Anda di halaman 1dari 13

A.

Gambaran Umum
Secara geografis wilayah Kabupaten Sleman terbentang mulai
110 1513 sampai dengan 110 3300 Bujur Timur dan 73451
sampai dengan 7 4703 Lintang Selatan. Di sebelah utara, wilayah
Kabupaten Sleman berbatasan dengan Kabupaten Magelang dan
Kabupaten Boyolali, Propinsi Jawa Tengah, di sebelah timur berbatasan
dengan Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah, di sebelah barat
berbatasan dengan Kabupaten Kulon Progo, Propinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa
Tengah, dan di sebelah selatan berbatasan dengan Kota
Yogyakarta, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kondisi geologi di Kabupaten Sleman didominasi dari keberadaan
gunung Merapi. Formasi geologi dibedakan menjadi endapan
vulkanik, sedimen, dan batuan terobosan, dengan endapan vulkanik
mewakili lebih dari 90% luas wilayah. Air tanah Merapi yang
mengalir di bawah permukaan secara rembesan bergerak menuju
daerah yang lebih rendah terpotong oleh topografi, rekahan atau
patahan maka akan muncul mata air. Di Kabupaten Sleman terdapat 4
jalur mata air (springbelt) yaitu: jalur mata air Bebeng, jalur mata
air Sleman-Cangkringan, jalur mata air Ngaglik dan jalur mata air
Yogyakarta. Mata air ini telah banyak dimanfaatkan untuk sumber air
bersih maupun irigasi.
Di Kabupaten Sleman terdapat 154 sumber mata air, yang airnya
mengalir ke sungai sungai utama yaitu sungai Boyong, Kuning,
Gendol, dan Krasak. Di samping itu terdapat anak-anak sungai
yang mengalir ke arah selatan dan bermuara di Samudera
Indonesia.
Sistem sungai di Kabupaten Sleman mempunyai pola radial-paralel
yang terbagi dalam 2 subsistem yaitu subsistem sungai Progo dan
subsistem sungai Opak. Sungai-sungai yang bermuara di sungai
Progo meliputi sungai Krasak, sungai Putih, sungai Konteng, sungai
Jetis, sungai Bedog, sedangkan sungai Denggung, sungai Winongo,
sungai Code, sungai Gajah Wong, sungai Tambakbayan dan sungai
Kuning, bermuara di sungai Opak. Semua sungai tersebut
merupakan sungai perenial, yang disebabkan karena curah
hujannya yang tinggi, sifat tanahnya permeabel dan akifernya tebal,
sehingga aliran dasar (base flow) pada sungai-sungai tersebut cukup
besar yang termasuk efluent.
Perkembangan jumlah penduduk Kabupaten Sleman pada tahun 2005-
2009 bertambah 98.376 orang atau 9,33% yaitu dari 955.124 pada
Tahun 2005 menjadi 1.053.500 orang pada akhir tahun 2009 atau
rata-rata pertahun meningkat sebesar 2,40%. Jumlah penduduk yang
semakin meningkat setiap tahunnya di Daerah Kabupaten Sleman dan
aktifitas masyarakat di sekitar daerah aliran sungai (DAS) yang
semakin beragam serta kebutuhan akan air semakin meningkat
menyebabkan persoalan keseimbangan antara kebutuhan air dan
ketersediaan air, menurunnya kualitas air sumur dangkal yang
dikonsumsi masyarakat serta kebutuhan akan rekreasi kota. Hal
tersebut merupakan permasalahan yang dihadapi oleh Daerah
Kabupaten Sleman khususnya dan DIY umumnya.
B. Kekeringan di Kabupaten Sleman
Di wilayah Sleman terjadi penurunan air tanah antara 15-30 cm tiap
tahunnya. Penurunan air tanah tersebut terjadi 28 titik yang berada di
cekungan air tanah (CAT) Yogyakarta-Sleman. Beberapa diantaranya
seperti di Kecamatan Mlati, Kecamatan Ngemplak, Kecamatan Godean,
Kecamatan Moyudan, Kecamatan Umbulharjo, Kecama matan Kotagede,
dan Kecamatan Mergangsan (Ika, 2016). Penurunan air tanah juga terjadi
akibat berkurangnya daerah resapan karena maraknya konversi lahan.
Lahan-lahan terbuka semakin sulit ditemukan karena diubah fungsinya
menjadi perumahan dan bangunan komersial seperti mall, hotel, dan
apartemen. Sejumlah wilayah resapan utama luasannya semakin berkurang
karena pertambahan penduduk.
Resiko kekeringan di wilayah Kabupaten Sleman juga dihadapi
oleh masyarakat yang bermukim di wilayah dengan ketersediaan
air sangat rendah dan muka air tanah yang sangat dalam.
Wilayah yang memiliki resiko bahaya kekeringan adalah Desa
Gayamharjo, Prambanan dan sebagian wilayah Kecamatan Gamping
(BPBD Kab Sleman, 2015).

Gambar 1. Peta Kerawanan Bencana Kekeringan Kabupaten Sleman


(Sumber: BPBD Kab Sleman, 2015)
Masalah kelangkaan air bersih yang berujung kepada resiko kekeringan
di Kabupaten Sleman sendiri secara garis besar terjadi faktor bencana
alam, anomali iklim serta perubahan struktur demografi penduduk
yang berimbas kepada ketersediaan air bersih. Adapun alur seperti
yang terlihat pada skema 1 berikut.
KEKERINGAN

SUPPLY AIR BERSIH TERGANGGU

ERUPSI MERAPI 2010


ANOMALI IKLIM LAJU PERTAMBAHAN PENDUDUK

Curah Hujan sangat rendah Kebutuhan air bersih naik


Kerusakan Alur Sungai
Masifnya pembangunan fisik

Penyimpanan Penyimpanan
Cadangan Air Bersih Cadangan Air Bersih Skala Hunian
Skala Wilayah
Normalisasi DAS
Embong Sumur Resapan

Gambar 2. Evaluasi alur kejadian kekeringan dan antisipasi kekeringan


di Kabupaten Sleman (sumber: analisis, 2016)

Kerusakan alur sungai di Kabupaten Sleman akibat aliran larva


dari erupsi Gunung Merapi tahun 2016 sangat berpengaruh terhadap
pasokan air bersih ke seluruh wilayah kecamatan yang berada di
Kabupaten Sleman. Secara jangka panjang normalisasi Daerah Aliran
Sungai yang rusak menjadi hal yang mendesak untuk dilakukan.
Untuk mengantisipasi terjadinya penurunan curah hujan secara drastis,
maka diperlukan sebuah penyediaan cadangan air bersih untuk
memenuhi kebutuhan air bersih dalam ruang lingkup wilayah yang
berada didalam area Kabupaten Sleman. Peyediaan embong menjadi
alternatif untuk menjawab permasalahan cadangan air wilayah saat
kekeringan melanda. Sedangkan dalam ruang lingkup yang lebih
mikro, yakni hunian, maka penyediaan sumur resapan pada setiap
banguna rumah tinggal juga menjadi alternatif dalam mengantisipasi
dan meminimalkan potensi kejadian kekeringan di Kabupaten Sleman.
C. Perencanaan Teknis
1. Embong
a. Perhitungan Debit Andalan
Debit andalan merupakan debit minimal yang sudah ditentukan yang
dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan air. Perhitungan ini
menggunakan cara analisis water balance dari Dr. F.J Mock berdasarkan
data cuarah hujan bulanan. jumlah hari hujan. evapotranspirasi dan
karakteristik hidrologi daerah pengaliran.
Tabel 1 Rekapitulasi Debit Andalan
b. Data Curah Hujan
Data curah hujan diambil dari data curah hujan bulanan dari Stasiun
Beran, Santan dan Bronggang

Tabel 2 Curah hujan bulanan rata-rata stasiun Beran. Santan dan


Bronggang

c. Volume Air Oleh Penguapan (Evaporasi)


Untuk mengetahui besarnya volume penguapan yang terjadi pada
muka embung dihitung dengan rumus:
Ve = Ea x S x Ag x d
Dimana :
Ve = Volume air yang menguap tiap bulan (m3)
Ea = Evaporasi hasil perhitungan (mm/hari)
Ag = Luas permukaan Embung pada setengah tinggi tubuh embung
(m2)
d = Jumlah hari dalam 1 bulan

Penguapan atau evaporasi dipengaruhi oleh suhu air. suhu udara


(Atmosfer), kelembaman, kecepatan angin, tekanan udara, sinar
matahari dan lain-lain yang saling berhubungan. Rumus yang
digunakan rumus empiris Penman :
Ea = 0,35(ea ed) (1 0,01V)

Dimana :
ea = tekanan uap jenuh pada suhu rata-rata harian (mm/Hg)
ed = tekanan uap sebenarnya (mm/Hg)
V = kecepatan angin pada ketinggian 2 m di atas permukaan tanah

Tabel 3 Perhitungan volume kehilangan air akibat evaporasi

d. Volumen Sedimentasi
Perkiraan laju sedimentasi dalam dimaksudkan untuk memperoleh
angka sedimentasi dalam satuan m3/tahun, guna memberikan
perkiraan yang lebih pasti untuk penentuan ruang sedimen dan untuk
memperkirakan umur rencana embung. Data atau parameter yang
digunakan dalam analisis sedimentasi adalah sebagai berikut:
Luas DAS = 20,33 km2
Curah hujan (R) = 162,57 mm
Koefisien kekasaran manning (n) = 0,02
Indeks erodibilitas tanah (K) = 0,4
Factor CP = 0,43
sedimen = 2,2 ton/m3

Contoh perhitungan :
Indek erosivitas hujan = 2,21x Rb1,36
= 2,21 x (162,57 x 10-3)1,36
= 0,187 ton.m/ha.th

Untuk kemiringan lebih kecil dari 20% = LS =


L/100(1,36+0,965S+0,138S2)
Erosi potensial = R x K x LS x A
Erosi aktual = erosi potensial x CP
SDR

S-pot = erosi aktual x SDR

Tabel 4. Perhitungan Sedimentasi


Volume sedimen pada embung tergantung pada umur rencana
embung. Embung direncanakan mempunyai umur rencana 50 tahun,
dan berat jenis dari material sedimen adalah 2,2 ton/m3.
Volume sedimen = (573,552 (ton/thn) / 2,2 ton/m3) x 50 thn
= 13035,27 m3

e. Volume Tampungan Untuk Melayani Kebutuhan


Volume Tampungan Untuk Melayani Kebutuhan Air Baku di sebut juga
Volume Efektif storage. Volume efektif storage adalah besarnya volume
penyimpanan air di dalam embung untuk memenuhi kebutuhan air
baku. Volume storage dihitung berdasarkan besarnya debit andalan
yang ada. Ketinggian air dipertahankan pada elevasi + 144 m untuk
kegiatan pariwisata dan selebihnya direncanakan untuk kebutuhan air
baku.
Diketahui :
Volume Tampungan Embung ketinggian + 147 m (V t147) = 285.902,99
m3
Volume Tampungan Embung ketinggian + 144 m (V t144) = 126.082,52
m3
Volume Evaporasi (Ve) = 12.157,79 m3
Volume Sedimen (Vs) = 13.035,27 m3
Volume Air Mati = Vt144 Vs
= 126.082,52 - 13.035,27
= 113.047,25 m3

Volume Air efektif = (Vt +147 Vt +144 ) Ve Vs


= (285.902,99 126.082,52) 12.157,79 13.035,27
= 134.627,41 m3

f. Volume Resapan = 10% x Volume Air efektif


= 10% x 134.627,41 m3
= 13.462,741 m3

g. Penentuan Tinggi Jagaan


Tinggi jagaan adalah jarak bebas antara mercu embung dengan
permukaan air maksimum rencana. Tinggi jagaan dapat dihitung
dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

Dimana :
Hf = tinggi jagaan (m)
h = yang terjadi akibat timbulnya banjir abnormal (m)
hw = tinggi ombak akibat kenaikan (m)
he = tinggi jagaan ombak akibat gempa (m)
ha = tinggi kemungkinan kenaikan permukaan air, apabila terjadi
kemacetan pada pintu bangunan pelimpah (m)
hi = tinggi tambahan yang didasarkan pada tingkat urgensi embung
(m)

Gambar 3. Tinggi jagaan

h. Saluran Pengarah Aliran Bangunan Melimpah


Saluran pengarah aliran dimaksudkan agar aliran air senantiasa dalam
kondisi hidrolika yang baik dengan mengatur kecepatan alirannya tidak
melebihi 4 m/det dengan lebar semakin mengecil ke arah hilir. Apabila
kecepatan aliran melebihi 4 m/det, maka aliran akan bersifat helisoidal
dan kapasitas alirannya akan menurun. Disamping itu aliran helisoidal
tersebut akan mengakibatkan peningkatan beban hidrodinamis pada
bangunan pelimpah tersebut.

2. Sumur Resapan
Desain sumur resapan merupakan representasi dari nilai debit
masukan (Q), permeabilitas (K), faktor geometrik (F), jari-jari sumur (r),
dan waktu pengaliran (t). Pembuatan desain sumur resapan
diasumsikan menggunakan jari-jari sumur 0,5 m. Sebagaimana
ditunjukkan pada tabel 5, semakin besar luas atap bangunan, maka
kedalaman sumur resapan juga akan mengalami peningkatan,
sehingga dapat dikatakan bahwa antara luas atap bangunan dengan
kedalaman sumur resapan memiliki hubungan yang linier.
Tabel 5. Kedalaman sumur resapan pada berbagai periode ulang

Luas atap (m2) Kedalaman sumur


pada Periode Ulang (m)
5 10 20 50
21-36 1,3 1,4 1,5 1,7
37-40 1,4 1,6 1,7 1,9
41-45 1,6 1,8 1,9 2,1
46-54 1,9 2,1 2,3 2,5
55-60 2,1 2,3 2,6 2,8
61-70 2,4 2,7 3,0 3,3
71-80 2,8 3,1 3,4 3,8
Sumber : (Werdiningsih & Suprayogi, 2013)
Semakin besar luas atap bangunan dan intensitas hujan, akan
mempengaruhi besar debit masukan (Q). Selain itu, setiap periode
ulang terjadi peningkatan kedalaman sumur resapan, sehingga
terdapat pengaruh antara periode ulang yang digunakan dengan
kedalaman sumur resapan.
Volume air hujan yang masuk ke dalam sumur resapan merupakan
fungsi dari komponen kedalaman sumur resapan (H), faktor geometrik
(F), permeabilitas (K), debit masukan (Q), dan waktu (T). Selama waktu
satu jam (durasi hujan dominan) pada periode ulang tertentu, sumur
resapan dapat menampung dengan baik air hujan yang jatuh dari atap.
Dalam hal ini, sumur tidak mengalami luber keluar mulut sumur
resapan (Tabel 6). Kedalaman sumur pada periode ulang 10 tahun
dengan luas atap 80 m2 adalah sebesar 3,1 m. Volume sumur resapan
adalah sebesar 2,43 m3 (volume tabung), sehingga sumur resapan
tidak mengalami luber keluar mulut sumur karena volume
keseimbangan air di dalam sumur adalah 1,6 m3.

Tabel 6. Volume air yang dapat ditampung sumur resapan

Luas atap (m2) Volume air yang dapat ditampung pada Periode
Ulang (m3)
5 10 20 50
21-36 0,7 0,7 0,8 0,9
37-40 0,7 0,8 0,9 1,0
41-45 0,8 0,9 1,0 1,1
46-54 1,0 1,1 1,2 1,3
55-60 1,1 1,2 1,3 1,5
61-70 1,3 1,4 1,6 1,7
71-80 1,5 1,6 1,8 2,0
81-100 1,8 2,0 2,2 2,5
Sumber : (Werdiningsih & Suprayogi, 2013)

REFERENSI
BPBD Kab Sleman. (2015). 1 - BAB.-IV-DATA-PEMBANGUNAN.pdf. In Buku
Profil BPBD Kabuptaen Slematn Tahun 2015 (p. 50). Sleman. Retrieved
from http://bpbd.slemankab.go.id/wp-content/uploads/2016/04/BAB.-IV-
DATA-PEMBANGUNAN.pdf
Ika. (2016). 50 Persen Wilayah Yogyakarta dan Sleman Krisis Air. Retrieved
December 21, 2016, from https://ugm.ac.id/id/berita/12410-
50.persen.wilayah.yogyakarta.dan.sleman.krisis.air
Werdiningsih, W., & Suprayogi, S. (2013). RANCANGAN DIMENSI SUMUR
RESAPAN UNTUK KONSERVASI AIRTANAH DI KOMPLEKS TAMBAKBAYAN,
SLEMAN DIY. Jurnal Bumi Indonesia, 1(3). Retrieved from
http://lib.geo.ugm.ac.id/ojs/index.php/jbi/article/view/117

Anda mungkin juga menyukai