Anda di halaman 1dari 24

Clinical Science Session

PERSALINAN PRETERM

Oleh:

Radhiatul Mardhiah 1210312070

Preseptor:

dr. Masrizal N, Sp.OG

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSUD Dr. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2017
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Persalinan preterm merupakan salah satu penyebab morbiditas dan

mortalitas perinatal di seluruh dunia. Persalinan preterm menyebabkan mortalitas

70% perinatal dan neonatal, dan morbiditas jangka panjang, yang meliputi

retardasi mental, serebral palsi, gangguan perkembangan, seizure disorder,

kebutaan, hilangnya pendengaran, dan gangguan non neurologis, seperti penyakit

paru kronis dan neuropati. Oleh karena itu persalinan preterm bukan hanya

menjadi masalah obstetri yang paling umum tapi dapat menjadi masalah obstetri

yang paling serius (Rima, 2010).

Persalinan preterm didefinisikan sebagai persalinan yang terjadi pada usia

kehamilan kurang dari 37 minggu, dimana terjadi kontraksi uterus yang teratur

yang berhubungan dengan penipisan dan dilatasi serviks. Terdapat definisi lain

tentang persalinan preterm, yaitu persalinan yang terjadi antara usia kehamilan 20

dan 37 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir. Bayi yang lahir prematur

memiliki berat badan lahir rendah dan hubungan antara umur kehamilan dengan

berat badan lahir mencerminkan kecukupan pertumbuhan intra uterin

(Cunningham, 2012).

Angka kejadian persalinan preterm umumnya bervariasi antara 6 15%

pada seluruh persalinan. Diperkirakan di Asia terdapat 6.097 per 1000 kelahiran

atau 9,1%, dan di Asia Tenggara 6.097 per 1000 kelahiran (11,1%) (Stacy et al,

2010). Di Indonesia belum ada angka yang secara nasional menunjukkan

kejadian persalinan preterm, namun pernah dilaporkan angka kejadian persalinan

1
preterm di rumah sakit di Jakarta sebesar 13,3% dan di rumah sakit di bandung

sekitar 9,9% pada tahun 2001 (Rima, 2010).

Di Amerika Serikat pada tahun 2005, 8.384 bayi meninggal pada tahun

pertama kehidupan mereka, kelahiran kurang bulan terkait dengan dua per tiga

kematian ini. Angka kelahiran kurang bulan pernah menjadi penyumbang terbesar

kematian bayi di Amerika Serikat. Berbagai jenis morbiditas terutama

dikarenakan sistem organ yang imatur secara signifikan meningkat pada bayi yang

lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu dibandingkan dengan bayi yang lahir

aterm (Cunningham, 2012).

Keberhasilan menurunkan angka morbiditas dan mortalitas perinatal yang

berhubungan dengan persalinan preterm memerlukan identifikasi faktor resiko.

Sehingga diperlukan pemahaman yang lebih baik tentang faktor faktor resiko

psikososial, etiologi, dan mekanisme persalinan preterm (Rima, 2010).

1.2 Batasan Masalah

Makalah ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi dan

patofisiologi, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi serta pencegahan dari

kehamilan preterm.

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui definisi, epidemiologi,

etiologi dan patofisiologi, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi serta

pencegahan dari kehamilan preterm.

1.4 Metode Penulisan

Penulisan makalah ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan yang

merujuk kepada beberapa literatur.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Persalinan preterm didefinisikan sebagai persalinan yang terjadi sebelum

usia kehamilan 37 minggu atau kurang dari 259 hari sejak hari pertama haid

terakhir (C.Hubinont, 2011). Partus prematurus atau persalinan prematur juga

diartikan sebagai dimulainya kontraksi uterus yang teratur disertai pendataran dan

atau dilatasi serviks serta turunnya bayi pada wanita hamil yang lama

kehamilannya kurang dari 37 minggu (kurang dari 259 hari) dari hari pertama

haid terakhir (Oxorn, 2010). Himpunan Kedokteran Fetomaternal (POGI) di

Semarang menetapkan bahwa persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi

pada usia kehamilan 22 37 minggu (Rima, 2010).

2.2 Epidemiologi

Kejadian persalinan preterm tidak merata disetiap wanita hamil. Dari suatu

penelitian didapatkan bahwa kejadian persalinan preterm pada wanita dengan kulit

hitam adalah 2 kali lebih banyak dibandingkan ras lain di Amerika Serikat.

Persalinan preterm wanita kulit putih lebih banyak berupa persalinan preterm

spontan dengan selaput ketuban utuh, sedangkan pada wanita kulit hitam

umumnya didahului dengan ketuban pecah dini. Persalinan preterm juga dapat

dibagi menurut usia kehamilan, sekitar 5% persalinan preterm terjadi pada usia

kurang dari 28 minggu (extreme prematurity), sekitar 15% terjadi pada usia

kehamilan 28-31 minggu (severe prematurity), sekitar 20% pada usia 32-33

minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada usia 34-36 minggu (near term)

(Rima, 2010.)

3
Diperkirakan di Asia terdapat 6.097 persalinan preterm per 1000 kelahiran

atau 9,1%, dan di Asia Tenggara 6.097 per 1000 kelahiran (11,1%) (Stacy et al,

2010). Angka kejadian persalinan prematur di Indonesia pada tahun 1983 adalah

18,5% dan pada tahun 1995 menurun menjadi 14,2%. Menurut data terakhir pada

tahun 2005 jumlah persalinan prematur di Indonesia adalah 10% (Oxorn, 2010).

Prematuritas sekarang ini menjadi faktor tersering terkait morbiditas dan

mortalitas bayi. Anoksia 12 kali lebih sering terjadi pada bayi bayi prematur,

gangguan respirasi menyebabkan kematian sebesar 44% pada bayi usia kurang

dari 1 bulan. Jika berat bayi kurang dari 1000 gram maka angka kematian naik

menjadi 74%. Karena lunaknya tulang tengkorak serta immaturitas, bayi prematur

lebih rentan terhadap kompresi kepala. Perdarahan intrakranial lebih sering terjadi

pada bayi prematur dibandikan dengan bayi aterm (Oxorn, 2010). Setiap tahun

sekitar 4 juta bayi meninggal dalam 4 minggu pertama kehidupan (periode

neonatal). Secara global diperkirakan penyebab langsung kematian neonatal

adalah prematuritas (28%), infeksi berat 26%, dan asfiksia 28% (Cunningham,

2012).

2.3 Etiologi dan Patofisiologi

Penyebab persalinan preterm untuk semua kasus adalah berbeda beda.

Persalinan preterm, merupakan kelainan proses yang multifaktorial. Kombinasi

keadaan obstetrik, sosiodemografi, dan faktor medik memiliki pengaruh terhadap

terjadinya persalinan preterm. Kadang hanya resiko tunggal dijumpai seperti

distensi berlebih uterus, ketuban pecah dini atau trauma (Sarwono, 2010).

Sekitar 35% persalinan preterm terjadi tanpa diketahui penyebab yang

jelas, 30% akibat persalinan elektif, 10% pada kehamilan ganda, dan sebagian lain

4
akibat kondisi ibu dan janinnya. Kondisi selama kehamilan yang berisiko

terjadinya persalinan preterm adalah:

Janin dan plasenta

- Perdarahan trimester awal

- Perdarahan antepartum (plasenta previa, solusio plasenta, vasa previa)

- Ketuban pecah dini (KPD)

- Pertumbuhan janin terhambat

- Cacat bawaan janin

- Kehamilan ganda/gemeli

- Polihidramnion

Ibu

- Penyakit berat pada ibu

- Diabetes melitus

- Preeklampsia/hipertensi

- Infeksi saluran kemih/genital/intrauterine

- Penyakit infeksi dengan demam

- Stress psikologik

- Kelainan bentuk uterus/serviks

- Riwayat persalinan preterm/ abortus berulang

- Inkompetensi serviks (panjang serviks kurang dari 1 cm)

- Pemakaian obat narkotik

- Trauma

- Perokok berat

- Kelainan imunologi/ kelainan resus

5
Terdapat empat penyebab utama untuk kelahiran kurang bulan di Amerika

Serikat. yaitu :

1. Persalinan atas indikasi ibu atau janin sehingga persalinan diinduksi atau bayi

dilahirkan dengan persalinan sesar.

2. Persalinan kurang bulan spontan tak terjelaskan dengan selaput ketuban utuh.

3. Ketuban pecah dini preterm (PPROM) idiopatik

4. Kelahiran kembar dan multijanin

Banyak kasus persalinan prematur sebagai akibat proses patogenik yang

akibat mediator biokimia yang mempunyai dampak terjadinya kontraksi rahim

dan perubahan serviks, yaitu aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal

baik pada ibu maupun janin, akibat stress pada ibu ataupun janin, inflamasi

desidua-korioamnion atau sistemik akibat infeksi ascenden dari traktus

genitourinari atau infeksi sistemik, perdarahan desidua, peregangan uterus

patologik, serta kelainan pada uterus atau serviks. Dengan demikian, untuk

memprediksi kemungkinan terjadinya persalinan preterm harus dicermati

beberapa kondisi yang dapat menimbulkan kontraksi, menyebabkan persalinan

prematur (Sarwono, 2010).

2.3.1 Indikasi Medis dan Obstetris

Preeklampsia, distress janin, kecil masa kehamilan, dan solusio plasenta

merupakan indikasi paling umum atas intervensi medis yang mengakibatkan

persalinan preterm. Penyebab lain yang kurang umum adalah hipertensi kronik,

plasenta previa, perdarahan tanpa sebab yang jelas, diabetes, penyakit ginjal

(Cuningham, 2012).

6
2.3.2 Ketuban Pecah Dini Preterm

Didefinisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum persalinan dan sebelum

usia kehamilan 37 minggu, ketuban pecah dini prematur dapat disebabkan oleh

beragam mekanisme patologis termasuk infeksi intraamnion. Faktor lain yang

terlibat adalah indeks massa tubuh yang rendah kurang dari 19,8, kurang gizi, dan

merokok. Wanita dengan riwayat ketuban pecah dini preterm sebelumnya

memiliki resiko yang tinggi terjadinya rekurensi pada kehamilan berikutnya.

Namun kebanyakan kasus ketuban pecah preterm terjadi tanpa faktor resiko

(Cuningham, 2012).

2.3.3 Persalinan Kurang Bulan Spontan

Persalinan kurang bulan spontan dikaitkan dengan beberapa hal, yaitu

withdrawal progesteron, inisiasi oksitosin, dan aktivitas desidua. Teori

withdrawal progesteron menjelaskan bahwa semakin mendekati proses persalinan

sumbu adrenal janin menjadi lebih sensitif terhadap adrenokortikotropik sehingga

meningkatkan sekeresi kortisol. Kortisol janin merangsang aktivitas 17-

hidroksidase plasenta sehingga mengurangi sekresi progesteron dan

meningkatkan produksi estrogen. Kondisi ini menyebabkan peningkatan

pembentukan prostaglandin yang memicu persalinan preterm (Goldenberg et al,

2008).

Patofisiologi yang menyebabkan inisiasi persalinan melibatkan aktivasi

inflamasi desidua. Pada kasus persalinan preterm, aktivasi desidua tampaknya

muncul pada kasus perdarahan intrauterin atau infeksi intrauteri (Louis J, 2010).

7
2.3.4 Infeksi Intra Uterin

Infeksi intra uterin merupakan salah satu penyebab terjadinya persalinan

preterm. Infeksi bakterial dalam uterus dapat terjadi antara jaringan maternal dan

fetal membran (dalam koriodesidual space), dalam fetal membran (amnion dan

korion) yang disebut korioamnionitis, infeksi pada placenta, infeksi pada cairan

amnion yang disebut amnionitis, dan infeksi pada tali pusat yang disebut funitis.

Infeksi jarang terjadi pada kehamilan prematur akhir (34-36 minggu), dan lebih

sering terjadi pada usia kehamilan kurang dari 30 minggu (Franklin. 2000).

Gambar 2.1 Tempat potensial terjadinya infeksi bakteri intrauterin

Ada beberapa jalur yang dapat menyebabkan masuknya bakteri ke dalam

uterus. Bakteri dapat berasal dari migrasi dari kavum abdomen melalui

tubafallopi, infeksi dari jarum amnionsintesis yang terkontaminasi, secara

hematogen melalui plasenta, atau melalui serviks dari vagina. Pada persalinan

8
preterm dengan membran yang utuh bakteri yang paling banyak ditemukan adalah

Ureaplasma urealitycum, Mycoplasma hominis, Gardnerella vaginalis dan

spesies bakterioides (Franklin, 2000). Organisme yang sering berhubungan

dengan infeksi saluran genital pada wanita tidak hamil Neisseria gonorrhoeae dan

Chlamydia trachomatis, jarang ditemukan dalam uterus sebelum pecah ketuban,

sedangkan bakteri yang sangat sering berhubungan dengan korioamnionitis dan

infeksi janin setelah pecah ketubah, group B streptococci dan Escherichia coli,

hanya ditemukan kadang-kadang.

Organisme ini mencapai uterus dapat melalui plasenta dari sirkulasi atau

mungkin dengan kontak oral genital. Meskipun demikian, kebanyakan bakteri

yang ditemukan dalam uterus dalam hubungannya dengan persalinan prematur

berasal dari vagina. Bakteri dari vagina menyebar secara ascendens pertama kali

ke dalam ruang koriodesidua. Pada beberapa wanita, organisme ini melewati

membran korioamniotik yang intak ke dalam cairan amnion, dan beberapa fetus

akhirnya menjadi terinfeksi.

Waktu terjadinya infeksi

Bukti terakhir menunjukkan bahwa infeksi intrauterine mungkin terjadi

jauh lebih awal saat hamil dan masih tidak terdeteksi selama beberapa bulan.

Sebagai contoh U. urealyticum telah terdeteksi pada beberapa sampel cairan

amnion yang diperoleh dari analisis kromosom rutin pada usia kehamilan 15 18

minggu. Kebanyakan wanita ini melakukan persalinan sekitar usia kehamilan 24

minggu. Lebih lanjut, konsentrasi interlekin 6 yang tinggi dalam cairan amnion

pada minggu 15 20 berhubungan dengan persalinan prematur spontan setelah 32

34 minggu.

9
Mekanisme persalinan prematur akibat infeksi

Data dari penelitian hewan, in vitro dan manusia seluruhnya memberikan

gambaran yang konsisten bagaimana infeksi bakteri menyebabkan persalinan

prematur spontan (gambar 2.2). Invasi bakteri pada rongga koriodesidua,

menyebabkan pelepasan endotoksin dan eksotoksin, mengaktivasi desidua dan

membran janin untuk menghasilkan sejumlah sitokin, termasuk tumor necrosis

factor, interleukin-1, interleukin-1, interleukin-6, interleukin-8, dan granulocyte

colony-stimulating factor. Selanjutnya, cytokines, endotoxins, dan exotoxins

merangsang sistesis dan pelepasan prostaglandin dan juga mengawali chemotaxis,

infiltrasi, dan aktivasi neutrofil. Prostaglandin merangsang kontraksi uterus

sedangkan metalloprotease menyerang membran korioamnion yang menyebabkan

pecah ketuban. Metalloprotease juga meremodeling kolagen dalam serviks dan

melembutkannya (Franklin, 2000).

Terdapat jalur lain yang memiliki peranan yang hampir sama. Sebagai

contoh, prostaglandin dehydrogenase dalam jaringan korionik menginaktivasi

prostaglandin yang dihasilkan dalam amnion yang mencegahnya mencapai

miometrium dan menyebabkan kontraksi. Infeksi korionik yang menurunkan

aktivitas dehidrogenase ini menyebabkan peningkatan kuantitas prostaglandin

untuk mencapai miometrium (Rima, 2010).

Jalur lain dimana infeksi menyebabkan persalinan prematur melibatkan

janin itu sendiri. Pada janin dengan infeksi, peningkatan produksi corticotropin-

releasing hormone menyebabkan meningkatnya sekresi kortikotropin janin, yang

kemudian meningkatkan produksi kortisol adrenal fetus. Sekresi kortisol yang

tinggi menyebabkan meningkatnya produksi prostaglandin. Contoh lain yaitu

10
ketika fetus itu sendiri terinfeksi, produksi sitokin fetus meningkat dan waktu

untuk persalinan jelas berkurang. Namun, kontribusi relatif kompartemen

maternal dan fetal terhadap respon peradangan keseluruhan tidak diketahui (Rima,

2010).

Gambar 2.2. Alur kolonisasi bakteri koriodesidua yang menyebabkan persalinan

prematur

2.3.5. Aktivasi Aksis Hipothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) Ibu dan Janin

Stress didefiniskan sebagai tantangan baik psikologis ataupun fisik yang

mengancam ataupun mengancam hemostasis pasien akan mengakibatkan aktivasi

prematur Hipothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) janin atau ibu. Stress semakin

diakui sebagai faktor resiko penting terjadinya persalinan preterm.

Neuroendrokin, kekebalan tubuh, proses perlilaku (seperti depresi) telah dikaitkan

11
dengan kejadian persalinan preterm akibat stress. Proses aktivasi prematur HPA

dimediasi oleh corticothropine releasing hormone (CRH) plasenta. Dalam sebuah

hasil penelitian in vivo ditemukan hubungan yang signifikan antara stress

psikososial ibu dengan kadar CRH, ACTH, dan kortisol plasma ibu. Menurut

Hobel dkk, dibandingkan dengan wanita yang melahirkan aterm, wanita yang

preterm memiliki kadar CRH yang meningkat signifikan dengan mempercepat

peningkatan kadar CRH selama kehamilan (Rima, 2010).

Pada persalinan preterm aksis HPA ibu dapat mendorong ekspresi CRH

plasenta. CRH plasenta menstimulasi janin untuk mensekresi kortisol dan

dehydroepiandrosterone synthase (DHEA-S) melalui aktivasi aksis HPA janin dan

menstimulasi plasenta untuk mensisntesis estriol dan prostaglandin, sehingga

mempercepat persalinan preterm (Rima, 2010).

2.4 Diagnosis

2.4.1 Anamnesis

Anamnesis diperlukan untuk mencari faktor resiko. Faktor resiko ini

penting dan dalam kaitannya dengan terjadinya persalinan preterm. Berikut adalah

beberapa faktor resiko terjadinya persalinan preterm : (Rima, 2010)

1. Faktor resiko mayor :

a. Kehamilan multipel

b. Polihidramniom

c. Anomali uterus

d. Dilatasi serviks > 2cm pada usia kehamilan 32 minggu

e. Riwayat abortus 2 kali atau lebih pada trimester II

12
f. Riwayat persalinan preterm sebelumnya

g. Riwayat menjalani prosedur operasi pada serviks

h. Penggunaan cocain dan amphetamine

i. Operasi besar pada abdomen .

2. Faktor resiko minor

a. Perdarahan pervaginam setelah 12 minggu

b. Riwayat pyelonefritis

c. Merokok

d. Riwayat abortus

Pasien tergolong resiko tinggi apabila ditemukan lebih dari satu faktor

resiko mayor atau dua atau lebih fator resiko minor, atau keduanya. Disamping

faktor resiko di atas faktor resiko lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat

sosiobiologi (usia ibu, jumlah anak, obesitas, status sosioekonomi yang rendah,

ras, stress lingkungan) dan komplikasi kehamilan lainnya (infeksi maternal,

preeklampsia-eklampsia, plasenta previa, kehamilan yang diperoleh melalui

bantuan medikasi, terlambat atau tidak melakukan asuhan antenatal) (Rima,

2010).

2.4.2 Gejala Klinis

Sering terjadi kesulitan dalam diagnosis ancaman persalinan preterm.

Differensiasi dini antara persalinan palsu dengan persalinan sebenarnya sulit

ditentukan sebelum adanya pendataran dan dilatasi serviks. Kontraksi uterus

sendiri sulit dibedakan karena adanya kontraksi braxtons hicks. Kontraksi ini

digambarkan sebagai kontraksi yang tidak teratur, tidak ritmis, tidak begitu sakit

atau tidak sakit sama sekali, namun dapat menimbulkan keraguan besar dalam

13
diagnosis persalinan preterm. Tidak jarang wanita yang melahirkan sebelum aterm

memiliki kontraksi yang mirip dengan braxtons hicks yang mengarahkan ke

diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu. Beberapa kriteria yang dapat dipakai

sebagai ancaman persalinan preterm :

a. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau 140 dan 259 hari.

b. Kontraksi uterus (his) yang teratur yaitu berulang 7-8 kali atau 2-3 kali

dalam 10 menit.

c. Merasakan gejala seperti kaku di perut, menyerupai rasa kaku seperti

menstruasi, rasa tekanan intrapelvik, nyeri punggung bawah (low back

pain).

d. Keluar lendir bercampur darah pervaginam.

e. Pemeriksaan dalam menunjukkan serviks telah mendatar 50-80%, atau

telah terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm.

f. Selaput amnion sering kali telah pecah.

g. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina ischiadika (Cunningham,

2012).

Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan

The American College of Obstreticians and Gynecologists, adalah sebagai berikut

a. Kontraksi yang terjadi 4 kali dalam 20 menit atau 8 kali dalam 60 menit

dan perubahan progresif pada serviks.

b. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm.

c. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.

14
2.4.3. Perubahan serviks

a. Dilatasi serviks

Dilatasi serviks asimtomatik setelah pertengahan masa kehamilan diduga

sebagai fator resiko persalinan preterm (Cunningham, 2012).

b. Panjang serviks

Serviks memegang peranan ganda pada kehamilan. Serviks

mempertahankan isi uterus terhadap pengaruh gravitasi dan tekanan intrauterin

sampai persalinan, dan serviks akan berdilatasi untuk memungkinkan isi uterus

untuk melewatinya selama proses persalinan.

Kompetensi serviks tergantung pada kestuan antara anatomi dan

komposisi biokimia dari serviks. Salah satu indikator dini dari inkompetensia

serviks adalah terjadinya pemendekan dari serviks. Berdasarkan hasil penelitian

dengan ultrasounografi sebagai prediktor persalinan preterm menentukan bahwa

panjang serviks kurang dari 25 mm pada usia kehamilan 24-28 minggu dapat

meningkatkan resiko persalinan preterm (Rima, 2010).

c. Inkompetensia Serviks

Inkompetensia serviks adalah diagnosis klinis yang ditandai dengan

dilatasi serviks berulang, tanpa rasa sakit, dan kejadian kelahiran spontan pada

midtrimester tanpa adanya pecah ketuban spontan, peradarahan, ataupun infeksi.

Dilatasi serviks ini dapat diiikuti prolaps dan menggembungnya membran janin ke

dalam vagina, dan akhirnya ekspulsi janin imatur. Penyebab inkompetensia

serviks ini belum jelas, namun terkait dengan riwayat trauma pada serviks seperti

dilatasi , kuretase, kauterisasi (Rima, 2010).

15
2.4.4. Indikasi Wanita yang beresiko mengalami persalinan preterm

Cara utama untuk mengurangi resiko persalinan preterm dapat dilakukan

sejak awal, sebelum tanda tanda persalinan muncul. Dimulai dengan pengenalan

pasien yang beresiko, untuk diberi penjelasan dan penilaian klinik terhadap

persalinan preterm serta pengenalan kontraksi sedini mungkin, sehingga tindakan

pencegahan dapat segera dilakukan. Pemeriksaan serviks mempunyai manfaat

yang cukup besar dalam memprediksi terjadinya persalinan preterm. Bila

dijumpai serviks pendek (< 1cm) yang disertai dengan pembukaan yang

merupakan tanda serviks matang/inkompetensia serviks, maka pasien tersebut

dikatakan memiliki resiko mengalami persalinan preterm 3-4 kali (Cunningham,

2012).

2.5 Penatalaksanaan

Manajemen persalinan perterm meliputi (P.O.G.I, 2011):

a. Tirah baring (bedrest)

Kepentingan istirahat disesuaikan dengan kebutuhan ibu, namun secara

statistik tidak terbukti dapat mengurangi kejadian kurang bulan secara statistik

(P.O.G.I, 2011).

b. Hidrasi dan sedasi

Hidrasi oral maupun intravena sering dilakukan untuk mencegah

persalinan preterm, karena sering terjadi hipovolemik pada ibu dengan kontraksi

premature, walaupun mekanisme biologisnya belum jelas. Preparat morfin dapat

digunakan untuk mendapatkan efek sedasi (P.O.G.I, 2011).

16
c. Pemberian tokolitik

Tokolitik akan menghambat kontraksi myometrium dan dapat menunda

persalinan. Berikut adalah alasan pemberian tokolitik pada persalinan preterm

(Sarwono, 2010) :

Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi prematur.

Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir

surfaktan paru janin.

Memberi kesempatan trasnfer intrauterin pada fasilitas yang lebih lengkap.

Optimalisasi personel.

Beberapa macam obat yang dapat digunakan sebagai tokolisis :

a. Nifedipin

Nifedipin adalah antagonis kalsium diberikan per oral. Dosis inisial 20 mg,

dilanjutkan 10-20 mg, 3-4 kali perhari, disesuaikan dengan aktivitas uterus sampai

48 jam. Dosis maksimal 60mg/hari, komplikasi yang dapat terjadi adalah sakit

kepala dan hipotensi (P.O.G.I, 2011). Antagonis kalsium merupakan relaksan otot

polos yang menghambat aktivitas uterus dengan mengurangi influks kalsium

melalui kanal kalsium yang bergantung pada 19 voltase. Terdapat beberapa kelas

antagonis kalsium, namun sebagian besar pengalaman klinis adalah dengan

nifedipin (Hadrians, 2007).

Nifedipin diabsorbsi cepat di saluran pencernaan setelah pemberial oral

ataupun sublingual. Konsentrasi maksimal pada plasma umumnya dicapai setelah

15-90 menit setelah pemberian oral, dengan pemberian sublingual konsentrasi

dalam plasma dicapai setelah 5 menit pemberian (Hadrians, 2007) .

17
b. Magnesium sulfat

Magnesium sulfat dipakai sebagai tokolitik yang diberikan secara

parenteral. Dosis awal 4-6 gr IV diberikan dalam 20 menit, diikuti 1-4 gram per

jam tergantung dari produksi urin dan kontraksi uterus. Bila terjadi efek toksik,

berikan kalsium glukonas 1 gram secara IV perlahan-lahan (P.O.G.I, 2011).

c. Atosiban

Antagonis oksitosin salah satu contohnya adalah atosiban dapat menjadi

obat tokolitik di masa depan. Obat ini merupakan alternatif menarik terhadap

obat-obat tokolitik saat ini karena spesifisitasnya yang tinggi dan kurangnya efek

samping terhadap ibu, janin atau neonatus. Atosiban adalah obat sintetik baru

pada golongan obat ini dan telah mendapat izin penggunaannya sebagai tokolitik

di Eropa (Hadrians, 2007). Atosiban menghasilkan efek tokolitik dengan melekat

secara kompetitif dan memblok reseptor oksitosin. Dosis awal 6,75mg bolus

dalam satu menit, diikuti 18mg/jam selama 3 jam per infus, kemudian 6mg/jam

selama 45 jam (P.O.G.I, 2011).

d. Beta2-sympathomimetics

Saat ini sudah banyak ditinggalkan. Preparat yang biasa dipakai adalah

ritodrine, terbutaline, salbutamol, isoxsuprine, fenoterol and hexoprenaline.

Contoh: Ritodrin (Yutopar) Dosis: 50 mg dalam 500 ml larutan glukosa 5%.

Dimulai dengan 10 tetes per menit dan dinaikkan 5 tetes setiap 10 menit sampai

kontraksi uterus hilang. Infus harus dilanjutkan 12 48 jam setelah kontraksi

hilang. Selanjutnya diberikan dosis pemeliharaan satu tablet (10 mg) setiap 8 jam

setelah makan. Nadi ibu, tekanan darah dan denyut jantung janin harus dimonitor

selama pengobatan (Hadrians, 2007).

18
Kontra indikasi pemberian adalah penyakit jantung pada ibu, hipertensi

atau hipotensi, hipertiroidi, diabetes dan perdarahan antepartum. Efek samping

yang dapat terjadi pada ibu adalah palpitasi, rasa panas pada muka (flushing),

mual, sakit kepala, nyeri dada, hipotensi, aritmia kordis, edema paru,

hiperglikemi, dan hipoglikemi. Efek samping pada janin antara lain ft.tal

takhikardia. Inpoglikemia, hipokalemi, ileus dan hipotensi (Hadrians, 2007).

e. Progesteron

Progesteron dapat mencegah persalinan preterm. Injeksi alpha-hi.drax-

ffirogesterone caproate menurunkan persalinan pretern berulang. Dosis 250 mg (1

mL) im tiap minggu sampai 37 minggu kehamilan atau sampai persalinan.

Pemberian dimulai 16-21 minggu kehamilan (P.O.G.I, 2011).

f. COX (Cyclo-oxygenase) -2 inhibitor

Indomethacin

Dosis awal 100 mg, dilanjutkan 50 rng per oral setiap 6 jam untuk 8 kali

pemberian. Jika pemberian lebih dari dua hari,dapat rnenimbulkan

oligohidramnion akibat penurunan renal blood flow janin. Indometasin

direkomendasikan pada kehamilan >32 minggu karena dapat mempercepat

penutupan ductus arteriosus (P.O.G.I, 2011).

4. Pemberian Steroid

Pemakaian kortikosteroid dapat menurunkan kejadian RDS, kematian

neonatal dan perdarahan intraventrikuler. Dianjurkan pada kehamilan 24 34

minggu, namun dapat dipertimbangkan sampai 36 minggu. Kontra indikasi :

infeksi sistemik yang berat, (tuberkulosis dan korioamnionitis). Betametason

merupakan obat terpilih, diberikan secara injeksi intramuskuler dengan dosis 12

19
mg dan diulangi 24 jam kemudian. Efek optimal dapat dicapai dalam 1 - 7 hari

pemberian, setelah 7 hari efeknya masih meningkat. Apabila tidak terdapat

betametason, dapat diberikan deksametason dengan dosis 2 x 5 mg intramuskuler

per hari selama 2 hari (P.O.G.I, 2011).

5. Antibiotika

Pemberian antibiotika pada persalinan tanpa infeksi tidak dianjurkan

karena tidak dapat meningkatkan luaran persalinan. Pada ibu dengan ancaman

persalinan preterm dan terdeteksi adanya vaginosis bakterial, pemberian

klindamisin ( 2 x 300 mg sehari selama 7 hari) atau metronidazol ( 2 x 500 mg

sehari selama 7 hari). atau eritromisin (2 x 500 mg sehari selama 7 hari) akan

bermanfaat bila diberikan pada usia kehamilan minggu (P.O.G.I, 2011).

6. Perencanaan Persalinan

Persalinan preterm harus dipertimbangkan kasus perkasus, dengan

mengikutsertakan pendapat orang tuanya. Untuk kehamilan <32 minggu

sebaiknya ibu dirujuk ke tempat yang mempunyai fasilitas neonatal intensive care

unit (NICU).. Kehamilan 24- 37 minggu diperlakukan sesuai dengan risiko

obstetrik lainnya dan disamakan dengan aturan persalinan aterm. Tidak dianjurkan

forsep atau episiotomi elektif (P.O.G.I, 2011).

2.6 Komplikasi

2.6.1 Komplikasi pada ibu

Pada ibu setelah persalinan preterm, infeksi endometrium lebih sering

terjadi sehingga menyebabkan sepsis dan lambatnya penyembuhan luka

episiotomi (Rima, 2010).

20
2.6.2 Komplikasi pada bayi

Tabel 4. Komplikasi persalinan preterm pada bayi

Masalah masalah utama jangka pendek dan jangka panjang pada berat badan bayi
sangat rendah

Organ atau Masalah jangka pendek Masalah jangka panjang


sistem
Paru paru Sindroma distress pernafasan, kebocoran Displasia bronkopulmunore,
udara, displasia bronkopulmuner, asma.
pneumoprematuritas.
Gastrointestinal Hiperbilirubinemia, gangguan makan Gagal tumbuh, kolestasis
Imunologi Infeksi nosokomial, infeksi perinatal, Infeksi respiratory syncitial
imunodefisiensi. virus, bronkiolitis.
Sistem saraf Perdarahan intraventrikularm leukomalasia Cerebral palsy, hidrosefalus,
pusat periventrikular, hidrosefalus atrofi serebral, hambatan
neurodevelopmental,
Oftalmologi Retinopati prematuritas Kebutaan, ablasio retina,
miopia, starbismus
Kardiovaskuler Hipotensi, paten ductus arteriosus, Hipertensi pulmonal,
hipertensi pulmonal hipertensi saat dewasa
Renal Ketidakseimbangan air dan elektrolit Hipertensi saat dewasa
Hematologi Anemia iatrogenik, memerlukan transfusi
berulang, anemia prematuritas
Endokrinologi Hipoglikemia, kadar tiroksin rendah Kelemahan regulasi
sementara, defisiensi kortisol glukosa, peningkatan
resistensi insulin
2.7 Pencegahan

Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas

yang beruhungan dengan persalinan preterm dapat diklasifikasikan sebagai

berikut :

a. Pencegahan primer (sebelum pembuahan dan selama kehamilan)

Ditujukan kepada semua wanita, sebelum dan selama kehamilan untuk

mencegah dan mengurangi resiko.

- Memberikan pendidikan : kepada semua wanita usia reproduksi diberikan

pendidikan mengenai faktor faktor resiko persalinan preterm.

- Mengkonsumsi suplemen nutrisi

21
- Menghentikan konsumsi rokok

- Melakukan asuhan prenatal.

- Melakukan perawatan periodontal (Rima, 2010).

b. Pencegahan sekunder

Bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi resiko pada wanita yang

diketahui memiliki faktor resiko mengalami persalinan preterm. Bentuk

pencegahan sekunder antara lain, :

- Modifikasi aktivitas ibu (tirah baring, pembatasan aktifitas kerja)

- Pemberian sumplemen nutrisi

- Peningkatan perawatan bagi wanita yang beresiko

- Pemberian progesteron (Rima, 2010).

22
DAFTAR PUSTAKA

Cunningham et al. 2012. Obstetri Williams.Volume 2. Edisi 23. Jakarta : EGC

Franklin H. Epstein. 2000. Intrauterine infection and Preterm Delivery. The New

England Journal of Medicine .

Goldenberg, Robert L. 2008. Epidemiology dan Causes of Preterm

Birth.http://www.thelancet-epidemiology-preterm-birt-pdf.

Kesuma, Hadrians dr. 2007. Obat Obat Tokolitik dalam Bidang Kebidanan.

Departemern Obstetri dan Ginekologi Universitas Sriwijaya. RSUP Moh.

Hoesin Palembang.http://digilib.unsri.ac.id/download/obat%20tokolitik.pdf.

Louis J. 2010. The Enigma of Spontaneus Preterm Birth. The New England

Journal of Medicine. http://nejm0904308-spontaenus-preterm-birtf-pdf.

Novalia, Rima. 2010. Persalian Preterm. Fakultas Kedokteran Universitas

Mulawarman. http:// 97539577/Persalinan-Preterm.

Oxorn, Harry. 2010. Human Labor dan Birth.

1343405.Oxorn_Foote_Human_Labor_and_Birthhttp://

P.O.G.I. 2011. Panduan Pengelolaan Persalianan Preterm Nasional. Bandung :

Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI.

http://kalogisma.com/kepustakaan/pengelolaan%20persalinan%20preterm.p

df

Prawiroharjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Edisi IV. Jakarta : P.T Bina

Pustaka Sarwono Prawiroharjo.

23

Anda mungkin juga menyukai