Anda di halaman 1dari 21

Penyembuhan dan Regenerasi Luka

J.M. Reinke H. Sorg

Kata kunci
Angiogenesis. Epitelisasi. Jaringan Granulasi. Inflamasi. Pembentukan jaringan
parut.

Abstrak
Kulit merupakan organ terbesar pada manusia dan memiliki banyak fungsi. Oleh
karena itu, proses penyembuhan luka di kulit memperlihatkan suatu mekanisme
fungsi kaskade seluler yang luar biasa yang bersifat unik. Karena proses
penyembuhan dan regenerasi terjadi di seluruh bagian tubuh manusia, tinjauan ini
berfokus pada proses penyembuhan di kulit dan menyoroti fase penyembuhan
luka klasik. Sementara regenerasi menggambarkan perubahan jaringan spesifik,
seperti epidermis superfisial, mukosa atau kulit janin, penyembuhan kulit
menunjukkan suatu bentuk penyembuhan yang tidak spesifik yang dimana luka
dapat menyembuh dengan fibrosis dan pembentukan jaringan parut. Fase
penyembuhan luka akut stadium pertama adalah proses hemostasis dan
pembentukan matriks luka sementara, yang terjadi segera setelah cedera dan
berakhir setelah beberapa jam. Setelah itu, fase ini menginisiasi proses inflamasi.
Fase inflamasi dari kaskade penyembuhan luka teraktivasi selama fase koagulasi
dan dapat secara umum dibagi menjadi fase dini dengan rekruitmen neutrofil, dan
fase lanjut dengan kemunculan dan transformasi monosit. Pada fase proliferasi
fokus utama penyembuhan luka adalah penutupan permukaan luka, pembentukan
jaringan granulasi dan pengembalian jaringan pembuluh darah. Oleh karena itu,
setelah perpindahan fibroblast lokal ke sepanjang jaringan fibrin dan pada saat
dimulainya reepitelisasi dari tepi luka, proses neovaskularisasi dan angiogenesis
teraktivasi oleh tunas-tunas pertumbuhan kapiler. Pembentukan jaringan granulasi
berhenti dengan adanya apoptosis sel, yang menandai luka matur dengan keadaan
avaskular dan aseluler. Selama maturasi luka, komponen matriks ekstrasel
mengalami beberapa perubahan. Tujuan fisiologis penyembuhan luka pada
mamalia memperlihatkan pembentukan jaringan parut, yang secara langsung
berkaitan dengan luasnya proses inflamasi dalam keseluruhan proses
penyembuhan luka.

Pendahuluan
Lapisan luar yang intak merupakan salah satu kemampuan penting, baik dari
bakteri yang sederhana hingga pada organisme multiseluler yang kompleks.
Selain itu, kemampuan organisme untuk melakukan penyembuhan atau
meregenerasi jaringan untuk mengembalikan fungsi organ telah dan masih
merupakan suatu keuntungan tersendiri dan merupakan faktor ketahanan hidup di
alam. Karena sebagian besar organisme menunjukkan proses pembaruan yang
terus menerus di sepanjang hidupnya, kemampuan untuk sembuh berkembang
secara berbeda-beda pada seluruh spesies yang ada, dimulai dari penyembuhan
jaringan yang sederhana hingga regenerasi organ secara keseluruhan sebagaimana
yang diperlihatkan pada axolotls (Ambystoma mexicanum). Penyembuhan luka,
yang terutama berarti penyembuhan pada kulit, telah dikenal sebagai suatu hal
yang penting dalam kesehatan sejak umat manusia ada. Gulungan perkamen dari
Mesir kuno (3.200 300 SM) telah menggambarkan tindakan perawatan luka
dengan menggunakan kompresi untuk hemostasis. Mereka juga menggambarkan
teknik pembalutan luka oleh Hippocrates, yang menunjukkan pentingnya drainase
pus dari luka (Ubi pus, ibi evacua), dan Galen, yang menggambarkan prinsip-
prinsip penyembuhan luka dengan primary dan secondary intention. Namun,
banyak dari pengetahuan ini yang hilang dari waktu ke waktu dan diperbaharui
atau ditemukan kembali di era modern oleh Brunschwig, von Gersdorff dan
Paracelcus. Pada akhir abad ke-19 perkembangan antisepsik oleh Lister dan
Semmelweis, deteksi mikroorganisme patogen oleh Koch, dan yang paling
terkenal adalah penemuan penisilin oleh Fleming dan Sulfonamide oleh Domagk
[1] memiliki dampak yang sangat besar dalam pemahaman, terapi dan hasil akhir
dari penyembuhan luka. Saat ini, penelitian menyoroti pemahaman yang lebih
dalam mengenai sifat saling mempengaruhi antara sel yang kompleks dan
pengaruh sitokin dan faktor pertumbuhan yang berbeda, dan membuka
pemahaman dalam biologi molekuler penyembuhan luka pada kulit. Namun
setelah 5000 tahun, tujuan pengobatan terhadap luka masih belum berubah. Pasien

2
masih berhak mendapatkan suatu penutupan luka yang cepat, tidak berkomplikasi
dan bersifat antiseptik, namun juga meminta hasil akhir estetika dengan tidak
adanya pembentukan jaringan parut. Karena proses penyembuhan dan regenerasi
terjadi di semua bagian tubuh manusia, tinjauan ini akan berfokus pada
penyembuhan luka di kulit dan akan menyoroti fase penyembuhan luka klasik.

Fisiologi Penyembuhan Luka Kulit Orang Dewasa


Penyembuhan luka kulit merupakan suatu proses mekanisme seluler,
humoral dan molekuler yang dinamis dan sangat teratur yang dimulai secara
langsung setelah luka terjadi dan mungkin dapat berlangsung selama beberapa
tahun. Setiap gangguan struktur anatomis jaringan yang normal dengan hilangnya
fungsi selanjutnya dapat digambarkan sebagai suatu luka [2]. Cedera pada sistem
integumen disebut sebagai luka terbuka atau luka luar, sementara luka dalam atau
tertutup digunakan untuk menjelaskan cedera atau ruptur organ dan jaringan
dalam dengan kulit yang masih bersifat intak. Sementara regenerasi
menggambarkan penggantian jaringan yang spesifik, yaitu epidermis superfisial,
mukosa atau kulit janin, penyembuhan kulit menggambarkan suatu bentuk
penyembuhan yang tidak spesifik dimana luka sembuh dengan fibrosis dan
pembentukan jaringan parut. Sayangnya, penyembuhan kulit merupakan bentuk
utama pada penyembuhan luka kulit orang dewasa. Proses penyembuhan luka
pada kulit seringkali digambarkan sebagai suatu permainan orkestra atau babak
drama [3, 4], yang mana aktivitas saling mempengaruhi dari sel, faktor
pertumbuhan dan sitokin akan menghasilkan penutupan luka. Namun, meskipun
ketika keseimbangan yang sensitif antara sel-sel dan mediatornya dapat
terganggu, data terbaru menyatakan bahwa kekurangan jenis sel atau tidak adanya
suatu mediator dapat dikompensasi oleh yang lainnya yang terlibat dalam
penyembuhan luka sehingga penyembuhan masih dapat terjadi [5]. Proses
penyembuhan luka secara artifisial dapat dibagi menjadi tiga hingga lima fase
yang saling bertumpang tindih dalam hal waktu dan ruang [6]. Tujuan tinjauan ini
adalah untuk merincikan proses aktual yang berbeda selama penyembuhan luka
pada kulit.

3
Respon Pembuluh darah: Hemostasis dan Koagulasi
Fase pertama dari penyembuhan luka fisiologis atau akut diberikan pada
hemostasis dan pembentukan matriks luka sementara, yang terjadi segera setelah
cedera dan selesai setelah beberapa jam (gambar 1). Selanjutnya, fase ini memulai
proses inflamasi. Kadangkala fase ini juga digambarkan sebagai fase-lambat
yang mana organisme harus mengelola rekruitmen banyak sel-sel dan faktor-
faktor untuk penyembuhan luka dalam keadaan tidak adanya kekuatan mekanis
luka [1]. Dengan cedera pada kulit yang melebihi lapisan epidermis, pembuluh
darah dan limfatik mengalami luka, membilas luka untuk menghilangkan
mikroorganisme dan antigen [7]. Kaskade pembekuan yang berbeda kemudian
dimulai oleh faktor-faktor pembekuan dari kulit yang mengalami cedera (sistem
ekstrinsik) dan trombosit terakvitasi untuk agregasi oleh kolagen yang terpapar
(sistem intrinsik). Pada saat yang sama pembuluh darah yang mengalami cedera
mengalami vasokonstriksi selama 5 hingga 10 menit, yang dipicu oleh platelet,
untuk mengurangi hilangnya darah dan memenuhi tautan jaringan dengan bekuan
darah yang terdiri atas sitokin dan faktor-faktor pertumbuhan [8]. Selanjutnya,
bekuan darah yang mengandung molekul fibrin, fibronektin, vitronektin dan
trombospondin, membentuk matriks sementara sebagai suatu struktur perantara
untuk migrasi leukosit, keratinosit, fibroblast dan sel-sel endotel dan berperan
sebagai reservoar faktor-faktor pertumbuhan. Vaskonstriksi dengan pembentukan
bekuan yang menyelamatkan kehidupan bertanggung jawab atas kegagalan
perfusi lokal dengan akibat berupa kurangnya oksigen, peningkatan glikolisis dan
perubahan PH [9]. Vasokonstriksi kemudian diikuti dengan vasodilatasi yang
mana pada keadaan ini trombosit menginvasi matriks luka sementara [1]. Selain
itu, platelet mempengaruhi infiltrasi leukosit dengan melepaskan faktor-faktor
kemotaktik. Baik platelet maupun leukosit melepaskan sitokin dan faktor-faktor
pertumbuhan untuk mengaktivasi proses inflamasi (IL-1, IL-1, IL-6, dan TNF-
), memicu sintesis kolagen (FGF-2, IGF-1, TGF- ), mengaktivasi transformasi
fibroblast menjadi miofibroblast (TGF- ), memulai angiogenesis (FGF-2, VEGF-
A, HIF-1, TGF-) dan telah mendukung proses reepitelisasi (EGF, FGF-2, IGF-
1, TGF-) [10]. Vasodilatasi juga dapat dikenali dengan adanya kemerahan lokal
(hiperemis) dan dengan adanya edema pada luka.

4
Gambar 1. Fase inflamasi setelah terjadinya luka pada kulit; hemostasis dan invasi sel-sel
inflamasi

Respon seluler: Inflamasi


Fase inflamasi kaskade penyembuhan luka teraktivasi selama fase
hemostasis dan koagulasi dan dapat secara kasar dibagi menjadi fase dini dengan
rekruitmen neutrofil dan fase lanjut dengan kemunculan dan transformasi monosit
(gambar 1). Akibat respon jalur komplemen yang teraktivasi, platelet yang
berdegranulasi dan produk sampingan degradasi bakteri, neutrofil direkrut ke
tempat terjadinya cedera pada kulit, dan ditemukan disana selama 2-5 hari kecuali
jika kulit terinfeksi. Kerja neutrofil sangat penting dalam beberapa hari pertama
setelah cedera karena kemampuannya dalam fagositosis dan sekresi protease yang
membunuh bakteri lokal dan membantu menghancurkan jaringan yang nekrotik.
Selain itu, neutrofil juga bekerja sebagai kemoatraktan untuk sel-sel lain yang
terlibat dalam fase inflamasi [5].
Neutrofil melepaskan mediator-mediator seperti TNF-, IL-1 dan IL-6
yang memperkuat respon inflamasi dan memicu VEGF dan IL-8 untuk respon
penyembuhan yang adekuat. Selanjutnya, neutrofil memulai debridemannya

5
dengan melepaskan zat antimikroba yang sangat aktif (peptida kation dan
eikosanoid) dan proteinase (elastase, cathepsin G, proteinase 3 dan aktivator
plasminogen tipe urokinase) [5]. Penelitian in vitro lebih lanjut menunjukkan
bahwa neutrofil dapat mengubah fenotipe dan ekspresi profil sitokin makrofag,
yang menimbulkan respon imunitas bawaan selama penyembuhan luka [11].
Sekitar 3 hari setelah cedera makrofag memasuki zona cedera dan
mendukung proses yang sedang berlangsung dengan melakukan fagositosis
patogen dan debris-debris sel [12, 13] serta dengan sekresi faktor-faktor
pertumbuhan, kemokin dan sitokin. Terpisah dari dukungan aktualnya dalam
penyembuhan luka, molekul ini tetap mempertahankan proses penyembuhan ini
sebagai suatu proses yang intak, karena sebagian darinya mampu mengaktivasi
fase penyembuhan luka selanjutnya (fase proliferasi) [14]. Respon inflamasi
terhadap cedera sangat penting untuk menyuplai faktor pertumbuhan dan signal
sitokin yang bertanggung jawab atas pergerakan sel dan jaringan, yang sangat
penting untuk mekanisme penyembuhan selanjutnya pada mamalia dewasa [5,
15]. Terdapat bukti bahwa jumlah inflamasi menentukan luasnya pembentukan
jaringan parut. Tidak adanya inflamasi intrauterin disebutkan sebagai bukti akan
teori penyembuhan luka yang tidak menimbulkan jaringan parut pada janin [16,
17].
Makrofag memiliki banyak fungsi yang mencakup pertahanan host, promosi
dan resolusi inflamasi, pembersihan sel-sel yang mengalami apoptosis dan
mendukung proliferasi sel dan pengembalian jaringan setelah cedera [18].
Disamping fungsi imunologinya sebagai sel penyaji antigen dan pemfagosit
selama penyembuhan luka, makrofag diduga memainkan peran yang sangat
penting dalam keberhasilan respon penyembuhan melalui sintesis sejumlah faktor-
faktor pertumbuhan seperti TFG-, TGF-, FGF dasar, PDGF dan VEGF, yang
meningkatkan proliferasi sel dan sintesis molekul matriks ekstraseluler (ECM)
oleh sel-sel kulit yang menempatinya [19].

6
Proliferasi dan Penyembuhan
Reepitelisasi/Pelapisan ulang
Pada fase proliferasi (sekitar 3-10 hari setelah luka) fokus utama proses
penyembuhan berada pada penutupan permukaan luka, pembentukan jaringan
granulasi dan mengembalikan jaringan pembuluh darah. Oleh karena itu, setelah
imigrasi fibroblast lokal di sepanjang jaringan fibrin dan dimulainya reepitelisasi
dari tepi luka, neovaskularisasi dan angiogenesis teraktivasi oleh pembentukan
tunas-tunas kapiler [1, 7, 20-22]. Dibawah kendali sitokin pengatur seperti IFN-
dan TGF-, sintesis kolagen, fibronektin dan zat dasar lainnya yang diperlukan
untuk penyembuhan luka oleh fibroblast merupakan dasar untuk matriks jaringan
ikat yang baru, yang berperan sebagai penutup pemisah jaringan dan
pengembalian kekuatan mekanis luka. Selanjutnya, sintesis kolagen meningkat di
seluruh bagian luka, sementara proliferasi fibroblast menurun secara berturut-
turut, yang menyesuaikan suatu keseimbangan antara sintesis dan degradasi ECM
[23].
Proses reepitelisasi dipastikan oleh keratinosit lokal pada tepi luka dan oleh
sel stem epitel dari folikel rambut atau kelenjar keringat [8, 24-26]. Proses ini
diaktivasi oleh jaringan pemberi signal sel-sel epitel dan nonepitel di tepi luka,
yang melepaskan banyak sekali sitokin-sitokin dan faktor pertumbuhan yang
berbeda-beda, misalnya EGF, KGF, IGF-1, dan NGF [10]. Selain itu, hilangnya
inhibisi kontak dan tegangan fisik pada desmosom dan hemidesmosom
menghasilkan mediator lipid dan mengaktifkan kinase terkait membran (SRC
kinase) yang menghasilkan peningkatan permeabilitas membran untuk ion-ion,
misalnya kalsium. Hal ini memperlihatkan suatu pemulaian sinyal ke sel-sel pada
tepi luka dengan penarikan kembali dan penyusunan kembali tenofilamen
intraselnya dalam arah migrasi. Dengan pelonggaran enzimatik desmosom
intraselnya melalui kolagenase dan elastase, keratinosit yang teraktivasi
bermigrasi disepanjang bekuan darah fibrin yang telah dibentuk sebelumnya pada
lapisan jaringan granulasi yang lebih tinggi. Proses ini disebut shuffling
keratinosit [27] dan menggambarkan kemampuan sel-sel ini untuk bermigrasi
secara kompetitif disepanjang gradien kemotaktik yang ditetapkan oleh mediator-
mediator seperti IL-1, dan pada matriks yang kaya akan fibronektin ke bagian

7
tengah luka [28, 29]. Gerakan lamellipodial yang secara perlahan melakukan
migrasinya sendiri dan diarahkan ke tempat yang mengalami kerusakan melalui
polimerisasi serabut aktin sitoskeletal dalam pembesaran dan pembentukan adhesi
fokal yang baru pada ECM yang dimediasi oleh integrin. Mekanisme sitoskeletal
ini diatur oleh RhoGTPase (Rho, Rac, Cdc42) [30, 31]. GTPase yang kecil
merupakan penggeser susunan serabut intrasel dan sangat penting untuk proses
epitelisasi yang tersusun serta penghentian migrasi. Proses ini berlanjut hingga
sel-sel yang bermigrasi saling bersentuhan satu sama lain. Selanjutnya, GTPase
kemungkinan akan terpadamkan yang menyebabkan penyusunan kembali
sitoskeleton [27]. Penggabungan epitel yang berhadapan dicapai oleh degradasi
serabut aktin pada filopodia, yang digantikan oleh kontak tautan antarasel hingga
akhirnya menutup luka seperti risleting [27].

Neovaskularisasi/angiogenesis
Pengembalian sistem pembuluh darah kulit merupakan suatu kaskade kejadian
seluler, humoral dan molekuler yang kompleks pada bantalan luka untuk
menghubungkan kembali perfusi yang memberikan nutrisi. Penginisiasinya adalah
faktor-faktor pertumbuhan, misalnya VEGF, PDGF, Bfgf, dan serine protease
trombin. Tahap pertama dalam pembentukan pembuluh darah baru adalah ikatan
faktor pertumbuhan ke reseptornya di sel-sel endotel pembuluh darah yang telah
ada, sehingga mengaktifkan kaskade pensignalan intrasel. Sel endotel yang
teraktivasi menyekresi enzim proteolitik yang melarutkan lamina basalis. Oleh
karena itu, sel-sel endotel saat ini mampu berproliferasi dan bermigrasi ke luka,
suatu proses yang dikenal sebagai sprouting. Sel-sel endotel mengarahkan diri
mereka sendiri ke molekul adhesi superfisial, misalnya integrin (v3, v5,
51). Selanjutnya, sel ini melepaskan matriks metaloproteinase di bagian depan
proliferasi, menghancurkan jaringan yang berada disekitarnya utuk proliferasi
endotel yang sedang berlangsung. Tunas yang baru terbentuk membentuk saluran
tubular kecil yang saling berhubungan dengan yang lain yang membentuk
lengkungan pembuluh darah. Setelah itu, pembuluh darah baru berdiferensiasi
menjadi arteri dan vena dan matur dengan stabilisasi dinding pembuluh darahnya
lebih lanjut melalui rekruitmen perisit dan sel-sel otot polos. Terakhir, aliran darah

8
awal melengkapi proses angiogenik. Dalam luka dengan ketebalan dermis penuh,
proses neovaskularisasi mengikuti suatu pola yang berbeda dalam waktu dan
bentuknya.

Gambar 2. Fase proliferatif; penyusunan trombus, sekresi faktor-faktor pertumbuhan, sintesis


kolagen III dan dimulainya angiogenesis

Pada awalnya pembuluh darah membentuk suatu cincin bagian dalam


pembuluh darah yang tersusun secara melingkar pada tepi luka yang diikuti
dengan pembuluh darah bagian luar yang tersusun secara radial yang menyuplai
bagian dalam. Karena rancangan pembuluh darah ini serupa dengan matahari,
bentuk ini juga disebut sola cutis ser reficientis [32]. Sejalan dengan
perkembangan penutupan luka, cincin pembuluh darah bagian dalam mengerut,
yang menyebabkan hilangnya cincing pembuluh sepenuhnya. Namun, pembuluh
darah yang tersusun secara radial dapat menghubungkan satu sama lain pada saat
itu, yang membentuk jaringan pembuluh darah dermis yang baru [32].

9
Pembentukan jaringan Granulasi
Tahap terakhir dalam fase proliferasi adalah pembentukan jaringan granulasi
akut (gambar 2). Pada saat yang sama fase remodeling dimulai. Sebagai jaringan
transisional, jaringan ini menggantikan matriks luka sementara berbasis fibrin-
/fibronektin dan mungkin menimbulkan jaringan parut saat telah matur [1, 3, 4, 7,
8, 14, 33]. Selain itu, tahap ditandai dengan padatnya densitas
fibroblast,granulosit, makrofag, kapiler dan berkas kolagen yang tersusun longgar
(gambar 2). Karena tingginya senyawa seluler ini maka ia dinamakan jaringan
granulasi. Dan juga, angiogenesis belum berakhir, jaringan ini sangat banyak
mengandung pembuluh darah. Sebagai akibatnya jaringan ini terlihat kemerahan
klasik dan dapat mengalami luka dengan mudah. Namun, sel yang mendominasi
pada fase ini adalah fibroblast, yang memenuhi fungsi yang berbeda seperti
produksi kolagen dan substansi ECM (yaitu fibronektin, glikosaminoglikans,
proteoglikans dan asam hialuronat). Pembentukan ECM merupakan tahap penting
lainnya karena memberikan penghubung untuk adhesi sel dan sacara kritis
mengatur dan mengorganisir pertumbuhan, pergerakan dan diferensiasi sel-sel
didalamnya [34, 35]. Oleh karena itu, fibroblast merupakan prekursor matriks luka
sementara yang mana pada sel ini lah migrasi dan penyusunan sel secara berturut-
turut terjadi [27]. Pada akhir fase ini jumlah fibroblast yang matur berkurang oleh
diferensiasi miofibroblast dan dihentikan oleh apoptosis selanjutnya [36].

Remodeling
Remodeling merupakan fase terakhir dalam penyembuhan luka dan terjadi
dari hari 21 hingga 1 tahun setelah cedera. Pembentukan jaringan granulasi
berhenti melalui apoptosis sel. Luka yang matur, oleh karena itu, ditandai dengan
suatu keadaan avaskular serta aseluler [37]. Selam maturasi luka komponen ECM
menjalani beberapa perubahan. Kolagen III, yang dihasilkan pada fase proliferatif,
saat ini digantikan oleh kolagen I yang lebih kuat [gambar 3]. Jenis kolagen ini
terususn dalam berkas sejajar kecil sehingga berbeda dari kolagen yang terjalin
berbentuk keranjang pada dermis yang sehat [38]. Kemudian miofibroblast
menyebabkan kontraksi luka melalui perlengketan multipelnya pada kolagen dan
membantu mengurangi pembentukan jaringan parut pada permukaan [12, 13, 38].

10
Selain itu, proses angiogenesis menjadi berkurang, aliran darah ke luka berkurang,
dan aktivitas metabolik luka melambat dan akhirnya terhenti.

Gambar 3. Fase regulasi; proses regeneratif memudar dan diikuti dengan penyusunan ulang
jaringan ikat dan respon kontraktil.

Berkebalikan dengan penyembuhan luka pada janin, terdapat komponen


kulit tertentu yang tidak akan pernah kembali sepenuhnya setelah penutupan luka.
Apendiks subepidermis seperti folikel rambut atau kelenjar keringat tidak
memiliki potensi untuk sembuh atau kembali lagi setelah cedera yang serius.
Epidermis dari jaringan parut yang terbentuk berbeda dari kulit yang tidak
mengalami cedera setelah penyembuhan luka akibat tidak adanya jaringan pasak
yang normalnya tertaut pada matriks jaringan ikat yang mendasarinya dan
bertanggung jawab atas tautan epidermis dan dermis yang kuat [1].

Penyembuhan luka janin


Berkebalikan dengan reaksi jaringan manusia dewasa terhadap cedera, janin
pada kehamilan awal memiliki kemampuan untuk sembuh tanpa menimbulkan

11
jaringan parut. Proses penyembuhan yang unik ini pertama kali ditemukan pada
tahun 1979 [39] dan dikonfirmasi pada banyak uji klinis pada hewan dan manusia
[40, 41]. Penyembuhan luka tanpa jaringan parut teramati pada janin tikut, mencit,
monyet, babi, dan manusia [42] dan bergantung pada usia pada spesies yang
berbeda [43, 44]. Pada manusia, penyembuhan luka tanpa jaringan parut berhenti
pada sekitar usia kehamilan 24 minggu, sementara pada mencit proses ini berhenti
pada hari 18.5 (periode kehamilan mencit: 20 hari) [42, 45, 46]. Jumlah hari
pastinya ditentukan oleh ukuran luka; cedera yang lebih besar mungkin
meinggalkan jaringan parut lebih dini dibandingkan luka yang kecil [44]. Struktur
dan histologi kulit janin berubah dengan cepat selama kehamilan. Dalam 20 hari
pertama janin hanya ditutupi oleh epidermis primitif, yang berkembang menjadi
peridermis berlapis dua dan satu lapis sel basal dalam waktu 4 8 minggu. Pada
minggu 9 stratifikasi epidermis janin dimulai dan keratinisasi dimulai pada
minggu 14. Pada saat janin mencapai minggu 16 epidermis janin telah memiliki
banyak komponen epidermis dewasa; lapisan basal, lapisan intermedia, folikel
rambut, kelenjar keringat dan keratinisasi folikularis. Setelah 24 minggu
kehamilan pertumbuhan dan maturasi yang cepat mulai mendominasi proses yang
terjadi dan saat lahir kulit neonatus tidak dapat dibedakan dari kulit orang dewasa
[47, 48]. Sebagai respon terhadap cedera jaringan, dermis janin memiliki
kemampuan untuk meregenerasi suatu matriks kolagen yang tidak terganggu yang
identik dengan jaringan awal [49, 50]. Menariknya, bahkan apendiks dermal
seperti kelenjar sebasea dan folikel rambut mengalami kesembuhan secara normal
setelah cedera pada janin [51]. Terdapat bukti bahwa alasan akan penyembuhan
luka tanpa jaringan parut pada jaringan janin disebabkan oleh perbedaan pada
ECM, respon inflamasi, mediator-mediator inflamasi, ekspresi gen dan fungsi sel
stem yang berbeda [52-55]. Respon inflamasi pada luka embrio terdiria tas sel-sel
yang kurang berdiferensiasi yang berjumlah lebih sedikit (neutrofil, monosit dan
makrofag), yang dalam kombinasi dengn profil faktor pertumbuhan yang sangat
berbeda yang berkontribusi terhadap penyembuhan luka yang jauh lebih baik pada
jaringan janin. Selain itu, lamanya presentasi sel-sel inflamasi berkurang
dibandingkan dengan luka pada orang dewasa [56]. Perubahan molekuler
melibatkan TFF-1, TFF-2, dan PDGF dalam kadar yang lebih rendah dan TFF-

12
3 dalam kadar yang lebih tinggi [41]. Karena volume kulit yang berkembang dan
bertumbuh dengan cepat, jaringan janin terdiri atas tingginya kadar faktor-faktor
morfogenik yang terlibat dalam pertumbuhan, remodeling dan morfogenesis kulit.
Dua prinsip ini yaitu penurunan respon inflamasi dan perubahan morfogenesis
kulit menyebabkan profil faktor pertumbuhan yang secara kualitatif, kuantitatif
dan secara sementara berbeda dibandingkan dengan penyembuhan luka pada
orang dewasa [41, 49, 56, 57].

Jaringan parut
Pembentukan jaringan parut merupakan suatu akhir penyembuhan luka
mamalia yang fisiologis. Terdapat beberapa keadaan yang berbeda yang
memberikan bukti bahwa inflamasi selama proses penyembuhan luka secara
langsung dikaitkan dengan luasnya pembentukan jaringan parut [5]. Pertama,
terdapat fakta bahwa penyembuhan luka pada janin, yang memperlihatkan
kurangnya respon inflamasi yang khas, tidak menimbulkan jaringan parut hingga
usia tertentu [16, 17]. Selain itu pembentukan jaringan parut tampak meluas ketika
dilakukan pemicuan inflamasi pada janin. Contoh kedua yang menunjukkan peran
inflamasi pada pembentukan jaringan parut adalah pengaruh hormon reproduksi
pada proses ini. Penelitian-penelitian menunjukkan bahwa kadar estrogen yang
rendah pada mencit menyebabkan gangguan kecepatan penyembuhan yang
mencakup inflamasi dan pembentukan jaringan parut yang berlebihan [5, 58, 59].
Sebagian besar luka yang tidak sembuh gagal untuk berjalan melalui fase
penyembuhan luka yang normal, namun tetap dalam keadaan inflamasi kronis
[60] yang menyebabkan penyembuhan luka yang abnormal, misalnya jaringan
parut hipertropik atau keloid. Keloid terdiri atas serat kolagen yang tebal,
sementara jaringan parut hipertropik terdiri atas serat tipis yang tersusun menjadi
nodul [61, 62]. Perubahan maturasi kolagen merupakan perubahan yang sangat
mendasar dalam pembentukan jaringan parut yang berlebihan. Jaringan granulasi
terus bertumbuh akibat sekresi faktor pertumbuhan yang berlebihan dan
kurangnya molekul yang dibutuhkan untuk apoptosis atau remodeling ECM.
Jaringan parut hipertropi terdiri atas pembuluh darah kecil yang berlebihan, yang
sebagian besar tersumbat akibat proliferasi yang berlebihan dan regresi fungsional

13
sel-sel endotel yang dipicu oleh hiperaktivitas miofibroblas dan produksi kolagen
yang berlebihan [63].
Peningkatan ekspresi p53 fokal, yang tampaknya memainkan peran yang
penting dalam inhibisi apoptosis, telah dilaporkan dalam keadaan adanya
pembentukan jaringan parut yang berlebihan. Selain itu, iritasi mekanis pada fase
proliferatif dini dapat menimbulkan jaringan parut hipertropi dengan menghambat
apoptosis [64].
Perubahan pada ECM dan epitel tampak terlibat juga dalam pembentukan
jaringan parut yang berlebihan [65- 67]. Suatu hipotesis inflamasi neurogenik
telah diusulkan [68]: stres mekanis memicu nosiseptor mekanosensitif pada
serabut sensorik kulit yang melepaskan neuropeptida yang terlibat dalam
modifikasi pembuluh darah dan aktivasi fibroblast. Jaringan parut yang berlebihan
merupakan suatu kelainan fibrotik yang terjadi akibat gangguan proses
penyembuhan luka yang normal [69].

Kesimpulan dan Harapan


Pengaturan fungsi seluler selama penyembuhan kulit setelah cedera bersifat
kompleks dan sangat kritis yang bergantung pada interaksi sel dengan ECM, yang
dapat mengalami gangguan pada setiap tahap dan titik waktu proses penyembuhan
luka. Banyak aktivitas seluler atau sitokin yang dapat diambil oleh komponen
lainnya tanpa benar-benar mengganggu proses penyembuhan. Namun, beberapa
aktivitas tunggal mungkin sangat penting atau kumpulan banyak kekurangan
dalam penyembuhan dapat menimbulkan luka kronis atau yang tidak sembuh.
Penelitian dalam bidang khusus ini masih berlangsung dan banyak pertanyaan-
pertanyaan yang masih belum terjawab. Namun, suatu pemahaman yang lebih
baik mengenai peristiwa saling mempengaruhi yang kompleks ini memberikan
dasar untuk merancang terapi penyembuhan luka yang baru dan efektif.
Pengetahuan yang diperoleh dari penelitian terhadap jalur genetik dan molekuler
dan dari interaksi dan pengaruh sitokin, serta perkembangan pembalutan luka baru
fungsional yang besar-besaran untuk terapi luka konservatif, dapat lebih lanjut
mengurangi insidensi luka yang tidak mengalami kesembuhan dan mendukung
proses penyembuhan dibawah kondisi yang tidak baik. Selain itu, pilihan yang

14
menguntungkan dalam terapi sel stem serta dalam rekayasa jaringan menawarkan
kemungkinan terapi yang baru dalam penyembuhan luka pada kulit.

Daftar Pustaka
1. Robson MC, Steed DL, Franz 6. Epstein HF: Cutaneous
MG: Wound healing: wound healing. N Engl J Med
biologic features and 1999; 341:738746.
approaches to maximize 7. Strodtbeck F: Physiology of
healing trajectories. Curr wound healing. Newborn
Probl Surg 2001; 38:72140. Infant Nurs Rev 2001; 1: 43
2. Lazarus GS, Cooper DM, 52.
Knighton DR, Percoraro RE, 8. Martin P: Wound healing
Rodeheaver G, Robson MC: aiming for perfect skin
Definitions and guidelines for regeneration. Science 1997;
assessment of wounds and 276:75-81.
evaluation of healing. Wound 9. Woo YC, Park SS, Subieta
Repair Regen 1994; 2:165 AR, Brennan TJ: Changes in
170. tissue pH and temperature
3. Krafts KP: Tissue repair: the after incision indicate
hidden drama. Organogenesis acidosis may contribute to
2010; 6:225233. postoperative pain.
4. Enoch S, John Leaper D: Anesthesiology 2004;
Basic science of wound 101:468475.
healing. Surgery (Oxford) 10. Werner S, Grose R:
2005; 23:3742. Regulation of wound healing
5. Eming SA, Krieg T, by growth factors and
Davidson JM: Inflammation cytokines. Physiol Rev 2003;
in wound repair: molecular 83:835870.
and cellular mechanisms. J 11. Daley JM, Reichner JS,
Invest Dermatol 2007; Mahoney EJ, Manfield L,
127:514525. Henry WL, Mastrofrancesco
B, et al: Modulation of

15
macrophage phenotype by World J Surg 2003; 27:54
soluble product(s) released 61.
from neutrophils. J Immunol 17. Redd MJ, Cooper L, Wood
2005; 174:22652272. W, Stramer B, Martin P:
12. Tziotzios C, Profyris C, Wound healing and
Sterling J: Cutaneous inflammation: embryos
scarring: pathophysiology, reveal the way to perfect
molecular mechanisms, and repair. Philos Trans R Soc
scar reduction therapeutics. J Lond B Biol Sci 2004;
Am Acad Dermatol 2012; 359:777784.
66:1324. 18. Koh TJ, DiPietro LA:
13. Profyris C, Tziotzios C, Do Inflammation and wound
Vale I: Cutaneous scarring: healing: the role of the
pathophysiology, molecular macrophage. Expert Rev Mol
mechanisms, and scar Med 2011;13:e23.
reduction therapeutics. J Am 19. DiPietro LA, Polverini PJ:
Acad Dermatol 2012; 66:1 Role of the macrophage in
10. the positive and negative
14. Gurtner GC, Werner S, regulation of wound
Barrandon Y, Longaker MT: neovascularization. Behring
Wound repair and Inst Mitt 1993; 92:238247.
regeneration. Nature 2008; 20. Bauer SM: Angiogenesis,
453:314321. vasculogenesis, and induction
15. Leibovich SJ, Ross R: The of healing in chronic wounds.
role of the macrophage in Vasc Endovasc Surg 2005;
wound repair. A study with 39:293306.
hydrocortisone and 21. Arnold F, West DC:
antimacrophage serum. Am J Angiogenesis in wound
Pathol 1975; 78:71100. healing. Pharmacol Ther
16. Bullard KM, Longaker MT, 1991; 52:407-422.
Lorenz HP: Fetal wound 22. Endrich B, Menger MD:
healing: current biology. Regeneration of the

16
microcirculation during Nat Cell Biol 2001; 3:E117
wound healing? E123.
Unfallchirurg 2000; 28. Clark RA, Lanigan JM,
103:10061008. DellaPelle P, Manseau E,
23. Madden JW, Peacock EE: Dvorak HF, Colvin RB:
Studies on the biology of Fibronectin and fibrin
collagen during wound provide a provisional matrix
healing. 3. Dynamic for epidermal cell migration
metabolism of scar collagen during wound
and remodeling of dermal reepithelialization. J Invest
wounds. Ann Surg 1971; Dermatol 1982; 79:264269.
174:511520. 29. Clark RA: Fibronectin in the
24. Lau K, Paus R, Tiede S, Day skin. J Invest Dermatol 1981;
P, Bayat A: Exploring the 6:475479.
role of stem cells in 30. Nobes CD, Hall A: Rho
cutaneous wound healing. GTPases control polarity,
Exp Dermatol 2009; 18:921 protrusion, and adhesion
933. during cell movement. J Cell
25. Miller SJ, Burke EM, Rader Biol 1999; 144:12351244.
MD, Coulombe PA, Lavker 31. Nobes CD, Hall A: Rho, rac,
RM: Re-epithelialization of and cdc42 GTPases regulate
porcine skin by the sweat the assembly of
apparatus. J Invest Dermatol multimolecular focal
1998; 110:1319. complexes associated with
26. Roh C, Lyle S: Cutaneous actin stress fibers,
stem cells and wound lamellipodia, and filopodia.
healing. Pediatr Res 2006; Cell 1995; 81:5362.
59:100R 103R. 32. Sorg H, Krueger C, Vollmar
27. Jacinto A, Martinez-Arias A, B: Intravital insights in skin
Martin P: Mechanisms of wound healing using the
epithelial fusion and repair. mouse dorsal skin fold

17
chamber. J Anat 2007; 39. Rowlatt U: Intrauterine
211:810818. wound healing in a 20 week
33. Nauta A, Gurtner G, human fetus. Virchows Arch
Longaker M: Wound healing A Pathol Anat Histol 1979;
and regenerative strategies. 381:353361.
Oral Dis 2011 18; 17:541 40. Whitby DJ, Ferguson MW:
549. The extracellular matrix of
34. Eckes B, Nischt R, Krieg T: lip wounds in fetal, neonatal
Cell-matrix interactions in and adult mice. Development
dermal repair and scarring. 1991; 112:651668.
Fibrogenesis Tissue Repair 41. Ferguson MW, OKane S:
2010;3:4. Scar-free healing: from
35. Barker TH: The role of ECM embryonic mechanisms to
proteins and protein adult therapeutic intervention.
fragments in guiding cell Philos Trans R Soc B Biol
behavior in regenerative Sci 2004; 359:839850.
medicine. Biomaterials 2011; 42. Colwell AS, Krummel TM,
32:42114214. Longaker MT, Lorenz HP:
36. Hinz B: Formation and An in vivo mouse excisional
function of the myofibroblast wound model of scarless
during tissue repair. J Invest healing. Plast Reconstr Surg
Dermatol 2007; 127:526 2006; 117:22922296.
537. 43. Somasundaram K, Prathap K:
37. Greenhalgh DG: The role of Intra-uterine healing of skin
apoptosis in wound healing. wounds in rabbit foetuses. J
Int J Biochem Cell Biol 1998; Pathol 1970; 100:8186.
30:10191030. 44. Cass DL, Bullard KM,
38. Gurtner GC, Evans GRD: Sylvester KG, Yang EY,
Advances in head and neck Longaker MT, Adzick NS:
reconstruction. Plast Reconstr Wound size and gestational
Surg 2000; 106:672682. age modulate scar formation
in fetal wound repair. J

18
Pediatr Surg 1997; 32:411 microscopic analysis of
415. scarless repair in the fetal rat:
45. Lorenz HP, Whitby DJ, defining the transition. Plast
Longaker MT, Adzick NS: Reconstr Surg 2002;
Fetal wound healing. The 109:160170.
ontogeny of scar formation in 51. Rendl M, Lewis L, Fuchs E:
the non-human primate. Ann Molecular dissection of
Surg 1993; 217:391396. mesenchymal-epithelial
46. Lorenz HP, Lin RY, interactions in the hair
Longaker MT, Whitby DJ, follicle. PLoS Biol 2005;
Adzick NS: The fetal 3:e331.
fibroblast: the effector cell of 52. Soo C, Hu FY, Zhang X,
scarless fetal skin repair. Wang Y, Beanes SR, Lorenz
Plast Reconstr Surg 1995; HP, et al: Differential
96:12511261. expression of fibromodulin, a
47. Coolen N, Schouten K, transforming growth factor-
Middelkoop E, Ulrich MM: beta modulator, in fetal skin
Comparison between human development and scarless
fetal and adult skin. Arch repair. Am J Pathol 2000;
Dermatol Res 2010; 302:47 157:423433.
55. 53. Beanes SR, Dang C, Soo C,
48. Lane A: Human fetal skin Wang Y, Urata M, Ting K, et
development. Pediatr al: Down-regulation of
Dermatol 1986; 3:487491. decorin, a transforming
49. Whitby DJ, Ferguson MW: growth factor-beta modulator,
Immunohistochemical is associated with scarless
localization of growth factors fetal wound healing. J Ped
in fetal wound healing. Dev Surg 2001; 36:16661671.
Biol 1991; 147:207 215. 54. Wagers AJ, Christensen JL,
50. Beanes SR, Hu F-Y, Soo C, Weissman IL: Cell fate
Dang CMH, Urata M, Ting determination from stem
K, et al: Confocal

19
cells. Gene Ther 2002; JL, Mizel DE, et al: Mice
9:606612. lacking Smad3 show
55. Shizuru JA, Negrin RS, accelerated wound healing
Weissman IL: Hematopoietic and an impaired local
stem and progenitor cells: inflammatory response. Nat
clinical and preclinical Cell Biol 1999; 1:260266.
regeneration of the 60. Loots MA, Lamme EN,
hematolymphoid system. Zeegelaar J, Mekkes JR, Bos
Annu Rev Med 2005; JD, Middelkoop E:
56:509538. Differences in cellular
56. Cowin AJ, Brosnan MP, infiltrate and extracellular
Holmes TM, Ferguson MW: matrix of chronic diabetic
Endogenous inflammatory and venous ulcers versus
response to dermal wound acute wounds. J Invest
healing in the fetal and adult Dermatol 1998; 111:850
mouse. Dev Dyn 1998; 857.
212:385-393. 61. Ehrlich HP, Desmoulire A,
57. OKane S, Ferguson MW: Diegelmann RF, Cohen IK,
Transforming growth factor Compton CC, Garner WL, et
beta s and wound healing. Int al: Morphological and
J Biochem Cell Biol 1997; immunochemical differences
29:6378. between keloid and
58. Ashcroft G, Mills S, Lei K, hypertrophic scar. Am J
Gibbons L, Jeong MJ, Pathol 1994; 145:105113.
Taniguchi M, et al: Estrogen 62. Verhaegen PD, van Zuijlen
modulates cutaneous wound PP, Pennings NM, van Marle
healing by downregulating J, Niessen FB, van der Horst
macrophage migration CM, Middelkoop E:
inhibitory factor. J Clin Differences in collagen
Invest 2003; 111:13091318. architecture between keloid,
59. Ashcroft GS, Yang X, Glick hypertrophic scar,
AB, Weinstein M, Letterio normotrophic scar, and

20
normal skin: an objective Epidermis promotes dermal
histopathological analysis. fibrosis: role in the
Wound Repair Regen 2009; pathogenesis of hypertrophic
17:649656. scars. J Pathol 2005; 206:1
63. Xi-Qiao W, Ying-Kai L, 8.
Chun Q, Shu-Liang L: 67. Dabiri G, Tumbarello DA,
Hyperactivity of fibroblasts Turner CE, Van de Water L:
and functional regression of Hic-5 promotes the
endothelial cells contribute to hypertrophic scar
microvessel occlusion in myofibroblast phenotype by
hypertrophic scarring. regulating the TGF-beta1
Microvasc Res 2009; autocrine loop. J Invest
77:204211. Dermatol 2008; 128:2518
64. Aarabi S, Bhatt KA, Shi Y, 2525.
Paterno J, Chang EI, Loh SA, 68. Akaishi S, Ogawa R,
et al: Mechanical load Hyakusoku H: Keloid and
initiates hypertrophic scar hypertrophic scar: neurogenic
formation through decreased inflammation hypotheses.
cellular apoptosis. FASEB J Med Hypotheses 2008;
2007; 21:32503261. 71:3238.
65. Darby IA, Bisucci T, Pittet B, 69. Sarrazy V, Billet F, Micallef
Garbin S, Gabbiani G, L, Coulomb B, Desmoulire
Desmoulire A: Skin flap- A: Mechanisms of
induced regression of pathological scarring: role of
granulation tissue correlates myofibroblasts and current
with reduced growth factor developments. Wound Repair
and increased Regen 2011; 19:s10s15.
metalloproteinase expression.
J Pathol 2002; 197:117127.
66. Bellemare J, Roberge C,
Bergeron D, LopezValle CA,
Roy M, Moulin VJ:

21

Anda mungkin juga menyukai