Oleh :
Pembimbing :
Halaman
DAFTAR ISI .............................................................................................................. i
I. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 4
2.1. Definisi ...................................................................................................... 4
2.2. Etiologi ...................................................................................................... 4
2.3. Epidemiologi ............................................................................................. 5
2.4. Patogenesis ................................................................................................ 6
2.5. Klasifikasi Tuberkulosis .......................................................................... 11
2.6. Diagnosis ................................................................................................. 14
2.7. Diagnosis TB Anak ................................................................................. 23
2.8. Pemeriksaan Radiologi TB ...................................................................... 25
2.9. Tatalaksana .............................................................................................. 36
2.10. Pencegahan .............................................................................................. 42
III. KESIMPULAN ............................................................................................... 44
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 45
I. PENDAHULUAN
Menurut WHO, pada tahun 2012 sebanyak 8,6 juta jiwa menderita TB dan
1,3 juta diantaranya meninggal karena TB dengan CFR sebesar 15,12%.
Lebih dari 95% kasus TB terjadi di negara berkembang. Pada tahun 2012,
530.000 anak-anak usia di bawah 15 tahun menderita TB dan 74.000
diantaranya meninggal karena TB dengan CFR sebesar 13,96% (WHO,
2014).
2.1. Definisi
2.2. Etiologi
2.3. Epidemiologi
2.4. Patogenesis
Kelompok yang paling rawan terinfeksi bakteri TB adalah anak usia kurang
dari 1 tahun. Anak-anak yang menderita TB jarang bahkan tidak dapat
menularkan bakteri TB kepada anak lain ataupun kepada orang dewasa. Hal
ini disebabkan TB pada anak biasanya bersifat tertutup. Sehingga, apabila
terdapat anak yang terinfeksi TB, dapat dipastikan sumber penularannya
adalah orang dewasa yang dekat dengan anak tersebut (Maryunani, 2010).
Tidak semua orang yang terinfeksi bakteri TB akan menderita TB. Pada
sebagian orang dengan sistem imun yang baik, bakteri ini akan tetap
dormant sepanjang hidupnya. Sedangkan pada orang dengan sistem
kekebalan tubuh yang kurang, bakteri ini akan mengalami
perkembangbiakan sehingga tuberkel bertambah banyak dan akan
membentuk ruang di dalam paru-paru yang nantinya menjadi sumber
sputum (dahak). Seseorang yang telah memproduksi sputum dapat
diperkirakan sedang mengalami pertumbuhan tuberkel berlebih dan positif
terinfeksi TB (Maryunani, 2010). Daya penularan dari seseorang ke orang
lain ditentukan oleh banyaknya bakteri yang dikeluarkan, patogenesitas
bakteri yang bersangkutan serta lamanya seseorang menghirup udara yang
mengandung bakteri tersebut (Achmadi, 2008).
A. Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,
tidak termasuk pleura (selaput paru)
a. Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan
dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu
bulan (30 dosis harian)
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan
hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila
hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik
sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa
kemungkinan:
o Infeksi sekunder
o Infeksi jamur
o TB paru kambuh
c. Kasus pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di suatu
kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain.
Penderita pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan/pindah
d. Kasus lalai berobat
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan
berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan
dahak BTA positif.
e. Kasus Gagal
o Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan
sebelum akhir pengobatan)
o Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran
radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2
pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang hasilnya
perburukan
f. Kasus kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih
positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan
pengawasan yang baik
g. Kasus bekas TB
o Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada
fasilitas) negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan
lesi TB inaktif, terlebih gambaran radiologik serial
menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan
OAT yang adekuat akan lebih mendukung
o Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB
aktif, namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2
bulan ternyata tidak ada perubahan gambaran radiologik
Catatan :
o Yang dimaksud dengan TB paru adalah TB pada parenkim paru.
Sebab itu TB pada pleura atau TB pada kelenjar hilus tanpa ada
kelainan radiologik paru, dianggap sebagai penderita TB di luar
paru.
o Bila seorang penderita TB paru juga mempunyai TB di luar paru,
maka untuk kepentingan pencatatan penderita tersebut harus
dicatat sebagai penderita TB paru.
o Bila seorang penderita ekstra paru pada beberapa organ, maka
dicatat sebagai ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling
berat.
2.6. Diagnosis
A. Gambaran Klinik
Gejala klinik
1. Gejala respiratorik
o Batuk 3 minggu
o Batuk darah
o Sesak napas
o Nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala
sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang
penderita terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus
belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita mungkin tidak
ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus,
dan selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
o Demam
o Gejala sistemik lain : malaise, keringat malam, anoreksia, berat
badan menurun
B. Pemeriksaan Fisik
C. Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan mikroskopik :
o Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen pewarnaan
Kinyoun Gabbett
o Mikroskopik fluoresens : pewarnaan auramin-rhodamin
(khususnya untuk screening)
Catatan :
Bila terdapat fasiliti radiologik dan gambaran radiologik
menunjukkan tuberkulosis aktif, maka hasil pemeriksaan dahak 1
kali positif, 2 kali negatif tidak perlu diulang.
D. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan.
Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran
bermacam-macam bentuk (multiform).
Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan
dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA dahak negatif) :
o Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas
chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus
dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2)
dan tidak dijumpai kaviti
o Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.
E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan analisis cairan pleura & uji Rivalta cairan pleura perlu
dilakukan pada penderita efusi pleura untuk membantu menegakkan
diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung diagnosis
tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta
pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa
rendah.
2. Pemeriksaan Histopatologi Jaringan
3. Pemeriksaan Darah
4. Uji Tuberkulin
Hal lain yang dapat mendukung diagnosis pasti TB dengan uji tuberkulin,
pemeriksaan laboratorium, dan foto rontgen dada, serta ditemukannya M.
Tuberculosis pada pemeriksaan sputum atau bilasan lambung, cairan
serebrospinal, cairan pleura, atau pada biopsi jaringan. Pada anak, kesulitan
menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh 2 hal, yaitu sedikitnya jumlah
kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan spesimen (sputum).
Jumlah kuman TB di sekret bronkus pasien anak lebih sedikit daripada
dewasa karena lokasi kerusakan parenkim paru tidak seberat pada dewasa.
Kuman BTA baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling
sedikit 5.000 kuman dalam 1 ml dahak (Raharjoe, 2008).
Catatan :
- Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
- Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk
kronik lainnya seperti Asma, Sinusitis dan lain-lain.
- Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), penderita
dapat langsung didiagnosis TB.
- Berat badan dinilai saat penderita datang (moment opname) dengan
melampirkan tabel berat badan.
- Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak.
- Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul <7 hari
setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
- Anak didiagnosis TB jika jumlah skor >6, (skor maksimal 14).
- Penderita usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk
evaluasi lebih lanjut.
Tabel 1. Sistem skoring TB pada anak
Parameter 0 1 2 3
Laporan
keluarga,
BTA negatif
Kontak TB Tidak jelas BTA positif
atau tidak
tahu, BTA
tidak jelas
Positif ( 10
mm, atau 5
Uji tuberkulin Negatif mm pada
keadaan
imunosupresif
Bawah Garis
Berat Klinis gizi
Merah (KMS)
badan/keadaan buruk (BB/U
atau BB/U <
gizi < 60%)
80%
Demam tanpa
2 minggu
sebab jelas
Batuk 3 minggu
Pembesaran
kelenjar limfe 1 cm, jumlah >
koli, aksila, 1, tidak nyeri
inguinal
Pembengkakan
tulang/sendi Ada
panggul, lutut, pembengkakan
falang
Normal/tidak
Foto toraks Kesan TB
jelas
Kelainan pada foto toraks bisa sebagai usul tetapi bukan sebagai diagnosa
utama pada TB. Namun, Foto toraks bisa digunakan untuk menyingkirkan
kemungkinan TB paru pada orang-orang yang dengan hasil tes tuberkulin
(+) dan tanpa menunjukkan gejala.
1. Bila klinis ditemukan gejala tuberkulosis paru, hampir selalu ditemukan
kelainan padafoto roentgen.
2. Bila klinis ada dugaan terhadap penyakit tuberkulosis paru, tetapi pada
foto roentgen tidak terlihat kelainan, maka ini merupakan tanda yang
kuat bukan tuberkulosis.
3. Sebaliknya, bila tidak ada kelainan pada foto toraks belum berarti tidak
ada tuberkulosis,sebab kelainan pertama pada foto toraks baru terlihat
sekurang -kurangnya 10 minggu setelah infeksi oleh basil tuberkulosis.
4. Sesudah sputum positif pada pemeriksaan bakteriologi, tanda
tuberkulosis yang terpenting adalah bila ada kelainan pada foto toraks.
5. Ditemukannya kelainan pada foto toraks belum berarti bahwa penyakit
tersebut aktif.
6. Dari bentuk kelainan pada foto roentgen memang dapat diperoleh kesan
tentang aktivitas penyakit, namun kepastian diagnosis hanya dapat
diperoleh melalui kombinasi dengan hasil pemeriksaan klinis/
laboraturis.
7. Pemeriksaan roentgen penting untuk dokumentasi, menentukan
lokalisasi, proses dan tanda perbaikan ataupun perburukan dengan
melakukan perbandingan dengan foto-foto terdahulu.
8. Pemeriksaan roentgen juga penting untuk penilaian hasil tindakan terapi
seperti Pneumotoraks torakoplastik.
9. Pemeriksaan roentgen tuberculosis paru saja tidak cukup dan dewasa ini
bahkan tidak boleh dilakukan hanya dengan fluoroskopi. Pembuatan
foto roentgen adalah suatu keharusan, yaitu foto posterior anterior (PA),
bila perlu disertai proyeksi-proyeksi tambahan seperti foto lateral, foto
khusus puncak AP-lordotik dan tekhnik-tekhnik khusus lainnya.
Ada 3 macam proyeksi pemotretan pada foto toraks pasien yang dicurigai
TB, yaitu :
1. Proyeksi Postero-Anterior (PA). Pada posisi PA, pengambilan foto
dilakukan pada saat pasien dalam posisi berdiri, tahan nafas pada akhir
inspirasi dalam. Bila terlihat suatu kelainan pada proyeksi PA, perlu
ditambah proyeksi lateral.
2. Proyeksi Lateral. Pada proyeksi lateral, posisi berdiri dengan tangan
disilangkan di belakang kepala.Pengambilan foto dilakukan pada saat
pasien tahan napas dan akhir inspirasi dalam.
3. Proyeksi Top Lordotik. Proyeksi Top Lordotik dibuat bila foto PA
menunjukkan kemungkinan adanya kelainan pada daerah apeks kedua
paru. Proyeksi tambahan ini hendaknya dibuat setelah foto rutin
diperiksa dan bila terdapat kesulitan dalam menginterpretasikan suatu
lesi di apeks. Pengambilan foto dilakukan pada posisi berdiri dengan
arah sinar menyudut 35-45 derajat arah caudocranial, agar gambaran
apeks paru tidak berhimpitan dengan klavikula.
Gambaran Radiologis TB
1. Tuberkulosis Primer
Gambaran TB primer lebih sering dijumpai pada anak yang lebih muda
(sebelum remaja). Menurut WHO definisi remaja dalam hal ini adalah
anak dengan usia 10 19 tahun. Dari hasil studi oleh Weber, et al. tahun
2000 dilaporkan bahwa hanya terdapat 10% remaja (adolescent) saja
yang memiliki gambaran limfadenopati. Gambaran yang lebih sering
dijumpai pada anak remaja adalah kavitas yang mirip dengan gambaran
TB pada dewasa seperti yang diperlihatkan pada gambar 3 (Smith dan
John, 2012).
Tuberkulosis yang bersifat kronis ini terjadi pada orang dewasa atau
timbul reinfeksi pada seseorang yang semasa kecilnya pernah menderita
tuberculosis primer, tetapi tidak diketahui dan menyembuh sendiri.
Kavitas merupakan ciri dari tuberculosis sekunder. Bercak infiltrat yang
terlihat pada foto roentgen biasanya di lapangan atas dan segmen apikal
lobi bawah. Kadang-kadang juga terdapat di bagian basal paru yang
biasanya disertai oleh pleuritis. Pembesaran kelenjar limfe pada
tuberkulosis sekunder jarang dijumpai. TB paru post primer biasanya
terjadi akibat dari infeksi laten sebelumnya. Selama infeksi primer
kuman terbawa aliran darah ke daerah apeks dan segmen posterior lobus
atas dan ke segmen superior lobus bawah, untuk selanjutnya terjadi
reaktivasi infeksi di daerah ini karena tekanan oksigen di lobus atas
tinggi (Icksan dan Luhur S, 2008).
1. Tuberculosis minimal
Luas sarang-sarang yang kelihatan tidak melebihi daerah yang
dibatasi oleh garis median, apeks dan iga 2 depan, sarang-sarang
soliter dapat berada di mana saja. Tidak ditemukan adanya kavitas.
1. Penyembuhan
a. Pleuritis
Terjadi karena meluasnya infiltrat primer langsung ke pleura atau
melalui penyebaran hematogen. Pada keadaan normal rongga pleura
berisi cairan 10-15 ml. Efusi pleura biasa terdeteksi dengan foto
toraks PA dengan tanda meniscus sign/ellis line, apabila jumlahnya
175 ml. Pada foto lateral dekubitus efusi pleura sudah bisa dilihat
bila ada penambahan 5 ml dari jumlah normal. Penebalan pleura di
apikal relative biasa pada TB paru atau bekas TB paru. Pleuritis TB
bisa terlokalisir dan membentuk empiema. CT Toraks bergunadalam
memperlihatkan aktifitas dari pleuritis TB dan empiema.
b. Penyebaran miliar
Akibat penyebaran hematogen tampak sarang-sarang sebesar l-2 mm
atau sebesar kepala jarum (milium), tersebar secara merata di kedua
belah paru. Pada foto toraks, tuberkulosis miliaris ini menyerupai
gambaran 'badai kabut (Snow storm apperance). Penyebaran seperti
ini juga dapat terjadi pada ginjal, tulang, sendi, selaput
otak/meningen, dsb.
c. Stenosis bronkus
Stenosis bronkus dengan akibat atelektasis lobus atau segmen paru
yang bersangkutansering menempati lobus kanan (sindroma lobus
medius)
d. Kavitas (lubang)
Timbulnya lubang ini akibat melunaknya sarang keju. Dinding
lubang sering tipis berbatas licin atau tebal berbatas tidak licin. Di
dalamnya mungkin terlihat cairan, yang biasanya sedikit. Lubang
kecil dikelilingi oleh jaringan fibrotik dan bersifat tidak berubah-
ubah pada pemeriksaan berkala (follow up) dinamakan lubang sisa
(residual cavity) dan berarti suatu proses lama yang sudah tenang.
Diagnosis banding TB paru secara radiologist
TB paru primer
TB post primer
o NTM
o Silikosis
o Respiratory Bronchiolitis Interstitial Lung Disease (RBILD).
o Kavitas pada usia tua, kemungkinan karena tumor paru
o Kavitas multiple bisa dijumpai juga pada wegener granulomatosis dan
jamur
2.9. Tatalaksana
A. Tujuan Pengobatan
B. Prinsip Pengobatan
o Paket Kombipak
Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu
Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini
disediakan program untuk mengatasi pasien yang mengalami efek
samping OAT KDT. Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk
paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan
menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai.
Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.
1. Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah
diobati sebelumnya :
o Pasien kambuh
o Pasien gagal
o Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus)
Catatan :
o Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk
streptomisin adalah 500 mg tanpa memperhatikan berat badan.
o Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.
o Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan
menambahkan aquabidest sebanyak 3,7 ml sehingga menjadi 4 ml.
(1 ml = 250 mg)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap
intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Tabel 4. Dosis OAT KDT untuk sisipan
Gambar 5. Alur tatalaksana pasien TB anak pada unit pelayanan kesehatan dasar
Kategori Anak (2RHZ/4RH)
Keterangan :
o Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
o Anak dengan BB 15 19 kg dapat diberikan 3 tablet.
o Anak dengan BB > 33 kg, dirujuk ke rumah sakit.
o Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
o OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau
digerus sesaat sebelum diminum.
Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak erat
dengan penderita TB dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan
menggunakan sistem skoring. Bila hasil evaluasi dengan skoring sistem
didapat skor < 5, kepada anak tersebut diberikan Isoniazid (INH) dengan
dosis 5 10 mg/kg BB/hari selama 6 bulan. Bila anak tersebut belum
pernah mendapat imunisasi BCG, imunisasi BCG dilakukan setelah
pengobatan pencegahan selesai.
2.10. Pencegahan
A. Pencegahan Primer
B. Pencegahan Sekunder
C. Pencegahan Tertier
Alsagaff, H., dkk. 2006. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Cetakan Keempat.
Airlangga University Press, Surabaya.
Anna, C.C.S., Scmidt, C.M., March, M.F.B.P., Pereira, S.M., Barreto, M.L., 2011.
Radiologic Findings of Pulmonary Tuberculosis in Adolescents. Braz J
Infect Dis 15(1): 40-44.
Crofton, J., dkk. 2002. Tuberkulosis Klinis. Edisi 2. Widya Medika, Jakarta.
Franco, S., Santana, M.A., Matos, E., Sousa, V., Lemos, A.C.M., 2003. Clinical
and Radiological Analysis of Children and Adolescents With Tuberculosis
in Bahia, Brazil. Braz J Infect Dis 7(1):73-81.
Icksan, A.G. & Luhur, R., 2008. Radiologi Toraks Tuberkulosis Paru. Jakarta:
Sagung Seto: 33-41.
Kemenkes RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Jakarta.
Mandal, B.K., dkk. 2008. Penyakit Infeksi. Edisi Keenam. Erlangga, Jakarta.
Misnadiarly. 2006. Penyakit Infeksi TB Paru dan Ekstra Paru: Mengenal,
mencegah, menanggulangi TBC Paru, ekstra paru, anak, dan pada
kehamilan. Pustaka Populer Obor, Jakarta.
Rab, T.H. 1996. Ilmu Penyakit Paru. Cetakan Pertama. Hipokrates, Jakarta.
Rahajoe, N.N. 2010. Buku Ajar Respirologi Anak. Cetakan Kedua. Edisi Pertama.
Badan Penerbit IDAI, Jakarta.
Smith, K.C. & John, S.D., 2012. Pediatric TB Radiology for Clinicians. Hearth
and National TB Center: 21-27.
Sudoyo, A., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Kelima. Jilid 3.
Interna Publishing, Jakarta.