Anda di halaman 1dari 34

REFERAT BEDAH ONKOLOGI

KEDARURATAN ONKOLOGI (ONCOLOGICAL EMERGENCIES)

Nama : Komang Septian Trisna Jaya

NIM : H1A 012 028

PEMBIMBING :

dr. Ramses, Sp.B(K)Onk.

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYADI


BAGIAN/SMF NEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MATARAM/RSUP PROVINSI NTB

2017
ii
BAB 1

PENDAHULUAN

Ensefalitis adalah suatu peradangan pada parenkim otak. Dari perspektif


epidemiologi dan patofisiologi, ensefalitis berbeda dari meningitis, meskipun pada
evaluasi klinis, keduanya mempunyai tanda dan gejala inflamasi meningeal, seperti
photophobia, sakit kepala, atau leher kaku.1

Ensefalitis juga berbeda dengan cerebritis, dimana cerebritis menunjukkan


tahap pembentukan abses dan infeksi bakteri yang sangat merusak jaringan otak,
sedangkan ensefalitis akut umumnya infeksi virus dengan kerusakan parenkim
bervariasi dari ringan sampai dengan sangat berat.1

Ensefalitis terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk primer dan sekunder.
Ensefalitis Primer melibatkan infeksi virus langsung dari otak dan sumsum tulang
belakang. Sedangkan ensefalitis sekunder, infeksi virus pertama terjadi di tempat lain
di tubuh dan kemudian ke otak.2

Ensefalitis yang mengakibatkan kerusakan otak, dapat menyebabkan atau


memperburuk gejala gangguan perkembangan atau penyakit mental. Disebut
ensefalitis lethargica, yang membentuk berbagai gejala penyakit Parkinson seperti
parkinsonianism postencephalitik. Dalam beberapa kasus ensefalitis menyebabkan
kematian. Pengobatan ensefalitis harus dimulai sedini mungkin untuk menghindari
dampak serius dan efek seumur hidup. Terapi tergantung pada penyebab peradangan,
termasuk antibiotik, obat anti-virus, dan obat anti-inflamasi. 3

1.1 TUJUAN

Untuk mengetahui definisi, epidemiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,


diagnosis, tatalaksana dan prognosis dari Ensefalitis.
Untuk menambah pengetahuan mengenai Ensefalitis baik bagi penulis
maupun pembaca.

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Ensefalitis adalah inflamasi akut di otak yang disebabkan oleh infeksi virus
maupun bakteri atau penyakit autoimun yang muncul sebagai difus atau disfungsi
neuropsikologis fokal. Meskipun terutama melibatkan otak, sering melibatkan
meninges juga (meningoencephalitis). Dari perspektif epidemiologi dan patofisiologi,
ensefalitis berbeda dari meningitis, meskipun pada evaluasi klinis keduanya bisa
hadir, dengan tanda-tanda dan gejala peradangan meningeal. Hal ini juga berbeda dari
cerebritis.

2.2 EPIDEMIOLOGI
Insiden ensefalitis di seluruh dunia sulit untuk ditentukan. Terdapat sekitar 150-
3000 kasus yang dilaporkan, yang terjadi setiap tahun di Amerika Serikat.
Kebanyakan kasus yang ditemukan adalah herpes virus ensefalitis di Amerika
Serikat. 1,4

Jumlah kejadian ensefalitis virus sendiri belum diketahui secara pasti. Arboviral
ensefalitis lebih lazim dalam iklim yang hangat dan insiden bervariasi dari daerah ke
daerah dan dari tahun ke tahun. St Louis ensefalitis adalah tipe yang paling umum,
ensefalitis arboviral di Amerika Serikat, dan ensefalitis Jepang adalah tipe yang
paling umum di bagian lain dunia. Ensefalitis lebih sering terjadi pada anak-anak dan
orang dewasa muda.1,4

Cytomegalovirus (CMV) ensefalitis pada orang dewasa jarang ditemukan dan


biasanya terjadi sebagai bagian dari infeksi CMV pada pasien immunocompromised.
Insiden HIVE kemungkinan akan meningkat di negara-negara maju sebagai
konsekuensi dari meningkatnya angka penderita HIV diseluruh dunia.

2
2.3 ETIOLOGI

Penyebab ensefalitisdapat disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri. Beberapa


contoh termasuk:

HIV
CMV
Toxoplasma
Herpes virus
Arbovirus (nyamuk kutu dan serangga)
Rabies(gigitan hewan)1,2

Dua caraensefalitis virus dapat menginfeksi otak:

Ensefalitis primer. Hal ini terjadi ketika virus langsung menyerang otak dan
saraf tulang belakang. Hal ini dapat terjadi setiap saat (ensefalitis sporadis),
sehingga menjadi wabah (epidemik ensefalitis).
Ensefalitis sekunder. Hal ini terjadi ketika virus pertama menginfeksi bagian
lain dari tubuh kemudian memasuki otak. 2,4

Infeksi bakteri dan parasit seperti toksoplasmosis dapat menyebabkan


ensefalitis pada orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah. 1,2

2.3.1 Virus herpes

Beberapa virus herpes yang menyebabkan infeksi umum juga dapat


menyebabkan ensefalitis. Ini termasuk:

Herpes simpleks virus. Ada dua jenis virus herpes simpleks (HSV) infeksi.
HSV tipe 1 (HSV-1) lebih sering menyebabkan cold sores lepuh demam atau
sekitar mulut. HSV tipe 2 (HSV-2) lebih sering menyebabkan herpes genital.

3
HSV-1 merupakan penyebab paling penting dari ensefalitis sporadis yang
fatal di Amerika Serikat, tetapi juga langka.
Varicella-zoster virus. Virus ini bertanggung jawab untuk cacar air dan herpes
zoster. Hal ini dapat menyebabkan ensefalitis pada orang dewasa dan anak-
anak, tetapi cenderung ringan.
Virus Epstein-Barr. Virus herpes yang menyebabkan infeksi mononucleosis.
Jika ensefalitis berkembang, biasanya ringan, tetapi dapat berakibat fatal pada
sejumlah kecil kasus. 1,2

2.3.2 Infeksi pada Anak

Pada kasus yang jarang, ensefalitis sekunder terjadi setelah infeksi virus anak
dan dapat dicegah dengan vaksin, termasuk:

Campak (rubeola)
Mumps
Campak Jerman (rubella)

Dalam kasus tersebut ensefalitis mungkin disebabkan karena reaksi


hipersensitivitas - reaksi yang berlebihan dari sistem kekebalan tubuh untuk suatu zat
asing / antigen. 2

2.3.3 Arboviruses

Virus yang ditularkan oleh nyamuk dan kutu (arboviruses) dalam beberapa
tahun terakhir, meningkatkan epidemi ensefalitis. Organisme yang menularkan
penyakit hewan dari satu host ke yang lain disebut vektor. Nyamuk adalah vektor
untuk transmisi ensefalitis dari burung atau tikus ke manusia. Jenis ensefalitis ini
cukup jarang. 2
2.3.4 HIVE
Penyebab utama dari HIV ensefalopati (HIVE) adalah infeksi SSP yang
disebabkan oleh HIV. Istilah lain yang digunakan untuk kondisi ini dengan
signifikansi yang sama adalah AIDS dementia kompleks, demensia AIDS, demensia

4
HIV. HIVE hanya terjadi pada tahap lanjutan dari infeksi HIV ketika ada penurunan
kekebalan tubuh yang drastis (CD4 + T-sel <200 / ml).
2.4 FAKTOR RESIKO

Beberapa faktor yang menyebabkan risiko lebih besar adalah:

Umur
Beberapa jenis ensefalitis lebih lazim atau lebih parah pada anak-anak atau
orang tua.
Sistem kekebalan tubuh melemah
Jika memiliki defisiensi imun, misalnya karena AIDS atau HIV, melalui terapi
kanker atau transplantasi organ, maka lebih rentan terhadap ensefalitis.
Geografis daerah
Mengunjungi atau tinggal di daerah di mana virus nyamuk umum
meningkatkan risiko epidemi ensefalitis.
Musim
Penyakit yang disebabkan nyamuk cenderung lebih menonjol di akhir musim
panas dan awal musim gugur di banyak wilayah Amerika Serikat.2

2.5 PATOFISIOLOGI

Patogenesis dari ensefalitis mirip dengan patogenesis dari viral meningitis,


yaitu virus mencapai Central Nervous System melalui darah (hematogen) dan melalui
saraf (neuronal spread).2 Penyebaran hematogen terjadi karena penyebaran ke otak
secara langsung melalui arteri intraserebral. Penyebaran hematogen secara tidak
langsung juga dapat terjadi, apabila arteri meningeal yang terkena radang terlebih
dahulu. Dari arteri tersebut kuman dapat menyebar di likuor,menembus piamaterdan
menginvasi ke dalam otak.
Selain penyebaran secara hematogen, dapat juga terjadi penyebaran melalui
neuron, misalnya pada ensefalitis karena herpes simpleks dan rabies. Pada dua
penyakit tersebut, virus dapat masuk ke neuron sensoris yang menginnervasi port

5
dentry dan bergerak secara retrograd mengikuti axon-axon menuju ke nukleus dari
ganglion sensoris. Akhirnya saraf-saraf tepi dapat digunakan sebagai jembatan bagi
kuman untuk masuk di susunan saraf pusat.

Virus / Bakteri

Mengenai CNS

Ensefalitis

Kejaringan susuna saraf pusat

TIK meningkat Kerusakana susunan saraf pusat

nyeri kepala - gangguan penglihatan


kejang spastic

- gangguan bicara

mual, muntah - gangguan pendengaran


resiko cedera

- kelemahan gerak

BB turun

- gangguan sensorik
motorik
nutrisi kurang

Gambar 4. Patofisiologi Ensefalitis


( Dikutip dari kepustakaan 6 )

Sesudah virus berada di dalam sitoplasma sel host, kapsel virus dihancurkan.
Virus merangsang sitoplasma sel host untuk membuat protein yang menghancurkan

6
kapsel virus. Setelah itu nucleic acid virus akan berkontak langsung dengan
sitoplasma sel host. Sitoplasma dan nukleus sel nucleic acid yang sejenis dengan
nucleic acid virus. Proses ini dinamakan replikasi.
Ketika proses replikasi berjalan terus, maka sel host dapat dihancurkan.
Dengan demikian partikel-partikel viral tersebar ekstraselular. Setelah proses invasi,
replikasi dan penyebaran virus berhasil, timbullah manifestasi-manifestasi toksemia
yang kemudian disusul oleh manifestasi lokalisatorik. Gejala-gejala toksemia terdiri
dari sakit kepala, demam, dan lemas-letih seluruh tubuh. Sedangkan manifestasi
lokalisatorik akibat kerusakan susunan saraf pusat berupa gangguan sensorik dan
motorik (gangguan penglihatan, gangguan berbicara, gangguan pendengaran dan
kelemahan anggota gerak), serta gangguan neurologis yakni peningkatan TIK yang
mengakibatkan nyeri kepala, mual dan muntah hingga terjadi penurunan berat
badan.4,5
Dari sumber lain mengatakan bahwa virus dapat masuk ke dalam tubuh
melalui saluran pernapasan (gondok, campak), saluran pencernaan (enterovirus),
dengan inokulasi dari gigitan serangga (virus arthropoda-ditanggung), dan dari
gigitan hewan (rabies). Kebanyakan virus mencapai CNS melalui aliran darah.
Beberapa virus termasuk virus herpes simpleks (HSV), varicella-zoster virus (VZV),
dan rabies juga dapat melakukan perjalanan ke CNS sepanjang saraf. Virus adalah
organisme intraseluler obligat. Mereka menggunakan mesin seluler untuk replikasi
dan merusak atau membunuh sel-sel yang di infeksi. kerusakan otak tambahan
disebabkan oleh reaksi kekebalan yang dimediasi sel yang mereka invasi. Kaskade
kejadian yang diawali dengan aktivasi T-limfosit oleh virus termasuk pelepasan
sitokin poten (INF-gamma, IL-2, TNF, limfotoksin) dan mobilisasi makrofag yang
tidak hanya menyerang virus tetapi menyerang sel tubuh normal, menyebabkan
kerusakan pembuluh darah dan cedera jaringan.

2.6 GAMBARAN KLINIS


Gambaran klasik ensefalopati dengan difus atau gejala neurologis fokal:
Perubahan perilaku dan kepribadian, dengan penurunan tingkat kesadaran.

7
Sakit leher, kekakuan.
Fotosensitif
Lemah
Kejang umum atau fokal (60% dari anak-anak dengan virus California
ensefalitis)
Bingung atau keadaan amnesia
Flaccid paralysis (10% dari pasien)
Tanda-tanda ensefalitis yang menjadi temuan khas adalah sebagai berikut:
Perubahan status mental
Perubahan kepribadian (sangat umum)
Temuan fokal (misalnya, hemiparesis, kejang fokal, dan disfungsi otonom)
Gangguan gerak (misalnya, St Louis ensefalitis)
Ataxia
Cacat saraf kranial
Disfagia, khususnya pada rabies
Disfungsi sensorimotor unilateral (postinfectious encephalomyelitis) 5

Pada penyakit herpes ensefalitis gejalanya adalah demam, kebingungan, koma,


dan kejang. Selain itu, karena keterlibatan lobus frontal dan temporal, pasien sering
menampilkan perilaku aneh, perubahan kepribadian, anosmia, dan halusinasi
gustatory. Korban selamat mungkin memiliki amnesia Korsakoff, karena kerusakan
bilateral dari hippocampus, demensia, dan kejang.
HIVE dianggap sebagai demensia subkortikal. HIVE muncul selama beberapa
minggu dan bulan. Demam, kelelahan, efek tenang dan kondisi fisik yang
berkurang, disertai dengan infeksi oportunistik, semua bisa menyerupai demensia.
Keluhan khas yang biasa ditemukan pada HIVE adalaha adanya perlambatan
penalaran, pelupa, kesulitan berkonsentrasi, kurangnya dorongan energi, gejala
depresi ringan dan penumpulan emosi.

8
2.7 PENEGAKAN DIAGNOSIS

Membuat diagnosis HIVE memerlukan sinopsis dari gejala klinis dan hasil tes
laboratorium. International demensia HIV scale adalah salah satu cara mudah
digunakan untuk deteksi dan kuantifikasi kerusakan kognitif dari HIVE.Diagnosis
HIVE hanya dapat dilakukan setelah pemeriksaan berulang dan kondisi yang
menyerupai demensia telah membaik.
Secara umum gejala berupa trias ensefalitis:
Demam
Kejang
Penurunan kesadaran
Bila berkembang menjadi abses serebri akan timbul gejala-gejala infeksi umum
dengan tanda-tanda meningkatnya tekanan intrakranial yaitu : nyeri kepala yang
kronik dan progresif, muntah, penglihatan kabur, kejang, kesadaran menurun. Pada
pemeriksaan mungkin terdapat edema papil. Tanda-tanda defisit neurologis
1,6
tergantung pada lokasi dan luasnya abses. Pemeriksaan Radiologi: CT dan MRI
merupakan pilihan tepat untuk menyelidiki suspek lesi pada otak.7,8

2.7.1 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium:

Pemeriksaan darah lengkap, ditemukan jumlah leukosit meningkat.


Pemeriksaan cairan serobrospinal :cairan jemih, jumlah sel diatas normal,
hitung jenis didominasi oleh limfosit, protein dan glukosa normal atau
meningkat

Pemeriksaan lainnya:

MRI ataupun CT-scan.

9
EEG didapatkan gambaran penurunan aktivitas atau perlambatan.5
- CT Scan
Sifat atau komposisi jaringan dapat ditentukan dengan melihat
kepadatan atau nilai Hounsfield. Ada empat kategori kepadatan secara
umum, yaitu pengapuran tulang atau yang sangat padat dan putih terang,
kepadatan jaringan lunak yang menunjukkan berbagai nuansa warna
abu-abu, kepadatan lemak yang berwarna abu-abu gelap dan udara yang
berwarna hitam. Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, dimungkinkan
untuk menentukan bagian yang terlihat pada CT scan apapun, dan CT
scan kepala pada khususnya. 8

CT scan kepala dapat menunjukkan :


1. CT bisa menunjukkan hipodens pada pre kontras-hyperdensity pada
post kontras salah satu atau kedua lobus temporal, edema / massa
dan kadang-kadang peningkatan kontras. 9
2. Lesi isodens atau hipodens berbentuk bulat cincin, noduler atau pola
homogen dan menyangat dengan kontras, tempat predileksi pada
hemisfer (grey-white junction). 10
3. Bias ditemukan edema cerebri.
4. Kadang disertai tanda-tanda perdarahan.

Gambar 6. CT Scan otak pada seorang gadis dengan Rasmussen's encephalitis


( Dikutip dari kepustakaan 12 )

10
Tes laboratorium terutama digunakan untuk menyingkirkan diagnosis diferensial.
MRI lebih sering digunakan dibandingkan CT-scan. MRI dapat menunjukkan adanya
bercak, difus, hyperintense dan lesi. Selain itu, atrofi dengan pembesaran ventrikel
dan ruang CSF extraventricular dapat terlihat. Namun, tidak satupun dari temuan ini
adalah spesifik untuk HIVE, dan penyakit ini dapat muncul dengan MRI normal.
Analisis CSF pada HIVE menunjukkan dalam keadaan normal bias juga adanya
penurunan jumlah sel darah putih. Sebaliknya, protein total dan konsentrasi albumin
mungkin akan sedikit meningkat. oligoclonal band dan peningkatan IgG-index
menunjukkan produksi imunoglobulin asli dalam SSP. Namun, temuan ini tidak
spesifik dan sering hadir dalam tahap asimtomatik infeksi HIV. EEG tidak
menunjukkan atau hanya menunjukkan tanda-tanda ringan perlambatan.

Kondisi Penegakan Diagnosis

1. Pada pemeriksaan CSF ditemukan: pleositosis, potensial


CMV
granulocytic; penurunan glukosa dan peningkatan total
ensefalitis
protein.

11
2. Tes antibodi: ditemukan CMV antigen (pp65) dalam
darah dan CSF (IgG dan indeks antibodi meningkat).
3. MRI: potensial hyperintensity subependymal dan
peningkatan kontras.
4. Berhubungan dengan manifestasi organ lain (retinitis,
kolitis, pneumonitis, and esophagitis).

1. CT / MRI: lesi tunggal atau ganda ditemukan paling


sering di ganglia basal atau thalamus, edema, dan dengan
Toxoplasmosis peningkatan kontras (bercak atau berbentuk cincin)
2. Ditemukan toxoplasma IgG spesifik dalam darah dan CSF

Meningitis TB 1. Pemeriksaan CSF, kultur, PCR untuk tes mycobacterium


& infeksi yang tepat.
bakteri lainnya
1. MRI/CT-scan: Normal
2. Pemeriksaan CSF: Normal
3. DL: Penurunan WBC, peningkatan protein total dan
HIVE albumin.
4. EEG: tanda-tanda perlambatan ringan.
5. Peningkatan oligoclonal band dan IgG.

2.8 PENATALAKSANAAN
Ensefalitis supurativa
o Ampisillin 4 x 3-4 g per oral selama 10 hari.
o Cloramphenicol 4 x 1g/24 jam intra vena selama 10 hari.
Ensefalitis virus
o Pengobatan simptomatis
o Analgetik dan antipiretik : Asam mefenamat 4 x 500 mg
o Anticonvulsi : Phenitoin 50 mg/ml intravena 2 x sehari.

12
o Pengobatan antivirus diberikan pada ensefalitis virus dengan penyebab
herpes zoster-varicella.
o Asiclovir 10 mg/kgBB intra vena 3 x sehari selama 10 hari atau 200
mg peroral tiap 4 jam selama 10 hari.
Ensefalitis karena parasit
o Malaria serebral
Kinin 10 mg/KgBB dalam infus selama 4 jam, setiap 8 jam hingga
tampak perbaikan.
o Toxoplasmosis
Sulfadiasin 100 mg/KgBB per oral selama 1 bulan
Pirimetasin 1 mg/KgBB per oral selama 1 bulan
Spiramisin 3 x 500 mg/hari
o Amebiasis
Rifampicin 8 mg/KgBB/hari.
HIVE
Menurut patogenesis HIVE, pengobatan harus bertujuan menekan
replikasi virus di SSP. Ini adalah masalah yang belum terselesaikan apakah
senyawa antiviral dapat menembus ke CSF. Berbagai klinis, virologi,
patologis dan studi elektrofisiologi menunjukkan bahwa senyawa antiviral
yang dapat menembus ke CSF akan lebih efektif.Pemberian ARTuntuk
perkembangan neurokognitif lebih efektif dalam penekanan viral load dalam
CSF dari pada dalam plasma. Disarankan pengobatan HIVE adalah:
o AZT
o Lamivudine
o Nevirapine
o Indinavir.

2.9 KOMPLIKASI
Kemungkinan komplikasi ensefalitis termasuk kejang, kerusakan otak yang
menyebabkan hilangnya sensasi, koordinasi dan kontrol di daerah-daerah tubuh

13
tertentu, dan / atau kesulitan bicara, dan kematian. Selaput yang mencakup dan
melampirkan otak (meninges) juga mungkin terlibat, dan membran ini dapat
mengalami peradangan (meningoensefalitis). 2,9

2.10 PROGNOSIS
Angka kematian untuk ensefalitis berkisar antara 35-50%. Pasien yang
pengobatannya terlambat atau tidak diberikan antivirus (pada ensefalitis Herpes
Simpleks) angka kematiannyatinggi bisa mencapai 70-80%. Pengobatan dini
denganasiklovir akan menurunkan mortalitas menjadi 28%. 6Padapenyakit HIVE jika
tidak diobati, 15-20% pasien akan berkembang menjadi penyakit yang lebih serius.
Sejak adanya terapi antiretroviral (ART) insiden HIVE mengalami penurunan.
Sekitar 25% pasien ensefalitis meninggal pada stadium akut. Penderita yang
hidup 20-40%nya akan mempunyai komplikasi atau gejala sisa.Gejala sisa lebih
sering ditemukan dan lebih berat pada ensefalitis yang tidak diobati. Keterlambatan
pengobatan yang lebih dari 4 hari memberikan prognosis buruk, demikian juga koma.
Pasien yang mengalami koma seringkali meninggal atau sembuh dengan gejala sisa
yang berat. 6
Banyak kasus ensefalitis adalah infeksi dan recovery biasanya cepat ensefalitis
ringan biasanya pergi tanpa residu masalah neurologi. Dan semuanya 10% dari
kematian ensefalitis dari infeksinya atau komplikasi dari infeksi sekunder.Beberapa
bentukensefalitis mempunyai bagian berat termasuk herpes ensefalitis dimana
mortality 15-20% dengan treatment dan 70-80% tanpa treatment. 6

14
BAB 3
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Ensefalitis adalah suatu peradangan pada parenkim otak.Ensefalitis terjadi
dalam dua bentuk, yaitu bentuk primer dan sekunder. Ensefalitis Primer melibatkan
infeksi virus langsung dari otak dan sumsum tulang belakang. Sedangkan ensefalitis
sekunder, infeksi virus pertama terjadi di tempat lain di tubuh dan kemudian ke otak.
Secara umum gejala trias ensefalitis berupa demam, kejang, dan penurunan
kesadaran.Angka kematian untuk ensefalitis berkisar antara 35-50%. Pasien yang
pengobatannya terlambat atau tidak diberikan antivirus (pada ensefalitis Herpes
Simpleks) angka kematiannya tinggi bisa mencapai 70-80%. Pengobatan dini
akan menurunkan mortalitas menjadi 28%..

15
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M
Umur : 46 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Buruh
Suku Bangsa : Sasak
Alamat : Gangga, Kabupaten Lombok Utara (KLU)

ANAMNESIS
Pasien datang ke UGD RSUP NTB pada tanggal 16 April 2017, dengan :
Keluhan Utama :
Kesadaran Menurun
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien rujukan dari RSUD KLU datang ke UGD RSUP NTB dengan keluhan
tidak sadarkan diri mulai sejak 1 minggu yang lalu. Pasien sebelumnya mengalami
demam tinggi yang terjadi sejak 2 minggu yang lalu. Pasien juga mengeluhkan ada
nyeri kepala yang semakin memberat sejak 2 minggu yang lalu, disertai dengan
muntah sebanyak 1 kali sebelum pasien tidak sadarkan diri. Pasien juga pernah
mengalami kejang sebelum tidak sadarkan diri, dengan frekuensi 2 kali, kejang
selama 1/2 1 menit dengan jarak 1 jam. Sejak 4 hari yang sebelum MRS, pasien
mulai berbicara ngelantur, dan mengatakan seperti melihat robot. Menurut keluarga,
pasien mengalami lemah pada tangan dan kaki, serta nafsu makan pasien turun sejak
pasien mulai demam tinggi.
Riwayat Penyakit Dahulu :
- Riwayat nyeri pada telinga menjalar hingga ke mata 3 minggu yang lalu.
- Riwayat ISPA 1 bulan yang lalu.
- Riwayat kejang sebelumnya tidak ada
- Riwayat hipertensi tidak ada

16
- Riwayat trauma pada kepala tidak ada
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama seperti
pasien.
Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, dan Kebiasaan:
Pasien adalah seorang pekerja buruh di KLU. Pasien merupakan seorang
perokok, 1 hari menghabiskan kurang lebih 1 bungkus rokok dan tidak
mengkonsumsi alkohol. Pasien maupun keluarga pasien tidak memiliki binatang
peliharaan dirumahnya.

PEMERIKSAAN FISIK (17/4/2017)

Keadaan umum : Buruk


Kesadaran : Koma
Tekanan darah : 130/70 mmHg
Frekuensi Nadi : 98x/mnt
Frekuensi pernafasan : 22x/mnt
Suhu : 39,2C (aksila)
Kepala : Normochepali
Konjungtiva : anemis -/-
Sklera : ikterik -/-

Leher : tidak ada kelainan, pembesaran (-)


Thorax :
Inspeksi : simetris kiri dan kanan, deformitas (-), scar (-)
Palpasi : gerakan dinding dada simetris
Pulmo
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler +/+, ronchi -/-, wheezing -/-
Cor
Perkusi : batas jantung dalam batas normal

17
Auskultasi : S1S2 tunggal regular, m(-), g(-)

Abdomen
Inspeksi : distensi (-), scar (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : tympani

Pemeriksaan Psikiatri

a. Emosi dan Afek : Labil, luas


b. Proses piker : non-realistik
c. Persepsi : Halusinasi visual
d. Kecerdasan : Sde
e. Penyerapan : Sde
f. Kemauan : Sde
g. Psikomotor : Sde

Pemeriksaan Neurologis
1. GCS : E2V2M3
2. Fungsi Luhur

- Reaksi emosi : Labil


- Intelegensia : Sde
- Fungsi bicara : Sde
- Fungsi psikomotor : Sde
- Fungsi Psikosensorik : Sde
3. Tanda rangsang Meningen:

- Kaku kuduk : (+)


- Kernig : (+)
- Brudzinski I : (-)

18
- Brudzinski II : (-)
- Brudzinski III : (-)
- Brudzinski IV : (-)

4. Pemeriksaan Nervus Cranialis :


Nervus kranialis Kanan Kiri
N I (Olfaktorius)
-subjektif Sde Sde
-objektif (dg bahan) Sde Sde
N II (Optikus)
-tajam penglihatan Sde Sde
-lapangan pandang Sde Sde
-melihat warna Sde Sde
-funduskopi Tde Tde
N III (Okulomotorius)
-bola mata Ortho Ortho
-ptosis Tidak ada Tidak ada
-gerakan bulbus Sde Sde
-strabismus Sde Sde
-nistagmus Sde Sde
-ekso/endotalmus Sde Sde
-pupil
bentuk Bulat, isokor, 3 mm Bulat, isokor, 3 mm
reflex cahaya + +
N IV (Trochlearis)
-gerakan mata ke bawah Sde Sde
-sikap bulbus Ortho Ortho
-diplopia Sde Sde

19
N V (Trigeminus)
-Motorik
membuka mulut Sde Sde
menggerakkan rahang Sde Sde
menggigit Sde Sde
mengunyah Sde Sde
-Sensorik
Divisi Oftalmika
*reflex kornea + +
*sensibilitas Sde Sde
Divisi Maksila
*reflex Masseter Sde Sde
*sensibilitas Sde Sde
Divisi Mandibula
*sensibilitas Sde Sde
N VI (Abdusen)
-gerakan mata ke lateral Sde Sde
-sikap bulbus Ortho Ortho
-diplopia Sde Sde
N VII (Fasialis)
-raut wajah Normal Normal
-sekresi air mata + +
-fisura palpebra + +
-menggerakkan dahi Tde Tde
-menutup mata + +
-mencibir/bersiul Tde Tde
-memperlihatkan gigi Tde Tde
-sensasi lidah 2/3 depan Tde Tde
-hiperakusis Sde Sde

20
N VIII (Vestibularis)
-suara berbisik Sde Sde
-rinne test Tde Tde
-weber test Tde Tde
-swabach test Tde Tde
*memanjang
*memendek
N IX (Glossofaringeus)
-sensasi lidah 1/3 blkg Tde Tde
-refleks muntah (Geg Rx) Sde Sde
N X (Vagus)
-Arkus faring Sde
-uvula Sde
-menelan Buruk
-artikulasi Sde
-suara Sde
-nadi Baik
N XI (Asesorius)
-menoleh ke kanan Sde
-menoleh ke kiri Sde
-mengangkat bahu kanan Tde
-mengangkat bahu kiri Tde
N XII (Hipoglosus)
-kedudukan lidah dalam Sde
-kedudukan lidah Sde
dijulurkan
-tremor Sde
-fasikulasi Sde
-atropi Sde

21
5. Pemeriksaan Fungsi Motorik :
Motorik Superior Inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Pergerakan Pasif Pasif Pasif Pasif
Kekuatan Sde Sde Sde Sde
Tonus otot Sde Sde Sde Sde
Bentuk otot Normal Normal Normal Normal

6. Sensorik

- Eksteroseptif Nyeri : Sde


Suhu : Tde
Raba halus : Sde
- Propioseptif Rasa sikap : Sde
Nyeri dalam : Tde
- Fungsi kortikal Diskriminasi : Sde
Stereognosis : Sde

7. Sistim Refleks

a. Releks fisiologis
Biceps : +2/+2
Triceps : +2/+2
Patella : +2/+2
Achilles : +2/+2
b. Releks Patologis
Hoffman : (-)
Trommer : (-)
Babinsky : (-)

22
Chadock : (-)
Gordon : (-)
Schaefer : (-)
Oppenheim : (-)
8. Cerebellum

- Gangguan Koordinasi
Tes jari hidung : Tde
Tes pronasi-supinasi : Tde
Tes tumit : Tde
Tes pegang jari : Tde
- Gangguan keseimbangan
Tes Romberg : Tde
9. Kolumna Vertebralis

- Inspeksi : Normal
- Pergerakan : Sde
- Palpasi : Normal
- Perkusi : Tde
10. Fungsi otonom

miksi : Kurang baik


defekasi : Kurang baik
sekresi keringat : baik

Resume
Pasien laki-laki, 46 tahun, mengalami penurunan kesadaran, disertai demam
tinggi sejak 2 minggu sebelum MRS. Didapatkan tanda peningkatan TIK seperti nyeri
kepala semakin memberat, dan muntah. Terdapat riwayat kejang 2 kali, penurunan
nafsu makan dan pasien berbicara ngelantur disertai halusinasi visual. Terdapat
riwayat sakit telinga menjalar ke mata, dan ISPA 1 bulan yang lalu. Dari pemeriksaan

23
fisik didapatkan kesadaran koma (GCS: E2V2M3) , demam (suhu: 39,2oC), dan tanda
rangsang meningeal positif, serta disfagia.

Diagnosis
Diagnosa klinis : Double hemiparese, kejang, demam, penurunan kesadaran,
tanda peningkatan TIK, perubahan status mental, disfagia.
Diagnosa topis : Ensefalon
Diagnosa etiologi : Virus
DD : Bakteri
Diagnosa banding : Meningitis virus/bacterial
Abses serebri
Tumor serebri

Planning Diagnosis

CT-Scan kepala dengan kontras.


Pemeriksaan darah lengkap
Cek HIV Rapid test
Cek elektrolit
Pemeriksaan cairan serobrospinal
EEG

Planning Terapi
Non Medikamentosa

- Bedrest, head up: 20-30o


- Pasang NGT
- Pasang Kateter urine
Medikamentosa

24
IUFD RL 20tpm
Inj Dexametason 5 mg / 6 jam ( Sediaan 1 ampul: 5mg / 5 ml)
Inj Ceftriaxone 2 gram/ 12 jam (Sediaan injeksi bubuk: 2gram)
Inj Vancomycin 500 mg/ 8 jam (Sediaan 1 vial: 500 mg)
Inj Manitol 6 x 500 cc ( Sediaan kalf: 500cc)
Infus Paracetamol 1 gram/8 jam (Sediaan infuse 1000mg/100mL)
Inj Citicolin 250mg/ 8 jam (Sediaan 1 amp: 250mg/2ml)

Planning Monitoring

- Keluhan dan kesadaran pasien


- Tanda-tanda vital
- Tanda-tanda kejang
- Urine output
- Asupan nutrisi

Prognosis:
Quo ad vitam : dubia et malam
Quo ad sanam : dubia et malam
Quo ad functionam : dubia et malam

25
Pemeriksaan Penunjang

Lab:
16/04/ 16/04/
Parameter Nilai Normal Parameter Nilai Normal
2017 2017

HGB 12,5 13,0 18,0[g/dL] GDS 162 <160 [mgl/dl]

RBC 4,58 4,5 5,5 [10^6/uL] Kreatinin 0,87 0,9-1,3 [mgl/dl]

HCT 38,4 40,0-50,0 [%] Ureum 39 10-50 [mgl/dl]

WBC 10,7 4,0 11,0 [10^3/ L] SGOT 14 <40 [mgl/dl]

EO% 1.5 0-1 % SGPT 21 <41 [mgl/dl]

NUT% 33,8 50-70 % Na 136 135-146 [mmo/l]

LYMPH% 61,2 25-33 % Ka 3,6 3,4-5,4 [mmo/l]

MONO% 3,5 3-8 % Cl 99 95-108 [mmo/l]

PLT 269 150-400 [10^3/ L]

26
CT-scan kepala(17/04/2017): kesan normal

27
PEMBAHASAN

Pasien laki-laki usia 46 tahun, datang ke RSUP NTB dengan keluhan tidak
sadarkan diri mulai sejak 1 minggu yang lalu. Pasien mengalami demam tinggi sejak
2 minggu yang lalu, menandakan pasien kemungkinan mengalami infeksi. Pasien
juga mengeluhkan ada nyeri kepala yang semakin memberat sejak 2 minggu yang
lalu, disertai dengan muntah sebanyak 1 kali sebelum pasien tidak sadarkan diri, hal
ini kemungkinan terjadi karena tanda peningkatan tekanan intracranial yang terjadi
pada pasien. Pasien juga pernah mengalami kejang, kejang dapat terjadi karena
gangguan hantaran sinyal listrik diotak akibat kelainan pada otak. Pasien berbicara
ngelantur, dan mengalami halusinasi visual, hal ini terjadi akibat kelainan otak pada
pasien, yang menyebabkan terjadinya perubahan status mental pasien. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan pasien kesadaran pasien yang menurun, koma (GCS:
E2V2M3), dengan hipertermi (suhu aksilar: 39,2oC) hal ini menguatkan
kemungkinan terjadinya infeksi pada jaringan otak pasien. Infeksi pada jaringan otak
pasien, baik karena virus maupun bakteri dapat menyebabkan peradangan pada
parenkim otak yang disebut ensefalitis.
Dasar penegakan diagnosis ensefalitis, dapat ditandai dengan adanya trias
ensefalitis, yaitu:

Demam
Kejang
Penurunan kesadaran
Pada pasien ini, terjadi demam sejak 2 minggu sebelum MRS, disertai dengan
riwayat kejang sebanyak 2 kali, serta penurunan kesadaran. Gejala-gejala penyerta
yang terjadi pada pasien, seperti terjadinya tanda peningkatan tekanan intrakranial,
tanda radang SSP seperti kaku kuduk, tanda Kernig, disfagia, double hemiparese,
gangguan mental, gangguan bicara merupakan gejala-gejala yang menguatkan
diagnosis ke arah ensefalitis. Pasien juga memiliki riwayat ISPA, virus-virus

28
penyebab peradangan pada otak dapat masuk melalui saluran pernapasan, yang
nantinya menyebar ke otak melalui hematogen maupun neuron.
Untuk meyakinkan penegakan diagnosis ensefalitis, diperlukan beberapa
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien adalah
CT-Scan kepala tanpa kontras yang tidak menunjukkan kelainan, sehingga mungkin
diperlukan pemeriksaan CT-Scan kepala dengan kontras. Selain itu, dilakukan
pemeriksaan darah lengkap pada pasien didapatkan jumlah leukosit yang masih
dalam rentang normal, namun didominasi oleh sel lymphosit (61,2 %), hal ini sering
terjadi pada ensefalitis. Pemeriksaan rapid test HIV perlu dilakukan untuk
mengetahui status pasien, karena virus HIV selain menyebabkan langsung terjadinya
ensefalitis, juga menyebabkan terjadinya penurunan imunitas pada pasien yang
menyebabkan pasien mudah terserang agen infeksius lain yang dapat
memperburuk/menyebabkan terjadinya ensefalitis itu sendiri. Dalam penegakkan
diagnosis dan tatalaksana yang tepat mungkin diperlukan pemeriksaan tambahan
yaitu mulai dari pemeriksaan CSS, MRI, EEG, dapat membantu menunjang diagnosis
dan kultur untuk mengetahui apakah penyebabnya virus atau bakteri berserta
jenisnya.
Pada tatalaksana pasien ini, pemberian deksametason jangka pendek bertujuan
sebagai anti-inflamasi dengan menekan atau mencegah edem cerebri terhadap proses
inflamasi dan menghambat akumulasi sel yang mengalami inflamasi. Pada kasus ini,
karena penyebab ensefalitis masih belum diketahui apakah virus maupun bakteri
maka diberikan terapi antibiotik berupa cefrtiaxon dan antivirus vancomycin.
Pemberian obat-obatan lain juga penting untuk mengurangi gejala lainnya, seperti
pemberian manitol untuk menurunkan tekanan intrakranial pada pasien, serta
paracetamol infus untuk menurunkan demam yang terjadi pada pasien.
Prognosis pasien yang buruk terjadi karena dapat terjadi karena pengobatan
yang terlambat pada pasien. Sering terjadi keterlambatan pemberian antivirus pada
ensefalitis virus menyebabkan angka kematian yang tinggi, bisa mencapai 70-80%.
Pasien ini meninggal setelah 1 hari dirawat di RSUP NTB, hal ini mungkin berkaitan

29
dengan keterlambatan pengobatan tersebut, dan pasien dirujuk dalam kondisi yang
kurang baik.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Lazoff M. Ensefalitis. [ Online ] February 26, 2010 [ Cited 20 Juli, 2016].


Available from : URL ;
www.emedicine.medscape.com/article/791896/overview/htm
2. Final 2008 West Nile Virus Activity in the United States. Centers for Disease
Control and Prevention. Available at http://bit.ly/fATcE1.
Accessed:http://emedicine.medscape.com/article/79189620 Juli, 2016.
3. MacDonald RD, Krym VF. West Nile virus. Primer for family
physicians. Can Fam Physician. 2005 Jun. 51:833-7.
4. Yao K, Honarmand S, Espinosa A, Akhyani N, Glaser C, Jacobson S.
Detection of human herpesvirus-6 in cerebrospinal fluid of patients with
ensefalitis. Ann Neurol. 2009 Mar. 65(3):257-67.
5. Bloch KC, Glaser C. Diagnostic approaches for patients with suspected
ensefalitis. Curr Infect Dis Rep. 2007 Jul. 9(4):315-22.
6. Hayasaka D, Aoki K, Morita K. Development of simple and rapid assay to
detect viral RNA of tick-borne ensefalitis virus by reverse transcription-loop-
mediated isothermal amplification. Virol J. 2013 Mar 4. 10(1):68.
7. Tunkel AR, Glaser CA, Bloch KC, Sejvar JJ, Marra CM, Roos KL, et al. The
management of ensefalitis: clinical practice guidelines by the Infectious
Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 2008 Aug 1. 47(3):303-27.
8. Lee EJ. Unusual findings in cerebral abscess. British journal of radiology;
2006. 79,e156-e161.
9. Zamponi N, Rossi B, Polonara G, Salvolini U. Neuropaediatric emergencies.
In : Scarabino T, Salvolini U, Jinkins JR, editors. Emergency neuroradiology.
New York : Springer ; 2006. p. 371,390-1
10. Hendrik F. Toksoplasmosis serebri sebagai manifestasi awal AIDS. [ Online ]
September 23, 2009 [ Cited April 24, 2010 ]. Available from : URL ;
http://neurology.multiply.com/journal/item/19
11. Samsi KMK. Ensefalitis / ensefalopati akibat flu burung ( infeksi virus
influenza tipe A ). [ Online ] Agustus, 2007 [ Cited April 24, 2010 ].
Available from : URL ;
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/cdk_157_Neurologi.html
12. Anonymous. Rasmussens encephalitis. [ Online ] April 16, 2010 [ Cited
April 20, 2010]. Available from : URL ;
http://en.wikipedia.org/wiki/Rasmussen%27s_encephalitis
13. Hermans R. Imaging techniques. In : Head and neck cancer imaging.
Germany : Springer ; 2006. p. 32, 38-9
14. Moritani T, Ekhlom S, Westesson PL. Pediatrics. In : Diffusion-weighted MR
imaging of the brain. New York : Springer ; 2005. p. 191

31
15. Anonymous. Encephalitis. [ Online ] December 21, 2004 [ Cited April 13,
2010 ]. Available from : URL ;
http://www.mdguidelines.com/encephalitis/differential-diagnosis
16. Lee EJ. Unusual findings in cerebral abscess. British journal of radiology;
2006. 79,e156-e161.

32

Anda mungkin juga menyukai