Anda di halaman 1dari 13

Reading Assignment Acc Supervisor

Div. Pulmonologi Alergi Imunologi

Presentator : dr. Indah Maulidawat Dr. E.N. Keliat, Sp.PD-KP

Evaluasi Paru Perioperatif


Indah Maulidawati
Divisi Pulmonologi Alergi Imunologi Dept. Ilmu Penyakit Dalam
FK USU/ RSUP HAM/ RSPM
I. PENDAHULUAN

Komplikasi paru pasca operasi memiliki peran penting dalam resiko operasi dan anestesi.
Komplikasi paru pascaoperasi yang paling penting adalah atelektasis, pneumonia, gagal
nafas, dan eksaserbasi penyakit paru kronis yang mendasarinya. Komplikasi paru
pascaoperasi sama-sama lazim dan berkontribusi sama dengan komplikasi jantung dalam hal
morbiditas, mortalitas dan lama rawatan. Komplikasi paru dibandingkan komplikasi jantung
lebih mungkin untuk memprediksi kematian setelah operasi, khususnya pada pasien yang
lebih tua.

Evaluasi medis sebelum operasi memungkinkan dokter untuk mencapai dua tujuan yang
berbeda namun terkait: (1) untuk memprediksi risiko komplikasi pasca operasi, dan (2) untuk
mengurangi risiko komplikasi. Gol pertama biasanya dicapai melalui indeks penilaian risiko
yang memprediksi kejadian komplikasi. Bukti yang diperlukan untuk mengembangkan dan
memvalidasi indeks risiko diperoleh melalui pengamatan, kelompok, dan studi kasus-kontrol.
Gol kedua dicapai melalui intervensi untuk mengurangi risiko pra operasi dan perioperatif.

Tujuan utama dari tulisan ini adalah untuk menyajikan strategi untuk penilaian risiko
preoperatif terjadinya komplikasi paru pasca operasi (PPC) untuk pasien yang menjalani
operasi noncardiac. Tujuan kedua adalah untuk membedakan antara faktor-faktor yang
berguna untuk penilaian risiko pra operasi dan yang memberikan target potensial untuk
mengurangi risiko komplikasi paru.

1
II. A.INSIDENSI
Insiden PPC pada pasien yang menjalani bedah noncardiothoracic bervariasi (dari 2
hingga 19%),(Tabel 1). Pada pasien yang menjalani operasi kardiotoraks, kejadian tersebut
berkisar 8-39%. Terlepas dari jenis operasi yang dilakukan, PPC memperpanjang rawat inap.

B. REKOMENDASI
Rekomendasi 1: Semua pasien yang menjalani operasi noncardiothorak harus dievaluasi
adanya faktor-faktor risiko berikut yang signifikan untuk komplikasi paru pasca operasi
untuk menerima intervensi pra-dan pasca operasi untuk mengurangi risiko paru: penyakit
paru obstruktif kronik, usia tua > 60 tahun, American Society of Anesthesiologists (ASA)
kelas II atau lebih, ketergantungan fungsional, dan gagal jantung kongestif. Berikut ini
bukan merupakan faktor risiko yang signifikan untuk komplikasi paru pasca operasi:
obesitas dan asma ringan atau sedang.
Rekomendasi 2: Pasien yang menjalani prosedur berikut berada pada risiko tinggi untuk
komplikasi paru pasca operasi dan harus dievaluasi untuk faktor-faktor risiko bersamaan
dan menerima intervensi pra-dan pasca operasi untuk mengurangi komplikasi paru:
pembedahan yang lama (>3 jam), operasi abdomen, operasi thorak, bedah saraf, bedah

2
kepala dan leher, bedah vaskuler, perbaikan aneurisma aorta, operasi darurat, dan anestesi
umum.
Rekomendasi 3: Tingkat albumin serum yang rendah (<35 g / L) merupakan penanda
kuat peningkatan risiko komplikasi paru pasca operasi dan harus dinilai pada semua
pasien yang secara klinis dicurigai hipoalbuminemia, pengukuran harus dipertimbangkan
pada pasien dengan 1 atau lebih faktor risiko untuk komplikasi paru perioperatif.
Rekomendasi 4: Semua pasien yang setelah evaluasi preoperative ditemukan berada pada
risiko tinggi untuk komplikasi paru pasca operasi harus menerima prosedur pasca operasi
berikut untuk mengurangi komplikasi: 1) latihan pernapasan atau spirometri insentif dan
2) penggunaan selektif dari nasogastrik tube (seperti yang diperlukan untuk mual dan
muntah, ketidakmampuan untuk mentoleransi asupan oral, atau gejala distensi perut).
Rekomendasi 5: Spirometri dan radiografi dada preoperative tidak perlu digunakan secara
rutin untuk memprediksi risiko komplikasi paru pasca operasi.
Test fungsi paru atau radiografi dada preoperative mungkin tepat pada pasien dengan
diagnosis sebelumnya penyakit paru obstruktif kronik atau asma
Rekomendasi 6: Prosedur berikut sebaiknya tidak digunakan semata-mata untuk
mengurangi risiko komplikasi pasca operasi paru: 1) kateterisasi jantung kanan dan 2)
nutrisi parenteral total atau nutrisi enteral total (untuk pasien yang kekurangan gizi atau
memiliki albumin serum rendah).

C.FAKTOR RESIKO
1. Faktor resiko yang berkaitan dengan pasien
a. Usia
Suatu studi menemukan bukti bahwa usia lanjut merupakan prediktor penting dari
komplikasi paru pasca operasi, bahkan setelah penyesuaian untuk kondisi komorbiditas.
Rasio odds adalah 2,09 (95% CI, 1,70-2,58) untuk pasien 60 sampai 69 tahun dan 3,04
(CI, 2,11-4,39) untuk usia 70 sampai 79 tahun dibandingkan pasien yang lebih muda (<60
tahun) .

b. Penyakit Paru Kronis

3
Di antara studi yang melaporkan analisis multivariabel, penyakit paru obstruktif kronik
merupakan faktor risiko yang paling sering diidentifikasi untuk komplikasi paru pasca
operasi (rasio odds, 1,79 [CI, 1,44-2,22]). Tidak ada studi yang memenuhi syarat dalam
menentukan risiko tambahan untuk komplikasi paru pasca operasi pada pasien dengan
penyakit paru kronis restriktif atau restriktif fisiologis akibat penyakit neuromuskuler
atau cacat dinding dada, seperti kyphoscoliosis. Sementara dokter dapat
mempertimbangkan pasien tersebut memiliki peningkatan risiko komplikasi paru pasca
operasi, literatur tidak mendukung perkiraan besarnya risiko dalam kelompok ini.
c. Merokok
Data yang tersedia adalah campuran tapi menunjukkan sedikit peningkatan dalam risiko
komplikasi pasca operasi paru di kalangan perokok. Rasio odds untuk penggunaan rokok
adalah 1,26 (CI, 1,01-1,56). Hal ini penting untuk menilai riwayat status merokok saat ini
dan dukungan untuk intervensi penghentian merokok sangat awal dalam persiapan untuk
operasi tidak darurat.
c. Congestive Heart Failure
Bukti evidence mengidentifikasi Congestive Heart Failure sebagai faktor risiko yang
signifikan untuk komplikasi paru pasca operasi (rasio odds, 2,93 [CI, 1,02-8,43]).
d. Ketergantungan Fungsional
Studi menunjukkan bahwa ketergantungan fungsional merupakan prediktor penting dari
komplikasi paru pasca operasi. Ketergantungan total adalah ketidakmampuan untuk
melakukan kegiatan hidup sehari-hari, dan ketergantungan parsial adalah kebutuhan
untuk peralatan atau perangkat dan bantuan dari orang lain untuk beberapa aktivitas
hidup sehari-hari. Rasio odds adalah 2,51 (CI, 1,99-3,15) untuk ketergantungan total dan
1,65 (CI, 1,36-2,01) untuk ketergantungan parsial.
e. Klasifikasi ASA
Penilaian terpadu bberapa komorbiditas telah dievaluasi sebagai prediktor potensi
komplikasi paru pasca operasi. Klasifikasi ASA (Tabel) bertujuan untuk memprediksi
tingkat kematian perioperatif tetapi telah terbukti untuk memprediksi kedua komplikasi
paru dan jantung pasca operasi . Tingginya kelas ASA dikaitkan dengan peningkatan
risiko dimana ASA kelas II atau lebih besar dibandingkan dengan kelas ASA kurang dari

4
II (rasio odds, 4,87 [CI, 3,34-7,10]) dan ketika ASA kelas III atau lebih besar
dibandingkan dengan kelas ASA kurang dari III (rasio odds, 2,25 [CI, 1,73-3,76]).

f. Obesitas
Studi yang mengevaluasi komplikasi paru setelah operasi umumnya tidak menemukan
peningkatan risiko yang timbul karena obesitas, bahkan untuk pasien dengan obesitas
morbid. Definisi obesitas bervariasi dari indeks massa tubuh lebih dari 25 kg/m2 sampai
"obesitas morbid." Tingkat komplikasi paru pascaoperasi 6,3% dan 7,0% untuk pasien
obesitas dan nonobes, dalam studi yang dilaporkan hanya data univariat.
g. Asma
Bukti kuat menunjukkan bahwa asma bukan merupakan faktor risiko untuk komplikasi
paru pasca operasi. Hanya 1 dari 4 studi yang meneliti tingkat komplikasi paru pasca
operasi antara pasien dengan asma termasuk kelompok kontrol, tingkat resikonya adalah
3%.
h. Obstructive Sleep Apnea
Obstructive sleep apnea meningkatkan risiko kesulitan manajemen jalan nafas pada
periode segera pasca operasi,namun pengaruhnya terhadap komplikasi paru pasca operasi
belum diteliti dengan baik. Satu studi univariat tunggal mengevaluasi risiko karena
obstructive sleep apnea pada pasien yang menjalani operasi lutut atau pinggul. Dalam
studi kasus-kontrol, hasil yang tidak signifikan menunjukkan tingkat yang lebih tinggi
dalam hal reintubasi, hypercapnia, dan hipoksemia untuk pasien dengan obstructive sleep
apnea. Temuan ini menunjukkan bahwa tingkat komplikasi pasca operasi paru mungkin

5
lebih tinggi di antara pasien dengan obstructive sleep apnea, tapi ini perlu dikonfirmasi
oleh studi lanjutan.
i. Gangguan Sensorium, Temuan Abnormal pada Pemeriksaan Dada, Penggunaan
Alkohol, dan Berat Badan
Studi menunjukkan bahwa gangguan sensorium, temuan abnormal pada pemeriksaan
dada, penggunaan alkohol, dan penurunan berat badan meningkatkan risiko komplikasi
paru pasca operasi. Gangguan sensorium didefinisikan sebagai 1) pasien bingung
(confused) atau mengigau terjadi secara akut yang mampu merespon rangsangan verbal,
stimulasi taktil ringan, atau keduanya, atau 2) pasien dengan perubahan status mental,
delirium, atau keduanya dalam konteks penyakit saat ini. Definisi ini tidak termasuk
pasien dengan penyakit mental yang stabil kronis atau demensia.
j. Kapasitas latihan, Diabetes, dan Infeksi HIV
Bukti tidak cukup untuk mendukung apakah kapasitas latihan, diabetes, dan infeksi HIV
merupakan faktor risiko independen untuk komplikasi paru pasca operasi.

2. FAKTOR RESIKO BERHUBUNGAN DENGAN PROSEDUR TINDAKAN


a. Daerah pembedahan
Bukti kuat menunjukkan bahwa prosedur berikut berhubungan dengan peningkatan risiko
komplikasi paru pasca operasi: perbaikan aneurisma aorta, bedah toraks, bedah abdomen,
operasi abdomen bagian atas, bedah saraf, bedah yang lama, bedah kepala dan leher,
operasi darurat, dan bedah vaskular.
b. Durasi Bedah
Empat studi yang menggunakan analisis multivariabel menemukan durasi operasi yang
lama, mulai dari 3 sampai 4 jam, menjadi prediktor independen dari komplikasi paru
pasca operasi (odds ratio, 2,14 [CI, 1,33-3,46]).
c. Teknik anestesi
Empat penelitian menyediakan perkiraan risiko yang berkaitan dengan anestesi umum,
rasio odds adalah 1,83 (CI, 1,35-2,46).

d. Bedah darurat
6
Di antara studi analisis multivariabel, 6 studi melaporkan operasi darurat sebagai
prediktor signifikan dari komplikasi paru pasca operasi, rasio odds adalah
2.21 (CI, 1,57-3,11).

D. EVALUASI KLINIS PREOPERATIF1

1. Spirometri
Meskipun spirometri mendiagnosa penyakit paru obstruktif, tetapi tidak memprediksi
risiko yang efektif untuk setiap pasien. Selain itu, beberapa studi menunjukkan
data spirometri dibandingkan dengan data klinis belum konsisten menunjukkan
spirometri lebih unggul dibandingkan riwayat dan pemeriksaan fisik dalam memprediksi
komplikasi paru pasca operasi. Ada konsensus mengenai perlunya spirometri sebelum
reseksi paru dan dalam menentukan kandidat untuk bypass arteri koroner, tetapi tetap
belum terbukti manfaatnya. Data tidak menunjukkan nilai batas spirometri yang dapat

7
menjadi resiko operasi. Oleh karena itu, spirometri dilakukan pada pasien yang diduga
memiliki penyakit paru obstruktif kronik.
2. Chest Radiographs
Dokter sering mendapatkan radiografi dada sebagai bagian dari evaluasi pra operasi rutin.
Sebagian besar dari studi nilai radiograf dada preoperatif, tidak menemukan komplikasi
paru pasca operasi sebagai hasil primer tetapi dievaluasi frekuensi perubahan terapi
perioperatif. Dalam sebuah studi terbaru, ditemukan bahwa 23,1% dari radiograf dada pra
operasi yang abnormal tetapi hanya 3% memiliki temuan klinis cukup penting untuk
mempengaruhi terapi perioperatif. Review yang sebelumnya menemukan bahwa 10%
dari radiograf dada pra operasi yang abnormal tetapi hanya 1,3% menunjukkan kelainan
klinis dan hanya 0,1% mempengaruhi terapi. Dengan demikian, bukti menunjukkan
bahwa dokter dapat memprediksi radiograf dada abnormal pra operasi melalui riwayat
dan pemeriksaan fisik dan tes ini jarang memberikan informasi tak terduga yang
mempengaruhi manajemen pra operasi. Ada beberapa bukti bahwa tes ini sangat
membantu untuk pasien dengan penyakit kardiopulmonal terdiagnosis dan pasien berusia
lebih dari 50 tahun yang akan menjalani operasi abdominal atas, dada, atau aneurisma
aorta abdominalis.
3. AGDA
Hipercapnia dengan PaCO 2 lebih besar dari 45 mm Hg merupakan faktor risiko yang

kuat untuk komplikasi paru meskipun tidak merupakan suatu kontraindikasi absolut
untuk operasi. Hipoksemia adalah prediktor komplikasi yang kurang signifikan. Pasien
yang menjalani bedah toraks, jantung atau perut yang memiliki dyspnea atau yang
merokok harus memiliki analisis preoperative gas darah arteri.
4. Blood Urea Nitrogen
Studi mendukung kadar serum Blood Urea Nitrogen 7,5 mmol / L atau lebih (>21 mg /
dL) sebagai faktor risiko. Namun, besarnya risiko tampaknya lebih rendah dari albumin
serum yang rendah .

5. Albumin serum
Empat studi yang melaporkan analisis univariat tingkat komplikasi pasca operasi paru
berkaitan dengan kadar albumin serum dan menggunakan batas 36 g / L untuk
8
mendefinisikan nilai rendah. Nilai resiko komplikasi paru pasca operasi untuk pasien
dengan kadar albumin serum rendah dan normal masing-masing 27,6% dan 7,0%,. dalam
analisis multivariabel, tingkat albumin serum rendah terbukti menjadi prediktor penting
dari komplikasi paru pasca operasi (nilai rendah didefinisikan bervariasi 30-39 g / L). The
National VA Surgical Risk Study melaporkan bahwa tingkat albumin serum yang rendah
juga merupakan prediktor yang penting dari morbiditas dan mortalitas 30-hari
perioperatif. Dalam laporan ini, hubungan antara tingkat albumin serum dan kematian
adalah terus-menerus ketika nilainya berada di bawah 35 g / L.
E. INDEKS RESIKO UNTUK PENILAIAN KOMPLIKASI PARU

9
F. STRATEGI PENGURANGAN RESIKO4

10
Tujuan tatalaksana perioperatif adalah untuk menurunkan kemungkinan
komplikasi paru pasca operasi. Berhenti merokok minimal 8 minggu sebelum operasi
secara bermakna menurunkan insiden komplikasi paru pada pasien yang menjalani
operasi bypass arteri koroner. Epidural analgesia pascaoperasi mengurangi tingkat
komplikasi paru pada pasien dengan risiko tinggi. Dalam satu studi, misalnya, 75 pasien
yang menjalani kolesistektomi, termasuk 31 dengan penyakit paru, secara acak diberikan
epidural analgesia atau parenteral narcotics. Tingkat komplikasi paru adalah 24 persen
dan 56 persen, masing-masing. Hipotensi lebih umum di antara pasien yang menerima
epidural analgesia, tetapi merespon terhadap pengobatan dan bukan merupakan penyebab
morbiditas. Epidural analgesia pascaoperasi dianjurkan setelah operasi resiko tinggi
toraks, abdomen, dan pembuluh darah besar.
Terdapat beberapa bukti bahwa insiden komplikasi paru pasca operasi pada pasien
PPOK atau asma dapat diturunkan dengan optimalisasi fungsi paru sebelum operasi.
Pasien dengan mengi akan memperoleh keuntungan dengan pemberian preoperasi
bronkodilator dan pada kasus tertentu kortikosteroid. Antibiotik diberikan pada pasien
yang batuk dengan sputum purulen sampai sputum bersih sebelum operasi. Pasien yang
telah mendapatkan teofilin oral, diberikan teofilin intravena selama dan setelah operasi
jika perlu. Pasien dengan tanda infeksi system pernapasannya pada operasi elektif harus
diatasi dulu sampai optimal infeksi tersebut, barulah dioperasi.

11
KESIMPULAN

Penilaian risiko pra operasi untuk komplikasi paru pasca operasi sangat penting
saat konseling pasien tentang risiko operasi karena morbiditas yang signifikan yang
terkait dan kematian. Ada banyak faktor risiko yang terkait dengan pasien, tindakan
operasi, dan anestesi untuk pengembangan PPCs. Meskipun banyak dari faktor-faktor
risiko yang tidak dapat dimodifikasi, mereka bisa berguna dalam mengevaluasi risiko pra
operasi, terutama bila dikombinasikan ke dalam indeks risiko formal. Penilaian risiko pra
operasi memungkinkan dokter untuk menargetkan pengujian pra operasi dan strategi
pengurangan risiko perioperatif untuk pasien berisiko tinggi. Mengurangi resiko PPC
pada tingkat pasien memerlukan pemahaman yang lebih besar tentang dampak dari faktor
risiko memodifikasi melalui uji intervensi. Mengurangi tingkat PPC di rumah sakit
memerlukan penelitian di masa depan tentang proses perawatan yang berhubungan
dengan PPCs melalui percobaan pengamatan dan intervensi terkontrol.

DAFTAR PUSTAKA

1. Bapoje SR, Whitaker JF, Preoperative Evaluation of the Patient With Pulmonary
Disease, CHEST 2007; 132:16371645.
2. Amin Z, Evaluasi dan tata Laksana Perioperatif Paru dalam Kedokteran
Perioperatif, PP IPD UI 2007, 31-40.
3. METANA GWS, PREOPERATIVE PULMONARY EVALUATION, The New
England Journal of Medicine, 1999; 340(12);937-944.
12
4. Khan MA, Hussain SF, PRE-OPERATIVE PULMONARY EVALUATION, J
Ayub Med Coll Abbottabad 2005;17(4)
5. METANA GWS, Preoperative pulmonary evaluation: Identifying and reducing
risks for pulmonary complications, CLEVELAND CLINIC JOURNAL OF
MEDICINE, 2006,73(1), S36-S41.
6. Preoperative Pulmonary Function Assessment
Diunduh dari:
http://www.meddean.luc.edu/lumen/MedEd/medicine/pulmonar/lungca/man-
preo.htm
7. Cabo FG, Grbac V, et al, PRE-OPERATIVE PULMONARY EVALUATION FOR
PULMONARY AND EXTRAPULMONARY OPERATIONS, Acta Clin Croat
2003;42;237-240.
8. Arozullah AM, Conde MV,et al, Preoperative evaluation for postoperative
pulmonary complications, Med Clin N Am 87 (2003) 153173
9. Preoperative Pulmonary Assessment
Diunduh dari:
thelungcenter.co.in/.../pre_-op_assesment. 247174754.htm

13

Anda mungkin juga menyukai