Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Diabetes Melitus

Diabetes Melitus adalah penyakit sindrom metabolik yaitu gangguan metabolisme

terutama hidrat arang akibat kekurangan hormon insulin (Sutedjo, 2010). Diabetes

Melitus adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang mengalami

peningkatan kadar gula (glukosa) darah akibat kekurangan hormon insulin secara absolut

atau relatif.

Diabetes Melitus merupakan penyakit metabolik yang berlangsung kronik dimana

penderita diabetes tidak bisa memproduksi insulin dalam jumlah cukup atau tubuh tidak

mampu menggunakan insulin secara efektif sehingga terjadilah kelebihan gula didalam

darah dan baru dirasakan setelah terjadi komplikasi lanjut pada organ tubuh. Diabetes

Melitus sering disebut sebagai the gread imitator karena penyakit ini dapat mengenai

semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan dengan gejala sangat

bervariasi. Gejala-gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan sampai

ketika orang tersebut pergi kedokter dan diperiksa kadar gula darahnya.

American Diabetes Association (ADA) 2010, Diabetes Melitus (DM) merupakan

suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi

karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Istilah Diabetes Melitus

(DM) memiliki arti gula madu. Istilah ini berasal dari Bahasa Yunani, artinya

mengalirkan melalui pipa dengan tekanan atmosfer dan dari Bahasa Latin, artinya

semanis madu dengan kata lain, pengertian diabetes yaitu air yang mengalir melewati

tubuh penderita DM dari mulut langsung keluar melalui saluran kemih. Air seni diabetisi

rasanya manis karena mengandung gula. Dulu, salah satu tes untuk diabetes adalah

dengan menuangkan air seni penderita ke dekat sarang semut. Jika semut mengerumuni
air seni tersebut, suatu pertanda bahwa penderita tersebut menderita DM. Itu sebabnya

diabetes sering disebut sebagai penyakit kencing manis.

B. Anatomi Fisiologi Pankreas

Pankreas merupakan organ retroperitoneal yang terletak di bagian posterior dari

dinding lambung. Letaknya diantara duodenum dan limfa, di depan aorta abdominalis

dan arteri serta vena mesenterica superior. Organ ini konsistensinya padat, panjangnya

11,5 cm, beratnya 150 gram. Pankreas terdiri bagian kepala/caput yang terletak di

sebelah kanan, diikuti corpus ditengah, dan cauda di sebelah kiri. Ada sebagian kecil dari

pankreas yang berada di bagian belakang Arteri Mesenterica Superior yang disebut

dengan Processus Uncinatus.

Jaringan penyusun pankreas terdiri dari :

a. Jaringan eksokrin, berupa sel sekretorik yang berbentuk seperti anggur yang

disebut sebagai asinus/Pancreatic acini, yang merupakan jaringan yang

menghasilkan enzim pencernaan ke dalam duodenum.

b. Jaringan endokrin yang terdiri dari pulau-pulau Langerhans/Islet of Langerhans

yang tersebar di seluruh jaringan pankreas, yang menghasilkan insulin dan

glukagon ke dalam darah.


Pulau-pulau Langerhans tersebut terdiri dari beberapa sel (Mescher, 2010) yaitu:

a. Sel (sekitar 20%), menghasilkan hormon glukagon.

b. Sel (dengan jumlah paling banyak 70%), menghasilkan hormon insulin.

c. Sel (sekitar 5-10%), menghasilkan hormon Somatostatin.

d. Sel F atau PP (paling jarang), menghasilkan polipeptida pankreas.

Masuknya glukosa ke dalam sel otot dipengaruhi oleh 2 keadaan. Pertama, ketika sel

otot melakukan kerja yang lebih berat, sel otot akan lebih permeabel terhadap glukosa.

Kedua, ketika beberapa jam setelah makan, glukosa darah akan meningkat dan pankreas

akan mengeluarkan insulin yang banyak. Insulin yang meningkat tersebut menyebabkan

peningkatan transport glukosa ke dalam sel. Insulin dihasilkan didarah dalam dengan

bentuk bebas dengan waktu paruh plasma 6 menit, bila tidak berikatan dengan reseptor

pada sel target, maka akan didegradasi oleh enzim insulinase yang dihasilkan terutama di

hati dalam waktu 10-15 menit. Reseptor insulin merupakan kombinasi dari empat subunit

yang berikatan dengan ikatan disulfida yaitu dua subunit- yang berada di luar sel

membran dan dua unit sel- yang menembus membran. Insulin akan mengikat serta

mengaktivasi reseptor pada sel target, sehingga akan menyebabkan sel terfosforilasi.

Sel akan mengaktifkan tyrosine kinase yang juga akan menyebabkan terfosforilasinya

enzim intrasel lain termasuk insulin-receptors substrates (IRS).


Dalam tubuh kita terdapat mekanisme reabsorbsi glukosa oleh ginjal, dalam batas

ambang tertentu. Kadar glukosa normal dalam tubuh kira-kira 100mg glukosa/100ml

plasma dengan GFR/Glomerular Filtration Rate 125ml/menit. Glukosa akan ditemukan

diurin jika telah melewati ambang ginjal untuk reabsorbsi glukosa yaitu 375 mg/menit

dengan glukosa di plasma darah 300mg/100ml (Sherwood, 2011).

C. Klasifikasi Diabetes Melitus

1. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Melitus/IDDM

DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab

autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin

dapat ditentukan dengan level protein c-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak

terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah

ketoasidosis.
2. Diabetes Melitus Tipe 2 atau Insulin Non-dependent Diabetes Melitus/NIDDM.

Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak

bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin

yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan

glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati.

Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena

dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi

relatif insulin.

Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada

adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas

akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa. Onset DM tipe ini terjadi
perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi yang terjadi

perlahan-lahanakan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang.

DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi.

3. Diabetes Melitus Tipe Lain

DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik

fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit

metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan

genetik lain.

4. Diabetes Melitus Gestasional

DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa

didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan

ketiga. DM gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal.

Penderita DM gestasional memiliki resiko lebih besar untuk menderita DM yang

menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan.

D. Etiologi

Etiologi penyakit diabetes melitus bermacam-macam. Diabetes melitus tipe 1 adalah

penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik dengan gejala-gejala yang pada
akhirnya menuju proses perusakan imunologik sel-sel beta pankreas yang menghasilkan

insulin. Manifestasi klinis diabetes melitus terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta

menjadi rusak.

Bukti untuk determinan genetik diabetes tipe 1 adalah adanya kaitan dengan tipe-tipe

histokompatibilitas (Human Lekocyte Antigen) tipe dari gen histokompabilitas yang

berkaitan dengan diabetes tipe 1 adalah adanya kaitan dengan tipe (DW3 dan DW4)

adalah yang memberi kode kepada protein yang berperan penting dalam interaksi

monosit-limfosit.

Protein-protein ini mengatur respon sel T yang merupakan bagian normal dari respons

imun jika terjadi kelainan, fungsi limfosit T yang terganggu akan berperan penting dalam

patogenesis perusakan sel-sel pulau Langerhans, sedangkan pada diabetes melitus tipe 2

penyakitnya mempunyai pola yang familial diabetes tipe 2 ditandai dengan kelainan

sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada awalnya terjadi resistensi dari sel-sel sasaran

terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikatkan dirinya kepada reseptor-reseptor

permukaaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraseluler yang menyebabkan

mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transport glukosa menembus

membran sel.

Pada pasien-pasien diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan

reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada

membran sel yang selnya respon terhadap insulin atau ketidaknormalan reseptor insulin

intrinsik. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel beta dengan menurunnnya jumlah insulin

yang beredar dan tidak lagi memadai untuk memppertahankan kadar glukosa darah

dalam batas normal. Sekitar 80% pasien diabetes tipe 2 mengalami obesitas, karena

obesitas berkaitan dengan resistensi insulin sehingga pengurangan berat badan sering kali

dikaitkan dengan perbaikan sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa.


E. Patofisiologi

Diabetes Tipe 1 Terdapat ketidakmampuan untuk menghasilkan insulin karena sel-sel

pankreas telah dihancurkan oleh proses autoimun. Glukosa yang berasal dari makanan

tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap dalam darah dan menimbulkan

hiperglikemia posprandial (sesudah makan). Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup

tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar

akibatnya glukosa tersebut dieksresikan dalam urin (glukosuria). Eksresi ini akan disertai

oleh pengeluaran cairan dan elekrolit yang berlebihan, keadaan ini disebut diuresis

osmotik. Pasien mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuria) dan rasa haus

(polidipsi).

Diabetes Tipe II Terdapat 2 masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu:

resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan

reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor

tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa di dalam sel.

Resistensi insulin pada diabetes disertai dengan penurunan reaksi intrasel, dengan

demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh

jaringan. Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam

darah harus terdapat peningkatan insulin yang disekresikan.

Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini terjadi akibat sekresi insulin

yang berlebihan dan kadar glukosa akan dipertahankan pada tingkat yang normal atau

sedikit meningkat. Namun, jika sel-sel tidak mampu mengimbangi peningkatan

kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi diabetes tipe II.

Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas diabetes tipe II,

namun terdapat jumlah insulin yang adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan

produksi badan keton.


Oleh karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada diabetes tipe II. Meskipun

demikian, diabetes tipe II yang tidak terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainnya

yang dinamakan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik. Akibat intoleransi

glukosa yang berlangsung lambat dan progresif, maka awitan diabetes tipe II dapat

berjalan tanpa terdeteksi, gejalanya sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan,

iritabilitas, poliuria, pilidipsia, luka pada kulit yang tidak sembuh-sembuh, infeksi dan

pandangan yang kabur.

F. Manifestasi Klinis

1. Gejala Akut Penyakit Diabetes melitus

Gejala penyakit DM dari satu penderita ke penderita lain bervariasi bahkan,

mungkin tidak menunjukkan gejala apa pun sampai saat tertentu.

a. Pada permulaan gejala yang ditunjukkan meliputi serba banyak (Poli), yaitu:

1) Banyak makan (poliphagia).

2) Banyak minum (polidipsia).

3) Banyak kencing (poliuria).

b. Bila keadaan tersebut tidak segera diobati, akan timbul gejala:

1) Banyak minum.

2) Banyak kencing.

3) Nafsu makan mulai berkurang/ berat badan turun dengan cepat (turun 5-10 kg

dalam waktu 2-4 minggu).

4) Mudah lelah.

5) Bila tidak lekas diobati, akan timbul rasa mual, bahkan penderita akan jatuh

koma yang disebut dengan koma diabetik.


2. Gejala Kronik Diabetes melitus

Gejala kronik yang sering dialami oleh penderita Diabetes melitus adalah

sebagai berikut:

a. Kesemutan.

b. Kulit terasa panas, atau seperti tertusuk-tusuk jarum.

c. Rasa tebal di kulit.

d. Kram.

e. kelelahan.

f. Mudah mengantuk.

g. Mata kabur, biasanya sering ganti kacamata

h. Gatal di sekitar kemaluan terutama wanita.

i. Gigi mudah goyah dan mudah lepas kemampuan seksual menurun, bahkan

impotensi.

G. Tes Diagnostik

Jenis pemeriksaan laboratorium yang digunakan untuk pemeriksaan laboratorium DM

adalah urin dan darah. Mekipun dengan menggunakan urin dapat dilakukan, namun hasil

yang didapat kurang efektif. Darah vena adalah spesimen pilihan yang tepat dianjurkan

untuk pemeriksaan gula darah. Apabila sampel yang digunakan adalah darah vena maka

yang diperiksa adalah plasma atau serum, sedangkan bila yang digunakan darah kapiler

maka yang diperiksa adalah darah utuh. Jenis-jenis pemeriksaan laboratorium untuk

Diabetes Melitus adalah sebagai berikut :

1. Gula darah puasa

Pada pemeriksaan ini pasien harus berpuasa 8-10 jam sebelum pemeriksaan

dilakukan. Spesimen darah yang digunakan dapat berupa serum atau plasma vena

atau juga darah kapiler. Pemeriksaan gula darah puasa dapat digunakan untuk
pemeriksaan penyaringan, memastikan diagnostik atau memantau pengendalian DM.

Nilai normal 70-110 mg/dl.

2. Gula darah sewaktu

Pemeriksaan ini hanya dapat dilakukan pada pasien tanpa perlu diperhatikan

waktu terakhir pasien pasien. Spesimen darah dapat berupa serum atau plasma yang

berasal dari darah vena. Pemeriksaan gula darah sewaktu plasma vena dapat

digunakan untuk pemeriksaan penyaringan dan memastikan diagnosa Diabetes

Melitus. Nilai normal <200 mg/dl.

3. Gula darah 2 jam PP (Post Prandial)

Pemeriksaan ini sukar di standarisasi, karena makanan yang dimakan baik

jenis maupun jumlah yang sukar disamakan dan juga sukar diawasi pasien selama 2

jam untuk tidak makan dan minum lagi, juga selama menunggu pasien perlu duduk,

istirahat yang tenang, dan tidak melakukan kegiatan jasmani yang berat serta tidak

merokok. Untuk pasien yang sama, pemeriksaan ini bermanfaat untuk memantau

DM. Nilai normal <140 mg/dl.

4. Glukosa jam ke-2 TTGO

TTGO tidak diperlukan lagi bagi pasien yang menunjukan gejala klinis khas

DM dengan kadar gula darah atau glukosa sewaktu yang tinggi melampaui nilai

batas sehinggasudah memenuhi kriteria diagnosa DM.

Nilai normal :

a. Puasa : 70 110 mg/dl

b. jam : 110 170 mg/dl

c. 1 jam : 120 170 mg/dl

d. 1 jam : 100 140 mg/dl

e. 2 jam : 70 120 mg/dl


5. Pemeriksaan HbA1c

HbA1c atau A1c merupakan senyawa yang terbentuk dari ikatan antar glukosa

dan hemoglobin (glycohemoglobin). Jumlah HbA1c yang terbentuk, tergantung

pada kadar gula darah. Ikatan A1c stabil dan dapat bertahan hingga 2-3 bulan (sesuai

dengan usai sel darah merah), kadar HbA1c mencerminkan kadar gula darah rata-

rata 1 sampai 3 bulan. Uji digunakan terutama sebagai alat ukur keefektifan terapi

diabetik. Kadar gula darah puasa mencerminkan kadar gula darah saat pertama

puasa, sedangkan glikohemoglobin atau HbA1c merupakan indikator yang lebih

baik untuk pengendalian Diabetes Melitus.

Nilai normal HbA1c 4-6%, Peningkatan kadar HbA1c > 8 % mengindikasi

hemoglobin A (HbA) terdiri dari 91 sampai 95 % dari jumlah hemoglobin total.

Molekul glukosa berikatan dengan HbA yang merupakan bagian dari hemoglobin A.

Pembentukan HbA1c terjadi dengan lambat yaitu 120 hari yang merupakan rentang

hidup eritrosit, HbA1c terdiri atas tiga molekul hemoglobin HbA1c, HbA1b dan

HbA1c. Sebesar 70 % HbA1c dalam bentuk 70 % terglikosilasi pada jumlah gula

darah yang tersedia. Jika kadar gula darah meningkat selama waktu yang lama, sel

darah merah akan tersaturasi dengan glukosa dan menghasilkan glikohemoglobin.

Bila hemoglobin bercampur dengan larutan glukosa dengan kadar yang tinggi,

rantai beta hemoglobin mengikat glukosa secara reversible. Pada orang normal 3

sampai 6 persen hemoglobin merupakan hemoglobin glikosilat yang dinamakan

kadar HbA1c. Pada hiperglikemia kronik kadar HbA1c dapat meningkat 18-20 % .

glikolisasi tidak mempengaruhi kapasitas hemoglobin untuk mengikat dan

melepaskan oksigen, tetapi kadar HbA1c yang tinggi mencerminkan adanya diabetes

yang tidak terkontrol selama 3-5 minggu sebelumnya. Setelah keadaan


normoglikemia dicapai, kadar HbA1c menjadi normal kembali dalam waktu kira-

kira 3 minggu.

Berdasarkan nilai normal kadar HbA1c pengendalian Diabetes Melitus dapat

dikelompokan menjadi 3 kriteria yaitu :

a. DM terkontrol baik / kriteria baik : <6,5%

b. DM cukup terkontrol / kriteria sedang : 6,5 % - 8,0 %

c. DM tidak terkontrol / kriteria buruk : > 8,0 %

Pemeriksaan gula darah hanya mencerminkan kadar gula darah pada saat

diabetes diperiksa, tetapi tidak menggambarkan pengendalian diabetes jangka

panjang ( 3 bulan). Meski demikian, pemeriksaan gula darah tetap diperlukan

dalam pengelolaan diabetes, terutama untuk mengatasi permasalahan yang mungkin

timbul akibat perubahan kadar gula darah yang timbul secara mendadak. Jadi,

pemeriksaan HbA1c tidak dapat menggantikan maupun digantikan oleh pemeriksaan

gula darah, tetapi pemeriksaan ini saling menunjang untuk memperoleh informasi

yang tepat mengenai kualitas pengendalian diabetes seseorang.

H. Komplikasi

1. Komplikasi Akut

a. Hipoglikemia

Hipoglikemia adalah keadaan dimana kadar gula darah dibawah nilai normal.

Hipoglikemia pada penderita Diabetes Melitus terjadi karena terapi insulin atau

sulfonuria. Faktor yang memudahkan terjadinya hipoglikemia pada pasien

Diabetes Melitus adalah pemasukan makanan yang terlambat dan latihan jasmani

yang berlebihan.
b. Hiperglikemia

Hiperglikemia menjadi :

1) Diabetes Keto Asidosis

Pada umumnya sel beta pankreas gagal atau terhambat oleh beberapa

keadaan yang menyebabkan sekresi insulin menjadi tidak kuat. Defisiensi

insulin menyebabkan peningkatan hormon glukagon dan perubahan rasio ini

menimbulkan peningkatan lipolisis di jaringan lemak serta ketogenesis di

hati. Lipolisis terjadi karena defisiensi insulin merangsang kegiatan lipase di

jaringan lemak dengan akibat bertambahnya pasokan asam lemak bebas ke

hati di dalam sel mitokondria di hati terjadi ojksidasi beta yang mengubah

asam lemak ini menjadi keton. Ketogenesis ini menghasilkan asam aseto

asetat yang bersifat tidak stabil dan akan mengalami dehidrogenasi menjadi

asam beta hidroksibutirat dan dekarboksilat spontan menjadi aseton.

2) Non Ketotik Hiperosmolar

Pada pasien NKH insulin masih cukup untuk mencegah ketosis, tetapi

tidak dapat mempertahankan homeostasis glukosa. Adanya keadaan

hiperosmolar dan dehidrasi mengurangi pelepasan asam lemak bebas. Peran

hormon lipotik seperti glukagon pada NKH kecil sehingga asam lemak bebas

berkurang.

3) Asidosis Laktat (AL)

Asidosis Laktat adalah suatu akibat adanya kenaikan kadar asam laktat

dalam otot skelet dan jaringan lainnya. Hal ini menyebabkan terjadinya

glikolisis anaerob yang mengahasilkan peningkatan asam laktat. Pada AL

didapat penurunan PH darah.


2. Komplikasi kronik

Kompliksi yang berhubungan dengan DM kronik sangat kompleks dan

multifaktor. Mekanisme yang tepat bagaimana keadaan defisiensi insulin ini dapat

memicu terjadinya gangguan metabolik dan vaskuler serta jaringan yang rentan

masih merupakan dugaan yang sangat spekulatif. kronik ini dibagi menjadi :

a. Mikrovaskuler (mikroangiopati)

Mikroangiopati merupakan lesi spesifik Diabetes yang menyerang kapiler dan

arteriola retina (retinopati diabetic), glomerulus ginjal (nefropati diabetic), dan

saraf-saraf perifer ( neuropati diabetic), otot dan kulit. Akibat defisiensi insulin

akan terjadi hiperglikemia, yang bila terjadi dalam waktu lama mengakibatkan

berkurangnya kadar monositol yang akan mengganggu osmoregulasi sel hingga

sel itu rusak.

b. Makrovaskuler

Komplikasi makroangiopati lebih berkaitan dengan resistensi insulin

hiperinsulinemia, disiplidemia, peningkatan agregasi trombosit dan gangguan

fibrinilisis. Resistensi insulin ternyata berkaitan sejumlah gangguan metabolisme

yang semuanya akan meningkatkan resiko penyakit jantung koroner (PJK).

Gambaran makroangiopati berupa arterokierosis. Pada akhirnya makroagiopati

diabetik akan mengakibatkan penyumbatan vaskuler.

I. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan DM dimulai dengan pola hidup sehat, dan bila perlu

dilakukan intervensi farmakologis dengan obat antihiperglikemia secara oral dan/atau

suntikan.
1. Edukasi

Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu dilakukan sebagai

bagian dari upaya pencegahan dan merupakan bagian yang sangat penting dari

pengelolaan DM secara holistik.

2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)

Penyandang DM perlu diberikan penekanan mengenai pentingnya

keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka

yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.

3. Latihan Jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-5 hari

seminggu selama sekitar 30-45 menit , dengan total 150 menit perminggu,

dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Latihan jasmani

yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas

sedang (50-70% denyut jantung maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda santai,

jogging, dan berenang. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara = 220-

usia pasien.

4. Intervensi Farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan

latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral

dan bentuk suntikan.

a. Obat Antihiperglikemia Oral

Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi

menjadi 5 golongan:

1) Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue): Sulfonilurea

dan Glinid
a) Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama memacu

sekresi insulin oleh sel beta pankreas.

b) Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan

sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi

insulin fase pertama. Obat ini dapat mengatasi

hiperglikemia post prandial.

2) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin: Metformin dan

Tiazolidindion (TZD)

a) Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi

glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan

glukosa perifer. Metformin merupakan pilihan pertama

pada sebagian besar kasus Diabetes Melitus tipe 2.

b) Tiazolidindion (TZD) merupakan agonis dari Peroxisome

Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-), suatu

reseptor inti termasuk di sel otot, lemak, dan hati.

Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi

insulin dengan jumlah protein pengangkut glukosa,

sehingga meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Obat

ini dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung

(NYHA FC IIIIV) karena dapat memperberat

edema/retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati,

dan bila diberikan perlu pemantauan faal hati secara


berkala. Obat yang masuk dalam golongan ini adalah

Pioglitazone.

3) Penghambat Absorpsi Glukosa: Penghambat Glukosidase Alfa.

Obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi

glukosa dalam usus halus, sehingga mempunyai efek

menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan. Penghambat

glukosidase alfa tidak digunakan bila GFR 30ml/min/1,73 m2

, gangguan faal hati yang berat, irritable bowel syndrome.

4) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)

Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja

enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap

dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas

GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan

sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah (glucose

dependent)

5) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)

Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat

antidiabetes oral jenis baru yang menghambat reabsorpsi

glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat

transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini

antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin,

Ipragliflozin.
J. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian Primer

Pengkajian dilakukan secara cepat dan sistemik, antara lain :

a. Airway

Lidah jatuh kebelakang (coma hipoglikemik), benda asing /darah pada rongga

mulut

b. Breathing

Ekspos dada, evaluasi pernafasan, KAD : pernafasan kussmaul. HONK : tidak

ada pernafasan kussmaul (cepat dan dalam)

c. Circulation

Tanda dan gejala syok

d. Disability

Pemeriksaan neurologis (GCS),

1) Allert : sadar penuh, respon bagus.

2) Voice Respon : kesadaran menurun, berespon terhadap suara.

3) Pain Respon : kesadaran menurun, tidak berspon terhadap suara, berespon

terhadap rangsangan nyeri

4) Underespons : kesadaran menurun, tidak berespon terhadap suara, tidak

berespon terhadap rangsangan nyeri.

2. Pengkajian Sekunder

Pemeriksaan sekunder dilakukan setelah memberikan pertolongan atau penanganan

pada pemeriksaan primer, pemeriksaan sekunder meliputi :

a. AMPLE : alergi, medication, past illness, last meal, event

b. Pemeriksaan seluruh tubuh : head to toe

c. Pemeriksaan penunjang : lebih detail, evaluasi banding


d. Pemeriksaan diagnostik

1) Tes toleransi glukosa memanjang (lebih besar dari 200 mg/dl).

2) Gula darah puasa normal atau diatas normal

3. Pengkajian head to toe

a. Data subyektif :

1) Riwayat penyakit dahulu

2) Riwayat penyakit sekarang

3) Status metabolik : intake makanan yang melebihi kebutuhan kalori, infeksi

atau penyakit-penyakit akut lain, stress yang berhubungan dengan faktor-

faktor psikologis dan social, obat-obatan atau terapi lain yang mempengaruhi

glikosa darah, penghentian insulin atau obat anti hiperglikemik oral.

b. Data Obyektif :

1) Aktivitas / Istirahat

Gejala : Lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, kram otot, tonus otot menurun,

gangguan istrahat/tidur.

Tanda : Takikardia dan takipnea pada keadaan istrahat atau aktifitas

Letargi/disorientasi, koma

2) Sirkulas

Gejala : Adanya riwayat hipertensi, IM akut, klaudikasi, kebas dan

kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama,

takikardia.

Tanda : Perubahan tekanan darah postural, hipertensi, nadi yang

menurun/tidak ada, disritmia, krekels, distensi vena jugularis, kulit panas,

kering, dan kemerahan, bola mata cekung.


3) Eliminasi

Gejala : Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, rasa nyeri/terbakar,

kesulitan berkemih (infeksi), ISK baru/berulang, nyeri tekan abdomen, diare.

Tanda : Urine encer, pucat, kuning, poliuri ( dapat berkembang menjadi

oliguria/anuria, jika terjadi hipovolemia berat), urin berkabut, bau busuk

(infeksi), abdomen keras, adanya asites, bising usus lemah dan menurun,

hiperaktif (diare)

4) Nutrisi/Cairan

Gejala : Hilang nafsu makan, mual/muntah, tidak mematuhi diet, peningkatan

masukan glukosa/karbohidrat, penurunan berat badan lebih dari beberapa

hari/minggu, haus, penggunaan diuretik (Thiazid)

Tanda : Kulit kering/bersisik, turgor jelek, kekakuan/distensi abdomen,

muntah, pembesaran tiroid (peningkatan kebutuhan metabolik dengan

peningkatan gula darah), bau halisitosis/manis, bau buah (napas aseton)

5) Neurosensori

Gejala : Pusing/pening, sakit kepala, kesemutan, kebas, kelemahan pada otot,

parestesi, gangguan penglihatan

Tanda : Disorientasi, mengantuk, alergi, stupor/koma (tahap lanjut),

gangguan memori (baru, masa lalu), kacau mental, refleks tendon dalam

menurun (koma), aktifitas kejang (tahap lanjut dari DKA).

6) Nyeri/kenyamanan

Gejala : Abdomen yang tegang/nyeri (sedang/berat)

Tanda : Wajah meringis dengan palpitasi, tampak sangat berhati-hati


7) Pernapasan

Gejala : Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/tanpa sputum purulen

(tergantung adanya infeksi/tidak)

Tanda : Lapar udara, batuk dengan/tanpa sputum purulen, frekuensi

pernapasan meningkat

8) Integumen

Gejala : Kulit kering, gatal, ulkus kulit

Tanda : Demam, diaphoresis, kulit rusak, lesi/ulserasi, menurunnya kekuatan

umum/rentang gerak, parestesia/paralisis otot termasuk otot-otot pernapasan

(jika kadar kalium menurun dengan cukup tajam)

4. Diagnosa keperawatan

a. Kurang volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik (dari

hiperglikemia).

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

ketidakcukupan insulin ( penurunan ambilan dan penggunaan glokosa oleh

jaringan mengakibatkan peningkatan metabolisme protein/lemak)

c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan energy metabolic


5. Rencana keperawatan

a. Kurang volume cairan berhubungan dengan diuresis osmotik (darihiperglikemia).

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Kurang volume cairan NOC: NIC :


Berhubungan dengan: 1. Fluid balance 1. Pertahankan catatan intake
1. Kehilangan volume 2. Hydration dan output yang akurat
cairan secara aktif 3. Nutritional Status : 2. Monitor status hidrasi (
2. Kegagalan Food and Fluid Intake kelembaban membran
mekanisme Setelah dilakukan mukosa, nadi adekuat,
pengaturan tindakan keperawatan tekanan darah ortostatik ),
DS : defisit volume cairan jika diperlukan
Haus teratasi dengan kriteria 3. Monitor hasil lab yang
DO: hasil: sesuai dengan retensi cairan
1. Penurunan turgor 1. Mempertahankan urine (BUN ,Hematokrit ,
kulit/lidah output sesuai dengan osmolalitas urin, albumin,
2. Membran usia dan BB, BJ urine total protein )
mukosa/kulit kering normal. 4. Monitor vital sign setiap 15
3. Peningkatan denyut 2. Tekanan darah, nadi, menit 1 jam
nadi, penurunan suhu tubuh dalam batas 5. Kolaborasi pemberian
tekanan darah, normal cairan IV
penurunan 3. Tidak ada tanda tanda 6. Monitor status nutrisi
volume/tekanan nadi dehidrasi, Elastisitas 7. Berikan cairan oral
4. Pengisian vena turgor kulit baik, 8. Berikan penggantian
menurun membran mukosa nasogatrik sesuai output (50
5. Perubahan status lembab, tidak ada rasa 100cc/jam)
mental haus yang berlebihan 9. Dorong keluarga untuk
6. Konsentrasi urine 4. Orientasi terhadap membantu pasien makan
meningkat waktu dan tempat baik 10. Kolaborasi dokter jika tanda
7. Temperatur tubuh 5. Jumlah dan irama cairan berlebih muncul
meningkat pernapasan dalam memburuk
8. Kehilangan berat batas normal 11. Atur kemungkinan tranfusi
badan secara tiba-tiba 6. Elektrolit, Hb, Hmt 12. Persiapan untuk tranfusi
9. Penurunan urine dalam batas normal 13. Pasang kateter jika perlu
output 7. PH urin dalam batas 14. Monitor intake dan urin
10. HMT meningkat normal output setiap 8 jam
11. Kelemahan 8. Intake oral dan
intravena adekuat

b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

ketidakcukupan insulin ( penurunan ambilan dan penggunaan glokosa oleh

jaringan mengakibatkan peningkatan metabolisme protein/lemak

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Ketidakseimbangan nutrisi NOC: 1. Kaji adanya alergi makanan


kurang dari kebutuhan tubuh a. Nutritional status: 2. Kolaborasi dengan ahli gizi
Berhubungan dengan : Adequacy of nutrient untuk menentukan jumlah
Ketidakmampuan untuk b. Nutritional Status : kalori dan nutrisi yang
memasukkan atau mencerna food and Fluid Intake dibutuhkan pasien
nutrisi oleh karena faktor c. Weight Control 3. Yakinkan diet yang
biologis, psikologis atau Setelah dilakukan dimakan mengandung
ekonomi. tindakan keperawatan tinggi serat untuk mencegah
DS: nutrisi kurang teratasi konstipasi
12. Nyeri abdomen dengan indikator: 4. Ajarkan pasien bagaimana
13. Muntah 1. Albumin serum membuat catatan makanan
14. Kejang perut 2. Pre albumin serum harian.
15. Rasa penuh tiba-tiba 3. Hematokrit 5. Monitor adanya penurunan
setelah makan 4. Hemoglobin BB dan gula darah
DO: 5. Total iron binding 6. Monitor lingkungan selama
1. Diare capacity makan
2. Rontok rambut yang 6. Jumlah limfosit 7. Jadwalkan pengobatan dan
berlebih tindakan tidak selama jam
3. Kurang nafsu makan makan
4. Bising usus berlebih 8. Monitor turgor kulit
5. Konjungtiva pucat 9. Monitor kekeringan, rambut
6. Denyut nadi lemah kusam, total protein,
Hemoglobin dan kadar
Hematokrit
10. Monitor mual dan muntah
11. Monitor pucat, kemerahan,
dan kekeringan jaringan
konjungtiva
12. Monitor intake nuntrisi
13. Informasikan pada klien
dan keluarga tentang
manfaat nutrisi
14. Kolaborasi dengan dokter
tentang kebutuhan
suplemen makanan seperti
NGT/ TPN sehingga intake
cairan yang adekuat dapat
dipertahankan.
15. Atur posisi semi fowler atau
fowler tinggi selama makan
16. Kelola pemberan anti
emetik
17. Anjurkan banyak minum
18. Pertahankan terapi IV line
19. Catat adanya edema,
hiperemik, hipertonik papila
lidah dan cavitas oval
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan energy metabolic

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi

Intoleransi aktivitas NOC : NIC :


Berhubungan dengan : 1. Self Care : ADLs 1. Observasi adanya
1. Tirah Baring atau 2. Toleransi aktivitas pembatasan klien dalam
imobilisasi 3. Konservasi eneergi melakukan aktivitas
2. Kelemahan menyeluruh Setelah dilakukan tindakan 2. Kaji adanya faktor yang
3. Ketidakseimbangan keperawatan Pasien menyebabkan kelelahan
antara suplei oksigen bertoleransi terhadap 3. Monitor nutrisi dan
dengan kebutuhan aktivitas dengan sumber energi yang
Gaya hidup yang Kriteria Hasil : adekuat
dipertahankan. 1. Berpartisipasi dalam 4. Monitor pasien akan
DS: aktivitas fisik tanpa adanya kelelahan fisik
1. Melaporkan secara disertai peningkatan dan emosi secara
verbal adanya kelelahan tekanan darah, nadi berlebihan
atau kelemahan. dan RR 5. Monitor respon
2. Adanya dyspneu atau 2. Mampu melakukan kardivaskuler terhadap
ketidaknyamanan saat aktivitas sehari hari aktivitas (takikardi,
beraktivitas. (ADLs) secara mandiri disritmia, sesak nafas,
DO : 3. Keseimbangan diaporesis, pucat,
1. Respon abnormal dari aktivitas dan istirahat perubahan
tekanan darah atau nadi hemodinamik)
terhadap aktifitas 6. Monitor pola tidur dan
2. Perubahan ECG : lamanya tidur/istirahat
aritmia, iskemia pasien
7. Kolaborasikan dengan
Tenaga Rehabilitasi
Medik dalam
merencanakan progran
terapi yang tepat.
8. Bantu klien untuk
mengidentifikasi
aktivitas yang mampu
dilakukan
9. Bantu untuk memilih
aktivitas konsisten yang
sesuai dengan
kemampuan fisik,
psikologi dan sosial
10. Bantu untuk
mengidentifikasi dan
mendapatkan sumber
yang diperlukan untuk
aktivitas yang diinginkan
11. Bantu untuk mendpatkan
alat bantuan aktivitas
seperti kursi roda, krek
12. Bantu untuk
mengidentifikasi
aktivitas yang disukai
13. Bantu klien untuk
membuat jadwal latihan
diwaktu luang
14. Bantu pasien/keluarga
untuk mengidentifikasi
kekurangan dalam
beraktivitas
15. Sediakan penguatan
positif bagi yang aktif
beraktivitas
16. Bantu pasien untuk
mengembangkan
motivasi diri dan
penguatan
17. Monitor respon fisik,
emosi, sosial dan
spiritual

Anda mungkin juga menyukai