Konjungtivitis Virus
Konjungtivitis Virus
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Etiologi
Adenovirus merupakan virus paling sering menyebabkan
konjungtivitis. Konjungtivitis demam faringokonjungtiva
disebabkan adenovirus tipe 3, 4, dan 7. Sedangkan
keratokonjungtivitis epidemi disebabkan adenovirus tipe 8, 19,
29, dan 37.3,5 Adenovirus mudah menular. Transmisi biasanya
melalui sekret yang dihasilkan mata yang terinfeksi.
Keratokonjungtivitis epidemi memiliki gejala klinis berupa
konjungtivitis folikular, sekret cair, hiperemis, kemosis,
pembesaran kelenjar getah bening preaurikel, dan terkadang
terbentuk membran atau pseudomembran. Infeksi virus
biasanya akut dan bersifat self-limiting. Infeksi adenovirus
biasanya membaik sekitar 14 hari setelah muncul gejala
klinis.3,5 Keterlibatan kornea kadang terjadi sehingga
penurunan visus dapat ditemukan pada penderita.
Konjungtivitis demam faringokonjungtiva lebih sering terjadi
pada anak-anak daripada orang dewasa. Gejala berupa
konjungtiva hiperemis, demam, faringitis, pembesaran kelenjar
getah bening preaurikular, sekret cair, fotofobia,
pseudomembran, kelopak mata bengkak. Masa inkubasi
sekitar 2 minggu.
Infeksi oleh herpes simpleks lebih jarang terjadi
dibanding adenovirus, namun gejala yang ditimbulkan terasa
lebih berat karena sering melibatkan kornea yang
menyebabkan kebutaan. 3
Konjungtiva herpetik umumnya
disebabkan HSV tipe I. Herpes tipe 2 lebih sering mengenai
genital, namun juga dapat menyebabkan konjungtivitis okular
bila mata terkena cairan genital misalnya neonatus yang
terinfeksi lewat jalan lahir. Herpes sering menyerang anak-
anak dengan gejala iritasi, sekret mukosa, dan nyeri. Infeksi
primer dapat berupa konjungtivitis bulbi yang sifatnya
unilateral. Kadang disertai erupsi vesikular eritematosa pada
tepi palpebra. Vesikel kadang muncul di tepi palpebra.
Gambaran konjungtivitis folikular sering ditemui dengan
pembesaran kelenjar getah bening preaurikular.5
Infeksi primer varisela zoster virus berupa cacar air dan
infeksi sekunder berupa zoster. Infeksi dapat terjadi akibat
kontak langsung dengan lesi kulit atau dengan inhalasi sekret
dari traktus respiratorius yang terinfeksi varisela zoster virus. 3
Gejala pada mata teradi bila VZV menyerang saraf trigeminus
cabang oftalmika. Gejala klinis berupa konjungtiva hiperemis,
vesikel, pseudomembran, papil, dan pembesaran kelenjar
preaurikel. Penemua sel raksasa pada pewarnaan giemsa,
kultur virus, dan inklusi intranuklear dapat menegakkan
diagnosis konjungtivitis varisela zoster.5
Moluskum kontagiosum dapat menyebabkan konjungtivitis
folikular yang terjadi akibat adanya partikel virus pada sakus
konjungtiva dari lesi kelopak mata yang iritatif.3
Virus pikorna tipe CA24 dan EV70 menyebabkan
konjungtivitis hemoragik akut yang memiliki gambaran klinis
mirip konjungtivitis adenovirus, namun lebih parah karena
diserta perdarahan konjungtiva. Infeksi sangat mudah menular
dan terjadi endemik. Konjungtivitis hemoragik akut ditandai
dengan kongesti konjungtiva, dilatasi pembuluh darah, dan
edema. Infeksi virus biasanya menimbulkan respon sel
mononuklear.3
2.2 Patogenesis
Hiperemis
injeksi gabungan
Gambar 1
Eksudasi (Discharge)
Jumlah dan jenis eksudat yang keluar dari mata tergantung
pada etiologi:
Bakterial: eksudat yang purulen atau mukopurulen
Viral: eksudat yang cair, lebih jernih
Alergi: eksudat putih kental
Toksik: tanpa eksudat
Kemosis
Epifora
Folikel
Hipertrofi papilar
Pembengkakan limfonodus
Keratokonjungtivitis adenovirus
Demam faringokonjungtiva
Diakibatkan oleh adenovirus tipe 3, 4, 7 dan 5 (jarang).
Transmisi melalui droplet dan mengenai anak-anak yang juga
mengalami infeksi saluran pernapasan atas. Keratitis terjadi
pada 30% kasus yang berat.
Keratokonjungtivitis epidemika
Hipertropi papil
Keratitis (dendritik)
2.4 Tatalaksana
Konjungtivitas virus umumnya dapat sembuh dengan
sendirinya. Penatalaksanaan konjungtivitis viral pada dasarnya
hanya berupa terapi simptomatik, seperti kompres dingin dan
pelumas, seperti air mata artifisial, untuk kenyamanan pasien.
Vasokonstriktor topikal dan antihistamin dapat digunakan
untuk mengatasi gatal yang tidak dapat ditahan oleh pasien,
walaupun secara umum hanya sedikit membantu dan dapat
menyebabkan gejala muncul kembali setelah pengobatan
dihentikan, toksisitas lokal, dan hipersensitivitas. Pada pasien
yang rentan dengan superinfeksi bakteri, dapat diberikan
antibiotik.3
BAB III
ILUSTRASI KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny N
Tanggal lahir : 05 Des 1975
Usia : 36 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Guru
Alamat : Jatiraden, Bekasi
Agama : Islam
B. Anamnesis
Keluhan Utama
Kedua mata merah dan gatal 1 minggu SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien wanita 36 tahun mengeluh mata merah, sangat gatal,
dan mengganjal sejak 1 minggu SMRS. Awalnya mata merah
yang kanan kemudian merambat ke mata kiri. Keluhan disertai
mata berair dan belekan. Mata sulit dibuka terutama saat
bangun tidur di pagi hari. Pasien mengaku awalnya suami
pasien yang mengalami mata merah kemudian menular ke
anaknya dan pasien. Pasien tidak menglami penurunan
penglihatan dan pandangan kabur. Sebelumnya tidak ada
trauma mata. Pasien tidak mengalami mual, muntah, dan sakit
kepala. Pasien sempat menggunakan cendo xitrol namun tidak
ada perbaikan. Riwayat diabetes melitus dan hipertensi
disangkal. Pasien tidak memiliki riwayat alergi.
C. Pemeriksaan Umum
Kesadaran : CM
Tekanan darah : 120/80
Nadi : 100x/menit
Suhu : 36.50C
Pernapasan : 20x/menit
Keadaan umum : baik
Keadaan gizi : baik
Tinggi badan : 165 cm
Berat badan : 55 kg
D. Pemeriksaan fisik
Pembesaran kelenjar getah bening pre aurikuler
E. Status Oftalmologi
F. Resume
Wanita, 36 tahun, datang dengan keluhan kedua mata merah
dan gatal sejak 1 minggu SMRS. Nyeri (-), sakit kepala (-), mual
(-), muntah (-). Awalnya suami pasien mengalami mata merah,
lalu anak dan pasien. Pada pemeriksaan oftalmologi
ditemukan visus OD 6/12 terkoreksi dengan pinhole dan visus
OS 6/6, palpebra edema, konjungtiva tampak hiperemis. Pada
pemeriksaan fisik, didapatkan pembesaran kelenjar getah
bening pre aurikuler. Tidak terdapat kelainan pada gerakan
bola mata, posisi bola mata, bilik mata, iris, pupil, vitreus, dan
funduskopi.
G. Diagnosis
Konjungtivitis e.c infeksi virus
H. Tatalaksana
Floxa 6x ODS
Nonflamin 3x1
I. Prognosis
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanactionam : bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
1 Centers for Disease Control and Prevention. Conjunctivitis.
Diunduh dari www.cdc.gov Pada 13 November 2012
2 Mark Wood. Conjunctivitis: Diagnosis and Management.
Community Eye Health. 1999; 12(30): 1920. Diunduh dari
www.ncbi.nlm.nih.gov pada 13 November 2012
3 Scott IU. Viral Conjunctivitis. 2011. Diunduh dari
medscape.com pada 13 November 2012
4 Konjungtivitis. Diunduh dari repository.usu.ac.id pada 13
November 2012
5 Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI. 2011. Hal 128-129
6 American Academi of Ophthalmology. External Disease and
Cornea. 2012. P 104
7 Artini W, Hutauruk JA, Yudisianil. Pemeriksaan Dasar
Mata.Jakarta: Badan Penerbit FKUI. 2011. Hal 42-55
8 Vaughan DG, Asbury T, Eva PR; alih bahasa Tambajong J,
Pendit BU. Oftalmologi Umum Edisi 14. Jakarta: Widya
Medika. 2000.
Lang GK. Opthalmology: A Short Textbook. New York: Thieme
Stuttgart;2000. P.535-41.67-113.