Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Abses hati merupakan penyakit yang cukup sering dihadapi di negara negara
berkembang seperti Indonesia karena disebabkan terutama oleh entamoeba. Hal ini
berkaitan dengan higien dan sanitasi yang belum memadai.
Insiden abses hati seringnya diawali dengan infeksi pada usus yang ditandai
dengan buang air besar yang berdarah dan berlendir. Walaupun begitu, tidak selamanya
hal tersebut berkembang menjadi abses hati.
Hampir 10% penduduk dunia terutama di negara berkembang terinfeksi E.
Histolytica, tetapi hanya sepersepuluh yang memperlihatkan gejala. Insiden amoebiasis
hati di RS di Indonesia berkisar antara 5-15 pasien pertahun.
Penelitian epidemiologi di Indonesia menunjukkan perbandingan pria : wanita
berkisar 3:1 sampai 22:1, yang tersering pada decade IV. Penularan pada umumnya
melalui jalur oral-fekal dan dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan amoebiasis hati
yang dikenai adalah pria. Usia yang dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama
dewasa muda dan lebih jarang pada anak.
Oleh karena itu penting bagi kita sebagi dokter untuk mengetahui gejala gejala,
diagnosa, serta penatalaksanaan abses hati.

1.2. Tujuan
Tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui diagnosa dari abses
hati melalui pemeriksaan penunjang dan radiologis. Hal ini bertujuan untuk diagnosa
dini dan penatalaksanaan yang adekuat untuk meningkatkan prognosis ke arah leboh
baik dan dalam rangka pencegahan meningkatnya prevalensi abses hati.

BAB II
1
PEMBAHASAN

2.1 Definisi, Anatomi, dan Epidemiologi

a. Definisi
Abses hati adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan karena infeksi bakteri,
parasit, jamur maupun nekbrosis steril yang bersumber dari sistem gastrointestinal yang
ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus di dalam parenkim
hati. Dan sering timbul sebagai komplikasi dari peradangan akut saluran empedu.
Bakteri ini bisa sampai ke hati melelui: 1) kandung kemih yang terinfeksi. 2) Luka
tusuk atau luka tembus. 3) Infeksi didalam perut., dan 4) Infeksi dari bagian tubuh
lainnya yang terbawa oleh aliran darah. Gejalanya berkurangnya nafsu makan, mual dan
demam serta bisa terjadi nyeri perut.

b. Anatomi
Hepar merupakan kelenjar yang terbesar dalam tubuh manusia. Hepar pada
manusia terletak pada bagian atas cavum abdominis, di bawah diafragma, di kedua sisi
kuadran atas, yang sebagian besar terdapat pada sebelah kanan. Beratnya 1200 1600
gram. Permukaan atas terletak bersentuhan di bawah diafragma, permukaan bawah
terletak bersentuhan di atas organ-organ abdomen, dimana Batas atas hati berada sejajar
dengan ruangan interkostal V kanan dan batas bawah menyerong ke atas dari iga IX
kanan ke iga VIII kiri. Hepar difiksasi secara erat oleh tekanan intraabdominal dan
dibungkus oleh peritoneum kecuali di daerah posterior-superior yang berdekatan
dengan vena cava inferior dan mengadakan kontak langsung dengan diafragma. Bagian
yang tidak diliputi oleh peritoneum disebut bare area.Terdapat refleksi peritoneum dari
dinding abdomen anterior, diafragma dan organ-organ abdomen ke hepar berupa
ligamen.
Macam-macam ligamennya:
a. Ligamentum falciformis : Menghubungkan hepar ke dinding annterior abdomen
dan terletak di antara umbilicus dan diafragma.
b. Ligamentum teres hepatis/round ligament : Merupakan bagian bawah ligamentum
falciformis, merupakan sisa-sisa peninggalan vena umbilicalis yang telah menetap.
c. Ligamentum gastrohepatica dan ligamentum hepatoduodenalis : Merupakan bagian
dari omentum minus yang terbentang dari curvatura minor lambung dan duodenum
sebelah proximal ke hepar. Di dalam ligamentum ini terdapat A.hepatica, v.porta dan
2
duct.choledocus communis. Ligamen hepatoduodenale turut membentuk tepi anterior
dari Foramen Wislow.
d. Ligamentum Coronaria Anterior kiri kanan dan Lig coronaria posterior kiri -
kanan : Merupakan refleksi peritoneum terbentang dari diafragma ke hepar.
e. Ligamentum triangularis kiri - kanan : Merupakan fusi dari ligamentum coronaria
anterior dan posterior dan tepi lateral kiri kanan dari hepar.

Secara anatomis, organ hepar tereletak di hipochondrium kanan dan epigastrium,


dan melebar ke hipokondrium kiri. Hepar dikelilingi oleh cavum toraks dan bahkan
pada orang normal tidak dapat dipalpasi (bila teraba berarti ada pembesaran hepar).
Permukaan lobus kanan dpt mencapai sela iga 4/ 5 tepat di bawah aerola mammae. Lig
falciformis membagi hepar secara topografis bukan secara anatomis yaitu lobus kanan
yang besar dan lobus kiri.
Permukaan posterior hati berbentuk cekung dan terdapat celah transversal
sepanjang 5 cm dari system porta hepatis. Omentum minor terdapat mulai dari system
porta yang mengandung arteri hepatica, vena porta dan duktus koledokus. System porta
terletak didepan vena kava dan dibalik kandung empedu. Secara mikroskopis didalam
hati manusia terdapat 50.000-100.000 lobuli, setiap lobulus berbentuk heksagonal yang
terdiri atas sel hati berbentuk kubus yang tersusun radial mengelilingi vena sentralis.

3
c. Epidemiologi
Abses hati daibagi menjadi 2, yaitu :
a. Abses Hati Amebik (AHA)
Terdapat terutama di negara tropis dan subtropis dengan keadaan sanitasi
yang masih rendah, misalnya India, Pakistan, Indonesia, Afrika dan
Mexico.
Insidensi penderita AHA di Indonesia mencapai 10-15 orang per tahun.
Pria lebih sering terkena AHA dibandingkan dengan wanita dengan nilai
perbandingan pria dan wanita adalah 3 : 1 sampai 22 : 1.
AHA lebih sering terjadi pada dekade ke IV dengan usia berkisar antara 20-
50 tahun dan jarang mengenai anak-anak.
Penularan pada umumnya melalui jalur oral-fekal dan dapat juga oral-anal-
fekal.
Sanitasi yang kurang, keadaan sosioekonomi rendah, tempat tinggal yang
terlalu padat, meminum air yang tidak terjamin kebersihannya dan
kebiasaan adalah beberpafaktor predisposisi terjadinya AHA.

b. Abses Hati Piogenik (AHP)


Tersebar di seluruh dunia dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi
sanitasi yang kurang.
Didapati 8-16 per 100.000 kasus AHP yang memerlukan perawatan di RS
dan dari beberapa kepustakaan Barat, didapati prevalensi autopsi antara
0,29% - 1,47%.
AHP lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.

4
AHP lebih sering terjadi pada dekade ke VI dengan usia berkisar > 40
tahun.
Mortalitas AHP yang diobati dengan antibiotika dan dilakukannya drainase
adalah 15%-30%.

2.2 Patofisiologi dan Gambaran Klinis

a. Patofisiologi
Abses hati adalah sebentuk infeksi pada hati yang disebabkan oleh karena infeksi
bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang berseumber pada sistem
gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus
yang terdiri dari jaringan nekrotik, sel sel inflamasi, atau sel darah di dalam parenkim
hati.
Abses hati terbagi 2 yaitu abses hati amebik dan abses hati piogenik.
Abses hati piogenik terjadi sebagai komplikasi penyakit intraabdomen lain akibat
adanya penyebaran secara hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya
infeksi di dalam rongga peritoneum. Hati menerima darah secara sistemik maupun
melalui sirkulasi portal, hal ini memungkinkan terinfeksinya hati oleh karena paparan
bakteri yang berulang. Namun karena adanya sel kuppfer yang membatasi sinusoid hati
maka hati dapat terhindar dari terjadinya infeksi. Abses adalah sebuah infeksi dimana
bakteri dan sel polimofronuklear terkumpul di dalam kapsul fibrosa. Proses ini terjadi
dengan tujuan untuk membatasi ruang gerak bakteri sehingga tidak terjadi penyebaran
selanjutnya. Bakteri yang paling sering menyebabkan liver abses adalah B. fragilis.
B. fragilis memiliki kapsul polisakarida pada permukaannya, dimana struktur
polisakarida tersebut memiliki karakteristik yang merangsang respon tubuh manusia
untuk memerangkap bakteri tersebut yang akhirnya akan merangsang produksi dari
TNF- (tumor necroting factor alpha) dan ICAM-I (intercellular adhesion molecul 1).
Polisakarida ini menstimulasi T-limfosit yang akan memulai pembentukan abcess.

Abses hati amebik merupakan salah satu komplikasi dari amebiasis


ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di Indonesia. Amebiasis disebabkan oleh
protozoa usus yaitu Entamoeba histolytica. Protozoa ini menyebar melalui kista yang
tertelan dari kontaminasi feses pada makanan, air, atau tangan. Tropozoit yang motil
dilepaskan dari kista dalam usus halus dan pada sebagian pasien tinggal sebagi
5
mikroorganisme yang tidak berbahaya dalam usus besar dan akan keluar melalui
kotoran. Pada sebagian pasien lain, tropozoit ini dapat menembus mukosa usus dan
menyebabkan kolitis, atau masuk ke dalam aliran darah dan menyebar ke hati.
Awalnya tropizoit menempel pada mukosa usus dan sel epitel oleh galactose-
inhibitable lectin sehingga menyebabkan lesi mikroulserasi pada mukosanya yang
berbentuk lesi kecil dengan margin runcing tanpa adanya kelainan pada mukosa sekitar.
Sambungan lesi pada submukosa menampilkan gambaran flask-shape yang berisi
tropozoit. Tropozoit menginvasi vena untuk sampai ke hati melalui sirkulasi vena
portal. Tropozoit ini selamat pada aliran arah karena adanya resistensi terhadap
complement-mediated lysis. Adanya protozoa pada hati merangsang reaksi akut dari
neutrofil. Akhirnya, neutrofil lisis dengan adanya kontak dengan amoeba dan
mengeluiarkan toksin yang menyebabkan nekrosis dari hepatosit. Parenkim hati
digantikan oleh material nekrotik yang dikelilingi oleh jaringan hati yang tipis. Bagian
nekrotik dari sering disebut sebagai anchovy paste karena berwarna kecoklatan.

b. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis abses hati piogenik biasanya lebih berat dari abses hati
piogenik. Dicurigai adanya abses hati piogen apabila dijumpai sindrom klinis klasik
berupa nyeri spontan perut kanan atas, yang ditandai dengan jalan membungkuk ke
depan dengan kedua tangan diletakkan di atasnya. Demam tinggi merupakan keluhan
utama, nyeri pada abdomen yang menghebat dengan pergerakan. Gejala lain adalah rasa
mual, muntah, penurunan nafsu makan, penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisik
dapat dijumpai demam tinggi, hepatomegali, nyeri tekan pada hepar yang diperberat
oleh gerakan.
Sedangkan menifestasi klinis untuk abses hati amebik adalah demam dengan
nyeri perut kanan atas yang dapat menjalar ke bahu. Lokalisasi dari nyeri dapat
ditentukan di bagian hati. Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam, hepatomegali dan
nyeri tekan pada hati. Dan yang paling penting adalah riwayat diare berdarah atau
berlendir yang menandakan adanya infeksi amoeba.
Karakteristik hepatomegali untuk abses hati adalah konsistensi lunak dengan
permukaan yang rata dan teradapat nyeri tekan.

2.3 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Fisik
6
Didapati adanya demam tinggi.
Pada palpasi didapati adanya hepatomegali sebesar tiga jari sampai enam
jari arcus-costarum.
Murphys Sign (+), yaitu dilakukan penekanan pada gall bladder,
kemudian pasien disuruh menarik nafas. Kalau tiba-tiba pasien tersentak
karena merasakan sakit, berarti Murphys Sign positif.
Jarang dijumpai adanya ikterik, kalaupun adanya, biasanya hanya ikterik
ringan.
Pembesaran spleen jarang didapati pada kasus akut, namun, pada kasus
yang kronis dapat dijumpai splenomegali. Selain itu pada keadaan yang
kronis juga dapat dijumpai adanya asites dan tanda-tanda hipertensi porta.
b. Pemeriksaan Laboratorium
Dijumpai adanya anemia ringan dengan kadar Hb berkisar antara 10,4-
11,3 g%.
Dijumpai adanya peningkatan kadar leukosit yang tinggi, yaitu berkisar
antara 15.000-16.000/mm.
Pada pemeriksaan faal hati di dapati peningkatan kadar LED, peningkatan
kadar alkalin fosfatase antara 270,4-382,0 u/L, berkurangnya kadar
albumin serum berkisar antara 2,76-3,05 g%, peningkatan kadar globulin
antara3,62-3,75 g%, peningkatan kadar enzim transaminase yaitu : SGOT
27,8-55,9 u/L dan SGPT 15,7-63,0 u/L, di jumpai peningkatan kadar total
bilirubin antara 0,9-2,44 mg% dan protrombin time yang memanjang.

c. Pemeriksaan Radiologi
Chest X-ray
Ditemukannya atelektasis biliar
Peningkatan hemidiafragma kanan
Efusi pleura kanan ditemukan dlm 50% dari kasus
Pneumonia atau penyakit pleura sering awalnya dipertimbangkan karena
temuan radiographignya

7
Adanya abses yang ruptur pada rongga pleura

USG ( sensitivitas 80 90 % )
Mengevaluasi massa hipoechoic dengan batas berbentuk tidak teratur, septa
internal atau debris pada kavitas dapat di deteksi
Tampak sebagai lesi bulat atau oval dengan dinding relatif tebal
Bagian dalamnya lebih memperlihatkan eko cairan dengan bercak padat di
dalamnya ( debris )
Ketergantungan pada operator yang mempengaruhi sensitivitas semuanya
Keuntungannya adalah bersifat portabel sehingga dapat digunakan pada pasien
dengan kondisi kritis dan dapat digunakan sebagai penuntun untuk drainase.

8
Gambaran liver abses amebik yang jelas pada lobus kanan

Gambaran liver abses piogenik yang menunjukkan massa hipoechoic

Segmen hipoechoic

9
CT- Scan ( sensitivitas 95 100 % )
Mengevaluasi daerah yang di batasi hipodense parenkim hati sekitarnya.
Indium labelled WBC scans sedikit lebih sensitiv dalam hal ini.
Pada CT-Scan dengan kontras IV ditemukan gambaran massa berbatas tegas,
yang mengelilingi parenkim dengan atau tanpa adanya tanda rim.
Keuntungan CT-Scan adalah tidan invasiv dan dapat membantu penalksaan
drainase terapeutik
Gas dapat dilihat kira-kirra 20% dari lesi
Dapat mendeteksi lesi < 1 cm

Liver abses terlihat pada lobus kanan hepar

Abses hati anterior yang melibatkan lobus kiri hepar

10
Gambaran abses amebik unilokus

Liver abses piogenik menunjukkan gambaran cluster signdari liver abses multi lokus

Gambaran koronal liver abses piogenik dengan gambaran klasik cluster sign

11
Gallium and technetium radionuclide scanning (sensitivity 50-90%)
Teknik ini menggunakan fakta yang sama dengan jalan pengambilan, transpor,
dan ekskresi bilirubin, dan cukup efektif untuk mengevaluasi penyakit hati.
Sensitivitasnya bervariasi dengan radiopharmaka yang digunakan, technetium
(80%), gallium (50-80%), dan indium (90%)
Keterbatasannya termasuk keterlambatan dalam diagnosa dan butuh prosedur
konfirmasi, sehingga tidak memberikan manfaat atas modalitas imaging.

2.4 Diagnosis
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Riwayat penyakit terdahulu seoerti appendisitis berguna untuk
diagnosa abses hati piogenik, sedangkan riwayat disentri berguna untuk diagnosa abses
hati amebik. Kadang kadang sulit untuk menegakkan diagnosa dengan pemeriksaan
fisik saja karena gejala yang tidak spesifik. Beberapa diagnosa banding dari gejala
klinis antara lain pankreatitis, kolesistitis, penyakit empedu, karsinoma sel hepar, dan
lain lain. pemeriksaan penunjang seperti darah rutin dan tes fungsi hati cukup
memberi arti. Ters serologis memiliki nilai prediksi yang tinggi untuk abses hati.
Pemeriksaan radiologis juga memiliki arti yang cukup besar untuk menegakkan
diagnosa. Saat ini pemeriksaa radiologis dengan CT scan dan USG menjadi pilihan
utama untuk diagnosa abses hati. Baku emas untuk diagnosa abses hati adalah dengan
menemukan mikroorganisme penyebab pada pemeriksaan kultur hasil aspirasi.

2.5 Komplikasi
Komplikasi abses hati yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5-15,6%.
Ruptur dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau kulit.
Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi atau drainase.

2.6 Penatalaksanaan
Pencegahan merupakan cara yang efektif untuk mengurangi mortalitas abses
piogenik. Misalnya, pemberian antibiotik pada sepsis intra-abdominal, dekompresi pada
obstruksi bilier yang disebabkan oleh batu atau tumor. Pencegahan abses hati amebik
adalah dengan menjaga kebersihan dan mengeradikasi karier kista. Disinfeksi dengan
iodin dapat dilakukan untuk membunuh kista. Penggunaan minuman botol, mengupas

12
kulit buah dan mencuci bersih sayuran sangat penting untuk pencegahan terinfeksi
protozoa.
Pada dasarnya pengobatan abses hati bersifat konservatif dan surgical.
Pengobatan tersebut antara lain berupa antibiotik, drainase abses yang adekuat dan
secara bersamaan menghilangkan penyakit dasar sepsis yang berasal dari saluran cerna.
Antibiotik yang digunakan adalah penisilin, atau sefalosporin untuk kokkus
gram positif dan untuk kuman gram negatif yang sensitif diberikan metronidazol,
klindamisin ataupun kloramfenikol untuk anaerob. Untuk bakteri gram negatif yang
resisten, dapat diberikan aminoglikosida. Pemberian antibiotika secara intravena sampai
3 gr/hari selama tiga minggu diikuti pemberian oral selama satu sampai dua bulan.
Metronidazol adalah obat pilihan untuk abses hati amebik dengan dosis 750
mg per oral per hari selama 5 10 hari. Atau dapat diberikan paramomisin dengan dosis
500 mg per oral per hari selama 10 hari. Namun. Hampir 90% pasien menunjukkan
respon yang baik terhadap metronidazol yang ditandai dengan penurunan gejala klinis
yaitu penurunan demam dan nyeri dalam 72 jam.
Pada kasus yang gagal dengan pengobatan konservatif, dapat dilakukan:
a.Aspirasi jarum
Pada abses kecil atau tidak toksis tidak perlu dilakukan aspirasi, kecuali untuk
diagnosis. Aspirasi hanya dilakukan pada ancaman ruptur atau gagal pengobatan
konservatif. Sebaiknya aspirasi jarum dilakukan dengan tuntunan USG.
b. Aspirasi jarum perkutan
Indikasi dilakukannya aspirasi jarum perkutan adalah jika dijumpai abses besar dengan
ancaman ruptur atau diameter abses > 7 cm, respon kemoterapi kurang, infeksi
campuran, letak abses dekat dengan permukaan hati, tidak ada tanda perforasi dan abses
pada lobus kiri hati.
c. Drainase operasi
Tindakan ini jarang dilakukan kecuali pada abses dengan ancaman ruptur atau secara
teknis susah dicapai dengan aspirasi biasa. Jika terjadi piotorak atau efusi pleura dengan
fistel bronkopleura perlu dilakukan tindakan WSD (water sealed drainage)

2.7 Prognosis

13
Prognosis sangat ditentukan oleh diagnosis dini, lokasi yang akurat dengan
USG, perbaikan dalam bidang mikrobiologi seperti kultur anaerob, pemberian
antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase secara bedah. Faktor utama
yang menentukan mortalitas antara lain umur, jumlah abses, adanya komplikasi serta
bakterimia polimikrobial dan gangguan fungsi hati seperti ikterus atau
hipoalbuminemia. Dengan diagnosis awal dan pengobatan yang tepat maka tingkat
mortalitas dari abses hati amebik adalah kurang dari 1%. Komplikasi yang berakhir
mortalitas terjadi pada keadaan sepsis abses subfrenik atau subhepatik, ruptur abses ke
rongga peritoneum, ke pleura atau ke paru, kegagalan hati, hemobilia, dan perdarahan
kedalam abses hati. Penyakit penyerta yang menyebabkan mortalitas tinggi adalah
DM, penyakit polikistik dan sirosis hati.

BAB III
KESIMPULAN
14
Abses hati adalah bentuk infeksi yang utamanya disebabkan oleh Entamoeba
histolytica dan B. fragilis yang ditandai dengan adanya supurasi pada jaringan hati.
Abses hati biasanya merupakan hasil penyebaran secara hematogen yang berasal dari
penyakit lain. abses hati terdiri dari 2 jenis yaitu abses hati amebik dan piogenik.
Abses hati yang tersering ditemukan di Indonesia adalah abses hati amebik
yang berkaitan dengan prevalensi amebiasis yang tinggi akibat kebersihan lingkungan
yang jelek. Tropozoit protozoa memasuki hati secara hematogen melaluo aliran
sirkulasi portal dan menyebabkan supurasi sehingga terjadi abses.
Gejala klinis dari abses hati berupa demam, nyeri perut kanan atas dengan
adanya hepatomegali, disertai gejala konstitusi seperti malaise, penurunan berat
badan, dan lain lain. pada pemeriksaan laboratorium dijumpai anemia ringan,
leukositosis, dan peningkatan kadar enzim hati seperti SGOT dan SGPT.
Pemeriksaan radiologis sangat memiliki nilai prediksi yang tinggi untuk
menegakkan diagnosa abses hati. Pemeriksaan radiologis yang utama adalah CT scan.
Namun dari pemeriksaan foto thorax dapat diprediksi adanya hepetomegali dengan
melihat gambaran peninggian hemidiafragma kanan dan di bawah diafragma apat
terlihat bayangan udara atau air flluid level.
CT-Scan memiliki sensitivitas 95-100% untuk abses hati. Gambaran yang
dijumpai adalah massa berbatas tegas yang lebih hipodense dari parenkim
sekelilingnya. CT dapat mendeteksi luasnya lesi hingga kurang dari 1 cm.
USG memiliki sensitivitas 80-90%. Gambaran yang dijumpai adalah area
hipoechoic yang lebih dari 1 cm dengan batas dan bentuk yang tidak teratur.
Keuntungannya adalah dapat dilakukan di tempat tidur dan dapat sebagai penuntun
untuk drainase.

DAFTAR PUSTAKA

15
. 2008. . Dalam : Iwan Ekayuda, editor. Radiologi Diagnostik Edisi ke-2. Jakarta:
Balai Penerbit FK UI.

Lisgaris M.V. & Salata R.A. Liver Abscess. Diunduh dari : eMedicine specialties :
http:\www.eMedicine.com. Update terakhir 2005.

Peralta, Ruben et al. Liver Abscess. Diunduh dari :


http://emedicine.medscape.com/article/188802-overview. Update terakhir tanggal 15
September 2010.

Reed, Sharon L. 2001. Amebiasis and Infection with Free-Living Amebas. Dalam :
Braunwald et al. Harrisons Principles of Internal Medicine Edisi ke-15 vol 1. USA :
Mc Graw Hill Company.

Soewando, Eddy S. 2009. Amebiasis. Dalam : Sudoyo, Aru W. et al. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi ke-5 jilid 3. Jakarta: InternaPublishing.

Sulaiman, Ali et al. 2007. Abses Hati. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati edisi
pertama. Jakarta: Jayabadi.

Wenas, Nelly T & B.J. Waleleng. 2009. Abses Hati Piogenik. Dalam : Sudoyo, Aru W.
et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke-5 jilid 1. Jakarta: InternaPublishing.

16

Anda mungkin juga menyukai