Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

BAB II
ISI

2.1 Definisi Anestesi

Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthtos,
"persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya
yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.
Anastesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan
meliputi pemberian anastesi maupun analgetik, pengawasan keselamatan pasien di
operasi maupun tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitasi), perawatan intensif pasien
gawat, pemberian terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.
Anestesi dibagi menjadi dua yaitu anestesi umum dan anestesi lokal. Anestesi
umum merupakan tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan dapat pulih kembali (reversible). Komponen trias anastesi ideal terdiri dari
hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Sedangkan, anestesi lokal merupakan tindakan
menghilangkan nyeri/sakit secara lokal tanpa disertai hilangmya kesadaran. Obat
anestesi merupakan obat yang digunakan untuk menghilangkan rasa sakit dalam
bermacam macam tindakan operasi (Sari 2013).
2.2 Definisi Anestesi Umum

Anestesi umum atau pembiusan artinya hilang rasa sakit di sertai hilang
kesadaran. Ada juga mengatakan anestesi umum adalah keadaan tidak terdapatnya
sensasi yang berhubungan dengan hilangnya kesdaran yang reversibel (Neal 2006).
Anestesi Umum adalah obat yang dapat menimbulkan anestesi yaitu suatu
keadaan depresi umum dari berbagai pusat di sistem saraf pusat yang bersifat reversibel,
dimana seluruh perasaan dan kesadaran ditiadakan sehingga lebih mirip dengan keadaan
pinsan. Anestesi digunakan pada pembedahan dengan maksud mencapai keadaan
pingsan, merintangi rangsangan nyeri (analgesia), memblokir reaksi refleks terhadap
manipulasi pembedahan serta menimbulkan pelemasan otot (relaksasi). Anestesi umum
yang kini tersedia tidak dapat memenuhi tujuan ini secara keseluruhan, maka pada
anestesi untuk pembedahan umumnya digunakan kombinasi hipnotika, analgetika, dan
relaksasi otot (Sari 2013).

2.3 Stadium Anestesi Umum

Menurut Guedel (1920), anestesi umum dibagi menjadi 4 stadium, yaitu :

2.3.1 Stadium 1
Stadium I (analgesi) dimulai dari saat pemberian zat anestetik
sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti
perintah dan terdapat analgesi (hilangnya rasa sakit). Tindakan pembedahan
ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar dapat dilakukan pada stadium
ini.

2.3.2 Stadium 2
Stadium II (delirium/eksitasi, hiperrefleksi) dimulai dari hilangnya kesadaran
dan refleks bulu mata sampai pernapasan kembali teratur.
2.3.3 Stadium 3
Stadium III (pembedahan) dimulai dengan tcraturnya pernapasan sampai
pernapasan spontan hilang. Stadium I I I dibagi menjadi 4 plana yaitu:
Plana 1 : Pernapasan teratur, spontan, dada dan perut seimbang ,
terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut kehendak, pupil midriasis,
refleks cahaya ada, lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah
tidak ada, dan belum tercapai relaksasi otot lurik yang sempurna. (tonus
otot mulaimenurun).
Plana 2 : Pernapasan teratur, spontan, perut-dada, volume
tidak menurun, frekuensi meningkat, bola mata tidak bergerak, terfiksasi
di tengah, pupil midriasis, refleks cahaya mulai menurun, relaksasi otot
sedang, dan refleks laring hilang sehingga dikerjakan intubasi.
Plana 3 : Pernapasan teratur oleh perut karena otot interkostal mulai
paralisis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, refleks laring
dan peritoneum tidak ada, relaksasi otot lurik hampir sempuma (tonus
otot semakin menurun).
Plana 4 : Pernapasan tidak teratur oleh perut karena otot
interkostalparalisis total, pupil sangat midriasis, refleks
cahaya hilang, refleks sfmgter ani dan kelenjar air mata tidak
ada, relaksasi otot lurik sempuma (tonus otot sangat menurun).
2.3.4 Stadium 4
Stadium IV (paralisis medula oblongata) dimulai dengan melemahnya
pernapasan perut dibanding stadium III plana 4. pada stadium ini tekanan darah
tak dapat diukur, denyut jantung berhenti, dan akhirnya terjadi kematian.
Kelumpuhan pernapasan pada stadium ini tidak dapat diatasi dengan pernapasan
buatan.

2.4 Klasifikasi Anestesi Umum


2.4.1 Anestesi Inhalasi
Anestesi inhalasi bekerja secara spontan menekan dan membangkitkan aktivitas
neuron berbagai area di dalam otak. Sebagai anestesi inhalasi digunakan gas dan cairan
terbang yang masing-masing sangat berbeda dalam kecepatan induksi, aktivitas, sifat
melemaskan otot maupun menghilangkan rasa sakit. Untuk mendapatkan reaksi yang
secepat-cepatnya, obat ini pada permulaan harus diberikan dalam dosis tinggi, yang
kemudian diturunkan sampai hanya sekadar memelihara keseimbangan antara pemberian
dan pengeluaran.
Keuntungan anestesi inhalasi dibandingkan dengan anestesi intravena adalah
kemungkinan untuk dapat lebih cepat mengubah kedalaman anestesi dengan mengurangi
konsentrasi dari gas atau uap yang diinhalasi. Keuntungan anastetika inhalasi
dibandingkan dengan anastesi intravena adalah kemungkinan untuk dapat lebih cepat
mengubah kedalaman anastesi dengan mengurangi konsentrasi dari gas/uap yang
diinhalasi. Kebanyakan anastesi umum tidak di metabolisasikan oleh tubuh, karena tidak
bereaksi secara kimiawi dengan zat-zat faali. Mekanisme kerjanya berdasarkan perkiraan
bahwa anastetika umum di bawah pengaruh protein SSP dapat membentuk hidrat dengan
air yang bersifat stabil
2.4.2 Anestesi Intravena
Obat-obat intravena seperti thiopental, etomidate, dan propofol mempunyai mula
kerja anestetis yang lebih cepat dibandingkan terhadap senyawa gas inhalasi yang
terbaru, misalnya desflurane dan sevoflurane. Senyawa intravena ini umumnya
digunakan untuk induksi anestesi. Kecepatan pemulihan pada sebagian besar senyawa
intravena juga sangat cepat.
Secara umum, mekanisme kerjanya berdasarkan perkiraan bahwa anastesi umum
dibawah pengaruh protein SSP dapat membentuk hidrat dengan air yang bersifat stabil.
Hidrat gas ini mungkin dapat merintangi transmisi rangsangan di sinaps dan dengan
demikian mengakibatkan anastesia.

2.5 Farmakokinetik Anastesi Umum


Dalamnya anestesi ditentukan oleh konsentrasi anestetik didalam susunan saraf
pusat. Kecepatan pada konsentrasi otak yang efektif (kecepatan induksi anestesi)
bergantung pada banyaknya farmakokinetika yang mempengaruhi ambilan dan
penyebaran anestetik.
Konsentrasi masing-masing dalam suatu campuran gas anestetik sebanding
dengan tekanan atau tegangan persialnya. Istilah tersebut sering dipergunakan secara
bergantian dalam membicarakan berbagai proses transfer anestetik gas dalam tubuh.
Tercapainya konsentrasi obat anestetik yang adekuat dalam otak untuk menimbulkan
anestesi memerlukan transfer obat anestetik dari udara alveolar kedalam darah dan otak.
Kecepatan pencapaian konsentrasi ini bergantung pada sifat kelarutan anestetik,
konsentrasinya dalam udara yang dihisap, laju ventilasi paru, aliran darah paru, dan
perbedaan gradian konsentrasi (tekanan parsial) obat anestesi antara darah arteri dan
campuran darah vena.

Kecepatan konsentrasi anestesi umum, yaitu:


a) Kelarutannya
Salah satu penting faktor penting yang mempengaruhi transfer anestetik
dari paru kedarah arteri adalah kelarytannya. Koefisien pembagian darah; gas
merupakan indeks kelarutan yang bermakna dan merupakan tanda-tanda afinitas
relative suatu obat anestetik terhadap darah dibandingkan dengan udara.

b) Konsentrasi anastetik didalam udara inspirasi


Konsentrasi anestetik inhalasi didalam campuran gas inspirasi mempunyai
efek langsung terhadap tegangan maksimun yang dapat tercapai didalam alveolus
maupun kecepatan peningkatan tegangan ini didalam darah arterinya.

c) Ventilasi paru-paru
Kecepatan peningkatan tegangan gas anestesi didalam darah arteri
bergantung pada kecepatan dan dalamnya ventilasi per menit. Besarnya efek ini
bervariasi sesuai dengan pembagian koefisien darah; gas.
d) Aliran darah paru
Perubahan kecepatan aliran darah dari dan menuju paru akan
mempengaruhi transfer obat anestetik. Peningkatan aliran darah paru akan
memperlambat kecepatan peningkatan tekanan darah arteri, terutama oleh obat
anestetik dengan kelarutan darah yang sedang sampai tinggi.

e) Gradien konsentrasi arteri-vena


Gradien konsentrasi obat anestetik antara darah arteri dan vena campuran
terutama bergantung pada kecepatan dan luas ambilan obat anestesi pada jaringan
itu, yang bergantung pada kecepatan dan luas ambilan jaringan.

2.6 Farmakodinamik Anastesi Umum


Kerja neurofisiologik yang penting pada obat anestesi umum adalah dengan
meningkatkan ambang rangsang sel. Dengan meningkatnya ambang rangsang, akan
terjadi penurunan aktivitas neuronal. Obat anestetik inhalasi seperti juga intravena
barbiturate dan benzodiazepine menekan aktivitas neuron otak sehingga akson dan
transmisisinaptik tidak bekerja. Kerja tersebut digunakan pada transmisi aksonal dan
sinaptik, tetapi proses sinaptik lebih sensitive dibandingkan efeknya. Mekanisme ionik
yang diperkirakan terlibat adalah bervariasi. Anestetik inhalasi gas telah dilaporkan
menyebabkan hiperpolarisasi saraf dengan aktivitas aliran K+, sehingga terjadi
penurunan aksi potensial awal, yaitu peningkatan ambang rangsang.

Penilitian elektrofisiologi sel dengan menggunakan analisa patch clamp,


menunjukkan bahwa pemakaian isofluran menurunkan aktivitas reseptor nikotinik untuk
mengaktifkan saluran kation yang semuanya ini dapat menurunkan kerja transmisi
sinaptik pada sinaps, kolinergik. Efek benzodiazepine dan barbiturate terhadap saluran
klorida yang diperantai reseptor GABA akan menyebabkan pembukaan dan
menyebabkan hiperpolarasi, tehadap penurunan sensitivitas. Kerja yang serupa untuk
memudahkan efek penghambatan GABA juga telah dilaporkan pemakaian propofol dan
anestetik inhalasi lain.
Mekanisme molecular dengan anestetik gas merubah aliran ion pada membran
neuronal belumlah jelas. Efek ini dapat menghasilkan hubungan interaksi langsung antara
molekul anestetik dan tempat hidrofobik pada saluran membran protein yang spesifik.
Mekanisme ini telah diperkenalkan pada penilitian interaksi gas dengan saluran
kolineroseptor nikotinik interkais yang tampaknya untuk menstabilkan saluran pada
keadaan tertutup. Interpretasi alternatif, yang dicoba untuk diambil dalam catatan
perbedaan struktur yang nyata diantara anestetik, memberikan interaksi yang kurang
spesifik pada obat ini dengan dengan membran matriks lipid, dengan perubahan sekunder
pada fungsi saluran.

2.7 Klasifikasi Obat Anestesi Umum


2.7.1 Obat Anestesik Gas (Inhalasi)
Pada umumnya anestetik gas berpotensi rendah, sehingga hanya digunakan untuk
induksi dan operasi ringan. Anestetik gas tidak mudah larut dalam darah sehingga
tekanan parsial dalam darah cepat meningkat. Batas keamanan antara efek anestesi dan
efek letal cukup lebar. Obat anestesi inhalasi ini dihirup bersama udara pernafasan ke
dalam paru-paru, masuk ke darah dan sampai di jaringan otak mengakibatkan narkose.

Contoh obat anestesik inhalasi yaitu :


1) Dinitrogen Monoksida (N2O atau gas tertawa)
Dinitrogen Monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau,
tidak berasa dan lebih berat daripada udara. N2O biasanya tersimpan dalam
bentuk cairan bertekanan tinggi dalam baja, tekanan penguapan pada suhu kamar
50 atmosfir. N2O mempunyai efek analgesik yang baik, dengan inhalasi 20%
N2O dalam oksigen efeknya seperti efek 15 mg morfin. Kadar optimum untuk
mendapatkan efek analgesik maksimum 35% . Gas ini sering digunakan pada
partus yaitu diberikan 100% N2O pada waktu kontraksi uterus sehingga rasa sakit
hilang tanpa mengurangi kekuatan kontraksi dan 100% O2 pada waktu relaksasi
untuk mencegah terjadinya hipoksia. Anestetik tunggal N2O digunakan secara
intermiten untuk mendapatkan analgesik pada saat proses persalinan dan
pencabutangigi.

2) Siklopropan
Siklopropan merupakan anestetik gas yang kuat, berbau spesifik, tidak
berwarna, lebih berat daripada udara dan disimpan dalam bentuk cairan
bertekanan tinggi. Gas ini mudah terbakar dan meledak karena itu hanya
digunakan dengan close method. Siklopropan relative tidak larut dalam darah
sehingga menginduksi dengan cepat (2-3 menit). Stadium III tingkat 1 dapat
dicapai dengan kadar 7-10% volume, tingkat 2 dicapai dengan kadar 10-20%
volume, tingkat 3 dapat dicapai dengan kadar 20-35%, tingkat 4 dapat dicapai
dengan kadar 35-50% volume. Sedangkan pemberian dengan 1% volume dapat
menimbulkan analgesia tanpa hilangnya kesadaran. Untuk mencegah delirium
yang kadang-kadang timbul, diberikan pentotal IV sebelum inhalasi siklopropan.
Siklopropan menyebabkan relaksasi otot cukup baik dan sedikit sekali mengiritasi
saluran nafas. Namun depresi pernafasan ringan dapat terjadi
pada anesthesia dengan siklopropan. Siklopropan tidak menghambat kontraktilitas
otot jantung, curah jantung dan tekanan arteri tetap atau sedikit meningkat
sehingga siklopropan merupakan anestetik terpilih pada penderita syok.
Siklopropan dapat menimbulkan aritmia jantung yaitu fibrilasi atrium, bradikardi
sinus, ekstrasistole atrium, ritme atrioventrikular, ekstrasistole ventrikel dan ritme
bigemini. Aliran darah kulit ditinggikan oleh siklopropan sehingga mudah terjadi
perdarahan waktu operasi. Siklopropan tidak menimbulkan hambatan terhadap
sambungan saraf otot. Setelah waktu pemulihan sering timbul mual, muntah dan
delirium. Absorpsi dan ekskresi siklopropan melalui paru. Hanya 0,5%
dimetabolisme dalam badan dan diekskresi dalam bentuk CO2 dan air.
Siklopapan dapat digunakan pada setiap macam operasi. Untuk mendapatkan efek
analgesic digunakan 1,2% siklopropan dengan oksigen. Untuk mencapi induksi
siklopropan digunakan 25-50% dengan oksigen, sedangkan untuk dosis
penunjang digunakan 10-20% oksigen.
2.7.2 Obat Anestesi yang Menguap
Anestetik yang menguap (volatile anesthetic) mempunyai 3 sifat dasar
yang sama yaitu berbentuk cairan pada suhu kamar, mempunyai sfat anestetik
kuat pada kadar rendah dan relatif mudah larut dalam lemak, darah dan jaringan.
Kelarutan yang baik dalam darah dan jaringan dapat memperlambat terjadinya
keseimbangan dan terlawatinya induksi, untuk mengatasi hal ini diberikan kadar
lebih tinggi dari kadar yang dibutuhkan. Bila stadium yang diinginkan sudah
tercapai kadar disesuaikan untuk mempertahankan stadium tersebut. Untuk
mempercepat induksi dapat diberika zat anestetik lain yang kerjanya cepat
kemudian baru diberikan anestetik yang menguap.
Umumnya anestetik yang menguap dibagi menjadi dua golongan yaitu
golongan eter misalnya eter (dietileter) dan golongan hidrokarbon halogen
misalnya halotan, metoksifluran, etil klorida, dan trikloretilen.
Contoh obat anestesik yang menguap yaitu :
1) Eter
Eter merupakan cairan tidak berwarna, mudah menguap, berbau mudah
terbakar, mengiritasi saluran nafas dan mudah meledak. Sifat analgesik kuat
sekali, dengan kadar dalam darah arteri 10-15 mg % sudah terjadi analgesik tetapi
penderita masih sadar. Eter pada kadar tinggi dan sedang menimbulkan relaksasi
otot karena efek sentral dan hambatan neuromuscular yang berbeda dengan
hambatan oleh kurare, sebab tidak dapat dilawan oleh neostigmin. Zat ini
meningkatkan hambatan neuromuscular oleh antibiotik seperti neomisin,
streptomisin, polimiksin dan kanamisin. Eter dapat merangsang sekresi kelenjar
bronkus. Eter diabsorpsi dan disekresi melalui paru dan sebagian kecil diekskresi
juga melalui urin, air susu, keringat dan difusi melalui kulit utuh.
2) Halotan
Merupakan cairan tidak berwarna, berbau enak, tidak mudah terbakar dan
tidak mudah meledak meskipun dicampur dengan oksigen. Halotan bereaksi
dengan perak, tembaga, baja, magnesium, aluminium, brom, karet dan plastik.
Karet larut dalam halotan, sedangkan nikel, titanium dan polietilen tidak sehingga
pemberian obat ini harus dengan alat khusus yang disebut fluotec. Efek analgesic
halotan lemah tetapi relaksasi otot yang ditimbulkannya baik. Dengan kadar yang
aman waktu 10 menit untuk induksi sehingga mempercepat digunakan kadar
tinggi (3-4 volume %). Kadar minimal untuk anestesi adalah 0,76% volume.
3) Metoksifluran
Merupakan cairan jernih, tidak berwarna, bau manis seperti buah, tidak mudah
meledak, tidak mudah terbakar di udara atau dalam oksigen. Pada kadar anestetik,
metoksifluran mudah larut dalam darah. Anestetik yang kuat dengan kadar
minimal 0,16 volume % sudah dapat menyebabkan anestesi dalam tanpa hipoksia.
Metoksifluran tidak menyebabkan iritasi dan stimulasi kelenjar bronkus, tidak
menyebabkan spasme laring dan bronkus sehingga dapat digunakan pada
penderita asma. Metoksifluran menyebabkan sensitisasi jantung terhadap
ketokolamin tetapi tidak sekuat kloroform, siklopropan, halotan atau trikloretilan.
Metoksifluran bersifat hepatoksik sehingga sebaiknya tidak diberikan pada
penderita kelainan hati.
4) Etilklorida
Merupakan cairan tak berwarna, sangat mudah menguap, mudah terbakar dan
mempunyai titik didih 12-13C. Bila disemprotkan pada kulit akan segera
menguap dan menimbulkan pembekuan sehingga rasa sakit hilang. Anesthesia
dengan etilklorida cepat terjadi tetapi cepat pula hilangnya. Induksi dicapai dalam
0,5-2 menit dengan waktu pemulihan 2-3 menit sesudah pemberian anesthesia
dihentikan. Karena itu etilkloretilen sudah tidak dianjurkan lagi untuk anestetik
umum, tetapi hanya digunakan untuk induksi dengan memberikan 20-30 tetes
pada masker selama 30 detik. Etilkloroda digunakan juga sebagai anestetik lokal
dengan cara menyemprotkannya pada kulit sampai beku. Kerugiannya, kulit yang
beku sukar dipotong dan mudah kena infeksi karena penurunan resistensi sel dan
melambatnya penyembuhan.
5) Trikloretilen
Merupakan cairan jernih tidak berwarna, mudah menguap, berbau khas seperti
kloroform, tidak mudah terbakardan tidak mudah meledak. Induksi dan waktu
pemulihan terjadi lambat karena trikloretilen sangat larut dalam darah. Efek
analgesic trikloretilen cukup kuat tetapi relaksasi otot rangka yang
ditimbulkannya kurang baik , maka sering digunakan pada operasi ringan dalam
kombinasi dengan N2O. untuk anestesi umum, kadar trikloretilen tidak boleh
lebih dari 1% dalam campuran 2:1 dengan N2O dan oksigen. Trikloretilen
menimbulkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin dan sensitisasi pernafasan
pada stretch receptor. Sifat lain trikloretilen tidak mengiritasi saluran nafas.

2.7.3 Obat Anestesi Intravena (Anestetik Parenteral)


Obat ini biasa digunakan sendiri untuk prosedur pembedahan singkat
dan kebanyakan obat anestetik intravena dipergunakan untuk induksi. Kombinasi
beberapa obat mungkin akan saling berpotensi atau efek salah satu obat dapat menutupi
pengaruh obat yang lain. Termasuk golongan obat ini adalah:
1) Barbiturat
Barbiturat menghilangkan kesadaran dengan blockade system sirkulasi
(perangsangan) di formasio retikularis. Pada pemberian barbiturate dosis kecil terjadi
penghambatan sistem penghambat ekstra lemnikus, tetapi bila dosis ditingkatkan sistem
perangsang juga dihambat sehingga respons korteks menurun. Pada penyuntikan
thiopental, Barbiturat menghambat pusat pernafasan di medulla oblongata. Tidal volume
menurun dan kecepatan nafas meninggi dihambat oleh barbiturate tetapi tonus vascular
meninggi dan kebutuhan oksigen badan berkurang, curah jantung sedikit menurun.
Barbiturat tidak menimbulkan sensitisasi jantung terhadap katekolamin.

Barbiturat yang digunakan untuk anestesi adalah:


a) Natrium thiopental
Dosis yang dibutuhkan untuk induksi dan mempertahankan anestesi
tergantung dari berat badan, keadaan fisik dan penyakit yang diderita. Untuk
induksi pada orang dewasa diberikan 2-4 ml larutan 2,5% secara intermitten
setiap 30-60 detik sampai tercapai efek yang diinginkan. Untuk anak digunakan
larutan pentotal 2% dengan interval 30 detik dengan dosis 1,5 ml untuk berat
badan 15 kg,3 ml untuk berat badan 30 kg, 4 ml untuk berat badan 40 kg dan 5 ml
untuk berat badan 50 kg. Untuk mempertahankan anesthesia pada orang dewasa
diberikan pentotal 0,5-2 ml larutan 2,5%, sedangkan pada anak 2 ml larutan 2%.
Untuk anesthesia basal pada anak, biasa digunakan pentotal per rectal sebagai
suspensi 40% dengan dosis 30 mg/kgBB.
b) Natrium tiamilal
Dosis untuk induksi pada orang dewasa adalah 2-4 ml larutan 2,5%,
diberikan intravena secara intermiten setiap 30-60 detik sampai efek yang
diinginkan tercapai, dosis penunjang 0,5-2 ml larutan 2,5% a tau digunakan
larutan 0,3% yang diberikan secara terus menerus (drip)
c) Natrium metoheksital
Dosis induksi pada orang dewasa adalah 5-12 ml larutan 1% diberikan
secara intravena dengan kecepatan 1 ml/5 detik, dosis penunjang 2-4 ml larutan
1% atau bila akan diberikan secara terus menerus dapat digunakan larutan larutan
0,2%.

DAFTAR PUSTAKA
Latief, A. Said, dkk. Anestesiology. Jakarta: FKUI. 2009
Ganiswarna, Sulistia. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FKUI. 1995
Tjay, Tan Hoan. Obat-Obat Penting. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. 2002
Arif Mansjoer. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Jakarta: Media Aesculapius. 2000
Gainswarna, G Sulistia. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : FKUI
Smeltzer, Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol I. Jakarta : EGC. 2001
Staff Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2004. Anestesiologi. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Anestesi Spinal. http://anestesi-fkunram.blogspot.com/2009/02/anestesi-spinal.html.Diakses
tanggal 22 Agustus 2009 pukul 09:00 WIB. Visitor: Komang
Anestesiology. http://www.wikipedia.com. Diakses tanggal 22 Agustus 2009 pukul 09:00 WIB. Visitor:
Komang

http://www.janesti.com/uploads/default/files/3.1-full_.pdf

Anda mungkin juga menyukai