Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pengertian Politik Hukum


Sudah banyak pengertian atau definisi tentang politik hukum yang

diberikan oleh para ahli di dalam berbagai literatur. Dari berbagai

pengertian atau difinisi itu dengan, mengambil subtansinya yang ternyata

sama, politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi

tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum

baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai

tujuan negara. Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan

tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang

kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang

tercantum di dalam pembukaan UUD 19451.


Sajipto Raharjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas

memilih atau dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan

sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat2.


Menurut soerjono soekanto politik hukum adalah kegiatan memilih

nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai social.


Menurut Teuku muhammad radhie mengatakan bahwa politik

hukum ialah sebagai pernyataan kehendak penguasa negara dan mengenai

hukum yang berlaku di wilayah suatu negara dan mengenai arah

pengembangan hukum.
Pengertian politik hukum menurut Abdul Hakim yaitu politik

hukum sama dengan politik pembangunan hukum.


1
Moh. Mahfud MD, Politik hukum di Indonesia,J akarta,rajawali pers,2014, cet. 6 , hlm 1
2
Satjipto Raharjo, ilmu hukum, citra aditya bakti, bandung, 2000, hlm 30

1
B. Pengaruh Konfigurasi Politik Atas Hukum
Undang-undang Dasar 1945 merupakan konstitusi yang tidak

hanya sekedar konstitusi formal yang hanya mengatur hubungan

kekuasaan dalam negara, artinya negara bukan dilihat sebagai house of

power tetapi menjangkau semua hubungan kekuasaan negara secara

vertikal maupun horizontal serta mengatur hingga hak asasi manusia3.


Dalam penerapannya di Indonesia, konstitusi ini dilaksanakan oleh

organ-organ negara itu sendiri. Peraturan perundang-undangan yang ada di

Indonesia sebagai negara itu sendiri. Peraturan perundang-undangan yang

ada di indonesia sebagai negara demokrasi membutuhkan peran semua

warga negaranya baik laki-laki maupun perempuan di parlemen dengan

jumlah penduduk yang seimbang antara laki-laki dan perempuan, maka

tidak hanya laki-laki yang mempunyai peran di parlemen tetapi juga

perempuan.
Di parlemen, perempuan berperan dalam pembahasan isu-isu

pembangunan seperti pendidikan,lingkungan, layanan sosial serta

memastikan dihasilkannya produk hukum yang melindungi kepentingan

perempuan.hal ini didukung oleh demokrasi yang menuntut perwakilan

bagi semua kelompok masyarakat agar aspirasinya tersalurkan melalui

perwakilan.
Keberadaan perwakilan perempuan maupun laki-laki dalam

pemerintahan berhubungan dengan bagaimana bentuk kebijakan serta

pengambilan keputusan terhadap permasalahan yang terjadi. Pengambilan

3
Komisi Hukum Nasional Akar-Akar Mafia Peradilan di indonesia, Masalah Akuntabilitas
Penegak Hukum (Jakarta, Komisi Hukum Nasional,2009) hlm.17

2
kesehatan, perekonomian, hingga politik itu sendiri. Peran wakil dari

rakyat adalah untuk menyalurkan aspirasi yang ada dimasyarakat secara

umum yang merupakan bagian dari tanggng jawab negara.


Dengan jumlah penduduk yang hampir seimbang antara laki-laki

maupun perampuan, maka dapat dipastikan bahwa tidak hanya laki-laki

yang mempunyai peran di lembaga perwakilan rakyat, hal ini dikarenakan

perempuan mendapatkan akses untuk diberi kesempatan itu.


Salah satu upaya dalam rangka membangun hukum yang responsif

terhadap segala permasalahan yang terus silih berganti dalam kehidupan

bermasyarakat, begbangsa dan bernegara, yang juga dibarengi dengan

pesatnya perkembangan teknologi dan informasi, telah ikut mempengaruhi

tatanan kehidupan yang berdampak pada terjadinya perubahan secara

progresif dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara adalah perlu ada suatu tatanan kehidupan yang didasarkan pada

ketentuan peraturan perundang-undangan yang sensitif sekaligus responsif

terhadap berbagai hal perubahan yang terjadi dalam masyarakat.


Hal ini dilihat dari peraturan perundang-undangan sebagai sebuah

norma yang masyarakat.maka, keberadannya diharapkan mampu

menampung berbagai macam kebutuhan dan kepentingan yang ada di

dalam masyarakat itu sendiri meskipun hal ini menjadi sebuah dilema baru

bagi pembentuk peraturan perundang-undangan itu sendiri.


Dilihat dari beberapa pemerintahan, mulai dari Soekarno, Soeharto,

hingga Susilo Bambang Yudhoyono, terdapat kolerasi antara bentuk

kekuasaan yang digunakan oleh kepala negaranya dengan produk hukum

yang dihasilkan. Era pemerintahan Soeharto misalkan dikenal sebagai era

3
transisi sejak dideklarasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus

1945. Soeharto mendapat amanat sebagai presiden sebagai bentuk

kecaman terhadap pemerintahan Soekarno yang lebih memperlihatkan

kediktatorannya sebagai presiden dibandingkan sebagai seorang pemimpin

bangsa.
Soekarno mengeluarkan sejumlah kebijakan yang dianggap terlalu

subyektif, misalkan dikeluarkannya Tap MPR No. Tentang pembubaran

DPR dan konstituante. Soekarno bahkan membuat Tap MPR yang berisi

penegasan kepemimpinanya yang tanpa batas masa jabatan alias seumur

hidup. Istana menjadi menguat, partai-partai lain selain PKI menjadi

lemah dan bahkan kekuatan militerpun menguat. Selain itu, kegoncangan

lainnya melanda pemerintahan soekarno pada saat aksi mahasiswa yang

menuntut dibubarkannya PKI karena merusak tatanan demokrasi di

Indonesia. Hal ini disebabkan karena kenyatannya PKI menjadi andalan

dari Soekarno untuk menjadi mitra kerja ternyata membelot dan justru

melakukan pemberontakan.
Setelah melalui proses perdebatan dan berbagai pro dan kontra dari

kebijakannya, Soekarno pun lengser dari ketetapan sidang istimewa MPRS

pada tanggal 7 Maret 1967 dan menandai berakhirnya kekuasaan orde

lama dan digantikan oleh Soeharto.


Dalam masa transisi dari Soekarno ke Soeharto, terdapat proses

yang cukup singkat dimana Soeharto dengan cepat melalui proses transisi

tersebut. Pada masa Soeharto, dokumen militer menjadi sebuah unsur yang

tidak bisa dilepaskan. Hal ini juga dipengaruhi oleh adanya prinsip yang

dipegang diawal pemerintahan Soeharto yaitu melaksanakan Undang-

4
Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen yang tercermin dari

beberapa kebijakannya. Namun, pada kenyatannya, semua kebijakan

demokrasi ekonomi dan politik UUD 1945. Politik hukum lama kelamaan

menjadi politik kekuasaan yang diperankan Soeharto sebagai sebuah alat

untuk mempertahankan jabatan yang sudah ada ditangan.


1. Konfigurasi Politik Demokratis
Dimana susunan sistem politik yang membuka kesempatan

(peluang) bagi partisipasi rakyat secara penuh untuk ikut aktif

menentukan kebijaksanaan umum. Partisipasi ini ditentukan atas dasar

mayoritas oleh wakil-wakil rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala

yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan

dalam suasana terjadinya kebebasan politik. Dilihat dari hubungan

antara pemerintah dan wakil rakyat, di dalam konfigurasi politik

demokratis ini terdapat kebebasan bagi rakyat melalui wakil-wakilnya

untuk melancarkan kritik terhadap pemerintah. Karakter dari

konfigurasi politik demokratis adalah populist, progressive, dan

limited interpretation. Konfigurasi politik demokratis melahirkan

produk hukum yang sifatnya responsive.


Sepanjang sejarah Indonesia ternyata selalu menjadi tarik-menarik

atau dinamika antara konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi

politik otoriter. Semua konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia

menjadikan demokrasi sebagai salah satu asasnya yang menonjol,

tetapi tidak semua konstitusi mampu melahirkan konfigurasi politik

yang demokratis. Artinya, konstitusi yang jelas-jelas menganut paham

5
demokrasi dapat melahirkan konfigurasi politik yang tidak demokratis

atau otoriter.
UUD 1945 yang berlaku pada periode 1945-1949 melahirkan

konfigurasi politik yang jauh berbeda dengan konfigurasi pada saat

UUD tersebut berlaku pada periode 1959-1966, dan untuk selanjutnya

melahirkan konfigurasi politik yang berbeda lagi pada periode setelah

1966.
Karena produk hukum merupakan refleksi dari konfigurasi politik

yang melahirkannya, maka ada kemungkinan bahwa setiap produk

hukum itu lebih sarat dengan muatan politik yang mungkin

bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. Dengan kata lain, ada

kemungkinan bahwa UU sebagai produk politik memuat isi yang tidak

sesuai dengan UUD.


Semua konstitusi yang berlaku sejak Indonesia merdeka secara

eksplisit menyebutkan Demokrasi sebagai salah satu prinsip yang

fundamental, tetapi dalam praktiknya yang tampil tidaklah selalu

demokratis. Karakter produk hukum senantiasa berubah sejalan dengan

perkembangan konfigurasi politik meskipun kualifikasinya tidaklah

eksak.
Konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka produk hukum

yang dilahirkan cenderung responsif/populistik. Sedangkan ketika

konfigurasi politik bergeser ke sisi otoriter, maka produk hukum yang

lahir lebih berkarakter konservatif/ortodoks/elitis.

2. Konfigurasi Politik Otoriter

6
Dimana susunan sistem politik yang lebih memungkinkan negara

berperan sangat aktif serta mengambil hampir seluruh inisiatif dalam

pembuatan kebijaksanaan negara. Konfigurasi ini ditandai oleh

dorongan elite kekuasaan untuk memaksakan persatuan, penghapusan

oposisi terbuka, dominasi pimpinan negara untuk menentukan

kebijaksanaan negara dan dominasi kekuasaan politik oleh elite politik

yang kekal, serta di balik semua itu ada satu doktrin yang

membenarkan konsentrasi kekuasaan. Karakter dari kofigurasi politik

otoriter adalah elitist, conservatif, dan open interpretassi. Konfigurasi

politik otoriter melahirkan produk hukum yang sifatnya ortodoks atau

konservatif.

Perubahan UUD 1945 merupakan agenda atau produk utama

reformasi. Sistem politik yang otoriter menyebabkan terjadinya krisis

multi dimensi yang menimpa Indonesia. Jika kita ingin membangun

hukum yang responsif maka syarat pertama dan utama yang harus

dipenuhi lebih dulu adalah demokratisasi dalam kehidupan politik.

Hukum yang responsif tidak mungkin lahir di dalam sistem politik

yang otoriter.

3. Hukum Berkarakter Populis dan Partisipatif


Menurut MOH. Mahfud MD, Produk hukum populis adalah

produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi

harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan

partisipasi penuh pada kelompok-kelompok sosial atau individu dalam

7
masyarakat. dan hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan

kelompok kelompok tertentu atau masyarakat dan warga negara.


4. Hukum Berkarakter Elitis dan Represif
Produk Hukum Elitis dan Represif adalah produk hukum yang

karakternya mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan dominant

sehingga pembuatannya tidak mengundang partisipasi dan aspirasi

masyarakat secara sungguh-sungguh. Biasanya bersifat formalitas

sehingga hukum diberi fungsi dengan sifat positivis instrumentalis atau

menjadi alat bagi pelaksanaan ideologi dan program pemerintah


C. Ciri-ciri Bahwa Era Reformasi Adalah Rezim yang Demokratis

1. Kebebasan bicara dan berpendapat mulai berjalan;

2. Pemberantasan korupsi sudah mulai berjalan (walaupun masih banyak

kendala);

3. Demokrasi yang lebih terbuka;

4. Persaingan ekonomi yang lebih terbuka dalam beberapa sektor

ekonomi (sebelumnya dikuasai kroni Suharto).

DEMOKRASI ERA REFORMASI


Presiden dipilih langsung oleh rakyat
Sistem partai politik multi-partai
Pidato visi dan misi presiden dan wakil presiden menjadi acuan bagi

stratifikasi politik dan strategi nasional (poltranas)


Pada masa kepemimpinan presiden SBY, pemberantasan korupsi mulai

kelihatan wujudnya
Pembagian secara tegas wewenang antara badan legislatif, eksekutif, dan

yudikatif sehingga memberi ruang gerak untuk mengeluarkan pendapat dan

berorganisasi

8
Mewarisi hutan yang sudah rusak parah
Mengurangi mengimpor beras karena masih menyisakan hutang luar negeri

yang belum terlunaskan


Telah adanya jaminan HAM di dalam Undang-Undang
Media massa menjadi terbuka/lebih bebas
Ditetapkannya masa jabatan untuk presiden maksimal 2 kali masa jabatan

(10 tahun)
Kesenjangan sosial mulai dihilangkan
Pengobatan dan pendidikan sudah gratis

9
BAB II

POLITIK HUKUM UNDANG-UNDANG NO. 16 TAHUN 2011 TENTANG

BANTUAN HUKUM

A. Latar Belakang Masalah


Di dalam semua peraturan ini tentunya berlandaskan Hak Asasi Manusia

yang tercantum pada Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 27 ayat 1 yaitu :

segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintah wajib menjunjung hukum dan pemerintah itu dengan tidak ada

kecualinya. Ini sesuai dengan asas hukum yaitu : equality before the law

(persamaan dihadapan hukum).


Pada pasal 34 undang-undang dasar yaitu berbunyi :
1. Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara.
2. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan

memperdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan

martabat kemanusiaan.
3. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan

dari fasilitas pelayanan hukum yang layak.


4. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam

undang-undang.

Tentunya bantuan hukum terbagi atas 2 yaitu secara prodeo (Cuma-Cuma)

dan provit (bayar) selain itu bantuan hukum tidak lepas dari Lembaga Bantuan

Hukum (LBH).

Secara de Facto kegiatan penyelenggaraan bantuan hukum ini dilakukan

oleh pengacara atau advokat yang tergabung di dalam LBH yang melakukan

10
kesepakatan MOU pada setiap pengadilan. Biasanya LBH tersebut diberi

ruangan yang disebut Pos Layanan Hukum (posyankum) guna untuk

menerima setiap bantuan hukum yang diadukan dan tentunya mendapat

layanan dari setiap petugas atau pengacara untuk penanganan perkara/kasus

yang ditimpanya.

Pengacara atau advokat dalam menjalankan tugasnya sebagai pembela

klien mempunyai tanggung jawab untuk dapat melaksanakan kewajibannya

yaitu mewakili atau mendampingi yang tentunya telah disepakati dengan

menandatangani surat kuasa khusus. Artinya advokat/pengacara siap menjaga

kerahasiaan klien dari penanganan perkara hingga selesai bahkan jika

kasus/perkara telah selesai ditangani.

Tujuan pelaksanaan penerima bantuan hukum tersebut tentunya menjadi

harapan semua pihak sesuai dengan peraturan daerah tersebut namun dalam

kenyataannya masih sering penanganan perkara kurang didukung dengan

oprasional yang ditanggung oleh Negara dalam hal ini pemerintah. Apalagi

dalam perkara perdata contohnya yang harus melewati tahapan somasi,

mediasi dan gugatan. Misalnya: permasalahan perdata peradilan hubungan

indusrial yang mana menyelesaikan masalah pengusaha atau perusahaan

dengan buruh atau pekerja. Hal ini harus ada somasi terlebih dahulu dan

tentunya mediasi yang hal ini tidak bisa diprediksi berapa jumlah biayanya.

Karena perkara ini terebih dulu akan diadakan diluar pengadilan atau non

litigasi.

11
Bantuan hukum sebagai bentuk pelayanan publik baik sistem pengolahaan

LBH tidak terlepas dari adanya sebuah hukum yang mengikat yang

memberikan nasihat hukum, pendampingan serta pendapat hukum yang

disampaikan oleh penerima bantuan hukum tersebut.

Hal ini sesuai dengan tujuan hukum yang bersifat universal adalah:

1. Ketertiban
2. Ketentraman
3. Kedamaian
4. Kesejahtraan
5. kebahagiaan4.

Sehingga tujuan pelayanan hukum dapat terlaksana dengan lancar dengan

melihat hak dan kewajiban pemberi bantuan hukum serta penerima bantuan

hukum tersebut sesuai dengan nilai guna masyarakat, bahwa pengaruh dari

pemakaian jasa hukum akan berdampak kepada kepercayaan masyarakat

terhadap Pemerintah. Tinggi rendahnya demand akan jasa-jasa penerima

bantuan hukum tergantung pada pelayanan yang diberikan kepada pengguna

jasa.

Secara umum bantuan hukum bisa diartikan sebagai pemberian jasa

hukum kepada orang yang tidak mampu biasanya diukur secara ekonomi. Ini

bisa juga diartikan penyediaan bantuan pendanaan bagi orang yang tidak

mampu membayar proses hukum atau biaya.

Yang dimaksud pengaturan dalam hal ini adalah suatu aturan yang

mengatur tentang pemberi bantuan hukum orang tidak mampu sesuai dengan

pasal 2 Perda Nomor 3 tahun 2015 pasal 2 dan 3 yang mengatur tentang asas

dan tujuan yaitu: berdasarkan asas keadilan, persamaan kedudukan dihadapan


4
Zainal,Pengantar Ilmu Hukum, PT. Grafindo Persada 2012,Jakarta, hlm 8

12
hukum, keterbukaan, efektifitas, dan akuntabilitas selanjutnya

penyelenggaraan bantuan hukum bertujuan yaitu:

1. Meringankan beban biaya yang harus ditanggung oleh anggota warga

miskin dipengadilan.
2. Memberikan kesempatan yang merata pada warga miskin untuk

memperoleh pembelaan dan perlindungan hukum ketika berhadapan

dengan proses hukum dipengadilan.


3. Meningkatkan akses terhadap keadilaan
4. Menjamin kepastian penyelenggaraan bantuan hukum dilaksanakan secara

merata seluruh wilayah Provinsi Riau, dan


5. Mewujudkan peradilan yang efektif, efisien dan dapat diertanggung

jawabkan.

Oleh dari pada itu peraturan daerah nomor 3 tahun 2015 Provinsi Riau

tentang bantuan hukum harus di implementasikan sesuai dengan aturannya

karena selama ini masyarakat kurang mendapatkan bantuan hukum karena

terkendala ekonomi, pengetahuan dan faktor lainnya. Guna mewujudkan hak-

hak konstitusional sebagai warga Negara.

Bantuan hukum yang dilakukan belum banyak menyentuh orang atau

kelompok masyarakat miskin, sehingga mereka kesulitan mendapatkan

keadilan karena terhambat oleh ketidak mampuan sosial dan biaya mereka

mewujudkan hak-hak mereka.

Dalam pelaksanaan bantuan hukum selain Perda nomor 3 tahun 2015 ada

juga Undang-Undang no. 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum orang kurang

mampu yaitu dalam pasal 8 :

13
1. Pelaksanaan bantuan hukum dilakukan oleh pemberi bantuan hukum yang

telah memenuhi syarat berdasarkan undang-undang ini


2. Syarat-syarat pemberi bantuan hukum sebagai mana dimaksud pada ayat

(1) meliputi :
a. Berbadan hukum
b. Terakreditasi berdasarkan undang-undang ini
c. Memiliki kantor atau secretariat yang tutup
d. Memiliki pengurus dan
e. Memiliki program bantuan hokum

Dilihat dari Perma No. 1 Tahun 2014 tentang bantuan hukum pada pasal 8

yaitu Layanan pembebasan biaya perkara dilaksanakan melalui pemberian

bantuan biaya penanganan perkara yang dibebankan pada anggaran satuan

pengadilan.

Berdasarkan pada latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian karya tulis dengan judul Politik Hukum Udang-

undang No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum.

B. Tujuan Dari Pembentukan Undang-Undang Bantuan Hukum


Selain itu berdasarkan masalah yang dikemukakan diatas, maka tujuan

yang hendak dicapai oleh penulis dalam penulisan ini adalah :


1. Untuk mengetahui bagaimana cara masyarakat mendapatkan pelayanan

hukum sesuai dengan undang-undang Nomor 16 tahun 2011 tentang

Pemberian Bantuan Hukum.


2. Untuk mengetahui Kendala-Kendala undang-undang no.16 tahun 2011

tentang bantuan hukum.

UU Bantuan Hukum dilaksanakan atau diselenggarakan berdasarkan asas-

asas bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ini yaitu :

1. Keadilan
2. Kesamaan kedudukan di dalam hukum
3. Keterbukaan

14
4. Efisiensi
5. Efektivitas
6. Akuntabilitas

Dalam penjelasan pasal 2 yang dimaksud dengan asas-asas ini adalah :

1. Asas keadilan:
Menempatkan hak dan kewajiban setiap orang secara proposional, patut,

benar, baik dan tertib


2. Asas persamaan kedudukan di dalam hukum :
Bahwa setiap orang mempunyai hak dan perlakuan yang sama di depan

hukum serta kewajiban menjunjung tinggi hukum.


3. Asas keterbukaan memberikan akses kepada masyarakat untuk

memperoleh informasi secara lengkap, berani, jujur, dan tidak memihak

dalam mendapatkan jaminan keadilan atas dasar hak secara konstitusional.


4. Asas efisiensi:
Memaksimalkan pemberian Bantuan Hukum melalui penggunaan sumber

Bantuan Hukum melalui penggunaan sumber anggaran yang ada.


5. Asas efektivitas :
Menentukan pencapaian tujuan pemberian Bantuan Hukum secara tepat.
6. Asas akuntabilitas :
Bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan

Bantuan Hukum harus dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat.

UU Bantuan Hukum lahir atas tujuan-tujuan khusus sehingga tujuan dari

penyelenggaraan Bantuan Hukum termuat dalam bunyi pasal 3 yakni :

1. Menjamin dan memenuhi hak bagi Penerimaan Bantuan Hukum (fakir

miskin) untuk mendapatkan akses keadilan.


2. Mewujudkan hak konstisional segala warga negara sesuai dengan prinsip

persamaan kedudukan di dalam hukum.


3. Menjamin kepastian penyelenggaraaan Bantuan Hukum dilaksanakan

secara merata diseluruh wilayah Indonesia.


4. Mewujudkan peradilan yang efektif, efisien, dan dapat dipertanggung

jawabkan.

15
C. Kewenangan Negara Yang Diberikan Oleh Undang-Undang
Bantuan Hukum dalam pengertian yang luas dapat diartikan sebagai upaya

untuk membantu golongan yang tidak mampu dalam bidang hukum. Upaya

untuk membantu golongan yang tidak mampu mempunyai tiga aspek yang

paling berkaitan, yaitu aspek perumusan aturan-aturan hukum, aspek

pengawasan terhadap mekanisme untuk menjaga agar aturan itu ditaati,dan

aspek pendidikan masyarakat agar aturan-aturan itu dihayati5.


Selanjutnya hukum adalah sebagai suatu sistem aturan-aturan tentang

perilaku manusia.6. menurut Mochtar kusumaatmadja menyatakan tujuan

hukum adalah keseluruhan kaidah-kaidah serta asas-asas yang mengatur

pergaulan hidup manusia dalam masyarakat yang bertujuan memelihara

ketrtiban juga meliputi lembaga-lembaga dan proses-proses guna mewujudkan

berlakunya kaidah sebagai kenyataan dalam masyarakat.


Berdasarkan teori-teori diatas tentang hukum yang sebgaimana

diterangkan diatas maka dapat diperoleh suatu kesimpulan bahwa jika tujuan

hukum semata-mata untuk mencapai kepastian hukum, yaitu mengayomi

masyarakat secara adil dan damai sehingga mendatangkan kebahagiaan bagi

masyarakat terutama masyarakat miskin.


Dalam artian memiliki jalan yang sesuai fungsinya serta perlengkapan

syarat pemberi bantuan hukum tersebut tertuang di dalam undang-undang

no.16 tahun 2011 yaitu :

5
Adnan Buyung Nasution, Bantuan Hukum.Jakarta. 2009,hlm 245
6
Jimly Asshidiqie, Ali Safat. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Sekjen dan Kepaniteraan MK
RI. Jakarta. 2006, hlm 3

16
1. Mengajukan permohonan secara tertulis yang berisi paling sedikit identitas

Permohonan Bantuan hukum dan uraian singkat mengenai pokok

persoalan yang dimohonkan bantuan hukum.


2. Menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan perkara dan
3. Melampirkan surat keterangan miskin dari lurah, kepala desa atau pejabat

yang setingkat ditempat tinggal pemohon bantuan hokum.


4. Dalam hal permohonan bantuan hukum tidak mampu menyusun dan

pemberian Bantuan Hukum menuangkannya dalam bentuk tertulis.


5. Permohonan sebagaimana dimaksud pada huruf (d) ditandatangani atau

dicap jempol oleh Pemohon Bantuan Hukum.

Tugas Kementrian Hukum Dan Ham R.I dalam implementasi UU bantuan

hukum yaitu:

1. Menyusun dan menetapkan kebijakan penyelenggaraan Bantuan Hukum.


2. Menyusun dan menetapkan standard Bantuan Hukum berdasarkan asas-

asas pemberian Bantuan Hukum.


3. Menyusun rencana anggaran Bantuan Hukum.
4. Mengelola anggaran Bantuan Hukum secara efektif,efisien, transparan,

dan akuntabel, dan


5. Menyusun dan menyampaikan laporan penyelenggaraan Bantuan Hukum

kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada setiap akhir tahun anggaran.


Kewenangan Menteri Hukum dan Ham R.I menurut undang-undang

Bantuan Hukum:
Mengawasi dan memastikan penyelenggaraan Bantuan Hukum dan pemberian

Bantuan hukum dijalankan sesuai asas dan tujuan yang ditetapkan dalam

undang-undang ini. Dan menetapkan panitia verifikasi dan akreditasi terhadap

lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan untuk memenuhi

kelayakan sebagai Pemberi Bantuan Hukum berdasarkan undang-undang

Bantuan Hukum.

17
D. Penyelesaian Sengketa Antar Warga Negara / Masyarakat dengan Negara
Jika merujuk pada jaminan Pemberian Bantuan Hukum kepada masyarakat

dalam undang-undang bantuan hukum adalah hanya dapat dilakukan di dalam

persidangan atau di dalam pengadilan. Padahal penanganan sebuah kasus

hukum membutuhkan keterlibatan seorang advokat sejak awal untuk

mempersiapkan penanganan perkara dan pembelaan dengan baik.


Konsep pemberian bantuan hukum seperti ini seolah menunjukkan bahwa

hukum selalu netral dan berfungsi secara ideal. Padahal faktanya tidak

demikian. Belum lagi mengenai keterbatasan anggaran pengadilan untuk

menyediakan dana bantuan hukum juga ketersediaan pos pelayanan hukum

yang ada di pengadilan, belum disemua pengadilan ada pos pelayanan hukum.

Ini mengakibatkan akses bantuan hukum tidak memiliki jaminan kepastian

dan keberlanjutan.
Dalam praktek pasal-pasal yang mengatur jaminan hak atas bantuan

hukum terhadap tersangka atau terdakwa tidak berjalan dan dipenuhi. Kerap

kali petugas kepolisian mempersulit ketika advokat hendak menemui

tersangka setiap waktu nyaris tidak ditemui implementasinya di lapangan.


Aparat menghalangi tersangka atau terdakwa untuk diberitahu haknya dan

menggunakan haknya didampingi oleh advokat dengan membuat surat

keterangan bahwa tersangka akan menghadapi proses hukumnya sendiri dan

menakut-nakuti tersangka dengan ancaman hukum yang berat jika

menggunakan jasa advokat.


Prakteknya hak tersangka untuk dihubungi dan berbicara dengan

pengacaranya pada setiap tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk

kepentingan pembelaan perkaranya terhambat oleh tindakan aparat yang

melarang dengan berbagai alasan.

18
Pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dala proses

peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka. Kewajiban pejabat

yang berwenang ini seringkali dilanggar mengingat tidak adanya sanksi jika

kewajiban dalam KUHAP tersebut dilanggar.


Berdasarkan situasi diatas, dapat ditarik benang merahnya bahwa pada

dasrnya UU Bantuan Hukum diterbitkan, untuk lebih menjamin pelaksanaan

Hak atas bantuan hukum melalui UU Advokat dan UU kekuasan Kehakiman

yang selama ini kurang memadai guna memastikan pemenuhan akses keadilan

kepada masyarakat dan jaminan persamaan di muka hukum bagi masyarakat

miskin dan marginal.


Pengaturan tersebut untuk melengkapi bukan menghapus konsep probono

publico yang telah diterapkan dengan konsep Legal Aid. Pengaturan tanggung

jawab negara dalam bantuan hukum ini menunjukkan bahwa pemenuhan Hak

Atas Bantuan Hukum pada dasarnya adalah hak Konstitusional yang

pemenuhannya adalah tanggung jawab negara yang tidak lain adalah untuk

menjawab realitas kebutuhan bantuan hukum bagi masyarakat.

E. UU Bantuan Hukum : Sanksi Bagi Pengutip Biaya dari Klien Miskin


Agar bantuan hukum benar-benar tepat sasaran, selain adanya ancaman

pidana bagi pemberi bantuan hukum yang meminta bayaran, pemberi bantuan

hukum juga harus dierifikasi dan diakreditasi. Jika kelak memberi bantuan

hukum kepada orang miskin yang membutuhkan, maka anda patut berhati-

hati. Jangan pernah sekalipun meminta bayaran kepada klien anda yang

sedang membutuhkan bantuan hukum. Bila ketentuan ini dilanggar, maka

bersiap-siaplah masuk bui karena DPR telah mensetujui sanksi pidana untuk

itu.

19
Pasal 20 UU Bantuan Hukum menyebutkan Pemberi Bantuan Hukum

dilarang menerima atau meminta pembayaran apapun dari penerima bantuan

hukum dan/ atau pidhak lain yang terkait dengan perkara yang sedang

ditangani pemberi bantuan hukum bila ketentuan ini dilanggar, pasal 21

mengancam dengan pidana maksimal satu tahun dan denda maksimal Rp. 50

juta.
Ancaman hukum ini bertujuan membuat pelaksanaan bantuan hukum bisa

benar-benar menguntungkan pencari keadilan yang tak mampu. Tak hanya

mencantumkan sanksi pidana, UU Bantuan hukum ini juga mengatur

verifikasi dan akreditasi.


Apalagi, anggaran bantuan hukum diakomodir oleh anggaran pendapatan

negara (APBN) jadi verifikasi dan akreditasi dibutuhkan agar anggaran tidak

terbuang Cuma-Cuma.
Pasal 7 ayat (1) undang-undang bantuan hukum : untuk melaksanakan

tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, Menteri berwenang :


a. Mengawasi dan memastikan penyelenggaraan bantuan hukum dijalankan

sesuai asas dan tujuan yang ditetapkan dalam undang-undang ini dan
b. Melakukan verifikasi dan akreditasi terhadap lembaga pemberi bantuan

hukum.

Ayat (2) ;

Untuk melakukan verifikasi dan akreditasi sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf B, menteri membentuk panitia yang unsurnya terdiri atas :

a. Kementrian Hukum dan HAM


b. Akademisi
c. Tokoh masyarakat dan
d. Lembaga atau organisasi yang memberi layanan bantuan hukum

Ayat (3) ;

20
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara verifikasi dan akreditasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf B diatur dengan peraturan Menteri.

F. Pemenuhan Hak atas Bantuan Hukum Untuk Memastikan Peradilan

Berpihak Pada Keadilan Bagi masyarakat Miskin Dan Marginal


Konstitusi menjamin bahwa fakir miskin dan anak-anak yang terlantar

dipelihara namun juga jaminan sosial dan pemenuhan hak atas bantuan

hukum. Fakir miskin dan anak-anak terlantar sebagai warga negara indonesia.

Meskipun tidak secara tegas, jaminan hak atas bantuan hukum bagi fakir

miskin maupun masyarakat marginal tersirat dalam konstitusi. Setiap orang

berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil

serta perlakuan yang sama di hadapan huku dan pemerintahan tanpa

membedakan status sosial, budaya, ekonomi, maupun agama.


Realisasinya kemudian, hak atas bantuan hukum bagi masyarakat miskin

yang berhadapan dengan hukum diatur untuk memastikan pemenuhan jaminan

perlindungan kepastian hukum yang adil (fair trail) dan persamaan di muka

hukum (equality before the law). Prinsip tersebut terdapat dalam internasional

convention on civil and political rights (ICCPR) yang telah diakomodir dalam

konstitusi dan telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005. Prinsip di

dalam ICCPR tersebut dapat diklasifikasi dalam tiga katagori prinsip dasar fair

trail, jaminan prosedur Minimum, dan ketentuan lain. Prinsip-prinsip di dalam

ICCPR tersebut diadopsi dalam beberapa ketentuan hukum seperti UU No.8

Tahun 1981 tentang kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

UU No.9 tahun 1999 Tentang HAM, UU No. 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak dan UU No.23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. UU

21
No, 13 Tahun 2006 Perlindungan Saksi dan Korban, UU No.48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan kehakiman.


Jaminan hak atas bantuan hukum diperkuat melalui UU No. 18 tahun 2003

tentang advokat sebagai regulasi pelaksanaan pemberian bantuan hukum yang

menempatkan advokat sebagai subyek utama pemberi bantuan hukum.

Selanjutnya diatur pula ketentuan mengenai pemberian bantuan hukum di

pengadilan yang diatur dalam undang-undang no. 48 Tahun 2009

tentangkekuasaan kehakiman. Setelah delapan tahun berlakunya UU advokat,

saat ini telah diterbitkan UU No. 16 tahun 2011 tentang bantuan hukum

sebagai jaminan baru yang khusus mengatur pemenuhan hak atas bantuan

hukum.
Dalam undang-undang Advokat, sekarang advokat diwajibkan untuk

memberikan bantuan hukum Cuma-Cuma sebagai bagian dari tanggung jawab

profesi.sementara dalam undang-undang kehakiman ditegaskan bahwa setiap

orang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum dan negaralah

yang harus menanggung biayanya bagi pencari keadilaan yang tidak mampu

dalam memperoleh bantuan hukum. Pelayanan bantuan hukum ini pun

dilaksanakan oleh advokat.

BAB III

22
KOMENTAR DAN ANALISA ATAS UNDANG-UNDANG BANTUAN

HUKUM

Penerima Bantuan Hukum Tidak mencakup Kelompok Rentan dan

Kepentingan Keadilan.

UU Bantuan Hukum membatasi penerimaan bantuan hukum dalam pengertian

miskin secara ekonomi, seperti dinyatakan dalam pasal 5, sebagai berikut :

A. Penerimaan bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 1

meliputi setiap orang atau kelompok orang miskin yang tidak memenuhi hak

dasar secara layak dan mandiri.


B. Hak dasar sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi hak atas pangan,

sandang , layanan kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan dan berusaha, dan

/atau perumahan.

Perumusan pasal ini didasarkan pada alasan bahwa negara harus memberikan

prioritas bantuan hukum. Namun perumusan ini tidak sesuai dengan konvensi

internasional yang mencangkup vlunerable group, dan kepentingan keadilan

berdasarkan ancaman pidana. Pendekatan berbasis HAM menekankan prinsip

keadilan dan non diskriminatif dalam memenuhi hak fair trial dan akses keadilan.

Dalam prespektif ini diakui terdapat kelompok-kelompok yang mengalami

hambatan tidak saja karena miskin, melainkan karena hambatan sosial, jenis

kelamin, maupun budaya yang menjadikannya rentan. Kategori kelompok rentan

dapat ditemui dalam penjelasan pasal 5 ayat 3 UU No.39 tahun 1999 tentang

HAM antara lain, adalah orang lanjut usia, anak-anak , fakir miskin, wanita dan

penyandang cacat adalah kategori kelompok yang miskin dan tertindas, tetapi

23
karena kelompok sosial menjadi rentan. Dalam prespektif ini, affimative action

untuk kelompok yang karena kondisi rentan merupakan hak dasar manusia. Dan

tentunya negara harus membuat skala prioritas bantuan hukum agar dapat

dipahami, namun tidak berarti mengasingkan hak-hak dasar yang telah menjamin.

BAB IV

PENUTUP

24
Walaupun penuh dengan kekurangan, UU Bantuan Hukum memberikan

hal positif yaitu adanya pengakuan dan jaminan hukum bagi pemberi bantuan

hukum yang dapat dikategorikan sebagai Human Rights Defender. Dan UU

Bantuan Hukum menjadi sandaran Hukum bagi pembentukan perda tentang

Bantuan Hukum. Sandaran hukum ini menjadi peluang besar bagi masyarakat

sipil untuk mendorong pemenuhan hak bantuan hukum di tingkat daerah, kerena

lingkup wilayah yang lebih kecil, populasi dan lebih dekat dengan kepentingan

masyarakat miskin dan rentan.

UU Bantuan Hukum memberikan peluang kepada LBH/Ormas juga untuk

mengikuti proses akreditasi dan verifikasi untuk menjadi pemberi bantuan hukum

yang dibiyai negara hal ini membawa kouesekuensi LBH /Ormas meningkatkan

kualitas layanan dan management, dan terkait pada seluruh ketentuan dalam

undang-undang ini.

Demikianlah makalah tentang Politik Hukum undang-undang no. 16 tahun

2011 tentang bantuan hukum. Semoga dapat berguna bagi halayak ramai terutama

penegak hukum sehingga dapat terwujudnya bantuan hukum yang bermartabat

dan dapat diandalkan.

DAFTAR PUSTAKA

25
- Moh. Mahfud MD. 2014 . Politik hukum di Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers

- Satjipto Raharjo. 2000. Ilmu Hukum. Bandung : Citra Aditya Bakti

- Komisi Hukum Nasional Akar-Akar Mafia Peradilan di Indonesia. 2009.

Masalah Akuntabilitas Penegak Hukum. Jakarta : Komisi Hukum Nasional

- Zainal. 2012. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : PT. Grafindo Persada

- Adnan Buyung Nasution. 2009. Bantuan Hukum.Jakarta

- Jimly Asshidiqie, Ali Safat. 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum. Jakarta

: Sekjen dan Kepaniteraan MK RI

26

Anda mungkin juga menyukai