Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Rabies adalah salah satu penyakit zoonosis yang merupakan penyebab


signifikan kematian pada hewan dan manusia pada sebagian besar negara di dunia.
Setiap tahun tercatat 50.000-70.000 orang meninggal akibat rabies. Infeksi ini
masih tersebar luas di dunia, menyebabkan beban sosial dan ekonomi bagi banyak
negara dan sayangnya masih terabaikan.1,2
Asia Tenggara menjadi salah satu kawasan endemik rabies. Lebih dari 1,4
juta jiwa berisiko terkena infeksi rabies di Asia tenggara. Setiap tahun di Asia
tenggara sebanyak 23.000 25.000 meninggal akibat rabies. Di Maroko,
dilaporkan kasus rabies yang meninggal pada tahun 2013 sebanyak 127 kasus,
2012 sebanyak 255 kasus, dan 2013 sebanyak 133 kasus.3,4 Di Indonesia, sebanyak
25 dari 34 provinsi tertular rabies. Provinsi bebas rabies antara lain Papua, Papua
Barat, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, NTB, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur,
dan DKI Jakarta. Tahun 2014 tercatat 42.958 kasus Gigitan Hewan Penderita
Rabies (GHPR), paling banyak di provinsi Bali yaitu 21.161 kasus, diikuti NTT
5.340 kasus dan Sulawesi Utara 3.601 kasus. Kasus kematian karena rabies
(Lyssavirus) turun dari 195 pada tahun 2009 menjadi 81 tahun 2014.3,4 di Bali,
rabies tersebar di seluruh pulau dengan insidens tertinggi di 2 Kabupaten, yaitu
Denpasar dan Badung. Insidens yang tinggi berkaitan dengan kepadatan manusia
dan anjing. Banyak kasus rabies tidak terdiagnosis karena umumnya korban tidak
atau terlambat memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan. Untuk wilayah Maluku,
Tahun 2015 kasus gigitan sebanyak 1242 kasus dengan kematian sebanyak 5
orang. Sedangkan pada tahun 2016, terjadi peningkatan jumlah kasus gigitan
sebanyak 1379 kasus dengan kasus kematian 6 orang.1,2,5,6

1
Misdiagnosis dengan penyakit neurologis lain juga sering terjadi. Hingga saat
ini, belum ada pengobatan efektif dan hampir semua kasus berakhir dengan
kematian.5 Oleh karena itu, penting untuk dilakukan pencegahan dini terhadap
infeksi rabies agar bisa menekan angka kematian yang terjadi, khususnya di kota
Ambon.

B. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui penyakit rabies mulai dari definisi, etiologi, epidemiologi,


perjalanan penyakit hingga penanganan dari penyakit ini.
2. Untuk mengetahui pencegahan rabies
3. Untuk mengetahui pengendalian rabies

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Rabies merupakan penyakit virus akut dari sistem saraf pusat yang
mengenai semua mamalia dan ditularkan oleh sekresi yang terinfeksi biasanya
saliva. Sebagian besar pemajanan terhadap rabies melalui gigitan binatang yang
terinfeksi, tapi kadang aerosol virus atau proses pencernaan atau transplantasi
jaringan yang terinfeksi dapat memulai proses penyakit.7
Nama lain untuk rabies hydrophobia, la rage (Perancis), la rabbia (Italia),
la rabia (Spanyol), die tollwut (Jerman) atau di Indonesia terkenal dengan nama
penyakit Anjing Gila.8

B. ETIOLOGI
Virus rabies merupakan virus RNA, termasuk dalam familia
Rhabdoviridae, genus Lyssa. Virus berbentuk peluru atau silindris dengan salah
satu ujungnya berbentuk kerucut dan pada potongan melintang berbentuk bulat
atau elip (lonjong), dapat dilihat pada gambar berikut.5

Gambar 1. Rhabdovirus

3
Virus tersusun dari ribonukleokapsid dibagian tengah, memiliki membrane
selubung (amplop) dibagian luarnya yang pada permukaannya terdapat tonjoloan
(spikes) yang jumlahnya lebih dari 500 buah. Pada membran selubung (amplop)
terdapat kandungan lemak yang tinggi. Virus berukuran panjang 180 nm, diameter
75 nm, tonjolan berukuran 9 nm, dan jarak antara spikes 4-5 nm.5,9
Virus peka terhadap sinar ultraviolet, zat pelarut lemak, alkohol 70 %, yodium,
fenol dan klorofrom. Virus dapat bertahan hidup selama 1 tahun dalam larutan
gliserin 50 %. Pada suhu 600C virus mati dalam waktu 1 jam dan dalam
penyimpanan kering beku (freezedried) atau pada suhu 4 0C dapat tahan selama
Berbulan bulan.8,10

C. EPIDEMIOLOGI
Sekitar 150 negara didunia telah terjangkit rabies, dan sekitar 55.000
meninggal karena rabies setiap tahun. Lebih dari 15 juta orang yang
terpajang/digigit hewan penular rabies di dunia, yang terindikasi mendapatkan
pengobatan profilaksis Vaksin Anti Rabies (VAR) untuk mencegah timbulnya
rabies.11
Secara global, perkiraan menunjukkan bahwa angka kematian manusia
(karena rabies oleh anjing didaerah endemik) paling tinggi di Asia, dengan
kejadian dan kematian tertinggi dilaporkan di India. Hal ini diikuti oleh Afrika,
namun perkiraan beban selalu tidak pasti karena tidak adanya data yang dapat
dipercaya. Investigasi lebih lanjut mengenai skala beban rabies di Timur Tengah
dan Asia Tengah diperlukan, di mana informasi minimal tersedia. Amerika Latin
dan Karibia telah mengalami pengurangan jumlah kasus rabies manusia dan hewan
yang mengikuti pelaksanaan program pengendalian anjing rabies. Laporan resmi
kasus rabies manusia yang ditularkan oleh anjing menurun dari sekitar 250 pada
tahun 1990 menjadi kurang dari 10 pada tahun 2012. Pan American Health
Organization telah menetapkan target untuk menghilangkan rabies yang
diperantaraii anjing dari Amerika pada tahun 2015.2,3

4
Gambar 2. Gambaran anjing rabies uang ditularkan ke manusia berdasarkan data
terbaru 2010 2014 (WHO 2015)
Di Afrika Selatan, 4 genotipe lyssavirus, yang menyebabkan rabies,
bersifat endemik. Yang paling umum adalah Genotipe 1 (Virus Rabies,
RABV). Yang lainnya adalah Genotipe 2 (virus kelelawar Lagos, LBV), Genotipe
3 (virus Mokola, MOKV) dan genotype 4 (virus Duvenhage) oleh biotipe RABV.3
Di Indonesia Rabies pertama kali dilaporkan secara resmi oleh Esser
diJawa Barat pada tahun 1884 pada seekor kerbau. Kemudian oleh Penning pada
anjing pada tahun 1889 dan oleh E.V.de Haan pada manusia tahun 1894.
Penyebaran rabies di Indonesia bermula 3 provinsi yaitu Jawa Barat, Sumatera
Barat, dan Sulawesi Selatan sebelum perang dunia ke-2. Distribusi penyakit rabies
sangat bervariasi untuk setiiap belahan dunia. Di Indonesia hewan penular rabies
utama yaitu anjing sebesar 98% monyet dan kucing sebesar 2%.11

Sampai dengan tahun 2015, rabies tersebar di 25 provinsi dengan jumlah


kasus gigitan yang cukup tinggi. Berdasarkan data tahun 2015 dari Ditjen
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Direktorat Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik terdapat 80.403 kasus gigitan
hewan penular rabies (GHPR) yang dilaporkan. Sedangkan 9 provinsi bebas

5
rabies, diantaranya 5 provinsi bebas historis (Papua, Papua Barat, Bangka
Belitung, kepulauan Riau dan Nusa Tenggara Barat) dan 4 provinsi dibebaskan
(Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan DKI Jakarta). Terdapat beberapa
indikator yang digunakan dalam memantau upaya pengendalian rabies yaitu :
kasus Gigitan Hewan Penular Rabies (GHPR), kasus yang diberi vaksinasi post
exposure treatment dengan Vaksin Anti Rabies (VAR) dan kasus yang meninggal
karena rabies (Lyssa) dan spesimen positif pada hewan. Penentuan suaatu daerah
dikatakan rabies berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium hewan, dan
kewenangan ini ditentukan oleh Kementrian Pertanian.2,11

Berdasarkan gambaar diatas terjadi penurunan kasus GHPR pada tahun


2012 sebanyak 84.750 kasus menjadi 69.136 kasus pada tahun 2013 dan

6
meningkat kembali pada tahun 2014 dan 2015. Sedangkan kasus kematian akibat
rabies (Lyssa) mengalami penurunan signifikan sampai tahun 2014 dan meningkat
sebesar 20% pada tahun 2015 karena meningkatnya kasus positif pada hewan,
masyarakat tidak melapor sehingga penanganan kasus gigitan tidak dilaksanakan
sesuai SOP.2
Pada tahun 2015 terdapat 80.403 kasu GHPR. Kasus paling banyak terjadi
di Bali yaitu sebanyak 42.630 kasus, diikuti oleh Nusa Tenggara Timur yaitu
sebsnyak 7.386 kasus. Sedangkan untuk kematian rabies (Lyssa) terdapat 118
kasus, terjadi paling banyak di Sulawesi Utara sebanyak 28 kasus dandi Bali
sebanyak 15 kasus.2,11

Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa kasus kematian akibat rabies


tertinggi (Lyssa) selama 3 tahun berturut-turut (2013,2014,2015) adalah provinsi
Sulawesi Utara yaitu 30 kasus, 22 kasus, 28 kasus.11

7
Tinggi rendahnya rabies pada hewan dan manusia disuatu daerah
tergantung beberap faktor:2,11
1. Kesadaran masyarakat dalam tatacara memelihara hewan yang baik dan
benar (vaksinasi rutin dan tidak meliarkan hewan peliharaan)
2. Pengetahuan masyarakat tentang bahaya rabies
3. Kesadaran masyarakat untuk melaporkan kasus gigitan hewan penular
rabies ke fasilitas keasehatan
4. Kesadran masyarakat untuk segera kepelayanan kesehatan setelah di
gigit hewan penular rabies untuk mendapatkan pengobatan sesuai SOP
5. Perpindahan penduduk dan lalu lintas penduduk dengan membawa
hewan lainnya peliharaan dari satu wilayah ke wilayah.

Berdasarkan gambar diatas terlihat kasus rabies pada manusia mengalami


penurunan dari tahun 2010 yaitu 206 kasus menjadi 98 kasus pada tahun 2014 dan
meningkat kembali pada tahun 2010 yaitu 1814 kasus menjadi 1074 kasus pada
thaun 2014 dan meningkat kembali pada tahun 2015. Disni terlihat bila kasus
Rabies pada hewan meningkat/menurun maka kasus pada manusia akan mengikuti

8
tren dari hewannnya, salah satu sebab meningkat kasus pada hewan dan manusia
tahun 2015 adlah kenaikan kasus rabies di provinsi Bali, Provinsi kalimantan Barat
dsn Kalimantan tengah.2
Di Provinsi Maluku merupakan daerah bebas rabies sebelumnya. Kasus
gigitan akibat hewan panular rabies pertama kali dilaporkan tanggal 28 Agustus
2003 oleh puskesmas Lateri dan puskesmas Urimesing sebanyak 7 kasus gigitan
dengan 3 kasus kematian diduga rabies. Petugas Dinas Kesehatan Provinsi Maluku
dan Dinas Kesehatan Kota Ambon melakukan investigasi terhadap kasus tersebut.
Hasil investigasi mennjukkan bahwa hewan penular rabies yaitu anjing yang di
bawa oleh nelayan berasal dari Sulawesi Tenggara. Sampai saat ini jumlah
Kabupaten/Kota yang menjadi daerah tertular rabies ada lima Kabupaten/Kota dari
sebelas Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Maluku. Kabupaten/Kota yang
tertular adalah Kota Ambon, Kabupaten Maluku Tengah, Kabupaten Seram
Bagian Barat, Kabupaten Maluku Tenggara Barat dan Kabupaten Maluku Barat
Daya.14
Untuk perkembangan kasus rabies di Maluku dapat dilihat pada gambar
dibawah ini dengan keterangan :
KG : Kasus Gigitan Hewan Penular Rabies
PET : Pre Exposure Treatment (Orang Yang Digigit Yang sudah diberikan
Vaksin Anti Rabies (VAR).
Lyssa : Orang Yang Meninggal karena Rabies
SP : Spesimen Kepala Anjing yang positif rabies yang diperiksa Di
Laboratorium Kesehatan Hewan.

9
Tabel 2. Distribusi Kasus rabies di Maluku tahun 2016 14

TOTAL
N0 KAB/KOTA
KG PET LYSSA SP

1. AMBON 581 351 4 121

2. MALTENG 236 186 1 3

3. SBB 321 321 1 147

4. MTB 134 131 0 0

5. MBD 107 107 0 0

TOTAL 1379 1096 6 271

4.271

4.500
4.000
3.252
3.500
3.000
2.500
2.000 1.650
1.200 1.242 1.379
1.500 956 1.096
1.000 623
500 6 176 5 176 6 271 17
0
2014 2015 2016 TOTAL
KG 1.650 1.242 1.379 4.271
PET 1.200 956 1.096 3.252
L 6 5 6 17
SP 176 176 271 623

Gambar 5. Perkembangan status rabies dari tahun 2014 201614

10
Berdasarkan gabar diatas menunjukkan pada tahun 2014 kasus gigitan
sebanyak 1650 kasus, dengan kasus kematian sebanyak 6 orang. Tahun 2015
terjadi penurunan kasus gigitan menjadi 1242 kasus dengan kematian sebanyak 5
orang. Sedangkan pada tahun 2016, terjadi peningkatan jumlah kasus gigitan
sebanyak 1379 kasus dengan kasus kematian 6 orang.14

D. PATOGENESIS

Rabies adalah penyakit zoonosis dimana manusia terinfeksi melalui


jilatan atau gigitan hewan yang terjangkit rabies seperti anjing, kucing, kera,
musang, serigala, raccoon, kelelawar. Virus masuk melalui kulit yang terluka
atau melalui mukosa utuh seperti konjungtiva mata, mulut, anus, genitalia
eksterna, atau transplantasi kornea. Infeksi melalui inhalasi virus sangat jarang
ditemukan. Setelah virus rabies masuk melalui luka gigitan, maka selama 2
minggu virus tetap tinggal pada tempat masuk dan didekatnya, kemudian
bergerak mencapai ujung-ujung serabut saraf posterior tanpa menunjukkan
perubahan perubahan fungsinya. Masa inkubasi virus rabies sangat bervariasi,
mulai dari 7 hari sampai lebih dari 1 tahun, rata-rata 1-2 bulan, tergantung jumlah
virus yang masuk, berat dan luasnya kerusakan jaringan tempat gigitan, jauh
dekatnya lokasi gigitan ke sistem saraf pusat, persarafan daerah luka gigitan dan
sistem kekebalan tubuh. Pada gigitan di kepala, muka dan leher 30 hari,gigitan di
lengan, tangan, jari tangan 40 hari, gigitan di tungkai, kaki, jari kaki 60 hari,
gigitan di badan rata-rata 45 hari. Asumsi lain menyatakan bahwa masa inkubasi
tidak ditentukan dari jarak saraf yang ditempuh , melainkan tergantung dari
luasnya persarafan pada tiap bagian tubuh, contohnya gigitan pada jari dan alat
kelamin akan mempunyai masa inkubasi yang lebih cepat. Tingkat infeksi dari
kematian paling tinggi pada gigitan daerah wajah, menengah pada gigitan daerah
lengan dan tangan,paling rendah bila gigitan ditungkai dan kaki. Sesampainya di
otak virus kemudian memperbanyak diri dan menyebar luas dalam semua bagian
neuron, terutama predileksi terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus dan

11
batang otak. Setelah memperbanyak diri dalam neuron-neuron sentral, virus
kemudian ke arah perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter
maupun saraf otonom. Dengan demikian virus menyerang hampir tiap organ dan
jaringan didalam tubuh, dan berkembang biak dalam jaringan, seperti kelenjar
ludah, ginjal, dan sebagainya.9,2,15

Gambar 6. Patogenesis Rabies15

12
E. MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis pada manusia antara lain :2,15


1. Prodromal
Gejala tidak spesifik, demam dan di lokasi gigitan terasa gatal, nyeri, dan
kesemutan. Berlangsung beberapa hari, tidak lebih dari seminggu.
2. Fase Neurologis Akut (klasik rabies), terdiri dari 2 bentuk:
Ensefalitik: hiperaktif, bingung, halusinasi, gangguan saraf kranial (III,
VII, VIII), stimulasi otonom (hipersalivasi, hiperlakrimasi, hiperhidrosis,
dilatasi pupil, tekanan darah labil, hilang kontrol suhu), spasme/ kejang
akibat rangsang taktil, visual, suara, penciuman (fotofobia: cahaya,
aerofobia: udara, hidrofobia: air).
Paralitik: bersifat ascending, umumnya lumpuh dari ekstremitas yang
digigit lalu ke seluruh tubuh dan otot pernapasan. Gejala klinis mirip
dengan sindrom Guillain-Barre (GBS).

Manifestasi klinis pada hewan yaitu ditandai dengan anjing tidak


menurut/mengenal pemiliknya, mudah terkejut, mudah berontak bila diprovokasi,
suka menggigit apa saja tanpa provokasi, beringas, menyerang manusia, air liur
banyak keluar, ekor dilengkungkan ke bawah perut, kejang-kejang lalu menjadi
lumpuh. Kematian umumnya disebabkan kelumpuhan pernapasan dalam 7-10 hari
setelah gejala prodromal.2,15

F. DIAGNOSIS
Diagnosis antemortem meliputi deteksi antigen (direct fluorescent antibody/
DFA, ELISA), deteksi antibodi spesifik virus (rapid fluorescent focus inhibition
test/ RFFIT, fluorescent antibody virus neutralization test/ FAVN, ELISA), isolasi
Lyssavirus (kultur sel), dan deteksi protein virus/ RNA (PCR,
histopatologi).15,16

13
PCR dilakukan pada sampel air liur, cairan serebrospinal, sekret pernapasan,
air mata, biopsi kulit. Isolasi virus sangat ideal tetapi butuh waktu lama.17
Pemeriksaan cairan serebrospinal pada ensefalomielitis menunjukkan pleositosis
dengan limfositosis, protein dapat sedikit meningkat, dan glukosa umumnya
normal. Pemeriksaan imaging seperti MRI dapat menilai ensefalitis.18,19
Diagnosis pasti postmortem ditegakkan dengan adanya badan inklusi (Negri)
di jaringan otak pasien, meskipun hasil positif dijumpai pada kurang dari 80%
kasus.15

G. PENCEGAHAN RABIES
Pencegahan pada rabies yang dapat dilakukan, antara lain:2
1. Pemeliharaan hewan piaraan dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab
dan memperhatikan kesejahteraan hewan, jangan diliarkan atau diumbar keluar
pekarangan rumah tanpa pengawasan dan kendali ikatan
2. Berikan vaksinasi anti rabies pada hewan peliharaan secara berkala di Pusat
Kesehatan Hewan, dinas kesehatan hewan atau dinas peternakan, atau ke
dokter hewan
3. Segera melapor ke puskesmas atau rumah sakit terdekat apabila di gigit oleh
hewan tersangka rabies untuk mendapatkan VAR
4. Apabila melihat binatang dengan gejala rabies, segera laporkan kepada Pusat
Kesehatan Hewan (Puskewan), dinas peternakan atau yang membawahi bidang
peternakan atau dinas kesehatan hewan.

H. PENGENDALIAN
Tujuan pengendalian rabies di Indonesia sesuai deklarasi ASEAN tahun
2012 meliputi: Indonesia tereliminasi rabies pada tahun 2020, mencegah kematian
dan menurunkan pajanan rabies, serta mempertahankan daerah bebas rabies
berkelanjutan.2

14
Upaya pengendalian rabies di Indonesia hingga saat ini meliputi: vaksinasi,
respons cepat dan observasi hewan tersangka rabies, KIE (komunikasi, informasi,
dan edukasi), surveilans, eliminasi anjing selektif, manajemen populasi anjing,
pembangunan fasilitas untuk kontrol rabies kontrol, dan manajemen pasca pajanan
pada manusia.21 Beberapa indikator pemantau upaya pengendalian rabies, antara
lain: jumlah kasus GHPR, penatalaksanaan kasus gigitan (post-exposure
treatment), dan kasus yang positif rabies dan mati berdasarkan uji Lyssa.22
Vaksinasi anjing massal (cakupan minimal Vaksinasi anjing massal
(cakupan minimal 70%) dinilai sebagai strategi paling hemat biaya dan efektif
untuk mencegah rabies pada manusia. Sejak 2010, dilakukan vaksinasi massal
anjing di Bali, hasilnya jumlah kasus rabies pada manusia menurun sebesar 90%
pada tahun 2010-2012 dan pada anjing menurun sebesar 86% pada tahun 2011.21,23

Vaksinasi Pra-Paparan (pre-exposure prophylaxis)


Vaksin rabies terbuat dari virus rabies inaktif dan tidak menyebabkan
rabies. Jenis vaksin meliputi human diploid cell vaccine (IM dosis 1 mL),
purified chick embryo cell vaccine (IM dosis 1 mL), dan purified vero cell
vaccine (IM dosis 0,5 mL). CDC dan WHO merekomendasikan pemberian
vaksin pra-pajanan pada orang yang secara kontinu bagi yang sering atau
berisiko tinggi terpajan virus rabies, seperti: pekerja laboratorium, dokter
hewan, pekerja kontak hewan penular, wisatawan, penjelajah gua, penduduk
area endemik17,24
Jadwal vaksinasi pra-pajanan adalah 3 dosis intramuskuler/intradermal
(Tabel 3). Injeksi dilakukan secara IM pada orang dewasa dan anak 2 tahun di
otot deltoid, sedangkan anak <2 tahun dilakukan di paha anterolateral.
Injeksi.15,16,17

15
Tabel 3. Vaksinasi Pra papar menurut rekomendasi WHO
Jumlah kunjungan
Rute Pemberian Hari Injeksi

IM (1 vial) 3 dosis (1-1-1 pada hari 0,7,21, atau 28 ) ^ 3

ID (0,1 ml) 3 dosis (1-1-1 pada hari 0,7,21, atau 28 3

^ Jadwal yang digunakan di Indonesia

I. PENATALAKSANAAN
Belum ada obat untuk menyembuhkan rabies. Angka kematian sebesar
100% pada orang yang tidak divaksin. Pasien dengan klinis rabies perlu dirawat di
rumah sakit dengan terapi simptomatik dan paliatif berupa analgesik dan sedatif,
serta ditempatkan di ruangan khusus yang gelap dan tenang.15, Penyakit rabies
dapat dicegah melalui manajemen pasca-pajanan hewan tersangka/rabies, meliputi:
penanganan luka yang tepat, pemberian imunisasi pasif (serum/ imunoglobulin),
dan imunisasi aktif/ vaksinasi pasca-pajanan. Tidak ada kontraindikasi untuk terapi
pasca- pajanan, termasuk ibu hamil/menyusui, bayi, dan
immunocompromised.17,18,23
Pemberian vaksin anti-rabies (VAR) atau serum anti-rabies (SAR)
ditentukan menurut tipe luka gigitan, lihat pada gambar 7 dan tabel 4.

16
Gambar 7. Alur pemberian VAR dan SAR pada kasus gigitan hewan
tersangka/ rabies

17
Tabel 4. Indikasi Pemberian VAR dan SAR
Kontak hewan yang menggigit
Pengobatan yang
No Tipe luka gigitan Pada waktu Observasi
dilakukan
menggigit 14 hari
Kontak tanpa ada luka Sehat Sehat Tidak perlu
1
Gila Rabies Tidak perlu
Luka garukan atau lecet, Sehat Sehat Tidak perlu
luka kecil disekitar tangan Tersangka gila Sehat Segera VAR, stop
, tangan, badan kaki vaksinasi bila hewan
tersangka masih sehat
selama 14 hari
2
Gila VAR lengkap
Hewan liar atau VAR lengkap
hewan gila dan
hewan yang tidak
dapat diobservasi
Luka parah (multiple, luka Mencurigakan gila VAR dan SAR
3 dimuka, kepala, jari kaki, atau hewan tidak Stop bila hewan sehat
jari tangan) dapat diobservasi selama 14 hari

Penanganan Luka
Luka gigitan/jilatan segera dicuci dengan air mengalir dan sabun/deterjen
minimal 15 menit, dilanjutkan pemberian antiseptic (povidon iodine, alkohol 70%,
dll). Penjahitan luka dihindari sebisa mungkin. Bila tidak mungkin (misalnya luka
lebar, dalam, perdarahan aktif), dilakukan jahitan situasi. Bila akan diberi SAR,
penjahitan harus ditunda beberapa jam (>2 jam), sehingga antibody dapat
terinfiltrasi ke jaringan dengan baik. Virus rabies umumnya menetap di sekitar
luka selama 2 minggu sebelum mencapai ujung serabut saraf posterior dan virus
mudah mati dengan sabun/deterjen.12 Penanganan luka saja terbukti dapat
mengurangi risiko rabies pada penelitian hewan.11,16,17,20

18
Imunisasi Pasif
RIG (rabies immunoglobulin) atau SAR menetralkan langsung virus pada
luka, memberi perlindungan selama 7-10 hari sebelum antibodi yang diinduksi
vaksinasi muncul. Pemberian tidak diperlukan jika vaksinasi telah diberikan >7
hari sebelumnya.17
Indikasi SAR adalah pada luka risiko tinggi, meliputi: luka multipel, luka
di area banyak persarafan (muka, kepala, leher, ujung jari tangan, ujung jari kaki),
dan kontak air liur di mukosa/selaput lendir.20 Ada dua jenis SAR yaitu dari serum
manusia dan kuda, keduanya direkomendasikan oleh WHO (Tabel 5). Dosis
dihitung sesuai berat badan. SAR diinfiltrasi ke dalam dan di sekitar luka, lalu
sisanya diinjeksi secara IM pada ekstremitas yang terluka (deltoid atau
anterolateral paha).19 Sebelum pemberian sebaiknya dilakukan skin test karena
terkadang menimbulkan reaksi anafilaktik.20 Injeksi harus dilakukan pada area
yang jauh dari area injeksi vaksin, karena dapat menekan produksi antibodi. Pada
luka berat dan multipel (biasa pada anak-anak), dilakukan pengenceran dengan
normal salin (2-3 kali), sehingga dapat menginfiltrasi seluruh luka. SAR dapat
diberikan sekali atau hingga hari ketujuh setelah vaksinasi. Setelah hari ketujuh
vaksinasi, SAR tidak diindikasikan lagi karena antibodi yang diinduksi vaksin
dianggap telah ada. Sayangnya, SAR tidak selalu tersedia di beberapa negara.16,19

19
Tabel 4. Tabel 3. Perbedaan HRIG dan pERIG

Imunoglobulin Human RIG Purified equine RIG


Dosis 20 IU/kg 40 IU/kg

IU/mL 150 IU/mL 200 IU/mL

Kontraindikasi Tidak ada Riwayat alergi terhadap protein


kuda

Efek Samping Umumnya nyeri pada area Reaksi anafilaksis langsung


injeksi. Edema seperti hipotensi,
angioneurotik, ruam kulit, dispnea, dan urtikaria (<10%).
sindrom nefrotik, Reaksi lambat
dan syok anafilaksis jarang seperti demam, pruritus,
dilaporkan. eritema, urtikaria,
adenopati, dan artralgia dapat
terjadi.

Imunisasi Aktif
Vaksinasi pasca-pajanan (post-exposure prophylaxis) diberikan dengan
tujuan menginduksi munculnya antibodi penetral rabies. (Tabel 6). Indikasi
pemberian VAR adalah adanya kontak air liur hewan tersangka/ rabies pada luka
risiko tinggi, dan bila hewan penggigit tidak dapat diobservasi. Pemberian
dihentikan bila hewan penggigit tetap sehat selama observasi 14 hari atau dari
hasil pemeriksaan laboratorium negatif.16,20
VAR diberikan secara IM di deltoid atau paha anterolateral, tidak diberikan
di otot gluteal karena produksi antibodi rendah. Efek samping vaksin meliputi
reaksi lokal penyuntikan (35-45%), reaksi sistemik ringan seperti nyeri kepala,
pusing, demam, mual, nyeri perut (5-15%), gangguan sistem saraf seperti sindrom
Guillain-Barre (GBS) ataupun reaksi sistemik serius sangat jarang terjadi.17,18

20
Tel 4. Vaksinasi pasca-pajanan menurut rekomendasi WHO
Individu Rute Hari injeksi Kunjungan
IM (1 vial) 4 dosis (2-1-1 pada 3
hari 0, 7, 21)* atau 5
5 dosis (1-1-1-1-1
pada hari 0, 3, 7, 14,
Belum pernah
28)
divaksin
ID (0,1 ml) 0 (2 tempat), 3 (2 4
tempat), 7 (2 tempat),
28
(2 tempat)
IM 2 dosis (1-1 pada hari 2
Pernah divaksin
0 dan 3)
(*)Jadwal yang digunakan di Indonesia

Jika ada gigitan berulang (re-exposure) dalam <3 bulan setelah profilaksis,
VAR tidak perlu diberikan lagi karena antibodi masih cukup untuk melindungi
tubuh. Bila gigitan berulang terjadi >3 bulan sampai 1 tahun, VAR diberikan 1 kali
dan bila >1 tahun, harus diberi VAR lengkap.5

21
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Rabies adalah salah satu penyakit zoonosis yang merupakan penyebab


signifikan kematian pada hewan dan manusia pada sebagian besar negara di dunia.
Rabies disebabkan oleh virus rabies merupakan virus RNA, termasuk dalam familia
Rhabdoviridae, genus Lyssa. Sekitar 150 negara didunia telah terjangkit rabies, dan
sekitar 55.000 meninggal karena rabies setiap tahun. Sampai dengan tahun 2015,
rabies tersebar di 25 provinsi dengan jumlah kasus gigitan yang cukup tinggi. Untuk
wilayah Maluku, Tahun 2015 kasus gigitan sebanyak 1242 kasus dengan kematian
sebanyak 5 orang. Sedangkan pada tahun 2016, terjadi peningkatan jumlah kasus
gigitan sebanyak 1379 kasus dengan kasus kematian 6 orang. Manifestasi klinis dari
rabies pada manusia terdiri atas, stadium prodromal, fase ensefalitik dan paralitik
yang selalu berakhir dengan kematian. Diagnosis pasti postmortem ditegakkan
dengan adanya badan inklusi (Negri) di jaringan otak pasien, meskipun hasil positif
dijumpai pada kurang dari 80% kasus. Belum ada obat untuk menyembuhkan rabies.
Angka kematian sebesar 100% pada orang yang tidak divaksin. Pencegahan pada
rabies yang dapat dilakukan dengan pemeliharaan hewan dengan baik,dan
memberikan vaksin,melapor ke Puskesmas jika tergigit dan jika melihat hewan
dengan gejala rabies dapat segera melapor ke Puskewan. Upaya pengendalian rabies
di Indonesia hingga saat ini meliputi: vaksinasi, respons cepat dan observasi hewan
tersangka rabies, KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi), surveilans, eliminasi
anjing selektif, manajemen populasi anjing, pembangunan fasilitas untuk kontrol
rabies kontrol, dan manajemen pasca pajanan pada manusia.

22
B. SARAN
1. Untuk Pembaca
Dengan mengetahui dampak dan bahaya dari rabies, setiap orang
diharapkan mampu melakukan pencegahan maupun penanganan awal yang
harus dilakukan ketika tergigit oleh hewan tersangka rabies.

2. Untuk Pemerintah daerah


- Melakukan pencegahan kematian akibat Rabies dengan penanganan kasus
gigitan hewan penular Rabies secara benar dengan cara meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan petugas dalam tatalaksana kasus gigitan
hewan penular Rabies .
- Melakukan penyuluhan secara berkala kepada masyarakat perlu dilakukan
untuk menggugah kesadaran masyarakat agar lebih memperhatikan hal
hal yang dapat memicu terjadinya Rabies diantaranya memperhatikan dan
mengawasi kesehatan hewan peliharaan terutama anjing , kucing dan kera
dengan cara secara teratur melakukan vaksinasi Rabies dan tidak
membiarkan hewan peliharaannya berkeliaran
- Melalui Dinas Peternakan perlu menggalakkan kembali program
vaksinasi murah ataupun gratis terhadap hewan peliharaan anjing, kucing
dan kera

23
DAFTAR PUSTAKA

1. The SouthEast Asia Dog Rabies Elimination Strategy; 2013


2. Infodatin. Situasi dan analisis rabies. 2014. Pusat data dan informasi kementrian
kesehatan RI: Jakarta Selatan
3. World Health Organization. Rabies in the south-east Asia Region. 2015. p. 2-5
4. World Health Organization. Global Alliance for Rabies Control. Maroco. 2014.
p. 2-5
5. Purnamasari L, Putra AD. Pengendalian dan Manajemen Rabies pada Manusia di
Area Endemik ;Continuing professional development. 2017.
6. Dinas Kesehatan Provinsi Maluku. Epidemiologi Rabies. Ambon: 2016
7. Jackson AC, Johannsen EC. Rabies and other Rhabdovirus infection: Harrisons
Principles of internal medical, 17th ed, Vol. 1. Mc
8. Graw-Hill, New York, 2008.Chin, James. Manual Pemberantasan Penyakit
Menular Edisi 17. American Public Health Association, Jakarta 2005, p 427
436
9. Adedeji AO, Okonko IO. An overview of rabies - History, epidemiology, control
and possible elimination. African Journal of Microbiology Research Vol. 4(22).
2010. pp. 2327-2338
10. Rahayu A. Rabies. Fakultas Kedokteran: Universitas Wijaya Kusuma. 2008.p.1-3
11. Infodatin. Situasi dan analisis rabies. 2016. Pusat data dn informasi kementrian
kesehatan RI:Jakarta Selatan
12. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun
2011. Bakti Husada: Jakarta; 2011.
13. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun
2012. Bakti Husada: Jakarta; 2012.
14. Dinas Kesehatan Provinsi Maluku. Profil dinas kesehatan provinsi Maluku:
Pengendalian penyakit bersumber binatang. Ambon; 2017

24
15. Tanzil K. Penyakit Rabies dan penatalaksanaannya. E-Journal WIDYA
Kesehatan Dan Lingkungan. Volume 1 Nomor 1 Mei 2014. p. 61 67
16. Wu1 HH, You KH, Lo HY. Diagnosis, management, and prevention of rabies.
Taiwan EB. 2013;29:23-32.
17. Warrell MJ, WarrellDA. Rabies: The clinical features, management and
prevention of the classic zoonosis. Clin Med (Lond.) 2015;15(1):78-81.
18. World Health Organization. WHO expert consultation on rabies: Second report
[Internet]. 2013 [cited 2016 June 24]. Available from
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/85346/1/9789240690943_eng.pdf
19. Wu1 HH, You KH, Lo HY. Diagnosis, management, and prevention of rabies.
Taiwan EB. 2013;29:23-32.
20. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman pelaksanaan program penanggulangan
rabies di Indonesia [Internet]. 2011 [cited 2016 June 24]. Available from:
http://perpustakaan.depkes.go.id:8180/handle/123456789/1638
21. Association of Southeast Asian Nations. Rabies elimination strategy [Internet].
2013 [cited 2016 June 24]. Available from:
http://vncdc.gov.vn/files/article_attachment/2015/3/endorsed-ares-final.pdf
22. Kementerian Kesehatan RI. Profil kesehatan indonesia tahun 2014 [Internet].
2014 [cited 2016 June 24]. Available from:
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-kesehatan-
indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2014.pdf
23. Bali Animal Welfare Association. Controlling and eradicating rabies in bali
[Internet]. 2015 [cited 2016 June 24]. Available from:
http://bawabali.com/our-programs/rabies-response-control/
24. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Vaksin rabies [Internet]. 2014 [cited 2016 June
24]. Available from:
http://www.idai.or.id/wp-content/uploads/2014/08/IVO-Rabies.pdf

25

Anda mungkin juga menyukai