Anda di halaman 1dari 27

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seiring berjalannya waktu dan kemajuan teknologi kebutuhan manusia


akan lahan juga terus bertambah. Di Bali sendiri hal ini dapat dilihat dari
menanjaknya harga tanah atau lahan dari tahun ke tahun yang tidak akan pernah
berhenti. Jika terus dibiarkan maka masalah akan terjadi contohnya banyak sawah
yang beralih fungsi menjadi gedung maupun pemukiman, lahan yang dulunya
adalah perkebunan maupun tegalan pun sudah sedikit demi sedikit mulai dijual
baik ke orang luar maupun orang lokal.

Salah satu cara untuk meminimalisir hal tersebut adalah memaksimalkan


lahan yang sudah ada sebagai pemukiman agar tidak semakin luas. Kita mulai
dengan membangun rumah atau gedung yang bertingkat. Walaupun berdampak
sedikit ini akan mengurangi kebutuhan masyarakat akan lahan pemukiman yang
baru. Masyarakat Bali memang cenderung jarang yang mau membangun rumah
atau gedung bertingkat. Ini dikarenakan biaya yang lebih mahal dibandingkan
rumah yang tidsak bertingkat.

Hal serupa juga terjadi di Desa Bondalem, Kecamatan Tejakula,


Kabupaten Buleleng. Walaupun pertumbuhan kebutuhan lahan pemukiman baru
tidak sepesat di Kota namun tetap saja kebutuhan akan lahan baru masih ada
terutama untuk tempat umum Desa salah satunya yaitu pasar. Saat ini pasar Desa
Bondalem sudah penuh sesak dengan pedagang ditambah pembeli yang
berdatangan. Hal ini menyebabkan banyak pedagang yang berdagang melebihi
batas pasar sampai ke pinggir jalan dan mengakibatkan arus lalulintas sangat
terganggu.Maka dari itu di pasar Desa Bondalem ini perlu dilakukan penataan
ulang dengan struktur bertingkat sehingga tidak ada lagi pedagang yang harus
berdagang di pinggir jalan dan tidak perlu menambah lahan yang sudah ada

.
1.2 Rumusan masalah

1. Bagaimana perencanaan denah pasar yang tertata ulang dengan baik?

2. Berapa dimensi dan profil baja yang dibutuhkan untuk membangun


pasar bertingkat sesuai dengan denah?

1.3 Tujuan

1. Untuk merencanakan denah pasar bertingkat yang tertata ulang dengan


baik.

2. Untuk mengetahui dimensi dan profil baja yang akan dibutuhkan untuk
struktur pasar bertingkat.

1.4 Batasan perencanaan

Agar penulisan tidak menyimpang dari tujuan yang direncanakan sehingga


mempermudah mendapat data dan informasi, maka saya menetapkan
batasan-batasan sebagai berikut :
1. Tahapan perencanaan struktur pasar bertingkat ini mengacu pada
Perencanaan Struktur Baja dengan Metode LRFD.
2. Untuk analisis struktur menggunakan program SAP 2000 dan dalam
tugas akhir ini tidak mencakup perhitungan biaya/RAB.
II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perencanaan Struktur

Perencanaan struktur dapat didefinisikan sebagai campuran antara seni


dan ilmu pengetahuan yang dikombinasikan dengan intuisi seorang ahli
struktur mengenai perilaku struktur dengan dasar-dasar pengetahuan dalam
statika, dinamika, mekanika bahan, dan analisa struktur, untuk menghasilkan
suatu struktur yang ekonomis dan aman, selama masa layannya.
Hingga tahun 1850 perencanaan struktur merupakan suatu seni yang
berdasarkan pada intuisi untuk menentukan ukuran dan susunan elemen
struktur. Dengan berkem- bangnya pengetahuan mengenai perilaku struktur
dan material, maka perencanaan struktur menjadi lebih ilmiah.
Perhitungan yang melibatkan prinsip-prinsip ilmiah harus dijadikan
dasar dalam pen- gambilan keputusan, namun tidak diikuti secara membabi
buta. Pengalaman intuisi seorang ahli struktur digabungkan dengan hasil-hasil
perhitungan ilmiah akan menjadi suatu dasar proses pengambilan keputusan
yang baik.
Tujuan dari perencanaan struktur menurut Tata Cara Perencanaan
Struktur Baja Untuk Bangunan Gedung (SNI 03-1729-2002) adalah
menghasilkan suatu struktur yang stabil, cukup kuat, mampu layan, awet, dan
memenuhi tujuan-tujuan lainnya seperti ekonomi dan kemudahan
pelaksanaan. Suatu struktur disebut stabil jika tidak mudah terguling, miring,
atau tergeser selama umur rencana bangunan. Risiko terhadap kegagalan
struktur dan hilangnya kemampulayanan selama umur rencananya juga harus
diminimalisir dalam batas-batas yang masih dapat diterima. Suatu struktur
yang awet semestinya tidak memerlukan biaya perawatan yang terlalu
berlebihan selama umur layannya.
Perencanaan adalah sebuah proses untuk mendapatkan suatu hasil
yang optimum. Suatu struktur dikatakan optimum apabila memenuhi
kriteria-kriteria berikut:

a. Biaya minimum
b. Berat minimum
c. Waktu konstruksi minimum
d. Tenaga kerja minimum
e. Biaya manufaktur minimum
f. Manfaat maksimum pada saat masa layan
Kerangka perencanaan struktur adalah pemilihan susunan dan ukuran
dari elemen struktur sehingga beban yang bekerja dapat dipikul secara aman,
dan perpindahan yang terjadi masih dalam batas-batas yang disyaratkan.
Prosedur perencanaan struktur secara iterasi dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Perancangan. Penetapan fungsi dari struktur
b. Penetapan konfigurasi struktur awal (preliminary)
sesua1 langkah 1 termasuk pemilihan jenis material
yang akan digunakan
c. Penetapan beban kerja struktur
d. Pemilihan awal bentuk dan ukuran elemen struktur
berdasarkan langkah 1, 2, 3
e. Analisa struktur. Untuk memperoleh gaya-gaya dalam dan
perpindahan elemen
f. Evaluasi. Apakah perancangan sudah optimum sesuai yang
diharapkan
g. Perencanaan ulang langkah 1 hingga 6
h. Perencanaan akhir, apakah langkah 1 hingga 7 sudah
memberikan hasil optimum

Salah satu tahapan penting dalam perencanaan suatu struktur bangunan


adalah pemilihan jenis material yang akan digunakan. Jenis-jenis material
yang selama ini dikenal dalam dunia konstruksi antara lain adalah baja, beton
bertulang, serta kayu. Material baja sebagai bahan konstruksi telah digunakan
sejak lama mengingat beberapa keunggulannya dibandingkan material yang
lain. Beberapa keunggulan baja sebagai material konstruksi, antara lain
adalah:
1. Mempunyai kekuatan yang tinggi, sehingga dapat mengurangi
ukuran struktur serta mengurangi pula berat sendiri dari
struktur. Hal ini cukup menguntungkan bagi struktur-struktur
jembatan yang panjang, gedung yang tinggi atau juga
bangunan-bangunan yang berada pada kondisi tanah yang
buruk.
2. Keseragaman dan keawetan yang tinggi, tidak seperti halnya
material beton bertulang yang terdiri dari berbagai macam
bahan penyusun, material baja jauh lebih seragam/homogen
serta mempunyai tingkat keawetan yang jauh lebih tinggi jika
prosedur perawatan dilakukan secara semestinya.
3. Sifat elastis, baja mempunyai perilaku yang cukup dekat
dengan asumsi-asumsi yang digunakan untuk melakukan
analisa, sebab baja dapat berperilaku elastis hingga tegangan
yang cukup tinggi mengikuti Hukum Hooke. Momen inersia
dari suatu profil baja juga dapat dihitung dengan pasti sehingga
memudahkan dalam melakukan proses analisa struktur.
4. Daktilitas baja cukup tinggi, karena suatu batang baja yang
menerima tegangan tarik yang tinggi akan mengalami regangan
tarik cukup besar sebelum terjadi keruntuhan.
5. Beberapa keuntungan lain pemakaian baja sebagai material
konstruksi adalah kemudahan penyambungan antarelemen yang
satu dengan lainnya menggunakan alat sambung las atau baut.
Pembuatan baja melalui proses gilas panas meng- akibatkan
baja menjadi mudah dibentuk menjadi penampang-penampang
yang diinginkan. Kecepatan pelaksaan konstruksi baja juga
menjadi suatu keunggulan material baja.
Selain keuntungan-keuntungan :yang disebutkan tersebut, material baja
juga memiliki beberapa kekurangan, terutama dari sisi pemdiharaan.
Konstruksi baja yang berhubungan langsung dengan udara atau air, secara
periodik harus dicat. Perlindungan terhadap bahaya kebakaran juga harus
menjadi perhatian yang serius, sebab material baja akan mengalami
penurunan kekuatan secara drastis akibat kenaikan temperatur yang cukup
tinggi, di samping itu baja juga merupakan konduktor panas yang baik,
sehingga nyala api dalam suatu bangunan justru dapat menyebar dengan lebih
cepat.
2.1.1 Material baja

Baja yang akan digunakan dalam struktur dapat diklasifikasikan menjadi


baja karbon, baja paduan rendah mutu tinggi, dan baja paduan. Sifat-sifat
mekanik dari baja tersebut seperti tegangan leleh dan tegangan putusnya
diatur dalam ASTM A6/A6M.
a. Baja karbon
Baja karbon dibagi menjadi 3 kategori tergantung dari persentase
kand ungan karbonnya, yaitu: baja karbon rendah (C = 0,03-
0,35%), baja karbon medium (C = 0,35-0,50%), dan baja karbon
tinggi (C = 0,55-1,70%). Baja yang sering digunakan dalam
struktur adalah baja karbon medium, misalnya baja BJ 37.
Kandungan karbon baja medium bervariasi dari 0,25-0,29%
tergantung kete- balan. Selain karbon, unsur lain yang juga
terdapat dalam baja karbon adalah mangan (0,25-1,50%),
Silikon (0,25-0,30%), fosfor (maksimal 0,04%) dan sulfur
(0,05%). Baja karbon menunjukkan titik peralihan leleh yang jelas,
seperti nampak dalam Gambar 2.4, kurva a. Naiknya
persentase karbon meningkat- kan tegangan leleh namun
menurunkan daktilitas, salah satu dampaknya adalah membuat
pekerjaan las menjadi lebih sulit. Baja karbon umumnya
memiliki tegangan leleh if) antara 210-250 MPa.
b. Baja paduan rendah mutu tinggi
Yang termasuk dalam kategori baja paduan rendah mutu tinggi
( high-strength low-alloy steel/HSLA) mempunyai tegangan
leleh berkisar antara 290-550 MPa dengan tegangan putus (f)
antara 415-700 MPa. Titik peralihan leleh dari baja ini
nampak dengan jelas (Gambar 2.4 kurva b). Penambahan
sedikit bahan-bahan paduan seperti chromium, columbium,
mangan, molybden, ni kel, fosfor, vanadium atau zirkonium
dapat memperbaiki sifat-sifat mekaniknya. Jika baja karbon
mendapatkan kekuatannya seiring dengan penambahan
persentase karbon, maka bahan-bahan paduan ini mampu
memperbaiki sifat mekanik baja dengan membentuk
mikrostruktur dalam bahan baja yang lebih halus.
c. Baja paduan
Baja paduan rendah (low alloy) dapat ditempa dan dipanaskan
untuk mem- peroleh tegangan leleh antara 550-760 MPa. Titik
peralihan leleh tidak tampak dengan jelas (Gambar 2.4 kurva c).
Tegangan leleh dari baja paduan biasanya ditentukan sebagai
tegangan yang terjadi saat timbul regangan permanen sebesar
0,2%, atau dapat ditentukan pula sebagai tegangan pada saat
regangan mencapai 0,5%.
Baut yang biasa digunakan sebagai alat pengencang
mempunyai tegangan putus minimum 415 MPa hingga 700 MPa.
Baut mutu tinggi mempunyai kandungan karbon maksimum 0,30%,
dengan tegangan putus berkisar antara 733 hingga 838 MPa.
Gambar 2.4 Hubungan tegangan-regangan tipikal. ( Sumber: Salmon &
Johnson, Steel Structures Design and Behavior, 4,1, ed.)

2.1.2 Sifat-sifat mekanik baja

Agar dapat memahami perilaku suatu struktur baja, maka seorang ahli
struktur harus memahami pula sifat-sifat mekanik dari baja. Model pengujian
yang paling tepat untuk mendapatkan sifat-sifat mekanik dari material baja
adalah dengan melakukan uji tarik terhadap suatu benda uji baja. Uji tekan
tidak dapat memberikan data yang akurat terhadap sifat-sifat mekanik
material baja, karena disebabkan beberapa hal antara lain adanya potensi
tekuk pada benda uji yang mengakibatkan ketidakstabilan dari benda uji
tersebut, selain itu perhitungan tegangan yang terjadi di dalam benda uji lebih
mudah dilakukan untuk uji tarik daripada uji tekan. Gambar 2.5 dan 2.6
menunjukkan suatu hasil uji tarik material baja yang dilakukan pada suhu
kamar serta dengan memberikan laju regangan yang normal. Tegangan nominal
(/) yang terjadi dalam benda uji diplot pada sumbu vertikal, sedangkan
regangan (E) yang merupakan perbandingan antara pertam- bahan panjang
dengan panjang mula-mula (11.LIL) diplot pada sumbu horizontal. Gambar
2.5 merupakan hasil uji tarik dari suatu benda uji baja yang dilakukan hingga
benda uji mengalami keruntuhan, sedangkan Gambar 2.6 menunjukkan
gambaran yang lebih detail dari perilaku benda uji hingga mencapai
regangan sebesar 2%.

Gambar 2.5 Kurva Hubungan Tegangan (fj vs Regangan (E)

Gambar 2.6 Bagian Kurva Tegangan - Regangan yang Diperbesar


Titik-titik penting dalam kurva tegangan-regangan antara lain adalah:

p
i : batas proporsional
J; : batas elastis
ly+u, J+J' : tegangan leleh atas dan bawah

f, : tegangan putus

E,h : regangan saat mulai terjadi efek strain-hardening


(penguatan regangan)

E : regangan saat tercapainya tegangan putus

Titik-titik penting ini membagi kurva tegangan-regangan menjadi beberapa


daerah sebagai berikut:
1. Daerah linear antara
p O clan J,,, dalam daerah ini berlaku
Hukum Hooke,
kemiringan dari bagian kurva yang lurus ini disebut
sebagai Modulus Elastisitas atau Modulus Young,
E (= fl E )
2. Daerah elastis antara O clan J; pada daerah ini jika beban
dihilangkan maka benda
uji akan kembali ke bentuk semula atau dikatakan bahwa
benda uji tersebut masih bersifat elastis.
3. Daerah plastis yang dibatasi oleh regangan antara
2% hingga 1,2-1,5%, pada bagian ini regangan
mengalami kenaikan akibat tegangan konstan
sebesar J;.
Daerah ini dapat menunjukkan pula tingkat
daktilitas dari material baja terse- but. Pada
baja mutu tinggi terdapat pula daerah plastis,
namun pada daerah ini tegangan masih
mengalami kenaikan. Karena itu baja jenis ini
tidak mempunyai daerah plastis yang benar-
benar datar sehingga tak dapat dipakai dalam
analisa plastis
4. Daerah penguatan regangan ( strain-hardening) antara Esh
dan E , Untuk regangan
1

lebih besar dari 15 hingga 20 kali regangan


elastis maksimum, tegangan kem- bali
mengalami kenaikan namun dengan kemiringan
yang lebih kecil daripada kemiringan daerah
elastis. Daerah ini dinamakan daerah
penguatan regangan ( strain-hardening), yang
berlanjut hingga mencapai tegangan putus.
Kemiringan daerah ini dinamakan modulus
penguatan regangan ( E)

Dalam perencanaan struktur baja, SNI 03-1729-


2002 mengambil beberapa sifat-sifat mekanik dari
material baja yang sama yaitu:
Modulus Elastisitas, E = 200.000 MPa
Modulus Geser, G = 80.000 Mpa
Angka poisson = 0.30
Koefisien muai panjang, a = 12.10

Sedangkan berdasarkan tegangan leleh dan tegangan


putusnya, SNI 03-1729-2002 mengklasifikasikan mutu
dari material baja menjadi 5 kelas mum sebagai
berikut:
Tabel 2.1 Sifat Mekanis Baja Struktural
Tegangan Putus Tegangan Leleh Peregangan
Jenis Baja Minimum Minimum Minimum
fu Mpa fy Mpa (%)
BJ 34 340 210 22
BJ 37 370 240 20
Bj 41 410 250 18
BJ 50 500 290 16
BJ 55 550 410 13
Sumber : SNI-03-1729-2002hal.11

2.1 Beban

Beban adalah gaya luar yang bekerja pada suatu


struktur. Penentuan secara pasti besarnya beban
yang bekerja pada suatu struktur selama umur
layannya merupakan salah satu pekerjaan yang
cukup sulit. Dan pada umumnya penentuan besarnya
beban hanya merupakan suatu estimasi saja.
Meskipun beban yang bekerja pada suatu lokasi dari
struk- tur dapat diketahui secara pasti, namun
distribusi beban dari elemen ke elemen, dalam
suatu struktur umumnya memerlukan asumsi clan
pendekatan. Jika beban-beban yang bekerja pada
suatu struktur telah diestimasi, maka masalah
berikutnya adalah menentukan kombinasi-kombinasi
beban yang paling dominan yang mungkin bekerja
pada struktur tersebut. Besar beban yang bekerja
pada suatu struktur diatur oleh peraturan
pembebanan yang berlaku, sedangkan masalah
kombinasi dari beban-beban yang bekerja telah
diatur dalam SNI 03-1729-2002 pasal 6.2.2 yang
akan dibahas kemudian. Beberapa jenis beban yang
sering dijumpai antara lain:
a. Behan Mati, adalah berat dari semua
bagian suatu gedung/bangunan yang ber- sifat
tetap selama masa layan struktur, termasuk
unsur-unsur tambahan, finishing, mesin-mesin
serta peralatan tetap yang merupakan bagian
tak terpisahkan dari gedung/bangunan
tersebut. Termasuk dalam beban ini adalah
berat struktur, pipa- pipa, saluran listrik, AC,
lampu-lampu, penutup lantai, clan plafon. .
Beberapa contoh berat dari beberapa
komponen bangunan penting yang
digunakan untuk menentukan besarnya beban
mati suatu gedung/bangunan diperlihatkan
dalam tabel 2.1 berikut ini :
Bahan Bangunan Berat
Baja 7850 kg/m3
Beran 2200 kg/m
Beran bertulang 2400 kg/m
Kayu (kelas 1) 1000 kg/m
Pasir (kering udara) 1600 kg/m
Komponen gedung
Spesi dan semen per cm 21 kg/m2
tebal
Dinding bata merah 250 kg/m2
Penutup atap genting 50 kg/m2
Penutup lantai ubin 24 kg/m2
semen per cm tebal

( Sumber: Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung,


1983)

b. Behan Hidup, adalah beban gravitasi yang


bekerja pada struktur dalam masa
layannya, dan timbul akibat penggunaan
suatu gedung. Termasuk beban ini adalah
berat manusia, perabotan yang dapat
dipindah-pindah, kendaraan, dan barang-
barang lain. Karena besar dan lokasi
beban yang senantiasa berubah- ubah,
maka penentuan beban hidup secara pasti
adalah merupakan suatu hal yang cukup
sulit. Beberapa contoh beban hidup
menurut kegunaan suatu ban- gunan,
ditampilkan dalam Tabel 2.2 berikut :

Kegunaan bangunan Berat

Lantai dan tangga rumah 125 kg/m 2


tinggal sederhana

Lantai sekolah, ruang 250 kg/m2


kuliah, kanror, toko,
toserba, restoran, hotel,
asrama, dan rumah sakit

Lanrai 400
ruang
kg/m2
olah
raga

Lanrai pabrik, bengkel, 400 kg/m 2


gudang, perpustakaan,
ruang arsip, roko buku,
ruang mesin, dan lain-
lain

Lantai gedung parkir 800 kg/m 2


bertingkat, untuk lantai
bawah

( Sumber: Peraturan Pembebanan


Indonesia Untuk Gedung, 1983)

Beban Hidup pada Lantai

Beban hidup pada lantai gedung harus diambil menurut tabel 3.1
kedalam beban hidup tersebut sudah termasuk perlengkapan ruang
sesuai dengan kegunaan lantai ruangan yang besangkutan, dan juga
dindingdinding pemisah ringan dengan berat tidak lebih dari 100
kg/m. Bebanbeban berat, misalnya disebabkan oleh lemari lemari
arsip dan perpustakaan serta oleh alatalat, mesinmesin dan barang
barang lain tertentu yang sangat berat, yang harus ditetukan sendiri.
Adapun beban hidup pada lantai gedung antara lain :

B. Tabel 2. 3 Pembebanan Beban Hidup Pada


Gedung

BEBAN HIDUP PADA LANTAI GEDUNG Berat


a Lantai dan tangga rumah tinggal kecuali yang disebut dalam 200 Kg/m2
b.
b Lantai dan tangga rumah sederhana dan gudang-gudang 125 Kg/m2
tidak penting yang bukan untuk toko, pabrik atau bengkerl.
c Lantai sekolah, ruang kuliah kantor, toko, toserba, restoran, 250 Kg/m2
hotel, asrama dan rumah sakit.
d Lantai ruang olah raga 400 Kg/m2
e Lantai ruang dansa 500 Kg/m2
f Lantai dan balkon dalam dari ruang-ruang untuk pertemuan 400 Kg/m2
yang lain dari pada yang disebut dalam a s/d e, seperti
mesjid, gereja, ruang pagelaran, ruang rapat, bioskop dan
panggung penonton

g Panggung penonton dengan tempat duduk tidak tetap atau 500 Kg/m2
penonton yang berdirir
h Tangga, bordes tangga dan gang dari yang disebut dalam c 300 Kg/m3

i Tangga, bordes tangga dan gang dari yang disebut dalam d, 500 Kg/m3
e, f dan g
j Lantai ruang pelengkap dari yang disebut dalam c, d, e, f 250 Kg/m2
dan g
k Lantai untuk pabrik, bengkel, gudang, perpustakaan, ruang 400 Kg/m2
arsip, toko buku, toko besi, ruang alat-alat dan ruang mesin,
harus direncakanterhadap beban hidup yang ditentukan

l tersendiri dengan
Lantai gedung minimum
parkir bertingkat :
- untuk lantai bawah 800 Kg/m2
- untuk lantai tingkat lainnya 400 Kg/m2

m Balkon-balkon yang menjorok bebas keluar harus 300 Kg/m2


direncanakan terhadap beban hidup dari lantai ruang yang
berbatasan, dengan minimum
(sumber : Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung 1983)

Beban Hidup pada Atap

Beban hidup pada atap serta pada struktur tudung (canopy) yang dapat
dicapai dan dibebani oleh orang, harus diambil minimum sebesar 100
kg/m2 bidang datar. Atap dan/atau bagian atap yang tidak dapat dicapai
dan dibebani oleh orang, harus diambil yang menentukan (terbesar) dari:
- Beban terbagi rata air hujan

- Beban terpusat berasal dari seorang pekerja atau seorang pemadam


kebakaran dengan peralatannya sebesar minimum 100 kg.
Balok tepi atau gordeng tepi dari atap yang tidak cukup ditunjang oleh
dinding atau penunjang lainnya dan pada kantilever harus ditinjau
kemungkinan adanya beban hidup terpusat sebesar minimum 200 kg.

c. Behan Angin, adalah beban yang bekerja


pada struktur akibat tekanan-tekanan dari
gerakan angin. Beban angin sangat tergantung
dari lokasi dan ketinggian dari struktur.
Besarnya tekanan tiup harus diambil
minimum sebesar 25 kg/m2, kecuali untuk
bangunan-bangunan berikut:
1. Tekanan tiup di tepi laut hingga 5 km
dari pantai harus diambil minimum

40 kg/m2
2. Untuk bangunan di daerah lain yang
kemungkinan tekanan tiupnya lebih

dari 40 kg/m 2 , harus diambil sebesar

p = 1/2116 (kg/m2 ), dengan V adalah


kecepatan angin dalam m/ s
Untuk cerobong, tekanan tiup dalam kg/m2
harus ditentukan dengan ru- mus (42,5 +
0,6h), dengan h adalah tinggi cerobong
seluruhnya dalam meter. Nilai tekanan tiup
yang diperoleh dari hitungan di atas harus
dikalikan dengan suatu koefisien angin,
untuk rnendapatkan gaya resultan yang
bekerja pada bi- dang kontak tersebut.

d. Behan Gempa. adalah


--semua beban statik
ekivalen yang bekerja pada struktur akibat
adanya pergerakan tanah oleh gem pa bumi,
baik pergerakan arah vertikal maupun
horizontal. Namun pada umumnya
percepatan tanah arah horizontal lebih besar
daripada arah vertikalnya, sehingga pengaruh
gempa horizontal jauh lebih menentukan
daripada gempa vertikal. Besarnya gaya
geser dasar (statik ekivalen) ditentukan
berdasarkan persamaan
.
V= . dengan C adalah faktor respon gempa yang ditentukan

berdasarkan lokasi bangunan dan jenis tanahnya, I adalah faktor


keutamaan gedung, R adalah faktor reduksi gempa yang tergantung
pada jenis struktur yang bersangkutan, sedangkan W: adalah berat
total bangunan termasuk beban hidup yang bersesuaian. Untuk
merencanakan struktur bangunan tahan gempa, perlu diiketahui percepatan
yang terjadi pada batuan dasar. Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan, wilayah Indonesia dapat dibagi ke dalam 6 wilayah zona
gempa.
Struktur bangunan yang akan direncanakan terletak pada wilayah
gempa 4. Berikut ini adalah grafik dan tabel Respons Spektra pada wilayah
gempa zona 4 untuk kondisi tanah lunak, sedang, dan keras.
Respons Spektrum Gempa Rencana Wilayah 4 (Sumber: SNI 1729-
2002)

Berdasarkan SNI 1726-2002, beban geser dasar nominal statik ekivalen


(V) yang terjadi di tingkat dasar dapat dihitung berdasarkan persamaan:

Dimana :
C1 = Nilai faktor respons gempa yang didapat dari spektrum respons
gempa rencana

R = Faktor reduksi
gempa C = Koefisien
gempa dasar
I = Faktor keutamaan
struktur K = Faktor jenis
struktur
Wt = Berat total bangunan yaitu kombinasi beban mati dan beban hidup
vertikal yang direduksi yang bekerja diatas taraf penyempitan
lateral.

Cd = Koefisien gempa dasar yang dimodifikasi sehubungan dengan


keutamaan dan sejenis struktur gedung (CIK).

V = Gaya geser dasar horisontal total akibat gaya


gempa. H = Tinggi gedung.
Berat total struktur Wt ditetapkan sebagai jumlah dari beban-beban
berikut ini:

1) Beban mati total dari struktur bangunan;

2) Bila digunakan dinding partisi pada perencanaan lantai maka harus


diperhitungkan tambahan beban sebesar 0,5 kPa;
3) Pada gudang-gudang dan tempat penyimpanan barang maka
sekurang- kurangnya 25% dari beban hidup rencana harus
diperhitungkan;
4) Beban tetap total dari seluruh peralatan dalam struktur bangunan
harus diperhitungkan.

2.3 Kombinasi Beban

Dua filosofi yang sering digunakan dalam perencanaan struktur


baja adalah perencanaan berdasarkan tegangan kerjal working
stress design (Allowable Stress Design!ASD) dan peren- canaan
kondisi batas/ limit states design ( Load and Resistance Factor
Design!LRFD). Metode ASD dalam perencanaan struktur
baja telah digunakan dalam kurun waktu kurang lebih 100
tahun. Dan dalam 20 tahun terakhir prinsip perencanaan
struktur baja mulai beralih ke konsep LRFD yang jauh
lebih rasional dengan berdasarkan pada konsep probabili-
tas. Untuk lebih memahami latar belakang pengembangan
metode LRFD dengan ilmu probabilitas, maka berikut akan
sedikit dibahas mengenai prinsip-prinsip dasar dalam ilmu
probabilitas. Dalam metode LRFD tidak diperlukan analisa
probabilitas secara penuh, terkecuali untuk situasi-situasi
tidak umum yang ridak diatur dalam peraturan.
Secara umum, suatu struktur dikatakan aman apabila
memenuhi persyaratan sebagai berikut:

Persamaan di atas merepresentasikan tahanan atau kekuatan dari


sebuah komponen atau sistem struktur. Dan bagian kanan
persamaan menyatakan beban yang harus dipikul struktur
tersebut. Jika tahanan nominal Rn dikalikan suatu faktor tahanan
</J maka akan diperoleh tahanan rencana. Namun demikian,
berbagai macam beban (beban mati, beban hidup, gempa, clan
lain-lain) pada bagian kanan persamaan 1.19 dikalikan suatu
faktor beban Y; untuk mendapatkan jumlah beban terfaktor
.!'J,:. Qi'
Dalam persamaan di atas tampak bahwa tahanan rencana harus
melebihi jumlah dari beban- beban kerja dikalikan dengan
suatu faktor beban. Penjumlahan beban-beban kerja ini yang
dinamakan sebagai kombinasi pembebanan. Menurut peraturan
baja Indonesia, SNI 03-1729-2002 pasal 6.2.2 mengenai
kombinasi pembebanan, dinyatakan bahwa dalam perencanaan
suatu struktur baja haruslah diperhatikan jenis-jenis kombinasi
pembebanan berikut ini:
a. 1,4D

b. l ,2D + l ,6 L + 0,5( La atau H )

c. l ,2D + l ,6( La atau H) + ( t.L atau 0,8W)

d. l ,2D + 1,3W + YrL + 0,5(La atau H )

e. 1,2D l ,OE + yL.L

f. 0,9D (1,3 W atau 1,0E)

dengan:
D adalah beban mati yang diakibatkan
oleh berat konstruksi permanen,
termasuk dinding, lantai atap, plafon, partisi
tetap, tangga dan peralatan layan tetap
L adalah beban hidup yang ditimbulkan
oleh penggunaan gedung, termasuk
kejut, tetapi tidak termasuk bcban
lingkungan seperti angin, hujan, dan lain-
lain
l, adalah beban hidup di atap yang ditimbulkan selama
perawatan oleh pekerja, peralatan,
1

dan material atau selama penggunaan biasa


oleh orang dan benda bergerak
H adalah beban hujan, tidak termasuk yang
diakibatkan genangan air
W adalah beban angin
E adalah beban gempa yang diten tukan dari
peraturan gempa Yr = 0,5 bila L < 5 kPa,
dan = 1 bila L 2. 5 kPa. Faktor beban
untuk L harus sama dengan 1,0 untuk
garasi parkir, daerah yang digunakan untuk
pertemuan um um dan semua daerah yang
memikul beban hid up lebih besar dari 5
kPa.
III METODELOGI
3.1 Lokasi dan Waktu
Lokasi perencanaan pasar bertingkat direncanakan di Pasar Desa
Bondalem, Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng, Bali.
Lokasi Proyek

Gambar 3.1 Lokasi Proyek Pasar Bertingkat


Sumber : googlearth

3.2 Data
Data yang dijadikan bahan acuan dalam pelaksanaan dan penyusunan
proposal ini dapat diklasifikasikan dalam dua jenis data, yaitu:
Data Primer

Data Sekunder

3.2.1 Data Primer


Data primer adalah data yang diperoleh dari lokasi rencana
pembangunan maupun hasil survey yang dapat langsung dipergunakan
sebagai sumber dalam perancangan struktur. Pengamatan langsung dilapangan
mencakup:
Letak atau lokasi rencana pembangunan struktur Pasar
Bertingkat

Kondisi lokasi rencana pembangunan struktur Pasar Bertingkat


Kondisi bangunan-bangunan yang ada disekitar lokasi Pasar

3.2.2 Data Sekunder


Data sekunder merupakan yang diperoleh peneliti dari sumber yang
sudah ada. Sebagai pendukung yang dipakai dalam proses pembuatan dan
penyusunan proposal ini. Yang termasuk dalam klasifikasi data sekunder ini
antara lain adalah literatur-literatur penunjang, grafik, tabel dan yang berkaitan
erat dengan proses perencanaan struktur baja pada pasar bertingkat.

Metode pengumpulan data yang dilaksanakan adalah:


Metode Literatur, yaitu suatu metode yang digunakan untuk
mengumpulkan data dengan cara mengumpulkan, mengidentifikasi,
mengolah data tertulis dan metode kerja yang dilakukan.
Metode Observasi, yaitu dengan melakukan pengamatan langsung ke
lokasi untuk mengetahui kondisi sebenarnya dilapangan.
Metode Kepustakaan, yaitu metode pengumpulan data atau bahan
yang diperoleh dari buku-buku kepustakaan.

3.3 Metode Perencanaan


Pada bagian ini berisi perhitungan-perhitungan mengenai perkiraan
awal dari dimensi bagian-bagian dari struktur pasar. Adapun dimensi
bangunan yang ditentukan pada bab ini antara lain adalah dimensi kolom,
dimensi pelat, dimensi balok, dimensi kuda-kuda dan dimensi gording.

Tahap - tahap perencanaan dan analisis perhitungan struktur


dilaksanakan pada seluruh struktur bangunan gedung. Tahapan perencanaan
dan analisis perhitungan beserta acuannya dalam perencanaan struktur
bangunan pasar bertingkat ini adalah sebagai berikut:

1. Perencanaan Kolom
Pada perencanaan dimensi kolom diambil daerah yang mengalami
pembebanan yang paling besar. data yang diperlukan untuk melakukan
perencanaan dimensi kolom adalah tebal plat, dimensi kolom, jumlah
lantai, tinggi tiap lantai dan jarak kolom.

2. Perencanaan Balok

Pada perencanaan dimensi balok diambil daerah yang mengalami


pembebanan yang paling besar. data yang diperlukan untuk melakukan
perencanaan dimensi balok adalah tebal plat, dimensi balok, jumlah
lantai, tinggi tiap lantai dan jarak kolom/panjang balok.

3. Perencanaan Kuda-kuda

Pada perencanaa kuda-kuda data yag diperlukan adalah dimensi kuda-


kuda, dimensi gording, jarak antar kuda-kuda, jarak antar gording,
penutup atap, dan bentang rencana bangunan.

4. Perencanaan Gording

Pada perencanaan gording data yag diperlukan adalah dimensi kuda-


kuda, dimensi gording, jarak antar kuda-kuda, jarak antar gording,
penutup atap, dan bentang rencana bangunan.

Anda mungkin juga menyukai