Anda di halaman 1dari 47

CASE REPORT

TUBERKULOSIS PARU DAN PNEUMOTHORAKS DEKSTRA

Oleh :

Kharisma Mr, S. Ked


1618012001

Pembimbing :

dr. Ireschka Pattiwael, Sp. Rad., M.Sc

KEPANITERAAN KLINIK SMF RADIOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM AHMAD YANI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2017
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI .............................................................................................................. i
I. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 4
2.1. Definisi ...................................................................................................... 4
2.2. Etiologi ...................................................................................................... 4
2.3. Epidemiologi ............................................................................................. 5
2.4. Patogenesis ................................................................................................ 6
2.5. Klasifikasi Tuberkulosis .......................................................................... 11
2.6. Diagnosis ................................................................................................. 14
2.7. Diagnosis TB Anak ................................................................................. 23
2.8. Pemeriksaan Radiologi TB ...................................................................... 25
2.9. Tatalaksana .............................................................................................. 36
2.10. Pencegahan .............................................................................................. 42
III. KESIMPULAN ............................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 45
I. PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang

Penyakit menular merupakan masalah kesehatan yang besar di hampir


semua negara berkembang karena angka kesakitan dan kematiannya yang
relatif tinggi dalam waktu yang relatif singkat. Beberapa penyakit menular
sudah bisa ditangani seperti cacar dan frambusia, namun masih banyak
penyakit menular lain yang masih belum bisa dituntaskan seperti kusta,
diare dan tuberkulosis (TB). TB merupakan penyakit yang dapat
menginfeksi berbagai organ atau jaringan tubuh dan TB paru merupakan
bentuk infeksi dari bakteri TB yang paling banyak ditemukan (Widoyono,
2008).

TB paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis dan merupakan salah satu penyakit saluran
pernapasan bagian bawah (Alsagaff et al., 2006). TB juga termasuk salah
satu mayoritas penyakit yang menyerang anak di dunia (Misnardiarly,
2006).

Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), penyakit TB


pada anak usia di bawah 15 tahun merupakan masalah kesehatan masyarakat
yang sangat penting, salah satu alasannya adalah karena bayi dan anak lebih
berisiko dibandingkan orang dewasa dalam hal mengembangkan bentuk
ganas dari TB misalnya TB meningitis. Diantara anak-anak, kasus TB
paling banyak ditemukan pada anak usia di bawah 5 tahun dan pada remaja
usia di atas 10 tahun (CDC, 2014). WHO memperkirakan setiap tahunnya
TB pada anak menyumbangkan 6-10% dari seluruh kasus TB di dunia.
Selain itu, kira-kira 500.000 anak di dunia menderita TB dan lebih dari
74.000 anak-anak meninggal karena penyakit tersebut setiap tahunnya
(CDC, 2014).

Menurut WHO, pada tahun 2012 sebanyak 8,6 juta jiwa menderita TB dan
1,3 juta diantaranya meninggal karena TB dengan CFR sebesar 15,12%.
Lebih dari 95% kasus TB terjadi di negara berkembang. Pada tahun 2012,
530.000 anak-anak usia di bawah 15 tahun menderita TB dan 74.000
diantaranya meninggal karena TB dengan CFR sebesar 13,96% (WHO,
2014).

Berdasarkan data WHO Global TB Report 2013, Indonesia termasuk ke


dalam 5 besar negara dengan jumlah kasus TB terbesar pada tahun 2012 dan
berada pada urutan keempat dengan jumlah kasus TB terbesar di bawah
negara India, China dan Afrika Selatan (WHO, 2013). Pada tahun 2010
terdapat 7 negara yang merupakan anggota ASEAN telah mencapai target
penemuan penderita TB paru yang ditetapkan WHO yaitu 70%, termasuk
Indonesia dengan angka penemuan penderita 78%. Pada tahun 2011, negara
anggota ASEAN yang memiliki prevalensi TB tertinggi adalah Kamboja
dengan prevalensi sebesar 817 per 100.000 penduduk dan Indonesia berada
pada urutan keenam dengan prevalensi sebesar 281 per 100.000 penduduk.
Sedangkan untuk angka kematian diantara negara-negara anggota ASEAN,
Indonesia berada pada urutan kelima dengan angka kematian tertinggi
sebesar 27 per 100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2013).

Berdasarkan data hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi TB


paru di Indonesia pada kelompok umur di bawah 1 tahun sebesar 200 per
100.000 penduduk dan pada kelompok umur 1-4 tahun sebesar 400 per
100.000 penduduk (Kemenkes RI, 2013). Oleh sebab itu, Indonesia harus
memberikan perhatian lebih terhadap penyakit ini. Dengan demikian,
penulis tertarik untuk menulis referat mengenai penyakit tuberculosis.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Menurut WHO, Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh Mycobacterium


tuberculosis dan yang paling sering menginfeksi bagian paru-paru (WHO,
2014). Meskipun bakteri tersebut menyebabkan infeksi yang serius pada
paru, tetapi infeksi TB dapat terjadi di bagian tubuh lain (Pomeranz, 2007).
TB merupakan penyakit yang dapat diobati dan dicegah. Berdasarkan Profil
Kesehatan Indonesia tahun 2012, TB merupakan penyakit menular langsung
yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. TB menjadi
salah satu penyakit yang pengendaliannya menjadi komitmen global dalam
MDGs (Kemenkes RI, 2013).

TB paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis dan merupakan salah satu penyakit saluran
pernapasan bagian bawah (Alsagaff, 2006). TB paru adalah penyakit yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yakni bakteri aerob yang
dapat hidup terutama di paru atau di berbagai organ tubuh yang lainnya
yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi (Rab, 1996).

2.2. Etiologi

Penyebab Tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, bakteri


berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 m dan tebal 0,3-0,6 m.
Sebagian besar dinding bakteri ini terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian
peptidoglikan dan arabinomannan (Sudoyo et al., 2009). Bakteri TB
mempunyai sifat istimewa, yaitu dapat bertahan terhadap perwarnaan
dengan asam sehingga sering disebut Basil Tahan Asam (BTA), serta tahan
terhadap zat kimia dan fisik. Bakteri TB mati pada pemanasan 1000C
selama 5-10 menit atau pada pemanasan 60 C selama 30 menit, dan dengan
alkohol 70-95% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di
udara terutama di tempat yang lembab dan gelap (bisa berbulan-bulan),
namun tidak tahan terhadap sinar matahari (Widoyono, 2008).

Bakteri TB memiliki sifat dormant yang membuat bakteri dapat bertahan


hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin untuk waktu yang
relatif lama dan dapat bangkit kembali menjadikan penyakit Tuberkulosis
menjadi aktif lagi. Bakteri ini juga bersifat aerob yang menunjukkan bahwa
bakteri ini lebih menyukai jaringan yang tinggi kandungan oksigennya.
Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari
bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi
penyakit tuberkulosis (Sudoyo et al., 2009).

2.3. Epidemiologi

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting


di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah
mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO
tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis
pada tahun 2002, 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif.
Sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis dan menurut
regional WHO jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 %
dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah penduduk
terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk. Di Afrika hampir 2 kali lebih
besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 pendduduk. Diperkirakan
angka kematian akibat TB adalah 8000 setiap hari dan 2 - 3 juta setiap
tahun.

Laporan WHO tahun 2004 menyebutkan bahwa jumlah terbesar kematian


akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka
mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi
terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, prevalens HIV yang
cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul.

Sekurang-kurangnya 500.000 anak menderita TB setiap tahun 200 anak di


dunia meninggal setiap hari akibat TB, 70.000 anak meninggal setiap tahun
akibat TB. Beban kasus TB anak di dunia tidak diketahui karena kurangnya
alat diagnostik yang child-friendly dan tidak adekuatnya sistem
pencatatan dan pelaporan kasus TB anak. Diperkirakan banyak anak
menderita TB tidak mendapatkan penatalaksanaan yang tepat dan benar
sesuai dengan ketentuan strategi DOTS. Kondisi ini akan memberikan
peningkatan dampak negatif pada morbiditas dan mortalitas anak.

Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara


semua kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5%
pada tahun 2011 dan 8,2% pada tahun 2012. Apabila dilihat data per
provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari 1,8% sampai 15,9%. Hal ini
menunjukan kualitas diagnosis TB anak masih sangat bervariasi pada level
provinsi. Kasus TB Anak dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4 tahun
dan 5-14 tahun, dengan jumlah kasus pada kelompok umur 5-14 tahun yang
lebih tinggi dari kelompok umur 0-4 tahun. Kasus BTA positif pada TB
anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB anak, sedangkan tahun
2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.

2.4. Patogenesis

Proses terjadinya infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis biasanya secara


inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari
penderita TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung
Basil Tahan Asam (Sudoyo et al., 2009). Bakteri ini dapat menyebar
melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening, sehingga bakteri TB
dapat menginfeksi hampir seluruh organ tubuh seperti paru-paru, otak,
ginjal, saluran pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain.
Meskipun demikian, organ tubuh yang paling sering terinfeksi adalah paru-
paru (Maryunani, 2010).

Kelompok yang paling rawan terinfeksi bakteri TB adalah anak usia kurang
dari 1 tahun. Anak-anak yang menderita TB jarang bahkan tidak dapat
menularkan bakteri TB kepada anak lain ataupun kepada orang dewasa. Hal
ini disebabkan TB pada anak biasanya bersifat tertutup. Sehingga, apabila
terdapat anak yang terinfeksi TB, dapat dipastikan sumber penularannya
adalah orang dewasa yang dekat dengan anak tersebut (Maryunani, 2010).

Tidak semua orang yang terinfeksi bakteri TB akan menderita TB. Pada
sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bakteri ini akan tetap
dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang dengan sistem
kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami
perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak dan akan
membentuk ruang di dalam paru-paru yang nantinya menjadi sumber
sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat
diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif
terinfeksi TB (Maryunani, 2010). Daya penularan dari seseorang ke orang
lain ditentukan oleh banyaknya bakteri yang dikeluarkan, patogenesitas
bakteri yang bersangkutan serta lamanya seseorang menghirup udara yang
mengandung bakteri tersebut (Achmadi, 2008).

Faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya infeksi adalah (Alsagaff et al.,


2006) :
a. Harus adanya sumber infeksi
b. Jumlah basil sebagai penyebab infeksi harus cukup
c. Virulensi yang tinggi dari basil tuberkulosis
d. Daya tahan tubuh yang menurun memungkinkan basil berkembang biak
dan keadaan ini menyebabkan timbulnya penyakit TB paru.

2.4.1. Tuberkulosis Paru Primer


Tuberkulosis primer adalah penyakit yang terjadi akibat infeksi
primer oleh basil tuberkulosis dan mencakup kompleks primer (lesi
parenkim dan nodus limfatikus regional) serta perluasan
komponennya secara langsung (Alpres et al., 2006). Tuberkulosis
primer disebut juga dengan tuberkulosis anak (childhood
tuberculosis) (Sudoyo et al., 2009). Setelah inhalasi Mycobacterium
tuberculosis, berkembang suatu lesi kecil subpleura yang disebut
fokus Ghon. Selanjutnya infeksi menyebar ke kelenjar limfe hilus
dan mediastinum untuk membentuk kompleks primer. Pada 95%
kasus, kompleks primer sembuh secara spontan dalam 1-2 bulan.
Pada 10-15% kasus, infeksi menyebar dari kompleks primer dan
berlanjut menjadi TB milier atau meningeal (Mandal et al., 2008).
Tuberkulosis paru primer adalah peradangan paru yang disebabkan
oleh basil tuberkulosis pada tubuh penderita yang belum pernah
mempunyai kekebalan yang spesifik terhadap basil tersebut
(Alsagaff et al., 2006).

Pada permulaan infeksi, basil tuberkulosis masuk ke dalam tubuh


yang belum mempunyai kekebalan dan selanjutnya tubuh
mengadakan perlawanan dengan cara yang umum yaitu melalui
infiltrasi sel-sel radang ke jaringan tubuh yang mengandung basil
tuberkulosis. Reaksi tubuh ini disebut dengan reaksi non spesifik
atau pra-alergis yang berlangsung kurang lebih 3-7 minggu. Pada
tahap ini tubuh menunjukkan reaksi radang yaitu kalor, rubor, tumor,
tetapi uji kulit dengan tuberkulin masih negatif (Alsagaff et al.,
2006).

Setelah reaksi radang non spesifik dilampaui, reaksi tubuh memasuki


tahap alergis yang berlangsung kurang lebih 3-7 minggu. Pada saat
itu sudah terbentuk zat anti sehingga tubuh dapat menunjukkan
reaksi yang khas yaitu tanda-tanda peradangan umum ditambah uji
kulit dengan tuberkulin yang positif (Alsagaff et al., 2006). Adanya
infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan reaksi
tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan dari infeksi
primer tergantung bakteri yang masuk dan besarnya respon daya
tahan tubuh. Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh tersebut dapat
menghentikan perkembangan bakteri TB paru. Meskipun demikian,
ada beberapa kuman yang akan menetap sebagai bakteri persisten.
Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan
perkembangan bakteri, akibatnya dalam beberapa bulan yang
bersangkutan akan menjadi penderita TB paru (Alfian, 2005).

Menurut Meyer yang dikutip oleh Alsagaff ada 3 jenis TB paru


primer, yaitu (Alsagaff et al., 2006) :
a. TB paru primer sederhana (simple primary tuberculosis)
- Terjadi pada 43,5% dari kasus TB
- Secara radiologis, tidak tampak kelainan
- Uji kulit tuberkulin memberikan reaksi positif
b. Infeksi TB paru primer dengan kelainan radiologis (primary
infection tuberculosis)
- Kelainan radiologis berupa pembesaran kelenjar limfe
mediastinum
- Uji kulit tuberkulin menunjukkan reaksi positif
- Kelainan ini dijumpai pada 18,5% kasus
c. Infeksi TB paru primer dengan kelainan radiologis lain (primary
infection tuberculosis)
- Kelainan radiologis terdapat pada parenkim paru dan pleura
- Uji kulit tuberkulin menunjukkan reaksi positif
- Kelainan ini dijumpai pada 37,5% kasus
Pada umumnya TB paru primer sembuh sendiri, tetapi ada
kemungkinan di kemudian hari mengalami kekambuhan yang
prosesnya lebih cepat pada organ lain yang sumbernya berasal dari
TB paru primer tersebut (Alsagaff et al., 2006).
2.4.2. Tuberkulosis Paru Post Primer

Banyak istilah yang digunakan untuk TB paru post primer seperti :


post primary tuberculosis, progressive tuberculosis, adult type
tuberculosis, phthysis dan lain-lain. Infeksi TB paru post primer
dapat berasal dari : (Alsagaff et al., 2006)
a. Dari luar (eksogen) : infeksi ulang pada tubuh yang pernah
menderita tuberkulosis
b. Dari dalam (endogen) : infeksi berasal dari basil yang sudah
berada dalam tubuh, merupakan proses lama yang pada mulanya
tenang dan oleh suatu keadaan menjadi aktif kembali.

Jenis kerusakan jaringan dan komplikasi yang dihubungkan dengan


TB paru post primer adalah : (Sudoyo et al., 2009)
a. Kavitas TB, diameter bervariasi biasanya 3-10 mm dan berada di
puncak lobus atas paru. Kavitas berisi suatu materi yang banyak
mengandung basil tahan asam.
b. TB milier, menggambarkan pembentukan granuloma TB
berukuran kecil dan multipel yang tersebar di seluruh paru dan
organ lain. Terjadi sebagai hasil penyebaran Mycobacterium
tuberculosis secara hematogen ke dalam peredaran darah arteri.
c. Hemoptisis, terjadi akibat erosi arteri pulmonal kecil pada
dinding kavitas yang menghasilkan pendarahan sehingga
menyebabkan terjadinya batuk darah.
d. Fistula bronkopleura, terjadi apabila kavitas pada subpleura
pecah ke dalam rongga pleura.
e. TB usus, terjadi mengikuti masuknya bakteri TB ke dalam usus.
2.5. Klasifikasi Tuberkulosis

A. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,
tidak termasuk pleura (selaput paru)

1. Berdasar Hasil Pemeriksaan Dahak (BTA)

a. Tuberkulosis Paru BTA (+)


o Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan
hasil BTA positif
o Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran
tuberculosis aktif
o Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA
positif dan biakan positif
b. Tuberkulosis Paru BTA (-)
o Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif,
gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan
tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan pemberian
antibiotik spektrum luas
o Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif
dan biakan M.tuberculosis positif
o Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum
diperiksa

2. Berdasarkan Tipe Penderita

Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan


sebelumnya. Ada beberapa tipe penderita yaitu :

a. Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan
dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu
bulan (30 dosis harian)
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan
hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila
hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik
sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa
kemungkinan:
o Infeksi sekunder
o Infeksi jamur
o TB paru kambuh
c. Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu
kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain.
Penderita pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan/pindah
d. Kasus lalai berobat
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan
berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan
dahak BTA positif.
e. Kasus Gagal
o Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan
sebelum akhir pengobatan)
o Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran
radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2
pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang hasilnya
perburukan
f. Kasus kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih
positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan
pengawasan yang baik
g. Kasus bekas TB
o Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada
fasilitas) negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan
lesi TB inaktif, terlebih gambaran radiologik serial
menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan
OAT yang adekuat akan lebih mendukung
o Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB
aktif, namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2
bulan ternyata tidak ada perubahan gambaran radiologik

B. Tuberkulosis Ekstra Paru

paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium),


kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing,
alat kelamin, dll. Diagnosis sebaiknya didasarkan atas kultur spesimen
positif, atau histologi, atau bukti klinis kuat konsisten dengan TB
ekstraparu aktif, yang selanjutnya dipertimbangkan oleh klinisi untuk
diberikan obat anti tuberkulosis siklus penuh. TB di luar paru dibagi
berdasarkan pada tingkat keparahan penyakit, yaitu :

1. TB di luar paru ringan

Misalnya : TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang


(kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal.

2. TB di luar paru berat


Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran
kencing dan alat kelamin.

Catatan :
o Yang dimaksud dengan TB paru adalah TB pada parenkim paru.
Sebab itu TB pada pleura atau TB pada kelenjar hilus tanpa ada
kelainan radiologik paru, dianggap sebagai penderita TB di luar
paru.
o Bila seorang penderita TB paru juga mempunyai TB di luar paru,
maka untuk kepentingan pencatatan penderita tersebut harus
dicatat sebagai penderita TB paru.
o Bila seorang penderita ekstra paru pada beberapa organ, maka
dicatat sebagai ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling
berat.

2.6. Diagnosis

A. Gambaran Klinik

Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,


pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan
pemeriksaan penunjang lainnya

Gejala klinik

Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala


respiratorik (atau gejala organ yang terlibat) dan gejala sistemik.

1. Gejala respiratorik
o Batuk 3 minggu
o Batuk darah
o Sesak napas
o Nyeri dada

Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala
sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang
penderita terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus
belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita mungkin tidak
ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus,
dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.

Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,


misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran
yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada
meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara
pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang
nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.

2. Gejala sistemik
o Demam
o Gejala sistemik lain : malaise, keringat malam, anoreksia, berat
badan menurun

B. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari


organ yang terlibat.

Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan


struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya
tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada
umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan
segmen posterior , serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan
jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara
napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma &
mediastinum.

Pada pleuritis tuberkulosa, kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari


banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi
yang terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosa, terlihat pembesaran kelenjar getah


bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis
tumor), kadang-kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut
dapat menjadi cold abscess.

C. Pemeriksaan Bakteriologik

a. Bahan pemeriksaan

Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman tuberkulosis


mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.
Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak,
cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL),
urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH)

b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan

Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturut-turut atau


dengan cara :
o Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
o Dahak Pagi (keesokan harinya)
o Sewaktu/spot (pada saat mengantarkan dahak pagi)

Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan


/ditampung dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau
lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor.
Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus
pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.

Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di


gelas objek atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat
ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek
dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke
laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas penderita yang
sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium.

Bila lokasi fasiliti laboratorium berada jauh dari klinik/tempat


pelayanan penderita, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas
saring melalui jasa pos.

Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring :


o Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar
terlihat bagian tengahnya
o Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di
bagian tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml
o Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi
pada satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak
o Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat
yang aman, misal di dalam dus
o Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam
kantong plastik kecil
o Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan
melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan
lidi
o Di atas kantong plastik dituliskan nama penderita dan tanggal
pengambilan dahak
o Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke
alamat laboratorium.

c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain

Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain


(cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan
lambung, kurasan bronkoalveolar (BAL), urin, faeces dan jaringan
biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara :
o Mikroskopik
o Biakan

Pemeriksaan mikroskopik :
o Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen pewarnaan
Kinyoun Gabbett
o Mikroskopik fluoresens : pewarnaan auramin-rhodamin
(khususnya untuk screening)

Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik, dahak dipekatkan lebih


dahulu dengan cara sebagai berikut :
o Masukkan dahak sebanyak 2 4 ml ke dalam tabung sentrifuge
dan tambahkan sama banyaknya larutan NaOH 4%
o Kocoklah tabung tersebut selam 5 10 menit atau sampai dahak
mencair sempurna
o Pusinglah tabung tersebut selama 15 30 menit pada 3000 rpm
o Buanglah cairan atasnya dan tambahkan 1 tetes indicator fenol-
merahpada sediment yang ada dalam tabung tersebut, warnanya
menjadi merah
o Netralkan reaksi sedimen itu dengan berhati-hati meneteskan
larutan HCl 2n ke dalam tabung sampai tercapainya warna merah
jambu ke kuning-kuningan
o Sedimen ini selanjutnya dipakai untuk membuat sediaan pulasan
(boleh juga dipakai untuk biakan M.tuberculosis)

Interpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali pemeriksaan


ialah bila :
o 2 kali positif, 1 kali negatif Mikroskopik positif
o 1 kali positif, 2 kali negatif ulang BTA 3 kali , kemudian :
bila 1 kali positif, 2 kali negatif Mikroskopik positif
bila 3 kali negatf Mikroskopik negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala
bronkhorst atau IUATLD.

Catatan :
Bila terdapat fasiliti radiologik dan gambaran radiologik
menunjukkan tuberkulosis aktif, maka hasil pemeriksaan dahak 1
kali positif, 2 kali negatif tidak perlu diulang.

Pemeriksaan biakan kuman :


Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional
ialah dengan cara :
o Egg base media (Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh)
o Agar base media : Middle brook

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti,


dan dapat mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga
Mycobacterium other than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi
MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat
cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin
maupun pencampuran dengan melihat cepatnya pertumbuhan,
menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran
dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul.

D. Pemeriksaan Radiologik

Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan.
Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform).

Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :


o Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus
atas paru dan segmen superior lobus bawah
o Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular
o Bayangan bercak milier
o Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif :


o Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
o Kalsifikasi atau fibrotik
o Kompleks ranke
o Fibrotoraks/Fibrosis parenkim paru dan atau penebalan pleura

Luluh Paru (Destroyed Lung ) :


o Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru
yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran
radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis
parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya
berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
o Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan
aktiviti proses penyakit

Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan
dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA dahak negatif) :
o Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas
chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus
dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2)
dan tidak dijumpai kaviti
o Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.

E. Pemeriksaan Penunjang

Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah


lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis
secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada beberapa teknik
baru yang dapat mengidentifikasi kuman tuberkulosis secara lebih cepat.

1. Pemeriksaan Cairan Pleura

Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan
diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis
tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta
pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa
rendah.
2. Pemeriksaan Histopatologi Jaringan

Bahan histopatologi jaringan dapat diperoleh melalui biopsi paru


dengan trans bronchial lung biopsy (TBLB), trans thoracal biopsy
(TTB), biopsi paru terbuka, biopsi pleura, biopsi kelenjar getah
bening dan biopsi organ lain diluar paru. Dapat pula dilakukan
biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH =biopsi jarum halus).
Pemeriksaan biopsi dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis, terutama pada tuberkulosis ekstra paru Diagnosis pasti
infeksi TB didapatkan bila pemeriksaan histopatologi pada jaringan
paru atau jaringan diluar paru memberikan hasil berupa granuloma
dengan perkejuan

3. Pemeriksaan Darah

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang


spesifik untuk tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama
dan kedua sangat dibutuhkan. Data ini sangat penting sebagai
indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan biologik
penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon
terhadap pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi
tingkat penyembuhan penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa
menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh penderida, yaitu dalam
keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif,
tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan
tuberkulosis. Limfosit pun kurang spesifik.

4. Uji Tuberkulin

Pemeriksaan ini sangat berarti dalam usaha mendeteksi infeksi TB di


daerah dengan prevalensi tuberkulosis rendah. Di Indonesia dengan
prevalensi tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin
sebagai alat bantu diagnostik kurang berarti, apalagi pada orang
dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan konversi
dari uji yang dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila
kepositifan dari uji yang didapat besar sekali atau bula.

Pada pleuritis tuberkulosa uji tuberkulin kadang negatif, terutama


pada malnutrisi dan infeksi HIV. Jika awalnya negatif mungkin
dapat menjadi positif jika diulang 1 bulan kemudian.

Sebenarnya secara tidak langsung reaksi yang ditimbulkan hanya


menunjukkan gambaran reaksi tubuh yang analog dengan ; a) reaksi
peradangan dari lesi yang berada pada target organ yang terkena
infeksi atau b) status respon imun individu yang tersedia bila
menghadapi agent dari basil tahan asam yang bersangkutan
(M.tuberculosis).

2.7. Diagnosis TB Anak

Diagnosis TB pada anak sulit karena anak berusia di bawah 10 tahun


biasanya tidak dapat membatukkan sputum untuk dikirim ke laboratorium
untuk mengkonfirmasi adanya kuman TB. Oleh karena itu, penegakan
diagnosis dapat dilakukan berdasarkan gambaran klinis, berat badan
menurun, riwayat kontak dengan pasien dewasa TB menular yang
keseluruhannya dapat diketahui melalui anamnesis (WHO, 2012).

Hal lain yang dapat mendukung diagnosis pasti TB dengan uji tuberkulin,
pemeriksaan laboratorium, dan foto rontgen dada, serta ditemukannya M.
Tuberculosis pada pemeriksaan sputum atau bilasan lambung, cairan
serebrospinal, cairan pleura, atau pada biopsi jaringan. Pada anak, kesulitan
menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh 2 hal, yaitu sedikitnya jumlah
kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan spesimen (sputum).
Jumlah kuman TB di sekret bronkus pasien anak lebih sedikit daripada
dewasa karena lokasi kerusakan parenkim paru tidak seberat pada dewasa.
Kuman BTA baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling
sedikit 5.000 kuman dalam 1 ml dahak (Raharjoe, 2008).

Dikarenakan diagnosis TB pada anak sulit dilakukan, maka Ikatan Dokter


Anak Indonesia (IDAI) telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis
Anak dengan menggunakan sistem skor (scoring system), yaitu pembobotan
terhadap gejala atau tanda klinis yang ditemukan. Pedoman tersebut secara
resmi digunakan oleh program nasional oleh program nasional pengendalian
TB untuk diagnosis TB anak (Kemenkes RI, 2011).

Catatan :
- Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
- Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk
kronik lainnya seperti Asma, Sinusitis dan lain-lain.
- Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), penderita
dapat langsung didiagnosis TB.
- Berat badan dinilai saat penderita datang (moment opname) dengan
melampirkan tabel berat badan.
- Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak.
- Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul <7 hari
setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
- Anak didiagnosis TB jika jumlah skor >6, (skor maksimal 14).
- Penderita usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk
evaluasi lebih lanjut.
Tabel 1. Sistem skoring TB pada anak

Parameter 0 1 2 3
Laporan
keluarga,
BTA negatif
Kontak TB Tidak jelas BTA positif
atau tidak
tahu, BTA
tidak jelas
Positif ( 10
mm, atau 5
Uji tuberkulin Negatif mm pada
keadaan
imunosupresif
Bawah Garis
Berat Klinis gizi
Merah (KMS)
badan/keadaan buruk (BB/U
atau BB/U <
gizi < 60%)
80%
Demam tanpa
2 minggu
sebab jelas
Batuk 3 minggu
Pembesaran
kelenjar limfe 1 cm, jumlah >
koli, aksila, 1, tidak nyeri
inguinal
Pembengkakan
tulang/sendi Ada
panggul, lutut, pembengkakan
falang
Normal/tidak
Foto toraks Kesan TB
jelas

2.8. Pemeriksaan Radiologi TB

Kelainan pada foto toraks bisa sebagai usul tetapi bukan sebagai diagnosa
utama pada TB. Namun, Foto toraks bisa digunakan untuk menyingkirkan
kemungkinan TB paru pada orang-orang yang dengan hasil tes tuberkulin
(+) dan tanpa menunjukkan gejala.
1. Bila klinis ditemukan gejala tuberkulosis paru, hampir selalu ditemukan
kelainan padafoto roentgen.
2. Bila klinis ada dugaan terhadap penyakit tuberkulosis paru, tetapi pada
foto roentgen tidak terlihat kelainan, maka ini merupakan tanda yang
kuat bukan tuberkulosis.
3. Sebaliknya, bila tidak ada kelainan pada foto toraks belum berarti tidak
ada tuberkulosis,sebab kelainan pertama pada foto toraks baru terlihat
sekurang -kurangnya 10 minggu setelah infeksi oleh basil tuberkulosis.
4. Sesudah sputum positif pada pemeriksaan bakteriologi, tanda
tuberkulosis yang terpenting adalah bila ada kelainan pada foto toraks.
5. Ditemukannya kelainan pada foto toraks belum berarti bahwa penyakit
tersebut aktif.
6. Dari bentuk kelainan pada foto roentgen memang dapat diperoleh kesan
tentang aktivitas penyakit, namun kepastian diagnosis hanya dapat
diperoleh melalui kombinasi dengan hasil pemeriksaan klinis/
laboraturis.
7. Pemeriksaan roentgen penting untuk dokumentasi, menentukan
lokalisasi, proses dan tanda perbaikan ataupun perburukan dengan
melakukan perbandingan dengan foto-foto terdahulu.
8. Pemeriksaan roentgen juga penting untuk penilaian hasil tindakan terapi
seperti Pneumotoraks torakoplastik.
9. Pemeriksaan roentgen tuberculosis paru saja tidak cukup dan dewasa ini
bahkan tidak boleh dilakukan hanya dengan fluoroskopi. Pembuatan
foto roentgen adalah suatu keharusan, yaitu foto posterior anterior (PA),
bila perlu disertai proyeksi-proyeksi tambahan seperti foto lateral, foto
khusus puncak AP-lordotik dan tekhnik-tekhnik khusus lainnya.

Ada 3 macam proyeksi pemotretan pada foto toraks pasien yang dicurigai
TB, yaitu :
1. Proyeksi Postero-Anterior (PA). Pada posisi PA, pengambilan foto
dilakukan pada saat pasien dalam posisi berdiri, tahan nafas pada akhir
inspirasi dalam. Bila terlihat suatu kelainan pada proyeksi PA, perlu
ditambah proyeksi lateral.
2. Proyeksi Lateral. Pada proyeksi lateral, posisi berdiri dengan tangan
disilangkan di belakang kepala.Pengambilan foto dilakukan pada saat
pasien tahan napas dan akhir inspirasi dalam.
3. Proyeksi Top Lordotik. Proyeksi Top Lordotik dibuat bila foto PA
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan pada daerah apeks kedua
paru. Proyeksi tambahan ini hendaknya dibuat setelah foto rutin
diperiksa dan bila terdapat kesulitan dalam menginterpretasikan suatu
lesi di apeks. Pengambilan foto dilakukan pada posisi berdiri dengan
arah sinar menyudut 35-45 derajat arah caudocranial, agar gambaran
apeks paru tidak berhimpitan dengan klavikula.

Gambaran Radiologis TB

Klasifikasi TB paru berdasarkan gambaran radiologis :

1. Tuberkulosis Primer

Hampir semua infeksi TB primer tidak disertai gejala klinis, sehingga


paling sering didiagnosis dengan tuberkulin test. Pada umumnya
menyerang anak, tetapi bisa terjadi padaorang dewasa dengan daya
tahan tubuh yang lemah. Pasien dengan TB primer sering menunjukkan
gambaran foto normal. Pada 15% kasus tidak ditemukan kelainan, bila
infeksi berkelanjutan barulah ditemukan kelainan pada foto toraks.
Lokasi kelainan biasanya terdapat pada satu lobus, dan paru kanan lebih
sering terkena, terutama di daerah lobus bawah, tengah dan lingula serta
segmen anterior lobus atas.

Kelainan foto toraks pada tuberculosis primer ini adalah limfadenopati,


parenchymal disease, miliary disease, dan efusi pleura. Pada paru bisa
dijumpai infiltrat dan kavitas. Salah satu komplikasi yang mungkin
timbul adalah pleuritis eksudatif, akibat perluasan infitrat primer ke
pleura melalui penyebaran hematogen. Komplikasi lain adalah
atelektasis akibat stenosis bronkus karena perforasi kelenjar ke dalarn
bronkus. Baik pleuritis maupun atelektasis pada anak-anak mungkin
demikian luas sehingga sarang primer tersembunyi di belakangnya.
Pada TB primer, kelainan foto toraks yang dominan adalah berupa
limfadenopati hilus dan mediastinum. Seperti yang diperlihatkan pada
Gambar 1. Lokasi kelainan biasanya terdapat pada satu lobus, terutama
di daerah lobus bawah, lobus tengah dan lingula serta segmen anterior
lobus atas. Paru kanan lebih sering terkena karena struktur anatomis
bronkus kanan yang lebih vertikal dan mengakibatkan basil TB lebih
sering masuk ke daerah tersebut (Franco et al., 2003). Limfadenopati
sering terjadi pada hilus ipsilateral, dan dilaporkan terjadi pada 1/3
kasus. Limfadenopati merupakan gambaran tipikal pada anak usia <5
tahun (Smith dan John, 2012).

Gambaran TB primer lebih sering dijumpai pada anak yang lebih muda
(sebelum remaja). Menurut WHO definisi remaja dalam hal ini adalah
anak dengan usia 10 19 tahun. Dari hasil studi oleh Weber, et al. tahun
2000 dilaporkan bahwa hanya terdapat 10% remaja (adolescent) saja
yang memiliki gambaran limfadenopati. Gambaran yang lebih sering
dijumpai pada anak remaja adalah kavitas yang mirip dengan gambaran
TB pada dewasa seperti yang diperlihatkan pada gambar 3 (Smith dan
John, 2012).

Hasil penelitian Anna et al., tahun 2011 menggambarkan distribusi


frekuensi gambaran radiologis pada remaja sebagai berikut : infiltrat
(53,3%); kavitasi (32,4%); konsolidasi (27%); pembesaran lymph node
pada hilus (3,2%) (gambar 2); atelektasis (1,9%). Hasil ini menunjukkan
bahwa bentuk TB primer terjadi pada anak dengan usia lebih muda dan
bentuk postprimer pada remaja yang lebih tua.
Gambar 1. Limfadenopati hilus, anteroposterior (kiri), lateral (kanan)

Gambar 2. Infiltrat dan limfadenopati hilus


Gambar 3. Infiltrat, kavitas dan atelektasis

Komplek primer TB (Komplek Ranke) terdiri dari :


1. Komplek Gohn
Merupakan bintik-bintik kecil di suprahiler dan di sekelilingnya ada
infiltrat, sering tidak tampak kecuali ada kalsifikasi
2. Limfangitis
Cabang-cabang limfe yang keluar dari kompleks Gohn dan berjalan
sepanjang hilus.
3. Limfadenitis
Terjadi pembesaran limfonodi. Sering terjadi di :
- Lnn. Hilus, tampak sebagai gambaran perpadatan di hilus
- Lnn. Parabronkial
- Lnn. Paratrakheal, di kanan dan kiri trakea, tampak sebagai
gambaran cerobong asap.

2. Tuberkulosis Sekunder (Tuberkulosis Reinfeksi/Postprimer)

Tuberkulosis yang bersifat kronis ini terjadi pada orang dewasa atau
timbul reinfeksi pada seseorang yang semasa kecilnya pernah menderita
tuberculosis primer, tetapi tidak diketahui dan menyembuh sendiri.
Kavitas merupakan ciri dari tuberculosis sekunder. Bercak infiltrat yang
terlihat pada foto roentgen biasanya di lapangan atas dan segmen apikal
lobi bawah. Kadang-kadang juga terdapat di bagian basal paru yang
biasanya disertai oleh pleuritis. Pembesaran kelenjar limfe pada
tuberkulosis sekunder jarang dijumpai. TB paru post primer biasanya
terjadi akibat dari infeksi laten sebelumnya. Selama infeksi primer
kuman terbawa aliran darah ke daerah apeks dan segmen posterior lobus
atas dan ke segmen superior lobus bawah, untuk selanjutnya terjadi
reaktivasi infeksi di daerah ini karena tekanan oksigen di lobus atas
tinggi (Icksan dan Luhur S, 2008).

Gambaran foto toraks yang dicurigai aktif :


1. Bayangan berawan/nodular di segmen apikoposterior atas dan
superior lobus bawah
2. Kavitas lebih dari satu dan dikelilingi konsolidasi atau nodul
3. Bercak milier
4. Efusi pleura bilateral
Gambaran radiologis yang dicurigai lesi tidak aktif :
1. Fibrosis
2. Kalsifikasi
3. Penebalan pleura

Gambar 4. TB post primer dengan kavitas apeks paru kiri


3. Klasifikasi Tuberkulosis Sekunder

Klasifikasikasi tuberkulosis sekunder menurut American Tuberculosis


Association (ATA).

1. Tuberculosis minimal
Luas sarang-sarang yang kelihatan tidak melebihi daerah yang
dibatasi oleh garis median, apeks dan iga 2 depan, sarang-sarang
soliter dapat berada di mana saja. Tidak ditemukan adanya kavitas.

2. Tuberkulosis lanjut sedang (moderately advance tuberculosis)


Luas sarang sarang yang berupa bercak infiltrat tidak melebihi luas
satu paru. Sedangkan bila ada kavitas, diameternya tidak melebihi 4
cm. Kalau bayangan sarang tersebut berupa awan awan menjelma
menjadi daerah konsolidasi yang homogen, luasnya tidak boleh
melebihi 1 lobus paru

3. Tuberkulosis sangat lanjut (far advanced tuberculosis )


Luas daerah yang dihinggapi sarang-sarang lebih dari 1 paru atau
bila ada lubang -lubang, maka diameter semua lubang melebihi 4
cm. Ada beberapa bentuk kelainan yang dapat dilihat pada foto
roentgen, antara lain :
o Sarang eksudatif, berbentuk awan atau bercak-bercak yang
batasnya tidak tegas dengandensitas rendah.
o Sarang produktif, berbentuk butir-butir bulat kecil yang batasnya
tegas dan densitasnyasedang..
o Sarang induratif atau fibrotik, yaitu berbentuk garis-garis
berbatas tegas, dengan densitastinggi.
o Kavitas atau lubang.
o Sarang kapur (kalsifikasi)
Cara pembagian yang lazim di Amerika Serikat adalah :
1. Sarang-sarang berbentuk awan atau bercak infiltrat dengan densitas
rendah hingga sedang dengan batas tidak tegas. Sarang -sarang ini
biasanya menunjukan suatu proses aktif.
2. Lubang (kavitas). Berarti proses aktif kecuali bila lubang sudah sangat
kecil, yang dinamakan residual cavity.
3. Sarang-sarang seperti garis (fibrotik) atau bintik-bintik kapur
(kalsifikasi), yang biasanya menunjukkan proses telah tenang
(fibrocalcification)

Kemungkinan-kemungkinan kelanjutan suatu sarang tuberkulosis

1. Penyembuhan

o Penyembuhan tanpa bekas. Sering terjadi pada anak-anak


(tuberkulosis primer) dan pada orang dewasa apabila diberikan
pengobatan yang baik
o Penyembuhan dengan memninggalkan cacat. Penyembuhan ini
berupa garis-garis berdensitas tinggi/fibrokalsifikasi di kedua
lapangan atas paru dapat mengakibatkan penarikan pembuluh-
pembuluh darah besar di kedua hilli ke atas. Pembuluh darah besar
di hilli terangkat ke atas, seakan-akan menyerupai kantung celana
(broekzak fenomen). Sarang-sarang kapur kecil yang mengelompok
di apeks paru dinamakan sarang-sarang Simon (Simon's foci). Secara
roentgenologis, sarang baru dapat dinilai sembuh (proses tenang )
bila setelah jangka waktu selama sekurang-kurangnya 3 bulan
bentuknya sama. Sifat bayangan tidak boleh berupa bercak-bercak,
awan atau lubang, melainkan garis-garis atau bintik-bintik kapur.
Dan harus didukung oleh hasil pemeriksaan klinik-laboratorium,
termasuk sputum.
2. Perburukan (Perluasan) Penyakit

a. Pleuritis
Terjadi karena meluasnya infiltrat primer langsung ke pleura atau
melalui penyebaran hematogen. Pada keadaan normal rongga pleura
berisi cairan 10-15 ml. Efusi pleura biasa terdeteksi dengan foto
toraks PA dengan tanda meniscus sign/ellis line, apabila jumlahnya
175 ml. Pada foto lateral dekubitus efusi pleura sudah bisa dilihat
bila ada penambahan 5 ml dari jumlah normal. Penebalan pleura di
apikal relative biasa pada TB paru atau bekas TB paru. Pleuritis TB
bisa terlokalisir dan membentuk empiema. CT Toraks bergunadalam
memperlihatkan aktifitas dari pleuritis TB dan empiema.
b. Penyebaran miliar
Akibat penyebaran hematogen tampak sarang-sarang sebesar l-2 mm
atau sebesar kepala jarum (milium), tersebar secara merata di kedua
belah paru. Pada foto toraks, tuberkulosis miliaris ini menyerupai
gambaran 'badai kabut (Snow storm apperance). Penyebaran seperti
ini juga dapat terjadi pada ginjal, tulang, sendi, selaput
otak/meningen, dsb.
c. Stenosis bronkus
Stenosis bronkus dengan akibat atelektasis lobus atau segmen paru
yang bersangkutansering menempati lobus kanan (sindroma lobus
medius)
d. Kavitas (lubang)
Timbulnya lubang ini akibat melunaknya sarang keju. Dinding
lubang sering tipis berbatas licin atau tebal berbatas tidak licin. Di
dalamnya mungkin terlihat cairan, yang biasanya sedikit. Lubang
kecil dikelilingi oleh jaringan fibrotik dan bersifat tidak berubah-
ubah pada pemeriksaan berkala (follow up) dinamakan lubang sisa
(residual cavity) dan berarti suatu proses lama yang sudah tenang.
Diagnosis banding TB paru secara radiologist

TB paru primer

o Pembesaran KGB pada TB paru primer


Limfoma dan sarkoidosis pada TB paru primer : pembesaran KGB
dimulai dari hilus, baru ke paratrakea, dan pada umumnya unilateral.
Sedangkan pada limfoma biasa dimulai dari paratrakea dan bilateral.
Pada sarkoidosis pembesaran KGB hilus bilateral.
o Infiltrat unilateral lapangan bawah paru
- TB anak :
Pneumonia. Untuk membedakan pneumonia TB dengan
pneumonia bukan karena TB, pada pneumonia bukan TB
umumnya tidak disertai pembesaran KGB dan pada evaluasi foto
cepat terjadi resolusi
- TB dewasa :
Pneumonia non TB, karsinoma (bronchioloalveolar cell Ca),
sarkoidosis, non tuberculous mycobacteria (NTM)

TB post primer

o NTM
o Silikosis
o Respiratory Bronchiolitis Interstitial Lung Disease (RBILD).
o Kavitas pada usia tua, kemungkinan karena tumor paru
o Kavitas multiple bisa dijumpai juga pada wegener granulomatosis dan
jamur
2.9. Tatalaksana

A. Tujuan Pengobatan

Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah


kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi bakteri terhadap Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) (Kemenkes RI, 2011). Tujuan pengobatan TB pada anak adalah
menyingkirkan resiko penyebaran dari lesi dan membunuh bakteri TB
pada fokus primer dan kelenjar getah bening terkait yang merupakan
bagian dari kompleks primer (Crofton et al., 2002).

B. Prinsip Pengobatan

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sebagai


berikut :
o OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian
OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT KDT) lebih menguntungkan
dan sangat dianjurkan.
o Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
o Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.
Tahap awal (intensif)
- Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat.
- Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun
waktu 2 minggu.
- Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
- Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama
- Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

C. Panduan OAT di Indonesia

o Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional


Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia :
- Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
- Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan
(HRZE)
- Kategori Anak : 2HRZ/4HR

o Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk


paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan
kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT
kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis
obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan
pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

o Paket Kombipak
Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu
Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini
disediakan program untuk mengatasi pasien yang mengalami efek
samping OAT KDT. Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk
paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan
menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai.
Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.

KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB :


1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin
efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko
terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan
resep
3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian
obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

Paduan OAT dan Peruntukannya

1. Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru :


o Pasien baru TB paru BTA positif
o Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
o Pasien TB ekstra paru

Tabel 2. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 1


2. Kategori-2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3)

Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah
diobati sebelumnya :
o Pasien kambuh
o Pasien gagal
o Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)

Tabel 3. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2

Catatan :
o Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan.
o Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
o Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan
menambahkan aquabidest sebanyak 3,7 ml sehingga menjadi 4 ml.
(1 ml = 250 mg)

3. OAT Sisipan (HRZE)

Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap
intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Tabel 4. Dosis OAT KDT untuk sisipan

Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida


(misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan
diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena
potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama.
Di samping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi
pada OAT lapis kedua.

D. Pedoman Pengobatan Kategori Anak

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan cukup


adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis
maupun pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis pada TB anak
merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan.
Bila dijumpai perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran
radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap
dihentikan.

Gambar 5. Alur tatalaksana pasien TB anak pada unit pelayanan kesehatan dasar
Kategori Anak (2RHZ/4RH)

Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan


diberikan dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari,
baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan dosis obat harus
disesuaikan dengan berat badan anak.

Tabel 5. Dosis OAT kombipak pada anak

Tabel 6. Dosis OAT KDT pada anak

Keterangan :
o Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
o Anak dengan BB 15 19 kg dapat diberikan 3 tablet.
o Anak dengan BB > 33 kg, dirujuk ke rumah sakit.
o Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
o OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau
digerus sesaat sebelum diminum.

Pengobatan Pencegahan (Profilaksis) untuk Anak

Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat
dengan penderita TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan
menggunakan sistem skoring. Bila hasil evaluasi dengan skoring sistem
didapat skor < 5, kepada anak tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan
dosis 5 10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum
pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah
pengobatan pencegahan selesai.

2.10. Pencegahan

A. Pencegahan Primer

- Memberikan promosi kesehatan dengan cara penyuluhan kepada


masyarakat tentang cara-cara penularan dan cara-cara pemberantasan
serta manfaat penegakan diagnosa dini (Chin et al., 2006)
- Mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya infeksi misalnya kepadatan hunian
(Chin et al., 2006)
- Peningkatan daya tahun tubuh (Alsagaff et al., 2006)
Peningkatan daya tahan tubuh seseorang dapat dilakukan dengan
cara sebagai berikut :
o Mengkonsumsi makanan yang bergizi.
o Melengkapi perumahan dengan ventilasi yang cukup.
o Mengusahakan agar setiap hari tidur dengan cukup dan teratur.
o Berolahraga di tempat-tempat yang mempunyai udara segar.
o Vaksinasi Bacille Calmette-Guerin (BCG)
Vaksinasi BCG sangat penting untuk mengendalikan
penyebaran penyakit TB dan menimbulkan sensitivitas terhadap
tuberkulin. Vaksin BCG akan sangat efektif apabila diberikan
segera setelah lahir atau paling lambat 2 bulan setelah lahir.
Vaksinasi BCG tidak mencegah infeksi TB tetapi mengurangi
risiko TB berat seperti meningitis dan TB milier. Efek proteksi
timbul 8-12 minggu setelah penyuntikan. Efek proteksi
bervariasi antara 0-80%. Hal ini mungkin disebabkan vaksin
yang dipakai, lingkungan dengan Mycobacterium apitik atau
faktor pejamu (umur, keadaan gizi, dan lain-lain).

B. Pencegahan Sekunder

Case finding (penemuan kasus) yaitu menemukan kasus ataupun


penderita TB paru baik secara aktif dengan mencari penderita TB paru
di masyarakat maupun secara pasif dengan menunggu penderita TB paru
yang mendatangi fasilitas kesehatan. Apabila ditemukan seorang anak
dengan TB, maka harus dicari sumber penularan yang menyebabkan
anak tersebut tertular TB dan apabila sumbernya telah ditemukan, perlu
dilakukan pelacakan sentrifugal yaitu mencari anak lain di sekitarnya
yang mungkin juga tertular dengan cara uji tuberkulin. Sebaliknya, jika
ditemukan penderita TB dewasa aktif, maka anak di sekitarnya atau
yang kontak erat dengan orang dewasa tersebut harus ditelusuri ada atau
tidaknya infeksi TB dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan penunjang yaitu uji tuberkulin (Kemenkes RI, 2009).

C. Pencegahan Tertier

- Mencegah jangan sampai terjadi cacat atau kelainan permanen,


mencegah bertambah parahnya penyakit atau mencegah kematian
dengan cara memperpanjang sistem pengobatan yang diberikan.
- Upaya rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat efek samping
dari penyembuhan seperti pengembalian fisik, fungsi psikologis, dan
sosial seoptimal mungkin yang meliputi rehabilitasi fisik atau medis,
rehabilitasi fungsi mental atau psikologis serta rehabilitasi sosial
misalnya melalui pemberian nutrisi tinggi kalori dan tinggi protein
(Noor, 2006).
III. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penulisan referat mengenai Tuberkulosis, diperoleh kesimpulan


sebagai berikut :
1. TB paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis dan merupakan salah satu penyakit saluran pernapasan bagian
bawah
2. PDPI membuat diagnosis TB berdasarkan pemeriksaan sputum dan rontgen
toraks yaitu, TB paru BTA positif, TB paru BTA negatif dan foto toraks
positif serta TB ekstra paru
3. Terdapat 3 macam proyeksi pengambilan foto toraks untuk pasien yang
dicurigai tuberkulosis, yaitu proyeksi postero-anterior (PA), proyeksi lateral,
dan jika perlu proyeksi top-lordotik
4. Klasifikasi TB paru berdasarkan gambaran radiologis terbagi menjadi : (1)
Tuberkulosis primer berupa gambaran menyerupai pneumonia, limfadenopati,
atelektasis dan efusi pleura, (2) Tuberkulosis post primer (sekunder) berupa
gambaran kavitas (dominan), fibrosis atau kalsifikasi
5. Klasifikasi TB paru post primer berdasarkan American Tuberculosis
Association (ATA) terbagi menjadi : (1) Tuberkulosis minimal, (2)
Tuberkulosis lanjut sedang (moderately advance tuberculosis) dan (3)
Tuberkulosis sangat lanjut (far advanced tuberculosis)
DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, U.F. 2008. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. UI Press, Jakarta.

Alfian, U. 2005. Tuberkulosis. Binarupa Aksara, Jakarta.

Alsagaff, H., dkk. 2006. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Cetakan Keempat.
Airlangga University Press, Surabaya.

Anna, C.C.S., Scmidt, C.M., March, M.F.B.P., Pereira, S.M., Barreto, M.L., 2011.
Radiologic Findings of Pulmonary Tuberculosis in Adolescents. Braz J
Infect Dis 15(1): 40-44.

CDC. 2014. TB in Children (Global Perspective).


http://www.cdc.gov/tb/topic/populations/TBinChildren/global.htm. Diakses
tanggal 23 maret 2014.

Chin, J. MD. 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Cetakan Kedua.


Infomedika, Jakarta.

Crofton, J., dkk. 2002. Tuberkulosis Klinis. Edisi 2. Widya Medika, Jakarta.

Depkes RI. 2006. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2


Cetakan Pertama. Jakarta.

Franco, S., Santana, M.A., Matos, E., Sousa, V., Lemos, A.C.M., 2003. Clinical
and Radiological Analysis of Children and Adolescents With Tuberculosis
in Bahia, Brazil. Braz J Infect Dis 7(1):73-81.

Icksan, A.G. & Luhur, R., 2008. Radiologi Toraks Tuberkulosis Paru. Jakarta:
Sagung Seto: 33-41.

Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Jakarta.

Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Ditjen


PP&PL, Jakarta.

Mandal, B.K., dkk. 2008. Penyakit Infeksi. Edisi Keenam. Erlangga, Jakarta.
Misnadiarly. 2006. Penyakit Infeksi TB Paru dan Ekstra Paru: Mengenal,
mencegah, menanggulangi TBC Paru, ekstra paru, anak, dan pada
kehamilan. Pustaka Populer Obor, Jakarta.

Noor, N.N. 2006. Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular. Cetakan Kedua.


Rineka Cipta, Jakarta.

Rab, T.H. 1996. Ilmu Penyakit Paru. Cetakan Pertama. Hipokrates, Jakarta.

Rahajoe, N.N. 2010. Buku Ajar Respirologi Anak. Cetakan Kedua. Edisi Pertama.
Badan Penerbit IDAI, Jakarta.

Rasad, Sjahriar. 2011. Radiologi Diagnostik. Jakarta : FK UI.

Smith, K.C. & John, S.D., 2012. Pediatric TB Radiology for Clinicians. Hearth
and National TB Center: 21-27.

Sudoyo, A., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Jilid 3.
Interna Publishing, Jakarta.

WHO. 2014. Tuberculosis. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs104/en/


Diakses tanggal 18 Maret 2014.

WHO. 2013. Global Tuberculosis Report 2013. www.who.int.

Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan


Pemberantasannya. Erlangga, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai