Ekossitem Mangrove
Ekossitem Mangrove
PENDAHULUAN
Hutan mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik
dan khas, terdapat di daerah pasang surut di wilayah pesisir, pantai, dan atau
pulau-pulau kecil, dan merupakan potensi sumberdaya alam yang sangat
potensial. Secara ekologis hutan mangrove di samping sebagai habitat biota laut,
juga merupakan tempat pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas. Keragaman
jenis mangrove dan keunikannya juga memiliki potensi sebagai wahana hutan
wisata dan atau penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai
ancaman sedimentasi, abrasi, pencegahan intrusi air laut, serta sebagai sumber
pakan habitat biota laut.
Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan
saling berkolerasi secara timbal balik (Siregar dan Purwaka, 2002). Masing-
masing elmen dalam ekosistem memiliki peran dan fungsi yang saling
mendukung. Kerusakan salah satu komponen ekosistem dari salah satunya
(daratan dan lautan) secara langsung berpengaruh terhadap keseimbangan
ekosistem keseluruhan. Hutan mangrove merupakan elemen yang paling banyak
berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan menetralisir bahan-
bahan pencemar.
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
Terdapat berbagai prinsip yang mendasari hubungan makhluk hidup
dengan lingkungannya, seperti makhluk hidup tidak dapat hidup pada lingkungan
yang hampa udara; segala sesuatu yang dapat mempengaruhi makhluk hidup akan
membentuk lingkungan atau faktor lingkungan yang terdiri dari faktor lingkungan
abiotik dan lingkungan biotik. Setiap jenis, individu, kelompok atau umur
makhluk hidup dipengaruhi atau membutuhkan faktor lingkungan yang berbeda-
beda.
Komponen-komponen lingkungan terdiri dari faktor-faktor lingkungan
fisiko-kimiawi dan biologi, seperti energi, tanah, gas-gas atmosfir, tumbuhan
hijau, manusia atau dekomposer. Dari analisis faktor-faktor lingkungan
berdasarkan aspek factor lingkungan yang penting, terdapat macam-macam factor
lingkungan, seperti faktor iklim, geografis dan edafis (lingkungan abiotik) dan
faktor tumbuhan, hewan, dekomposer, dan manusia sebagai lingkungan biotik.
Berkaitan dengan sifat-sifat toleransi dan adaptasi makhluk hidup terhadap
lingkungannya, terdapat beragam jenis, sifat, keanekaragaman, kelimpahan, dan
pola sebaran makhluk hidup.
3
c. Faktor topografi, yaitu meliputi pengaruh dari terrain seperti sudut kemiringan,
aspek kemiringan dan kketinggian tempat dari muka laut.
d. Faktor biotik, merupakan gambaran semua interaksi dari organisme hidup seperti
kompetisi, peneduhan dan lain lain.
Cara lain untuk menggambarkan pembagian komponen lingkungan ini seperti
yang diungkapkan oleh Billinga (1965), ia membaginya dalam dua komponen
utama yaitu komponen fisik atau abiotik dengan komponen hidup atau biotik,
yang masing masing komponen dijabarkan dalam berbagai faktio faktornya.
Untuk memahami pembagian dari Billinga ini kita lihat tabel di bawah ini:
4
- Justus von Liebig
Justus von Liebig (1840) adalah seorang pionir yang mempelajari faktor
faktor lingkungan dan menjelaskan bahwa pertumbuhan dari tanaman tergantung
pada sejumlah bahan makanan yang berada dalam kuantitas terbatas atau sedikit
sekali. Penemuannya kemudian lebih dikenal sebagai "hukum minimum
Liebig".
Hukum minimum hanya berperan dalam air untuk materi kimia yang
diperlukan untuk pertumbuhan dan reproduksi. Liebig tidak mempertimbangkan
peranan faktor lainnya, baru kemudian penelitian lainnya mengembangkan
pernyataannya yang menyangkut faktor suhu dan cahaya. Sebagai hasil
penelitiannya mereka menambahkan dua pernyataan yaitu:
a) Hukum ini berlaku hanya dalam kondisi keseimbangan yang dinamis atau stesdy-
state. Apabila masukan dan keluaran energi dan materi dari yang diperlukan akan
berubah terus dan hukum minimum tidak berlaku.
b) Hukum minimum harus memperhitungkan juga adanya interaksi di antara faktor
faktor lingkungan. Konsentrasi yang tinnggi atau ketersediaan yang melimpah
dari suatu substansi mungkin akann mempengaruhi laju pemakaian dari substansi
lain dalam jumlah yang minimum. Sering juga terjadi organisme hidup
memanfaatkan unsur kimia tambahan yang mirip dengan yang diperlukan yang
ternyata tidak ada di habitatnya. Contoh yang baik adalah tidak adanya kalsium di
suatu habitat tetapi stronsium melimpah, beberapa moluska mampu
memanfaatkan stronsium ini untuk membentuk cangkangnya. Dalam ekologi
tumbuhan faktor lingkungan sebagai faktor ekologi dapat dianalisis menurut
bermacam-macam faktor. Satu atau lebih dari faktor-faktor tersebut dikatakan
penting jika dapat mempengaruhi atau dibutuhkan, bila terdapat pada taraf
minimum, maksimum atau optimum menurut batas-batas toleransinya.
Sifat toleransi dan penyesuaian diri yang diperlihatkan oleh tumbuh-
tumbuhan atau bagian dari anggota tubuhnya terhadap sesuatu perubahan kondisi
atau keadaan dari faktor-faktor lingkungan tertentu dinamakan adaptasi, yang
dapat diperoleh secara heriditer (dikontrol secara genetis) atau oleh induksi
sesuatu factor lingkungan dan habitatnya.
5
Tumbuhan untuk dapat hidup dan tumbuh dengan baik membutuhkan
sejumlah nutrien tertentu (misalnya unsur-unsur nitrat dan fosfat) dalam jumlah
minimum. Jika hal tersebut tidak terpenuhi maka pertumbuhan dan
perkembangannya akan terganggu. Dalam hal ini unsur-unsur tersebut sebagai
faktor ekologi berperan sebagai faktor pembatas.
Faktor-faktor lingkungan sebagai faktor pembatas ternyata tidak saja
berperan sebagai faktor pembatas minimum, tetapi terdapat pula faktor pembatas
maksimum. Bagi tumbuhan tertentu misalnya factor lingkungan seperti suhu
udara atau kadar garam (salinitas) yang terlalu rendah/sedikit atau terlalu
tinggi/banyak dapat mempengaruhi berbagai proses fisiologinya. Faktor-faktor
lingkungan tersebut dinyatakan penting jika dalam keadaan minimum, maksimum
atau optimum sangat berpengaruh terhadap proses kehidupan tumbuh-tumbuhan
menurut batas-batas toleransi tumbuhannya.
- V.E Shelford
Faktor-faktor lingkungan penting yang berperan sebagai sifat toleransi
faktor pembatas minimum dan faktor pembatas maksimum yang pertama kali
dinyatakan oleh V.E. Shelford (1913), kemudian dikenal sebagai "hukum
toleransi Shelford". Shelford menyebutkan bahwa tumbuhan dapat mempunyai
kisaran toleransi terhadap faktor-faktor lingkungan yang sempit (steno) untuk satu
faktor lingkungan dan luas (eury) untuk faktor lingkungan yang lain. Suatu jenis
tumbuhan yang mempunyai toleransi yang luas sebagai faktor pembatas
cenderung mempunyai sebaran jenis yang luas. Masa reproduksi merupakan masa
yang kritis untuk tumbuhan jika faktor lingkungan dan habitatnya dalam keadaan
minimum.
Dalam ekologi pernyataan taraf relatif terhadap faktor-faktor lingkungan
dinyatakan dengan awalan steno (sempit) atau eury (luas) pada kata yang menjadi
faktor lingkungan tersebut. Misalnya toleransi yang sempit terhadap suhu udara
disebut stenotermal atau toleransi yang luas terhadap kadar pH tanah, disebut
euryionik.
6
Toleransi Sempit Toleransi Luas Faktor Lingkungan
Stenotermal Iritermal Suhu
Stenenohidrik Irihidrik Air
Stenohalin Irihalin Sallinitas
Stenofagik Irifagik Makanan
Stenoedafik Iriedafik Tanah
Stenoesius Iriesius Seleksi habitat
Shelford menyatakan bahwa jenis jenis dengan kisaran toleransi yang luas untuk
berbagai faktor lingkungan akan menyebar secara luas.
Ia juga menambahkan bahwa dalam fase reproduksi dari daur hidupnya
faktor faktor lingkungan lebih membatasinya. Biji, telur dan embrio mempunyai
irisan yang sempit jika dibandingkan dengan fase dewasanya. Hasil dari shelford
telah memberikan doronngan dalam kajian berbagai ekologi toleransi. Berbagai
percobaan dilakukan di laboratorium untuk mendapatkan atau menentukan
kisaran toleransi dari individu suatu jenis terhadap pencemar air yang akan sedikit
memberikan gambaran dalam penyebarannya.
Shelford sendiri memberikan penjelasan dalam hukumnya bahwa reaksi
suatu organisme terhadap faktor lingkungan tertentu mempunyai hubungan yang
erat dengan kondisi lingkkungan lainnya, misalnya apabila Nitrat dalam tanah
terbatas jumlahnya, maka resistansi rumput terhadap kekeringan menurun.
Dengan demikian kajian laboratorium (kondisi buatan) dari sustu jenis terhadap
satu faktor lingkungan akan memberikan gambran yang tidak utuh.
Shelford juga melihat kenyataan bahwa sering organisme hidup, tumbuhan
dan atau hewan, hidup berada pada kondisi tempat yang tidak optimum. Karena
berada pada kondisi yang tidak optimum ini akibat kompetisi dengan jenis
lainnya, sehingga berada pada keadaan yanng lebih efektif dalam hidupnya.
Misalnya berbagai tumbuhan di padang pasir sesunggguhnya akan tumbuh lebih
baik di tempat yang lembab, tetapi mereka memilih padang pasir karena adanya
keuntungan ekologi yang lebih.
7
Pengaruh faktor-faktor lingkungan dan kisarannya untuk suatu tumbuh-
tumbuhan berbeda-beda, karena satu jenis tumbuhan mempunyai kisaran toleransi
yang berbeda-beda menurut habitat dan waktu yang berlainan. Tetapi pada
dasarnya secara alami kehidupannya dibatasi oleh: jumlah dan variabilitas unsur-
unsur faktor lingkungan tertentu (seperti nutrien dan faktor fisik, misalnya suhu
udara) sebagai kebutuhan minimum, dan batas toleransi tumbuhan terhadap faktor
atau sejumlah faktor lingkungan tersebut.
Pengertian tentang faktor lingkungan sebagai faktor pembatas kemudian
dikenal sebagai Hukum faktor pembatas, yang dikemukakan oleh F.F Blackman,
yang menyatakan: jika semua proses kebutuhan tumbuhan tergantung pada
sejumlah faktor yang berbeda-beda, maka laju kecepatan suatu proses pada suatu
waktu akan ditentukan oleh faktor yang pembatas pada suatu saat.
Seorang ahli ekologi Jerman Friedrich (1927), menyatakan bahwa
hubungan antara komunitas dan lingkungannya bersifat holocoenotik. Ini berarti
bahwa tidak ada dinding pemiah antara lingkungan dengan organisme atau
komunitas biologis yang ada. Ekosistem beraksi sebagi keseluruhan, sulit untuk
memisahkan satu faktor atau satu organisme di dalam tanpa mengganggu
komponen ekosistem lain. Malahan setiap organisme merupakan lingkungan dari
organisme lain. Kebutuhan dari sustu populasi akan berubah dengan adanya faktor
waktu atau masa atau seleksi alam di dalam siklus kehidupan suatu organisme.
Meskipun hukum shelford ini pada dasarnya benar, tetapi sekarang para
pakar ekologi berpendirian bahwa pendapat ini terlalu kaku. Akan lebih
bermanfaat apabila mennghubungkan konsep minimum dengan konsep toleransi
ini untuk mendapatkan gambaran yang umum tentang konsep faktor pembatas.
Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kehadiran dan keberhasilan dari
organisme hidup tergantung pada kondisi kondisi yang tidak sederhana.
8
Organisme hidup di alam di kontrol tidak hanya oleh suplai materi yang
minimum diperlukannyatetapi juga oleh faktor faktor lainnya yang keadaannya
kritis. Faktor apapun yang kuran atau melebihi batas toleransi mungkin akan
merupakan pembatas dalam penyebaran jenis. Memang sulit menentukan di alam
faktor faktor pembatas ini, karena masalah yang erat kaitannya dengan
pemisahan pengaruh setiap komponen lingkungan secara terpisah di habitatnya.
Nilai lebih dari penggabungan konsep faktor pembatas adalah dalam memberikan
pola atau arahan dalam kajian hubungan hubungan yang kompleks dari faktor
lingkungan ini.
Para pakar ekologi sekarang menyadari bahwa terlalu banyak perhatian
ditujukan pada kajian kajian toleransi dan faktor faktor pembatas itu sendiri.
Kajian hendaknya di arahkan untuk mempelajari bagaimana tumbuhan dan hewan
berkembang untuk mennguasai habitat tertentu dan menghasilkan kisaran
toleransi terhadap faktor faktor lingkungan yang sesuai untuk bisa
mempertahankan diri.
Kajian kajian ekologi toleransi yang didasarkan pada pemikiran Liebig
dan Shelford pada umumya tidak menjawab pertanyaan ekologi mendasar,
bagaimana jenis jenis teradaptasi terhadap beberapa faktor yang membatasinya.
Pandangan ekologi yang lebih berkembang adalah memikirkan perkembangan
jenis untuk mencapai suatu kehidupan dengan memperhatiakan kisaran toleransi
dalam pola hidupnya. Pendekatan ini menekankan pentingnya evolusi yang
membawa pengertian yang lebih baik hubungan antara individu suatu jenis
dengan habitatnya.
9
II.5 Definisi Mangrove
10
Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menyebut hutan mangrove.
Antara lain tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, hutan payau dan hutan
bakau. Khusus untuk penyebutan hutan bakau, sebenarnya istilah ini kurang
sesuai untuk menggambarkan mangrove sebagai komunitas berbagai tumbuhan
yang berasosiasi dengan lingkungan mangrove. Di Indonesia, istilah bakau
digunakan untuk menyebut salah satu genus vegetasi mangrove, yaitu Rhizopora.
Sedangkan kenyataannya mangrove terdiri dari banyak genus dan berbagai jenis,
sehingga penyebutan hutan mangrove dengan istilah hutan bakau sebaiknya
dihindari.
11
II.7 Ciri-Ciri Ekosistem Mangrove
12
Berdasarkan tempat hidupnya, hutan mangrove merupakan habitat yang unik dan
memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya adalah:
Tanahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari atau hanya
tergenang pada saat pasang pertama;
Tempat tersebut menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat;
Daerahnya terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat;
airnya berkadar garam (bersalinitas) payau (2 22 /oo) hingga asin.
1. Pasang surut yang secara tidak langsung mengontrol dalamnya muka air (water
table) dan salinitas air dan tanah. Secara langsung arus pasang surut dapat
menyebabkan kerusakan terhadap anakan.
2. Tipe tanah yang secara tidak langsung menentukan tingkat aerasi tanah,
tingginya muka air dan drainase
3. Kadar garam tanah dan air yang berkaitan dengan toleransi spesies terhadap
kadar garam serta pasokan dan aliran air tawar.
13
5. Pasokan dan aliran air tawar
Menurut struktur ekosistem, secara garis besar dikenal tiga tipe formasi
mangrove, yaitu :
Mangrove Pantai: tipe ini air laut dominan dipengaruhi air sungai. Struktur
horizontal formasi ini dari arah laut ke arah darat adalah mulai dari tumbuhan
pionir (Avicennia sp), diikuti oleh komunitas campuran Soneratia alba,
Rhizophora apiculata, selanjutnya komunitas murni Rhizophora sp dan akhirnya
komunitas campuran RhizophoraBruguiera. Bila genangan berlanjut, akan
ditemui komunitas murni Nypa fructicans di belakang komunitas campuran yang
terakhir.
Mangrove Muara: pengaruh oleh air laut sama dengan pengaruh air sungai.
Mangrove muara dicirikan oleh mintakat tipis Rhizophora spp. Di tepian alur,
diikuti komunitas campuran Rhizophora Bruguiera dan diakhiri komunitas
murni N. fructicans.
Mangrove sungai: pengaruh oleh air sungai lebih dominan daripada air laut, dan
berkembang pada tepian sungai yang relatif jauh dari muara. Jenis-jenis mangrove
banyak berasosiasi dengan komunitas daratan. Berdasarkan Bengen (2001), jenis-
jenis pohon penyusun hutan mangrove, umumnya mangrove di Indonesia jika
dirunut dari arah laut ke arah daratan biasanya dapat dibedakan menjadi 4 zonasi
yaitu sebagai berikut :
14
2. Zona Bakau (Rhizophora)
Biasanya terletak di belakang api-api dan prepat, keadaan tanah berlumpur lembek
(dalam). Pada umumnya didominasi bakau (Rhizophora sp) dan di beberapa
tempat dijumpai berasosiasi dengan jenis lain seperti tanjang (Bruguiera sp )
Terletak di belakang zona bakau, agak jauh dari laut dekat dengan daratan.
Keadaan berlumpur agak keras, agak jauh dari garis pantai. Pada umumnya
ditumbuhi jenis tanjang (Bruguiera spp) dan di beberapa tempat berasosiasi
dengan jenis lain.
15
4. Zona Nipah (Nypa fruticans)
Terletak paling jauh dari laut atau paling dekat ke arah darat. Zona ini
mengandung air dengan salinitas sangat rendah dibandingkan zona lainnya,
tanahnya keras, kurang dipengaruhi pasang surut dan kebanyakan berada di tepi-
tepi sungai dekat laut. Pada umumnya ditumbuhi jenis nipah (Nypa fruticans) dan
beberapa spesies palem lainnya.
16
A. Fisiografi pantai
B. Pasang
Lama pasang
3. Perpindahan massa air antara air tawar dengan air laut mempengaruhi distribusi
vertikal organisme.
17
Durasi pasang :
1. Struktur dan kesuburan mangrove di suatu kawasan yang memiliki jenis pasang
diurnal, semi diurnal, dan campuran akan berbeda.
2. Komposisi spesies dan distribusi areal yang digenangi berbeda menurut durasi
pasang atau frekuensi penggenangan. Misalnya : penggenagan sepanjang waktu
maka jenis yang dominan adalah Rhizophora mucronata dan jenis Bruguiera serta
Xylocarpus kadang-kadang ada.
1. Akar tunjang yang dimiliki Rhizophora mucronata menjadi lebih tinggi pada
lokasi yang memiliki pasang yang tinggi dan sebaliknya
Gelombang dan arus dapat merubah struktur dan fungsi ekosistem mangrove.
Pada lokasi-lokasi yang memiliki gelombang dan arus yang cukup besar biasanya
hutan mangrove mengalami abrasi sehingga terjadi pengurangan luasan hutan.
Gelombang dan arus berpengaruh tidak langsung terhadap sedimentasi pantai dan
pembentukan padatan-padatan pasir di muara sungai. Terjadinya sedimentasi dan
padatan-padatan pasir ini merupakan substrat yang baik untuk menunjang
pertumbuhan mangrove.
18
Gelombang dan arus mempengaruhi daya tahan organisme akuatik melalui
transportasi nutrien-nutrien penting dari mangrove ke laut. Nutrien-nutrien yang
berasal dari hasil dekomposisi serasah maupun yang berasal dari run off daratan
dan terjebak dihutan mangrove akan terbawa oleh arus dan gelombang ke laut
pada saat surut.
D. Iklim
1. Cahaya
2. Curah hujan
19
3. Suhu
E. Salinitas
20
F. Oksigen Terlarut
G. Substrat
21
H. Hara
1. Inorganik : P,K,Ca,Mg,Na
Macnae dan Kalk (1962) dalam Sukardjo (1981) menyatakan bahwa tinggi
pohon-pohon mangrove dipengaruhi oleh faktor-faktor salinitas air, drainase air
dan pasang surut. Biasanya pada daerah dengan air tanah mendekati permukaan
dan mempunyai aerasi baik, kondisi dan tinggi vegetasinya seragam. Kemudian
vegetasi mangrove akan menjadi pendek jika mendekati zona dengan kondisi
permukaan air jauh dari permukaan.
22
BAB III
KESIMPULAN
Salinitas
Oksigen terlarut
Tanah
Hara
23