Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Multipel sklerosis (MS) adalah salah satu penyakit saraf yang


menyerang sel-sel saraf di bagian sistem saraf pusat. Penyakit ini
menyebabkan kerusakan pada selubung mielin saraf manusia sehingga
menyebabkan gangguan sistem hantaran impuls pada saraf tersebut.
MS mempengaruhi area dari otak dan saraf tulang belakang yang dikenal
sebagai substansi alba. Sel-sel substansi alba membawa sinyal antara area
substansi grisea, dimana peroses dilakukan, dan hasilnya dikirimkan ke
tubuh. Lebih khususnya, MS menghancurkan oligodendrocytes yang adalah
sel-sel bertanggung jawab untuk membuat dan memelihara satu lapisan
lemak, yang dikenal sebagai sarung pelindung mielin, yang membantu
neuron membawa sinyal elektrik. MS menyebabkan penipisan atau
kerusakan total mielin dan sering memotong perluasan neuron atau akson.
Ketika mielin hilang, neuron tidak bisa lagi secara efektif menghantarkan
sinyal elektrik. Nama multipel sklerosis mengacu pada jaringan parut
(scleroses lebih dikenal sebagai plak atau lesi) dalam substansi alba.
Tingkat kerusakan mielin dalam lesi ini menyebabkan sebagian dari gejala,
bervariasi tergantung atas daerah yang mengalami kerusakan. Hampir
semua gejala neurologis bisa menyertai penyakit ini. Untuk lebih jelasnya
akan dijelaskan pada bab berikutnya.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSUD KMRT Wongsonegoro
Fakultas Kedokteran Tarumanagara 1
BAB II

Multiple Sklerosis

Definisi

Multiple sklerosis adalah suatu penyakit autoimun kronik yang


menyerang mielin otak dan medulla spinalis. Penyakit ini menyebabkan
kerusakan mielin dan juga akson yang mengakibatkan gangguan transmisi
konduksi saraf. Peradangan yang terjadi di otak dan sumsum tulang
belakang yang menyerang daerah substansia alba dan merupakan penyebab
utama kecacatan pada dewasa muda. Penyebabnya dapat disebabkan oleh
banyak faktor, terutama proses autoimun. Focal lymphocytic infiltration
atau sel T bermigrasi keluar dari lymph node ke dalam sirkulasi menembus
sawar darah otak (blood brain barrier) secara terus-menerus menuju lokasi
dan melakukan penyerangan pada antigen mielin pada sistem saraf pusat
seperti yang umum terjadi pada setiap infeksi. Hal ini dapat mengakibatkan
terjadinya inflamasi, kerusakan pada mielin (demielinisasi), neuroaksonal
injury, astrogliosis, dan proses degeneratif. Akibat demielinasi neuron
menjadi kurang efisien dalam potensial aksi. Transmisi impuls yang
disampaikan oleh neuron yang terdemielinisasi akan menjadi buruk. Akibat
'kebocoran' impuls tersebut, terjadi kelemahan dan kesulitan dalam
mengendalikan otot atau kegiatan sensorik tertentu diberbagai bagian
tubuh.1,2
Epidemiologi

Di Indonesia penyakit ini tergolong jarang dibandingkan penyakit


neurologis lainnya. MS lebih sering menyerang perempuan dibandingkan
laki-laki dengan rasio 2:1. Umumnya penyakit ini diderita mereka yang

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSUD KMRT Wongsonegoro
Fakultas Kedokteran Tarumanagara 2
berusia 20-50 tahun. MS bersifat progresif dan dapat mengakibatkan
kecacatan. Sekitar 50% penderita MS akan membutuhkan bantuan untuk
berjalan dalam 15 tahun setelah onset penyakit.1

Etiologi

Etiologi dari kelainan tersebut masih belum jelas. Ada beberapa


mekanisme penting yang menjadi penyebab timbulnya MS yaitu autoimun
(molecular mimicry), infeksi, herediter, paparan sinar matahari. Meskipun
bukti yang meyakinkan kurang, faktor makanan dan paparan toksin telah
dilaporkan ikut berkontribusi juga. Mekanisme ini tidak saling berdiri
sendiri melainkan merupakan gabungan dari berbagai faktor.
a. Virus : EBV
b. Defisiensi vitamin D: vitamin D berfungsi untuk mengatur respon imun.
Vitamin D mengurangi produksi dari sitokin pro inflamatori dan
meningkatkan produksi sitokin anti inflamatori.
c. Genetika : penurunan kontrol respon immune 2,3

Klasifikasi

Berdasarkan perbedaan klinis dan gejala, terdapat beberapa tipe MS:

1. Relapsing remitting MS (RRMS)


Tipe ini ditandai dengan episode relaps atau eksaserbasi yang diikuti
dengan episode remisi (perbaikan). Sekitar 85% pasien MS memiliki tipe
RRMS, 65 % diantaranya akan berkembang menjadi tipe secondary
progressive MS (SPMS).
2. Secondary progressive MS (SPMS)
Banyak pakar yang menganggap SPMS merupakan bentuk lanjut dari
RRMS yang berkembang progresif. Pada tipe ini episode remisi makin
berkurang dan gejala menjadi makin progresif.

3. Primary progressive MS (PPMS)


PPMS diderita oleh 10-15% pasien MS dengan rasio perempuan : laki
laki= 1:1. Gejala yang timbul tidak pernah mengalami fase remisi

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSUD KMRT Wongsonegoro
Fakultas Kedokteran Tarumanagara 3
4. Primary relapsing MS (PRMS)
Bentuk PRMS adalah yang paling jarang. Pasien terus mengalami
perburukan dengan beberapa episode eksaserbasi diantaranya. Tidak ada
fase remisi atau bebas dari gejala.1,2

Patofisiologi

Mekanisme autoimun diduga terjadi melalui penurunan aktifitas


limfosit T-supresor pada sirkulasi pasien penderita MS serta adanya
molecular mimicry antara antigen dan MBP (myelin basic protein) yang
mengaktifkan klon sel T yang spesifik terhadap MBP (MBP specific T-cell
clone). Limfosit T4 menjadi autoreaktif pada paparan antigen asing yang
strukturalnya mirip dengan MBP. Tidak hanya beberapa virus dan peptida
bakteri saja yang memiliki kesamaan struktural dengan MBP, tetapi

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSUD KMRT Wongsonegoro
Fakultas Kedokteran Tarumanagara 4
beberapa dari mikroorganisme tersebut dapat mengaktifkan MBP-spesifik
T-sel klon pada pasien MS.1,2,4

Beberapa infeksi virus diketahui menyebabkan demielinasi pada


manusia diantaranya progressive multifocal leuko encephalopathy yang
disebabkan oleh polyomavirus JC, subakut sclerosingpan encephalitis oleh
virus campak. Pada MS studi serologis awal sulit ditafsirkan. Namun,
banyak pasien MS terdapat elevasititerCSF terhadap virus campak dan
herpes simpleks (HSV), tetapi ini juga tidak spesifik.1,2,4

Secara patologi, lesi MS akan memperlihatkan plak yang merupakan


lesi demielinisasi. Plak ini merupakan gambaran patognomik MS. Pada fase
akut tampak sebukan sel radang, hilangnya myelin, dan pembengkakan
parenkim. Pada fase kronik, kehilangan myelin menjadi lebih jelas, dengan
sel-sel makrofag disekitarnya disertai kerusakan akson dan apoptosis
oligodendrosit.1,2,4

Manifestasi Klinis

Gambaran klinis yang muncul sesuai dengan daerah lesi yang terkena.
Terdapat beberapa gejala dan tanda yang timbul pada MS:
1. Kehilangan fungsi sensorik (paresthesia): gejala awal
2. Neuritis optik: gejala awal
3. Gejala pada corda spinalis (motorik): cramping akibat spastisitas
4. Gejala pada corda spinalis (otonom): gangguan BAB dan BAK, disfungsi
seksual
5. Cerebellar symptom: triad charcot (disartia, tremor, ataksia)
6. Trigeminal neuralgia
7. Facial myokymia
8. Diplopia akibat ophtalmoplegia internuklear dan nistagmus
9. Heat intolerance
10. Mudah lelah (70% kasus)
11. Nyeri
12. Menurunnya fungsi kognitif
13. Depresi
14. Bipolar, dementia

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSUD KMRT Wongsonegoro
Fakultas Kedokteran Tarumanagara 5
15. Tanda lhermitte (Sensasi listrik dari leher ke bawah yang dirasakan pada
fleksi leher): Pada MS yang menyerang medula spinalis1,2,6

Gejala neurologis yang sering timbul pertama kali pada multipel


sklerosis adalah neuritis optik pada 14-23 % pasien dan lebih dari 50%
pasien pernah mengalaminya. Gejala yang dialami adalah penglihatan
kabur, pada orang kulit putih biasanya mengenai satu mata, sedangkan pada
orang asia lebih sering pada kedua mata. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
refleks pupil yang menurun, penurunan visus, gangguan persepsi warna dan
skotoma sentral. Funduskopi pada fase akut menunjukkan papil yang
hiperemis tetapi dapat normal pada neuritis optika posterior/retrobulbar.
Sedangkan pada fase kronis dapat terlihat atrofi papil. Selain itu pada
neuritis optika umumnya pasien mengeluh nyeri pada orbita yang dapat
timbul spontan terus-menerus atau pada pergerakan bola mata.Selain itu
terdapat suatu fenomena yang unik yang disebut gejala penurunan visus
(bersifat temporal) dieksaserbasi oleh suhu panas atau latihan fisik. Diplopia
juga dapat muncul pada MS meskipun lebih jarang dibandingkan neuritis
optika.1,2,6

Gangguan sensorik merupakan manifestasi klinis awal yang juga


sering dialami oleh 21-55% pasien MS. Umumnya gejala yang timbul
berupa rasa baal (hipestesi), kesemutan (parestesi), rasa terbakar (disestesi)
maupun hiperestesi. Kelainan tersebut dapat timbul pada satu ekstremitas
atau lebih, dan pada tubuh atau wajah. Selain itu proprioseptif, rasa vibrasi,
dan diskriminasi dua titik juga dapat terganggu sehingga menimbulkan
kesulitan menulis, mengetik atau mengancing baju. Gejala proprioseptif ini
umumnya timbul bilateral dan bila terdapat lesi di daerah lemniskus
gangguan proprioseptif tersebut hanya mengenai lengan yang dinamakan
useless hand syndrome. Gejala tersebut umumnya mengalami remisi dalam
beberapa bulan. Tanda yang sering terjadi pada penderita MS meskipun
tidak karakteristik adalah tanda Lhermitte; bila kepala difleksikan secara

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSUD KMRT Wongsonegoro
Fakultas Kedokteran Tarumanagara 6
pasif, timbul parestesi sepanjang bahu, punggung dan lengan. Hal ini
mungkin disebabkan akson yang mengalami demielinisasi sensitivitasnya
meningkat terhadap tekanan ke spinal yang diakibatkan fleksi kepala.1,2,6

Gangguan serebelum juga sering terjadi pada MS meskipun jarang


menjadi gejala utama. Manifestasi klinisnya ataksia serebelaris, baik yang
mengenai gerakan motorik halus (dismetria, disdiadokokinesia, intention
tremor), gait, maupun artikulasi (scanning speech, disartria). Selain itu
dapat timbul pula nistagmus, terutama yang horizontal dan vertikal.1,2,6

Hemiparesis yang diakibatkan lesi kortikospinal dapat terjadi pada


MS meski frekuensinya lebih kecil. Demikian juga lesi di medula spinalis
dapat menyebabkan sindroma Brown-Sequard atau mielitis transversa yang
mengakibatkan paraplegi (umumnya tidak simetris), level sensorik dan
gangguan miksi-defekasi. Refleks patologis dan/atau hiperrefleksia bilateral
dengan atau tanpa kelemahan motorik merupakan manifestasi yang lebih
sering dan merupakan tanda lesi kortikospinal bilateral. Yang karakteristik,
meskipun kelemahan hanya pada satu sisi, refleks patologis selalu bilateral.
Spastisitas dapat menyebabkan gejala kram otot pada pasien MS.
Kelelahan/fatigue merupakan gejala non spesifik pada MS dan terjadi pada
hampir 90% pasien MS. Kelelahan dapat merupakan kelelahan fisik pada
waktu exercise berlebihan ataupun pada temperatur panas maupun
kelelahan/kelambatan mental.1,2,6

Gangguan memori dapat terjadi pada pasien MS. Menurut penelitian


Thornton dkk memori jangka pendek, working memori dan memori jangka
panjang umumnya terganggu pada pasien MS (13). Selain itu juga didapatkan
gangguan atensi. Gangguan emosi berupa iritabilitas dan afek pseudobulbar
berupa forced laughing atau forced crying umum terjadi pada pasien MS
disebabkan lesi hemisfer bilateral.1,2,6

Gejala lainnya yang lebih jarang meliputi neuralgia trigeminal (bilateral),


gangguan lain pada batang otak berupa paresis n.fasialis perifer (bilateral),

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSUD KMRT Wongsonegoro
Fakultas Kedokteran Tarumanagara 7
gangguan pendengaran, tinitus, vrtigo, dan sangat jarang penurunan
kesadaran (stupor dan koma)1,2,6

Diagnosis

Tidak ada satu tes pun yang dapat memastikan diagnosis MS.
Multiple sclerosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Penegakan
diagnosis mempergunakan kriteria diagnostik seperti Kriteria McDonald.
Saat ini yang dipergunakan adalah kriteria McDonald revisi 2010.
Diagnosis MS perlu dipikirkan apabiladidapatkan gejala-gejala neurologis
dengan episode remisi dan eksaserbasi ataupun progresif dan tidak
ditemukan sebab lain yang dapat menjelaskan gejala tersebut.1

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSUD KMRT Wongsonegoro
Fakultas Kedokteran Tarumanagara 8
. Dengan demikian, untuk menegakkan diagnosis MS, perlu dilakukan
pemeriksaan untuk mengeksklusi diagnosis diferensial, seperti tumor otak,
infeksi otak, stroke, trauma kepala maupun gangguan metabolik.
Pemeriksaan pungsi lumbal harus dilakukan bukan untuk menegakkan
diagnosis, tetapi menyingkirkan kemungkinan infeksi otak. Pemeriksaan
oligoclonal band tidak lagi menjadi standar emas penegakan diagnosis MS,
kecuali pada tipe PPMS peran oligoclonal band menjadi lebih besar. Pada
pemeriksaan MRI kepala dapat ditemukan lesi hiperintens di
periventrikular, jukstakortikal, infratentorial, dan medulla spinalis.
Gambaran yang cukup khas pada lesi MS adalah ovoid lesion dan dawson
finger Multiple sclerosis juga dapat menyerang medula spinalis dan
mengakibatkan gejala, seperti mielitis. Multiple sclerosis yang mengenai
medula spinalis perlu dibedakan dengan neuromielitis optika (NMO) atau
Devics disease. NMO awalnya dikategorikan sebagai varian dari MS. Akan
tetapi, saat ini telah diketahui bahwa NMO adalah suatu penyakit autoimun
yang berbeda dengan MS. Membedakan MS dan NMO menjadi
penting karena pengobatan kedua penyakit ini berbeda. Sebagaimana MS,
NMO yang merupakan penyakit autoimun dapat memperlihatkan gejala
dengan episode remisi dan eksaserbasi. Gejala utamanya adalah gangguan
penglihatan yang umumnya lebih berat dibandingkan MS dan gejala
mielitis. Gambaran MRI kepala NMO bisa normal atau apabila ditemukan
lesi, lesi tersebut haruslah tidak memenuhi kriteria MS. Sedangkan
gambaran lesi myelitis pada MRI memperlihatkan lesi hiperintens yang
mengenai medula spinalis sepanjang lebih dari 3 segmen vertebra
(longitudinally extensive spinal cord lesion) (gambar 4). Diagnosis NMO
ditegakkan dengan menggunakan kriteria Wingerchuck.1

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSUD KMRT Wongsonegoro
Fakultas Kedokteran Tarumanagara 9
Lumbal pungsi

Lumbal pungsi dilakukan jika tidak ada MRI. Pada pemeriksaan


ditemukan oligoclonal band dan produksi IGG intratekal.

Diagnosis Banding

Diagnosa banding utama untuk menjadi pertimbangan tergantung


pada manifestasi neurologis dalam kasus:
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf
RSUD KMRT Wongsonegoro
Fakultas Kedokteran Tarumanagara 10
Defisit saraf kranial mungkin saja berhubungan dengan berbagai jenis lesi
fokal, seperti sebuah tumor dermoid basis kranii, suatu tumor dari
serebelopontine angel, suatu tumor di foramen magnum, suatu optik glioma
atau sphenoid wing meningioma dengan atrofi saraf optik, suatu brainstem
astrocytoma, brainstem encephalitis, dan lain-lain.
Suatu hemiplegia mungkin saja berhubungan dengan suatu tumor otak
atau stroke
Kejang paraparesis mungkin saja berhubungan dengan suatu tumor saraf
tulang belakang atau cervical spondylotic myelopathy.
Paraparesis berulang mungkin saja berhubungan dengan suatu malformasi
vaskular pada saraf tulang belakang.
Gejala dari serebellar dan traktus piramidal, dan mungkin juga gejala dari
batang otak, mungkin saja berhubungan dengan suatu massa atau bentuk
malformasi batang otak atau craniocervical junction. Beberapa gejala sering
misdiagnosed sebagai multipel sklerosis. Bentuk malformasi vaskuler
batang otak, juga dapat menyebabkan gejala neurologis yang berubah-ubah
dengan onset usia pertengahan atau usia tua.
Keterlibatan dari berbagai area dari sistem saraf pusat mungkin saja
berhubungan dengan penyakit sistemik seperti sistemik lupus
erythematosus, sarcoidosis, penyakit vaskuler, toxic encephalomyelopathy,
hypothyroidism, atau funicular myelosis.
Keterlibatan mata dan sistem saraf pusat mungkin saja berhubungan
dengan suatu vaskulitis atau intoksikasi. Uveitis ditemukan bersama-sama
dengan kelainan neurologis dalam uveoencephalomyelitis (Vogt-Koyanagi-
Harada syndrom), suatu hal yang jarang, kiranya adalah sindrom virus
dimana terjadi uveitis, gangguan gaya berjalan, leukodermia, munculnya
uban, encephalitis, dan tanda meningeal yang berubah-ubah.
Behcets disease dapat menyebabkan apththous ulcer, manifestasi okular,
dan manifestasi saraf pusat, terutama brainstem encephalitis.1,4,7

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSUD KMRT Wongsonegoro
Fakultas Kedokteran Tarumanagara 11
Tatalaksana

Terapi simptomatik
Selain primary care, terapi simptomatik juga harus dipertimbangkan
diantaranya adalah :1,5,6
1. Spasticity, spastisitas ringan dapat dikurangi dengan peregangan dan program
exercise seperti yoga, terapi fisik, atau terapi lainnya. Medikasi diberikan
ketika ada kekakuan, spasme, atau klonus saat beraktivitas atau kondisi tidur.
Baclofen, tizanidine, gabapentin, dan benzodiazepine efektif sebagai agen
antispastik.
2. Paroxysmal disorder. Pada berbagai kasus, penggunaan carbamazepin
memberikan respon yang baik pada spasme distonik. Nyeri paroxysmal dapat
diberikan antikonvulsan atau amitriptilin.
3. Bladder dysfunction. Urinalisis dan kultur harus dipertimbangkan dan
pemberian terapi infeksi jika dibutuhkan. Langkah pertama yang dilakukan
ada mendeteksi problem apakah kegagalan dalam mengosongkan bladder
atau menyimpan urin. Obat antikolinergik Oxybutinin dan Tolterodine efektif
untuk kegagalan dalam menyimpan urin diluar adanya infeksi.
4. Bowel symptom. Konstipasi merupakan masalah umum pada pasien MS dan
harus diterapi sesegera mungkin untuk menghindari komplikasi.
Inkontinensia fekal cukup jarang. Namun bila ada, penambahan serat dapat
memperkeras tinja sehingga dapat membantu spingter yang inkompeten
dalam menahan pergerakan usus. Penggunaan antikolinergik atau antidiare
cukup efektif pada inkontinensia dan diare yang terjadi bersamaan.
5. Sexual symptom. Masalah seksual yang muncul antara lain penurunan libido,
gangguan disfungsi ereksi, penurunan lubrikan, peningkatan spastisitas, rasa
sensasi panas dapat terjadi. Pada beberapa pasien MS, gangguan disfungsi
ereksi dapat diatasi dengan sildenafil.
6. Neurobehavior manifestation. Depresi terjadi lebih dari separuh dari pasien
dengan MS. Pasien dengan depresi ringan dan transien dapat dilakukan terapi
suportif. Pasien dengan depresi berat sebaiknya diberikan Selective Serotonin
Reuptake Inhibitors (SSRIs) yang memiliki efek sedative yang lebih kecil

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSUD KMRT Wongsonegoro
Fakultas Kedokteran Tarumanagara 12
disbanding antidepresan lain. Amitriptilin dapat digunakan bagi pasien yang
memiliki kesulitan tidur atau memiliki sakit kepala.
7. Fatigue. Kelelahan dapat diatasi dengan istirahat cukup atau penggunaan
medikasi. Amantadine 100 mg dua kali perhari cukup efektif. Modafinil, obat
narcolepsy yang bekerja sebagai stimulant SSP telah ditemukan memiliki
efek yang bagus pada pasien MS. Obat diberikan dengan dosis 200 mg satu
kali sehari pada pagi hari. SSRIs juga dapat menghilangkan kelelahan pada
pasien MS. Amantadine memiliki efek anti influenza A dan baik diberikan
pada Oktober hingga Maret.

Terapi relaps
Pengobatan relaps dilakukan dengan pemberian metilprednisolon
500-1000 mg IV selama 3-5 hari. Metilprednisolon diberikan sekali pada
pagi hari dalam saline normal selama 60 menit. Pemberian metilprednisolon
lebih dari 5 hari tidak memberikan hasil yang lebih baik.1
Pada pasien dengan MS, fisoterapi harus selalu dilakukan untuk
meningkatkan fungsi dan kualitas hidup dari ketergantungan terapi obat.
Perawatan pendukung berupa konseling, terapi okupasi, saran dari sosial,
masukan dari perawat,dan partisipasi dalam patient support group merupakan
bagian dari perawatan kesehatan dengan pendekatan tim dalam pengelolaan MS.1

Disease-Modifying Therapies
Interferon beta
Berdasarkan guideline NICE, pasien RRMS direkomendasikan untuk
mendapatkan terapi Interferon Beta, baik jenis Interferon Beta 1a maupun
1b. Beta interferon dapat mengurangi jumlah lesi inflamasi 50-80% yang
terlihat pada MRI. Tipe SPMS juga direkomendasikan untuk mendapatkan
terapi Interferon Beta.1

Glatiramer asetat
Obat ini didesain untuk berkompetisi dengan myelin basic protein.
Pemberian Glatiramer Asetat 20mg/hari subkutan dapat menurunkan

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSUD KMRT Wongsonegoro
Fakultas Kedokteran Tarumanagara 13
frekuensi relaps pada RRMS.1

Fingolimod
Obat ini merupakan satu-satunya obat MS dalam sediaan oral.Fingolimod
diindikasikan untuk tipe aktif RRMS. Atau dapat menjadi pilihan berikutnya
apabila pengobatan RRMS dengan Interferon beta tidak memberikan hasil
yang memuaskan.1

Natalizumab
Merupakan suatu antibodi monoklonal yang diberikan pada kasus-kasus MS
yang agresif. Pada kasus RRMS yang tidak memberikan hasil
optimal dengan Interferon Beta, GA maupun Fingolimod maka terapi dapat
dialihkan ke Natalizumab, atau pada kasus-kasus yang intoleran terhadap
obat-obat sebelumya. Natalizumab tergolong dalam obat lini kedua dalam
terapi MS.1

Mitoxantrone
Obat antikanker ini dapat menurunkan frekuensi relaps dan menahan
progresifitas MS. Mitoxantrone direkomendasikan pada RRMS yang sangat
aktif atau SPMS yang sangat progresif. Mitoxantrone tergolong
dalam obat lini ke 3 dalam terapi MS.1

Untuk tipe PPMS hingga saat ini tidak ada terapi yang direkomedasikan.
Terapi hanya bersifat simptomatis.1

Fenitoin

Fenitoin yang merupakan obat antiepilepsi. Dalam uji cobanya fenitoin bersifat
neuroprotective terhadap degenerasi serabut saraf retina pada pasien neuritis
optik. Fenitoin yang bekerja sebagai sodium channel blocker. Pada daerah
inflamasi, akson akan dipenuhi oleh sodium dan menyebabkan masuknya calcium
ke dalam sel yang menyebabkan kematian sel. Dengan pemberian fenitoin sebagai
sodium channel blocker maka dapat mencegah kematian sel. Dosis yang
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf
RSUD KMRT Wongsonegoro
Fakultas Kedokteran Tarumanagara 14
dipergunakan dalam penelitian 15 mg/kgbb selama 3 hari dan dilanjutkan 4
mg/kgbb dalam 13 minggu. Hasil penelitian menunjukkan pasien neuritis optic
yang diberikan fenitoin dalam 3 bulan dapat mencegah 30% lebih baik dibanding
dengan pemberian placebo.8

Komplikasi
1. Depresi
2. Kesulitan dalam menelan
3. Kesulitan berppikir dan berkonsentrasi
4. Hilang dan menurunnya kemampuan merawat diri sendiri
5. Membutuhkan kateter
6. Osteoporosis
7. Infeksi saluran kemih7

Prognosis
Jika tidak diobati, lebih dari 30% pasien dengan MS akan memiliki
cacat fisik yang signifikan dalam waktu 20-25 tahun setelah onset. Kurang dari
5-10% dari pasien memiliki fenotipe MS klinis ringan, di mana tidak ada cacat
fisik yang signifikan terakumulasi meskipun berlalu beberapa dekade setelah
onset (kadang-kadang terlepas dari lesi baru yang terlihat pada MRI).
Pemeriksaan rinci dalam banyak kasus, mengungkapkan beberapa tingkat
kerusakan kognitif.2,7
Pasien laki-laki dengan MS progresif primer memiliki prognosis
terburuk, dengan respon yang kurang menguntungkan untuk pengobatan dan
cepat menimbulkan kecacatan. Insiden yang lebih tinggi dari lesi sumsum
tulang belakang di MS progresif primer juga merupakan faktor dalam
perkembangan pesat dari kecacatan.2,7
Harapan hidup dipersingkat hanya sedikit pada orang dengan MS,
dan tingkat kelangsungan hidup terkait dengan kecacatan. Kematian
biasanya terjadi akibat komplikasi sekunder (50-66%), seperti penyebab
paru atau ginjal, tetapi juga dapat disebabkan oleh komplikasi utama, bunuh

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSUD KMRT Wongsonegoro
Fakultas Kedokteran Tarumanagara 15
diri, dan menyebabkan tidak berhubungan dengan MS. Marburg varian dari
MS adalah bentuk akut dan klinis fulminan penyakit yang dapat
menyebabkan koma atau kematian dalam beberapa hari.2,7

KESIMPULAN

Multiple sclerosis (MS) adalah penyakit autoimun yang terutama


menyerang perempuan usia muda, tergolong penyakit langka di Indonesia.
Penyakit ini dapat mengakibatkan kecacatan dan menurunkan kualitas
hidup. Penegakan diagnosis yang akurat sangat diperlukan agar pasien bisa
mendapatkan pengobatan yang adekuat sedini mungkin. Neuritis optic dan
gangguan sensorik merupakan manifestasi awal dari penyakit ini.

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSUD KMRT Wongsonegoro
Fakultas Kedokteran Tarumanagara 16
Daftar Pustaka

1. Estiasari R. Sclerosis multiple. Departemen neurologi, fakultas kedokteran


universitas Indonesia RSCM. Jakarta. 2014
2. Allan H. Ropper, Martin A. Adams & Victors Principles of Neurology, 9th
Edition. Boston. 2009.
3. Munger.K, Levin L, Holis B, Howard M, Ascherio A. Serum 25-
Hidroksivitamin D Levels and Risk of Multiple Sclerosis. Report: JAMA
2006:296:2832-2838
th
4. Simon R. Motor Deficit. Clinical Neurology.7 . McGraw Hill.
USA.2009.
5. About MS. 2012. Bayer HealthCare Pharmaceuticals. Available from:
http://www.multiplesclerosis.com/global/about_ms.php was accessed on
Februari 11th,2016
6. Multiple sclerosis. 2012. Medscape References. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1146199-overview was accessed on
Februari 11th,2016
7. Multiple Sclerosis. Pubmed Health Medicine. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001747/ was accessed
on Februari 11th,2016
8. Phenythoin Neuroprotection in MS. 2015. Medscape References.
Available from: http://www.medscape.com/viewarticle/843393#vp_1was
accessed on Februari 12th,2016

Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf


RSUD KMRT Wongsonegoro
Fakultas Kedokteran Tarumanagara 17
Kepaniteraan Ilmu Penyakit Saraf
RSUD KMRT Wongsonegoro
Fakultas Kedokteran Tarumanagara 18

Anda mungkin juga menyukai