BAB 6
PEMBAHASAN
bisa menikmati hidup layaknya orang normal lain yang bukan terdiagnosa
HIV/AIDS.
Pada domain tingkat kemandirian, dapat diketahui bahwa sebanyak 51,1%
merasa cukup baik kemampuannya untuk mendapatkan sesuatu. Hanya 4,2%
responden merasa sangat tidak puas dengan kemampuan untuk melakukan
aktivitas sehari-hari dan sebanyak 7,3% responden merasa sangat tidak puas
dengan kemampuan untuk bekerja.
Pada domain sosial, 38,5% responden merasa cukup diterima oleh orang
yang dikenalnya. Sebanyak 40,6% responden merasa biasa-biasa saja dengan
hubungan pribadi/sosialnya. Hanya 16,7% responden merasa tidak puas dengan
kehidupan seksnya dan 7,3% responden merasa tidak puas dengan dukungan dari
teman-temannya. Dukungan mental, berkumpul dan saling mendukung tidak
hanya diberikan kepada ODHA saja tetapi juga pada orang hidup dengan
HIV/AIDS (OHIDHA), karena status HIV/AIDS berujung pada stigma dan
diskrimasi dikarenakan kurangnya pengetahuan mengenai masalah penyakit
HIV/AIDS. OHIDHA juga diberikan konseling untuk tidak mengucilkan, menolak
ODHA dalam keluarga, bahkan sampai mengusir. Perasaan empati yang diberikan
OHIDHA akan berdampak positif bagi ODHA, ODHA akan merasakan bahwa
hidup ODHA berarti karena teman sebaya dan dukungan sosial dari keluarga
sangat memuaskan. Respon yang diterima ODHA akan berdampak pada interaksi
sosial di dalam keluarga atau masyarakat. Dengan adanya respon yang positif,
ODHA akan tetap melanjutkan hidupnya tanpa ada rasa takut menerima stigma
dan diskriminasi (Fatmawati, dkk, 2016).
Pada domain lingkungan, sebanyak 44,8% responden merasa cukup aman
dalam kehidupan sehari-hari. Sebanyak 53,1% responden merasa cukup sehat
lingkungan tempat tinggalnya. 51% responden menyatakan mempunyai cukup
uang untuk memenuhi kebutuhannya. Hanya 6,3% responden menyatakan sama
sekali tidak mendapat informasi yang dibutuhkan, 14,6% responden sedikit
mempunyai kesempatan untuk melakukan kegiatan di waktu luang, 8,3%
responden menyatakan tidak puas dengan kondisi tempat tinggalnya. Sebanyak
39,6% responden puas dengan akses ke pelayanan kesehatan dan 44,8%
responden menyatakan biasa-biasa saja dengan transportasi yang digunakan.
58
ini sesuai dengan hasil penelitian Hardiansyah dan Dian (2014), yang
mendapatkan pendidikan responden terbanyak adalah tamat SMA yaitu sebanyak 16
orang (76,2%). Berbeda dengan hasil penelitian Li, et al (2009), ditemukan
sebagian besar (81,4%) respondennya berpendidikan di bawah SMA.
Pendidikan yang tinggi walaupun telah memiliki pengetahuan yang benar
tentang HIV/AIDS, tidak dengan sendirinya akan diikuti dengan tindakan positif
berupaya konkrit mencegah HIV/AIDS. Karena pada dasarnya seks tidak
mengenal tingkat pendidikan melainkan berpengaruh terhadap perilaku seseorang
yaitu apabila ada uang, kesempatan dan kemauan (Djoerban, 2000).
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Heniyuniarti (2014), dimana 74%
respondennya bekerja. Penelitian oleh Kumar (2013), didapatkan responden yang
bekerja yaitu sebesar 85%. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian oleh Nojomi,
et al (2008), dimana respondennya 65,4% tidak bekerja dan sisanya bekerja.
Lebih banyaknya responden yang bekerja, hal ini dimungkinkan karena
mayoritas penderita HIV/AIDS berada pada usia produktif. Pada penelitian ini,
ditemukan sebagian besar pasien berada pada rentang usia produktif. Selain itu,
bekerja berkaitan dengan penghasilan, mobilisasi dan sosialisasi, sehingga
kelompok produktif lebih rentan tertular HIV/AIDS.
tahun 2014 yaitu sebanyak 1.819 orang, tahun 2015 meningkat menjadi 1.886
orang dan tahun 2016 meningkat menjadi 2.662 orang.
Tanpa pengobatan, para penderita HIV hampir selalu berakhir dengan
penyakit AIDS dan angka harapan hidup penderita akan semakin rendah. Cara
terbaik untuk tetap sehat adalah dengan melakukan pengobatan sebelum virus
HIV menyerang sistem imun seseorang, sehingga yang paling utama adalah
seseorang harus tahu bahwa ia mengidap virus HIV sebelum berkembang menjadi
AIDS. Dengan begitu, seseorang bisa mendapatkan penanganan yang tepat
sebelum terjangkit AIDS sehingga angka harapan hidup seorang penderita
HIV/AIDS akan semakin lama (AIDS Map, 2015).
berisiko 11,500 kali untuk mempunyai kualitas hidup yang buruk dibandingkan
responden yang tidak mengalami depresi. Hasil ini sesuai dengan penelitian
Abiodun, et al (2008), yang mendapatkan adanya hubungan yang signifikan
antara depresi dengan kualitas hidup orang yang hidup dengan infeksi HIV di
Nigeria (p-value= 0,002). Ditemukan 27,8% pasien HIV mengalami depresi,
seluruhnya memiliki kualitas hidup yang buruk.
Depresi ditandai dengan perasaan sedih, murung, dan
cenderung sensitif. Gejala depresi yang lain adalah: distorsi
kognitif seperti mengkritik diri sendiri, timbul perasaan bersalah,
perasaan tidak berharga, kepercayaan diri turun, pesimis dan
putus asa, rasa malas, tidak bertenaga, retardasi psikomotor dan
menarik diri terhadap hubungan sosial (Amir, 2005).
Keadaan depresi membuat pasien pesimis terhadap masa depan,
memandang dirinya tidak berharga, cenderung mengurung diri dan tidak ingin
bergaul dengan orang lain, serta menganggap dirinya sebagai orang yang dikutuk
oleh Tuhan. Sehingga hal ini akan mempengaruhi secara keseluruhan pada aspek-
aspek dalam kualitas hidup pasien (Cichocki, 2009).
Depresi berperan terhadap penurunan kesehatan fisik dan mental yang
menyebabkan seseorang malas melakukan tindakan perawatan diri secara rutin.
Pada pasien HIV/AIDS, hal ini tentunya berpengaruh terhadap kesehatan pasien.
Penelitian yang dilakukan Holmes (2007) bahkan menemukan bahwa pasien yang
mengalami depresi enggan mencari bantuan pengobatan, perawatan dan informasi
lainnya yang tentunya hal ini mempengaruhi atau memperburuk kesehatannya.
Hal yang pasti tentunya depresi berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien.
ODHA yang mengalami depresi akan mengalami penurunan yang tajam
dalam jumlah sel CD4. Hal ini yang memperburuk derajat kesehatan fisik pasien
(Robinson, 2003). Selain itu kondisi pasien depresi juga mempengaruhi motivasi
pasien untuk melakukan self care secara adekuat (Rubin & Peyrot, 2001). Depresi
ini dapat berkontribusi pada penurunan kesehatan fisik dan mental yang
menyebabkan seseorang malas untuk melakukan aktivitas perawatan diri secara
rutin.
68
6.3.3 Pendidikan
70
6.3.5 Pekerjaan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara pekerjaan dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di
Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2017 (p-value= 0,725). Hasil
ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Blalock, et al (2003) yang
menyatakan tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok bekerja dengan tidak
bekerja terhadap kualitas hidup pasien HIV/AIDS. Hasil ini tidak sesuai dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Nojomi, et al (2008), dimana status pekerjaan
merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi kualitas hidup.
Responden pada penelitian ini mayoritas bekerja yaitu 69 orang (71,9%),
hal ini menunjukkan bahwa responden secara fisik masih kuat bekerja untuk
mendapatkan penghasilan dan memenuhi kebutuhan hidup. Dilihat dari responden
yang tidak bekerja, sebagian besar berstatus mahasiswa (10,4%) dan IRT (13,5%).
72
penyimpangan seksual atau gay, wanita nakal dan salah pergaulan. Melalui stigma
tersebut, ODHA kemudian dikucilkan dan tanpa disadari bahwa tindakan tersebut
sebenarnya telah mempengaruhi kondisi psikologis ODHA. Hal ini mengantarkan
ODHA pada kondisi stres, depresi, putus asa dan menutup diri. ODHA akan
memilih untuk merahasiakan status kesehatannya dari keluarga, teman maupun
kerabat dekatnya, sehingga ODHA pun tidak mampu mendapatkan dukungan
yang seharusnya diperoleh (Gunung, dkk, 2002).
ODHA sebenarnya membutuhkan dukungan, bukan dikucilkan agar
harapan hidup ODHA menjadi lebih panjang. Dengan adanya dukungan sosial
maka akan tercipta lingkungan kondusif yang mampu memberikan motivasi
maupun memberikan wawasan baru bagi ODHA dalam menghadapi
kehidupannya. Dukungan sosial ini dapat meminimalkan tekanan psikososial yang
dirasakan ODHA, sehingga ODHA dapat memiliki gaya hidup yang lebih baik
dan dapat memberikan respon yang lebih positif terhadap lingkungan sosialnya.
Selain itu, dengan adanya dukungan sosial ini maka ODHA akan merasa dihargai,
dicintai dan merasa menjadi bagian dari masyarakat, sehingga ODHA tidak
merasa didiskriminasi yang nantinya dapat berdampak positif bagi kesehatannya
(Sarafino, 2011).
rendah hanya mempengaruhi domain fisik dan CD4 tidak berpengaruh pada faktor
emosional dan sosial (Hasanah, et al. 2010).
Responden pada penelitian ini mayoritas memiliki jumlah CD4 200/ml
(66,7%). Ini berarti bahwa ODHA memiliki keinginan untuk sehat dengan teratur
mengikuti pengobatan ARV. Hal ini juga didukung oleh motivasi dan dukungan
dari petugas VCT dan keluarga serta teman yang mengetahui status responden,
sehingga akan mempengaruhi kualitas hidup ODHA. Dari responden yang jumlah
CD4 <200/ml, 81,3% diantaranya memiliki dukungan sosial yang baik yang dapat
memberikan dampak positif untuk kesehatannya. Sehingga tidak ada
hubungannya jumlah CD4 dengan kualitas hibup baik ataupun buruk pada
penderita HIV/AIDS.
sehingga ODHA merasa lebih sehat, tidak mudah lelah dan tidak mudah sakit.
Selain itu, dalam memerangi virus HIV, ODHA menjadi lebih menjaga
kesehatanya dengan minum obat secara teratur, makan tepat waktu, selalu
berusaha menghindari pemakaian obat-obatan terlarang dan secara rutin
mengkonsultasikan masalah kesehatannya (Nurbani, 2012).