Anda di halaman 1dari 10

SPONDILITIS TUBERKULOSA

A. Definisi
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis tulang belakang adalah peradangan granulomatosa
yang bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberculosis. Dikenal pula dengan nama
Potts disease of the spine atau tuberculous vertebral osteomyelitis. Spondilitis ini paling
sering ditemukan pada vertebra T8 - L3 dan paling jarang pada vertebra C1 2. Spondilitis
tuberkulosis biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang menyerang arkus vertebrae.

B. Epidemiologi
Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi di seluruh dunia dan biasanya
berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan masyarakat yang tersedia
serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber
morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan sedang berkembang,
terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi merupakan
masalah utama. Pada negara-negara yang sudah berkembang atau maju insidensi ini
mengalami penurunan secara dramatis dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Perlu
dicermati bahwa di Amerika dan Inggris insidensi penyakit ini mengalami peningkatan
pada populasi imigran, tunawisma lanjut usia dan pada orang dengan tahap lanjut infeksi
HIV (Medical Research Council TB and Chest Diseases Unit 1980). Selain itu dari
penelitian juga diketahui bahwa peminum alkohol dan pengguna obat-obatan terlarang
adalah kelompok beresiko besar terkena penyakit ini.
Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi Arabia, penyakit ini terutama mengenai
dewasa, dengan usia rata-rata 40-50 tahun sementara di Asia dan Afrika sebagian besar
mengenai anak-anak (50% kasus terjadi antara usia 1-20 tahun). Pola ini mengalami
perubahan dan terlihat dengan adanya penurunan insidensi infeksi tuberkulosa pada bayi
dan anak-anak di Hong Kong.
Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi
terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena,
akan tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight bearing) dan
mempunyai pergerakan yang cukup besar (mobile) lebih sering terkena dibandingkan
dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus tersebut, tulang belakang merupakan tempat
yang paling sering terkena tuberkulosa tulang (kurang lebih 50% kasus)(Gorse et al.
1983), diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki,
sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area torako-lumbal terutama
torakal bagian bawah (umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang
paling sering terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing
mencapai maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sacral.
Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis
tuberkulosa. Di negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan penyebab
paling sering untuk kondisi paraplegia non traumatik. Insidensi paraplegia, terjadi lebih
tinggi pada orang dewasa dibandingkan dengan anakanak. Hal ini berhubungan dengan
insidensi usia terjadinya infeksi tuberkulosa pada tulang belakang, kecuali pada dekade
pertama dimana sangat jarang ditemukan keadaan ini.

C. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yg bersifat acid-
fastnon-motile (tahan terhadap asam pada pewarnaan, sehingga sering disebut juga
sebagai Basil/bakteri Tahan Asam [BTA]) dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui
cara yang konvensional. Dipergunakan teknik Ziehl-Nielson untuk memvisualisasikannya.
Bakteri tumbuh secara lambat dalam media egg-enriched dengan periode 6-8 minggu.
Produksi niasin merupakan karakteristik Mycobacterium tuberculosis dan dapat
membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain
Spondilitis tuberkulosa merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain
di tubuh, 95 % disebabkan oleh mikobakterium tuberkulosis tipik ( 2/3 dari tipe human dan
1/3 dari tipe bovin ) dan 10 % oleh mikobakterium tuberkulosa
atipik.
Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah
vertebra torakal bawah dan lumbal atas, sehingga diduga
adanya infeksi sekunder dari suatu tuberkulosa traktus
urinarius, yg penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena
paravertebralis.
Meskipun menular, tetapi orang tertular tuberculosis tidak semudah tertular
flu. Penularan penyakit ini memerlukan waktu pemaparan yg cukup lama dan intensif
dengan sumber penyakit (penular). Menurut Mayoclinic, seseorang yg kesehatan fisiknya
baik, memerlukan kontak dengan penderita TB aktif setidaknya 8 jam sehari selama 6
bulan, untuk dapat terinfeksi. Sementara masa inkubasi TB sendiri, yaitu waktu yg
diperlukan dari mula terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan. Bakteri
TB akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung. Tetapi dalam tempat yg lembab,
gelap, dan pada suhu kamar, kuman dapat bertahan hidup selama beberapa jam. Dalam
tubuh, kuman ini dapat tertidur lama (dorman) selama beberapa tahun.

D. Patofisiologi
Spondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosis tulang yang sifatnya
sekunder dari TBC tempat lain di dalam tubuh. Penyebarannya secara hematogen, diduga
terjadinya penyakit ini sering karena penyebaran hematogen dari infeksi traktus urinarius
melalui pleksus Batson. Infeksi TBC vertebra ditandai dengan proses destruksi tulang
progresif tetapi lambat di bagian depan (anterior vertebral body). Penyebaran dari jaringan
yang mengalami perkejuan akan menghalangi proses pembentukan tulang sehingga
berbentuk tuberculos squestra. Sedang jaringan granulasi TBC akan penetrasi ke korteks
dan terbentuk abses paravertebral yang dapat menjalar ke atas atau bawah lewat
ligamentum longitudinal anterior dan posterior. Sedangkan diskus intervertebralis karena
avaskular lebih resisten tetapi akan mengalami dehidrasi dan penyempitan karena dirusak
oleh jaringan granulasi TBC. Kerusakan progresif bagian anterior vertebra akan
menimbulkan kifosis (Savant, 2007).
Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa terdiri dari lima stadium yaitu:
1. Stadium implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, apabila daya tahan tubuh penderita menurun,
bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu.
Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak pada
daerah sentral vertebra.
2. Stadium destruksi awal
Selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra dan penyempitan yang ringan pada
diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra, dan terbentuk massa
kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses, yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium
destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum dan kerusakan diskus
intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di depan (wedging
anterior) akibat kerusakan korpus vertebra sehingga menyebabkan terjadinya kifosis
atau gibbus.
4. Stadium gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi tetapi
ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Vertebra torakalis mempunyai
kanalis spinalis yang kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi di
daerah ini. Apabila terjadi gangguan neurologis, perlu dicatat derajat kerusakan
paraplegia yaitu:
i. Derajat I
Kelemahan pada anggota gerak bawah setelah beraktivitas atau berjalan jauh.
Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.
ii. Derajat II
Kelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita masih dapat melakukan
pekerjaannya.
iii. Derajat III
Kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau aktivitas
penderita disertai dengan hipoestesia atau anestesia.
iv. Derajat IV
Gangguan saraf sensoris dan motoris disertai dengan gangguan defekasi dan
miksi.
TBC paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat
tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia
terjadi karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau kerusakan
langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia
pada penyakit yang tidak aktif atau sembuh terjadi karena tekanan pada
jembatan tulang kanalis spinalis atau pembentukan jaringan fibrosis yang
progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. TBC paraplegia terjadi secara
perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai dengan angulasi dan
gangguan vaskuler vertebra.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium implantasi. Kifosis atau
gibbus bersifat permanen karena kerusakan vertebra yang massif di depan (Savant,
2007).

Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen


atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang
dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang. Pada
penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber infeksi
yang paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius.
Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari fokus
primer di paru-paru sementara pada orang dewasa penyebaran terjadi dari fokus
ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri
intercostal atau lumbar yang memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan,
yaitu setengah bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya
atau melalui pleksus Batsons yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan
banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70%
kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara
pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra.
Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk spondilitis:
1. Peridiskal / paradiskal
Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah
ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada
orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus.
Terbanyak ditemukan di regio lumbal.
2. Sentral
Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga
disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering
menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga
menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang
bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio torakal.
3. Anterior
Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan
dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi
di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga
disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses
prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya
perubahan lokal dari suplai darah vertebral.

4. Bentuk atipikal
Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat
diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan
keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis
tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus
transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral
posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui
tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%.

E. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa yaitu:
a. Badan lemah, lesu, nafsu makan berkurang, dan berat badan menurun.
b. Suhu subfebril terutama pada malam hari dan sakit (kaku) pada punggung. Pada
anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari.
c. Pada awal dijumpai nyeri interkostal, nyeri yang menjalar dari tulang belakang ke
garis tengah atas dada melalui ruang interkostal. Hal ini disebabkan oleh tertekannya
radiks dorsalis di tingkat torakal.
d. Nyeri spinal menetap dan terbatasnya pergerakan spinal
e. Deformitas pada punggung (gibbus)
f. Pembengkakan setempat (abses)
g. Adanya proses tbc (Tachdjian, 2005).
Kelainan neurologis yang terjadi pada 50 % kasus spondilitis tuberkulosa karena proses
destruksi lanjut berupa:
a. Paraplegia, paraparesis, atau nyeri radix saraf akibat penekanan medula spinalis yang
menyebabkan kekakuan pada gerakan berjalan dan nyeri.
b. Gambaran paraplegia inferior kedua tungkai yang bersifat UMN dan adanya batas defisit
sensorik setinggi tempat gibbus atau lokalisasi nyeri interkostal (Tachdjian, 2005).

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada spondilitis tuberkulosa yaitu:
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap didapatkan leukositosis dan LED meningkat.
b. Uji mantoux positif tuberkulosis.
c. Uji kultur biakan bakteri dan BTA ditemukan Mycobacterium.
d. Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional.
e. Pemeriksaan hispatologis ditemukan tuberkel.
f. Pungsi lumbal didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah.
g. Peningkatan CRP (C-Reaktif Protein).
h. Pemeriksaan serologi dengan deteksi antibodi spesifik dalam sirkulasi.
i. Pemeriksaan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay) tetapi menghasilkan
negatif palsu pada penderita dengan alergi.
j. Identifikasi PCR (Polymerase Chain Reaction) meliputi denaturasi DNA kuman
tuberkulosis melekatkan nukleotida tertentu pada fragmen DNA dan amplifikasi
menggunakan DNA polimerase sampai terbentuk rantai DNA utuh yang diidentifikasi
dengan gel.
2. Pemeriksaan radiologis
a. Foto toraks atau X-ray untuk melihat adanya tuberculosis pada paru. Abses dingin
tampak sebagai suatu bayangan yang berbentuk spindle.
b. Pemeriksaan foto dengan zat kontras.
c. Foto polos vertebra ditemukan osteoporosis, osteolitik, destruksi korpus vertebra,
penyempitan diskus intervertebralis, dan mungkin ditemukan adanya massa abses
paravertebral.
d. Pemeriksaan mielografi.
e. CT scan memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi
irreguler, skelerosis, kolaps diskus, dan gangguan sirkumferensi tulang.
f. MRI mengevaluasi infeksi diskus intervertebralis dan osteomielitis tulang belakang
serta menunjukkan adanya penekanan saraf (Lauerman, 2006).

G. Penatalaksanaan
Pada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosa harus dilakukan segera untuk
menghentikan progresivitas penyakit dan mencegah atau mengkoreksi paraplegia atau
defisit neurologis. Prinsip pengobatan Potts paraplegia yaitu:
1. Pemberian obat antituberkulosis.
2. Dekompresi medula spinalis.
3. Menghilangkan atau menyingkirkan produk infeksi.
4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft) (Graham, 2007).

Pengobatan pada spondilitis tuberkulosa terdiri dari:


1. Terapi konservatif
a. Tirah baring (bed rest).
b. Memberi korset yang mencegah atau membatasi gerak vertebra.
c. Memperbaiki keadaan umum penderita.
d. Pengobatan antituberkulosa.
Standar pengobatan berdasarkan program P2TB paru yaitu:
i. Kategori I untuk penderita baru BTA (+/-) atau rontgen (+).
a) Tahap 1 diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH 300 mg, dan
Pirazinamid 1.500 mg setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
b) Tahap 2 diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg 3 kali seminggu selama
4 bulan (54 kali).
ii. Kategori II untuk penderita BTA (+) yang sudah pernah minum obat selama
sebulan, termasuk penderita yang kambuh.
1. Tahap 1 diberikan Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450 mg,
Pirazinamid 1500 mg, dan Etambutol 750 mg setiap hari. Streptomisin injeksi
hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).
2. Tahap 2 diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg, dan Etambutol 1250 mg 3
kali seminggu selama 5 bulan (66 kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita
bertambah baik, LED menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan
spasme berkurang, serta gambaran radiologis ditemukan adanya union pada
vertebra.
2. Terapi operatif
a. Apabila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah
semakin berat. Biasanya 3 minggu sebelum operasi, penderita diberikan obat
tuberkulostatik.
b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka,
debrideman, dan bone graft.
c. Pada pemeriksaan radiologis baik foto polos, mielografi, CT, atau MRI ditemukan
adanya penekanan pada medula spinalis (Ombregt, 2005).

Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita


spondilitis tuberkulosa tetapi operasi masih memegang peranan penting dalam beberapa
hal seperti apabila terdapat cold absces (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia, dan
kifosis.
a. Cold absces
Cold absces yang kecil tidak memerlukan operasi karena dapat terjadi resorbsi
spontan dengan pemberian tuberkulostatik. Pada abses yang besar dilakukan
drainase bedah.
b. Lesi tuberkulosa
1) Debrideman fokal.
2) Kosto-transveresektomi.
3) Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan.
c. Kifosis
1) Pengobatan dengan kemoterapi.
2) Laminektomi.
3) Kosto-transveresektomi.
4) Operasi radikal.
5) Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang.
Operasi kifosis dilakukan apabila terjadi deformitas hebat. Kifosis bertendensi untuk
bertambah berat, terutama pada anak. Tindakan operatif berupa fusi posterior atau
operasi radikal (Graham, 2007).

H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis tuberkulosa yaitu:
1. Potts paraplegia
a. Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus
maupun sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis.
Paraplegia ini membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi
medula spinalis dan saraf.
b. Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari
jaringan granulasi atau perlekatan tulang (ankilosing) di atas kanalis
spinalis.
2. Ruptur abses paravertebra
a. Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura sehingga
menyebabkan empiema tuberkulosis.
b. Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas
membentuk psoas abses yang merupakan cold absces (Lindsay, 2008).
3. Cedera corda spinalis (spinal cord injury). Dapat terjadi karena adanya tekanan
ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari
diskus intervertebralis (contoh : Potts paraplegia prognosa baik) atau dapat juga
langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa
(contoh : menigomyelitis prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon
baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat
membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan
corda spinalis.

Anda mungkin juga menyukai