Anda di halaman 1dari 27

Pendahuluan

Sejarah Pemberantasan Penyakit Kusta

Menurut sejarah pemberantasan penyakit kusta di dunia dapat kita bagi dalam 3

zaman yaitu :

1. Zaman Purbakala

Penyakit kusta dikenal hampir 2000 tahun SM. Hal ini dapat diketahui dari peninggalan sejarah

seperti di Mesir, di India 1400 SM, istilah kusta yang sudah dikenal di dalam kitab Weda, di

Tiongkok 600 SM, di Mesopotamia 400 SM. Pada zaman purbakala tersebut telah terjadi

pengasingan secara spontan penderita merasa rendah diri dan malu, disamping masyarakat

menjauhi penderita karena merasa jijik dan takut.

2. Zaman Pertengahan

Kira-kira setelah abad ke 13 dengan adanya keteraturan ketatanegaraan dan sistem feodal yang

berlaku di Eropa mengakibatkan masyarakat sangat patuh dan takut terhadap penguasa dan hak

asasi manusia tidak mendapat perhatian. Demikian pula yang terjadi pada penderita kusta yang

umumnya merupakan rakyat biasa. Pada waktu itu penyebab penyakit dan obat-obatan belum

ditemukan maka penderita diasingkan lebih ketat dan dipaksakan tinggal di Leprosaria/koloni

perkampungan penderita kusta untuk seumur hidup.

3. Zaman Modern

Dengan ditemukannnya kuman kusta oleh Gerhard Amaeur Hansen pada tahun 1873, maka

mulailah era perkembangan baru untuk mencari obat anti kusta dan usaha

penanggulangannya. Demikian halnya di Indonesia dr. Sitanala telah mempelopori perubahan

sistem pengobatan yang tadinya dilakukan secara isolasi, secara bertahap dilakukan dengan

pengobatan jalan. Perkembangan pengobatan selanjutnya adalah sebagai berikut :

1
a. Pada tahun 1951 dipergunakan Diamino Diphenyl Sulfone (DDS) sebagai pengobatan

penderita kusta.

b. Pada tahun 1969 pemberantasan penyakit kusta mulai diintegrasikan di puskesmas.

c. Sejak tahun 1982 Indonesia mulai menggunakan obat kombinasi Multidrug Therapy

(MDT) sesuai dengan rekomendasi WHO.

1. Definisi
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular kronik yang disebabkan oleh

kuman Mycobacterium leprae (M leprae) yang intra seluler obligat menyerang saraf perifer

sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas kemudian ke

organ lain kecuali susunan saraf pusat. Penyakit kusta dikenal juga dengan nama Morbus

Hansen atau lepra. Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha yang berarti

kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang

disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf

tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa (mulut) saluran pernafasan bagian atas, sistem

retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Penyakit kusta adalah salah satu penyakit

menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan

hanya dari segi medis, tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, dan psikologis.

2.Etiologi

Penyakit kusta disebabkan oleh M .leprae yang ditemukan oleh G.H. Armauer Hansen

tahun 1873 di Norwegia. Basil ini bersifat tahan asam, bentuk pleomorf lurus, batang ramping

dan sisanya berbentuk paralel dengan kedua ujung-ujungnya bulat dengan ukuran panjang 1-8

um dan diameter 0,25-0,3 um. Basil ini menyerupai kuman berbentuk batang yang gram positif,

2
tidak bergerak dan tidak berspora. Dengan pewarnaan Ziehl-Nielsen basil yang hidup dapat

berbentuk

batang yang utuh, berwarna merah terang, dengan ujung bulat (solid), sedang basil yang

mati bentuknya terpecah-pecah (fragmented) atau granular. Basil ini hidup dalam sel terutama

jaringan yang bersuhu rendah dan tidak dapat dikultur dalam media buatan Penyakit kusta

bersifat menahun karena bakteri kusta memerlukan waktu 12-21 hari untuk membelah diri dan

masa tunasnya rata-rata 2-5 tahun.12,14

2.1. Pewarnaan

Untuk pewarnaan kuman kusta (Basil Tahan Asam) sering dipakai metode Ziehls

Neelsen dengan cara :

a. Sediaan diletakkan di atas rak pewarna dan dituang karbon fukhsin.

b. Dipanaskan sampai keluar uap (tidak boleh mendidih) biarkan selama 3-5 menit.

c. Cuci dengan air.

d. Preparat dimasukkan dalam tabung berisi asam alkohol selama 3-5 detik sampai

warna merah dilepaskan oleh alkohol.

e. Cucilah dengan air menit.

f. Preparat ditetesi atau dicelup dalam metilen biru 1% selama - 2 menit.

g. Cuci dengan air.

h. Biarkan kering dari air, kemudian preparat dapat diperiksa di bawah mikroskop.

Hasil pembacaan : BTA (+) : bewarna merah

BTA (-) : bewarna biru

Untuk penilaian hasil pemeriksaan kuman pada sediaan apus (preparat) digunakan

Indeks Bakteri (Bacterial Index = BI) dan Indeks Morfologi (Morphological Index = MI).

Indeks Bakteri merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan apus.

Kegunaan BI adalah untuk membantu menentukan tipe penyakit kusta dan menilai hasil

pengobatan.

3
Bakteri Mycobacterium leprae dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Gambar 2.1. bakteri Mycobacterium leprae

BACTERIAL INDEX (BI)15 :

( - ) : Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapangan pandangan.

( 1+ ) : 1 - 10 kuman BTA ditemukan dalam 100 lapangan pandangan.

( 2+ ) : 1 - 10 kuman BTA ditemukan dalam 10 lapangan pandangan.

( 3+ ) : 1 - 10 kuman BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandangan.

( 4+ ) : 10 - 100 kuman BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandangan.

( 5+ ) : 100 1000 kuma BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandangan.

( 6+ ) : > 1000 kuman BTA ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan pandangan.

MORPHOLOGICAL INDEX (MI)15 :

Jumlah M. leprae yang berbentuk utuh atau solid per 100 Mycobacterium leprae

a. Bentuk utuh (solid) dengan dinding yang tidak terputus dan menyerap zat warna

secara merata

b. Bentuk pecah-pecah atau terputus-putus (fragmented) dengan dinding terputus

sebagian atau seluruhnya.

c. Bentuk butir-butir (granulated): seperti titik-titik (butir-butir) tersusun membentuk

garis lurus atau berkelompok.

d. Bentuk globus : sejumlah kuman kusta (50 200 kuman) yang utuh (solid) atau

4
putus-putus (fragmented) atau butir-butir (granulated) berkelompok dalam suatu

bentuk ikatan atau lingkaran.

e. Bentuk kelompok (clumps) : sejumlah kuman kusta bentuk butir-butir (granulated)

membentuk kelompok (pulau-pulau) tersendiri dengan lebih dari 500 BTA.

2.2. Struktur Antigen

Penderita lepra memberikan hasil negatif pada tes kulit yang dilakukan dengan

penyuntikan intrakutan dari antigen yang dibuat dari nodul lepromatous. Tes ini disebut

tes lepromin.15

Tes lepromin merupakan tes imunologi yang spesifik dan digunakan untuk:

mengetahui ketahanan hospes terhadap Mycobacterium leprae, menentukan prognosis

penyakit lepra, dan mengetahui hasil pengobatan terhadap penyakit lepra.16

Hasil dari tes lepromin dibaca sebagai berikut :16

a. Early Fernandez Reaction (dibaca setelah 48 jam)

Reaksi timbul cepat dalam kurun waktu 24-48 jam. Dikatakan positif bila terdapat

eritema (kemerahan) dan indurasi, dan dikatakan negatif bila hanya timbul eritema

(kemerahan) saja atau tidak ada perubahan pada tempat suntikan.

b. Delayed Mitsuda Reaction (dibaca setelah 4-6 minggu)

Hasil positif apabila terdapat papula kecil yang timbul setelah 7-10 hari, kemudian

berubah menjadi papula besar dan selanjutnya menjadi nodul dengan diameter 1 cm.

Hasil negatif, apabila tidak ada reaksi lokal, atau reaksi lokal yang positif berubah

menjadi negatif. Reaksi yang tertunda (delayed reaction) ini disebabkan adanya basil

lepra yang utuh.

3. Epidemiologi

Sumber infeksi kusta adalah penderita dengan banyak basil yaitu tipe multibasiler (MB). Cara

penularan belum diketahui dengan pasti, hanya berdasarkan anggapan yang klasik ialah melalui

kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab

5
M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Masa tunas kusta bervariasi,40 hari

sampai 40 tahun. Kusta menyerang semua umur dari anak-anak sampai dewasa. Faktor sosial

ekonomi memegang peranan, makin rendah sosial ekonomi makin subur penyakit kusta,

sebaliknya sosial ekonomi tinggi membantu penyembuhan. Sehubungan dengan iklim, kusta

tersebar di daerah tropis dan sub tropis yang panas dan lembab, terutama di Asia, Afrika 14

a. Distribusi dan Frekuensi Menurut Jenis Kelamin

Penyakit kusta dapat menyerang semua orang. Laki-laki lebih banyak terkena dibandingkan

dengan wanita, dengan perbandingan 2:1,12 kecuali di Afrika dimana wanita lebih banyak

daripada laki-laki. Faktor fisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan, serta faktor

infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta.Menurut penelitian

yang dilakukan Posmaria Naibaho (2001) di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan

Belawan Sumatera Utara ditemukan 108 penderita kusta, dengan proporsi penderita laki-laki

61,10% dan penderita perempuan 38,90%.8 Hasil penelitian yang dilakukan Nurlaya

Hutahayan (2008) di Rumah Sakit Kusta Hutasalem Laguboti terdapat 125 penderita kusta,

dengan proporsi penderita laki-laki 58,40% dan penderita perempuan 41,60%.9

b. Distribusi dan Frekuensi Menurut Umur

Penyakit kusta dapat menyerang semua umur.12 Di Indonesia penderita anak-anak di bawah

umur 14 tahun didapatkan 13 %, tetapi anak di bawah umur 1 tahun jarang sekali. Frekuensi

tertinggi terdapat pada kelompok umur antara 25-35 tahun.17 Menurut penelitian yang

dilakukan Posmaria Naibaho (2001) di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan

Sumatera Utara ditemukan 108 penderita kusta dengan golongan umur terbanyak adalah

golongan umur 17-24 tahun (proporsi 30,60%). Dari hasil penelitian yang dilakukan

Hutasalem Laguboti ditemukan 125 penderita kusta dengan golongan umur terbanyak adalah

golongan umur 20-39 tahun (proporsi 56,80%).

6
3.1. Distribusi dan Frekuensi Penyakit Kusta Menurut Waktu dan Tempat

Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda.Diantara 122

negara yang endemis pada tahun 1985, 98 negara telah mencapai eliminasi kusta yaitu angka

prevalensi < 1/10.000 penduduk. Lebih dari 10.000.000 penderita telah disembuhkan dengan

Multidrug Therapy (MDT) pada akhir tahun 1999 dan 641.091 kasus masih dalam pengobatan

pada tahun 2000.Pada tahun 2003, Penderita terdaftar di Indonesia pada akhir Desember 2003

sebanyak 18.312 penderita yang terdiri dari 2.814 penderita kusta tipe PB (proporsi 15,36%)

dan 15.498 penderita kusta tipe MB (proporsi 84,64%) dengan angka prevalensi 86 per

1.000.000 penduduk yang terdapat di 10 propinsi, yaitu : Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa

Tengah, Sulawesi Selatan, Papua, NAD, DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Maluku Utara, dan Nusa

Tenggara Timur.Pada tahun 2005 di Sumatera Utara terdapat 286 kasus tercatat penderita kusta

yang terdiri 254 orang yang terdiri dari 32 penderita kusta tipe PB (proporsi 11,19%) dan

254 penderita kusta tipe MB (proporsi 88,81%).Menurut penelitian yang dilakukan Posmaria

Naibaho (2001) di Rumah Sakit Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Sumatera Utara

ditemukan 108 penderita kusta yang terdiri dari 33 penderita kusta tipe PB (proporsi 30,60%)

dan 75 penderita kusta tipe MB (proporsi 69,40%).

Hutasalem Laguboti ditemukan 125 penderita kusta yang terdiri dari 48 penderita kusta

tipe PB (proporsi 38,40%) dan 77 penderita kusta tipe MB (proporsi 61,60%).

3.2. Faktor Determinan Penyakit Kusta

a. Host

Hanya manusia satu-satunya sampai saat ini dianggap sebagai sumber penularan walaupun

kuman kusta dapat hidup pada Armadillo, Simpanse dan pada telapak kaki tikus yang

mempunyai kelenjar Thymus (Athymic nude mouse). Tempat masuk kuman kusta ke dalam

tubuh host sampai saat ini belum dapat dipastikan. Diperkirakan cara masuknya adalah melalui

saluran pernafasan bagian atas dan melalui kontak kulit yang tidak utuh. Suatu kerokan hidung

7
dari penderita tipe Lepromatosa yang tidak diobati menunjukkan jumlah kuman sebesar 104-

107. Dan telah terbukti bahwa saluran nafas bagian atas dari penderita tipe Lepromatosa

merupakan sumber kuman yang terpenting di dalam lingkungan. Sebagian besar manusia kebal

terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil penelitian Direktorat Jenderal Pemberantasan

Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2M & PL) (1996) menunjukkan

gambaran sebagai berikut:

Dari 100 orang yang terpapar: 95 orang tidak menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa

diobati, 2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh

pengobatan.Seseorang dalam lingkungan tertentu akan termasuk dalam satu dari tiga

kelompok berikut ini, yaitu :

a. Host yang mempunyai kekebalan tubuh tinggi yang merupakan kelompok

terbesar yang telah atau akan menjadi resisten terhadap kuman kusta.

b. Host yang mempunyai kekebalan rendah terhadap kuman kusta, bila menderita

penyakit kusta bisanya tipe PB.

c. Host yang tidak mempunyai kekebalan terhadap kuman kusta yang merupakan

kelompok terkecil dan bila menderita kusta biasanya tipe MB.

b. Agent

Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang pertama kali

ditemukan oleh Gerhard Amaeur Hansen pada tahun 1873. Mycobacterium leprae hidup

intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan Cell) dan sel dari

system retikulo endothelial.

Waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia (dalam

kondisi tropis) kuman kusta dapat bertahan sampai 9 hari. Pertumbuhan optimal dari

kuman kusta adalah pada suhu 270-300C.

8
4. Klasifikasi Penyakit Kusta

Setelah seseorang didiagnosis menderita kusta, maka tahap selanjutnya

menentukan tipe/klasifikasi penyakit kusta yang diderita. Penentuan tipe penyakit kusta

pada seorang penderita disebut klasifikasi penyakit kusta. Klasifikasi penyakit kusta

bertujuan untuk menentukan jenis dan lamanya pengobatan penyakit, waktu penderita

dinyatakan Release from Treatment ( RFT).

4.1. Klasifikasi Internasional (Madrid,1953):

a. Indeterminate (I)

Terdapat kelainan kulit berupa makula berbentuk bulat yang berjumlah 1 atau 2. Batas lokasi

dipantat, kaki, lengan, punggung pipi. Permukaan halus dan licin.

b. Tuberkuloid (T)

Terdapat makula atau bercak tipis bulat yang tidak teratur dengan jumlah lesi 1 atau

beberapa. Batas lokasi terdapat di pantat,punggung, lengan, kaki, pipi. Permukaan kering,

kasar sering dengan penyembuhan di tengah.

c. Borderline (B)

Kelainan kulit bercak agak menebal yang tidak teratur dan tersebar. Batas lokasi sama

dengan Tuberkuloid.

d. Lepromatosa (L)

Kelainan kulit berupa bercak-bercak menebal yang difus, bentuk tidak jelas.

Berbentuk bintil-bintil (nodule), macula-makula tipis yang difus di badan, merata di

seluruh badan, besar dan kecil bersambung simetrik.

4.2. Klasifikasi Ridley-Jopling (1962)

Klasifikasi ini banyak dipakai pada bidang penelitian yang mengelompokkan

penyakit kusta menjadi 5 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis,

histopatologi, dan imunologis.

9
a. Tipe Tuberkuloid tuberkuloid (TT)

Lesi berupa bercak makuloanestetik dan hipopigmentasi yang terdapat di semua

tempat terutama pada wajah dan lengan, kecuali: ketiak, kulit kepala (scalp),

perineum dan selangkangan. Batas lesi jelas berbeda dengan warna kulit disekitarnya.

Hipopigmentasi merupakan gejala yang menonjol. Lesi dapat mengalami

penyembuhan spontan atau dengan pengobatan selama tiga tahun. 19

b. Tipe Borderline Tuberkuloid (BT)

Gejala pada lepra tipe BT sama dengan tipe TT, tetapi lesi lebih kecil, tidak disertai

adamya kerontokan rambut, dan perubahan saraf hanya terjadi pembengkakan.19

c. Tipe Mid Borderline (BB)

Pada pemeriksaan bakteriologis ditemukan beberapa hasil, dan tes lepromin

memberikan hasil negatif. Lesi kulit berbentuk tidak teratur, terdapat satelit yang

mengelilingi lesi, dan distribusi lesi asimetris. Bagian tepi dari lesi tidak dapat

dibedakan dengan jelas terhadap daerah sekitarnya. Gejala-gejala ini disertai adanya

adenopathi regional.19

d. Tipe Borderline Lepromatous (BL)

Lesi pada tipe ini berupa macula dan nodul papula yang cenderung asimetris.

Kelainan syaraf timbul pada stadium lanjut. Tidak terdapat gambaran seperti yang

terjadi pada tipe lepromatous yaitu tidak disertai madarosis, keratitis, uslserasi

maupun facies leonine.19

e. Tipe Lepromatosa (LL)

lesi menyebar simetris, mengkilap berwarna keabu-abuan. Tidak ada perubahan pada

produksi kelenjar keringat, hanya sedikit perubahan sensasi. Pada fase lanjut terjadi

madarosis (rontok) dan wajah seperti singa, muka berbenjol-benjol (facies leonine)19.

10
Berikut ini adalah gambar penderita kusta menurut Ridley-Jopling :

Gambar 2.2. Penderita Kusta Tipe Tuberkuloid & Bordeline

Gambar 2.3.Penderita Kusta Tipe Lepramatosa

Gambar 2.4. Penderita Kusta Tipe L.L dan B.L.

11
Gambar 2.5. Penderita Kusta Tipe B.B dan B.T.

4.3. Klasifikasi WHO (1982) yaitu

a. Tipe PB (Pausibasiler)

Kusta tipe PB adalah penderita kusta dengan Basil Tahan Asam (BTA) pada sediaan apus,

yakni tipe I (Indeterminate), TT (tuberculoid) dan BT (borderline tuberculoid) menurut kriteria

Ridley dan Jopling dan hanya mempunyai jumlah lesi antara 1-5 pada kulit. Kusta tipe PB

adalah tipe kusta yang tidak menular.

12
b. Tipe MB (Multibasiler)

Kusta MB adalah semua penderita kuta tipe BB (mid borderline), BL (borderline lepromatous)

dan LL (lepromatosa) menurut kriteria Ridley dan Jopling dengan jumlah lesi 6 atau lebih dan

skin smear positif. Kusta tipe MB adalah tipe yang dapat menular.Berikut ini adalah gambar

penderita kusta tipe PB dan MB.

Gambar 2.6. Penderita Kusta Tipe PB

Gambar 2.7. Penderita Kusta Tipe MB

13
Kecacatan

Micobacterium leprae menyerang saraf tepi tubuh manusia. Tergantung dari kerusakan saraf

tepi, maka akan terjadi gangguan fungsi saraf tepi : sensorik, motorik dan otonom. Terjadinya

cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi, baik karena kuman kusta maupun

karena terjadinya peradangan (neuritis) sewaktu keadaan reaksi lepra.

a. Tingkat Cacat

Kerusakan saraf pada pendirita kusta meliputi :

1) Kerusakan fungsi sensorik

Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/mati rasa (anestesi). Akibat

kurang/mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka. Sedangkan pada kornea mata

akan mengakibatkan kurang/hilangnya reflek kedip sehingga mata mudah kemasukan kotoran,

benda-benda asing yang dapat menyebabkan infeksi mata dan akibatnya buta.

2) Kerusakan fungsi motorik

Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/lumpuh dan lama-lama otot mengecil

(atrofi) oleh karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki menjadi bengkok (clow

hand/clow toes) dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi, bila terjadi kelemahan/

kekakuan pada mata, kelopak mata tidak dapat dirapatkan (lagoptalmus)

3) Kerusakan fungsi otonom

Terjadinya gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah sehingga

kulit menjadi kering, menebal, mengeras, dan akhirnya dapat pecah-pecah. Pada umumnya

apabila terdapat kerusakan fungsi saraf tidak ditangani secara tepat dan tepat maka akan terjadi

cacat ke tingkat yang lebih berat.

Tujuan pencegahan cacat adalah jangan sampai ada cacat yang timbul atau bertambah berat

14
Pintu masuk dari Mycobacterium leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda tanya. Saat ini

diperkirakan kulit dan pernafasan atas menjadi gerbang masuknya bakteri.

Masa inkubasi kusta belum dapat dikemukakan. beberapa peneliti berusaha mengukur masa

inkubasi kusta, masa inkubasi kusta minimum dilaporkan beberapa minggu, berdasarkan adanya

kasus kusta pada bayi. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporkan

berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan

kemudian berpindah ke daerah non endemik. Secara umum telah ditetapkan masa inkubasi rata-

rata dari kusta adalah 3-5 tahun.

5. Patofisiologi

Mekanisme penularan kusta yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah

dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti bahwa

tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman Mycobacterium leprae menderita kusta, Iklim

(cuaca panas dan lembab) diet, status gizi, status sosial ekonomi dan genetik Juga ikut berperan,

setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu.

Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu.

Faktor ketidak cukupan gizi juga diduga merupakan faktor penyebab

Penyakit kusta dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara orang yang

terinfeksi dengan orang sehat.

Dua pintu keluar dari Micobacterium leprae dari tubuh manusia diperkirakan adalah kulit dan

mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepramatosa menunjukan adanya sejumlah

organisme di dermis kulit. Bagaimana masih belum dapat dibuktikan bahwa organism tersebut

dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun telah ditemukan bakteri tahan asam di

epidermis. Walaupun terdapat laporan bahwa ditemukan bakteri tahan asam di epitel

Deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan

asam di epidermis. Dalam penelitian terbaru Job etal menemukan adanya sejumlah

15
Mycobacterium leprae yang besar dilapisan keratin superficial kulit di penderita kusta

lepromatosa. Hal ini menbentuk sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar

melalui kelenjar keringat.

Pentingnya mukosa hidung dalam penularan Mycobacterium leprae telah ditemukan oleh

Schaffer pada tahun 1898. Jumlah bakteri dari lesi mukosa hidung pada kusta lepromatosa,

menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley melaporkan bahwa

sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri di secret hidung penderita.

Devey dan Rees mengindikasi bahwa secret hidung dari pasien lepromatosa dapat

memproduksi 10.000.000 organisme per hari.

6. Reaksi Kusta

6.1. Pengertian

Reaksi kusta atau reaksi lepra adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta

yang merupakan suatu reaksi kekebalan (seluler respon) atau reaksi antigen-antibodi (humoral

respon) dengan akibat merugikan penderita, terutama pada saraf tepi yang menyebabkan

gangguan fungsi (cacat). Reaksi ini dapat terjadi pada penderita sebelum mendapat pengobatan

maupun sesudah pengobatan. Namun sering terjadi pada 6 bulan sampai 1 tahun sesudah

memulai pengobatan.

Hal-hal yang mempermudah terjadinya reaksi kusta, misalnya :

1. Penderita dalam kondisi lemah

2. Kurang gizi

16
6.2. Jenis Reaksi

Jenis reaksi sesuai proses terjadinya dibedakan atas 2 tipe yaitu: reaksi tipe I dan

reaksi tipe II

a. Reaksi Tipe I ( Reaksi reserval, Reaksi Up grading)

Terjadi pada penderita tipe PB maupun MB dan kebanyakan terjadi pada 6 bulan pertama

pengobatan, reaksi tipe I terjadi akibat meningkatnya respon kekebalan seluler

secara cepat terhadap kuman kusta di kulit dan saraf penderita.

Disini terjadi pergeseran tipe kustanya kearah PB.

1) Gejala-gejala

Gejala reaksi dapat dilihat pada perubahan lesi kulit, neuritis (nyeri tekan pada

saraf), gangguan fungsi saraf tepi dan kadang-kadang gangguan keadaan umum

penderita (konstitusi).

2) Menurut keadaan reaksi, maka reaksi kusta tipee I ini dapat dibedakan menjadi

reaksi ringan dan reaksi berat.

3) Perjalanan reaksi dapat berlangsung selama 6-12 minggu atau lebih.

b. Reaksi Tipe II (Reaksi ENL= Reaksi Eritema Nodosom Leprosum)

Terjadi pada penderita tpe MB dan merupakan reaksi humoral, dimana kuman

kusta yang utuh maupun tidak utuh menjadi antigen. Tubuh membentuk antibodi dan

komplemen (Antigen + antibodi + komplemen = immunokompleks).

1) Gejala

Gejala reaksi dapat dilihat pada perubahan lesi, neuritis (nyeri tekan) dan

gangguan fungsi saraf tepi, gangguan konstitusi dan komplikasi pada organ tubuh.

2) Menurut keadaan reaksi, maka reaksi dapat dibedakan reaksi ringan dan reaksi

berat.

17
3) Perjalanan reaksi

Biasanya berlangsung selama 3 minggu atau lebih. Kadang-kadang timbul

berulang-ulang dan berlangsung lama.

7. Pencegahan dan Pengawasan

Penyakit kusta adalah penyakit yang memberi stigma yang sangat besar besar pada masyarakat,

sehingga penderita kusta menderita tidak hanya kerena penyakitnya saja, juga dijauhi atau

dikucilkan oleh masyarakat. Hal tersebut sebenarnya lebih banyak disebabkan karena cacat

tubuh yang tampak menyeramkan. Cacat tubuh tersebut sebenarnya lebih banyak disebabkan

karena cacat tubuh yang tampak menyeramkan. Cacat tubuh tersebut sebenarnya dapat dicegah

apabila diagnosis dan penanganan penyakit dilakukan secara dini. Demikian pula diperlukan

pengetahuan berbagai hal yang dapat menimbulkan kecacatan dan pencegahan kecacatan,

sehingga tidak menimbulkan cacat tubuh yang tampak menyeramkan.

Identifikasi dan pengobatan penderita kusta merupakan kunci pengawasan. Anakanak dari

orang tua yang teinfeksi diberikan kemoprofilaksis dengan sulfon sampai orang tua tidak

infeksius lagi. Jika salah satu anggota dalam keluarga menderita lepra lepromatosa, maka

profilaksis demikian diperlukan bagi anak-anak dalam keluraga tersebut.13

7.1. Pencegahan Primodial

Pencegahan primodial yaitu upaya pencegahan pada orang-orang yang belum memiliki faktor

resiko penyakit kusta melalui penyuluhan. Penyuluhan tentang penyakit kusta adalah proses

peningkatan pengetahuan, kemauan dan kemampuan masyarakat oleh petugas kesehatan

sehingga masyarakat dapat memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya dari

penyakit kusta.

18
7.2. Pencegahan Primer (Primary Prevention)

Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan seseorang yang telah memiliki

faktor resiko agar tidak sakit..20 Tujuan dari pencegahan primer adalah untuk mengurangi

insidensi penyakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab penyakit dan faktor-faktor

resikonya.21 Untuk mencegah terjadinya penyakit kusta, upaya yang dilakukan adalah

memperhatikan dan menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal, personal hygiene, deteksi

dini adanya penyakit kusta dan penggerakan peran serta masyarakat untuk segera

memeriksakan diri atau menganjurkan orang-orang yang dicurigai untuk memeriksakan

diri ke puskesmas.

7.3. Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)

Pencegahan sekunder merupakan upaya pencegahan penyakit dini yaitu mencegah orang yang

telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit dan menghindari komplikasi.20

Tujuan pencegahan sekunder adalah untuk mengobati penderita dan mengurangi akibat-akibat

yang lebih serius dari penyakit yaitu melalui diagnosis dini dan pemberian pengobatan.21

Pencegahan sekunder ini dapat dilakukan dengan melakukan diagnosis dini dan pemeriksaan

neuritis, deteksi dini adanya reaksi kusta, pengobatan secara teratur melalui kemoterapi atau

tindakan bedah.Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda pokok atau

cardinal sign pada badan, yaitu :

a. Lesi (Kelainan) kulit yang mati rasa

Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau

kemerah-merahan (eritematousa) yang mati rasa (anestesi).

b. Penebalan saraf tepi

Dapat disertai rasa nyeri dan juga dapat disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf.

Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis

perifer). Gangguan fungsi saraf ini bias berupa:

a. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa

19
b. Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (Parese) atau kelumpuhan (Paralise)

c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak-retak.

c. Ditemukan Basil Tahan Asam2

Adanya kuman tahan asam di dalam kerokan jaringan kulit (BTA Positif). Pemeriksaan

kerokan hanya dilakukan pada kasus yang meragukan. Seseorang dinyatakan sebagai penderita

kusta bilamana terdapat satu dari tandatanda utama di atas. Apabila hanya ditemukan cardinal

sign ke-2 dan petugas ragu perlu dirujuk kepada WASOR atau ahli kusta, jika masih ragu orang

tersebut dianggap sebagai kasus yang dicurigai (suspek).

Tanda-tanda tersangka kusta (suspek)

1. Tanda-tanda pada kulit

a. Bercak/Kelainan kulit yang merah atau putih di bagian tubuh

b. Kulit mengkilap

c. Bercak yang tidak gatal

d. Adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut.

e. Lepuh tidak nyeri.

2. Tanda-tanda pada saraf

a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka.

b. Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka

c. Adanya cacat (deformitas)

d. Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh

7.4. Pencegahan Tertier (Tertiary Prevention)

Tujuan pencegahan tertier adalah untuk mengurangi ketidakmampuan dan

mengadakan rehabilitasi.20 Rehabilitasi adalah upaya yang dilakukan untuk memulihkan

seseorang yang sakit sehingga menjadi manusia yang lebih berdaya guna, produktif,

mengikuti gaya hidup yang memuaskan dan untuk memberikan kualitas hidup yang

sebaik mungkin, sesuai tingkatan penyakit dan ketidakmampuannya.22 Pencegahan tertier

20
meliputi:

a. Pencegahan Kecacatan

Pencegahan cacat kusta jauh lebih baik dan lebih ekonomis daripada

penanggulangannya. Pencegahan ini harus dilakukan sedini mungkin, baik oleh petugas

kesehatan, maupun oleh penderita itu sendiri dan keluarganya. 18

Upaya pencegahan cacat terdiri atas :

a. Upaya pencegahan cacat primer, yang meliputi :

1) Diagnosa dini dan penatalaksanaan neuritis

2) Pengobatan secara teratur dan adekuat

3) Deteksi dini adanya reaksi kusta

4) Penatalaksanaan reaksi kusta

b. Upaya pencegahan cacat sekunder, yang meliputi :

1) Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka

2) Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah

terjadinya kontraktur.

3) Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak

mendapat tekanan yang berlebihan.

4) Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi.

5) Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan

otot. 2,17

b. Rehabilitasi 17

Rehabilitasi yang dilakukan meliputi rehabilitasi medik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi

ekonomi. Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh ialah antara lain

dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna kembali ke asal, tetapi

fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki. Cara lain adalah kekaryaan, yaitu memberi

21
lapangan pekerjaan yang sesuai cacat tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat

meningkatkan rasa percaya diri, selain itu dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).

8. Program Pemberantasan Penyakit Kusta

Pada tahun 1991 World Health Assembly telah mengeluarkan suatu resolusi yaitu eliminasi

kusta pada tahun 2000. Indonesia sebagai anggota Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) harus

memenuhi resolusi tersebut. Suatu kenyataan bahwa kusta tersebar di Indonesia secara tidak

merata dan prevalensi rate (PR) sangat bervariasi menurut propinsi,

Kabupaten/Kota/Kecamatan. Penderita terdaftar di Indonesia sampai dengan desember 2003

sebanyak 18.312penderita. Eliminasi kusta di Indonesia yang ditargetkan tahun 2000 sudah

dicapai secara nasional pada pertengahan tahun 2000, namun demikian pada tingkat propinsi

dan kabupaten masih banyak yang belum mencapai eliminasi. Sampai akhir desember 2003,

baru 18 dari 30 propinsi dan 325 dari 440 Kabupaten yang dapat mencapai eliminasi.

8.1. Tujuan

a. Tujuan Jangka Panjang

1. Menurunkan transmisi panyakit kusta pada tingkat tertentu sehingga kusta

tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat.

2. mencegah kecacatan pada semua penderita baru yang ditemukan melalui

pengobatan dan perawatan yang benar.

3. Memberikan perawatan dan pelayanan rehabilitasi yang tepat pada orang yang

terkena penyakit kusta.

b. Tujuan Jangka Pendek2

22
1. Menetapkan sistim penemuan dan diagnosa penderita kusta secara intensif di daerah

endemik tinggi dan di kantong-kantong kusta di daerah endemik rendah sehingga proporsi anak

dan kecacatan tingkat 2 kurang dari 5%.

2. Memberikan pengobatan yang adekuat sehingga tercapai angka kesembuhan

(RFT Rate) lebih dari 90%.

3. menurunkan proporsi penderita yang cacat pada mata tangan dan kaki setelah RFT kurang

dari 5%.

4. Mengembangkan puskesmas dengan perawatan cacat yang adekuat dengan dukungan sistem

rujukan ke rumah sakit umum dan rumah sakit khusus untuk kasus yang mengalami komplikasi

dan membutuhkan rehabilitasi medis.

5. Melaksanakan pengelolaan program pemberantasan kusta dengan starategi sesuai

endemisitas daerah dan di dukung dengan kegiatan-kegiatan penunjangnya.

8.2. Target

1. Tercapainya eliminasi kusta di tingkat propinsi pada tahun 2008.

2. Tercapainya eliminasi kusta di tingkat kabupaten pada tahun 2010.

3. Tercapainya Indonesia bebas kusta pada tahun 2020.

8.3. Kebijakan

1. Pelaksanaan program pemberantasan kusta diintegrasikan dalam kegiatan

pelayananan kesehatan dasar di puskesmas.

2. Pengobatan penderita kusta dengan MDT sesuai rekomendasi WHO diberikan

cuma-cuma.

3. Penderita kusta tidak boleh diisolasi.

23
9. Pengobatan Penderita

Tujuan utama program pemberantasan penyakit kusta adalah memutuskan rantai penularan

untuk menurunkan insidensi penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita serta

mencegahkan timbulnya cacat. Untuk mencapai tujuan itu sampai sekarang strategi pokok yang

dilakukan masih didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita, yang tampaknya masih

tetap diperlukan walaupun nanti vaksin kusta yang efektif telah tersedia. Sejak dilaporkan

adanya resistensi terhadap dapson baik primer maupun sekunder, pada tahun 1977 WHO

memperkenalkan pengobatan kombinasi yang terdiri paling tidak dua obat antikusta yang

efektif. 12,18 Program Multi Drug Therapy (MDT) dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika

kelompok Studi Kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta

dengan rejimen MDT-WHO. Regimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat dapson, rifampisin,

dan klofasimin. Selain itu mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, penggunaan

MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan penderita dan menurunkan angka

putus-obat (dro-out) yang cukup tinggi pada masa monoterapi dapson. Disamping itu

diharapkan juga dengan MDT dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.18

Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen pengobatan yang

direkomendasikan oleh WHO Regimen tersebut adalah sebagai berikut : 2

9.1. Tipe PB

Untuk kusta tipe PB, terdiri atas kombisnasi rifampisin dan dapson.

a. Jenis dan obat untuk orang dewasa:

1. Rifampicin 600 mg/bulan dan DDS 100 mg / hari ditelan di depan petugas.

2. DDS 100 mg / hari diminum di rumah.

b. Jenis dan dosis obat untuk anak-anak :

1. DDS 1-2 mg / kg berat badan

2. Rifampisin 10-15 mg / kg barat badan

24
c. Lama pengobatan

Lama pengobatan untuk penderita tipe PB adalah selama 6-9 bulan.

9.2. Tipe MB

Untuk kusta tipe MB, terdiri atas kombinasi rifampisin, dapson, klofazimin

(lamprene).

a. Jenis dan dosis obat untuk orang dewasa:

1. Lamprene 300 mg / bulan

2. Rifampisin 600 mg / bulan

3. DDS 100 mg / bulan

Ketiga obat ini ditelan di depan petugas setiap bulan.

1. DDS 100 mg / hari

2. Lamprene 50 mg / hari

Kedua obat ini diminum di rumah.

b. Dosis Lamprene untuk anak-anak:

Umur dibawah 10 tahun : Bulanan : 100 mg / bulan

Harian : 50 mg / 2 kali / minggu

Umur 11 14 tahun : Bulanan : 200 mg / bulan

Harian : 50 mg / 3 kali / minggu

Lama pengobatan 2 tahun

Setelah pengobatan dihentikan (Release from Treatment/RFT) penderita masuk dalam masa

pengamatan (control) yaitu: penderita dikontrol secara klinik dan bakterioskopik minimal

sekali setahun selama 5 tahun untuk penderita kusta multibasiler dan dikontrol secara klinik

sekali setahun selama 2 tahun untuk penderita kusta pausibasiler. Bila pada masa tersebut tidak

ada keaktifan, maka penderita dinyatakan bebas dari pengamatan (Release from Control /RFC)

25
KESIMPULAN

Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang saraf perifer, kulit

dan jaringan tubuh lainnya. Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri Myobacterium leprae yang

ditemukan pada tahun 1874, oleh GA Hansen . Kuman ini berbentuk batang, gram positif,

berukuran 0.34 x 2 mikron dan berkelompok membentuk globus. Kuman Myohacterium leprae

hidup pada sel Schwann dan sistim retikuloendotelial, dengan masa generasi 12-24 hari, dan

termasuk kuman yang tidak ganas serta lambat berkembangnya. Tanda dan gejala penyakit

kusta:

1) Lesi (kelainan) kulit yang mati rasaKelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan

(hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).

2) Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf ini

merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer ). Gangguan fungsi saraf

ini bisa berupa :

a. Gangguan fungsi sensori seperti mati rasa

b. Gangguan fungsi motoris seperti kelemahan otot ( parese) atau kelumpuhan ( paralise)

c. Gangguan fungsi otonom seperti kulit kering dan retak-retak.

3) Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA+) Seseorang

dinyatakan sebagai penderita kusta apabila di temukan satu atau lebih dari tanda-tanda utama

diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat didiagnosis dengan pemeriksaan klinis.

Namun demikian pada penderita yang meragukan dapat dilakukan pemeriksaan kerokan kulit.

Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika

masih ragu orang tersebut dianggap sebagai penderita yang dicurigai.

26
4.2 SARAN

Setelah membaca makalah ini diharapkan pembaca dapat mengetahui

konsep dasar penyakit Kusta dan dapat mengetahui tentang asuhan keperawatan

pasien Kusta.

27

Anda mungkin juga menyukai