Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid pada saat ini sudah jarang terjadi di negara-

negara yang maju, namun penyakit ini masih menjadi masalah

kesehatan yang serius di sebagian wilayah dunia, terutama negara-

negara berkembang seperti bekas negara Uni Soviet, sekitar India, Asia

Tenggara, Amerika Selatan dan Afrika. Menurut WHO, diperkirakan

terjadi 16 juta kasus per tahun dan 600 ribu diantaranya berakhir

dengan kematian. Sekitar 70 % dari seluruh kasus kematian itu

menimpa penderita demam tifoid di Asia.1

Demam tifoid merupakan masalah global terutama di negara

dengan higiene buruk. Etiologi utama di Indonesia adalah Salmonella

enterika subspesies enterika serovar Typhi (S.Typhi) dan Salmonella

enterika subspesies enterika serovar Paratyphi A (S. Paratyphi A).

CDC Indonesia melaporkan prevalensi demam tifoid mencapai

358810/100.000 populasi pada tahun 2007 dengan 64% penyakit

ditemukan pada usia 3-19 tahun, dan angka mortalitas bervariasiantara

3,1 10,4 % pada pasien rawat inap.1,2

Dua dekade belakangan ini, dunia digemparkan dengan adanya

laporan Multi Drug Resistant (MDR) strains S.Typhi. strain ini resisten

dengan kloramfenikol, trimetropim-sulfametoksazol, dan ampicillin.

Selain itu strain ressisten asam nalidixat juga menunjakan penurunan


pengaruh ciprofloksasin yang menjadi endemik di India. United State,

United Kingdom dan juga beberapa negara berkembang pada tahun

1997 menunjukan kedaruratan masalah globat akibat MDR.1

Morbiditas di seluruh dunia, setidaknya 17 juta kasus baru dan

hingga 600.000 kematian dilaporkan tiap tahunnya. Di negara

berkembang, diperkirakan sekitar 150 kasus/ juta populasi/ tahun di

Amerika Latin. Hingga 1.000 kasus/ juta populasi/ tahun di beberapa

negara Asia. Penyakit ini jarang dijumpai di Amerika Utara, yaitu

sekitar 400 kasus dilaporkan tiap tahun di United State, 70% terjadi

pada turis yang berkunjung ke negara endemis. Di United Kingdom,

insiden dilaporkan hanya 1 dalam 100.000 populasi. 3

Penyakit ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan yang

sering terjadi di Indonesia. Problem kesehatan pada akhirnya dapat

menghambat proses pembangunan negara. Oleh karena itu perlu

penanganan yang tepat dan komprehensif agar dapat menciptakan

lingkungan dan masyarakat yang sehat.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Demam tifoid disebut juga dengan Typus Abdominalis atau

Typhoid fever. Demam tifoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya

terdapat pada saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu

minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan

atau tanpa gangguan kesadaran.1

B. Etiologi

Sembilan puluh enam persen (96%) kasus demam tifoid

disebabkan S. typhi, sisanya disebabkan oleh S. paratyphi. Kuman masuk

melalui makanan/minuman, setelah melewati lambung kuman mencapai

usus halus (ileum) dan setelah menembus dinding usus sehingga mencapai

folikel limfoid usus halus (plaque Peyeri). Kuman ikut aliran limfe

mesenterial ke dalam sirkulasi darah (bakteremia primer) mencapai

jaringan RES (hepar, lien, sumsum tulang untuk bermultiplikasi). Setelah

mengalami bakteremia sekunder, kuman mencapai sirkulasi darah untuk

menyerang organ lain (intra dan ekstra intestinal). Masa inkubasi 10-14

hari.2

Salmonella typhi adalah bakteri gram negatif, yang mempunyai

flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif anaerob


Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :

1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh

kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut

juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak

tahan terhadap formaldehid.

2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae

atau fili dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein

dan tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas di atas

60C, asam dan alkohol.

3. Antigen Vi adalah polimer polisakarida yang bersifat asam yang terletak

pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat melindungi kuman

terhadap fagositosis.2,3

C. Epidemiologi

Dalam empat dekade terakhir, demam tifoid telah menjadi masalah

kesehatan global bagi masyarakat dunia. Diperkirakan angka kejadian

penyakit ini mencapai 16 juta kasus di Asia tenggara dengan angka

kematian mencapai 600.000 jiwa per tahun. Di . Kejadian demam tifoid di

Indonesia sekitar 1100 kasus per 100.000 penduduk per tahunnya dengan

angka kematian 3,1-10,4%.1 Menurut Departemen Kesehatan RI penyakit

ini menduduki urutan kedua sebagai penyebab kematian pada kelompok

umur 5 14 tahun di daerah perkotaan. Demam tifoid merupakan penyakit

endemis di Indonesia yang disebabkan oleh infeksi sistemik Salmonella


typhi. Prevalens 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun,

kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. 1,4

D. Patofisiologi

Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh

manusia melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi kuman.

Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi

masuk ke usus halus dan berkembang biak. Menurut penelitian dibutuhkan

kuman jumlah tertentu yaitu 106-109 untuk dapat menimbulkan penyakit.

Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik maka kuman

akan menembus sel-sel epitel terutama sel M dan selanjutnya ke lamina

propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-

sel fagosit terutama oleh makrofag.4,5

Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan

selanjutnya dibawa ke Plaque Peyeri Ileum distal dan kemudian ke

kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus

kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi

darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik). Bekterimia

pertama terjadi 24-72 jam setelah kuman tertelan dan biasanya tanpa

gejala karena jumlah kuman tidak cukup banyak untuk dapat

menimbulkan gejala, dan kuman segera tertangkap oleh sel-sel sistem

retikuloendotelial tubuh terutama hati, limpa dan sumsum tulang . Di

organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian

berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke
dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakterimia yang kedua

kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. 5,6

Didalam hati, kuman masuk kedalam kandung empedu, berkembang

biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten

kedalam lumen usus. Sebagain kuman dikeluarkan melalui feses dan

sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses

yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan

hiperaktif maka saat fagositosis kuman salmonella terjadi pelepasan

beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala

reaksi inflamsi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit perut, sakit

kepala, instabilitas vascular, gangguan mental dan koagulasi.7,8

Seperti halnya mekanisme tubuh terhadap penyakit infeksi umumnya,

mekanisme pertahanan tubuh terhadap masuknya kuman Salmonella typhi

pada manusia dapat timbul segera, yang di periksa oleh mekanisme

imunologik non spesifik dan selanjutnya diikuti dengan mekanisme

pertahanan imunologik spesifik yang terdiri atas respon imunitas humoral

dan seluler.5,6.9

Asam lambung sebagian dari sistem pertahanan non spesifik,

merupakan salah satu barier utama yang dapat mematikan mayoritas

kuman penyebab infesksi saluran cerna. Adanya penurunan keasaman

lambung akan menyebabkan lebih banyak kuman mencapai usus halus.

Sebagian kuman Salmonella typhi masih dapat bertahan dan tetap hidup

dalam asam lambung. Selanjutnya kuman dapat menembus epitel mukosa


epitel usus halus dan berhadapan dengan membrane basalis, yang fungsi

pertahananya sudah berkurang, akibat destruksi epitel dan proses radang.

Sehingga kuman dapat mencapai lapisan subepitel. Di dalam lapisan

subepitel, kuman akan mendapatkan perlawanan dari 3 mekanisme

pertahanan yang terdiri dari cairan jaringan, sistem jaringan limfoid, dan

sel fagosit. Pada infeksi Salmonella typhi biasanya terjadi hiperplasi sistem

retikuloendotelial, yang juga terjadi pada jaringan limfoid seperti plaques,

kelenjar, limfe lain (hati,limpa dengan aktivitas fagositosis yang

meningkat).6,10

Mekanisme pertahanan imunologik spesisfik biasanya menyangkut

antibodi, lomfosit B dan T dan komplemen yang terbagi atas imunitas

seluler dan imunitas humoral. Respon imunitas seluler sangat penting

dalam penyembuhan penyakit demam tifoid, yang merupakan interaksi

antara sel limfosit T dan fagosit mononuklear, untuk membunuh

mikroorganisme yang tidak dapat diatasi oleh mekanisme mikrobial

humoral dan fagosit polimorfonuklear. Adanya antigen kuman akan

merangsang limfosit T untuk membentuk faktor aktivasi makrofag,

sehingga akan berkumpul pada tempat terjadinya invasi kuman.7,8

Limfosit B sangat berperan dalam respon imunitas humoral.

Akibat stimulasi antigen kuman , sel akan berubah menjadi sel plasma dan

mensintesa immunoglobulin. Imuniglobulin G dan M adalah

immunoglobulin yang di bentuk paling banyak. Peningkatan titer terjadi

mulai minggu pertama kemudian meningkat pada minggu-minggu


berikutnya , sedangkan imunoglobulin A meningkat pada minggu kedua.

Immunoglobulin M adalah antibodi pertama yang dibentuk dalam respon

imun. Karena itu kadar IgM yang tinggi merupakan petunjuk adanya

infeksi dini. Adanya antibodi humoral ini bisanya dipakai sebagai dasar

berbagai pemeriksaan laboratorium.5,8,9

Gambar 1. Sensitifitas Tubex TF vs Profil Respon Antibodi

Salmonella typhi Periode Fase Demam.

Daftar Pustaka

1. Alba S, Bakker MI, Hatta M, Scheelbeek PFD, Dwiyanti R, Usman R, et


al. Risk Factors of Typhoid Infection in the Indonesian Archipelago. PLoS
ONE (2016) 11(6): e0155286. doi:10.1371/journal. pone.0155286
2. Souha S. Kanj, Zeina A. Kanafani, Marwa Shehab, Nisreen Sidani, Tania
Baban, Kedak Baltajian, Ghenwa K. Dakdouki, Mohamad Zaatari, et al.
Epidemiology, clinical manifestations, and molecular typing of salmonella
typhi isolated from patients with typhoid fever in Lebanon. Elsevier
Journal of Epidemiology and Global Health (2015) 5, 159 165
3. Tia Sorrell, Daniel J. Selig, Mark S. Riddle and Chad K. Porter. Typhoid
fever cases in the U.S. military. BMC Infectious Diseases (2015) 15:424
DOI 10.1186/s12879-015-1159-6
4. Vittal Mogasale, Brian Maskery, R Leon Ochiai, Jung Seok Lee,
Vijayalaxmi V Mogasale, Enusa Ramani, Young Eun Kim, Jin Kyung
Park, Thomas F Wierzba. Burden of typhoid fever in low-income and
middle-income countries: a systematic, literature-based update with risk-
factor adjustment. Lancet Glob Health 2014;2: e57080
5. Conall H. Watson, W. John Edmunds. A review of typhoid fever
transmission dynamic models and economic evaluations of vaccination.
Elsevier Vaccine 33 (2015) C42C54
6. Farah Naz Qamar, Asma Azmatullah, Zulfiqar A. Bhutta Challenges in
measuring complications and death due to invasive Salmonella infections.
Elsevier Vaccine 33 (2015) C16C20
7. Claire S. Waddington, Thomas C. Darton, William E. Woodward, Brian
Angus, Myron M. Levine, Andrew J. Pollard. Advancing the management
and control of typhoid fever: A review of the historical role of human
challenge studies. Elsevier Journal of Infection (2014) 68, 405e418
8. Tamding Wangdi, Sebastian E. Winter and Andreas J. Bumler. Typhoid
fever You cant hit what you cant see Gut Microbes 3:2, 8892;
March/April 2012; G 2012 Landes Bioscience
9. de Jong HK, Parry CM, van der Poll T, Wiersinga WJ HostPathogen
Interaction in Invasive Salmonellosis. PLoS (2012) Pathog 8(10):
e1002933. doi:10.1371/journal.ppat.1002933
10. Oanh H Pham and Stephen J. McSorley. Protective host immune responses
to Salmonella infection Future Microbiol. 2015 January ; 10: 101110.
doi:10.2217/fmb.14.98.

Anda mungkin juga menyukai