PENDAHULUAN
BAB II
ISI
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthtos,
"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya
yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Anastesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan
meliputi pemberian anastesi maupun analgetik, pengawasan keselamatan pasien di
operasi maupun tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitasi), perawatan intensif pasien
gawat, pemberian terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.
Anestesi dibagi menjadi dua yaitu anestesi umum dan anestesi lokal. Anestesi
umum merupakan tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen trias anastesi ideal terdiri dari
hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Sedangkan, anestesi lokal merupakan tindakan
menghilangkan nyeri/sakit secara lokal tanpa disertai hilangmya kesadaran. Obat
anestesi merupakan obat yang digunakan untuk menghilangkan rasa sakit dalam
bermacam macam tindakan operasi (Sari 2013).
2.2 Definisi Anestesi Umum
Anestesi umum atau pembiusan artinya hilang rasa sakit di sertai hilang
kesadaran. Ada juga mengatakan anestesi umum adalah keadaan tidak terdapatnya
sensasi yang berhubungan dengan hilangnya kesdaran yang reversibel (Neal 2006).
Anestesi Umum adalah obat yang dapat menimbulkan anestesi yaitu suatu
keadaan depresi umum dari berbagai pusat di sistem saraf pusat yang bersifat reversibel,
dimana seluruh perasaan dan kesadaran ditiadakan sehingga lebih mirip dengan keadaan
pinsan. Anestesi digunakan pada pembedahan dengan maksud mencapai keadaan
pingsan, merintangi rangsangan nyeri (analgesia), memblokir reaksi refleks terhadap
manipulasi pembedahan serta menimbulkan pelemasan otot (relaksasi). Anestesi umum
yang kini tersedia tidak dapat memenuhi tujuan ini secara keseluruhan, maka pada
anestesi untuk pembedahan umumnya digunakan kombinasi hipnotika, analgetika, dan
relaksasi otot (Sari 2013).
2.3.1 Stadium 1
Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik
sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti
perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan
ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar dapat dilakukan pada stadium
ini.
2.3.2 Stadium 2
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran
dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur.
2.3.3 Stadium 3
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan tcraturnya pernapasan sampai
pernapasan spontan hilang. Stadium I I I dibagi menjadi 4 plana yaitu:
Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang ,
terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil midriasis,
refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah
tidak ada, dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna. (tonus
otot mulaimenurun).
Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume
tidak menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi
di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot
sedang, dan refleks laring hilang sehingga dikerjakan intubasi.
Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai
paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring
dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempuma (tonus
otot semakin menurun).
Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot
interkostalparalisis total, pupil sangat midriasis, refleks
cahaya hilang, refleks sfmgter ani dan kelenjar air mata tidak
ada, relaksasi otot lurik sempuma (tonus otot sangat menurun).
2.3.4 Stadium 4
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya
pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. pada stadium ini tekanan darah
tak dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian.
Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan
buatan.
c) Ventilasi paru-paru
Kecepatan peningkatan tegangan gas anestesi didalam darah arteri
bergantung pada kecepatan dan dalamnya ventilasi per menit. Besarnya efek ini
bervariasi sesuai dengan pembagian koefisien darah; gas.
d) Aliran darah paru
Perubahan kecepatan aliran darah dari dan menuju paru akan
mempengaruhi transfer obat anestetik. Peningkatan aliran darah paru akan
memperlambat kecepatan peningkatan tekanan darah arteri, terutama oleh obat
anestetik dengan kelarutan darah yang sedang sampai tinggi.
2) Siklopropan
Siklopropan merupakan anestetik gas yang kuat, berbau spesifik, tidak
berwarna, lebih berat daripada udara dan disimpan dalam bentuk cairan
bertekanan tinggi. Gas ini mudah terbakar dan meledak karena itu hanya
digunakan dengan close method. Siklopropan relative tidak larut dalam darah
sehingga menginduksi dengan cepat (2-3 menit). Stadium III tingkat 1 dapat
dicapai dengan kadar 7-10% volume, tingkat 2 dicapai dengan kadar 10-20%
volume, tingkat 3 dapat dicapai dengan kadar 20-35%, tingkat 4 dapat dicapai
dengan kadar 35-50% volume. Sedangkan pemberian dengan 1% volume dapat
menimbulkan analgesia tanpa hilangnya kesadaran. Untuk mencegah delirium
yang kadang-kadang timbul, diberikan pentotal IV sebelum inhalasi siklopropan.
Siklopropan menyebabkan relaksasi otot cukup baik dan sedikit sekali mengiritasi
saluran nafas. Namun depresi pernafasan ringan dapat terjadi
pada anesthesia dengan siklopropan. Siklopropan tidak menghambat kontraktilitas
otot jantung, curah jantung dan tekanan arteri tetap atau sedikit meningkat
sehingga siklopropan merupakan anestetik terpilih pada penderita syok.
Siklopropan dapat menimbulkan aritmia jantung yaitu fibrilasi atrium, bradikardi
sinus, ekstrasistole atrium, ritme atrioventrikular, ekstrasistole ventrikel dan ritme
bigemini. Aliran darah kulit ditinggikan oleh siklopropan sehingga mudah terjadi
perdarahan waktu operasi. Siklopropan tidak menimbulkan hambatan terhadap
sambungan saraf otot. Setelah waktu pemulihan sering timbul mual, muntah dan
delirium. Absorpsi dan ekskresi siklopropan melalui paru. Hanya 0,5%
dimetabolisme dalam badan dan diekskresi dalam bentuk CO2 dan air.
Siklopapan dapat digunakan pada setiap macam operasi. Untuk mendapatkan efek
analgesic digunakan 1,2% siklopropan dengan oksigen. Untuk mencapi induksi
siklopropan digunakan 25-50% dengan oksigen, sedangkan untuk dosis
penunjang digunakan 10-20% oksigen.
2.7.2 Obat Anestesi yang Menguap
Anestetik yang menguap (volatile anesthetic) mempunyai 3 sifat dasar
yang sama yaitu berbentuk cairan pada suhu kamar, mempunyai sfat anestetik
kuat pada kadar rendah dan relatif mudah larut dalam lemak, darah dan jaringan.
Kelarutan yang baik dalam darah dan jaringan dapat memperlambat terjadinya
keseimbangan dan terlawatinya induksi, untuk mengatasi hal ini diberikan kadar
lebih tinggi dari kadar yang dibutuhkan. Bila stadium yang diinginkan sudah
tercapai kadar disesuaikan untuk mempertahankan stadium tersebut. Untuk
mempercepat induksi dapat diberika zat anestetik lain yang kerjanya cepat
kemudian baru diberikan anestetik yang menguap.
Umumnya anestetik yang menguap dibagi menjadi dua golongan yaitu
golongan eter misalnya eter (dietileter) dan golongan hidrokarbon halogen
misalnya halotan, metoksifluran, etil klorida, dan trikloretilen.
Contoh obat anestesik yang menguap yaitu :
1) Eter
Eter merupakan cairan tidak berwarna, mudah menguap, berbau mudah
terbakar, mengiritasi saluran nafas dan mudah meledak. Sifat analgesik kuat
sekali, dengan kadar dalam darah arteri 10-15 mg % sudah terjadi analgesik tetapi
penderita masih sadar. Eter pada kadar tinggi dan sedang menimbulkan relaksasi
otot karena efek sentral dan hambatan neuromuscular yang berbeda dengan
hambatan oleh kurare, sebab tidak dapat dilawan oleh neostigmin. Zat ini
meningkatkan hambatan neuromuscular oleh antibiotik seperti neomisin,
streptomisin, polimiksin dan kanamisin. Eter dapat merangsang sekresi kelenjar
bronkus. Eter diabsorpsi dan disekresi melalui paru dan sebagian kecil diekskresi
juga melalui urin, air susu, keringat dan difusi melalui kulit utuh.
2) Halotan
Merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah terbakar dan
tidak mudah meledak meskipun dicampur dengan oksigen. Halotan bereaksi
dengan perak, tembaga, baja, magnesium, aluminium, brom, karet dan plastik.
Karet larut dalam halotan, sedangkan nikel, titanium dan polietilen tidak sehingga
pemberian obat ini harus dengan alat khusus yang disebut fluotec. Efek analgesic
halotan lemah tetapi relaksasi otot yang ditimbulkannya baik. Dengan kadar yang
aman waktu 10 menit untuk induksi sehingga mempercepat digunakan kadar
tinggi (3-4 volume %). Kadar minimal untuk anestesi adalah 0,76% volume.
3) Metoksifluran
Merupakan cairan jernih, tidak berwarna, bau manis seperti buah, tidak mudah
meledak, tidak mudah terbakar di udara atau dalam oksigen. Pada kadar anestetik,
metoksifluran mudah larut dalam darah. Anestetik yang kuat dengan kadar
minimal 0,16 volume % sudah dapat menyebabkan anestesi dalam tanpa hipoksia.
Metoksifluran tidak menyebabkan iritasi dan stimulasi kelenjar bronkus, tidak
menyebabkan spasme laring dan bronkus sehingga dapat digunakan pada
penderita asma. Metoksifluran menyebabkan sensitisasi jantung terhadap
ketokolamin tetapi tidak sekuat kloroform, siklopropan, halotan atau trikloretilan.
Metoksifluran bersifat hepatoksik sehingga sebaiknya tidak diberikan pada
penderita kelainan hati.
4) Etilklorida
Merupakan cairan tak berwarna, sangat mudah menguap, mudah terbakar dan
mempunyai titik didih 12-13C. Bila disemprotkan pada kulit akan segera
menguap dan menimbulkan pembekuan sehingga rasa sakit hilang. Anesthesia
dengan etilklorida cepat terjadi tetapi cepat pula hilangnya. Induksi dicapai dalam
0,5-2 menit dengan waktu pemulihan 2-3 menit sesudah pemberian anesthesia
dihentikan. Karena itu etilkloretilen sudah tidak dianjurkan lagi untuk anestetik
umum, tetapi hanya digunakan untuk induksi dengan memberikan 20-30 tetes
pada masker selama 30 detik. Etilkloroda digunakan juga sebagai anestetik lokal
dengan cara menyemprotkannya pada kulit sampai beku. Kerugiannya, kulit yang
beku sukar dipotong dan mudah kena infeksi karena penurunan resistensi sel dan
melambatnya penyembuhan.
5) Trikloretilen
Merupakan cairan jernih tidak berwarna, mudah menguap, berbau khas seperti
kloroform, tidak mudah terbakardan tidak mudah meledak. Induksi dan waktu
pemulihan terjadi lambat karena trikloretilen sangat larut dalam darah. Efek
analgesic trikloretilen cukup kuat tetapi relaksasi otot rangka yang
ditimbulkannya kurang baik , maka sering digunakan pada operasi ringan dalam
kombinasi dengan N2O. untuk anestesi umum, kadar trikloretilen tidak boleh
lebih dari 1% dalam campuran 2:1 dengan N2O dan oksigen. Trikloretilen
menimbulkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin dan sensitisasi pernafasan
pada stretch receptor. Sifat lain trikloretilen tidak mengiritasi saluran nafas.
DAFTAR PUSTAKA
Latief, A. Said, dkk. Anestesiology. Jakarta: FKUI. 2009
Ganiswarna, Sulistia. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FKUI. 1995
Tjay, Tan Hoan. Obat-Obat Penting. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. 2002
Arif Mansjoer. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius. 2000
Gainswarna, G Sulistia. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : FKUI
Smeltzer, Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol I. Jakarta : EGC. 2001
Staff Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2004. Anestesiologi. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Anestesi Spinal. http://anestesi-fkunram.blogspot.com/2009/02/anestesi-spinal.html.Diakses
tanggal 22 Agustus 2009 pukul 09:00 WIB. Visitor: Komang
Anestesiology. http://www.wikipedia.com. Diakses tanggal 22 Agustus 2009 pukul 09:00 WIB. Visitor:
Komang
http://www.janesti.com/uploads/default/files/3.1-full_.pdf