Anda di halaman 1dari 31

RESUME DISKUSI BBDM KELOMPOK 2

SKENARIO II
NGOMPOL
MODUL 6.3

Disusun Oleh :

Hafiza Rahmi 22010114120012


Soraya Hardiyanti H. 22010114120013
Gianina Dinda P. 22010114120014
Ega Lawalata Yolanda 22010114120015
Marieta Puspa Regina 22010114120016
Mega Kumala Putri 22010114120017
Annisa Zakia W 22010114120018
Rhory Defie 22010114120019
Putri Gayatri 22010114120020
Nadira Hanifah 22010114120021

UNIVERSITAS DIPONEGORO
FAKULTAS KEDOKTERAN
PENDIDIKAN DOKTER
2017
NGOMPOL

Sudah sebulan ini Bapak Warso 78 tahun, mengeluh sering tidak dapat menahan berkemih.
Hal ini menyebabkan beliau merasa tidak nyaman bila berada diantara teman-temannya karena
terganggu bau pesing. Akhir-akhir ini menjadi sering ngompol, terutama pada malam hari, jumlah
air kemih sedikit-sedikit. Sebelum sering ngompol ini Bapak Warso mengeluhkan kalau kencing
sering harus mengejan dahulu, dan merasa tidak tuntas. Sudah berobat ke Puskesmas namun
karena belum ada perubahan dirujuk ke RS.

I. TERMINOLOGI

1. Ngompol : inkontinesia urin, keluarnya urin tidak disadari dalam jumlah dan frekuensi yang
cukup sehingga mengakibatkan gangguan kesehatan dan sosial.

II. RUMUSAN MASALAH

1. Mengapa ngompol sering pada malam hari?


2. Mengapa terjadi keluhan pada kasus?
3. Mengapa perlu dirujuk ke RS?
4. Pemeriksaan apa yang bisa dilakukan pada kasus ini?
5. Apa diagnosis kasus?
6. Mengapa jumlah air kemih sedikit-sedikit?

III. HIPOTESIS

1. Mengapa ngompol sering pada malam hari?


Udara dingin, lansia tidur (penurunan kesadaran).

2. Mengapa terjadi keluhan pada kasus?


- <1 bulan akut -> DRIP: Delirium, Retention dan restricted mobility, infeksi,
inflamasi, inpaksi feses, pharmaceutical, poliuri

1
- Bisa disebabkan karena: ada gangguan saluran kemih bawah akibat ISK atau obat-
obatan (diuretic/anti kolinergik), gangguan kemampuan atau keinginan berkemih
- Pada usia makin tua, testosterone meningkat, estrogen tetap. Testosterone ->
proliferasi kelenjar prostat, merangsang sensitivitas sel prostat terhadap hormone
androgen dan menurunkan apoptosis sel massa prostat membesar (BPH)
penyempitan urethra prostatika inkontinesia urin.
- Kemungkinan ada kelainan di m.destrussor (sering involunter) inkontinensia
- Mekanisme pengatur diuresis: mekanisme sphincter dan destrussor. Mekanisme
sphincter membutuhkan sudut yang normal antara uretra dan kandung kemih, bila ada
peningkatan tekanan intraabdominal bisa diteruskan ke uretra, sehingga urin akan
keluar dengan mengejan dan batuk. Dengan bertambah usia, kapasitas kandung kemih
menurun akibat .. , sehingga sisa urin setiap berkemih meningkat rasa tidak
tuntas.

3. Mengapa perlu dirujuk ke RS?


Kemungkinan bentuk kronik dan tipe overflow, perlu adanya terapi pembedahan,
indikasi: salah satunya bila ada BPH. Bila akut bisa sembuh hanya dengan bladder training.

4. Pemeriksaan apa yang bisa dilakukan pada kasus ini?


a. Anamnesis
b. PF : rectal touche, valsava manouver
c. PP : LAB urin (dip stick test), post void residu, urinalisis

5. Apa diagnosis kasus?


Inkontinesia urin akut etcausa retensio akibat BPH

6. Mengapa jumlah air kemih sedikit-sedikit?


Distensi kandung kemih berlebihan, kemungkinan akibat BPH, faktor neurogenik, kelainan
urologik dsb sehingga mengakibatkan berkurangnya atau tidak kontraksi kandung kemih
sedikit urin tanpa sensasi kandung kemih penuh

2
IV. SKEMA

Etiologi INKONTINE Anamnesis, Dx Sementara


(neurogenik, NSIA URIN PF dan DD
urologik,
factor lain
Pemeriksaan
(obat-obatan )
Penunjang

Tatalaksana
Rehab Medik Diagnosis
farmako dan
pasti
non farmako

V. SASARAN BELAJAR

1. Anatomi dan fisiologi berkemih normal pada pria

2. Pengertian dan tipe inkontinesia urin

3. Etiologi

4. Anamnesis, PF dan PP

5. Tatalaksana farmako dan non farmakologi

6. Rehab Medik sesuai kasus

VI. BELAJAR MANDIRI

1. ANATOMI TRAKTUS URINARIUS

1. Ginjal (Ren)

Ginjal terletak pada dinding posterior di belakang peritoneum pada kedua sisi vertebra

torakalis ke-12 sampai vertebra lumbalis ke-3. Bentuk ginjal seperti biji kacang. Ginjal

kanan sedikit lebih rendah dari ginjal kiri, karena adanya lobus hepatis dextra yang besar.

3
Fungsi ginjal adalah pengeluaran zat-zat toksis atau racun, mempertahankan suasana

keseimbangan cairan, mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan

tubuh, dan mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum, kreatinin dan

amoniak.

Fascia renalis Fascia renalis terdiri dari: a) fascia (fascia renalis), b) jaringan lemak

perirenal, dan c) kapsula yang sebenarnya (kapsula fibrosa), meliputi dan melekat dengan

erat pada permukaan luar ginjal.

Stuktur ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula fibrosa, terdapat korteks

renalis di bagian luar, yang berwarna cokelat gelap, medulla renalis di bagian dalam yang

berwarna cokelat lebih terang dibandingkan korteks. Bagian medulla berbentuk kerucut

yang disebut piramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari

lubang-lubang kecil yang disebut papilla renalis. Hilum adalah pinggir medial ginjal

berbentuk konkaf sebagai pintu masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan

nervus. Pelvis renalis berbentuk corong yang menerima urin yang diproduksi ginjal.

Terbagi menjadi dua atau tiga calices renalis majores yang masing-masing akan bercabang

menjadi dua atau tiga calices renalis minores. Struktur halus ginjal terdiri dari banyak

nefron yang merupakan unit fungsional ginjal. Nefron terdiri dari: glomerulus, tubulus

proximal, ansa henle, tubulus distal dan tubulus urinarius.

Pendarahan Ginjal mendapatkan darah dari aorta abdominalis yang mempunyai

percabangan arteri renalis, arteri ini berpasangan kiri dan kanan. Arteri renalis bercabang

menjadi arteri interlobularis kemudian menjadi arteri akuarta. Arteri interlobularis yang

berada di tepi ginjal bercabang manjadi arteriole aferen glomerulus yang masuk ke

4
gromerulus. Kapiler darah yang meninggalkan gromerulus disebut arteriole eferen

gromerulus yang kemudian menjadi vena renalis masuk ke vena cava inferior.

Ginjal mendapatkan persarafan dari fleksus renalis (vasomotor). Saraf ini berfungsi untuk

mengatur jumlah darah yang masuk ke dalam ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan

pembuluh darah yang masuk ke ginjal.

2. Ureter

Terdiri dari 2 saluran pipa masing-masing bersambung dari ginjal ke vesika urinaria.

Panjangnya 25-34 cm, dengan penampang 0,5 cm. Ureter sebagian terletak pada rongga

abdomen dan sebagian lagi terletak pada rongga pelvis.

Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan-gerakan peristaltik yang mendorong urin

masuk ke dalam kandung kemih. Lapisan dinding ureter terdiri dari:

a. Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)

b. Lapisan tengah lapisan otot polos

c. Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa

Innervasi pada ureter : Pleksus aortirenalis, Pleksus hypogasticus, Efferent autonom

5
3. Vesika urinaria (kandung kemih)

Vesika urinaria bekerja sebagai penampung urin. Organ ini berbentuk seperti buah pir

(kendi). Letaknya di belakang simfisis pubis di dalam rongga panggul. Vesika urinaria

dapat mengembang dan mengempis seperti balon karet.

Bagian bagian dari Vesika urinaria : fundus vesicae, apex vesicae, facies superior, facies

anterior, margo lateralis, margo inferolateral, margo posterior, servic atau collum vesicae.

6
4. Uretra

Merupakan saluran sempit yang berpangkal pada vesika urinaria yang berfungsi

menyalurkan air kemih ke luar. Pada laki-laki panjangnya kira-kira 13,7-16,2 cm.

Uretra pada wanita panjangnya kira-kira 3,7-6,2 cm. sphincter uretra terletak di sebelah

atas vagina (antara clitoris dan vagina) dan uretra disini hanya sebagai saluran ekskresi.

Uretra terdiri dari 3 pars :

a. Uretra pars prostatika

b. Uretra pars membranosa

c. Uretra pars spongiosa.

7
FISIOLOGI BERKEMIH

Pembentukan urin

Ada dua ginjal yang berbentuk kacang dan sekitar 10cm panjang, lebar 5.5cm dan tebal
3cm. Setiap ginjal beratnya sekitar 150g dan memiliki lekukan ditandai medial - hilus - dimana
arteri ginjal dan saraf ginjal masuk dan vena renalis dan meninggalkan ureter. Antara mereka,
ginjal membuat sekitar 30ml atau lebih air seni setiap jam (Marieb, 2003).

Sekitar 25 persen dari output jantung pergi ke ginjal (McLaren, 1996) dimana produk
sampah organik dibuang di juta atau sehingga nefron di setiap ginjal. Produksi urin normal, oleh
karena itu, tergantung pada aliran darah ke ginjal yang normal. Nefron adalah unit fungsional dari
ginjal. Nefron mengizinkan bagian dari beberapa zat keluar dari tubuh tetapi membatasi perjalanan
orang lain, misalnya, sel-sel darah dan protein yang besar.

Filtrasi

8
Saat darah mengalir melalui glomerulus (jaringan kapiler yang merupakan bagian
dari nefron), banyak cairan dan produk limbah dalam darah dipaksa keluar melalui dinding
kapiler, disaring, dan kemudian mengalir ke dalam kapsul Bowman. Kapsul Bowman
adalah secangkir berdinding ganda endotel yang mengelilingi glomerulus. Filtrat
glomerular ini (sekitar 125ml per menit) terdiri dari air, glukosa, limbah garam seperti
natrium dan kalium, dan urea. Urea adalah produk limbah yang paling berlimpah
diekskresikan oleh ginjal dan dibentuk dari amoniak, zat yang sangat beracun. Amonia
terbentuk dalam hati dari pemecahan asam amino.
Reabsorbsi
Banyak dari filtrat glomerulus, termasuk sebagian besar air, diserap ke dalam
kapiler yang mengelilingi tubulus proksimal dan distal berbelit-belit, lengkung Henle dan
tubulus pengumpul. Semua glukosa akan diserap kecuali kadar glukosa darah yang tinggi
- lebih dari 8,9 milimol per liter (mmol / l) atau 160 miligram per desiliter (mg / dl) - dalam
hal ini glukosa beberapa akan diekskresikan dalam urin.
Natrium juga diserap tetapi jumlah bervariasi, tergantung pada seberapa banyak
tubuh membutuhkan untuk mempertahankan konsentrasi konstan dari ion natrium dalam
darah.
Augmentasi
Ini adalah tahap akhir pembentukan urin, dan terjadi pada tubulus distal dan
pengumpul. Zat baik menyebar atau secara aktif diangkut keluar dari kapiler dan ke dalam
tubulus pengumpul untuk dibuang dalam urin.
Ion hidrogen, ion kalium, amonia dan beberapa obat semua disekresikan pada tahap
ini dan ginjal memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan asam-basa dalam
tubuh.

9
Penyimpanan urin

Kandung kemih adalah kantung, otot berongga yang terletak di panggul. Pada laki-laki,
dasar kandung kemih terletak di antara rektum dan simfisis pubis sementara pada wanita dasar
berada di bawah rahim dan anterior vagina.

Kandung kemih menyimpan urin dan dapat memuat kira-kira satu liter saat penuh. Hal ini
diadakan dalam posisi oleh peritoneum sekitarnya (meskipun hanya permukaan atas terletak di
peritoneum) dan oleh ligamen yang kuat umbilikalis.

Kandung kemih dilapisi oleh mukosa. Hal ini terutama tebal di daerah sekitar bukaan ureter
dan uretra persimpangan dengan, dimana mukosa bertindak sebagai saluran untuk menyalurkan
urin ke uretra ketika kontrak kandung kemih. Selama berkemih, otot-otot yang kuat pada
dinding kandung kemih (otot detrusor) kompres kandung kemih, mendorong isinya ke urethra.

10
Pengendalian mengosongkan kandung kemih

Pembukaan, digambarkan sebagai leher kandung kemih, antara kandung kemih dan
uretra, ditutup oleh dua cincin otot - sphincters internal dan eksternal. Sphincter internal yang
mengandung serat otot polos dan otot normal serat ini terus itu dikontrak, karena itu tidak
berada di bawah kontrol sukarela. Sphincter eksternal dibentuk dari sebuah band melingkar otot
rangka yang disediakan oleh saraf pudenda dan berada di bawah kontrol sukarela. Serat ini tetap
dikontrak, sebagai hasil dari stimulasi sistem saraf pusat, kecuali selama berkemih ketika
mereka bersantai.

Pengencingan

Ketika volume urin di kandung kemih mencapai sekitar 250ml, reseptor regangan pada
dinding kandung kemih dirangsang dan membangkitkan serabut parasimpatis yang
menyampaikan informasi sensorik ke daerah sacral tulang belakang. Informasi ini terintegrasi
dalam tulang belakang dan diteruskan ke dua set berbeda neuron. Motor neuron parasimpatis
bersemangat dan bertindak untuk kontrak otot-otot detrusor di kandung kemih sehingga
meningkatkan tekanan kandung kemih dan sfingter internal yang terbuka. Pada saat yang sama,
neuron motorik somatik memasok sphincter eksternal melalui saraf pudenda terhambat,

11
memungkinkan sphincter eksternal untuk membuka dan urin mengalir keluar, dibantu oleh
gravitasi.

Pengendalian berkemih

Anak-anak dan orang dewasa memiliki kendali besar atas kapan dan di mana mereka
lulus urin. Mereka juga dapat meningkatkan atau menurunkan laju aliran dan bahkan berhenti
dan mulai lagi, sehingga berkemih jelas lebih dari sekedar refleks sederhana. Kontrol ini
dipelajari pada masa bayi dan melibatkan serabut sensoris lainnya dalam dinding kandung
kemih. Serat ini menyampaikan informasi pada tingkat kepenuhan kandung kemih melalui
tulang belakang ke pusat-pusat yang lebih tinggi dari otak, thalamus dan korteks serebral. Hal
ini menyebabkan kita menjadi sadar bahwa kita perlu untuk buang air kecil dan urgensi situasi.

Otak mampu untuk mengesampingkan refleks berkemih oleh serabut saraf parasimpatis
menghambat motor ke kandung kemih dan memperkuat kontraksi sfingter eksternal (Martini,
2002). Sphincter internal tidak akan membuka sampai sfingter eksternal tidak.

Peningkatan volume kandung kemih meningkatkan aktivitas reseptor peregangan dan


saraf, membuat sensasi tekanan yang lebih akut. Ketika nyaman, pusat otak menghapus
hambatan dan berkemih izin di bawah kendali sadar kita. Ketika kandung kemih berisi sekitar
500ml, tekanan mungkin memaksa membuka sphincter internal ini pada gilirannya memaksa
membuka sfingter eksternal dan buang air kecil terjadi apakah itu nyaman atau tidak.

Kita dapat meningkatkan laju aliran urin oleh kontraksi dari otot-otot perut dan oleh
kinerja manuver Valsava itu (ekspirasi paksa melawan glotis tertutup) (McLaren, 1996).
Kontraksi otot dasar panggul yang kuat dapat menghentikan urin pada pertengahan-aliran.
Suara air mengalir juga mendorong berkemih (Silverthorn, 2003) tetapi beberapa orang tidak
bisa buang air kecil di hadapan orang lain, tidak peduli seberapa besar kebutuhan mereka.

Setelah berkemih, kurang dari 10 ml urin tetap di dalam kandung kemih (Martini, 2002)
dan siklus dimulai lagi.

12
Potensi masalah yang berhubungan dengan berkemih

Untuk berkemih normal terjadi kita perlu:

- Utuh jalur saraf pada saluran kemih;

- Tonus otot normal dalam detrusors, sfingter dan otot dasar panggul;

- Tidak adanya halangan terhadap aliran urin dalam setiap bagian dari saluran kemih;

- Kapasitas kandung kemih normal;

- Tidak adanya faktor lingkungan atau psikologis yang dapat menghambat berkemih
(McLaren, 1996).

13
Kehilangan salah satu fungsi yang normal dapat menyebabkan inkontinensia urgensi untuk
berkemih atau.

Gangguan neurologis dapat termasuk stroke, penyakit Alzheimer atau kondisi di mana
saraf jalur ke dan dari tulang belakang dan otak tersumbat atau terluka. Neurotransmitter
asetilkolin (Ach) yang terlibat dalam menyampaikan sinyal saraf di berkemih. AcH dapat diblokir
dengan atropin obat, sehingga otot detrusor tidak berkontraksi dan retensi urin akan terjadi.

Inkontinensia stres dapat terjadi pada semua usia. Hal ini terjadi bila tekanan perut
meningkat, misalnya saat bersin atau batuk. Sudut biasanya akut antara kandung kemih dan uretra
hilang bila tekanan perut naik sedikit, menyebabkan tekanan di dalam kandung kemih meningkat.

Kelemahan dan kelemahan otot pada leher kandung kemih, sekitar uretra dan di lantai
panggul akan berarti inkontinensia yang terjadi dengan perubahan tekanan yang relatif kecil.
Inkontinensia stres dapat terjadi pada pria berikut prostatektomi, dan pada wanita setelah
melahirkan dan selama menopause sekresi estrogen akibat penurunan (McLaren, 1996).

Batu ginjal, peradangan dan kelenjar prostat membesar semua dapat menghambat aliran
urin dan dapat berakibat pada frekuensi berkemih dan retensi urin. Kandung kemih tumor dan
kehamilan juga mengurangi kapasitas kandung kemih yang normal. Faktor lingkungan dan
psikologis juga dapat mempengaruhi kemampuan pasien untuk buang air kecil.

Kesimpulan
Berkemih membutuhkan aktivitas terkoordinasi saraf simpatik, parasimpatis dan somatik. Ini juga
membutuhkan otot normal dan kebebasan dari rintangan fisik dan penghambatan psikologis.
Kontrol dari pusat yang lebih tinggi otak kita memungkinkan kita untuk menentukan waktu dan
tempat yang tepat untuk memungkinkan hal ini fungsi fisiologis yang penting terjadi.

2. DEFINISI DAN TIPE INKONTINENSIA URIN

Inkontinensia urin merupakan keluarnya urin yang tidak terkendali sehingga menimbulkan
masalah higienis dan sosial Inkontinensia urin adalah masalah yang sering dijumpai pada orang
lanjut usia dan menimbulkan masalah fisik dan psikososial, seperti dekubitus, jatuh, depresi dan
isolasi dari lingkungan sosial Inkontinensia urin terdapat bersifat akut atau persisten, Inkontinensia

14
urin yang bersifat akut dapat diobati bila penyakit atau masalah yang mendasar diatasi masalahnya
infeksi saluran kemih, obatobatan, gangguan kesadaran, vaginitis atrofik dan masalah psikologik
Inkontinensia urin yang persisten biasanya dapat dikurangi dengan berbagai terapi modalitas.

Inkontinensia urin dapat di klasifikasikan menjadi 2 yaitu

1) Inkontinensia urine akut (Transient incontinence):


Inkontinensia urin ini merupakan terjadi secara mendadak, terjadi kurang dari 6 bulan
dan biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau masalah iatrogenik menghilang
jika kondisi akut teratasi. Penyebab umum dari Inkontinensia Urin Transien ini sering
disingkat DIAPPERS, yaitu:
a) D Delirium atau kebingungan - pada kondisi berkurangnya kesadaran baik
karena pengaruh dari obat atau operasi, kejadian inkontinensia dapat
dihilangkan dengan mengidentifikasi dan menterapi penyebab delirium.
b) I Infection infeksi saluran kemih seperti urethritis dapat menyebabkan iritasi
kandung kemih dan timbul frekuensi, disuria dan urgensi yang menyebabkan
seseorang tidak mampu mencapai toilet untuk berkemih.
c) A Atrophic Uretritis atau Vaginitis jaringan teriritasi dapat menyebabkan
timbulnya urgensi yang sangat berespon terhadap pemberian terapi estrogen.
d) P Pharmaceuticals dapat karena obat-obatan, seperti terapi diuretik yang
meningkatkan pembebanan urin di kandung kemih.
e) P Psychological Disorder seperti stres, depresi, dan anxietas.
f) E Excessive Urin Output karena intake cairan, alkoholisme diuretik,
pengaruh kafein.
g) R Restricted Mobility dapat penurunan kondisi fisik lain yang mengganggu
mobilitas untuk mencapai toilet.
h) S Stool Impaction dapat pengaruh tekanan feses pada kondisi konstipasi akan
mengubah posisi pada kandung kemih dan menekan saraf.
2) Inkontinensia urin kronik (persisten):
Inkontinensia urin tidak berkaitan dengan kondisi akut dan berlangsung dengan lama
(lebih dari 6 bulan) ada 2 penyebab Inkontinensia urin kronik (persisten) yaitu:
menurunnya kapasitas kandung kemih akibat hiperaktif dan karena kegagalan

15
pengosongan kandung kemih akibat lemahnya kontraksi otot detrusor. Inkontinensia
urin kronik ini dikelompokkan lagi menjadi 4 tipe (stress, urge, overflow , fungsional).
Berikut ini adalah penjelasan masing-masing tipe Inkontinensia urin kronik atau
persisten:
a) Inkontinensia urin tipe stress: Inkontinensia urin terjadi apabila urin dengan
secara tidak terkontrol keluar akibat peningkatan tekanan di dalam perut,
melemahnya otot dasar panggul, operasi dan penurunan estrogen. Pada gejalanya
antara lain kencing sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal yang
lain yang meningkatkan tekanan pada rongga perut. Pengobatan dapat dilakukan
dengan tanpa operasi (misalnya dengan Kegel exercises, dan beberapa jenis obat-
obatan), maupun dengan operasi.
b) Inkontinensia urin tipe urge: timbulnya pada keadaan otot detrusor kandung
kemih yang tidak stabil, di mana otot ini bereaksi secara berlebihan Inkontinensia
urin dapat ditandai dengan ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi
berkemih muncul manifestasinya dapat merupa perasaan ingin kencing yang
mendadak (urge), kencing berulang kali (frekuensi) dan kencing di malam hari
(nokturia).
c) Inkontinensia urin tipe overflow : pada keadaan ini urin mengalir keluar
dengan akibat isinya yang sudah terlalu banyak di dalam kandung kemih, pada
umumnya akibat otot detrusor kandung kemih yang lemah. Biasanya hal ini bisa
dijumpai pada gangguan saraf akibat dari penyakit diabetes, cedera pada sumsum
tulang belakang, dan saluran kencing yang tersumbut. Gejalanya berupa rasanya
tidak puas setelah kencing (merasa urin masih tersisa di dalam kandung kemih),
urin yang keluar sedikit dan pancarannya lemah.
d) Inkontinensia urin tipe fungsional: dapat terjadi akibat penurunan yang berat
dari fungsi fisik dan kognitif sehingga pasien tidak dapat mencapai ketoilet pada
saat yang tepat. Hal ini terjadi pada demensia berat, gangguan neurologic, gangguan
mobilitas dan psikologik

16
3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO

Secara umum dengan penyebab inkontinensia urin merupakan kelainan urologis,


neurologis dan fungsional. Kalainan urologis pada inkontinensia urin dapat disebabkan karena
adanya tumor, batu, atau radang. Kelainan neurologis sebagai kerusakan pada pusat miksi di pons,
antara pons atau sakral medula spinalis, serta radiks S2-S4 akan terjadi menimbulkan gangguan
dari fungsi kandung kemih dan hilang sensibilitas kandung kemih. (Setiati dan Pramantara, 2007).
Sering dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan padaanatomi atau fungsi organ
kemih, antara lain disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, kebiasaan mengejan yang
salah atau karena penurunan estrogen. Kelemahan otot dasar panggul yang dapat terjadi karena
kehamilan, setelah melahirkan, kegemukan, menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi
vagina. Dengan penambahan berat badan dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan
melemahnya otot dasar panggul karena ditekan dengan lamanya sembilan bulan. Proses persalinan
juga dapat membuat otot-otot dasar panggul menjadikan rusak akibat regangan otot atau jaringan
penunjang serta robekan pada jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya
Inkontinensi urin. Pada menurunnya kadar hormon estrogen dalam wanita di usia menopause (50
tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina atau otot pintu saluran kemih (uretra),
sehingga menyebabkan terjadinya Inkontinensia urin.
Faktor risiko yang lain sebagai obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan
lainnya juga dapat berisiko mengakibatkan Inkontinensia urin. Semakin lanjut usia seseorang
semakin besar kemungkinan dapat mengalami Inkontinensia urin, karena terjadi pada perubahan
struktur kandung kemih dan otot dasar panggul ini mengakibatkan seseorang yang tidak dapat
menahan air seni. Selain itu adalah kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih,
sehingga walaupun kandung kemih yang baru terisi sedikit sudah menimbulkan rasa ingin
berkemih. Resiko Inkontinensia urin sangat meningkat pada wanita dengan nilai indeks massa
tubuh yang lebih besar (Setiati dan Pramantara, 2007).
Dengan pembesaran kelenjar prostat pada pria merupakan penyabab yang paling umum
yang terjadinya obstruksi aliran urine dari kandung kemih. Kondisi ini menyebabkan kejadian
inkontinensia urin karena adanya mekanisme overflow. Namun, inkontinensia ini dapat juga
disebabkan oleh karena obstruksi yang berakibat konstipasi dan juga adanya massa maligna
(cancer) dalam pelvis dialami oleh pria atau wanita. Akibat dari obstruksi, tonus kandung kemih

17
akan menghilang sehingga disebutkan kandung kemih atonik. Kandung kemih yang kondisinya
penuh gagal berkontraksi, akan tetapi kemudian menyebabkan overflow, sehingga dapat terjadi
inkontinensia. Baik secara langsung maupun secara tidak langsung, merokok juga sebagai akibat
pada terjadinya inkontinensia urin, Merokok dapat meningkatkan risiko terkena inkontinensia urin
disebab karena merokok itu dapat menyebabkan kandung kemih terlalu aktif karena efek nikotin
pada dinding kandung kemih, Konsumsi kafein dan alkohol juga terjadi meningkatkan risiko
inkontinensia urin karena keduanya bersifat diuretik, yang menyebabkan kandung kemih terisi
dengan memicu dan cepat keinginan untuk sering buang air kecil. ( Stockslager & Jaime, 2007;
Stanley &Patricia, 2006).

4. ANAMNESIS, PEMERIKSAAN FISIK DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

Anamnesis

Pada inkontinensia urin, pasien datang dengan keluhan sering tidak dapat menahan kencing
sehingga sering kencing dicelana sebelum sampai ke kamarmandi. Passien juga mengatakan
kadang saat tertawa terbahak, tanpa sadarterkencing-kencing. Sedangkan penyakit jantung, darah
tinggi, kencing manissebelumnya tidak ada.

Anamnesis yang perlu dilakukan

1. Kapan urine keluar tanda disadarai : batuk atau rasa ingin kencing terus-menerus
2. Sering ngompol waktu tidur
3. Gejala gejala LUTS
4. Riwayat penyakit : DM, Hipertensi, Isk, hematuri
5. Operasi sebelumnya
6. Obat-obat yang sering dikonsumsi
7. Kebiasaan hidup,makan dna minum: kopi,teh manis,alkohol
8. Kehidupan seksual
9. Bowel habit: sering konstipasi,mengedan

18
Pemeriksaan Fisik

Tujuan pemeriksaan fisik adalah mengenali pemicu inkontinensia urin danmembantu


menetapkan patofisiologinya. Selain pemeriksaan fisik umum yangselalu harus dilakukan,
pemeriksaan terhadap abdomen, genitalia, rectum,fungsi neurologis, dan pelvis (pada wanita)
sangat diperlukan.

Pemeriksaan abdomen harus mengenali adanya kandung kemih yang penuh,rasa nyeri,
massa, atau riwayat pembedahan.Kondisi kulit dan abnormalitas anatomis harus
diidentifikasi ketika memeriksa genitalia.
Pemeriksaan rectum terutama dilakukan untuk medapatkan adanya obstipasi atau
skibala, dan evaluasi tonus sfingter, sensasi perineal, dan
refleksbulbokavernosus. Nodul prostat dapat dikenali pada saat pemeriksaan rectum.
Pemeriksaan pelvis mengevaluasi adanya atrofi mukosa, vaginitis atrofi,massa,
tonus otot, prolaps pelvis, dan adanya sistokel atau rektokel.Evaluasi neurologis
sebagian diperoleh saat pemeriksaan rectum ketikapemeriksan sensasi perineum,
tonus anus, dan refles bulbokavernosus.
Pemeriksaan neurologis juga perlu mengevaluasi penyakit-penyakit yang dapat
diobati seperti kompresi medula spinalis dan penyakit parkinson.Pemeriksaan fisik
seyogyanya juga meliputi pengkajian tehadap status fungsional dan kognitif,
memperhatikan apakah pasien menyadari keinginan untuk berkemih dan mengunakan
toilet

Pemeriksaan Penunjang Inkontinensia


1. Jurnal Berkemih.
Merupakan cara yang baik dalam mendapatkan informasi tambahan mengenai masalah pasien.
Instruksikan pasien mencatat waktu berkemih dan perkiraan volume masing-masing, dan apakah
pasien basah atau kering atau dengan kata lain terciprat dengan urin atau tidak.
2. Urinalisis.
Berhati-hati ketika menafsirkan hasil analisis urin tanpa adanya gejala lain. Bakteriuria jarang
menjadi penyebab utama dari inkontinensia urin. Tegakkan diagnosis sistitis atau uretritis ketika

19
gambaran klinis juga menegaskan diagnosis ini. Mikrohematuria persisten membutuhkan
pemeriksaan lanjutan.
3. Volume Urin Pasca-berkemih.
Untuk pemeriksaan ini ada baiknya pasien harus dipasang kateter setelah kencing. Secara umum,
volume urine pasca-berkemih harus kurang dari 50 mL. Volume di kisaran 100-200 ml dapat
menyarankan gangguan kontraktilitas atau obstruksi kandung kemih. Volume lebih dari 200 mL
sangat menunjukkan obstruksi.
4. Pemeriksaan Darah.
Blood urea nitrogen (BUN), kreatinin, dan kadar glukosa darah sederhana, dapat membantu
menyingkirkan penyakit ginjal dan diabetes.
5. Pemeriksaan Khusus
Termasuk cystoscopy, sistometri dan pencitraan pemeriksaan awal USG atau foto polos abdomen
atau CT scan saluran kemih bagian bawah dilakukan apabila pada pemeriksaan awal terdapat
kelainan di daerah panggul

Cystoscopy Sistometri

USG BPH CT Scan BPH X-foto abdomen Normal


dengan kontras

20
5. FARMAKOTERAPI INKONTINENSIA URIN
Jika terapi perilaku saja tidak memuaskan, obat anticholinergic-antispasmodik dapat
diberikan. Obat-obatan ini hanya digunakan jika perlu untuk memperkuat, bukan menggantikan
intervensi perilaku (bladder training). Pendekatan ini penting karena obat biasanya tidak akan
secara lengkap menekan kontraksi yang tidak diinhibisi. Walaupun cenderung meningkatkan
kapasitas kandung kemih, warning time mulainya kontraksi tidak diinhibisi tidak akan
memanjang. Jadi toileting terjadwal tetap merupakan hal penting untuk mencapai keuntungan yang
maksimum.
Obat-obat yang dipergunakan untuk DH dapat dikelompokkan sesuai karakteristik
farmakologisnya. Agen antikolinergik mempunyai efek terutama pada kandung kemih dengan
menghambat aktivitas asetilkolin di reseptor muskarinik, karena reseptor muskarinik diduga
merupakan mediator utama kontraksi otot detrusor. Sehingga obat-obatan yang sering
dipergunakan untuk menterapi kondisi ini adalah obat untuk mengurangi kontraksi otot detrusor
involunter melalui penghambatan reseptor muskarinik. Sebagian besar obat ini mempunyai waktu
paruh pendek, sehingga frekuensi pemberian menjadi lebih sering. Seluruh obat-obatan jenis ini
mempunyai efek samping, yang tersering adalah mulut kering oleh karena penurunan produksi
saliva, peningkatan denyut jantung karena blokade vagal, konstipasi karena penurunan motilitas
gastrointestinal, dan terkadang penglihatan menjadi kabur karena blockade sfingter iris dan otot
siliar lensa mata. Obat lain seperti imipramine, dapat menyebabkan hipotensi ortostatik dan aritmia
jantung.
Dibawah terdapat daftar obat-obatan yang biasa dipergunakan dengan rentang dosis yang biasa
dipakai (tabel). Secara umum paling baik memulai dengan dosisrendah (terutama untuk pasien
usila) dan meningkatkan dosisnya jika perlu. Pasien dengan DH secara umum lebih memerlukan
obat-obatan daripada pasien dengan DI. Pasien harus diberitahu tentang efek samping obat. Pasien
juga harus diberitahu tentang gejala mulut kering dan dijelaskan bahwa hal tersebut bukan karena
kurang minum, karena terkadang pasien kemudian meningkatkan intake cairannya sehingga
memperburuk inkontinensia. Jika timbul gejala ini pasien disarankan untuk mengunyah permen
karet, mengulum permen yang keras atau memakan buah-buahan yang berair.

21
Tabel. Obat obatan dalam Manajemen Inkontinensia Urin

Setiap obat di atas diberikan dalam dosis terbagi kecuali tricyclics. Karena sedikit sekali
terdapat penelitian yang bersifat komparatif, dan secara umum memberikan hasil yang ekuivalen
(kecuali flavoxate, yang mempunyai efek buruk pada percobaan terkontrol), keputusan untuk
menentukan obat apa yang akan dipergunakan sering didasarkan pada faktor-faktor yang tidak
berhubungan dengan fungsi kandung kemih. Pada kasus pasien inkontinensia dengan demensia
atau pasien usila yang sedang memakan agen antikolinergik, maka propantheline sebaiknya
dihindarkan. Pada pasien dengan hipertensi, angina pectoris, abnormalitas relaksasi diastolik
jantung, agen calcium channel-blocking lebih diutamakan. Hipotensi ortostatik sering
menyebabkan penggunaan imipramine, dozepin dan nifedipine menjadi sesuatu yang harus
dihindari pada pasien usila. Terkadang, kombinasi dosis rendah dua obat dengan kerja yang saling
melengkapi, seperti oxybutynin dan imipramine (atau terodiline saja) dapat memaksimalkan
keuntungan dan meminimalkan efek samping. Obat-obatan dengan onset kerja cepat seperti
oxybutynin, dapat diberikan sebagai profilaksis jika inkontinensia terjadi dalam waktu yang dapat
diprediksikan.
Retensi urin dapat timbul karena karena penggunaan obat-obatan di atas sehingga volume PVR
dan fungsi ginjal umumnya (BUN, kreatinin serum dan output urin) harus dimonitor, terutama
pada kasus DHIC yang detrusornya lemah. Sebagai tambahan, jika timbul retensi urin subklinis,
kapasitas fungsional kandung kemih akan dikurangi dan sehingga mempengaruhi efek obat, jadi
PVR harus diukur jika inkontinensia memburuk dengan peningkatan dosis. Kondisi retensi urin
dan penggunaan kateterisasi intermiten mungkin merupakan pendekatan terapi yang diperlukan

22
untuk pasien dengan inkontinensia yang tidak dapat diberikan obat dan dapat menggunakan
kateterisasi intermiten.

TATALAKSANA NON FARMAKOLOGI

Ada beberapa cara untuk menangani pasien dengan kasus inkontinensia urin. Umumnya
dapat berupa tatalaksana farmakologis, non-farmakologis maupun pembedahan. Prinsipnya adalah
penderita inkontinensia tidak dapat ditangani hanya dengan satu modalitas terapi, tetapi melalui
serangkaian terapi yang dilakukan secara simultan.
Spektrum modalitas terapi yang dilakukan meliputi:
Terapi non farmakologis, yaitu:
o Terapi suportif non-spesifik (edukasi, manipulasi lingkungan, pakaian dan pads tertentu)
o Intervensi tingkah laku (latihan otot dasar panggul, latihan kandung kemih, penjadwalan
berkemih)
Terapi medika mentosa
Operasi
Kateterisasi

Intervensi pada tingkah laku pasien sangat memerlukan kerja sama yang baik dari pasien
tersebut. Secara umum yang dapat kita lakukan ialah meliputi edukasi pada pasien dan
pengasuhnya. Intervensi perilaku yang dapat meliputi bladder training, habit training, prompted
voiding dan latihan dasar otot panggul. Sedangkan teknik yang menggunakan alat seperti stimulasi
elektrik, biofeedback dan neuromodulasi dapat melengkapi teknik perilaku ini.
Apa saja intervensi tingkah laku yang dapat dilakukan? Berikut adalah daftar hal yang dapat
dilakukan dalam terapi non farmakologis ini.

a) Bladder training : merupakan suatu jenis terapi yang cukup efektif dibanding teknik non
farmakologik lainnya. Terapi ini bertujuan memperpanjang interval berkemih yang normal
sehingga hanya mencapai 6-7 kali sehari atau 3-4 jam sekali. Pasien diharapkan dapat
menahan sensasi untuk berkemih. Misalnya awalnya interval waktu satu jam, kemudian
ditingkatkan perlahan hingga 2-3 jam. Agar tidak lupa, dapat dibuat catatan harian untuk

23
berkemih. Apabila pasien tidak mampu lagi menahan sensasi kemihnya, maka ia
diperbolehkan berkemih sebelum waktunya namun akan dicatat dalam catatan hariannya.
Sebisa mungkin catat volume urin yang keluar pada saat miksi dan jumlah urin yang bocor.
Fakta yang menarik ialah bila seseorang tergoda untuk segera ke kamar kecil untuk muncul
dorongan berkemih, maka kandung kemihnya dapat terangsang dengan gerakan yang
tergesa-gesa tersebut. Latihan kandung kemih ini terbukti efektif terhadap inkontinensia tipe
stress maupun tipe urgensi.

b) Latihan dasar otot panggul : merupakan suatu jenis latihan yang dikembangkan oleh
Arnold Kegel pada tahun 1884. Berdasarkan penelitiannya, Arnold Kegel menemukan
tingkat perbaikan dan kesembuhan pada 84% subjek penelitian yaitu wanita yang menderita
inkontinensia berbagai tipe. Latihan yang dilakukan oleh Arnold Kegel ini sekarang lebih
dikenal dengan nama Senam Kegel.
Seperti yang kita ketahui bersama, otot pelvis seperti otot lainnya dapat mengalami
kelemahan akibat bertambahnya usia,. Latihan pada otot pelvis dapat memperkuat otot-otot
yang lemah di sekitar kandung kemih. Secara sederhana latihan yang dapat dilakukan
dideskripsikan mirip dengan usaha otot kita sewaktu menahan untuk tidak flatus.
Latihan ini dapat dilakukan beberapa kali sehari dengan waktu 10 menit untuk tiap kali
latihan. Dapat dipraktikkan dimana saja, paling baik saat berbaring di tempat tidur. Pada saat
melakukan latihan, usahakan bernapas dengan normal dan tidak menggunakan otot paha,
betis dan perut. Setelah melakukan latihan ini selama 4-6 minggu, diharapkan akan ada
perbaikan kondisi yaitu berkurangnya kebocoran urin.

c) Latihan untuk menahan dorongan berkemih : untuk mengurangi rasa ingin berkemih,
cara ini dapat digunakan bila dorongan tersebut muncul:
Berdiri tenang maupun duduk diam, lebih baik jika kaki disilangkan agar mencegah
rangsang berlebihan dari kandung kemih.
Tarik napas teratur dan relaks.
Kontraksikan otot dasar panggul beberapa kali. Ini akan membantu penutupan uretra dan
menenangkan kandung kemih.
Bila rangsang berkemih sudah menurun, jangan ke toilet sebelum tiba waktunya.

24
Latihan yang ada diatas membutuhkan waktu yang cukup lama. Namun bila dilakukan
dengan sabar, hasilnya cukup memuaskan.
Sedangkan terapi biofeedback dapat digunakan agar pasien mampu menahan kontraksi
involunter otot detrusor dari kandung kemih. Stimulasi elektrik menggunakan kejutan
kontraksi otot pelvis dengan alat bantu pada vagina dan rektum. Neuromodulasi merupakan
terapi yang menggunakan stimulasi saraf sakral. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
neuromodulasi merupakan salah satu cara yang dapat menangani kandung kemih yang
hiperaktif dengan baik.
Terapi yang menggunakan obat (farmakologis) merupakan terapi yang terbukti efektif
terhadap inkontinensia urin tipe stress dan urgensi. Terapi ini dapat dilaksanakan bila upaya
terapi non-farmakologis telah dilakukan namun tidak dapat mengatasi masalah
inikontinensia tersebut.

Berikut adalah obat-obat yang dapat digunakan pada pasien dengan inkontinensia urin:
Obat Yang Digunakan Untuk Inkontinensia Urin
Obat Dosis Tipe Inkontinensia Efek Samping
Hyoscamin 3 x 0,125 mg Urgensi atau Mulut kering, mata kabur,
campuran glaukoma, derilium, konstipasi
Tolterodin 2 x 4 mg Urgensi atau OAB Mulut kering, konstipasi
Imipramin 3 x 25-50 mg Urgensi Derilium, hipotensi ortostatik
Pseudoephedrin 3 x 30-60 mg Stress Sakit kepala, takikardi, hipertensi
Topikal Urgensi dan Stress Iritasi lokal
estrogen
Doxazosin 4 x 1-4 mg BPH dengan Urgensi Hipotensi postural
Tamsulosin 1 x 0,4-0,8
mg
Terazosin 4 x 1-5 mg

Penggunaan fenilpropanolamin sabagai obat inkontenensia urin tipe stress sekarang telah
dihentikan karena hasil uji klinik yang menunjukkan adanya resiko stroke pasca penggunaan obat

25
ini. Sebagai gantinya digunakan pseudoefedrin. Namun penggunaan pseudoefedrin pun jarang
ditemukan pada usia lanjut karena adanya masalah hipertensi, aritmia jantung dan angina.
Pembedahan merupakan langkah terakhir yang dilakukan untuk masalah inkontinensia bila
terapi secara farmakologis dan non-farmakologis tidak berhasil dilakukan. Pembedahan yang
sering dilakukan ialah berupa pemasangan kateterisasi yang menetap. Namun penggunaan
kateterisasi ini harus benar-benar dibatasi pada indikasi yang tepat. Misalnya adanya ulkus
dekubitis yang terganggu penyembuhannya karena adanya inkontinensia urin ini. Komplikasi yang
dapat timbul sebagai efek dari penggunaan kateter ialah timbulnya batu saluran kemih, abses ginjal
bahkan proses keganasan pada saluran kemih.
Pada laki-laki dengan obstruksi saluran kemih akibat hipertrofi prostat dapat dilakukan
pembedahan untuk mencegah timbulnya inkontinensia tipe overflow di kemudian hari. Selain itu,
ada pula teknik pembedahan yang bertujuan melemahkan otot detrusor misalnya dengan
menggunakan pendekatan postsakral maupun paravaginal. Teknik pembedahan ini contohnya
ialah transeksi terbuka kandung kemih, transeksi endoskopik, injeksi penol periureter dan sitolisis.

6. REHABILITASI MEDIK UNTUK INKONTINENSIA URIN


Terapi perilaku merupakan langkah awal terapi urge incontinence. Merupakan manajemen
terapi pilihan jangka panjang karena :

1. Terapi obat untuk terapi DI mempunyai efek samping antikolinergik yang tidak menyenangkan.

2. Angka penyembuhan dengan terapi perilaku ini cukup baik bila dibandingkan dengan terapi
obat, dan setiap terapi obat, efeknya akan ditingkatkan dengan memodifikasi tingkah laku yang
menyebabkan timbulnya DO.

Terapi perilaku didasarkan pada pemikiran bahwa kondisi ini terjadi karena hilangnya
kontrol kortikal terhadap detrusor pada proses berkemih yang sebelumnya ada selama fase toilet
training anak-anak. Tujuan bladder retraining (bladder drill) adalah membentuk kembali
kemampuan kontrol korteks serebral terhadap fungsi kandung kemih. Dengan bladder retraining
diharapkan pola kebiasaan disfungsional, memperbaiki kemampuan untuk menekan urgensi dapat
diubah dan secara bertahap akan meningkatkan kapasitas kandung kemih dan memperpanjang
interval berkemih.

26
Terapi ini diberikan jika pasien dapat bekerja sama melalui suatu regimen berkemih
terkontrol, yang secara bertahap interval antar waktu berkemihnya akan ditingkatkan sehingga
siklus urgensi, frekuensi dan urge incontinence dapat diubah (Burgio and Burgio, 1986; Hadley et
al., 1986).

Bladder retraining dilakukan dengan cara meningkatkan waktu antar berkemih secara
progresif 10-15 menit setiap satu minggu atau kepustakaan lain menyebutkan 30 menit setiap 2
5 hari hingga tercapai interval yang cukup (2,5-3 jam). Interval berkemih ditingkatkan secara
bertahap seiring dengan kemampuan pasien menekan urgensi dalam waktu yang cukup lama agar
dapat berjalan secara perlahan ke toilet dan berkemih secara terkontrol. Kontraksi dasar panggul
dipergunakan untuk menginhibisi urgensi dan menunda berkemih.

Contoh bladder retraining adalah sebagai berikut jika catatan berkemih menunjukkan
bahwa pasien mengalami ngompol setiap 3 jam, pasien diminta untuk berkemih setiap 2 jam.
Setelah berhasil tidak ngompol selama 3 hari berturut-turut, pasien memperpanjang waktu
intervalnya selama 1/2jam dan mengulangi proses tersebut diatas hingga tercapai kepuasaan atau
tercapai kondisi kontinen. Pasien tidak perlu berkemih pada malam hari bila tidak
menginginkannya.

Latihan otot dasar panggul, teknik biofeedback dan stimulasi elektrik dapat membantu
memperkuat otot dasar panggul untuk memperkuat penutupan uretra dan secara refleks
menghambat kontraksi kandung kemih.

Latihan kandung kemih ini sering sangat bermanfaat untuk pasien-pasien dengan perbaikan
lesi neurologis (contoh cedera kepala, stroke) dan fungsi kandung kemih tetapi mengalami
gangguan berkemih atau rasa takut adanya inkontinensia berdasarkan pengalaman sebelumnya.

Jika pasien tidak dapat bekerja sama (contohnya pasien demensia), dapat dilakukan
prompted voiding dan routine toileting. Dengan teknik routine toileting, pasien dibawa ke toilet
secara teratur untuk menghindari episode inkontinen. Sementara untuk pasien yang menyadari
status kandung kemihnya, prompted voiding dapat diberikan. Pada protokol ini, pasien diminta
berkemih dengan interval yang teratur, pasien diperbolehkan berjalan jika mampu atau didampingi
ke toilet.

27
Reinforcement positif secara verbal harus diberikan sementara reinforcement negatif harus
dihindari untuk mempertahankan kondisi kontinen dan pegunaan toilet.

Penggunaan catatan berkemih dalam terapi ini juga bermanfaat. Jika inkontinensia
memburuk pada malam hari dan catatan menunjukkan adanya diuresis noktural yang dipicu oleh
kontraksi yang tidak dapat diinhibisi, inkontinensia noktural dapat dihentikan dengan cara
mengubah intake cairan atau meresepkan diuretik kerja singkat pada saat makan malam sehingga
sedikit cairan akan diekskresikan selama waktu tidur (Pedersen and Johansen, 1988; nocturnal use
of an antidiuretic agent remains investigational [Carter et al., 1990]). Jika diuresis nokturnal terjadi
karena edema perifer tanpa gagal jantung, sebuah pressure-gradient stocking dapat mengurangi
akumulasi cairan dan kebocoran noktural.

Pada pasien DHIC dengan catatan berkemih dan volume PVRnya menunjukkan kontraksi
tidak diinhibisi yang diprovokasi hanya saat volume yang besar, maka dengan berkemih setiap
beberapa jam sehari, sebelum kandung kemih terasa penuh, menyebabkan pasien tidak mengompol
pada siang hari tetapi kebocoran nokturnal akan tetap ada karena kapasitas fungsional kandung
kemihnya rendah. Kateterisasi harus dilakukan sebelum tidur sehingga akan mengeluarkan residu
urin untuk meningkatkan kapasitas kandung kemih dan menjadikan pasien kontinensia serta tidur
nyenyak. Pada kasus seperti ini supresi kontraksi detrusor oleh obat-obatan dapat dihindari secara
signifikan.

28
VII. DAFTAR PUSTAKA

1. Setiati, S. dan Pramantara, I.D.P. (2007). Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih
Hiperaktif. Dalam : Aru W. Sudoyo, Bambang S., Idrus Alwi, Marcellus S.K., Siti setiati.
Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Edisi 4. Jakarta : FK UI. pp: 1392.
2. Stanley, M. dan Patricia G.B. (2006). Buku Ajar Keperawatan Gerontik . Jakarta: EGC.
3. Stocklager dan Jame L. (2007). Buku ajar keperawatan gerontik . Edisi2. Jakarta: EGC.
4. Stockslager dan Jaime L. (2007). Buku Saku Gerontik Edisi 2 . Jakarta : EGC.
5. Martono HH, Pranarka K. Geriatri. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2009.h.226-
41.
6. Hardman GJ, Limbird LE, Gillman AG. Dasar farmakologi terapi. Edisi ke-10. Jakarta :
EGC; 2008; 2: h.312-23.
7. Brooks GF, Butel JS, Ornston LN. Mikrobiologi kedokteran. Edisi ke-20. Jakarta : EGC;
2004.h.116-139.
8. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Buku Ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi ke-5.. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.865-875.
9. Brockelhurst JC, Allen SC. Urinary incontinence. Geriatric Medicine for students 3rd ed.
London: Churchill Livingstone; 2003.h.73-91.
10. Baradero M, Siswati Y. Asuhan keperawatan klien gangguan ginjal. Jakarta: EGC;
2009.h.92-101.
11. Departemen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku ajar
mikrobiologi kedokteran edisi revisi. Jakarta : Binarupa Aksara Publisher; 2009.h.107-115
12. Whitcomb EL, Subak LL. Effect of weight loss on urinary incontinence in women. Open
Access J Urol.2011; 3: 12332.
13. Mota RL. Female urinary incontinence and sexuality. Int Braz J Urol.2017; 43(1): 208.
14. Kl M. Incidence and risk factors of urinary incontinence in women visiting Family
Health Centers. 2016; 5(1): 1331.
15. DeMaagd GA, Davenport TC. Management of Urinary Incontinence. P T.2012; 37(6):
345-361, 361B-361H.
16. Suskind AM, Dunn RL, Morgan DM, A Screening Tool for Clinically Relevant Urinary
Incontinence. Neurourol Urodyn. 2015; 34(4): 3325.
17. Lapitan CM. Epidemiology of Urinary Incontinence in Asia. In : Min Chong Ching

29
editor. Clinical Handbook on The Management Incontinence. 2nd ed. Singapore :
Society for Continence. 2001 : 1-4
18. Chye PLH. The Overative Bladder. Epidemiology of Urinary Incontinence in Asia.
In : Min Chong Ching editor. Clinical Handbook on The Management Incontinence.
2nd ed. Singapore : Society for Continence. 2001 : 60-9

30

Anda mungkin juga menyukai