A Prospective Time-Course Study On Serological Testing For Human Immunodeficiency Virus, Hepatitis B Virus and Hepatitis C Virus With Blood Samples Taken Up To 48 H After Death
A Prospective Time-Course Study On Serological Testing For Human Immunodeficiency Virus, Hepatitis B Virus and Hepatitis C Virus With Blood Samples Taken Up To 48 H After Death
1
Institute of Forensic Medicine, University Hospital Hamburg-Eppendorf (UKE),
Martinistrasse, D-20246 Hamburg, Germany
2
University Tissue Bank, Institute of Transfusion Medicine, Charite
Universita tsmedizin Berlin, Charite platz 1, D-10117 Berlin, Germany
3
Institute of Medical Microbiology, Virology and Hygiene, University Hospital
Hamburg-Eppendorf (UKE), Martinistrasse, D-20246 Hamburg, Germany
PENDAHULUAN
Jaringan yang diambil dari donor yang sudah meninggal dunia atau disebut juga
cadaveric donors, di transplantasi dalam berbagai macam bidang medis. Yang paling
banyak dimanfaatkan adalah jaringan musculoskeletal (tulang, kartilago, tendon,
ligament, fascia) kornea, allograf kardiovaskular ( katup aorta dan pulmoner,
pericardium, vena, dan arteri). Di German, setiap tahunnya terdapat 30.000-35.000
transplantasi allogenik (Federal Ministry of Justice, 2010). Menggali riwayat kesehatan
dari donor merupakan suatu masalah yang dihadapi, karena informasi tersebut hanya bisa
didapatkan dari doctor yang bertanggung jawab pada pasien sewaktu dia hidup, atau
anggota keluarga yang biasanya tidak dapat diminta keterangannya pada kondisi berduka,
dan hal ini sering dianggap tabu. Tes serologi dan asam nukleat pada sampel darah donor,
yang teah mendapatkan transfusi darah berulang kali tidak terlalu akurat karena terjadi
hemodilusi. Penelitian telah menunjukkan bahwa angka terjadinya infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV), virus hepatitis B (HBV) dan virus hepatitis C (HCV)
pada pendonor jaringan lebih rendah dibandingkan dengan populasi normal, namun lebih
tinggi dibandingkan pendonor darah pertama kali (Zou et al., 2004). Hasil yang serupa
juga ditemukan pada studi yang diambil pada 12415 pendonor jaringan muskuloskeletal
di Australia (Yao et al., 2007). Lebih jauh lagi, rerata pendonor dibandingkan dengan
resipien atau penerima untuk organ kornea adalah 1:2, untuk transplantasi kardiovaskular
1:1 sampai 1:10, dan untuk musculoskeletal adalah mencapai 1:40.
Suatu studi prospektif mengenai pola parameter infeksi untuk HIV, HBV, dan
HCV pada kondisi post-mortem belum banyak tersedia saat ini. Namun, tujuan utama
dari studi ini adalah untuk menyelidiki bagaimana perubahan parameter laboratorium
post-mortem seiring dengan waktu pada orang yang terinfeksi HIV, HBV atau HCV.
Stabilitas post-mortem parameter ini dapat bertahan hingga 48 jam sehingga dapat
meningkatkan jumlah pendonor. Hal ini akan sangat bermanfaat untuk menurunkan
antrean transplantasi kornea di Eropa.
METODE
Studi ini diawasi, ditinjau, dan telah disetujui oleh Komite Etik Hamburg
Chamber of Physicians (AZ:WF-024/09).
Pengambilan sampel dan memproses darah. Sampel darah diambil sesaat tiba,
12, 24, 36, dan 48 jam post-mortem. Tempat pengambilan pungsi darah didesinfeksi
terlebih dahulu. Pengambilan menggunakan jarum steril TSK Supra hollow (2.006100;
TSK Laboratory), dan 20 ml jarum suntik (BD Discardit), 20 ml darah diambil dari
pembuluh darah tepi yang besar (femoralis, dan arteri dan/atau vena subklavia) lalu
dipindahkan ke tabung kosong berukuran 10 ml yang telah diberi label terlebih dahulu
(Harre CO,). Pada kasus tertentu, pengambilan darah langsung dari jantung terkadang
dibutuhkan. Sentrifugasi dan pemisahan serum dilakukan segera setelah sampel darah
didapatkan. Salah satu bagian serum disimpan dalam lemari pendingin dengan sushu 2-
6oC, dan dianalisis sampai dengan 12 jam di Institut mirkobiologi, virologi, dan higenitas
klinis, UKE. Bagian kedua dari serum dibekukan segera dalam suhu -80oC dan dites (9
bulan kemudian) di Institut transfuse di Charite, Berlin, German, sebagai kontrol.
Analisis. Di UKE, tes dilakukan menggunakan sistem AxSYM (Abbott
Diagnostic) menggunakan tes enzim mikropartikel. Alat tes kombo HIV Ag/Ab
digunakan untuk menguji Anti-HIV, HCV versi 3.0 kit digunakan untuk mencari anti-
HCV, HBsAg V2 kit digunakan untuk HBsAg, dan core kit untuk anti HBC (Semua
diperoleh dari Abbott Diagnostic). Pada kasus dimana volume serum terlalu sedikit pada
sistem AxSYM, digunakan lah microtitre enzyme immunoassays (Ortho HCV 3.0 kit
untuk anti-HCV, Siemens Enzygnost HBsAg 5.0 kit untuk HBsAg, dan Siemens
Enzygnost Anti- HBc Monoclonal kit untuk anti-HBc). Tes dilakukan berdasarkan
standar laboratorium kedokteran, dan spesifikasi khusus dari parbik. Laboratorium telah
memenuhi syarat kontrol kualitas baik internal maupun eksternal.
Hasil
Sampel serum yang diambil dari 30 orang meninggal telah dilakukan analisa,
termasuk dua individu yang mengalami infeksi keduanya (HIV/HIC, HBV/HCV). Rerata
jarak waktu antara waktu kematian dengan waktu sampainya jenazah adalah 5.9 jam
(tersingkat: 2 jam, terpanjang 13 jam). Tidak ada satupun jenazah yang menunjukkan
tanda-tanda dekomposisi. Seluruh serum sampel menunjukkan gambaran hemolisis
minimal secara makroskopik pada 36 jam post-mortem, dan hemolisis sedang hingga
berat pada 48 jam post-mortem. Pada serum sampel yang diambil segera, 12 jam, dan 24
jam post-mortem tidak nampak tanda-tanda patologi secara makroskopik. Untuk alas an
teknik atau logistic (volume darah yang rendah, izin yang lama dari keluarga, dan
masalah forensik lainnya), tidak dimungkinkan mengambil darah pada setiap waktu.
Sebagai tambahan, uji kontrol menggunakan Siemens dan Orto tidak mungkin dilakukan
pada seluruh kasus.
HIV
Dari total 6 orang meninggal ( 5 laki-laki, 1 perempuan) berusia 37-61 tahun yang
diteliti. Seluruh subjek memiliki hasil positif pada pemeriksaan anti-HIV pertama kali (
sesaat datang atau 12 jam post-mortem) (Tabel 1). Pada pemeriksaan post-mortem
lanjutan sampai dengan 48 jam setelahnya tetap menunjukkan hasil positif. Tidak ada
hasil yang meragukan. Seluruh hasil telah dikonfirmasi menggunakan uji kontrol oleh
Siemens (setelah 8-10 bulan di lemari pendingin bersuhu -70oC)
HCV
HBV
Ke-9 subjek menunjukkan hasil postif untuk anti-HBc saat kedatangan dan
pada seluruh interval waktu sampai dengan 48 jam post-mortem ( sampai 36 jam
pada satu kasus)(Tabel 4). Namun, uji kontrol yang dilakukan menggunakan
Siemens assay setelah serum disimpan pada suhu -70oC untuk 8-10 bulan
mendapatkan hasil yang berlawanan yaitu hasil anti-HBc negative pada 5 dari 32
sampel. Ke-5 sampel ini merupakan subjek dengan HBsAg negative. Pada satu
kasus ( 3 sampel), pemeriksaan primer menggunakan sistem AxSYM
menunjukkan hanya memiliki reaktifitas yang rendah untuk anti HBc (Tabel 4,
Pasien 8).
Kelompok Kontrol
Terdapat 12 pendonor kornea yang sudah meninggal, yang telah diketahui hasil
negative untuk serologinya. Sampai dengan 48 jam post-mortem, seluruh hasil HIV,
HBV, dan HCV tetap menunjukan hasil negatif. Tidak ada hasil meragukan yang didapat.
Tidak ada perubahan signifikan secara statistik yang ditemukan berdasarkan analisis
regresi linear untuk anti-HIV, anti-HCV, HBsAg, dan anti HBc yang membandingkan
hasil 48 jam post-mortem pada pertama kali pemeriksaan dan hasil saat pertama kali
datang, dan 12, 24, dan 36 jam (P > | T |, ambang 0.117-0.971, a = 0.05).
DISKUSI
Pada studi ini, untuk pertama kalinya, progresi parameter serologi untuk HIV,
HBV, dan HC post-mortem dengan perbandingan waktu diteliti secara prospektif. Pada
ke-6 orang meninggal dengan anti-HIV positif, deteksi antibody bisa dilakukan sampai
dengan 48 jam post-mortem. Lebih lagi, pada kasus diamana 16 anti-HCV positif dan 5
dengan HBsAg positif, dan 8 dengan anti-HBc positif, hasilnya dapat dengan jelas
dikonfirmasi sampai 48 jam post-mortem. Pada seluruh kasus dimana hasil awalnya
menunjukkan hasil positif, tidak ada hasil yang meragukan pada pemeriksaan
selanjutnya. Hasil ini mengindikasikan stabilitas antibodi dan antigen yang tinggi pada
proses post-mortem. Perbedaan dapat dilihat antara pemeriksaan inisial menggunakan
sistem AxSYM anti-HBC test dan Siemens anti-HBC test. 5 dari 32 sampel yang
menunjukkan hasil positif sebelumnya memberikan gambaran anti-HBC yang negatif
pada uji kontrol. Kemungkinan adalah karena titer anti-HBc yang rendah dan perbedaan
dependensi terhadap uji tertentu.
Nilai sensitivitasnya dari 94-97% dan spesifisitasnya mencapai 99%. Reaksi yang
mengahsilkan nilai positif palsu menunjukkan tidak ada korelasi dengan terjadinya
hemolisis. Dari 35 donor dengan HIV Positif, 34 dikonfirmasi memiliki nilai yang benar-
benar positif. Satu sampel didapatkah hasil negative palsu walaupun dengan sistem tes
multipel (Pepose et al., 1987). Penulis melibatkan hasil ini pada titer reduksi antibody
HIV (Essex et al.,1985), menyoroti pentingnya mendalami riwayat medis pendonor. Pada
kelompok yang sama pada studi yang berbeda, pada HBsAg, menunjukkan sensitivitas
sebesar 92.9%. Untuk nilai spesifisitas, dibandingkan dengan radioimmunoassay,
menunjukkan angka 81.3% (409 sampel). Laycock et al. (1997) menginvestigasi 101
sampel darah dari kadaver pendonor kornea, dari 8 bank kornea tanpa memilih waktu
kematian yang spesifik. Dari 101 kadaver, 70 telah terbukti positif, 31 negatif
menggunakan uji HCV EIA versi 1.0 (Abbott Laboratories). Sampel tersebut kemudian
diuji ulang di Abbott Laboratories menggunakana uji HCV EIA vesi 2.0 dan Matrix
HCV recombinant immune-blot assay sebagai nilai rujukan standar. Hasilnya
menunjukkan nila sensitifitas sebesar 100% dan spesifisitas sebesar 93% untuk
HCV EIA versi 2.0. Hanya 3 dari 15 sampel dengan serologi HCV positif dimana
genom HCV bisa diverifikasi (Laycock et al., 1997). Pada penelitian mengenai
sampel darah dari pendonor kornea (33 pre-mortem vs 33 post-mortem sampel
dari donor yang sama), Heim et al. (1999) menemukan 17 dari 33 kasus, hasilnya
tidak cocok. Pada 17 kasus yang tidak cocok, 16 diantaranya HBsAg post-
mortemnya positif palsu, dan satu kasus hasil post-mortem anti-HCVnya negatif
palsu. Melakukan uji korespondensi pada serum pre-mortem didapatkan anti-HCV
yang positif dimana telah dikonfirmasi oleh RIBA HCV strip immunoassay.
Gambaran profil DNA forensik kedua serum sampel membuktikan bahwa kedua
sampel tersebut diambil dari individu yang sama. Walaupun kedua serum sampel
dari donor menghasilkan hasil yang negative untuk HCV RNA, penulis
berpendapat bahwa terdapat penggunaan PCR HCV pada sampel darah pendonor
konea (Heim et al., 1999). Studi penting lainnya yaitu oleh Challine et al. (2006).
Terdapat total 565 pendonor kornea yang diuji secara sistematis atau diperiksa
berdasarkan anti-HIV, anti-HCV, HBsAg, anti-HBc, dan perubahan
makrosopiknya.
Implementasi uji asam nukleat untuk HIV, HBV, dan HCV sangat
bermanfaat namun tergantung dari tipe jaringan donornya: rasio resipien (Pruss et
al., 2010). Pada akhirnya, untuk memeriksa sampel yang diperoleh post-mortem,
hanya ada beberap tes yang telah divalidasi dan diakui oleh CE (European
Conformity). Validasi individu pada penggunaan sampel post-mortem dan
prosedur yang sesuai haruslah dilakukan sesegera mungkin, untuk mendapatkan
diagnosis yang terpercaya. (Kitchen & Newham, 2011).