
tugas yang tidak seimbang dan kompensasi yang tidak wajar serta beberapa penyebab lainnya yang
memicu terbentuknya counterproduktif ditempat kerja.
Counterproductive merupakan suatu bentuk ketidaksesuaian kerja dan stress kerja yang
berkepanjangan dan tidak dapat dikendalikan baik secara individu maupun organisasi dan
menebarkan sistem otoriter di dalam pelaksanaan tugas sehingga kedudukan pimpinan tidak
dihormati dan rekan sekerja menjadi bagian dari konflik kepentingan pada masing-masing individu
yang berdampak negatif pada tugas dan tanggung jawab.
Gambaran dari counterproduktive yang dikemukakan tersebut memberikan suatu fenomena
bahwa ketimpangan dalam pelaksanaan tugas dapat merugikan organisasi kerja dimana tugas
pelayanan kesehatan menjadi tidak efektif. Untuk itu diperlukan adanya peningkatkan kecerdasan
intelektual dan kecerdasan emosional serta budaya organisasi kerja pada masing-masing puskesmas
yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di Kabupaten Konawe
Selatan.
2. Rumusan Masalah
1) Apakah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan budaya organisasi secara parsial
memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap counterproductive behavior pada
perawat di Puskesmas Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe Selatan ?
2) Apakah kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan budaya organisasi secara bersama-
sama memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap counterproductive behavior
pada perawat di Puskesmas Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe Selatan ?
3) Apakah kecerdasan emosional memiliki pengaruh dominan terhadap counterproductive
behavior pada perawat di Puskesmas Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe
Selatan ?
3. Tujuan Penelitian
1) Mengetahui pengaruh kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan budaya organisasi
secara parsial terhadap perilaku counterproductive behavior pada perawat di Puskesmas
Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe Selatan.
2) Mengetahui pengaruh kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan budaya organisasi
secara bersama-sama terhadap perilaku counterproductive behavior pada perawat di
Puskesmas Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe Selatan.
3) Mengetahui tingkat dominasi variabel yang positif berpengaruh terhadap counterproductive
behavior pada perawat di Puskesmas Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe
Selatan.
B. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian intelligence
Definisi inteligensi berdasarkan pada akar bahasa yaitu inter (antara) dan legence (memilih,
menyeleksi, mengumpulkan) yang berarti kemampuan untuk memilih. Sedang berdasarkan pengertian
tradisional Intelligence (kecerdasan) meliputi kemampuan membaca, menulis, berhitung, sebagai jalur
sempit ketrampilan kata dan angka yang menjadi fokus di pendidikan formal (sekolah), dan
sesungguhnya mengarahkan seseorang untuk sukses di bidang akademis (Secapramana, 1991).
Menurut (Wechsler, 2002) mengemukakan arti kecerdasan adalah The global aggregate or
global capacity of the individual to act purposefully, to think rationally, and to deal effectively with his
environment. Weschler mendefinisikan kecerdasan sebagai seluruh kemampuan seseorang (individu)
untuk bertindak sesempurna mungkin, untuk berpikir serasional mungkin dan untuk seselektif mungkin
menghadapi perubahan lingkungannya.
Selanjutnya menurut Gardner (2002: 22) kecerdasan yaitu kemampuan untuk menyelesaikan
masalah atau menciptakan produk, yang berharga dalam satu atau beberapa lingkungan budaya
masyarakat dan kecerdasan di bagi menjadi 9 (sembilan ) jenis model kecerdasan, yang diuraikan sebagi
berikut:
a. Musical/ rhytmic, Kemampuan untuk menggemari, mendiskriminasi dan meluapkan perasaan
melalui musik. Kecenderungan ini termasuk kepekaan terhadap irama atau melodi suatu hasil
musik.
b. Logical-mathematical, Kemampuan menggunakan angka, berpikir secara deduktif dan induktif,
Mengenal pasti secara manipulasi pola-pola abstrak dan hubungan corak.
c. Intrapersonal, Kemampuan untuk mengenal dan menilai diri sendiri, mempunyai gambaran yang
tepat tentang diri sendiri, memahami perasaan, kekuatan dan kelemahan diri sendiri.
d. Interpersonal, Kemampuan untuk memahami orang lain, menyadari tentang obyektif, motivasi
tujuan dan dapat bekerjasama dengan orang lain secara berkesan.
e. Naturalistic, Kepekaan tentang pola dan corak lingkungan dan alam sekitar, serta mampu
menyerap, menjelaskan dan mengingat ciri-ciri alam secara terperinci.
f. Ethical/ spiritual, Sadar terhadap nilai-nilai moral kerohanian, dapat mengenal pasti masalah
serta merancang penyelesaiannya.
g. Bodiliy-kinesthic, Kemampuan menggunakan seluruh anggota badan untuk menciptakan ide dan
mengeluarkan perasaan dan menggunakan tangan untuk mengubah sesuatu.
h. Visual/ linguistic, Kemampuan untuk menciptakan gambaran mental dan mengamati dunia visual.
Sangat peka terhadap warna, garis, bentuk dan ruang. Mempunyai kemampuan
memvisualisasikan secara spatial dan mengorientasikan diri dalam matriks ruang.
i. Verbal/ linguistic, Kemampuan menggunakan kata-kata secara berkesan baik secara lisan maupun
tulisan, mempunyai gaya bahasa dan pengucapan dengan baik dan sempurna.
Masih menurut Gardner Setiap orang memiliki paling sedikit salah satu kecerdasan diatas, meskipun
dengan tingkat yang berbeda-beda, karena pada dasarnya setiap manusia mempunyai kecerdasan yang
sesungguhnya masih tersembunyi.
William Stern dalam Ngalim Purwanto (2007:52) mengemukakan inteligensi adalah kesanggupan
untuk menyesuaikan diri kepada kebutuhan baru dengan menggunakan alat-alat berpikir yang sesuai
tujuannya. Seorang ilmuwan dari Amerika adalah orang yang membuat tes inteligensi WAIS dan WISC
yang banyak digunakan di seluruh dunia. Ia mengemukakan bahwa inteligensi adalah kemampuan global
yang dimiliki oleh individu agar bisa bertindak secara terarah dan berpikir secara bermakna serta bisa
berinteraksi dengan lingkungan secara efisien (Anastasi dan Urbina, 2001:220).
Spearman mengelompokan inteligensi ke dalam dua kategori. Kategori yang pertama adalah g
(general) faktor atau biasa disebut dengan kemampuan kognitif yang dimiliki individu secara umum,
misalnya kemampuan mengingat dan berpikir. Kategori yang kedua disebut dengan s (specific) faktor
yaitu merupakan kemampuan khusus yang dimiliki individu (Eysenck, 2001:13). G faktor lebih
merupakan potensi dasar yang dimiliki oleh setiap orang untuk belajar dan beradaptasi. Intelligensi ini
dipengaruhi oleh faktor bawaan. Faktor s merupakan intelligensi yang dipengaruhi oleh lingkungan
sehingga faktor s yang dimiliki oleh orang yang satu akan berbeda dengan orang yang lain.
Setiap faktor s pasti mengandung faktor g. Istilah inteligensi digunakan dengan pengertian yang luas
dan bervariasi, tidak hanya oleh masyarakat umum tetapi juga oleh anggota-anggota berbagai disiplin
ilmu. Anastasi (2001 : 220) mengatakan IQ adalah ekspresi dari tingkat kemampuan individu pada saat
tertentu, dalam hubungan dengan norma usia yang ada sehingga inteligensi bukanlah kemampuan tunggal
tetapi merupakan kumpulan dari berbagai fungsi. Istilah ini umumnya digunakan untuk mencakup
gabungan kemampuan-kemampuan yang diperlukan untuk bertahan dan maju dalam budaya tertentu.
Kemampuan intelektual ini dapat diukur dengan suatu alat tes yang biasa disebut IQ (Intellegence
Quotient).
2 Pengertian kecerdasan intelektual
Kemampuan intelektual Robbins (2001:57) adalah kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan
kegiatan mental, berpikir, menalar dan memecahkan masalah. Tes IQ, misalnya dirancang untuk
memastikan kemampuan intelektual umum seseorang. Demikian juga tes saringan masuk perguruan
tinggi yang populer seperti SAT dan ACT serta tes masuk S2 dalam bisnis (GMAT), hukum (SAT),
dalam kedokteran (MCAT).
Terdapat perbedaan tuntutan pekerjaan bagi karyawan untuk mengimplementasikan kemampuan
intelektualnya. Semakin rumit pekerjaan yang diemban maka karyawan tersebut tentu saja IQ nya harus
semakin tinggi. Berbicara secara umum, semakin banyak tuntutan informasi dalam suatu pekerjaan,
semakin banyak kecerdasan intelektual diperlukan untuk menghasilkan pekerjaan yang maksimal.
Kecerdasan intelektual pertama kali diungkapkan pada tahun 1905 oleh Binet. Dinyatakan oleh Binet
bahwa kecerdasan intelektual yang terdiri dari kemampuan analisis dan kemampuan kognitif akan
menetukan kesukesan sesorang dalam bekerja. Menurut Wardani (2003: 35), Kecerdasan intelektual
merupakan suatu kecerdasan dalam aspek kognitif yang memiliki sifat bawaan (nature) dan sifat yang
berkembang sampai pada batas tertentu (nurture).
Kecerdasan intelektual diartikan oleh Ellyawati (2002; 2) sebagai kemampuan seseorang untuk
bekerja dengan menggunakan tiga unsur meliputi analisa, logika, dan aritmatika. Dasar kerja kecerdasan
intelektual adalah berpikir seri, linier, logis dan tidak melibatkan perasaan. Keunggulan dari berpikir seri
ini adalah akurat, tepat, dan dapat dipercaya.
Kinerja kerja seseorang dapat diprediksi berdasarkan seberapa besar orang tersebut memiliki g faktor.
Seseorang yang memiliki kemampuan g (general) faktor maka kinerjanya dalam melaksanakan suatu
pekerjaan juga akan lebih baik, meskipun demikian kemampuan s (specific) juga berperan penting dalam
memprediksi bagaimana kinerja sesorang yang dihasilkan.
Atas dasar berbagai pandangan tersebut dapat dinyatakan bahwa intelegensi adalah kecerdasan
seseorang untuk memecahkan masalah pada umumnya. Intelegensi sebagian besar tergantung pada
turunan. Pendidikan atau lingkungan tidak begitu berpengaruh kepada intelegensi seseorang. Warterik
seorang mahaguru di Amsterdam, menyatakan bahwa menurut penyelidikannya belum dapat dibuktikan
bahwa intelegensi dapat dilatih. Belajar berpikir hanya diartikannya bahwa kekuatan berpikir bertambah
baik.
3. Komponen kecerdasan intelektual
Potensi intelektual yang dikembangkan oleh Iskandar (2004: 8) terbagi dalam empat aspek, yaitu :
a. Kemampuan verbal (verbal ability), memungkinkan individu memiliki pengetahuan dan kemampuan
bahasa termasuk didalamya kemampuan abtraksi, teoritis dan pembentukan pengertian.
b. Kemampuan numerik (numerical ability), memungkinkan individu memiliki ketrampilan dalam
menghitung dan memanipulasi angka.
c. Kemampuan penalaran (logical ability), lebih mengarahkan individu untuk mampu memecahkan
persoalan dengan logika-logika yang dimiliki. Menganalisa sebuah masalah, membahas dan
memecahkanya dengan suatu pendapat atau kesimpulan.
d. Kemampuan spasial (spatial ability), memungkinkan individu memiliki daya bayang-bayang, daya
analisis, dan tiga dimensi.
4. Pengertian kecerdasan emosional
Menurut Stein dan Book (2002: 31):
Dalam kehidupan sehari-hari kecerdasan emosional biasanya kita sebut sebagai street smart (pintar),
kemampuan khusus yang kita sebut akal sehat. Ini terkait dengan kemampuan membaca lingkungan
politik dan sosial, dan menata kembali; kemampuan memahami dengan spontan apa yang diinginkan
dan di butuhkan orang lain, kelebihan dan kekurangan mereka; kemampuan untuk tidak terpengaruh
oleh tekanan; dan kemampuan untuk menjadi orang yang menyenangkan, yang kehadirannya di
dambakan orang lain.
Maksudnya kecerdasan emosional adalah himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang
melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang
lain, memilah- milah semuanya, dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan
tindakan.
Menurut Reuven Bar-On yang dikutip oleh Stein dan Book (2002: 30) bahwa Kecerdasan
emosional adalah serangkaian kemampuan, kompetensi, dan kecakapan non kognitif, yang
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan.
Sedangkan menurut Goleman (1999: 512) Kecerdasan Emosional atau emotional intelligence
merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan
memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri, dan dalam
hubungan dengan orang lain.
5. Komponen kecerdasan emosional
Goleman membagi 5 kelompok kecerdasan emosional dengan kecakapan yaitu:
a) Kesadaran diri (Self Awareness) : kesadaran diri merupakan kesadaran akan perasaan yang timbul
dalam individu dengan mengenali perasaan yang disertai dengan berpikir kemudian melakukan
tindakan dalam mengambil keputusan.
b) Pengaturan diri (Self Regulation) : kemampuan untuk mengendalikan emosi oleh diri sendiri tetapi
tidak hanya berarti meredam rasa tertekan atau menahan gejolak emosi; ini juga bisa berarti dengan
sengaja menghayati suatu emosi, termasuk yang tidak menyenangkan.
c) Motivasi diri (Self Motivation) : dorongan untuk meningkatkan atau memenuhi standar keunggulan,
setia kepada visi dan sasaran perusahaan atau kelompok, menggerakkan orang untuk menerima
kegagalan dan rintangan sebagai awal keberhasilan.
d) Kesadaran sosial (Sosial Awareness) : kemampuan individu dalam menyadari dirinya untuk
berhubungan dengan orang lain (bersosialisasi) atau memahami perasaan orang lain, dan menerima
sudut pandang orang lain, serta menghargai perbedaan dalam cara bagaimana perasaan orang lain
terhadap berbagai macam hal, lebih peka terhadap perasaan orang lain serta lebih baik dalam
mendengarkan orang lain.
e) Ketrampilan sosial (Social Skills) : ketrampilan sosial, makna intinya adalah seni menangani emosi
orang lain.
6. Pengertian Budaya Organisasi
Budaya organisa menurut Schein (1997) adalah : pola asumsi dasar bersama yang dipelajari oleh
kelompok saat memecahkan masalah masalah adaptasi ekstern dan integrasi internal yang telah
berfungsi dengan cukup baik untuk bisa dianggap abash dan untuk bisa diajarkan kepada anggota
kelompok baru sebagai cara yang benar untuk menerima sesuatu, berfikir dan merasakan dalam
hubungan dengan masalah masalah tersebut. Sedangkan menurut Harry dan Bown (1996 dalam lisa,
2003) merumuskan sebagai suatu system nilai dan kepercayaan bersama yang berinteraksi dengan
orang orang, struktur dan system suatu organisasi untuk menghasilkan norma norma dan prilaku.
Definisi operasional variable budaya organisasi menurut Cheki (1996) dapat didefinisikan
seperangkat norma pesepsi, pola perilaku yang diciptakan atau dikembangkan dalam sebuah
perusahaan untuk mengetasi asumsi atau pandangan dasar ini yang diyakini karena telah berjalan baik
dalam perusahaan sehingga dianggap bernilai positif dan pantas diajarkan kepada karyawan baru
sebagai cara yang tepat untuk berpikir dan bertindak dalam menjalankan tugas,
7. Konsep Perilaku Counterproductive
Perilaku counterproductive adalah perilaku yang tidak sesuai dengan etika kerja (Jackson,
2001). Perilaku counterproductive mendapat perhatian besar mengingat naik turunnya perilaku ini
akan berpengaruh terhadap munculnya persoalan berskala luas. Apabila perilaku counterproductive
tinggi maka akan menurunkan moral karyawan sehingga pelanggaran kerja yang tidak etis dianggap
biasa dan semakin rendah perilaku counterproductive, karyawan akan menganggap pelanggaran kerja
yang tidak etis adalah perbuatan tidak biasa dan ini berpengaruh terhadap kedudukan organisasi di
antara pesaing dan dapat meningkatkan standar kehidupan di berbagai aspek.
8. Faktor-faktor perilaku counterproductive
Menurut Viswesvaran (2000) faktor-faktor perilaku counterproductive diantaranya adalah:
1) Ketergantungan
Dalam bekerja setiap karyawan tentunya saling membutuhkan satu sama lain, namun tidak berarti
satu karyawan bergantung dengan karyawan lainya. Ketergantungan antara karyawan satu dengan
yang lain dapat menghambat proses kerja dan pekerjaan karyawan cenderung tidak efektif dan
efesien.
2) Faktor organisasi
Organisasi harus dapat mengelola dan menetapkan aturan-aturan kerja yang jelas sehingga
karyawan tidak bekerja dengan ekstra pribadi. Kejelasan aturan itu juga harus berisi sanksi
terhadap karyawan yang melanggar aturan dan pemberian sanksi disesuaikan tingkat kesalahan.
3) Faktor situasional
Organisasi harus mampu menciptakan suasana kerja yang baik sehingga karyawan merasa
diberlakukan sangat manusiawi. Tekanan kerja yang berlebihan akan menguras kemampuan
karyawan dalam bersosialisasi dalam lingkungan kerjanya, dan dapat berakibat sikap acuh tak
acuh.
4) Perbedaan individu
Setiap karyawan tentunya mempunyai kemampuan dan tingkat adaptabilitas yang berbeda satu
sama lain. Jadi setiap individu harus mampu beradaptasi dengan lingkungannya.
9. Dimensi-dimensi perilaku counterproductive
Menurut Deshpande,dkk. (2005) menjelaskan 6 dimensi perilaku counterproductive yang
meliputi:
a) Pemberian hadiah kepada pimpinan dengan tujuan untuk mendapatkan perlakuan istimewa
(menyuap).
b) Melakukan bisnis pribadi pada saat jam kerja.
c) Melimpahkan kesalahan kepada teman sekerja yang tidak bersalah.
d) Memalsukan laporan.
e) Menggunakan persediaan dan material organisasi untuk kepentingan pribadi.
f) Bekerja ekstra pribadi dengan tenang (datang ke tempat kerja dengan terlambat, istirahat makan siang
terlalu lama).
a. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian explanatory dimana menjelaskan hubungan satu variabel
dengan variabel lain dengan pendekatan kuantitatif, yakni penelitian yang menitik beratkan pada
pengujian hipotesis, menggunakan data terukur, dan yang menghasilkan simpulan yang dapat
digeneralisasi (Singarimbun, 1985: 4). Data yang dipakai dalam analisis bersifat cross-sectional, yang
dikumpulkan melalui survey responden perawat di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten
Konawe Selatan.
b. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian
1. Tempat Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe Selatan yang
berjudul pengaruh tingkat kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan budaya organisasi
terhadap perilaku counterproductive behavior pada perawat di puskesmas wilayah kerja Dinas
Kesehatan Kabupaten Konawe
2. Waktu Pelaksanaan Penelitian
Jadwal penelitian ini dilaksanakan sejak Januari 2012 sampai dengan April 2012. Untuk
jelasnya dapat dilihat pada tabel 2 sebagai berikut :
c. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh perawat di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten
Konawe Selatan. dengan jumlah total 273 orang perawat.
2. Sampel Penelitian
Penelitian ini jumlah populasi bisa diketahui secara pasti, maka untuk menentukan sampel
menggunakan sampel sebanyak 73 orang dengan kriteria perawat yang memiliki masa kerja lebih
dari 5 tahun.
d. Jenis dan Sumber Data
Jenis data :
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti, meliputi :
a) Hasil jawaban responden atas kuesioner,
b) Wawancara dengan para perawat dan,
c) Dilengkapi dengan observasi kegiatan di puskesmas di wilayah kerja Dinas Kesehatan
Kabupaten Konawe Selatan.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang telah didokumentasikan dalam bentuk laporan, majalah, atau
dokumen oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe Selatan.
Sumber data :
Sumber data primer diperoleh dari pernyataan perawat dari masing-masing puskesmas atas
tingkat kecerdasan intelektual, tingkat kecerdasan emosional, budaya organisasi dan perilaku
counterproductive perawat. Sedangkan data sekunder bersumber dari Dinas Kesehatan
Kabupaten Konawe Selatan.
e. Pengujian Instrumen
1. Uji Validitas
Salah satu kuesioner dikatakan valid (sah) jika pertanyaan pada kuesioner tersebut mampu
mengungkapkan sesuatu yang diukur oleh kuesioner (Santoso, 2000). Uji validitas bertujuan untuk
mendapatkan keyakinan mengenai sejauh mana alat ukur yang digunakan benar-benar dapat
mengukur apa yang ingin diukur.
Valid tidaknya suatu item dapat diketahui dengan membandingkan indeks korelasi Pearson
product moment (r hitung) dengan nilai kritisnya, yang mana r hitung dapat dicari menggunakan
rumus:
NXY X Y
rxy
NX 2
X 2 NY 2 Y 2
(Singarimbun, 1995)
Dimana :
r = koefisien korelasi antara item X dengan skor total
X = variable bebas
Y = variable terikat
N = jumlah subjek uji coba
Taraf signifikansi yang dipakai dalam uji validitas ini adalah sebesar 5%:
a. Jika rxy > r tabel, maka data yang dihasilkan dari pernyataan tersebut valid.
b. Jika rxy < r tabel, maka data yang dihasilkan dari pernyataan tersebut tidak valid. Besarnya r
tabel adalah 0,3 (Solimun, 2000).
2. Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas digunakan untuk mengetahui sampai sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif
konsisten apabila pengukuran dilakukan dua kali atau lebih, dengan kata lain, reliabilitas
menunjukan konsistensi suatu alat ukur dalam mengukur gejala yang sama. Untuk mengetahui
reliabilitas kuesioner, penelitian ini menggunakan pendekatan pengukuran reliabilitas konsistensi
internal dengan menghitung koefisien alpha.
Adapun rumus Alpha menurut Arikunto (2006) adalah sebagai berikut:
k b
2
r11 1 2
k 1 t
Koefisien alpha ini berkisar antara 0 sampai 1. Jika koefisien alpha > 0,6 berarti item pengukuran
reliabel Arikunto (2006).
f. Teknik Analisis Data
Untuk mencapai tujuan penelitian, maka dilakukan analisis data dengan menggunakan analisis
regresi linier berganda yang dirumuskan sebagai berikut :
Y = b1x1 + b2x2 + b3 x3
Keterangan :
Y = Perilaku counterproductive
x1 = Tingkat kecerdasan intelektual
x2 = Tingkat kecerdasan emosional
x3 = Tingkat kecerdasan spiritual
b1,b2,b3 = Koefisien regresi
1. Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis penelitian dilakukan dengan melalui :
a. Uji F
Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh signifikansi variabel bebas yaitu tingkat
kecerdasan intelektual, tingat kecerdasan emosional dan tingkat kecerdasan spiritual secara
bersama-sama terhadap perilaku counterproductive.
1. Bila F probabilitas (SIG) < 0,05 (level of significan) maka Ho ditolak dan Ha diterima, hal ini
menunjukan variabel bebas mempunyai pengaruh yang signifikan secara bersama-sama
terhadap variabel tergantung (Y).
2. Bila F probabilitas (SIG) > 0,05 (level of significan) maka Ho diterima dan Ha ditolak, yang
berarti atau hal ini menunjukan variabel bebas tidak mempunyai pengaruh yang signifikan
secara bersama-sama terhadap variabel tergantung (Y).
b. Uji t
Uji t dilakukan untuk mengetahui tingkat signifikan pengaruh variabel bebas secara parsial
(individu) terhadap variabel tergantung. Bila t probabilitas (SIG) < 0,05 (level of significan) maka
Ho ditolak dan Ha diterima, hal ini menunjukan adanya pengaruh signifikan antara satu variabel
bebas dengan variabel terikat. Sedangkan bila t probabilitas (SIG) > 0,05 (level of significan) maka
Ho diterima dan Ha ditolak, hal ini menunjukan tidak terdapat pengaruh signifikan antara satu
variabel bebas dengan variabel terikat. Variabel bebas yang dominan terhadap variabel terikat
ditentukan dari nilai koefisien determinan parsial (r2) paling besar diantara variabel-variabel yang
menjadi variabel bebas. Seluruh proses analisis statistik yang digunakan untuk menganalis data
dalam penelitian ini menggunakan alat bantu Statistical Program for Social Science (SPSS) 15.00
for Windows.
2. Pengujian Asumsi Klasik
Asumsi model klasik yang harus dipenuhi untuk mendapatkan model regresi yang baik adalah :
1. Normalitas
Tujuan uji normalitas adalah ingin mengetahui apakah distribusi sebuah data mengikuti atau
mendekati distribusi normal (Santoso, 2000).
2. Non Multikolinieritas
Tujuan uji non multikolinieritas adalah menunjukan antara variabel bebas satu dengan yang lain
didalam model regresi tidak saling berhubungan secara sempurna atau mendekati sempurna. Untuk
mengetahui ada tidaknya gejala non multikolinieritas digunakan nilai Variance Inflation Factor
(VIF). Non multikolinieritas terjadi jika VIF < 10 yang juga mempunyai arti bahwa tidak terjadi
gejala multikolinieritas.
3. Homoskedastisitas / Non Heteroskedastisitas
Tujuan uji homoskedastisitas pada prinsipnya untuk menguji apakah varian semua variabel
adalah konstan (sama), dalam arti tidak terjadi hubungan antara variabel penggangu dengan
variabel bebasnya. Ini berarti bahwa variasi nilai-nilai Y disekitar rata-ratanya tersebut adalah
konstan untuk semua X. Jika varian sama, maka dikatakan ada homoskedastisitas.
f. Definisi operasional Variabel dan Operasional Variabel
Penggunaan variable dalam penelitian ini memiliki definisi yang disesuaikan dengan tujuan
penelitian seperti antara lain :
1. Kecerdasan intelektual adalah akumulasi dari apa yang dipersepsikan dan dirasakan oleh
seseorang pegawai dalam menjalani pekerjaan selama ini..
2. Kecerdasan Emosional yaitu akumulasi dari apa yang dipersepsikan dan dirasakan oleh seseorang
pegawai dalam menjalani pekerjaan selama ini.
3. Budaya organisasi adalah akumulasi dari apa yang dipersepsikan dan dirasakan oleh seseorang
pegawai dalam menjalani pekerjaan selama ini.
4. Counterproduktif behavior adalah akumulasi dari apa yang dipersepsikan dan dirasakan oleh
seseorang pegawai dalam menjalani pekerjaan selama ini. Hasil Dan Pembahasan
5.8.5. Mengetahui tingkat dominasi variabel yang positif berpengaruh terhadap counterproductive
behavior pada perawat di Puskesmas Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Konawe
Selatan.
Variabel penelitian yang digunakan memiliki tingkat dominasi yang berberda-beda. Hal ini
nampak pada nilai standar koefisien regresi. Hasil penelitian diperoleh bahwa variabel yang dominan
adalah budaya organisasi dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,494 dan nilai t hitung = 5,055. Hasil
penelitian diperoleh bahwa budaya organisasi pada lingkungan kerja Dinas Kesehatan Kabupaten
Konawe Selatan mencakup perawat dengan tingkat kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosionalnya.
Hal ini nampak profesionalisme, jarak dari manajemen, percaya pada rekan sekerja, keteraturan dan
integrasi merupakan komponen-komponen yang memiliki hubungan dengan kecerdasan intelektual dan
kecerdasan emosional.
Hasil penelitian Armansyah (2006) menunjukkan bahwa Intelegence quotient, emotional
quotient, dan spiritual quotient berpengaruh dalam membentuk perilaku kerja. Hasil penelitia memiliki
persamaan pada variabel kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Sedangkan perbedaannya
adalah pada veriabel spiritual dan perilaku kerja.
Saran
Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan dalam penelitian ini maka dapat disarankan sebagai
berikut :
1. Untuk meningkatkan kecerdasan intelektual perawat maka diharapkan adalah peningakatan kualitas
sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan yang relevan dengan bidang kerja yang pada
gilirannya dalam mengendaliakn perilaku kotraproduktif di masa mendatang.
2. Untuk meningkatkan kecerdasan emosional perawat dalam pelaksanaan tugas maka perlu adanya
pembagian tugas yang tepat pada setiap organisasi kerja yang ada di Lingkungan Dinas Kesehatan
Kabupaten Konawe Selatan yang nantinya akan dapat mengendalian perilaku kontaproduktif.
3. Untuk meningkatkan kinerja organisasi, pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan Kabupaten
Konawe Selatan menetapkan aturan dan pekerjaan serta penenmpatan pegawai untuk dapat
melaksanakan tugas dan tanggung secara profesional dan mweujudkan visi dan misi organisasi kerja
di masa mendatang.