Anda di halaman 1dari 27

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Perdarahan pascapersalinan (PPP) adalah perdarahan masif yang berasal

dari tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir dan jaringan sekitarnya.

Bila tidak mendapat penanganan yang semestinya akan meningkatkan morbiditas

dan mortalitas ibu serta proses penyembuhan kembali.1

Menurut WHO (2008), kematian ibu yang disebabkan oleh perdarahan

25%, penyebab tidak langsung 20%, infeksi 15%, aborsi yang tidak aman 13%,

eklampsia 12%, penyulit persalinan 8%, dan penyebab lainnya 7%. Penyebab

kematian ibu di Indonesia melalui Studi Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun

1995 masih didominasi oleh trias klasik yaitu perdarahan (46, 17%), keracunan

kehamilan (14,4%), dan infeksi (8%). Berdasarkan Profil Kesehatan Propinsi Jawa

Timur, penyebab kematian ibu tahun 2005 berturut turut adalah perdarahan

34,62%, keracunan kehamilan (preeklamsia) 14,01%, infeksi 3,02%, dan penyebab

lainnya 40,11%.2

Berdasarkan saat terjadinya perdarahan pascapersalinan dapat dibagi

menjadi perdarahan pascapersalinan primer yang terjadi dalam 24 jam pertama dan

biasanya disebabkan oleh atonia uteri, berbagai robekan jalan lahir, dan sisa

sebagian plasenta. Perdarahan pascapersalinan sekunder yang terjadi setelah 24 jam

persalinan, biasanya oleh karena sisa plasenta.1

Dari seluruh persalinan, angka kejadian perdarahan pascapersalinan

berkisar antara 5% sampai 15%. Dari angka tersebut, diperoleh etiologi antara lain:
2

atonia uteri (50-60%), sisa plasenta (23-24%), retensio plasenta (16-17%), laserasi

jalan lahir (4-5%), kelainan darah (0,5-0,8%). Dilihat dari angka tersebut sekitar

60% perdarahan pasca persalinan disebabkan oleh atonia uteri.3,4

Di Indonesia, sebagian besar persalinan tidak berlangsung di rumah sakit,

sehingga seringkali pasien yang melahirkan kemudian terjadi perdarahan

pascapersalinan terlambat sampai ke rumah sakit, dan apabila sudah tiba di rumah

sakitpun keadaan umum atau hemodinamiknya sudah memburuk dan

mengakibatkan mortalitas tinggi.3

Penanganan atonia uteri telah lama dikenal dengan kompresi bimanual dan

masase uterus bersamaan dengan penggunaan obat oksitosin atau ergometrin.

Ketika manajemen medis gagal untuk mengembalikan tonus uterus (kontraksi

uterus), dapat diterapkan menggunakan kasa 8-10 m yang disterilkan atau dengan

menggunakan kondom yang digelembungkan dan terikat pada kateter sederhana

dengan benang sutra. Kondom digelembungkan dengan menghubungkan kateter

pada infus set. Hal ini yang menyebabkan kondom kateter sebagai tampon uterus

dan dapat menghentikan perdarahan.4

Kondom atau balon kateter ini lebih baik daripada menggunakan kasa steril

sebagai tampon karena bekerja dengan cepat, tidak menyerap, dan kateter sendiri

dapat mencegah perdarahan yang tersembunyi. Kondom kateter hidrostatik dapat

mengontrol perdarahan pascapersalinan dengan cepat dan efektif dengan membuat

fungsi balon yang cukup akan cairan. Balon ini memberikan tekanan yang sama

dengan sinus yang terbuka dalam uterus sehingga perdarahan berhenti lebih cepat

dan efisien.4
3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Uterus

Uterus berbentuk seperti buah avokad atau buah pir yang sedikit gepeng ke

arah depan belakang. Ukurannya sebesar telur ayam dan mempunyai rongga.

Dindingnya terdiri atas otot otot polos. Ukuran panjang uterus adalah 7 7,5 cm,

lebar di atas 5,25 cm, tebal 2,5 cm dan tebal dinding 1,25 cm. letak uterus dalam

keadaan fisiologis adalah anteversiofleksi (serviks ke depan dan membentuk sudut

dengan vagina, sedangkan korpus uteri ke depan dan membentuk sudut dengan

serviks uteri).1

Uterus terdiri atas: fundus uteri, korpus uteri, dan serviks uteri. Fundus uteri

adalah bagian uterus proksimal, di situ kedua tuba falloppii masuk ke uterus. Di

dalam klinik penting untuk diketahui sampai dimana fundus uteri berada, oleh

karena tuanya kehamilan dapat diperkirakan dengan perabaan pada fundus uteri.

Korpus uteri adalah bagian uterus yang terbesar. Pada kehamilan bagian ini
4

mempunyai fungsi utama sebagai tempat janin berkembang. Rongga yang terdapat

dalam korpus uteri disebut kavum uteri (rongga rahim). Serviks uteri terdiri atas:

pars vaginalis serviks uteri yang dinamakan porsio, pars supravaginalis servisis

uteri yaitu bagian serviks yang erada di atas vagina. Saluran yang terdapat dalam

serviks disebut kanalis servikalis, dilapisi oleh kelenjar serviks berbentuk sel torak

bersilia dan berfungsi sebagai reseptakulum seminis. Pintu saluran serviks sebelah

dalam disebut ostium uteri internum dan pintu di vagina disebut ostium uteri

eksternum. Kedua pintu penting dalam klinik, misalnya dalam jalannya persalinan

dan abortus.1

Secara histologik dari dalam ke luar, uterus terdiri atas: endometrium di

korpus uteri dan endoserviks di serviks uteri, otot otot polos, dan lapisan serosa,

yakni peritoneum viserale. Endometrium terdiri atas epitel kubik dengan banyak

pembuluh darah yang berkeluk keluk. Endometrium mempunyai arti penting

dalam siklus haid perempuan dalam masa reproduksi.1

Lapisan otot polos uterus di sebelah dalam berbentuk sirkular dan di

sebelah luar berbentuk longitudinal. Di antara kedua lapisan itu terdapat lapisan

otot oblik, berbentuk anyaman. Lapisan ini paling penting dalam persalinan oleh

karena sesudah plasenta lahir, otot lapisan ini berkontraksi kuat dan menjepit

pembuluh pembuluh darah yang terbuka di tempat itu, sehingga perdarahan

berhenti.1

Ligamen yang memfiksasi uterus adalah sebai berikut: ligamentum cardinal

(Mackenrodt), ligamentum sakro uterina kiri dan kanan, ligamentum rotundum

kiri dan kanan, ligamentum latum kiri dan kanan, ligamentum infundibulo

pelvikum kiri dan kanan.1


5

Uterus diberi darah oleh arteri Uterina kiri dan kanan yang terdiri atas

r.asendens dan desendens. Pembuluh darah ini berasal dari a.Iliaka Interna

(a.Hipogastrika) yang melalui dasar ligamentum latum masuk ke dalam uterus di

daerah serviks kira kira 1,5 cm di atas forniks lateralis vagina. pembuluh darah

lain yang memberi darah ke uterus adalah arteri Ovarika kiri dan kanan.1

Inervasi uterus terutama terdiri atas sistem saraf simpatik dan untuk

sebagian terdiri atas sistem parasimpatik dan serebrospinal.1

2.2 Mekanisme his

Seperti penjelasan pada anatomi, otot polos uterus terdiri atas tiga lapisan

otot polos, yaitu lapisan luar longitudinal, lapisan dalam sirkular, dan di antara dua

lapisan ini terdapat lapisan dengan otot yang beranyaman. Berbeda dengan otot

polos lain, pemendekan otot polos rahim lebih besar, tenaga dapat disebarkan ke

segala arah dan karena susunannya tidak terorganisasi secara memanjang, hal ini

memudahkan pemendekan, kapasitas untuk meningkatkan tekanan dan

menyebabkannya tidak bergantung pada letak, atau presentasi janin.1


6

Di tingkat sel, mekanisme kontraksi ada dua, yaitu akut dan kronik. Yang

akut diakibatkan masuknya ion Ca2+, ke dalam sel yang dimulai dengan

depolarisaasi membran sel. Meningkatnya konsentrasi Ca2+ bebas dalam sel

memicu satu reaksi berantai yang menyebabkan pembentukan hubungan (cross-

bridge) antara filamen aktin dan myosin sehingga sel berkontraksi. Sementara itu,

mekanisme yang kronik diakibatkan pengaruh hormon yang memediasi transkripsi

gen yang menekan atau meningkatkan kontraktilitas sel yaitu CAP (Contraction

Associated-proteins).1

His paling tinggi di fundus uteri yang lapisan ototnya paling tebal dan

puncak kontraksi terjadi simultan di seluruh bagian uterus. Sesudah tiap his, otot

korpus uteri menjadi lebih pendek daripada sebelumnya yang disebut sebagai

retraksi. Oleh karena serviks kurang mengandung otot, serviks tertarik dan terbuka

(penipisan dan pembukaan), terlebih jika ada tekanan oleh bagian janin yang keras,

umpamanya kepala. His yang sempurna bila terdapat kontraksi yang simetris,

kontraksi paling kuat atau dominasi di fundus uteri, dan sesudah itu terjadi

relaksasi. Lapisan lapisan otot polos uterus ini paling penting dalam persalinan

oleh karena sesudah plasenta lahir, otot lapisan ini berkontraksi kuat dan menjepit

pembuluh pembuluh darah yang terbuka di tempat itu, sehingga perdarahan

berhenti. 1
7

2.3 Atonia uteri

2.3.1 Pengertian

Berdasarkan saat terjadinya perdarahan pascapersalinan (volume

perdarahan > 500 cc), dapat dibagi menjadi perdarahan pascapersalinan primer,

yang terjadi dalam 24 jam pertama dan perdarahan pascapersalinan sekunder yang

terjadi setelah 24 jam persalinan.3

Perdarahan pasca persalinan primer Perdarahan pasca persalinan sekunder


Atonia uteri Sisa plasenta
Retensio plasenta Endometritis
Robekan jalan lahir Sub involusio
Kelainan pembekuan darah
Inversio uteri

Dari seluruh persalinan, angka kejadian perdarahan pascapersalinan

berkisar antara 5% sampai 15%. Dari angka tersebut, diperoleh etiologi antara lain:

atonia uteri (50-60%), sisa plasenta (23-24%), retensio plasenta (16-17%), laserasi

jalan lahir (4-5%), kelainan darah (0,5-0,8%). Dilihat dari angka tersebut sekitar

60% perdarahan pasca persalinan disebabkan oleh atonia uteri.3


8

Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus atau kontraksi rahim yang

menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat

implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.1

2.3.2 Patofisiologi

Uterus mendapat pasokan darah dari arteri uterina arteri illiaka interna

dan arteri uterina arteri ovarika arteri aorta abdominalis. Semua arteri besar

yang memasok darah ke uterus pada ibu hamil akan memasok darah 500 800

ml/menit.3

Pada saat memasuki kala III dalam persalinan atau periode waktu yang

dimulai ketika bayi lahir dan berakhir pada saat plasenta seluruhnya sudah

dilahirkan, otot uterus (miometrium) berkontraksi mengikuti penyusutan volume

rongga uterus setelah lahirnya bayi. Penyusutan ukuran ini menyebabkan

berkurangnya ukuran tempat perlekatan plasenta, karena tempat perlekatan menjadi

semakin kecil, sedangkan ukuran plasenta tidak berubah, maka plasenta akan

terlipat, menebal, dan kemudian lepas dari dinding uterus.


9

Setelah plasenta lepas, uterus akan tetap berkontraksi dimana miometrium akan

menjepit (retraksi) anyaman pembuluh darah yang bejalan diantara serabut otot

sehingga perdarahan yang terjadi akibat pelepasan plasenta tidak terjadi.5

Apabila ada suatu kondisi dimana miometrium tidak dapat berkontraksi

(atonia) pasca plasenta lahir akan mengakibatkan darah yang keluar dari bekas

implantasi tidak dapat terkendali, maka 350 560 ml darah per menit akan keluar

dan dalam 10 30 menit maka pasien akan mengalami kehilangan banyak darah.5
10

2.3.3 Etiologi atau faktor predisposisi

Pada banyak kasus, perdarahan pascapersalinan dapat diperkirakan sebelum

pelahiran. Contoh ketika trauma dapat menyebabkan perdarahan pascapersalinan

antara lain pelahiran janin besar, pelahiran dengan forsep, setiap manipulasi

intrauterus, dan mungkin persalinan pervaginam setelah seksio sesaria atau insisi

uterus lainnya. 6

Atonia uteri yang menyebabkan perdarahan dapat diperkirakan apabila

digunakan zat-zat anestetik berhalogen dalam konsentrasi tinggi yang

menyebabkan relaksasi uterus. Uterus yang mengalami overdistensi besar

kemungkinan mengalami hipotonia setelah persalinan. Dengan demikian, wanita

dengan janin besar, janin multipel, atau hidramnion rentan terhadap perdarahan

akibat atonia uteri. Kehilangan darah darah pada persalinan kembar, sebagai

contoh, rata rata hampir 1000 ml dan mungkin jauh lebih banyak. Wanita yang

persalinannya ditandai dengan his yang terlalu kuat atau tidak efektif juga besar

kemungkinan mengalami perdarahan berlebihan akibat atonia uteri setelah

melahirkan.6
11

Demikian juga, persalinan yang dipicu atau dipacu dengan oksitosin lebih

rentan mengalami atonia uteri dan perdarahan pascapersalinan. Wanita dengan

paritas tinggi mungkin berisiko besar mengalamai atonia uteri. Fuchs dkk (1985)

melaporkan hasil akhir pada hampir 5800 wanita para 7 atau lebih. Mereka

melaporkan bahwa insiden perdarahan pascapersalinan sebesar 2,7 persen pada

para wanita ini meningkat 4 kali lipat dibandingkan dengan populasi obstetri

umum. Babinszki dkk (1999) melaporkan insiden perdarahan pascapersalinan

sebesar 0,3 persen pada paritas rendah, tetapi 1,9 persen pada mereka dengan para

4 atau lebih.6

Risiko lain adalah apabila wanita yang bersangkutan pernah mengalami

perdarahan pascapersalinan. Akhirnya, kesalahan penatalaksanaan persalinan kala

tiga berupa upaya untuk mempercepat pelahiran plasenta selain daripada

mengeluarkannya secara manual. Pemijatan dan penekanan secara terus menerus

terhadap uterus yang sudah berkontaksi dapat mengganggu mekanisme fisiologis

pelepasan plasenta sehingga pemisahan plasenta tidak sempurna dan pengeluaran

darah meningkat.6

2.3.4 Gambaran klinis

Perdarahan pascapersalinan pada saat sebelum plasenta lahir disebut

perdarahan kala tiga. Berbeda dengan pendapat umum, apabila perdarahan dimulai

sebelum atau setelah pelahiran plsenta, atau pada keduanya mungkin tidak akan

terjadi perdarahan masif, tetapi terjadi perdarahan terus menerus yang tampaknya

sedang tetapi menetap sampai timbul hipovolemi serius. Perembesan yang terus

menerus ini terutama pada perdarahan setelah plasenta lahir dapat menyebabkan

kehilangan darah dalam jumlah besar.6


12

Efek perdarahan banyak bergantung pada volume darah sebelum hamil,

derajat hipervolemia terinduksi kehamilan, dan derajat anemia saat pelahiran.

Gambaran perdarahan pascapersalinan yang dapat mengecohkan adalah kegagalan

nadi dan tekanan darah untuk mengalami perubahan besar sampai terjadi

kehilangan darah sangat banyak. Wanita normotensif mungkin sebenarnya

mengalami hipertensi sebagai respons terhadap perdarahan, paling tidak pada

awalnya. Selain itu, wanita yang sudah mengalami hipertensi mungkin dianggap

normotensif walaupun sebenarnya mengalami hipovolemia berat. Yang tragis,

hipovolemia ini mungkin belum diketahui sampai tahap sangat lanjut.6

Wanita dengan preeklamsia berat, biasanya tidak mengalami hipervolemia

terinduksi kehamilannya. Karena itu, ia sering sangat peka atau bahkan tidak

toleran terhadap apa yang sebenarnya merupakan perdarahan normal. Karena itu,

apabila dicurigai terjadi perdarahan berlebihan pada wanita dengan hipertensi

kehamilan yang berat, harus dilakukan upaya upaya untuk segera

mengidentifikasi berbagai gambaran klinis dan laboratorium yang mengharuskan

pemerian larutan kristaloid dan darah dalam jumlah besar.6

Apabila fundus kurang terpantau setelah melahirkan, darah mungkin tidak

keluar dari vagina, tetapi tertimbun di dalam uterus. Dalam hal ini rongga uterus

dapat teregang oleh 1000 ml tau lebih darah sementara petugas kesehatan yang

membantu lalai mengidentifikasi uterus yang besar atau, setelah

mengidentifikasinya, secara salah memijat gumpalan lemak abdomen. Karena itu,

perawatan uterus pascapersalinan jangan diserahkan kepada petugas yang kurang

berpengalaman.6
13

2.3.5 Diagnosis

Diagnosis ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir ternyata

perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi didapatkan fundus

uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang lembek. Perlu

diperhatikan bahwa saat atonia uteri didiagnosis, maka pada saat itu juga masih ada

darah sebanyak 500 1000 cc yang sudah keluar dari pembuluh darah, tetapi masih

terperangkap dalam uterus dan harus diperhitungkan dalam kalkulasi pemberian

darah pengganti.1

Apabila terjadi penimbunan darah intrauterin dan intravagina mungkin

tidak teridentifikasi, atau pada beberapa kasus ruptur uteri dengan perdarahan

intraperitoneum, diagnosis perdarahan pascapersalinan seharusnya mudah.

Pembedaan sementara antara perdarahan akibat atonia uteri dan akibat laserasi

ditegakkan berdasarakan kondisi uterus. Apabila perdarahan berlanjut walaupun

uterus berkontraksi kuat, penyebab perdarahan kemungkinan besar adalah laserasi.

Darah merah segar juga mengisyarakan adanya laserasi. Untuk memastikan peran

laserasi sebagai penyebab perdarahan, harus dilakukan inspeksi yang cermat

terhadap vagina, serviks, dan uterus.6

Kadang kadang perdarahan disebabkan baik oleh atonia maupun trauma,

terutama setelah pelahiran operatif besar. Secara umum, harus dilakukan inspeksi

serviks dan vagina setelah setiap pelahiran untuk mengidentifikasi perdarahan

akibat laserasi dan anestesi harus adekuat untuk mencegah rasa tidak nyaman saat

pemeriksaan. Pemeriksaan terhadap rongga uterus, serviks, dan keseluruhan vagina

harus dilakukan setelah ekstraksi bokong, versi podalik internal, dan pelahiran
14

pervaginam pada wanita yang pernah menjalani seksio sesarea. Hal yang sama

berlaku pada perdarahan berlebihan selama kala dua persalinan.6

Gejala dan Tanda Penyulit Diagnosis Kerja


Darah segar setelah bayi lahir Pucat Laserasi jalan lahir
Kontraksi uterus baik Lemah
Plasenta lengkap menggigil
Kontraksi uterus (-)/lembek Syok Atonia
Perdarahan segera setelah Bekuan darah di serviks
anak lahir
Plasenta belum lahir 30 menit
Tali pusat putus oleh karena Retensio plasenta
Perdarahan segera traksi >>
Perdarahan lanjut
Subinvolusi uterus Anemia Metritis
Nyeri tekan perut bawah dan Demam
uterus
Perdarahan
Lokhia mukopurulen dan berbau

Uterus tdk teraba Syok neurogenik Inversio


Lumen vagina teraba massa Pucat dan kembung
Tampak tali pusat
Plasenta/sebagian kulit Uterus kontraksi tinggi Sisa plasenta
Ketuban tidak lengkap Fundus tetap
Perdarahan segera

2.3.6 Penatalaksanaan

Banyaknya darah yang hilang akan mempengaruhi keadaan umum pasien.

Pasien bisa masih dalam keadaan sadar, sedikit anemis, atau sampai syok berat

hipovolemik. Tindakan pertama yang harus dilakukan bergantung pada keadaan

kliniknya. 1
15

Alur Penatalaksanaan Kasus Atonia uteri

1. Penaganan syok

Syok adalah suatu keadaan disebabkan oleh gangguan sirkulasi darah ke

dalam jaringan sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi

jaringan dan tidak mampu mengeluarkan hasil metabolisme. Gejala klinik syok

pada umumnya yaitu tekanan drah menurun, nadi cepat dan lemah, pucat,

keringat dingin, sianosis jari, sesak napas, penglihatan kabur, gelisah, dan
16

oligouria/anuria. Gejala syok yang ringan dapat diketahui dengan tilt test

yaitu bila psien didudukkan terjadi hipotensi dan/atau takikardia, sedangkan

bila berbaring tekanan darah dan frekuensi nadi masih normal.1

Jika terjadi syok, tindakan yang harus segera dilakukan anatara lain sebagai

berikut:

a. Cari dan hentikan segera penyebab perdarahan.

b. Bersihakan saluran napas dan beri O2 atau pasang selang endotrakheal.

c. Naikkan kaki ke atas untuk meningkatkan aliran darah ke sirkulasi sentral.

d. Pasang 2 set infus atau lebih untuk transfusi, cairan infus dan obat obat iv

bagi pasien yang syok.

e. Kembalikan volume darah dengan dengan:

o Whole blood dengan cross matched dari grup yang sama, kalau tidak

tersedia berikan darah O sebagai life saving.

o Larutan kristaloid: seperti RL, garam fisiologis, atau glukosa 5%.

Larutan larutan ini mempunyai waktu paruh (half life) yang pendek

dan pemberian berlebihan dapat menyebabkan edema paru.

o Larutan koloid: dekstran 40 atau 70, fraksi protein plasma atau plasma

segar.

f. Terapi obat

o Analgesik: jika ada rasa sakit, kerusakan jaringan atau kegelisahan

morfin 10-15 iv.

o Kortikosteroid: dapat menurunkan resistesi perifer, meningkatkan kerja

jantung, dan meningkatkan perfusi jantung deksametason 20 mg iv

pelan.
17

o Sodium bikarbonat: jika terdapat asidosis 100 mEq

o Vasopresor: untuk menaikkan tekanan darah dan mempertahankan

perfusi renal dopamine 2,5mg/kg/menit sebagai pilihan utama, beta

adrenergik isoprenalin 1mg dalam 500 ml glukosa 5% iv.

g. Monitoring

o CVP

o Nadi

o Tekanan darah

o Produksi urin

o Perbaikan klinik: pucat, sianosis, sesak, keringat dingin, dan kesadaran.1

2. Uterotonika

Untuk mencegah terjadinya perdarahan pascapersalinan khususnya dalam

kasus atonia uteri, penatalaksanaan setelah plasenta lahir harus tepat. Fundus

harus selalu dipalpasi setelah plasenta lahir untuk memastikan bahwa uterus

berkontaksi dengan baik. Apabila uterus tidak keras, masase fundus

diindikasikan. Biasanya oksitosin 20 U dalam Ringer laktat atau saline normal

yang diberikan secara intravena dengan kecepatan sekitar 10 ml/menit (200 mU

oksitosin per menit) ditambah masase uterus akan menimbulkan kontraksi yang

efektif. Oksitosin jangan pernah diberikan sebagai dosis bolus tanpa diencerkan

karena dapat terjadi hipotensi serius atau aritmia jantung.6

Apabila oksitosin yang diberikan melalui infus cepat tidak efektif, beberapa

dokter memberikan metilergonovin, 0,2 mg intramuskular atau intravena. Obat

ini dapat merangsang uterus berkontraksi cukup kuat menghentikan perdarahan.

Semua klaim efek terapi turunan ergot yang lebih superior daripada oksitosin
18

masih bersifat spekulatif dan apabila diberikan secara intravena, obat ini dapat

menyebabkan hipertensi yang berbahaya, terutama pada wanita dengan

preeklamsia.6

Turunan 15-metil dari prostaglandin F2 (karboprost trometamin) disetujui

oleh Food and Drug Administration pada pertengahan tahun 1980-an sebagai

obat untuk atonia uteri. Dosis awal yang direkomendasikan adalah 250 g (0,25

mg) yang diberikan secara intramuskular, dan dosis ini bila perlu diulang

dengan interval 15 sampai 90 menit sampai maksimal delapan dosis. Oleen dan

Mariano (1990) mempelajari pemakaian karboprost untuk perdarahan

pascapersalinan di 12 unit obstetris. Penghentian perdarahan dianggap berhasil

pada 208 diantara 237 (88 persen) wanita yang diterapi. Sebanyak 17 wanita

memerlukan oksitosik lain untuk mengendalikan perdarahan. Sisa 12 wanita

yang gagal diterapi memerlukan intervensi bedah.6

Korboprost menimbulkan efek samping pada sekitar 20 persen wanita

(Oleen dan Mariano, 1990). Efek efek samping tersebut, berdasarkan urutan

frekuensinya dari yang tertinggi, antara lain diare, hipertensi, muntah, demam,

flushing, dan takikardi. Kami pernah menjumpai hipertensi serius pada

beberapa wanita yang mendapat obat ini. Selain itu, Harkins dkk (1988)

mengamati bahwa pemberian karboprost inramuskular akan diikuti oleh

desaturasi oksigen arteri yang rata rata besarnya 10 persen dan timbul dalam

15 menit. Mereka menyimpulkan bahwa hal ini disebabkan oleh kontriksi jalan

napas dan pembuluh paru.6

Suposituria prostaglandin E2 20 mg yang diberikan per rektal pernah

digunakan untuk atonia uteri, tetapi belum diteliti melalui uji coba klinis.
19

OBrien dkk (1998) melaporkan bahwa misoprostol, yang diberikan dalam

dosis 1000 g per rektal, efektif pada 14 wanita yang tidak berespons terhadap

oksitosik biasa.6

3. Kompresi bimanual

Teknik ini berupa pemijatan aspek posterior uterus dengan tangan yang

terletak di abdomen dan pemijatan dengan kepalan tangan yang lain melalui

vagina aspek anterior uterus. Prosedur ini akan mengendalikan sebagian besar

perdarahan.7,8

Kompresi bimanual internal

Lakukan dengan mendekatkan telapak tangan luar dan kepalan tangan

bawah sekuat mungkin. Kompresi ini memberikan tekanan langsung pada

pembuluh darah dinding uterus dan merangsang miometrium berkontraksi, jika

kompresi bimanual tidak berhasil setelah 5 menit, diperlukan tindakan lain.7,8


20

Kompresi bimanual Eksternal

Kompresi aorta abdominal

2.4 Kondom kateter

Atonia uteri adalah penyebab utama yang bertanggung jawab atas 70-90%

kasus perdarahan pascapersalinan. Telah lama dikenal, manajemen atonia uteri

dikelola dengan cara kompresi bimanual, dan masase uterus bersamaan dngan

pemberian oksitosin atau ergometrin. Prostaglandin seperti karboprost atau

misoprostol juga membantu dalam mengendalikan atonia uteri. Terdapat penelitian

mengenai upaya sederhana dan murah yang telah 100% efektif dalam

menghentikan perdarahan pascapersalinan khususnya karena atonia uteri dan

mencegah komplikasi lebih lanjut.3,4


21

Hasil sukses telah ditunjukkan oleh banyak peneliti dengan menggunakan

tabung Sengtaken-Blakemore dan Rusch urologi kateter balon hidrostatik.

Penggunaan kondom sebagai tamponade meningkat pesat untuk mengontrol

perdarahan pascapersalinan setelah kegagalan medis. Kondom yang digunakan ini

tergolong murah dan banyak tersedia di seluruh dunia, tetapi efektif untuk

mengendalikan serta mengevaluasi morbiditas akibat perdarahan pascapersalinan.4

Tamponade balon alternatif yang sederhana ini berguna untuk

menghentikan perdarahan dengan melalui mekanisme yang secara bermakna

memberikan tekanan yang sama dengan sinus uterus yang terbuka, sehingga dapat

menekan sinus tersebut dan akhirnya perdarahan dapat berhenti9,10. Dalam sejarah

terdahulu, sebagai tamponade digunakan kasa pita yang dimasukkan dalam kavum

uteri. Pita panjang 20 m yang erat dimasukkan dalam uterus mulai dari fundus,

perdarahan akan bisa tetap terjadi karena kemungkinan ada perdarahan lanjutan

yang tersembunyi dan infeksi pada kavum uteri.4

Bentuk lain dari tamponade seperti tabung Sengstaken-Blakemore dan

kateter Foley telah berhasil dan efektif digunakan tetapi mahal, rumit dan tidak

sederhana. Sebaliknya, kateter kondom dari segi ekonomis lebih murah, sederhana

dan pasti efektif. Selain itu, konturnya sesuai dengan kavum uteri, tidak
22

memerlukan kemasan yang rumit, dan mudah untuk melepas, tidak memerlukan

keahlian bedah, dan tidak menimbulkan infeksi intrauterin secara langsung.

Penggunaan kondom pertama kali dijelaskan oleh penulis India dan Bangladesh

yang menunjukkan potensi life saving4

Table: Response Rate to Use of Condom Catheter in Management of PPH


Response rate 96.2%
Failure rate 3.8%
Jkscience, 2010

Dengan tindakan pencegahan aseptik, kateter karet steril dilengkapi dengan

kondom diperkenalkan ke dalam uterus. Kondom tersebut menggembung dengan

250 500 mL salin normal atau sesuai kebutuhan.4 Perdarahan vagina diamati dan

inflasi atau penggembungan lebih lanjut dihentikan bila perdarahan berhenti. Untuk

menjaga balon tetap di dalam kavum, rongga vagina dipenuhi dengan kasa yang

dibentuk roll kemudian pembalut. Jika perdarahan berlanjut, paket vagina ini

biasanya akan basah dengan darah, dan jika perdarahan melimpah, akan menetes

melalui introitus. Kontraktilitas uterus dipertahankan oleh oksitosin selama

minimal 6 jam setelah prosedur dilakukan. Seperti dijelaskan, kondom kateter

digunakan dalam kasus dimana oksitosin dan obat lainnya tidak efektif untuk

pengelolaan perdarahan pascapersalinan, namun untuk mempertahankan tonus atau

kontraktilitas uterus, oksitosin diberikan bersamaan dengan kondom kateter.4,9


23

Antibiotik profilakasis diberikan juga karena adanya benda asing di dalam

uterus. Regimen antibiotik yang digunakan adalah amoksilin (500 mg setiap 6

jam), metronidazol (500 mg setiap 8 jam), gentamisin (80 mg setiap 8 jam)

diberikan secara intravena selama 7 hari.9 Kondom kateter dipertahankan untuk 24

72 jam tergantung pada keparahan kehilangan darah awal dan akan mengempis

bila perdarahan telah berhenti.10 Langkah langkah pemasangan kondom kateter

sebagai berikut:

a. Tindakan pencegahan aseptik di bawah kateter steril dimasukkan dalam

kondom oleh benang.

b. Kandung kemih dikosongkan dengan pemasangan kateter Foley.

c. Setelah menempatkan pasien dalam posisi lithotomi, kondom dimasukkan

dalam kavum uteri.

d. Akhir bagian kateter tetap dalam kondom.

e. Ujung luar kateter dihubungkan dengan 25-500 mL salin normal dan kondom

akan menggembung ketika salin normal berjalan.


24

f. Perdarahan diamati, dan ketika itu berkurang jauh, inflasi lebih lanjut

dihentikan dan ujung luar kateter dilipat dan diikat dengan benang.

g. Kontraksi uterus dipertahankan dengan tetesan oksitosin selama min.6 jam

setelah prosedur.

h. Kondom uterus tersebut disimpan selama 24-48 jam dan kemudian mengempis

secara bertahap (10-15 menit) dan dilepas.

i. Pemberian antibiotik sebagai profilaksis.

Figure 1.
Inflated condom in a kidney tray

Figure 2.
Tying the condom to the catheter

Figure 3.
Introducing the catheter in the uterus.
25

Figure 4.
After introduction of the catheter, a tight vaginal pack is applied and then saline is
administered into the catheter.
26

BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Perdarahan pascapersalinan (PPP) adalah perdarahan yang masif yang

berasal dari tempat implantasi plasenta, robekan pada jalan lahir dan jaringan

sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu di samping

perdarahan karena hamil ektopik dan abortus.

Berdasarkan saat terjadinya perdarahan pascapersalinan dapat dibagi

menjadi perdarahan pascapersalinan primer yang terjadi dalam 24 jam pertama dan

biasanya disebabkan oleh atonia uteri, berbagai robekan jalan lahir, dan sisa

sebagian plasenta. Perdarahan pascapersalinan sekunder yang terjadi setelah 24 jam

persalinan, biasanya oleh karena sisa plasenta.

Dari seluruh persalinan, angka kejadian perdarahan pascapersalinan

berkisar antara 5% sampai 15%. Dari angka tersebut, diperoleh etiologi antara lain:

atonia uteri (50-60%), sisa plasenta (23-24%), retensio plasenta (16-17%), laserasi

jalan lahir (4-5%), kelainan darah (0,5-0,8%). Dilihat dari angka tersebut sekitar

60% perdarahan pasca persalinan disebabkan oleh atonia uteri.

Atonia uteri adalah keadaan lemahnya tonus atau kontraksi rahim yang

menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan terbuka dari tempat

implantasi plasenta setelah bayi dan plasenta lahir.

Gejala dan Tanda Penyulit Diagnosis Kerja


Darah segar setelah bayi lahir Pucat Laserasi jalan lahir
Kontraksi uterus baik Lemah
Plasenta lengkap menggigil
Kontraksi uterus (-)/lembek Syok Atonia
Perdarahan segera setelah Bekuan darah di serviks
anak lahir
27

Plasenta belum lahir 30 menit


Tali pusat putus oleh karena Retensio plasenta
Perdarahan segera traksi >>
Perdarahan lanjut
Subinvolusi uterus Anemia Metritis
Nyeri tekan perut bawah dan Demam
uterus
Perdarahan
Lokhia mukopurulen dan berbau
Uterus tdk teraba Syok neurogenik Inversio
Lumen vagina teraba massa Pucat dan kembung
Tampak tali pusat
Plasenta/sebagian kulit Uterus kontraksi tinggi Sisa plasenta
Ketuban tidak lengkap Fundus tetap
Perdarahan segera

Penanganan atonia uteri telah lama dikenal dengan kompresi bimanual dan

masase uterus bersamaan dengan penggunaan obat oksitosin atau ergometrin.

Ketika manajemen medis gagal untuk mengembalikan tonus uterus (kontraksi

uterus), dapat diterapkan dengan menggunakan kondom yang digelembungkan dan

terikat pada kateter sederhana. Kondom digelembungkan dengan menghubungkan

kateter pada infus set. Hal ini yang menyebabkan kondom kateter sebagai tampon

uterus dan dapat menghentikan perdarahan.3

Kondom kateter hidrostatik dapat mengontrol perdarahan pascapersalinan

dengan cepat dan efektif dengan membuat fungsi balon yang cukup akan cairan.

Balon ini mempunyai kontur yang mirip dengan uterus dan memberikan tekanan

yang sama dengan sinus yang terbuka dalam uterus sehingga perdarahan berhenti.3

Penerapan kondom kateter ini mudah, murah, dan aman. Di negara negara

berkembang dimana perdarahan pascapersalinan tetap merupakan penyebab uama

kematian ibu, setiap penyedia layanan kesehatan dapat menggunakan prosedur ini

untuk mengendalikan perdarahan pascapersalinan untuk menurunkan angka

kecacatan dan kematian pada ibu.

Anda mungkin juga menyukai