Anda di halaman 1dari 22

56

BAB 6
PEMBAHASAN

6.1 Distribusi Tiap Variabel


6.1.1 Kualitas Hidup Penderita HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Dr. M.
Djamil Padang
Pada penelitian ini diketahui sebagian besar responden memiliki kualitas
hidup baik yaitu sebanyak 70 orang (72,9%), sedangkan yang memiliki kualitas
hidup buruk sebanyak 26 orang (27,1%). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Heniyuniarti (2014) menemukan bahwa sebagian besar responden memiliki
kualitas hidup baik yaitu sejumlah 31 orang (62%). Pada penelitian yang
dilakukan oleh Nengsih (2015) juga didapatkan mayoritas penderita HIV/AIDS
mempunyai kualitas hidup baik (52,2%).
Menurut definisi WHO, kualitas hidup terdiri dari berbagai domain yaitu
dimensi fisik, psikologis, tingkat kemandirian, sosial, lingkungan dan spiritual.
Dapat dilihat dari domain fisik (Lampiran 12), banyak responden yang menjawab
sedikit (28,1%) yang merasa penyakitnya mencegah aktivitas, 27,1% yang
menjawab sedikit yang merasa terganggu oleh masalah fisik yang berkaitan
dengan infeksi HIV, 47,9% responden memiliki energi yang cukup untuk
beraktivitas dan 31,25% responden menjawab biasa-biasa saja dengan kualitas
tidurnya. Hal ini menunjukkan bahwa rasa sakit fisik seperti kelelahan,
keterbatasan pergerakan tubuh, rasa nyeri, kekurangan energi tidak mengganggu
ODHA dalam beraktivitas sehari-hari. Rasa sakit fisik yang sedikit tidak
mengganggu istirahat dan tidur ODHA. ODHA masih bisa melakukan aktivitas
dan masih aktif bekerja dimana dilihat dari karakteristik responden yang
mayoritas bekerja.
Pada domain psikologis, dapat diketahui bahwa sekitar 40,6% responden
cukup menikmati hidupnya, 50% cukup baik kemampuannya dalam
berkonsentrasi. Hanya 5,2% responden sama sekali tidak dapat menerima
penampilan tubuhnya, 7,3% responden menyatakan sangat tidak puas dengan
dirinya sendiri dan 5,2% responden yang selalu merasa tidak mood, putus asa,
cemas dan depresi. Dilihat dari hasil presentase, menunjukkan seorang ODHA
57

bisa menikmati hidup layaknya orang normal lain yang bukan terdiagnosa
HIV/AIDS.
Pada domain tingkat kemandirian, dapat diketahui bahwa sebanyak 51,1%
merasa cukup baik kemampuannya untuk mendapatkan sesuatu. Hanya 4,2%
responden merasa sangat tidak puas dengan kemampuan untuk melakukan
aktivitas sehari-hari dan sebanyak 7,3% responden merasa sangat tidak puas
dengan kemampuan untuk bekerja.
Pada domain sosial, 38,5% responden merasa cukup diterima oleh orang
yang dikenalnya. Sebanyak 40,6% responden merasa biasa-biasa saja dengan
hubungan pribadi/sosialnya. Hanya 16,7% responden merasa tidak puas dengan
kehidupan seksnya dan 7,3% responden merasa tidak puas dengan dukungan dari
teman-temannya. Dukungan mental, berkumpul dan saling mendukung tidak
hanya diberikan kepada ODHA saja tetapi juga pada orang hidup dengan
HIV/AIDS (OHIDHA), karena status HIV/AIDS berujung pada stigma dan
diskrimasi dikarenakan kurangnya pengetahuan mengenai masalah penyakit
HIV/AIDS. OHIDHA juga diberikan konseling untuk tidak mengucilkan, menolak
ODHA dalam keluarga, bahkan sampai mengusir. Perasaan empati yang diberikan
OHIDHA akan berdampak positif bagi ODHA, ODHA akan merasakan bahwa
hidup ODHA berarti karena teman sebaya dan dukungan sosial dari keluarga
sangat memuaskan. Respon yang diterima ODHA akan berdampak pada interaksi
sosial di dalam keluarga atau masyarakat. Dengan adanya respon yang positif,
ODHA akan tetap melanjutkan hidupnya tanpa ada rasa takut menerima stigma
dan diskriminasi (Fatmawati, dkk, 2016).
Pada domain lingkungan, sebanyak 44,8% responden merasa cukup aman
dalam kehidupan sehari-hari. Sebanyak 53,1% responden merasa cukup sehat
lingkungan tempat tinggalnya. 51% responden menyatakan mempunyai cukup
uang untuk memenuhi kebutuhannya. Hanya 6,3% responden menyatakan sama
sekali tidak mendapat informasi yang dibutuhkan, 14,6% responden sedikit
mempunyai kesempatan untuk melakukan kegiatan di waktu luang, 8,3%
responden menyatakan tidak puas dengan kondisi tempat tinggalnya. Sebanyak
39,6% responden puas dengan akses ke pelayanan kesehatan dan 44,8%
responden menyatakan biasa-biasa saja dengan transportasi yang digunakan.
58

Pada domain spiritual, hanya 10,4% responden merasa hidupnya sama


sekali tidak berarti, 31,3% responden merasa sama sekali tidak terganggu oleh
orang-orang yang menyalahkannya dengan status HIV. 17,7% responden
menyatakan sedikit takut menghadapi masa depannya dan 23,9% responden
menyatakan tidak khawatir akan kematian. Hal ini menunjukkan, secara spiritual
kualitas hidup ODHA cukup baik. Adanya penerimaan diri secara spiritual,
ODHA akan mempunyai harapan yang realistis, tabah dan sabar, pandai
mengambil hikmah.
Kualitas hidup penderita HIV/AIDS harus dijaga, dengan teratur terapi
ARV dapat memulihkan sistem kekebalan imun, menghentikan virus dan
mengurangi terjadinya infeksi oportunistik sehingga dapat memperbaiki kualitas
hidup penderita HIV/AIDS. Untuk mempertahankan kekuatan, meningkatkan
fungsi sistem imun, meningkatkan kemampuan tubuh untuk memerangi infeksi
dan menjaga ODHA tetap aktif dan produktif juga harus diperlukan nutrisi yang
sehat (Nursalam dan Kurniawati, 2011).

6.1.2 Depresi Penderita HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil


Padang
Pada penelitian ini diketahui distribusi responden berdasarkan kejadian
depresi yaitu lebih dari setengah pasien mengalami depresi yaitu sebanyak 51
orang (53,1%), sedangkan yang tidak depresi sebanyak 45 orang (46,9%).
Berbeda dengan hasil penelitian oleh Abiodun, et al (2008), responden yang
mengalami depresi sebanyak 25 orang (28,7%). Menurut Spiritia (2014), kurang
lebih 5-10% masyarakat umum mengalami depresi, namun angka depresi pada
ODHA dapat mencapai 60%.
Berdasarkan jawaban responden pada kuesioner BDI, 42,7% responden
merasa sedih, 33% merasa berkecil hati terhadap masa depan dan 26% lebih
banyak mengalami kegagalan. Sebanyak 32,3% responden merasa cukup sering
merasa bersalah, 34,4% responden merasa bahwa mereka sedang dihukum, 52,1%
responden merasa kecewa dengan dirinya sendiri. Sebanyak 56,3% responden
menyatakan lebih mudah lelah dari biasanya, 28,1% responden menyatakan nafsu
makan berubah tidak sebanyak biasanya dan 43,6% responden telah mengalami
59

kehilangan berat badan. Sebanyak 51% responden menyatakan cemas dengan


masalah kesehatan fisiknya dan 49% responden menyatakan kurang berminat
terhadap seks dibandingkan dengan biasanya.
Di satu sisi depresi dapat timbul karena penyakit HIV/AIDS itu sendiri, di
sisi lain depresi yang timbul akan memperberat perjalanan penyakit HIV/AIDS itu
sendiri (Penzak SR, 2000). Ketika ODHA sudah merasa hidupnya gagal, apa yang
dilakukannya adalah sia-sia dan akan kehilangan harga diri, serta sering merasa
tertekan. Hal ini akan mengakibatkan reaksi-reaksi tubuh yang tidak diharapkan,
seperti tidak nafsu makan, stres dan tidak mau menjalani pengobatan dan
perawatan. Hal ini akan memperburuk kondisi ODHA. Keadaan ini dimanfaatkan
oleh HIV berkembang lebih cepat. Di samping itu daya tahan tubuh untuk
melawan HIV mulai berkurang, sehingga lebih cepat mendapatkan infeksi yang
lebih parah.

6.1.3 Usia Penderita HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Dr. M.


Djamil Padang
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa 54,2%
ODHA di Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang tahun 2017
berusia >30 tahun. Rata-rata usia responden adalah 32,15 tahun, dengan usia
paling muda 21 tahun dan usia paling tua 62 tahun. Hal ini serupa dengan hasil
penelitian Kumar, et al (2013), mendapatkan responden HIV/AIDS yang paling
banyak berumur >30 tahun yaitu sebanyak 132 orang (66%) dengan rata-rata usia
responden 33,77. Menurut hasil penelitian Nojomi, et al (2008) menemukan
karakteristik usia rata-rata penderita HIV/AIDS dalam penelitiannya 35,4 tahun
dengan kisaran 22 sampai 54 tahun.
Dilihat dari rata-rata umur penderita HIV/AIDS, masuk dalam
perkembangan masa dewasa dini (early adulthood) yaitu pada umur 21- 35 tahun.
Masa dewasa ini selalu dianggap sebagai penyesuaian diri terhadap kehidupan dan
harapan sosial baru, yaitu memainkan peran sebagai suami atau istri, orang tua,
pekerja, atau pencari nafkah (Pieter Z & Lubis L, 2010). Hal ini mengindikasikan
bahwa pada saat usia produktif terdapat faktor risiko yang menyebabkan positif
HIV/AIDS. Tekanan dari teman sebaya untuk melakukan hubungan seksual
60

paksaan, pemerkosaan, kekerasan seksual dimasa muda sehingga kehilangan


harga diri dan perasaan kendali atas kehidupan mereka sendiri, yang kemudian
meningkatkan risiko penyalahgunaan NAPZA dan memasuki kehidupan seks
lebih dini sehingga terpapar pada HIV (Noviana, 2013).

6.1.4 Jenis Kelamin Penderita HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Dr. M.


Djamil Padang
Berdasarkan hasil penelitian, distribusi jenis kelamin responden yang
paling banyak dalam penelitian ini adalah laki-laki yaitu berjumlah 76 orang
(79,2%) sedangkan perempuan 20,8%. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan
hasil-hasil penelitian sebelumnya diantaranya penelitian Nojomi, et al (2008)
yang mendapatkan 88,5% respondennya berjenis kelamin laki-laki, penelitian
Hardiansyah dan Dian (2014) dari 21 responden dalam penelitiannya, 71,4%
adalah laki-laki sedangkan perempuan 28,6%.
Jika dilihat dari jumlah kunjungan pasien Poliklinik VCT RSUP Dr. M.
Djamil Padang dari bulan Januari sampai April 2017, ODHA laki-laki lebih
banyak dari perempuan dimana laki-laki berjumlah 805 orang dan perempuan
berjumlah 232 orang. Hasil ini sesuai dengan Kemenkes RI (2016), jumlah kasus
HIV/AIDS lebih banyak pada laki-laki dengan rasio 2:1.
Dari hasil ini dapat dilihat laki-laki lebih rentan terkena infeksi HIV.
Berdasarkan cara penularan, laki-laki lebih banyak terinfeksi HIV yakni melalui
tiga cara utama meliputi: IDU (Injecting Drug User), homoseksual dan
heteroseksual (seks bebas). Sedangkan, wanita umumnya terinfeksi hanya dari
cara penularan heteroseksual (seks bebas atau tertular dari suami). Berdasarkan
data kejadian infeksi HIV tahun 2015 dengan faktor risiko lelaki seks dengan
lelaki (LSL) meningkat 10% dari tahun sebelumnya (Kemenkes, 2016).

6.1.5 Pendidikan Penderita HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Dr. M.


Djamil Padang
Dari hasil penelitian ini diketahui paling banyak responden tingkat
pendidikannya tinggi (SMA dan perguruan tinggi) yaitu 81 orang (84,4%),
sedangkan yang tingkat pendidikannya rendah (SD dan SLTP) hanya 15,6%. Hasil
61

ini sesuai dengan hasil penelitian Hardiansyah dan Dian (2014), yang
mendapatkan pendidikan responden terbanyak adalah tamat SMA yaitu sebanyak 16
orang (76,2%). Berbeda dengan hasil penelitian Li, et al (2009), ditemukan
sebagian besar (81,4%) respondennya berpendidikan di bawah SMA.
Pendidikan yang tinggi walaupun telah memiliki pengetahuan yang benar
tentang HIV/AIDS, tidak dengan sendirinya akan diikuti dengan tindakan positif
berupaya konkrit mencegah HIV/AIDS. Karena pada dasarnya seks tidak
mengenal tingkat pendidikan melainkan berpengaruh terhadap perilaku seseorang
yaitu apabila ada uang, kesempatan dan kemauan (Djoerban, 2000).

6.1.6 Status Pernikahan Penderita HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Dr.


M. Djamil Padang
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa paling banyak responden
dengan status tidak menikah (59,4%). Hasil penelitian ini serupa dengan hasil
penelitian Nengsih, 2015, dimana lebih dari setengah responden tidak menikah
yaitu sebesar 57,8%. Pada penelitian Abiodun, et al (2008), didapatkan responden
tidak menikah yaitu sebesar 52% responden. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Nojomi, et al (2008) didapatkan responden yang tidak menikah yaitu sebesar
72,7%. Menurut penelitian oleh Kamilah (2014), orang dengan status belum
menikah mempunyai kecenderungan untuk menderita HIV sebesar 8,1 kali lebih
tinggi dibanding orang yang sudah menikah.
Orang yang sudah menikah memiliki ketergantungan secara biologis dan
psikologis untuk melakukan aktivitas seksual secara rutin sehingga menyebabkan
pasangan yang menikah dapat memenuhi biologis pada pasangannya,
dibandingkan mereka yang tidak memiliki pasangan hidup. Mereka yang tidak
memiliki pasangan hidup lebih berisiko terjadi penularan HIV atau IMS lainnya
dikarenakan kecenderungan berganti-ganti pasangan (Laily dalam Pawiro, 2013).

6.1.7 Pekerjaan Penderita HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Dr. M.


Djamil Padang
Mayoritas responden dalam penelitian ini adalah bekerja yaitu berjumlah
69 orang (71,9%) sedangkan untuk yang tidak bekerja 28,1%. Hasil penelitian ini
62

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Heniyuniarti (2014), dimana 74%
respondennya bekerja. Penelitian oleh Kumar (2013), didapatkan responden yang
bekerja yaitu sebesar 85%. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian oleh Nojomi,
et al (2008), dimana respondennya 65,4% tidak bekerja dan sisanya bekerja.
Lebih banyaknya responden yang bekerja, hal ini dimungkinkan karena
mayoritas penderita HIV/AIDS berada pada usia produktif. Pada penelitian ini,
ditemukan sebagian besar pasien berada pada rentang usia produktif. Selain itu,
bekerja berkaitan dengan penghasilan, mobilisasi dan sosialisasi, sehingga
kelompok produktif lebih rentan tertular HIV/AIDS.

6.1.8 Dukungan Sosial Penderita HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Dr. M.


Djamil Padang
Pada penelitian ini juga diketahui distribusi responden berdasarkan
dukungan sosial yang paling banyak adalah responden dengan dukungan sosial
baik yaitu 75 orang (78,1%). ODHA mendapatkan dukungan sosial
yang berasal dari keluarga, teman dan tenaga kesehatan.
Diantara sumber dukungan sosial tersebut, tenaga kesehatan
adalah yang paling banyak ditemukan. Hasil penelitian ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan Diatmi dan Fridari (2014), yang menunjukkan
bahwa sebagian besar ODHA memiliki dukungan sosial yang sangat tinggi, yaitu
sebanyak 44 orang (58%) dan 32 orang (42%) termasuk dalam kategori dengan
tingkat dukungan sosial yang tinggi.
Ada lima dimensi dukungan sosial yang dapat diberikan dan diterima oleh
ODHA yaitu dukungan materi/instrumental, dukungan emosi/psikologis,
dukungan penghargaan, dukungan integritas sosial dan dukungan informasi
(Orford, 1992). Dilihat dari dimensi dukungan materi/instrumental (Lampiran 11),
32,3% responden menyatakan sering menerima bantuan obat untuk mengatasi
keluhan yang dirasakan, 22,9% responden menyatakan mendapatkan bantuan jasa
saat dibutuhkan dan 23,9% responden menyatakan sering mendapat bantuan
makanan ketika dibutuhkan. Dukungan materi/instrumental ini berupa bantuan
nyata (tangible aid) atau dukungan alat (instrumenal aid). Dukungan ini mengacu
pada penyediaan benda-benda dan pelayanan untuk memecahkan masalah
63

(Orford, 1992). Pada ODHA, dukungan instrumental ini dapat membantu


perawatan maupun pengobatan sehingga ODHA dapat mempertahankan dan
meningkatkan status kesehatannya.
Pada dimensi dukungan emosi/psikologis, 36,5% responden menjawab
kadang-kadang mendapatkan perhatian ketika mempunyai masalah, 22,9%
responden menyatakan sering mendapat rasa empati disaat ada keluhan, 21,9%
responden menyatakan sering mendapatkan penilaian positif dalam kondisi saat
ini, 29,2% responden menyatakan kadang-kadang merasa senang dengan kondisi
saat ini dan 28,1% responden menyatakan sering pendapatnya dihargai. Menurut
Sarafino (2011), dukungan emosional melibatkan ekspresi empati, perhatian,
pemberian semangat, kehangatan, cinta, atau bantuan emosional. Dukungan emosi
ini sangat diperlukan ODHA. Perlakuan diskriminasi yang diterima ODHA
membuat ODHA semakin stres dan akan membawa dampak yang lebih buruk
pada ODHA, dimana perkembangan penyakit justru akan semakin cepat dan
memperburuk kondisi ODHA.
Pada dimensi dukungan penghargaan, 37,5% responden menyatakan
kadang-kadang merasa nyaman berada di dekat orang lain, 27,1% responden
menyatakan selalu mendapatkan kasih sayang disaat yang tepat, 26% responden
menyatakan sering mendapat pengakuan atas kelebihan dimiliki, 30,2% responden
menyatakan selalu merasa dimiliki oleh orang-orang disekitarnya dan 28,1%
responden menyatakan kadang-kadang mengikuti kegiatan sosial di masyarakat.
Dengan adanya dukungan penghargaan ini, ODHA akan merasa bahwa dia
dihargai dan diterima, diakui keberadaannya dan rasa dimiliki dan dicintai orang
lain.
Pada dimensi integritas sosial, 34,4% responden menyatakan kadang-
kadang menerima pujian ketika berhasil melakukan tugas, 25% responden
menyatakan mendapatkan tawaran bekerjasama dengan orang lain dan 36,5%
responden menyatakan kadang-kadang menerima umpan balik terhadap apa yang
dilakukan. ODHA umumnya tidak membuka rahasia penyakitnya ini kepada
teman maupun keluarga, apalagi pada masyarakat sampai ODHA tidak mampu
lagi menutupinya, biasanya setelah mengalami AIDS dan membutuhkan
perawatan. Hal ini disebabkan mereka takut akan diisolasi dari aktifitas sosial
64

yang ada di masyarakat, sedangkan bersosialisasi merupakan salah satu kebutuhan


manusia sebagai mahluk hidup. Oleh karena itu, masyarakat sangat berperan
dalam meningkatkan semangat hidup harga diri ODHA dengan tetap menerima
ODHA berada di tengah-tengah masyarakat yang melibatkannya dalam segala
aktifitas sosial yang ada dimasyarakat, seperti pengajian, kegiatan gotong royong,
peringatan hari-hari besar agama atau nasional dan kegiatan sosial lainnya.
Pada dimensi dukungan informasi, 36,5% responden menyatakan kadang-
kadang mendapatkan waktu yang memadai untuk didampingi, 34,4% responden
menyatakan sering mendapatkan saran yang sesuai dengan keinginan dan 25%
responden menyatakan sering mendapatkan pengajaran cara mengatasi masalah
yang dihadapi. Dukungan informasi diberikan dalam bentuk saran, penghargaan
dan umpan balik mengenai cara menghadapi atau memecahkan masalah yang ada
(Orford, 1992). Masyarakat khususnya ODHA perlu diberikan informasi berupa
pendidikan kesehatan tentang penyakit HIV/AIDS agar mereka mengetahui
begaimana terjadinya perjalanan virus HIV sampai menyebabkan AIDS, tanda dan
gejalanya, serta mekanisme penularan penyakitnya. Informasi ini akan membuat
masyarakat dapat lebih bijaksana dalam menyikapi ODHA dan akan memberikan
dukungan sepenuhnya pada ODHA.

6.1.9 Lama Menderita Penyakit Penderita HIV/AIDS di Poliklinik VCT


RSUP Dr. M. Djamil Padang
Distribusi lama terinfeksi responden paling banyak adalah yang sudah
terdiagnosa positif HIV/AIDS >1 tahun sebanyak 60 orang (62,5%). Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pakpahan (2014),
dimana 54,3% respondennya terdiagnosa positif HIV/AIDS >1 tahun. Hasil
penelitian yang sama juga dikemukakan oleh Imam, et al. (2011), lama rata-rata
pasien sejak terdiagnosa HIV yaitu 54,2 bulan (4,5 tahun). Berbeda dengan
penelitian oleh Kumar (2013), dimana didapatkan lebih banyak responden yang
terdiagnosa HV/AIDS 1 tahun yaitu sebanyak 151 orang (76%).
Hal ini disebabkan oleh penderita HIV/AIDS masih banyak yang kontrol
ke RSUP Dr. M. Djamil Padang. Dilihat dari kunjungan pasien HIV/AIDS pada
65

tahun 2014 yaitu sebanyak 1.819 orang, tahun 2015 meningkat menjadi 1.886
orang dan tahun 2016 meningkat menjadi 2.662 orang.
Tanpa pengobatan, para penderita HIV hampir selalu berakhir dengan
penyakit AIDS dan angka harapan hidup penderita akan semakin rendah. Cara
terbaik untuk tetap sehat adalah dengan melakukan pengobatan sebelum virus
HIV menyerang sistem imun seseorang, sehingga yang paling utama adalah
seseorang harus tahu bahwa ia mengidap virus HIV sebelum berkembang menjadi
AIDS. Dengan begitu, seseorang bisa mendapatkan penanganan yang tepat
sebelum terjangkit AIDS sehingga angka harapan hidup seorang penderita
HIV/AIDS akan semakin lama (AIDS Map, 2015).

6.1.10 Infeksi Oportunistik Penderita HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP


Dr. M. Djamil Padang
Berdasarkan hasil penelitian, dapat paling banyak responden mempunyai
infeksi oportunistik yaitu sebanyak 53,1%. Penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Purba (2017) di RSUD Dr. Pirngadi Medan, yang
menyatakan bahwa penderita HIV/AIDS lebih banyak yang memiliki infeksi
oportunistik (70,6%).
Infeksi oportunistik merupakan kondisi timbulnya berbagai gejala
penyakit ringan atau lebih berat yang dapat sembuh dengan pengobatan biasa,
tergantung tingkat imunitas penderita. Jika kekebalan imunitas tubuh tetap rendah,
infeksi oportunistik mudah kambuh kembali atau juga dapat timbul infeksi
oportunistik yang lain. Penderita yang tidak mempunyai infeksi oportunistik
mungkin masih dalam kondisi asimtomatik (tanpa gejala) atau sudah melakukan
pengobatan terhadap infeksi yang dialami. Kondisi asimtomatik berlangsung
sekitar 5 tahun, dimana keadaan penderita tampak baik meskipun telah terjadi
penurunan jumlah sel CD4 sebagai petunjuk menurunnya kekebalan tubuh
penderita, tetapi masih berada pada tingkat 500 sel/ml (Duarsa, N. W, 2007).

6.1.11 Jumlah CD4 Penderita HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Dr. M.


Djamil Padang
66

Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat distribusi responden berdasarkan


jumlah CD4 paling banyak adalah CD4 200/ml sebanyak 66,7% dan CD4
<200/ml sebanyak 33,3%. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
Liping (2015) di Zhejiang, China, menyatakan bahwa distribusi jumlah CD4
tertinggi adalah CD4 >200/ml yaitu 83,9%.
Pemeriksaan CD4 berguna untuk memulai, mengontrol dan mengubah
regimen ARV yang diberikan. Selain itu, pemeriksaan CD4 dilakukan untuk
melihat apakah terdapat perubahan jumlah CD4 setelah mendapatkan ARV. Jika
jumlah CD4 tidak dikontrol maka akan menyebabkan munculnya berbagai jenis
infeksi oportunistik karena sistem kekebalan tubuh yang semakin menurun yang
berpengaruh pada semakin banyaknya pengobatan yang diterima penderita.
Dengan mengetahui jumlah CD4 sebelum dan selama menjalani terapi ARV maka
dapat dilihat keberhasilan atau kegagalan dari terapi tersebut (Murtiastutik, 2008).

6.1.12 Kepemilikan Askes Penderita HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Dr.


M. Djamil Padang
Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat distribusi responden
berdasarkan kepemilikan askes paling banyak adalah responden yang memiliki
askes sebanyak 77,1% dan yang tidak ada askes sebanyak 22,9%. Banyaknya
penderita HIV/AIDS memiliki askes, selain harus kontrol rutin per bulan,
penderita HIV/AIDS akan mudah menderita penyakit lain (infeksi oportunistik)
yang bisa ditanggung oleh asuransi kesehatan. Pentingnya memiliki asuransi
kesehatan, dimana setiap anggota memiliki kesempatan yang lebih tinggi untuk
menggunakan layanan kesehatan dan membayar jasa pengobatan yang lebih
sedikit dari non anggota (Bharmal, et al. 2005).

6.2 Hubungan Depresi dengan Kualitas Hidup Penderita HIV/AIDS di


Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa ada hubungan yang
bermakna antara depresi dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di Poliklinik
VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2017 (p-value= 0,000). Untuk nilai OR=
11,500 (95% CI= 3,151-41,973), artinya responden yang mengalami depresi
67

berisiko 11,500 kali untuk mempunyai kualitas hidup yang buruk dibandingkan
responden yang tidak mengalami depresi. Hasil ini sesuai dengan penelitian
Abiodun, et al (2008), yang mendapatkan adanya hubungan yang signifikan
antara depresi dengan kualitas hidup orang yang hidup dengan infeksi HIV di
Nigeria (p-value= 0,002). Ditemukan 27,8% pasien HIV mengalami depresi,
seluruhnya memiliki kualitas hidup yang buruk.
Depresi ditandai dengan perasaan sedih, murung, dan
cenderung sensitif. Gejala depresi yang lain adalah: distorsi
kognitif seperti mengkritik diri sendiri, timbul perasaan bersalah,
perasaan tidak berharga, kepercayaan diri turun, pesimis dan
putus asa, rasa malas, tidak bertenaga, retardasi psikomotor dan
menarik diri terhadap hubungan sosial (Amir, 2005).
Keadaan depresi membuat pasien pesimis terhadap masa depan,
memandang dirinya tidak berharga, cenderung mengurung diri dan tidak ingin
bergaul dengan orang lain, serta menganggap dirinya sebagai orang yang dikutuk
oleh Tuhan. Sehingga hal ini akan mempengaruhi secara keseluruhan pada aspek-
aspek dalam kualitas hidup pasien (Cichocki, 2009).
Depresi berperan terhadap penurunan kesehatan fisik dan mental yang
menyebabkan seseorang malas melakukan tindakan perawatan diri secara rutin.
Pada pasien HIV/AIDS, hal ini tentunya berpengaruh terhadap kesehatan pasien.
Penelitian yang dilakukan Holmes (2007) bahkan menemukan bahwa pasien yang
mengalami depresi enggan mencari bantuan pengobatan, perawatan dan informasi
lainnya yang tentunya hal ini mempengaruhi atau memperburuk kesehatannya.
Hal yang pasti tentunya depresi berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien.
ODHA yang mengalami depresi akan mengalami penurunan yang tajam
dalam jumlah sel CD4. Hal ini yang memperburuk derajat kesehatan fisik pasien
(Robinson, 2003). Selain itu kondisi pasien depresi juga mempengaruhi motivasi
pasien untuk melakukan self care secara adekuat (Rubin & Peyrot, 2001). Depresi
ini dapat berkontribusi pada penurunan kesehatan fisik dan mental yang
menyebabkan seseorang malas untuk melakukan aktivitas perawatan diri secara
rutin.
68

Menurut teori, secara fisiologis HIV menyerang sistem kekebalan tubuh


penderitanya. Jika ditambah dengan stres psikososial dan spiritual yang
berkepanjangan terhadap pasien terinfeksi HIV, maka akan mempercepat
terjadinya AIDS, bahkan akan meningkatkan angka kematian (Nursalam dan
Kurniawati, 2011). Ketika pasien didiagnosa terkena infeksi HIV seharusnya
pasien tetap diberi semangat, selalu datang untuk kontrol ke rumah sakit, selalu
mendapat dukungan dari keluarga maupun tenaga kesehatan untuk menjalani
pengobatan dan perawatan. Tidak memberikan stigma dan diskriminasi. Menjaga
kondisi tubuh agar tetap sehat sehingga walau terinfeksi HIV, pasien tetap dapat
menikmati hidupnya dan mempunyai kualitas hidup yang baik.

6.3 Hubungan Variabel Kovariat dengan Kualitas Hidup Penderita


HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang
6.3.1 Usia
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara usia dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di
Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2017 (p-value= 0,377). Hal
ini sejalan dengan hasil penelitian Nengsih (2015) yang menyatakan usia tidak
mempengaruhi kualitas hidup ODHA (p-value= 1). Pada penelitian Nojomi, et al
(2008) pada 139 penderita HIV mendapatkan usia tidak berpengaruh terhadap
kualitas hidup. Hasil penelitian oleh Shan, et al. (2011), menunjukkan bahwa usia
tidak mempengaruhi kualitas hidup, baik dari domain fisik, psikologis dan
hubungan sosial.
Secara umum, bertambahnya usia seseorang mempengaruhi kualitas
hidupnya. Hal ini dikarenakan oleh perubahan fisik, sosial dan psikologis (Nazir,
2006). Namun, pada penderita HIV/AIDS, diagnosa HIV itu sendiri sudah
menjadi stressor yang berpengaruh pada seluruh aspek dalam kehidupan ODHA.
Sehingga kualitas hidup yang kurang baik tidak terbatas pada usia yang lebih tua
namun juga pada usia yang lebih muda, tergantung pola pikir dan kematangan
ODHA untuk menghadapi stressor serta kemampuan beradaptasi dengan
kondisinya.
69

6.3.2 Jenis Kelamin


Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara jenis kelamin dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS
di Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2017 (p-value= 0,814).
Hasil ini sesuai dengan penelitian Shan, et al. (2011), menunjukkan tidak ada
pengaruh jenis kelamin dengan kualitas hidup pada penderita HIV. Hasil ini tidak
sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nojomi, et al (2008) dimana
jenis kelamin merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi kualitas hidup (p=
0,001).
Jenis kelamin akan mempengaruhi fungsi biologi, gejala, status
fungsional, persepsi kesehatan dan akan mempengaruhi kualitas hidup (Estwing
FC, et al. 2005). Namun pada penelitian ini, kualitas hidup buruk pada ODHA
tidak tergantung pada jenis kelamin perempuan saja, namun juga pada jenis
kelamin laki-laki. Hal ini berkaitan dengan bagaimana seseorang merespon
stressor menjadi lebih adaptif. Perasaan sedih, putus asa bukanlah proses
patologis, namun merupakan respon adaptif terhadap stressor. Pada rentang
respon adaptif terdapat respon emosional. Hal ini melibatkan orang yang
mendapat stressor menunjukkan keterbukaan dan kesadaran perasaan serta dapat
memberikan pengalaman belajar yang berharga (Stuart, 2013).
Perempuan dalam menghadapi stressor lebih menggunakan perasaan
dibanding laki-laki. Sehingga saat perempuan didiagnosa HIV, menjalani
pengobatan dalam jangka waktu lama, mengalami komplikasi gejala, atau
mendapat tekanan sosial dari lingkungannya akan berpengaruh terhadap status
psikologisnya. Selain itu, masalah yang dihadapi perempuan seringkali datang
dari dalam keluarga seperti ketakutan dalam penularan virus pada anak, perceraian
yang memaksa dirinya untuk bekerja, atau menyebabkan dirinya kehilangan hak
asuh anak (Paminto, 2007). Responden pada penelitian ini mayoritas laki-laki dan
tidak menikah. Orang yang tidak menikah tidak ada yang lebih memperhatikannya
dan mempedulikannya sehingga akan mempengaruhi kualitas hidup.

6.3.3 Pendidikan
70

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa ada hubungan yang


bermakna antara pendidikan dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di
Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2017 (p-value= 0,024). Untuk
nilai OR= 4,000 (95% CI= 1,277-12,528), artinya responden dengan tingkat
pendidikan rendah berisiko 4,000 kali untuk mempunyai kualitas hidup yang
buruk dibandingkan responden dengan tingkat pendidikan tinggi. Hasil ini sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bello & Bello (2013), dimana
seseorang yang berpendidikan tinggi memiliki kualitas hidup lebih baik
dibandingkan dengan berpendidikan rendah. Pada penelitian lainnya yang
dilakukan oleh Nazir (2006) juga mengungkapkan bahwa ada hubungan antara
tingkat pendidikan dengan kualitas hidup.
Pasien HIV/AIDS dengan tingkat pendidikan tinggi akan mempunyai
kemampuan kognitif yang baik untuk mencari dan memahami informasi
mengenai perawatan penyakitnya sehingga pasien dapat mengontrol penyakitnya.
Selain itu, pasien dengan pendidikan tinggi juga lebih dapat untuk
mengembangkan mekanisme koping konstruktif dalam menghadapi stressor
(Rubin & Peyrot, 2001). Sehingga hal ini akan mempengaruhi kualitas hidupnya.
Orang berpendidikan, lebih kecil kemungkinan menjadi pengangguran dan lebih
cenderung bekerja penuh waktu, memiliki pekerjaan yang memuaskan dan tinggi
penghasilan (Regidor, et al. 2002). Oleh karena itu, kualitas hidup penderita
HIV/AIDS dengan pendidikan tinggi lebih baik.

6.3.4 Status Pernikahan


Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara status pernikahan dengan kualitas hidup penderita
HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2017 (p-value=
0,465). Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Nengsih (2015), dimana status
pernikahan tidak mempengaruhi kualitas hidup pasien HIV/AIDS (p=0,566).
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Liping, et al. (2015) dimana
status pernikahan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas hidup penderita
HIV/AIDS (p= 0,001).
71

Keberadaan pasangan yang selalu mendampingi dan memberikan


dukungan ataupun bantuan saat ODHA mengalami masalah-masalah terkait
kondisi kesehatannya, maka ODHA akan merasa lebih optimis dalam menjalani
kehidupannya. Hal itu akan mempengaruhi aspek pada kualitas hidupnya. Namun
pada penelitian ini, dapat diketahui bahwa ODHA yang menikah dan tidak
menikah tidak mempengaruhi kualitas hidup ODHA. Hal ini bisa disebabkan
ODHA yang menikah ada rasa takut menularkan kepada keluarganya. Ketika
seorang perempuan yang sudah menikah terkena infeksi HIV maka anak dan
suaminya akan berisiko tertular HIV, akan merasa dikucilkan dari masyarakat
karena status HIV-nya.
Seseorang yang sudah menikah dan belum menikah/duda/janda, masing-
masing mempunyai sumber koping, baik dari keluarga, pasangan dan petugas
kesehatan yang memiliki peran dalam meningkatkan kepercayaan diri seseorang
sehingga dapat lebih mengembangkan koping yang adaptif terhadap stressor.
Dilihat dari dukungan sosial yang diterima, responden yang tidak menikah
mendapatkan dukungan sosial yang buruk hanya sebanyak 22,8%, tidak jauh
berbeda dengan responden yang sudah menikah mendapatkan dukungan sosial
yang buruk sebanyak 20,5%.

6.3.5 Pekerjaan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara pekerjaan dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di
Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2017 (p-value= 0,725). Hasil
ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Blalock, et al (2003) yang
menyatakan tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok bekerja dengan tidak
bekerja terhadap kualitas hidup pasien HIV/AIDS. Hasil ini tidak sesuai dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Nojomi, et al (2008), dimana status pekerjaan
merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi kualitas hidup.
Responden pada penelitian ini mayoritas bekerja yaitu 69 orang (71,9%),
hal ini menunjukkan bahwa responden secara fisik masih kuat bekerja untuk
mendapatkan penghasilan dan memenuhi kebutuhan hidup. Dilihat dari responden
yang tidak bekerja, sebagian besar berstatus mahasiswa (10,4%) dan IRT (13,5%).
72

Sebagai mahasiswa, artinya ODHA masih aktif melakukan kegiatan dan


memperoleh uang dari keluarganya. Ibu rumah tangga juga mempunyai kepala
keluarga yang dapat memberikan nafkah sehingga kebutuhannya bisa terpenuhi.
Sehingga kualitas hidup yang baik tidak terbatas pada ODHA yang bekerja namun
juga pada pada ODHA yang tidak bekerja.

6.3.6 Dukungan Sosial


Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa ada hubungan yang
bermakna antara dukungan sosial dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di
Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2017 (p-value= 0,000). Untuk
nilai OR= 7,750 (95% CI= 2,673-22,470), artinya responden dengan dukungan
sosial yang buruk berisiko 7,750 kali mempunyai kualitas hidup yang buruk
dibandingkan responden dengan dukungan sosial yang baik. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Robert & Rebbeca (2004) dimana
dukungan sosial mempengaruhi kualitas hidup ODHA. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Tuapattinaja (2004) bahwa dukungan sosial yang diterima ODHA
mampu meredakan kecemasan atau kondisi stres yang muncul terkait dengan sakit
yang dideritanya, sehingga ODHA menjadi lebih tenang dan mampu mengarah
pada kualitas hidup yang lebih baik.
Dengan adanya dukungan sosial yang tinggi, seseorang
akan dapat melindungi dirinya dari efek negatif yang timbul
akibat dari tekanan (stressor) yang dialaminya. Seseorang tidak
mudah mengalami stres dan akan mengubah sumber stres
dengan mencari bantuan kepada orang lain yang dianggap dapat
membantu mengatasi masalah yang sedang dihadapi (Glanz, et al
(2008).
ODHA sebenarnya tidak hanya mengalami tekanan akibat adanya virus
HIV yang menyerang sistem kekebalan tubuh saja, tetapi ODHA juga dihadapkan
pada stigma dan diskriminasi. Sesuai dengan yang diungkapkan oleh Smetzer &
Bare (2002) bahwa ODHA sering mendapat stigma akibat dari virus yang
menginfeksinya. ODHA sering disebut sebagai orang yang mengidap
73

penyimpangan seksual atau gay, wanita nakal dan salah pergaulan. Melalui stigma
tersebut, ODHA kemudian dikucilkan dan tanpa disadari bahwa tindakan tersebut
sebenarnya telah mempengaruhi kondisi psikologis ODHA. Hal ini mengantarkan
ODHA pada kondisi stres, depresi, putus asa dan menutup diri. ODHA akan
memilih untuk merahasiakan status kesehatannya dari keluarga, teman maupun
kerabat dekatnya, sehingga ODHA pun tidak mampu mendapatkan dukungan
yang seharusnya diperoleh (Gunung, dkk, 2002).
ODHA sebenarnya membutuhkan dukungan, bukan dikucilkan agar
harapan hidup ODHA menjadi lebih panjang. Dengan adanya dukungan sosial
maka akan tercipta lingkungan kondusif yang mampu memberikan motivasi
maupun memberikan wawasan baru bagi ODHA dalam menghadapi
kehidupannya. Dukungan sosial ini dapat meminimalkan tekanan psikososial yang
dirasakan ODHA, sehingga ODHA dapat memiliki gaya hidup yang lebih baik
dan dapat memberikan respon yang lebih positif terhadap lingkungan sosialnya.
Selain itu, dengan adanya dukungan sosial ini maka ODHA akan merasa dihargai,
dicintai dan merasa menjadi bagian dari masyarakat, sehingga ODHA tidak
merasa didiskriminasi yang nantinya dapat berdampak positif bagi kesehatannya
(Sarafino, 2011).

6.3.7 Lama Menderita Penyakit


Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara lama menderita penyakit dengan kualitas hidup penderita
HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2017 (p-value=
0,096). Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Nojomi, et al (2008)
yang mendapatkan bahwa semakin lama menderita penyakit maka akan semakin
memperburuk kualitas hidup pasien HIV/AIDS.
Semakin lama pasien menderita HIV maka tingkat kekebalan tubuhnya
semakin berkurang dan penyakit-penyakit lain rentan untuk menginfeksi pasien.
Infeksi penyakit yang dialami oleh pasien HIV berdampak pada menurunnya
tingkat kualitas hidup pasien HIV (Bello & Bello, 2013). Hal ini terkait dengan
penurunan jumlah CD4 yang ada dalam tubuh seiring perjalanan penyakit
(Sudoyo, dkk, 2009).
74

Namun pada penelitian ini, mayoritas lama menderita penyakit responden


dalam penelitian ini adalah >1 tahun (62,5%). Sebagian besar dari responden
menderita penyakit >1 tahun ini, memiliki jumlah CD4 200/ml (78,3%). Hal ini
menandakan ODHA teratur melakukan pengobatan ARV sehingga dapat
mempertahankan stabilitas penyakitnya. Penelitian oleh Pitt, et al. (2009),
menunjukkan bahwa penggunaan obat-obatan ARV menunjukkan kualitas hidup
lebih baik dibandingkan dengan pasien yang tidak mengkonsumsi ARV. Sehingga
kualitas hidup yang baik tidak terbatas pada ODHA yang menderita 1 tahun saja
namun juga pada pada ODHA yang menderita >1 tahun.
6.3.8 Infeksi Oportunistik (IO)
Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa ada hubungan yang
bermakna antara infeksi oportunistik dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS
di Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2017 (p-value= 0,096).
Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Smith, et al (2004), dimana
pasien HIV yang memiliki infeksi oportunistik 3,31 kali lebih rendah kualitas
hidupnya dibanding pasien yang tidak memiliki infeksi. Pasien tanpa gejala
(asimtomatik) dilaporkan memiliki kualitas hidup lebih baik dibandingkan dengan
gejala atau diagnosis AIDS. ODHA yang asimtomatik memiliki kualitas fisik,
psikologis dan kemandirian yang lebih tinggi (Imam, et al. 2011).
Penderita HIV/AIDS yang berada pada tahap lanjut akan lebih merasakan
efek penyakit terhadap penurunan derajat kesehatan dengan menderita berbagai
komplikasi penyakit baik infeksi ataupun keganasan yang membatasi aktivitas
sekaligus membuatnya menjadi tergantung pada pengobatan untuk dapat menjaga
kesehatannya. Selain itu, hal tersebut juga menambah kecemasan atau ketakutan
akan kematian. Hal-hal tersebut akan mempengaruhi kualitas hidup penderita
HIV/AIDS.

6.3.9 Jumlah CD4


Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa tidak ada hubungan
yang bermakna antara jumlah CD4 dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di
Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2017 (p-value= 0,256). CD4
75

rendah hanya mempengaruhi domain fisik dan CD4 tidak berpengaruh pada faktor
emosional dan sosial (Hasanah, et al. 2010).
Responden pada penelitian ini mayoritas memiliki jumlah CD4 200/ml
(66,7%). Ini berarti bahwa ODHA memiliki keinginan untuk sehat dengan teratur
mengikuti pengobatan ARV. Hal ini juga didukung oleh motivasi dan dukungan
dari petugas VCT dan keluarga serta teman yang mengetahui status responden,
sehingga akan mempengaruhi kualitas hidup ODHA. Dari responden yang jumlah
CD4 <200/ml, 81,3% diantaranya memiliki dukungan sosial yang baik yang dapat
memberikan dampak positif untuk kesehatannya. Sehingga tidak ada
hubungannya jumlah CD4 dengan kualitas hibup baik ataupun buruk pada
penderita HIV/AIDS.

6.3.10 Kepemilikan Askes


Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa ada hubungan yang
bermakna antara kepemilikan askes dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di
Poliklinik VCT RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2017 (p-value= 0,031). Hal
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Penson, et al (2001) yang
menunjukkan bahwa individu yang tidak memiliki asuransi kesehatan mempunyai
kualitas hidup yang sangat rendah. Orang yang tidak memiliki asuransi kesehatan
lebih sering tidak dapat terdiagnosis awal sehingga kondisinya sudah parah dan
mengalami penyakit kronis (Wilper, et al. 2009).
Untuk obat ARV sendiri diberikan gratis kepada ODHA karena
merupakan program pemerintah. Namun, penderita HIV akan mudah terkena
penyakit akibat penurunan daya tahan tubuh. Penyakit yang disebabkan
penurunan daya tahan tubuh itu dapat ditanggung menggunakan asuransi
kesehatan. Selain itu, ODHA yang memiliki asuransi kesehatan tidak perlu
membayar pendaftaran pada saat datang ke rumah sakit untuk mengambil obat
ARV. Banyaknya keuntungan dengan menggunakan asuransi kesehatan,
ODHA tidak merasa khawatir untuk melakukan pemeriksaan kesehatan dan
mengambil ARV rutin ke rumah sakit.

6.4 Analisis Multivariat


76

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa hubungan depresi


dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Dr. M.
Djamil Padang berdasarkan kepemilikkan askes menunjukkan bukan variabel
interaksi dan bukan variabel konfounding. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh
p-value sebesar 0,303 dan selisih antara nilai OR sebelum dan OR sesudahnya
sebesar 0,32%. Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada
perubahan hubungan depresi dengan kualitas hidup setelah dikontrol dengan
variabel kepemilikan askes.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa hubungan depresi
dengan kualitas hidup penderita HIV/AIDS di Poliklinik VCT RSUP Dr. M.
Djamil Padang berdasarkan dukungan sosial menunjukkan bukan variabel
interaksi namun merupakan variabel konfounding. Berdasarkan hasil penelitian
diperoleh p-value sebesar 0,364 dan selisih antara nilai OR sebelum dan OR
sesudahnya sebesar 20%. Berdasarkan pemodelan akhir diperoleh nilai OR=
9,614 (95% CI= 2,502-36,939), artinya penderita HIV/AIDS yang mengalami
depresi berisiko 9,614 kali mempunyai kualitas hidup yang buruk dibandingkan
dengan penderita HIV/AIDS yang tidak depresi setelah dikontrol variabel
dukungan sosial. Berdasarkan hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ada
perubahan hubungan depresi dengan kualitas hidup setelah dikontrol variabel
dukungan sosial.
Dengan adanya dukungan sosial yang responden peroleh, menjadikan
ODHA tetap percaya diri dalam berhubungan dengan orang lain, tidak merasa
rendah diri, tidak mudah putus asa, tidak minder, merasa dirinya berarti, tidak
merasa cemas, tetap bersemangat, merasa ikhlas dengan kondisi saat ini dan
merasa lebih tenang dalam menghadapi suatu masalah.
Stres yang tinggi dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang atau
lama dapat memperburuk kondisi kesehatan dan menyebabkan penyakit. Tetapi
dengan adanya dukungan sosial yang diterima oleh individu yang sedang
mengalami atau menghadapi stres maka hal ini akan dapat mempertahankan daya
tahan tubuh dan meningkatkan kesehatan individu. Dengan terwujudnya dampak
dukungan psikologis yang positif terhadap diri ODHA, menjadikan ODHA
terhindar dari stres. Hal tersebut memberikan dampak positif terhadap kesehatan,
77

sehingga ODHA merasa lebih sehat, tidak mudah lelah dan tidak mudah sakit.
Selain itu, dalam memerangi virus HIV, ODHA menjadi lebih menjaga
kesehatanya dengan minum obat secara teratur, makan tepat waktu, selalu
berusaha menghindari pemakaian obat-obatan terlarang dan secara rutin
mengkonsultasikan masalah kesehatannya (Nurbani, 2012).

6.5 Keterbatasan Penelitian


Penelitian ini memiliki keterbatasan antara lain:
a. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah menggunakan kuesioner
dengan jumlah pertanyaan yang banyak, sehingga dimungkinkan ada
responden yang memberikan jawaban tidak sesuai dengan kondisi yang
sesungguhnya.
b. Responden pada penelitian ini terbatas pada pasien HIV/AIDS yang
menjalani rawat jalan sedangkan yang rawat inap tidak. Hal ini
dikarenakan oleh kondisi pasien rawat jalan yang memungkinkan untuk
mengisi kuesioner dengan jumlah pertanyaan yang cukup banyak dan
membutuhkan pemahaman dalam mengisinya.
c. Jenis penelitian yang digunakan adalah cross sectional yaitu data variabel
independen dan variabel dependen diambil pada waktu bersamaan,
sehingga kurang dapat menunjukkan hubungan sebab akibat/kausalitas.

Anda mungkin juga menyukai