Anda di halaman 1dari 11

Studi prospektif berdasarkan waktu mengenai

Tes Serologi untuk HIV, virus hepatitis B dan


virus hepatitis C pada sampel darah yang
diambil sampai 48 jam setelah kematian.
Carolin Edler,13 Birgit Wulff,13 Ann-Sophie Schro der,1 Ina
Wilkemeyer,2 Susanne Polywka,3 Thomas Meyer,3 Ulrich Kalus23
and Axel Pruss23

1
Institute of Forensic Medicine, University Hospital Hamburg-Eppendorf (UKE),
Martinistrasse, D-20246 Hamburg, Germany

2
University Tissue Bank, Institute of Transfusion Medicine, Charite
Universita tsmedizin Berlin, Charite platz 1, D-10117 Berlin, Germany

3
Institute of Medical Microbiology, Virology and Hygiene, University Hospital
Hamburg-Eppendorf (UKE), Martinistrasse, D-20246 Hamburg, Germany

Transmisi patogen infeksius baik virus maupun non-virus merupakan suatu


kejadian potensial serius yang paling tidak diinginkan dari sebuah transplantasi jaringan
alogenik. petunjuk EU, 2006/17/EC telah menetapkan bahwa spesimen darah dari
kadaver untuk tes serologi dalam hal donasi jaringan post-mortem harus diambil kurang
dari 24 jam setelah kematian. Perpanjangan waktu dari waktu yang telah ditetapkan, akan
memperbaiki kemungkinan ketersediaan jaringan untuk donasi, namun belum ada data
yang meneliti mengenai stabilitas dan tes serologi terkait infeksi HIV, virus hepatitis C
(HCV), virus hepatitis B (HBV), antigen permukaan (HBsAg) dan antigen inti anti HBC
(HBc) pada sampel yang diambil setelah dari 24 jam post-mortem. Pada studi prospektif
ini, 30 sampel serum diambil dari Institute of Forensic Medicine (University Hospital
Hamburg-Eppendorf, Germany) dan pada tahun 12, 24, 36, dan 48 jam post-mortem.
Seluruh sampel diukur dua kali, pertama menggunakan sistem Abbott AxSYM, lalu
disimpan kurang lebih selama 9 bulan dalam lemari pendingin bersuhu -70oC
menggunakan sistem BEP, dan menggunakan reagen Siemens dan Ortho. Untuk HIV, 6
korban meninggal dengan riwayat pre-mortem dengan HIV dimasukkan pada kategori
ini. Pada seluruh sampel didapatkan (sesaat kematian, 12,24,36,48 jam) hasil yang
reaktif. Tidak didapatkan hasil yang tidak dapat ditentukan atau hasil negatif palsu. Untuk
HBV, 9 korban meninggal dimasukkan dalam kategori ini: 5 sampel terbukti positif
untuk HBsAg, dan terus menunjukkan hasil positif sampai 48 jam, dan 8 dari sampel
didapatkan hasil reaktif untuk anti-HBc sampai 48 jam dan 1 sampel bertahan sampai 36
jam post-mortem (sampel dengan 48 jam tidak tersedia). Hasil yang tidak dapat
ditentukan dan negatif palsu tidak ada. Data ini menunjukkan bahwa tes serolog infeksi
dapat diperpanjang suntuk sampel darah pada pendonor jaringan sampai dengan 48 jam
post-mortem untuk mendeteksi antibodi atau antigen untuk HIV, HBV, dan HCV.

PENDAHULUAN

Jaringan yang diambil dari donor yang sudah meninggal dunia atau disebut juga
cadaveric donors, di transplantasi dalam berbagai macam bidang medis. Yang paling
banyak dimanfaatkan adalah jaringan musculoskeletal (tulang, kartilago, tendon,
ligament, fascia) kornea, allograf kardiovaskular ( katup aorta dan pulmoner,
pericardium, vena, dan arteri). Di German, setiap tahunnya terdapat 30.000-35.000
transplantasi allogenik (Federal Ministry of Justice, 2010). Menggali riwayat kesehatan
dari donor merupakan suatu masalah yang dihadapi, karena informasi tersebut hanya bisa
didapatkan dari doctor yang bertanggung jawab pada pasien sewaktu dia hidup, atau
anggota keluarga yang biasanya tidak dapat diminta keterangannya pada kondisi berduka,
dan hal ini sering dianggap tabu. Tes serologi dan asam nukleat pada sampel darah donor,
yang teah mendapatkan transfusi darah berulang kali tidak terlalu akurat karena terjadi
hemodilusi. Penelitian telah menunjukkan bahwa angka terjadinya infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV), virus hepatitis B (HBV) dan virus hepatitis C (HCV)
pada pendonor jaringan lebih rendah dibandingkan dengan populasi normal, namun lebih
tinggi dibandingkan pendonor darah pertama kali (Zou et al., 2004). Hasil yang serupa
juga ditemukan pada studi yang diambil pada 12415 pendonor jaringan muskuloskeletal
di Australia (Yao et al., 2007). Lebih jauh lagi, rerata pendonor dibandingkan dengan
resipien atau penerima untuk organ kornea adalah 1:2, untuk transplantasi kardiovaskular
1:1 sampai 1:10, dan untuk musculoskeletal adalah mencapai 1:40.

Berdasarkan implementasi dari petunjuk EU pada surat keterangan 2004/23/EC


dan 2006/17/EC (Europian Union, 2004, 2006), ketentuan dasar dari donasi jaringan
terkait infeksi virus didefinisikan secara umum. Sementara ini, pemeriksaan serologi
untuk anti-HIV-1/2. Anti HCV. Antigen permukaan HBV (HBsAg), dan antigen inti anti
HBV (HBc) dan hemaglutinasi Treponema pallidum merupakan suatu keharusan, namun
untuk tes asam nukleat untuk HIV, HBV, dan HCV tidak secara eksplisit diharuskan.

Sampel darah pre-mortem dari pendonor kadaverik biasanya tidak didapatkan,


contohnya untuk pendonor yang berasalkan dari institusi kedokteran forensic (Pu schel et
al., 1991). Pada korban meninggal dir rumah sakit yang berpotensi mendonorkan
jaringannya, sampel darah pre-mortem biasanya juga tidak tersedia atau sudah terlalu
lama. Sampel darah yang baik seharusnya tidak lebih lama dari 7 hari, dan harus
disimpan dalam lemari pendingin bersuhu 2-8oC setelah sentrifugasi. Apabila sampel pre-
mortem seperti itu tidak tersedia, darah post-mortem dapat diambil sampai 24 jam paska
kematian, dan dapat digunakan sesuai dengan kebutuhan. Apabila darah sampai 24 jam
post-mortem tidak tesedia, sesuai dengan panduan EU, donasi jaringan tidak dapat
dilakukan, sehingga akan sia-sia pendonor yang potensial. Lebih lagi, tidak dapat
dilakukan pada korban dengan riwayat kematian yang tidak wajar, dimana hanya
diketahui waktu saat ditemukan, bukan waktu kematian yang legal.

Suatu studi prospektif mengenai pola parameter infeksi untuk HIV, HBV, dan
HCV pada kondisi post-mortem belum banyak tersedia saat ini. Namun, tujuan utama
dari studi ini adalah untuk menyelidiki bagaimana perubahan parameter laboratorium
post-mortem seiring dengan waktu pada orang yang terinfeksi HIV, HBV atau HCV.
Stabilitas post-mortem parameter ini dapat bertahan hingga 48 jam sehingga dapat
meningkatkan jumlah pendonor. Hal ini akan sangat bermanfaat untuk menurunkan
antrean transplantasi kornea di Eropa.
METODE

Meninggal. Studi ini memasukkan orang yang sudah meninggal dan


kemungkinan yang sangat tinggi atau sudah terbukti terinfeksi HIV dan/atau HBV
dan/atau HCV dan sebuah kelompok kontrol yang berasal dari pendonor kornea tanpa
infeksi ini. Kriteria inklusi ditentukan berdasarkan diagnosis yang didokumentasikan oleh
dokter rumah sakit pada surat kematian atau berdasarkan informasi yang diberikan
keluarga kepada dokter yang ada di IGD kasus forensik.

Sebelum mengambil sampel darah, keluarga terdekat diinformasikan terlebih


dahulu, dan diminta persetujuannya. Apabila terdapat kejadian kematian tidak wajar yang
telah dituliskan di surat kematian, persetujuan oleh autoritas hukum juga diperlukan,
untuk mengambil sampel darah. Saat datang di departemen kedokteran forensik UKE,
waktu kematian ditetapkan terlebih dahulu berdasarkan standar forensik, dan dilakukan
anamnesis terhadap kerabat mengenai riwayat infeksi. Kadaver selanjutnya disimpan
pada lemari pendingin di institut kedokteran forensik UKE dengan temperature 2-8o C.

Studi ini diawasi, ditinjau, dan telah disetujui oleh Komite Etik Hamburg
Chamber of Physicians (AZ:WF-024/09).

Pengambilan sampel dan memproses darah. Sampel darah diambil sesaat tiba,
12, 24, 36, dan 48 jam post-mortem. Tempat pengambilan pungsi darah didesinfeksi
terlebih dahulu. Pengambilan menggunakan jarum steril TSK Supra hollow (2.006100;
TSK Laboratory), dan 20 ml jarum suntik (BD Discardit), 20 ml darah diambil dari
pembuluh darah tepi yang besar (femoralis, dan arteri dan/atau vena subklavia) lalu
dipindahkan ke tabung kosong berukuran 10 ml yang telah diberi label terlebih dahulu
(Harre CO,). Pada kasus tertentu, pengambilan darah langsung dari jantung terkadang
dibutuhkan. Sentrifugasi dan pemisahan serum dilakukan segera setelah sampel darah
didapatkan. Salah satu bagian serum disimpan dalam lemari pendingin dengan sushu 2-
6oC, dan dianalisis sampai dengan 12 jam di Institut mirkobiologi, virologi, dan higenitas
klinis, UKE. Bagian kedua dari serum dibekukan segera dalam suhu -80oC dan dites (9
bulan kemudian) di Institut transfuse di Charite, Berlin, German, sebagai kontrol.
Analisis. Di UKE, tes dilakukan menggunakan sistem AxSYM (Abbott
Diagnostic) menggunakan tes enzim mikropartikel. Alat tes kombo HIV Ag/Ab
digunakan untuk menguji Anti-HIV, HCV versi 3.0 kit digunakan untuk mencari anti-
HCV, HBsAg V2 kit digunakan untuk HBsAg, dan core kit untuk anti HBC (Semua
diperoleh dari Abbott Diagnostic). Pada kasus dimana volume serum terlalu sedikit pada
sistem AxSYM, digunakan lah microtitre enzyme immunoassays (Ortho HCV 3.0 kit
untuk anti-HCV, Siemens Enzygnost HBsAg 5.0 kit untuk HBsAg, dan Siemens
Enzygnost Anti- HBc Monoclonal kit untuk anti-HBc). Tes dilakukan berdasarkan
standar laboratorium kedokteran, dan spesifikasi khusus dari parbik. Laboratorium telah
memenuhi syarat kontrol kualitas baik internal maupun eksternal.

Di Charite tes dilakukan menggunakan sistem BEP III (Siemens) menggunakan


tes ELISA. Alat uji Enzygnost Anti-HIV Plus (Siemens) digunakkan untuk mengecek
anti HIV, HCV versi 3.0 ELISA dengan SAVE yang diperbaiki (ortho) untuk anti HCV,
Enzygnost HBsAg versi 6.0 (Siemens) untuk HBsAg dan Enzygnost anti-HBC
monoclonal (Siemens) untuk anti-HBc. Tes dilakukan sesuai standar laboratorium medis,
termasuk spesifikasi dari alat-alat yang digunakan. Laboratorium ini juga memenuhi
syarat-syarat kontrol kualitas baik internal maupun eksternal.

Analisis Statistik. Analisis statistic dilakukan menggunakan software STATA


menggunakan windows, versi 10 (Stata Corp.). Menggunakan analisis regresi linear, hasil
pemeriksaan setelah 48 jam dibandingkan dengan hasil yang diambil sesaat, 12, 24, dan
36 jam post-mortem.

Hasil
Sampel serum yang diambil dari 30 orang meninggal telah dilakukan analisa,
termasuk dua individu yang mengalami infeksi keduanya (HIV/HIC, HBV/HCV). Rerata
jarak waktu antara waktu kematian dengan waktu sampainya jenazah adalah 5.9 jam
(tersingkat: 2 jam, terpanjang 13 jam). Tidak ada satupun jenazah yang menunjukkan
tanda-tanda dekomposisi. Seluruh serum sampel menunjukkan gambaran hemolisis
minimal secara makroskopik pada 36 jam post-mortem, dan hemolisis sedang hingga
berat pada 48 jam post-mortem. Pada serum sampel yang diambil segera, 12 jam, dan 24
jam post-mortem tidak nampak tanda-tanda patologi secara makroskopik. Untuk alas an
teknik atau logistic (volume darah yang rendah, izin yang lama dari keluarga, dan
masalah forensik lainnya), tidak dimungkinkan mengambil darah pada setiap waktu.
Sebagai tambahan, uji kontrol menggunakan Siemens dan Orto tidak mungkin dilakukan
pada seluruh kasus.

HIV

Dari total 6 orang meninggal ( 5 laki-laki, 1 perempuan) berusia 37-61 tahun yang
diteliti. Seluruh subjek memiliki hasil positif pada pemeriksaan anti-HIV pertama kali (
sesaat datang atau 12 jam post-mortem) (Tabel 1). Pada pemeriksaan post-mortem
lanjutan sampai dengan 48 jam setelahnya tetap menunjukkan hasil positif. Tidak ada
hasil yang meragukan. Seluruh hasil telah dikonfirmasi menggunakan uji kontrol oleh
Siemens (setelah 8-10 bulan di lemari pendingin bersuhu -70oC)

HCV

Dari total 20 orang meninggal (14 laki-laki, 6 perempuan) berusia 32-81


tahun, yang dilakukan penelitian. 3 kasus harus dikeluarkan dari studi karena
keluarga tidak memberikan persetujuan. 17 subjek sisanya terbukti anti-HCV
positif pada saat pemeriksaan pertama kali (sesaat datang, 12 atau 24 jam post-
mortem, dan 1 kasus 36 jam post-mortem) (Tabel 2). Ke-16 subjek ini tetap
menunjukkan hasil positif sampai 48 jam post-mortem. 1 subjek hanya dapat
diukur hingga 36 jam post-mortem karena ketidaktersediaannya sampel untuk
pengecekkan 48 jam. Hasil pada 36 jam post-mortem pun memberikan hasil
positif. (Tabel 2). Tidak ada hasil yang meragukan. Uji kontrol dilakukan oleh
Ortho assay (Setelah 8-10 bulan di lemari pendingin bersuhu -70oC)

HBV

Dari total 10 orang meninggal (6 laki-laki, 4 perempuan) berusia 32-74


tahun yang dilakukan penelitian. 1 kasus harus dikeluarkan dari studi karena
keluarga tidak memberikan persetujuan. 4 dari 9 kasus sisanya, menunjukkan hasil
HBsAg yang negatif, walaupun didapatkan riwayat infeksi yang positif. 5 subjek
lainnya memiliki hasil HBsAg positif pada uji pertama kali ( saat kedatangan, 12
atau 24 jam post-mortem) (Tabel 3). Pada satu subjek (Nomor 4), sampel 36 dan
48 jam post-mortem diuji menggunakan Siemens assay (Setelah 8-10 bulan di
lemari pendingin bersuhu -70oC) dan hanya sampel yang diambil 24 jam post-
mortem yang dilakukan uji keduanya. Ke-5 sampel tetap menunjukkan hasil yang
positif setelah 48 jam. Uji kontrol dilakukan menggunakan Siemens assay (Setelah
8-10 bulan di lemari pendingin bersuhu -70oC) telah mengkonfirmasi hasil yang
juga positif.

Ke-9 subjek menunjukkan hasil postif untuk anti-HBc saat kedatangan dan
pada seluruh interval waktu sampai dengan 48 jam post-mortem ( sampai 36 jam
pada satu kasus)(Tabel 4). Namun, uji kontrol yang dilakukan menggunakan
Siemens assay setelah serum disimpan pada suhu -70oC untuk 8-10 bulan
mendapatkan hasil yang berlawanan yaitu hasil anti-HBc negative pada 5 dari 32
sampel. Ke-5 sampel ini merupakan subjek dengan HBsAg negative. Pada satu
kasus ( 3 sampel), pemeriksaan primer menggunakan sistem AxSYM
menunjukkan hanya memiliki reaktifitas yang rendah untuk anti HBc (Tabel 4,
Pasien 8).

Kelompok Kontrol

Terdapat 12 pendonor kornea yang sudah meninggal, yang telah diketahui hasil
negative untuk serologinya. Sampai dengan 48 jam post-mortem, seluruh hasil HIV,
HBV, dan HCV tetap menunjukan hasil negatif. Tidak ada hasil meragukan yang didapat.
Tidak ada perubahan signifikan secara statistik yang ditemukan berdasarkan analisis
regresi linear untuk anti-HIV, anti-HCV, HBsAg, dan anti HBc yang membandingkan
hasil 48 jam post-mortem pada pertama kali pemeriksaan dan hasil saat pertama kali
datang, dan 12, 24, dan 36 jam (P > | T |, ambang 0.117-0.971, a = 0.05).
DISKUSI
Pada studi ini, untuk pertama kalinya, progresi parameter serologi untuk HIV,
HBV, dan HC post-mortem dengan perbandingan waktu diteliti secara prospektif. Pada
ke-6 orang meninggal dengan anti-HIV positif, deteksi antibody bisa dilakukan sampai
dengan 48 jam post-mortem. Lebih lagi, pada kasus diamana 16 anti-HCV positif dan 5
dengan HBsAg positif, dan 8 dengan anti-HBc positif, hasilnya dapat dengan jelas
dikonfirmasi sampai 48 jam post-mortem. Pada seluruh kasus dimana hasil awalnya
menunjukkan hasil positif, tidak ada hasil yang meragukan pada pemeriksaan
selanjutnya. Hasil ini mengindikasikan stabilitas antibodi dan antigen yang tinggi pada
proses post-mortem. Perbedaan dapat dilihat antara pemeriksaan inisial menggunakan
sistem AxSYM anti-HBC test dan Siemens anti-HBC test. 5 dari 32 sampel yang
menunjukkan hasil positif sebelumnya memberikan gambaran anti-HBC yang negatif
pada uji kontrol. Kemungkinan adalah karena titer anti-HBc yang rendah dan perbedaan
dependensi terhadap uji tertentu.

Menurut pedoman EU tahun 2006/17/EC, jendela waktu post-mortem tidak lagi


kurang dari 24 jam. Saat ini hanya beberapa data retrospektif dari pemeriksaan post-
mortem (sensitivitas, dan spesifisitas) terhadap waktu pada pemeriksaan parameter HIV,
HBV, dan HCV. Pepose et al. (1987) telah meneliti 3 metode ELISA untuk deteksi anti-
HIV pada 35 donor kadaverik yang diketahui HIV-Positif, 45 berisiki HIV positif, dan
262 tanpa risiko HIV positif. Untuk mengkonfirmasi hasil yang didapat, uji Western blot
dilakukan. Rerata waktu pengambilan sampel post-mortem adalah 27 jam setelah
kematian, namun hal ini harus diketahui bahwa hasil positif ddapatka sampai dengan 35
jam post-mortem.

Nilai sensitivitasnya dari 94-97% dan spesifisitasnya mencapai 99%. Reaksi yang
mengahsilkan nilai positif palsu menunjukkan tidak ada korelasi dengan terjadinya
hemolisis. Dari 35 donor dengan HIV Positif, 34 dikonfirmasi memiliki nilai yang benar-
benar positif. Satu sampel didapatkah hasil negative palsu walaupun dengan sistem tes
multipel (Pepose et al., 1987). Penulis melibatkan hasil ini pada titer reduksi antibody
HIV (Essex et al.,1985), menyoroti pentingnya mendalami riwayat medis pendonor. Pada
kelompok yang sama pada studi yang berbeda, pada HBsAg, menunjukkan sensitivitas
sebesar 92.9%. Untuk nilai spesifisitas, dibandingkan dengan radioimmunoassay,
menunjukkan angka 81.3% (409 sampel). Laycock et al. (1997) menginvestigasi 101
sampel darah dari kadaver pendonor kornea, dari 8 bank kornea tanpa memilih waktu
kematian yang spesifik. Dari 101 kadaver, 70 telah terbukti positif, 31 negatif
menggunakan uji HCV EIA versi 1.0 (Abbott Laboratories). Sampel tersebut kemudian
diuji ulang di Abbott Laboratories menggunakana uji HCV EIA vesi 2.0 dan Matrix
HCV recombinant immune-blot assay sebagai nilai rujukan standar. Hasilnya
menunjukkan nila sensitifitas sebesar 100% dan spesifisitas sebesar 93% untuk
HCV EIA versi 2.0. Hanya 3 dari 15 sampel dengan serologi HCV positif dimana
genom HCV bisa diverifikasi (Laycock et al., 1997). Pada penelitian mengenai
sampel darah dari pendonor kornea (33 pre-mortem vs 33 post-mortem sampel
dari donor yang sama), Heim et al. (1999) menemukan 17 dari 33 kasus, hasilnya
tidak cocok. Pada 17 kasus yang tidak cocok, 16 diantaranya HBsAg post-
mortemnya positif palsu, dan satu kasus hasil post-mortem anti-HCVnya negatif
palsu. Melakukan uji korespondensi pada serum pre-mortem didapatkan anti-HCV
yang positif dimana telah dikonfirmasi oleh RIBA HCV strip immunoassay.
Gambaran profil DNA forensik kedua serum sampel membuktikan bahwa kedua
sampel tersebut diambil dari individu yang sama. Walaupun kedua serum sampel
dari donor menghasilkan hasil yang negative untuk HCV RNA, penulis
berpendapat bahwa terdapat penggunaan PCR HCV pada sampel darah pendonor
konea (Heim et al., 1999). Studi penting lainnya yaitu oleh Challine et al. (2006).
Terdapat total 565 pendonor kornea yang diuji secara sistematis atau diperiksa
berdasarkan anti-HIV, anti-HCV, HBsAg, anti-HBc, dan perubahan
makrosopiknya.

Interval sampel post-mortem dari keseluruhan sampel didata dan


dikelompokkan menjadi 4 kelompok besar: 12, 12-24, 24-36 dan 36 jam post-
mortem. Korelasi langsung dan signifikan antara waktu pengambilan sampel darah
post-mortem dan penemuan makroksopik yang abnormal (terutama hemolisis, dan
ikterik atau turbid sera) dijelaskan. Dengan demikian, hal ini akan menyebabkan
meningkatnya penemuan-penemuan yang bersifat positif palsu secara signifikan,
terutama untuk pemeriksaan HBsAg dan anti-HIV. Pada waktu yang sama, angka
untuk melakukan uji ulang akan meningkat karena didapatkannya hasil yang
berbeda dan abnormal secara makroskopis. Namun baik pada uji apapun,
prevalensi hasil positif dan tingkat akurasi sanga tergantung pada waktu
pengambilan sampel darah post-mortem. Penulis berkesimpulan bahawa sampel
darah post-mortem mengalami hemolisis seiring dengan waktu, sehingga dapat
menghasilkan hasil yang berbeda atau hasil yang positif palsu, sehingga
dibutuhkan uji ulang dan akan meningkatkan biaya, dan memperburuk kualitas
kornea. Pengaruh signifikan pada sampel darah terkait dengan waktu terhadap
akurasi hasil tidak ditemukan. Karena tingginya angka positif palsu dan perubahan
makroskopik pada serum, penulis merekomendasikan pengambilan darah post-
mortem sebaiknya dilakukan kurang dari 12 jam post-mortem.

Beberapa kesimpulan dapat digambarkan dari beberapa publikasi ini.


Angka positif palsu pada beberapa penemuan (terutama HBsAg) meningkat
seiring dengan peningkatan interval post-mortem. Hal ini terjadi karena perubahan
makroskopik pada serum atau plasma terkait hemolisis, degenarasi sel, dan
pertumbuhan bakteria. Tidak satupun baik prevalensi positif palus maupun akurasi
yang tergantung dengan waktu pengambilan sampel post-mortem, walaupun
hingga 36 jam. Namun, ada dua penemuan yang saling bertolak belakang: satu
kasus dengan hasil negative palsu telah dipublikasi untuk anti-HIV dan satu untuk
anti-HCV.

Pada studi prospektif ini, kami menginvestigasi untuk pertama kalinya


perubahan post-mortem pada parameter serologi untuk HIV, HBV, dan HCV
sampai 48 jam post-mortem pada individu yang meninggal dunia. Bertolak
belakang dengan penemuan Challine et al. (2006) dan Heim et al. (1999), kami
menemukan tidak adanya hasil positif palsu dan negatif palsu pada sampel sampai
dengan 48 jam post-mortem, namun pada seluruh sampel setelah 36 jam post-
mortem ditemukan tanda-tanda hemolisis minimal, dan hemolisis sedang sampai
berat setelah 48 jam post-mortem. Salah satu alasannya adalah karena alat uji EIA
memiliki sensitifitas yang lebih rendah terhadap hemolisis. Alasan lainnya adalah
pre-analisis yang konsisten merupakan sebuah kunci yang dapat menentukan
kualitas darah yang disimpan pada kondisi terstandarisasi. Dengan ini, waktu
menunggu yang lama sebelum sentrifugasi dan penundaan meletakan sampel di
lemari pendingin harus dihindari. Penyimpanan di lemari pendingin yang lama
tidak mempengaruhi hasil untuk HIV, HCV, dan HBsAg. Sistem laboratorium
(AxSYM dan BEP III) yang digunakan pada studi ini sangat terpercaya, bekerja
baik dan tidak terdapat masalah teknis.

Implementasi uji asam nukleat untuk HIV, HBV, dan HCV sangat
bermanfaat namun tergantung dari tipe jaringan donornya: rasio resipien (Pruss et
al., 2010). Pada akhirnya, untuk memeriksa sampel yang diperoleh post-mortem,
hanya ada beberap tes yang telah divalidasi dan diakui oleh CE (European
Conformity). Validasi individu pada penggunaan sampel post-mortem dan
prosedur yang sesuai haruslah dilakukan sesegera mungkin, untuk mendapatkan
diagnosis yang terpercaya. (Kitchen & Newham, 2011).

Berdasarkan perspektif penulis, studi ini memperlihatkan suatu bukti yang


menunjukkan adanya keterbatasan waktu bagi pendonor jaringan yang
berdasarkan panduan dari EU tahun 2006/17/EC adalah 24 jam post-mortem
sehingga harus dipertimbangkan kembali dan ditambah menjadi 48 jam post-
mortem.

Anda mungkin juga menyukai