Anda di halaman 1dari 15

1

TUGAS

Oleh
Kharisma Mr 1618012008

Pembimbing
dr. Diah Astika Rini, Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2017
2

1. Status epileptikus?

Status epileptikus (SE) merupakan keadaan emergensi medis berupa kejang (seizure)

persisten atau berulang yang dikaitkan dengan mortalitas tinggi dan kecacatan jangka

panjang. Lebih dari satu dekade lalu, Epilepsy Foundation of America (EFA)

mendefinisikan SE sebagai kejang yang terus-menerus selama paling sedikit 30 menit

atau adanya dua atau lebih kejang terpisah tanpa pemulihan kesadaran di antaranya.

KLASIFIKASI

Saat ini, ada beberapa versi pengklasifi kasian SE sebagai berikut (Treiman):

Generalized Convulsive SE Merupakan tipe SE yang paling sering dan berbahaya.

Generalized mengacu pada aktivitas listrik kortikal yang berlebihan, sedangkan

convulsive mengacu kepada aktivitas motorik suatu kejang.

Subtle SE Subtle SE terdiri dari aktivitas kejang pada otak yang bertahan saat tidak ada

respons motorik. Terminologi ini dapat membingungkan, karena subtle SE seperti tipe

NCSE (Non-convulsive Status Epilepticus). Walaupun secara defi nisi subtle SE

merupakan nonconvulsive, namun harus dibedakan dari NCSE lain. Subtle SE merupakan

keadaan berbahaya, sulit diobati, dan mempunyai prognosis yang buruk.

Nonconvulsive SE NCSE dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu absence SE dan complex

partial SE. Perbedaan 2 tipe ini sangat penting dalam tatalaksana, etiologi, dan prognosis;

focal motor SE mempunyai prognosis lebih buruk.


3

Simple Partial SE Secara definisi, simple partial SE terdiri dari kejang yang terlokalisasi

pada area korteks serebri dan tidak menyebabkan perubahan kesadaran. Berbeda dengan

convulsive SE, simple partial SE tidak dihubungkan dengan mortalitas dan morbiditas

yang tinggi.

ETIOLOGI

SE sering merupakan manifestasi akut dari penyakit infeksi sistem saraf pusat, stroke

akut, ensefalopati hipoksik, gangguan metabolik, dan kadar obat antiepilepsi dalam darah

yang rendah. Etiologi tidak jelas pada sekitar 20% kasus. Gangguan serebrovaskuler

merupakan penyebab SE tersering di Negara maju, sedangkan di negara berkembang

penyebab tersering karena infeksi susunan saraf pusat. Etiologi SE sangat penting sebagai

prediktor mortalitas dan morbiditas.

TERAPI

Sampai saat ini belum ada konsensus baku penatalaksanaan SE berkaitan dengan

pemilihan obat dan dosis. Tidak ada obat yang ideal untuk tatalaksana SE. Banyak

penulis setuju bahwa lorazepam (0,1 mg/kgBB) atau diazepam (0,15 mg/kgBB) dapat

diberikan pada tahap awal, disusul fenitoin (15-20 mg/kgBB) atau fosfenitoin (18-20

mg/kgBB). Jika benzodiazepin dan fenitoin gagal, fenobarbital dapat diberikan dengan

dosis 20 mg/kgBB, namun harus mendapatkan perhatian khusus karena dapat

menyebabkan depresi pernapasan. Jika kejang tetap berlanjut, pertimbangkan pemberian

anestesi umum, dapat digunakan agen seperti midazolam, propofol, atau pentobarbital.
4

Sumber: Abend NS, Duglas DJ. Treatment of refractory status epilepticus. Pediatric Neurol. 2008; 38(6): 377.

Sirven JI, Waterhouse E. Management of status epilepticus. Am Fam Physician 2003; 68(3): 469-76.

Roth Jl. Status epilepticus [Internet]. 2014 Apr 28 [cited 2014 Aug 1]. Available from:

http://emedicine.medscape.com/article/1164462-overview

2. Pemeriksaan reflek patologis?

Refleks adalah rangkaian gerakan yang dilakukan secara cepat, involunter dan

tidak direncanakan sebagai respon terhadap suatu stimulus.

Reflex patologis adalah Refleks yang ditemukan pada orang yang mengalami

gangguan pada sistem sarafnya .

Refleks Patologis (keadaan fisiologis tidak ditemukan)

a. Refleks Babinski : extremitas inferior

Cara:

Pasien baring, tungkai diluruskan

Pegang pergelangan kaki

Gores dengan pelan telapak kaki bagian lateral mulai tumit sampai pangkal jari

(gunakan gagang hammer)

Respon: dorsofleksi ibu jari kaki dan mekar jari lainnya

Respon Babinski timbul oleh:

1. Cara Chaddock : Goreskan ujung palu reflek pada kulit dorsum pedis bagian

lateral sekitar maleolus lateralis dari posterior ke anterior.

Respon : ekstensi ibu jari kaki dan pengembangan jari kaki lainnya.
5

2. Cara Gordon : memencet (mencubit) otot betis

Respon : ekstensi ibu jari kaki dan pengembangan jari kaki lainnya.

3. Cara Oppenheim : mengurut dengan kuat tibia dan otot tibialis anterior. Arah

mengurut ke bawah (distal)

Respon : ekstensi ibu jari kaki dan pengembangan jari kaki lainnya.

4. Cara Schaefer : memencet (mencubit tendon Achilles)

Respon : ekstensi ibu jari kaki dan pengembangan jari kaki lainnya.

5. Cara Gonda : memencet (menekan) satu jari kaki dan kemudian melepas-

kannya sekonyong-konyong.

Respon : ekstensi ibu jari kaki dan pengembangan jari kaki lainnya.

Refleks Patologis
6

b. Hoffman-Tromner : extremitas superior

Cara:

Pegang pangkal jari tengah, fleksikan

Gores kuat ujung jari tengah

Respon: fleksi jari telunjuk serta fleksi dan adduksi ibu jari Positif:

simetris : belum tentu patologis

asimetris : patologis (Lesi Piramidalis UMN)

Refleks Hoffman Tromner

Sumber: Bahan Kuliah Sistem Neuropsikiatry, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin,

Makassar, 2004

3. Pemeriksaan pungsi lumbal?

Lumbal pungsi adalah upaya mengeluarkan cairan serebrospinal dengan memasukan

jarum kedalam ruang subaraknoid.tes ini dilakukan untuk pemeriksaan cairan

serebrospinal, mengukur, dan mengurangi tekanan cairan serebrospinal, menentukan ada

tidaknya darah pada cairan serebrospinal, untuk mendeteksi adanya blok subarachnoid

spinal, dan untuk memberikan antibiotic intrathekal kedalam kanalis spinal terutama pada

kasus infeksi.
7

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan

kemungkinan meningitis. Risiko meningitis bakterialis adalah 0,66,7%. Pada bayi,

sering sulit menegakkan atau menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi

klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada:

1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan

2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan

3. Bayi >18 bulan tidak rutin

Bila klinis yakin bukan meningitis, tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.

Indikasi

Mengambil bahan pemeriksaan CSS untuk diagnostic dan persiapan pemeriksaan pasien

yang dicurigai mengalami meningitis, encephalitis, ataupun tumor malignan.

Untuk mengidentifikasi adanya darah di CSF akibat trauma atau dicurigai adanya

perdarahan subarachnoid.

Untuk memasuki cairan opaq ke dalam ruang subarachnoid.

Untuk mengidentifikasi adanya tekanan intracranial/intraspinal, untuk memasukan obat

intratekal seperti terapi antibiotic atau obat sitotoksik.

Kontraindikasi

1. Infeksi dekat tempat penusukan. Kontaminasi dari infeksi akan menyebabkan

meningitis.

2. Pasien dengan peningkatan tekanan intra cranial. Herniasi serebral atau herniasi

serebral
8

3. Pasien yang mengalami penyakit sendi-sendi vertebra degeneratif. Hal ini akan sulit

untuk penusukan jarum ke ruang interspinal.

4. Bleeding diathesis, seperti Coagulopathy dan Penurunan platelet.

5. Pola pernafasan abnormal.

Persiapan alat

Troleey

Kassa steril

Kapas steril

Sarung tangan steril

Baju steril, masker dan pelindung mata

Jarum punksi ukuran 19, 20, 22,23 G.

Manometer spinal

Alcohol dalam lauran antiseptic untuk membersihkan kulit.

Spuit dan jarum untuk memberikan obat anestesi local (lidokain)

Tempat penampung csf steril x 3 (untuk bakteriologi, sitologi dan biokimia).

Plester

Depper

Tempat sampah.

Persiapan pasien

1. Pasien diposisikan tidur lateral pada ujung tempat tidur dengan lutut ditarik ke

abdomen. Catatan : bila pasiennya obesitas, bisa mengambil posisi duduk di atas kursi,

dengan kursi dibalikan dan kepala disandarkan pada tempat sandarannya.

2. Jelaskan prosedur pemeriksaan pada klien.


9

3. Memberi penyuluhan kepada pasien dan keluarga tentang lumbal pungsi meliputi

tujuan, prosedur, posisi, lama tindakan, sensasi-sensasi yang akan dialami dan hal-hal

yang mungkin terjadi berikut upaya yang diperlukan untuk mengurangi hal-hal

tersebut

4. Meminta izin dari pasien/keluarga dengan menadatangani formulir kesediaan

dilakukan tindakan lumbal pungsi.

5. Meyakinkan klien tentang tindakan yang akan dilakukan

Prosedur

a. Preinteraksi

Kaji catatan medis dan catatan keperawatan klien

Kesiapan perawat melakukan tindakan

Jelaskan tujuan tindakan

Persiapkan dan kumpulkan alat-alat

Cuci tangan.

b. Interaksi

Posisi pasien lateral recumbent dengan bagian punggung di pinggir tempat

tidur. Lutut pada posisi fleksi menempel pada abdomen, leher fleksi

kedepan dagunya menepel pada dada (posisi knee chest).


10

Gambar 1. Posisi lumbal pungsi

Pilih lokasi pungsi. Tiap celah interspinosus vertebral dibawah L2 dapat

digunakan pada orang dewasa, meskipun dianjurkan L4-L5 atau L5-S1

(Krista iliaca berada dibidang prosessus spinosus L4). Beri tanda pada

celah interspinosus yang telah ditentukan.

Dokter mengenakan masker, tutup kepala, pakai sarung tangan dan gaun

steril.

Desinfeksi kulit degan larutan desinfektans dan bentuk lapangan steril

dengan duk penutup.


11

Anesthesi kulit dengan Lidokain atau Xylokain, infiltrasi jaringan lebih

dapam hingga ligamen longitudinal dan periosteum

Tusukkan jarum spinal dengan stilet didalamnya kedalam jaringan

subkutis. Jarum harus memasuki rongga interspinosus tegak lurus

terhadap aksis panjang vertebra.

Tusukkan jarum kedalam rongga subarachnoid dengan perlahan-lahan,

sampai terasa lepas. Ini pertanda ligamentum flavum telah ditembus.

Lepaskan stilet untuk memeriksa aliran cairan serebrospinal. Bila tidak ada

aliran cairan CSF putar jarumnya karena ujung jarum mungkin tersumbat.

Bila cairan tetap tidak keluar. Masukkan lagi stiletnya dan tusukkan

jarum lebih dalam. Cabut stiletnya pada interval sekitar 2 mm dan periksa

untuk aliran cairan CSF. Ulangi cara ini sampai keluar cairan.

Bila akan mengetahui tekananCSF, hubungkan jarum lumbal dengan

manometer pemantau tekanan, normalnya 60 180 mmHg dengan posisi

pasien berrbaring lateral recumbent. Sebelum mengukur tekanan, tungkai

dan kepala pasien harus diluruskan. Bantu pasien meluruskan kakinya

perlahan-lahan.

Anjurkan pasien untuk bernafas secara normal, hindarkan mengedan.

Untuk mengetahui apakah rongga subarahnoid tersumbat atau tidak,

petugas dapat melakukan test queckenstedt dengan cara mengoklusi salah

satu vena jugularis selama I\10 detik. Bila terdapat obstruksi medulla

spinalis maka tekanan tersebut tidak naik tetapi apabila tidak terdapat
12

obstruksi pada medulla spinalis maka setelah 10 menit vena jugularis

ditekan, tekanan tersebut akan naik dan turun dalam waktu 30 detik.

Tampung cairan CSF untuk pemeriksaan. Masukkan cairan tesbut dalam 3

tabung steril dan yang sudah berisi reagen, setiap tabung diisi 1 ml cairan

CSF. Cairan ini digunakan untuk pemeriksaan:

(1) jumlah dan jenis sel serta jenis kuman

(2) kadar protein dan glukosa

(3) sitologi sel tumor

(4) kadar gamaglobulin, fraksi protein lainnya, keberadaan pita

oligoklonal dan tes serologis

(5) pigmen laktat, ammonia, pH, CO2, enzim dan substansi yang

dihasilkan tumor (contohnya 2 mikroglobulin) dan

(6) bakteri dan jamur (melalui kultur), antigen kriptokokus dan organism

lainnya, DNA virus herpes, citomegalovirus dan kuman lainnya

(menggunakan PCR) dan isolasi virus. Untuk pemeriksaan none-apelt

prinsipnya adalah globulin mengendap dalam waktu 0,5 jam pada

larutan asam sulfat. Cara pemeriksaanya adalah kedalam tabung reaksi

masukkan reagen 0,7 ml dengan menggunakan pipet, kemudian

masukkan cairan CSF 0,5 . diamkan selama 2 3 menit perhatikan

apakah terbentuk endapan putih.


13

Cara penilainnya adalah sebagai berikut:

( - ) Cincin putih tidak dijumpai

( + ) Cincin putih sangat tipis dilihat dengan latar belakang hitam dan bila

dikocok tetap putih

( ++ ) Cincin putih sangat jelas dan bila dikocok cairan menjadi opolecement

(berkabut)

( +++ ) Cincin putih jelas dan bila dikocok cairan menjadi keruh

( ++++ ) Cincin putih sangat jelas dan bila dikocok cairan menjadi sangat keruh

Untuk test pandi bertujuan untuk mengetahui apakah ada peningkatan globulin

dan albumin, prinsipnya adalah protein mengendap pada larutan jenuh fenol

dalam air. caranya adalah isilah tabung gelas arloji dengan 1 cc cairan reagen

pandi kemudian teteskan 1 tetes cairan CSF, perhatikan reaksi yang terjadi apakah

ada kekeruhan.

Bila lumbal pungsi digunakan untuk mengeluarkan cairan liquor pada pasien

dengan hydrocepalus berat maka maksimal cairan dikeluarkan adalah 100 cc.

Setelah semua tindakan selesai, manometer dilepaskan masukan kembali stilet

jarum lumbal kemudian lepaskan jarumnya. Pasang balutan pada bekas tusukan.

c. Terminasi

1. Anjurkan pasien berbaring terlentang selama 2 3 jam untuk memisahkan

kelurusan bekas jarum puncture dural dan arakhnoid di lapisan otak, untuk

mengurangi kebocoran CSF.

2. Monitor pasien untuk komplikasi lumbar puncture. Memberi tahu dokter

bila terjadi komplikasi.


14

3. Anjurkan meningkatktan intake cairan untuk mengurangi risiko headache

post-prosedur.

4. Bila timbul sakit kepala, lakukan kompres es pada kepala, anjurkan

tekhnik relaksasi, bila perlu pemberian analgetik dan tidur sampai sakit

kepala hilang.

d. Rapikan alat-alat

e. Cuci tangan

f. Dokumentasi

Komplikasi

1. Herniasi Tonsiler
2. Meningitis dan empiema epidural atau sub dural
3. Sakit pinggang
4. Infeksi
5. Kista epidermoid intraspinal
6. Kerusakan diskus intervertebralis

Sumber: Arnold and Matthews. Lumbar puncsture and examination of cerebro soinal
fluid in diagnostic tes in neurology. 1st ed. USA. 1991:3-37 and Olson WH.
Neurodiagnostic procedures in handbook of symptom-oriented neurology. 2nd ed. USA :
Mosby, 1989: 15-28

4. Macam prognosis?

Quo ad Vitam : mengestimasi bahwa penyakit akan mengancam hidup pasien atau tidak

Quo ad Functionam : mengestimasi apakah pasien akan sembuh total atau tidak
15

Quo ad Sanationam : mengestimasi apakah penyakit akan menganggu fungsi hidup pasien

atau tidak (kegiatan sehari-hari)

Sumber: medical prognosis. The survival encyclopedia. http://survinat.com/2012/05/medical-

prognosis/

5. Kenapa imunisasi campak harus diberikan pada usia 9 bulan?

Campak adalah infeksi akut yang disebabkan oleh virus rubella (campak) dan merupakan

penyakit yang sangat menular yang biasanya menyerang anak anak. Penyakit ini ditandai

dengan batuk, korisa, demann dan ruam makulopapular yang timbui beberapa hari

sesudah gejala awal.

Imunisasi campak diberikan pada usia 9 bulan karena pada usia 9 bulan imunitas bawaan

bayi yang diberikan ibu (igG) lewat transplacental mulai menurun. Pada anak yang telah

menderita campak tidak perlu diberikan imunisasi ulang karena tubuh telah membentuk

antibody terhadap patogen.

Imunisasi campak dilakukan pada usia 9 bulan karena sampai usia 6 bulan, bayi masih

mebawa kekebalan dalam hal ini berupa antibody igG yang ditransfer melalui

transplasental. Antibody bawaan ini kemudian menurun, hingga pada usia 9 bulan telah

siap untuk diperkenalkan dengan virus campak yang telah dilemahkan.

Sumber: baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar ed ke tujuh. Jakarta: Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran FKUI.

Anda mungkin juga menyukai