Anda di halaman 1dari 37

terapi / resusitasi cairan

Apr 1

Posted by herrysyu

BAB I
PENDAHULUAN

Sebagaimana kita ketahui,sebagian besar tubuh manusia terdiri atas cairan yang jumlahnya
berbeda-beda tergantung usia dan jenis kelamin serta banyaknya lemak di dalam tubuh.
Dengan makan dan minum tubuh mendapatkan air, elektrolit serta nutrien-nutrien yang lain.
Dalam waktu 24 jam jumlah air dan elektrolit yang masuk setara dengan jumlah yang keluar.
Pengeluaran cairan dan elektrolit dari tubuh dapat berupa urin, tinja, keringat dan uap air
pada saat bernapas.
Terapi cairan dibutuhkan bila tubuh tidak dapat memasukka air, elektrolit serta zat-zat
makanan ke dalam tubuh secara oral misalnya pada saat pasien harus berpuasa lama, karena
pembedahan saluran cerna, perdarahan banyak, syok hipovolemik, anoreksia berat, mual
muntah dan lain-lain. Dengan terapi cairan kebutuhan akan air dan elektrolit akan terpenuhi.
Selain itu terapi cairan juga dapat digunakan untuk memasukkan obat dan zat makanan secara
rutin atau juga digunakan untuk menjaga keseimbangan asam basa.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi Cairan Tubuh


Cairan tubuh adalah cairan suspensi sel di dalam tubuh makhluk multiseluler seperti manusia
atau hewan yang memiliki fungsi fisiologis tertentu.

II. Fisiologi Cairan Tubuh dan Elektrolit

A. Distribusi cairan tubuh


Air adalah pelarut (solven) terpenting dalam komposisi cairan makhluk hidup. Persentase air
tubuh total (Total Body Water) terhadap berat badan berubah sesuai umur, menurun cepat
pada awal kehidupan. Pada saat lahir, TBW 78% berat badan. Pada beberapa bulan pertama
kehidupan, TBW turun cepat mendekati kadar dewasa 55-60 % berat badan pada saat usia 1
tahun. Pada masa pubertas, terjadi perubahan TBW selanjutnya. Karena lemak mempunyai
kadar air yang lebih rendah, persentase TBW terhadap berat badan lebih rendah pada wanita
dewasa yang mempunyai lebih banyak lemak tubuh (55%) daripada laki-laki, yang
mempunyai sedikit lemak. Seluruh cairan tubuh didistribusikan ke dalam kompartemen
intraselular dan kompartemen ekstraselular.
Cairan intraselular
Cairan yang terkandung di antara sel disebut cairan intraselular. Pada orang dewasa, sekitar
dua pertiga dari cairan dalam tubuhnya terdapat di intraselular (sekitar 27 liter rata-rata untuk
dewasa laki-laki dengan berat badan sekitar 70 kilogram), sebaliknya pada bayi hanya
setengah dari berat badannya merupakan cairan intraselular. Cairan intraseluler terlibat dalam
proses metabolik yang menghasilkan energi yang berasal dari nutrien-nutrien dalam cairan
tubuh.
Cairan ekstraselular
Cairan yang berada di luar sel disebut cairan ekstraselular. Cairan ekstraseluler berperan
dalam mempertahankan sistem sirkulasi, mensuplai nutrient ke dalam sel, dan membuang zat
sisa yang bersifat toksik. Jumlah relatif cairan ekstraselular berkurang seiring dengan usia.
Pada bayi baru lahir, sekitar setengah dari cairan tubuh terdapat di cairan ekstraselular.
Cairan ekstraselular dibagi menjadi :

o Cairan Interstitial
Cairan yang mengelilingi sel termasuk dalam cairan interstitial, sekitar 11- 12 liter pada
orang dewasa. Cairan limfe termasuk dalam volume interstitial.

o Cairan Intravaskular
Merupakan cairan yang terkandung dalam pembuluh darah (contohnya volume plasma).
Rata-rata volume darah orang dewasa sekitar 5-6L dimana 3 liternya merupakan plasma,
sisanya terdiri dari sel darah merah, sel darah putih dan platelet.

o Cairan transeluler
Merupakan cairan yang terkandung diantara rongga tubuh tertentu seperti serebrospinal,
perikardial, pleura, sendi sinovial, intraokular dan sekresi saluran pencernaan. Pada keadaan
sewaktu, volume cairan transeluler adalah sekitar 1 liter, tetapi cairan dalam jumlah banyak
dapat masuk dan keluar dari ruang transeluler.

Table 1. Distribusi cairan tubuh

B. Komponen cairan tubuh

Selain air, cairan tubuh mengandung dua jenis zat yaitu elektrolit dan non elektrolit.

Elektrolit
Merupakan zat yang terdisosiasi dalam cairan dan menghantarkan arus listrik. Elektrolit
dibedakan menjadi ion positif (kation) dan ion negatif (anion). Jumlah kation dan anion
dalam larutan adalah selalu sama (diukur dalam miliekuivalen).

Kation : Kation utama dalam cairan ekstraselular adalah sodium (Na+), sedangkan kation
utama dalam cairan intraselular adalah potassium (K+). Suatu sistem pompa terdapat di
dinding sel tubuh yang memompa keluar sodium dan potassium ini.

Natrium
Natrium sebagai kation utama didalam cairan ekstraseluler dan paling berperan di dalam
mengatur keseimbangan cairan. Kadar natrium plasma: 135-145mEq/liter.12 Kadar natrium
dalam tubuh 58,5mEq/kgBB dimana + 70% atau 40,5mEq/kgBB dapat berubah-ubah. Ekresi
natrium dalam urine 100-180mEq/liter, faeces 35mEq/liter dan keringat 58mEq/liter.
Kebutuhan setiap hari = 100mEq (6-15 gram NaCl).
Natrium dapat bergerak cepat antara ruang intravaskuler dan interstitial maupun ke dalam dan
keluar sel. Apabila tubuh banyak mengeluarkan natrium (muntah,diare) sedangkan
pemasukkan terbatas maka akan terjadi keadaan dehidrasi disertai kekurangan natrium.
Kekurangan air dan natrium dalam plasma akan diganti dengan air dan natrium dari cairan
interstitial. Apabila kehilangan cairan terus berlangsung, air akan ditarik dari dalam sel dan
apabila volume plasma tetap tidak dapat dipertahankan terjadilah kegagalan sirkulasi.

Kalium
Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam cairan ekstraseluler berperan penting di
dalam terapi gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Jumlah kalium dalam tubuh sekitar
53 mEq/kgBB dimana 99% dapat berubah-ubah sedangkan yang tidak dapat berpindah
adalah kalium yang terikat dengan protein didalam sel.
Kadar kalium plasma 3,5-5,0 mEq/liter, kebutuhan setiap hari 1-3 mEq/kgBB. Keseimbangan
kalium sangat berhubungan dengan konsentrasi H+ ekstraseluler. Ekskresi kalium lewat urine
60-90 mEq/liter, faeces 72 mEq/liter dan keringat 10 mEq/liter.

Kalsium
Kalsium dapat dalam makanan dan minuman, terutama susu, 80-90% dikeluarkan lewat
faeces dan sekitar 20% lewat urine. Jumlah pengeluaran ini tergantung pada intake, besarnya
tulang, keadaan endokrin. Metabolisme kalsium sangat dipengaruhi oleh kelenjar-kelenjar
paratiroid, tiroid, testis, ovarium, da hipofisis. Sebagian besar (99%) ditemukan didalam gigi
dan + 1% dalam cairan ekstraseluler dan tidak terdapat dalam sel.

Magnesium
Magnesium ditemukan di semua jenis makanan. Kebutuhan unruk pertumbuhan + 10
mg/hari. Dikeluarkan lewat urine dan faeces.

Anion: Anion utama dalam cairan ekstraselular adalah klorida (Cl-) dan bikarbonat (HCO3-
), sedangkan anion utama dalam cairan intraselular adalah ion fosfat (PO43-).

Karbonat
Asam karbonat dan karbohidrat terdapat dalam tubuh sebagai salah satu hasil akhir daripada
metabolisme. Kadar bikarbonat dikontrol oleh ginjal. Sedikit sekali bikarbonat yang akan
dikeluarkan urine. Asam bikarbonat dikontrol oleh paru-paru dan sangat penting peranannya
dalam keseimbangan asam basa.

Non elektrolit
Merupakan zat seperti glukosa dan urea yang tidak terdisosiasi dalam cairan. Zat lainya
termasuk penting adalah kreatinin dan bilirubin.

C. Proses Pergerakan Cairan Tubuh

Perpindahan air dan zat terlarut di antara bagian-bagian tubuh melibatkan mekanisme
transpor pasif dan aktif. Mekanisme transpor pasif tidak membutuhkan energy sedangkan
mekanisme transpor aktif membutuhkan energi. Difusi dan osmosis adalah mekanisme
transpor pasif. Sedangkan mekanisme transpor aktif berhubungan dengan pompa Na-K yang
memerlukan ATP.

Proses pergerakan cairan tubuh antar kompertemen dapat berlangsung secara:

a. Osmosis
Osmosis adalah bergeraknya molekul (zat terlarut) melalui membran semipermeabel
(permeabel selektif) dari larutan berkadar lebih rendah menuju larutan berkadar lebih tinggi
hingga kadarnya sama. Seluruh membran sel dan kapiler permeable terhadap air, sehingga
tekanan osmotik cairan tubuh seluruh kompartemen sama. Membran semipermeabel ialah
membran yang dapat dilalui air (pelarut), namun tidak dapat dilalui zat terlarut misalnya
protein.

Tekanan osmotik plasma darah ialah 285+ 5 mOsm/L. Larutan dengan tekanan osmotik kira-
kira sama disebut isotonik (NaCl 0,9%, Dekstrosa 5%, Ringer laktat). Larutan dengan
tekanan osmotik lebih rendah disebut hipotonik (akuades), sedangkan lebih tinggi disebut
hipertonik.

b. Difusi
Difusi ialah proses bergeraknya molekul lewat pori-pori. Larutan akan bergerak dari
konsentrasi tinggi ke arah larutan berkonsentrasi rendah. Tekanan hidrostatik pembuluh darah
juga mendorong air masuk berdifusi melewati pori-pori tersebut. Jadi difusi tergantung
kepada perbedaan konsentrasi dan tekanan hidrostatik.

c. Pompa Natrium Kalium


Pompa natrium kalium merupakan suatu proses transpor yang memompa ion natrium keluar
melalui membran sel dan pada saat bersamaan memompa ion kalium dari luar ke dalam.
Tujuan dari pompa natrium kalium adalah untuk mencegah keadaan hiperosmolar di dalam
sel.

D. Asupan dan ekskresi cairan dan elektrolit fisiologis

Homeostasis cairan tubuh yang normalnya diatur oleh ginjal dapat berubah oleh stres akibat
operasi, kontrol hormon yang abnormal, atau pun oleh adanya cedera pada paru-paru, kulit
atau traktus gastrointestinal.

Pada keadaan normal, seseorang mengkonsumsi air rata-rata sebanyak 2000-2500 ml per
hari, dalam bentuk cairan maupun makanan padat dengan kehilangan cairan rata rata 250 ml
dari feses, 800-1500 ml dari urin, dan hampir 600 ml kehilangan cairan yang tidak disadari
(insensible water loss) dari kulit dan paru-paru.

I. Perubahan cairan tubuh

Perubahan cairan tubuh dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu :

1. Perubahan volume

a. Defisit volume

Defisit volume cairan ekstraselular merupakan perubahan cairan tubuh yang paling umum.
Penyebab paling umum adalah kehilangan cairan di gastrointestinal akibat muntah, penyedot
nasogastrik, diare dan drainase fistula. Penyebab lainnya dapat berupa kehilangan cairan pada
cedera jaringan lunak, infeksi, inflamasi jaringan, peritonitis, obstruksi usus, dan luka bakar.
Keadaan akut, kehilangan cairan yang cepat akan menimbulkan tanda gangguan pada
susunan saraf pusat dan jantung. Pada kehilangan cairan yang lambat lebih dapat ditoleransi
sampai defisi volume cairan ekstraselular yang berat terjadi.
Dehidrasi
Dehidrasi sering dikategorikan sesuai dengan kadar konsentrasi serum dari natrium menjadi
isonatremik (130-150 mEq/L), hiponatremik (<139 mEq/L) atau hipernatremik (>150
mEq/L). Dehidrasi isonatremik merupakan yang paling sering terjadi (80%), sedangkan
dehidrasi hipernatremik atau hiponatremik sekitar 5-10% dari kasus.

Dehidrasi isotonis (isonatremik): terjadi ketika kehilangan cairan hampir sama dengan
konsentrasi natrium terhadap darah. Kehilangan cairan dan natrium besarnya relatif sama
dalam kompartemen intravaskular maupun kompartemen ekstravaskular.

Dehidrasi hipotonis (hiponatremik): terjadi ketika kehilangan cairan dengan kandungan


natrium lebih banyak dari darah (kehilangan cairan hipertonis). Secara garis besar terjadi
kehilangan natrium yang lebih banyak dibandingkan air yang hilang. Karena kadar natrium
serum rendah, air di kompartemen intravaskular berpindah ke kompartemen ekstravaskular,
sehingga menyebabkan penurunan volume intravaskular.15

Dehidrasi hipertonis (hipernatremik): terjadi ketika kehilangan cairan dengan kandungan


natrium lebih sedikit dari darah (kehilangan cairan hipotonis). Secara garis besar terjadi
kehilangan air yang lebih banyak dibandingkan natrium yang hilang. Karena kadar natrium
tinggi, air di kompartemen ekstraskular berpindah ke kompartemen intravaskular, sehingga
meminimalkan penurunan volume intravaskular.15

b. Kelebihan volume

Kelebihan volume cairan ekstraselular merupakan suatu kondisi akibat iatrogenic (pemberian
cairan intravena seperti NaCl yang menyebabkan kelebihan air dan NaCl ataupun pemberian
cairan intravena glukosayang menyebabkan kelebihan air) ataupun dapat sekunder akibat
insufisiensi renal (gangguan pada GFR), sirosis, ataupun gagal jantung kongestif.9,10
Kelebihan cairan intaseluler dapat terjadi jika terjadi kelebihan cairan tetapi jumlah NaCl
tetap atau berkurang.10

2. Perubahan konsentrasi

a. Hiponatremia
Kadar natrium normal 135-145 mEq/L, bila kurang dari 135 mEq/ L, sudah dapat dibilang
hiponatremia. Jika < 120 mg/L maka akan timbul gejala disorientasi, gangguan mental,
letargi, iritabilitas, lemah dan henti pernafasan, sedangkan jika kadar < 110 mg/L maka akan
timbul gejala kejang, koma. Hiponatremia ini dapat disebabkan oleh euvolemia (SIADH,
polidipsi psikogenik), hipovolemia (disfungsi tubuli ginjal, diare, muntah, third space losses,
diuretika), hipervolemia (sirosis, nefrosis). Keadaan ini dapat diterapi dengan restriksi cairan
(Na+ 125 mg/L) atau NaCl 3% ssebanyak (140-X)xBBx0,6 mg dan untuk pediatrik 1,5-2,5
mg/kg.12

Koreksi hiponatremia yang sudah berlangsung lama dilakukan scara perlahanlahan,


sedangkan untuk hiponatremia akut lebih agresif. Untuk menghitung Na serum yang
dibutuhkan dapat menggunakan rumus :

Na= Na1 Na0 x TBW


Na = Jumlah Na yang diperlukan untuk koreksi (mEq)
Na1 = 125 mEq/L atau Na serum yang diinginkan
Na0 = Na serum yang aktual
TBW = total body water = 0,6 x BB (kg)

b. Hipernatremia
Bila kadar natrium lebih dari 145 mEq/L disebut dengan hiperkalemia. Jika kadar natrium >
160 mg/L maka akan timbul gejala berupa perubahan mental, letargi, kejang, koma, lemah.
Hipernatremi dapat disebabkan oleh kehilangan cairan (diare, muntah, diuresis, diabetes
insipidus, keringat berlebihan), asupan air kurang, asupan natrium berlebihan. Terapi keadaan
ini adalah penggantian cairan dengan 5% dekstrose dalam air sebanyak {(X-140) x BB x
0,6}: 140.12

c. Hipokalemia
Jika kadar kalium < 3 mEq/L. Dapat terjadi akibat dari redistribusi akut kalium dari cairan
ekstraselular ke intraselular atau dari pengurangan kronis kadar total kalium tubuh. Tanda
dan gejala hipokalemia dapat berupa disritmik jantung, perubahan EKG (QRS segmen
melebar, ST segmen depresi, hipotensi postural, kelemahan otot skeletal, poliuria, intoleransi
glukosa. Terapi hipokalemia dapat berupa koreksi faktor presipitasi (alkalosis,
hipomagnesemia, obat-obatan), infuse potasium klorida sampai 10 mEq/jam (untuk mild
hipokalemia ;>2 mEq/L) atau infus potasium klorida sampai 40 mEq/jam dengan monitoring
oleh EKG (untuk hipokalemia berat;<2mEq/L disertai perubahan EKG, kelemahan otot yang
hebat).13 Rumus untuk menghitung defisit kalium18 :

K = K1 K0 x 0,25 x BB

K = kalium yang dibutuhkan


K1 = serum kalium yang diinginkan
K0 = serum kalium yang terukur
BB = berat badan (kg)

d. Hiperkalemia
Terjadi jika kadar kalium > 5 mEq/L, sering terjadi karena insufisiensi renal atau obat yang
membatasi ekskresi kalium (NSAIDs, ACE-inhibitor, siklosporin, diuretik). Tanda dan
gejalanya terutama melibatkan susunan saraf pusat (parestesia, kelemahan otot) dan sistem
kardiovaskular (disritmik, perubahan EKG). Terapi untuk hiperkalemia dapat berupa
intravena kalsium klorida 10% dalam 10 menit, sodium bikarbonat 50-100 mEq dalam 5-10
menit, atau diuretik, hemodialisis.

3. Perubahan komposisi

a. Asidosis respiratorik (pH< 3,75 dan PaCO2> 45 mmHg)


Kondisi ini berhubungan dengan retensi CO2 secara sekunder untuk menurunkan ventilasi
alveolar pada pasien bedah. Kejadian akut merupakan akibat dari ventilasi yang tidak adekuat
termasuk obstruksi jalan nafas, atelektasis, pneumonia, efusi pleura, nyeri dari insisi abdomen
atas, distensi abdomen dan penggunaan narkose yang berlebihan. Manajemennya melibatkan
koreksi yang adekuat dari defek pulmonal, intubasi endotrakeal, dan ventilasi mekanis bila
perlu. Perhatian yang ketat terhadap higiene trakeobronkial saat post operatif adalah sangat
penting.
b. Alkalosis respiratorik (pH> 7,45 dan PaCO2 < 35 mmHg)
Kondisi ini disebabkan ketakutan, nyeri, hipoksia, cedera SSP, dan ventilasi yang dibantu.
Pada fase akut, konsentrasi bikarbonat serum normal, dan alkalosis terjadi sebagai hasil dari
penurunan PaCO2 yang cepat. Terapi ditujukan untuk mengkoreksi masalah yang mendasari
termasuk sedasi yang sesuai, analgesia, penggunaan yang tepat dari ventilator mekanik, dan
koreksi defisit potasium yang terjadi.

c. Asidosis metabolik (pH<7,35 dan bikarbonat <21 mEq/L)


Kondisi ini disebabkan oleh retensi atau penambahan asam atau kehilangan bikarbonat.
Penyebab yang paling umum termasuk gagal ginjal, diare, fistula usus kecil, diabetik
ketoasidosis, dan asidosis laktat. Kompensasi awal yang terjadi adalah peningkatan ventilasi
dan depresi PaCO2. Penyebab paling umum adalah syok, diabetik ketoasidosis, kelaparan,
aspirin yang berlebihan dan keracunan metanol. Terapi sebaiknya ditujukan terhadap koreksi
kelainan yang mendasari. Terapi bikarbonat hanya diperuntukkan bagi penanganan asidosis
berat dan hanya setelah kompensasi alkalosis respirasi digunakan.

d. Alkalosis metabolik (pH>7,45 dan bikarbonat >27 mEq/L)


Kelainan ini merupakan akibat dari kehilangan asam atau penambahan bikarbonat dan
diperburuk oleh hipokalemia. Masalah yang umum terjadi pada pasien bedah adalah
hipokloremik, hipokalemik akibat defisit volume ekstraselular. Terapi yang digunakan adalah
sodium klorida isotonik dan penggantian kekurangan potasium. Koreksi alkalosis harus
gradual selama perode 24 jam dengan pengukuran pH, PaCO2 dan serum elektrolit yang
sering.

II. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit pada pembedahan

Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang umum terjadi pada
pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif, intraoperatif dan postoperatif.

A. Faktor-faktor preoperatif

1. Kondisi yang telah ada


Diabetes mellitus, penyakit hepar, atau insufisiensi renal dapat diperburuk oleh stres akibat
operasi.

2. Prosedur diagnostik
Arteriogram atau pyelogram intravena yang memerlukan marker intravena dapat
menyebabkan ekskresi cairan dan elektrolit urin yang tidak normal karena efek diuresis
osmotik.

3. Pemberian obat
Pemberian obat seperti steroid dan diuretik dapat mempengaruhi eksresi air dan elektrolit

4. Preparasi bedah
Enema atau laksatif dapat menyebabkan peningkatan kehilangan air dan elekrolit dari traktus
gastrointestinal.

5. Penanganan medis terhadap kondisi yang telah ada


6. Restriksi cairan preoperatif
Selama periode 6 jam restriksi cairan, pasien dewasa yang sehat kehilangan cairan sekitar
300-500 mL. Kehilangan cairan dapat meningkat jika pasien menderita demam atau adanya
kehilangan abnormal cairan.

7. Defisit cairan yang telah ada sebelumnya


Harus dikoreksi sebelum operasi untuk meminimalkan efek dari anestesi.

B. Faktor-faktor intraoperatif

1. Induksi anestesi
Dapat menyebabkan terjadinya hipotensi pada pasien dengan hipovolemia preoperatif karena
hilangnya mekanisme kompensasi seperti takikardia dan vasokonstriksi.

2. Kehilangan darah yang abnormal

3. Kehilangan abnormal cairan ekstraselular ke third space (contohnya kehilangan cairan


ekstraselular ke dinding dan lumen usus saat operasi)

4. Kehilangan cairan akibat evaporasi dari luka operasi (biasanya pada luka operasi yang
besar dan prosedur operasi yang berkepanjangan)

C. Faktor-faktor postoperatif

1. Stres akibat operasi dan nyeri pasca operasi


2. Peningkatan katabolisme jaringan
3. Penurunan volume sirkulasi yang efektif
4. Risiko atau adanya ileus postoperatif

III. Terapi Cairan


Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara, mengganti cairan tubuh dalam batas-batas
fisiologis dengan cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma ekspander) secara
intravena.
Terapi cairan berfungsi untuk mengganti defisit cairan saat puasa sebelum dan sesudah
pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti perdarahan yang
terjadi, dan mengganti cairan yang pindah ke rongga ketiga.
Terapi cairan resusitasi
Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh atau
ekspansi cepat dari cairan intravaskuler untuk memperbaiki perfusi jaringan. Misalnya pada
keadaan syok dan luka bakar. Terapi cairan resusitasi dapat dilakukan dengan pemberian
infus Normal Saline (NS), Ringer Asetat (RA), atau Ringer laktat (RL) sebanyak 20 ml/kg
selama 30-60 menit. Pada syok hemoragik bisa diberikan 2-3 L dalam 10 menit.
Terapi rumatan
Terapi rumatan bertujuan memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi. Orang dewasa
rata-rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan elektrolit utama Na+=1-2
mmol/kgBB/haridan K+= 1mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut merupakan pengganti
cairan yang hilang akibat pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat (lewat kulit)
dan pengeluaran lewat paru atau dikenal dengan insensible water losses.
Untuk anak digunakan rumus Holiday Segar 4:2:1, yaitu :
Terapi rumatan dapat diberikan infus cairan elektrolit dengan kandungan karbohidrat atau
infus yang hanya mengandung karbohidrat saja. Larutan elektrolit yang juga mengandung
karbohidrat adalah larutan KA-EN, dextran + saline, DGAA, Ringers dextrose, dll.
Sedangkan larutan rumatan yang mengandung hanya karbohidrat adalah dextrose 5%. Tetapi
cairan tanpa elektrolit cepat keluar dari sirkulasi dan mengisi ruang antar sel sehingga
dextrose tidak berperan dalam hipovolemik.
Dalam terapi rumatan cairan keseimbangan kalium perlu diperhatikan karena seperti sudah
dijelaskan kadar berlebihan atau kekurangan dapat menimbulkan efek samping yang
berbahaya. Umumnya infus konvensional RL atau NS tidak mampu mensuplai kalium sesuai
kebutuhan harian. Infus KA-EN dapat mensuplai kalium sesuai kebutuhan harian.
Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke ruang peritoneum, ke
luar tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya pembedahan, yaitu :
6-8 ml/kg untuk bedah besar
4-6 ml/kg untuk bedah sedang
2-4 ml/kg untuk bedah kecil

A. Jenis-Jenis Cairan
1. Cairan Kristaloid

Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler (CES = CEF). Cairan kristaloid
bila diberikan dalam jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid) ternyata sama efektifnya seperti
pemberian cairan koloid untuk mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan
kristaloid di ruang intravaskuler sekitar 20-30 menit.

Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan untuk
resusitasi cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai cairan
intravaskuler. Laktat yang terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami metabolisme di
hati menjadi bikarbonat. Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah NaCl 0,9%,
tetapi bila diberikan berlebih dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional
hyperchloremic acidosis) dan menurunnya kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan
klorida.

Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih banyak
menyebar ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih
untuk resusitasi defisit cairan di ruang interstitiel.

Pada suatu penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit larutan
kristaloid akan masuk ruang interstitiel sehingga timbul edema perifer dan paru serta
berakibat terganggunya oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka, apabila seseorang
mendapat infus 1 liter NaCl 0,9Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat
menyebabkan edema otak dan meningkatnya tekanan intra kranial.

2. Cairan Koloid

Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut plasma substitute atau
plasma expander. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat
molekul tinggi dengan aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan
agak lama (waktu paruh 3-6 jam) dalam ruang intravaskuler. Oleh karena itu koloid sering
digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hermorhagik
atau pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak
(misal luka bakar).

Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:

a. Koloid alami:
Yaitu fraksi protein plasma 5% dan albumin manusia ( 5 dan 2,5%). Dibuat dengan cara
memanaskan plasma atau plasenta 60C selama 10 jam untuk membunuh virus hepatitis dan
virus lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung albumin (83%) juga mengandung
alfa globulin dan beta globulin.
b. Koloid sintetis:

1. Dextran:
Dextran 40 (Rheomacrodex) dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70 (Macrodex)
dengan berat molekul 60.000-70.000 diproduksi oleh bakteri Leuconostoc mesenteroides B
yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun Dextran 70 merupakan volume expander yang
lebih baik dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi Dextran 40 mampu memperbaiki aliran
darah lewat sirkulasi mikro karena dapat menurunkan kekentalan (viskositas) darah. Selain
itu Dextran mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi platelet adhesiveness,
menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran darah.
Pemberian Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross match, waktu
perdarahan memanjang (Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat menimbulkan reaksi
anafilaktik yang dapat dicegah yaitu dengan memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.

2. Hydroxylethyl Starch (Heta starch)


Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 1.000.000, rata-rata 71.000,
osmolaritas 310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 30 mmHg. Pemberian 500 ml larutan ini
pada orang normal akan dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64%
dalam waktu 8 hari. Larutan koloid ini juga dapat menimbulkan reaksi anafilaktik dan dapat
meningkatkan kadar serum amilase ( walau jarang). Low molecullar weight Hydroxylethyl
starch (Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume plasma hingga 1,5
kali volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya sebagai
plasma volume expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu
koagulasi maka Penta starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita
gawat.

3. Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul rata-rata 35.000
dibuat dari hidrolisa kolagen binatang.
Ada 3 macam gelatin, yaitu:
modified fluid gelatin (Plasmion dan Hemacell)
Urea linked gelatin
Oxypoly gelatin

B. Terapi Cairan Preoperatif

Defisit cairan karena persiapan pembedahan dan anestesi (puasa, lavement) harus
diperhitungkan dan sedapat mungkin segera diganti pada masa pra-bedah sebelum induksi.
Setelah dari sisa defisit yang masih ada diberikan pada jam pertama pembedahan, sedangkan
sisanya diberikan pada jam kedua berikutnya. Kehilangan cairan di ruang ECF ini cukup
diganti dengan ciran hipotonis seperti garam fisiologis, Ringer Laktat dan Dextrose. Pada
penderita yang karena penyakitnya tidak mendapat nutrisi yang cukup maka sebaiknya
diberikan nutrisi enteral atau parenteral lebih dini lagi. Penderita dewasa yang dipuasakan
karena akan mengalami pembedahan (elektif) harus mendapatkan penggantian cairan
sebanyak 2 ml/kgBB/jam lama puasa. Defisit karena perdarahan atau kehilangan cairan
(hipovolemik, dehidrasi) yang seringkali menyertai penyulit bedahnya harus segera diganti
dengan melakukan resusitasi cairan atau rehidrasi sebelum induksi anestesi.

C. Terapi Cairan Intraoperatif

Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan kebutuhan dasar


ditambah dengan kehilangan cairan akibat pembedahan (perdarahan, translokasi cairan dan
penguapan atau evaporasi). Jenis cairan yang diberikan tergantung kepada prosedur
pembedahannya dan jumlah darah yang hilang.

1. Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya bedah mata
(ekstrasi, katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan saja selama pembedahan.

2. Pembedahan dengan trauma ringan misalnya: appendektomi dapat diberikan cairan


sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 4 ml/kgBB/jam untuk pengganti
akibat trauma pembedahan. Total yang diberikan adalah 6 ml/kgBB/jam berupa cairan garam
seimbang seperti Ringer Laktat atau Normosol-R.

3. Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk


kebutuhan dasar ditambah 8 ml/kgBB/jam untuk pembedahannya. Total 10 ml/kgBB/jam.

D. Terapi Cairan Postoperatif

Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini:

1. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi. Kebutuhan air untuk
penderita di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar 50 ml/kgBB/24 jam. Pada hari
pertama pasca bedah tidak dianjurkan pemberian kalium karena adanya pelepasan kalium
dari sel/jaringan yang rusak, proses katabolisme dan transfusi darah. Akibat stress
pembedahan, akan dilepaskan aldosteron dan ADH yang cenderung menimbulkan retensi air
dan natrium. Oleh sebab itu, pada 2-3 hari pasca bedah tidak perlu pemberian natrium.
Penderita dengan keadaan umum baik dan trauma pembedahan minimum, pemberian
karbohidrat 100-150 mg/hari cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat
menekan pemecahan protein sampai 50% kadar albumin harus dipertahankan melebihi 3,5
gr%. Penggantian cairan pasca bedah cukup dengan cairan hipotonis dan bila perlu larutan
garamisotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita dapat minum dan makan.

2. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:


Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 15% setiap kenaikan 1C
suhu tubuh
Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah.
Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan
humidifikasi.

3. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan yang belum
selesai. Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya diberikan transfusi darah untuk
memperbaiki daya angkut oksigen.

4. Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan tersebut.


Monitoring organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi tekanan darah, frekuensi
nadi, diuresis, tingkat kesadaran, diameter pupil, jalan nafas, frekuensi nafas, suhu tubuh dan
warna kulit.
BAB III

KESIMPULAN

Tubuh mengandung 60 % air yang disebut juga cairan tubuh. Cairan tubuh didalamnya
terkandung nutrisi-nutrisi yang amat penting peranannya dalam metabolisme sel, sehingga
sangat penting dalam menunjang kehidupan.
Dalam pembedahan, tubuh kekurangan cairan karena perdarahan selama pembedahan
ditambah lagi puasa sebelum dan sesudah operasi. Gangguan dalam keseimbangan cairan dan
elektrolit merupakan hal yang umum terjadi pada pasien bedah karena kombinasi dari faktor-
faktor preoperatif, perioperatif dan postoperatif.

Terapi cairan parenteral digunakan untuk mempertahankan atau mengembalikan volume dan
komposisi normal cairan tubuh. Dalam terapi cairan harus diperhatikan kebutuhannya sesuai
usia dan keadaan pasien, serta cairan infus itu sendiri. Jenis cairan yang bisa diberikan untuk
terapi cairan adalah cairan kristaloid dan cairan koloid.

DAFTAR PUSTAKA

Adelmen, R.D., Solhaug, M.J., 2000. Patofisiologi Cairan Tubuh dan Terapi Cairan. In:
Behrman, R.E., Kliegman, R.M., Arvin, Ann.M., Ilmu Kesehatan Anak Nelson ed 15, jilid 2.
Jakarta: EGC; 258-266

Hartanto, W.W., 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Bagian Farmakologi Klinik
dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

Hasan F. Terapi Cairan. 2008. Di unduh dari http://drfhasan.blogspot.com/2008/01/referat-


terapi-cairan.html.

Latief AS, dkk. 2002. Petunjuk praktis anestesiologi: terapi cairan pada pembedahan.
Ed.Kedua. Bagian anestesiologi dan terapi intensif, FKUI
referat terapi cairan dan tranfusi darah, co assistant SMF ANESTESI RSUD BANGKINANG
by tuti seli sugiarti s.ked
REFERAT

TERAPI CAIRAN DAN DARAH

Oleh :

TUTI SELI SUGIARTI


NIM. 10101023

PEMBIMBING

Dr. LASMARIA FLORA Sp. An

KKS ILMU ANESTESI RSUD BANGKINANG

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ABDURRAB

PEKANBARU

2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan referat dengan judul Terapi Cairan Dan Darah. Referat ini diajukan sebagai
persyaratan untuk mengikuti KKS pada ilmu anastesi di RSUD Bangkinang.

Selain itu saya juga mengucapkan Terima kasih kepada dr, Lasmaria Flora Sp. An dan segenap staff
bagian anestesi RSUD Bangkinang atas bimbingan dan pertolongannya selama menjalani kepanitraan
klinik bagian anestesi dan dapat menyelasaikan penulisan dan pembahasan referat ini.

Dalam penulisan ini, penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari kesempurnaan, penulis
mohon maaf atas segala kesalahan, sehingga kritik dan saran dari pembaca yang bersifat
membangun sangat dibutuhkan untuk kesempurnaan penulisan referat berikutnya.

Bangkinang, 4 November 2014

Penulis
Tuti Seli Sugiarti

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2

DAFTAR ISI 3

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Terapi cairan 6

A. Definisi terapi cairan 6


B. Komposisi cairan tubuh 6
C. Etiologi kehilangan cairan 11
D. Homeostasis dan patofisiologi 13
E. Gangguan keseimbangan cairan pada pembedahan 13
F. Tujuan terapi cairan 14
G. Jenis cairan yang digunakan 14
H. Tatalaksana terapi cairan 20
I. Terapi cairan preoperatif 23
J. Terapi cairan intraoperatif 24
K. Terapi cairan postoperatif 24
L. Prognosis terapi cairan 25
2.2. Tranfusi darah 26

A. Definisi tranfusi darah 26


B. Komponen darah 26
C. Indikasi tranfusi darah 27
D. Jenis tranfusi darah 28
E. Komplikasi yang dapat timbul 32
BAB III PENUTUP

Kesimpulan 35

Daftar pustaka 36

BAB I

PENDAHULUAN

Dengan makan dan minum tubuh kita mendapat air, elektrolit, karbohidrat, protein, lemak,
vitamin dan lain-lain nya. Dalam waktu 24 jam jumlah air dan elektrolit yang masuk dan keluar lewat
urin, tinja, keringat dan uap air pernafasan kira-kira sama, seperti tampak pada tabel 1 :

Masukan (ml/24 jam) Keluaran (ml/24 jam)

Tampak Tak tampak Tampak Tak tampak

Minum 1200 - Urin 1200 -

Makan - 1000 Tinja - 100

Hasil oksidasi - 300 Keringat - 800

pernafasan - 400

Total 1200 1300 Total 1200 1300

Sebagian besar tubuh manusia terdiri dari cairan, yang berfungsi menjadi pengangkut zat
makanan ke seluruh sel tubuh dan mengeluarkan bahan sisa dari hasil metabolisme sel untuk
menunjang berlangsungnya kehidupan. Jumlah cairan tubuh berbeda-beda tergantung dari usia,
jenis kelamin, dan banyak atau sedikitnya lemak tubuh.

Pada bayi prematur jumlahnya sebesar 80% dari berat badan, bayi normal sebesar 70-75%
dari berat badan, sebelum pubertas 65-70% dari berat badan, orang dewasa normal sekitar 50-60%
dari berat badan. Kandungan air di dalam sel lemak lebih rendah dari pada kandungan air di dalam
sel otot, sehingga cairan total pada orang gemuk lebih rendah dari pada mereka yang tidak gemuk.
Cairan dalam tubuh dibagi dalam dua kompartemen utama yaitu cairan ekstrasel dan intra
sel. Dalam dua kompartemen cairan tubuh ini terdapat solute berupa kation dan anion (elektrolit)
yang penting dalam mengatur keseimbangan cairan dan fungsi sel.

Gangguan keseimbangan cairan adalah adanya ketidakseimbangan antara air yang masuk
dan keluar dari tubuh, ketidakseimbangan antara cairan intra dan ekstrasel serta ketidakseimbangan
antara cairan interstisium dan intravaskular.

Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang umum terjadi pada
pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif, perioperative dan postoperatif..

Terapi cairan terutama dibutuhkan jika tubuh tidak mendapatkan masukan air, elektrolit dan
zat-zat makanan lain secara oral, misalnya pada keadaan pasien yang harus puasa lama karena
persiapan pembedahan, atau keadaan lain seperti perdarahan banyak, syok hipovolemik, anoreksia
berat, diare berat, mual muntah tak berkesudahan dan lain-lain.

Pada saat melakukan terapi cairan, perlu diperhatikan pula jenis cairan yang digunakan
untuk penggantinya. Cairan tersebut dapat berupa kristaloid atau koloid yang masing-masing
mempunyai keuntungan tersendiri yang diberikan sesuai dengan kondisi pasien. Dalam keadaan
tertentu adanya terapi cairan dapat pula digunakan sebagai tambahan untuk memasukkan obat dan
zat makanan secara rutin atau dapat juga untuk menjaga keseimbangan asam basa.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Terapi cairan

A. Definisi terapi cairan 6


Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara ataupun mengganti cairan tubuh dengan
pemberian cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma ekspander) secara intravena untuk
mengatasi berbagai masalah gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, meliputi mengantikan
volume cairan yang hilang akibat perdarahan, dehidrasi atau syok.
Terapi cairan perioperative meliputi tindakan terapi yang dilakukan pada masa pra-bedah,
selama pembedahan, dan pasca bedah. Dalam pembedahan dengan anestesia yang memerlukan
puasa sebelum dan sesudah pembedahan, maka terapi cairan berfungsi untuk mengganti cairan saat
puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti
perdarahan yang terjadi, dan mengganti cairan yang pindah ke rongga ketiga.

B. Komposisi cairan tubuh 1,2


Sebagian besar tubuh manusia terdiri dari cairan, pada bayi prematur jumlahnya sebesar 80%
dari berat badan, bayi normal sebesar 70-75% dari berat badan, sebelum pubertas 65-70% dari berat
badan, orang dewasa normal sekitar 50-60% dari berat badan. Kandungan air di dalam sel lemak
lebih rendah dari pada kandungan air di dalam sel otot, sehingga cairan total pada orang gemuk
lebih rendah dari pada mereka yang tidak gemuk.
Cairan dalam tubuh dibagi dalam dua kompartemen utama yaitu cairan ekstrasel dan intrasel.
Volume cairan intrasel sebesar 60% dari cairan tubuh total atau sebesar 36% dari berat badan pada
orang dewasa. Volume cairan ektrasel sebesar 40% dari cairan tubuh total atau sebesar 24% dari
berat badan pada orang dewasa. Cairan ekstrasel dibagi dalam dua subkompartemen yaitu cairan
interstisium sebesar 30% dari cairan tubuh total atau 18% dari berat badan pada orang dewasa dan
cairan intravascular (plasma) sebesar 10% dari cairan tubuh total atau sebesar 6% dari berat badan
pada orang dewasa.
Tabel 1 : komposisi cairan tubuh

Kandungan air dalam tiap organ tidak seragam seperti terlihat pada tabel 2 dibawah ini:
Jaringan Persentase Air

Otak 84

Ginjal 83

Otot lurik 76

Kulit 72

Hati 68

Tulang 22

Lemak 10

Tabel 2 : kandungan air tiap anggota tubuh

Komponen Intraselular 5

Komponen intraseluler merupakan cadangan cairan tubuh yang terbesar, dan berhubungan
dengan cairan dalam sel. Komposisi ionnya berbeda dengan komponen ekstraseluler karena
mengandung ion kalium dalam konsentrasi tinggi (140-150 mmol/liter) dan ion natrium dalam
konsentrasi rendah (8-10 mmol/liter) dan ion klorida (3mmol/liter). Jadi jika air diberikan bersama
natrium dan klorida, maka cenderung mengisi komponen ekstraseluler. Air yang diperlukan dalam
bentuk larutan glukosa akan didistribusikan kesemua bagian tubuh dan glukosa akan dimetabolisme.
Air murni tidak pernah diberikan secara intravena karena dapat menyebabkan hemolisis masif.

Komponen Ekstraselular 5
Komponen ekstraseluler dapat dibagi menjadi intravaskuler dan intertitial.

Komponen Intravaskuler
Volume darah normal kira-kira 70 ml/kgbb pada dewasa dan 85-90 ml/kgbb pada neonatus.
Selain darah, komponen intravskuler juga terdiri dari protein plasma dan ion, terutama natrium
(138-145 mmol/liter), klorida (97-105 mmol/liter) dan ion bikrbonat. Hanya sebagian kecil kalium
tubuh berada di dalam plasma (3,5-4,5 mmol/liter), tetapi konsentrasi kalium ini mempunyai
pengaruh besar terhadap fungsi jantung dan neuromuskuler.
Komponen Interstitial
Komponen interstitial lebih besar dari pada komponen intravaskuler. Jumlah total cairan
ekstraseluler (intravaskuler ditambah interstitial) bervariasi antara 20-35% dari berat badan dewasa
dan 40-45% pada neonatus. Air dan elektolit dapat bergerak bebas di antara darah dan ruang
interstitial, yang mempunyai komposisi ion yang sama, tetapi protein plasma tidak dapat bergerak
bebas keluar dari ruang intravaskuler kecuali bila terdapat cedera kapiler misalnya pada luka bakar
atau syok septik.
Jika terdapat kekurangan cairan dalam darah atau volume darah yang menurun dengan cepat,
maka air dan elektrolit akan ditarik dari komponen interstitial ke dalam darah untuk mengatasi
kekurangan volume intravaskuler, yang diprioritaskan secara fisiologis. Pemberian cairan intravena
yang terutama mengandung ion natrium dan klorida, seperti NaCl fisiologis (9 g/liter atau 0,9%) atau
larutan Hartman (larutan ringer laktat), dapat bergerak bebas kedalam ruang intertitial sehingga
efektif untuk meningkatkan volume intervaskuler dalam waktu singkat.
Larutan yang mengandung molekur yang lebih besar, misalnya plasma, darah lengkap, dekstran,
poligelin, hidroksietil, gelatin, lebih efektif untuk mempertahankan sirkulasi jika diberikan secara
intravena karena komponen ini lebih lama berada dalam komponen intravaskuler. Cairan ini
biasanya disebut sebagai plasma ex-panders.
Cairan transseluler 3
Merupakan cairan yang terkandung di dalam rongga khusus dari tubuh. Contoh (CTS) meliputi
cairan serebrospinal, perikardial, pleural, sinovial, dan cairan intraokular serta sekresi lambung
dengan jumlah hamper mendekati angka 1 L, namun sejumlah besar cairan bergerak kedalam dan
keluar ruang transelular setiap harinya. Sebagai contoh, saluran gastro-intestinal (GI) secara normal
mensekresi dan mereabsorbsi sampai 6-8 L per-hari.
Dalam dua kompartemen cairan tubuh ini terdapat solute berupa kation dan anion (elektrolit)
yang penting dalam mengatur keseimbangan cairan dan fungsi sel. Ada dua kation yang penting
yaitu natrium dan kalium. Keduanya mempengaruhi tekanan osmotik cairan ektrasel dan intrasel
serta langsung berhubungan dengan fungsi sel. Kation dalam cairan ekstrasel adalah natrium (kation
utama) dan kalium, kalsium, magnesium. Untuk menjaga netralitas (elektronetral) didalam cairan
ekstrasel terdapat anion-anion seperti klorida, bikarbonat dan albumin. Kation utama dalam cairan
intrasel adalah kalium dan anion utama adalah fosfat.
Tabel 3 : menunjukkan jumlah dan jenis kation dan anion dalam tiap kompartemen : 4

(mEq/L) Plasma Interstitial Interseluler

Kation Na 142 114 15


K 4 4 150

Ca 5 2,5 2

Mg 3 1,5 27

Total 154 152 194

Anion Cl 103 114 8

HCO3 27 30 10

HPO4 2 2 100

SO4 1 1 20

As Organik 5 5 0

Protein 16 0 63

Total 154 152 194

Tabel 3 : jumlah dan jenis elektrolit tubuh

C. Etiologi kehilangan cairan 1


Secara garis besar dikenal 3 macam kehilangan cairan tubuh, yaitu :
a) Kehilangan cairan sebagai akibat kehilangan air dari badan baik karena kekurangan pemasukan air
atau kehilangan air berlebihan melalui paru, kulit, ginjal atau saluran cerna. Keadaan ini sering
disebut dengan pure dehydration atau dehydration hypertonic atau water deficit atau water
deficiency atau pure water depletion. Kehilangan cairan tipe ini biasa terjadi karena :
Pemasukan air tidak mencukupi (kehabisan air minum dipadang pasir, disfagia, koma, rangsangan
haus yang hilang pada penyakit kerusakan otak seperti tumor, meningitis, poliomeilitis tipe bulbar)
Kehilangan cairan karena pengeluaran melalui ginjal berlebihan (diabetes insipidus)
Kehilangan cairan karena sebab lain seperti terlalu lama terkena sinar matahari tanpa minum,
hiperventilasi, demam, luka bakar, gastroenteritis akut)
b) Kehilangan cairan karena kelebihan elektrolit (solute loading hypertonicity). Kehilagan cairan karena
ekstresi urin yang mengandung banyak elektrolit.
c) Kehilangan cairan karena hiperosmolaritas. Hal ini terjadi jika cairan ekstraselular karena suatu
sebab menjadi hiperosmoler, misalnya karena hiperosmoler hiperglikemia.
Berikut tabel 4 memperlihatkan keadaan lain yang dapat menyebabkan kebutuhan cairan
bertambah dan berkurang : 6

Kebutuhan cairan meningkat Kebutuhan cairan menurun

Demam ( 12% tiap kenaikan suhu 1C ) Hipotermi ( 12% tiap penurunan suhu 1C )

Hiperventilasi Kelembaban sangat tinggi

Suhu lingkungan tinggi Oligouri atau anuria

Aktivitas ekstrim Aktivitas menurun

Retensi cairan ( ex: gagal jantung, gagal


ginjal, dll )
Tabel 4 : keadaan yang mempengaruhi cairan
tubuh

Setiap kehilangan abnormal (ex: diare, poliuri, dll


)

Dehidrasi

Dehidrasi merupakan keadaan dimana kurangnya cairan tubuh dari jumlah normal akibat
kehilangan cairan, asupan yang tidak mencukupi atau kombinasi keduanya. Dengan manifestasi
klinis seperti pada tabel 5 : 1

Klinis Dehidrasi Dehidrasi Dehidrasi

Ringan (5%) Sedang (5-10%) Berat (> 10%)

Keadaan Umum Baik, Compos Gelisah, rewel ,lesu Letargik, tak sadar
Mentis

Mata cekung, keing Normal Cekung Sangat cekung

Air mata Ada Kering Kering sekali


Mulut atau lidah Lembab Kering Sangat kering,
kering pecah-pecah

Haus Minum normal Haus Tak bisa minum

Turgor Baik Jelek Sangat jelek

Nadi Normal Cepat Cepat sekali

Tekanan darah Normal Turun Turun sekali

Air kemih Tabel 5 : klasifikasi Kurang, oliguri Kurang sekali


diare

Normal

Pemeriksaan laboratorium pada keadaan dehidrasi yang menunjukakan kelainan antara lain:

Hematokrit biasanya meningkat akibat hemokonsentrasi


Peningkatan berat jenis plasma
Peningkatan protein total
Kelainan pada analisis gas darah (asidosis metabolik)
Sel darah putih meningkat (karena hemokonsentrasi)
Fosfatase alkali meningkat
Natrium dan kalium masih normal, setelah reidrasi kalium ion dalam serum rendah.

D. Homeostasis dan patofisiologi 1


Untuk keseimbangan cairan tubuh dan elektrolitnya, mekanisme homeostasis diselenggarakan
oleh:
Ginjal, dengan mekanisme renin-angiotensin, mempengaruhi tekanan darah.
Kelenjar adrenal, dengan mekanisme aldosteronakan mempengaruhi retensi natrium.
Kelenjar hipofisis, dengan mekanisme ADH, akan mempengaruhi reabsorbsi air.
Paru-paru, dengan mekanisme asidosis-alkalosis untuk menjaga asam basa.

E. Gangguan keseimbangan cairan pada pembedahan 6


Gangguan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan hal yang umum terjadi pada
pasien bedah karena kombinasi dari faktor-faktor preoperatif, intraoperatif dan postoperatif, seperti
pada tabel 6 :
Faktor-faktor preoperatif Faktor-faktor intraoperatif Faktor-faktor postoperatif

Kondisi yang telah ada Induksi anestesi Stres akibat operasi dan
Prosedur diagnostik Kehilangan darah yang nyeri pasca operasi.
Pemberian obat abnormal. Peningkatan katabolisme
Preparasi bedah Kehilangan abnormal cairan jaringan.
Penanganan medis terhadap ekstraselular ke third space Penurunan volume sirkulasi
kondisi yang telah ada Kehilangan cairan akibat yang efektif.
Restriksi cairan preoperatif evaporasi dari luka operasi Risiko atau adanya ileus
Defisit cairan yang telah ada postoperatif.

sebelumnya

Tabel 6 : gangguan keseimbangan cairan pada pembedahan

F. Tujuan terapi cairan 6


Terapi cairan berfungsi untuk tujuan:
1. Mengganti kekurangan air dan elektrolit.
2. Untuk mengatasi syok.
3. Untuk mengatasi kelainan yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan. Terapi cairan preoperatif
meliputi tindakan terapi yang dilakukan pada masa pra-bedah, selama pembedahan dan pasca
bedah. Pada penderita yang menjalani operasi, baik karena penyakitnya itu sendiri atau karena
adanya trauma pembedahan, terjadi perubahan-perubahan fisiologi.

G. Jenis-jenis cairan yang digunakan 4,6,7,13


Penggolongan jenis cairan berdasarkan sifat osmolaritasnya :

a) Cairan hipotonik
Cairan hipotonik osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum (konsentrasi ion Na+ lebih rendah
dibandingkan serum), sehingga larut dalam serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan
ditarik dari dalam pembuluh darah keluar ke jaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari
osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel yang dituju. Digunakan
pada keadaan sel mengalami dehidrasi, misalnya pada pasien cuci darah (dialisis) dalam terapi
diuretik, juga pada pasien hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dengan ketoasidosis diabetik.
Komplikasi yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam pembuluh darah ke
sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan tekanan intrakranial (dalam otak) pada
beberapa orang. Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.
b) Cairan Isotonik
Cairan Isotonik osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati serum (bagian cair dari
komponen darah), sehingga terus berada di dalam pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang
mengalami hipovolemi (kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki
risiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal jantung kongestif dan
hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan normal saline/larutan garam fisiologis
(NaCl 0,9%).

c) Cairan hipertonik
Cairan hipertonik osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum, sehingga menarik cairan dan
elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah,
meningkatkan produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya kontradiktif dengan
cairan hipotonik. Misalnya Dextrose 5%, NaCl 45% hipertonik, Dextrose 5% + Ringer-Lactate,
Dextrose 5% + NaCl 0,9%, produk darah (darah), dan albumin.

Penggolongan jenis cairan berdasarkan kelompoknya :


a) Cairan Kristaloid
Cairan ini mempunyai komposisi mirip cairan ekstraseluler. Cairan kristaloid bila diberikan dalam
jumlah cukup (3-4 kali cairan koloid) ternyata sama efektifnya seperti pemberian cairan koloid untuk
mengatasi defisit volume intravaskuler. Waktu paruh cairan kristaloid di ruang intravaskuler sekitar
20-30 menit.
Larutan Ringer Laktat merupakan cairan kristaloid yang paling banyak digunakan untuk resusitasi
cairan walau agak hipotonis dengan susunan yang hampir menyerupai cairan intravaskuler. Laktat
yang terkandung dalam cairan tersebut akan mengalami metabolisme di hati menjadi bikarbonat.
Cairan kristaloid lainnya yang sering digunakan adalah NaCl 0,9%, tetapi bila diberikan berlebih
dapat mengakibatkan asidosis hiperkloremik (delutional hyperchloremic acidosis) dan menurunnya
kadar bikarbonat plasma akibat peningkatan klorida.
Karena perbedaan sifat antara koloid dan kristaloid dimana kristaloid akan lebih banyak menyebar
ke ruang interstitiel dibandingkan dengan koloid maka kristaloid sebaiknya dipilih untuk resusitasi
defisit cairan di ruang interstitiel.
Pada suatu penelitian mengemukakan bahwa walaupun dalam jumlah sedikit larutan kristaloid akan
masuk ruang interstitial sehingga timbul edema perifer dan paru serta berakibat terganggunya
oksigenasi jaringan dan edema jaringan luka, apabila seseorang mendapat infus 1 liter NaCl 0,9.
Selain itu, pemberian cairan kristaloid berlebihan juga dapat menyebabkan edema otak dan
meningkatnya tekanan intra kranial.
b) Cairan Koloid
Disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut plasma substitute atau plasma
expander. Di dalam cairan koloid terdapat zat/bahan yang mempunyai berat molekul tinggi dengan
aktivitas osmotik yang menyebabkan cairan ini cenderung bertahan agak lama (waktu paruh 3-6 jam)
dalam ruang intravaskuler.
Oleh karena itu koloid sering digunakan untuk resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok
hipovolemik/hermorhagik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan
protein yang banyak (misal luka bakar). Berdasarkan pembuatannya, terdapat 2 jenis larutan koloid:
Koloid alami
Dibuat dengan cara memanaskan plasma atau plasenta 60C selama 10 jam untuk membunuh virus
hepatitis dan virus lainnya. Fraksi protein plasma selain mengandung albumin (83%) juga
mengandung alfa globulin dan beta globulin.
Koloid sintetis
1. Dextran
Dextran 40 dengan berat molekul 40.000 dan Dextran 70 dengan berat molekul 60.000-70.000
diproduksi oleh bakteri Leuconostoc mesenteroides B yang tumbuh dalam media sukrosa. Walaupun
Dextran 70 merupakan volume expander yang lebih baik dibandingkan dengan Dextran 40, tetapi
Dextran 40 mampu memperbaiki aliran darah lewat sirkulasi mikro karena dapat menurunkan
kekentalan (viskositas) darah.
Selain itu Dextran mempunyai efek anti trombotik yang dapat mengurangi platelet adhesiveness,
menekan aktivitas faktor VIII, meningkatkan fibrinolisis dan melancarkan aliran darah. Pemberian
Dextran melebihi 20 ml/kgBB/hari dapat mengganggu cross match, waktu perdarahan memanjang
(Dextran 40) dan gagal ginjal. Dextran dapat menimbulkan reaksi anafilaktik yang dapat dicegah
yaitu dengan memberikan Dextran 1 (Promit) terlebih dahulu.

2. Hydroxylethyl Starch (Heta starch)


Tersedia dalam larutan 6% dengan berat molekul 10.000 1.000.000, rata-rata 71.000, osmolaritas
310 mOsm/L dan tekanan onkotik 30 mmHg. Pemberian 500 ml larutan ini pada orang normal akan
dikeluarkan 46% lewat urin dalam waktu 2 hari dan sisanya 64% dalam waktu 8 hari. Low molecullar
weight Hydroxylethyl starch (Penta-Starch) mirip Heta starch, mampu mengembangkan volume
plasma hingga 1,5 kali volume yang diberikan dan berlangsung selama 12 jam. Karena potensinya
sebagai plasma volume expander yang besar dengan toksisitas yang rendah dan tidak mengganggu
koagulasi maka Penta starch dipilih sebagai koloid untuk resusitasi cairan pada penderita gawat.
3. Gelatin
Larutan koloid 3,5-4% dalam balanced electrolyte dengan berat molekul rata-rata 35.000 dibuat dari
hidrolisa kolagen binatang.

Tabel 7 memperlihatkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing golongan cairan :


Nama Kristaloid Koloid

Keuntungan Tidak mahal Mempertahankan cairan intravaskular


Aliran urin lancar (meningkatkan lebih baik (1/3 cairan bertahan selama
volume intravaskular) 24 jam)
Pilihan cairan pertama untuk Meningkatkan tekanan onkotik plasma
resusitasi perdarahan dan trauma Membutuhkan volume yang lebih sedikit
Mengurangi kejadian edema perifer
Dapat menurunkan tekanan intrakranial
Kerugian Mengencerkan tekanan osmotik Mahal
koloid Menginduksi koagulopati (dextran &
helastarch)
Menginduksi edema perifer
Jika terdapat kerusakan kapiler, dapat
Insidensi terjadinya edema pulmonal berpotensi terjadi perpindahan cairan ke
lebih tinggi interstitial
Mengencerkan faktor pembekuan dan
Membutuhkan volume yg lebih besar
trombosit
Efeknya sementara Berpotensi menghambat tubulus renalis
dan sel retikuloendotelial di hepar
Kemungkinan adanya reaksi anafilaksis
(dextran)
Tabel 7 : keuntungan dan kerugian koloid dan kristaloid

H. Tatalaksana terapi cairan 4,6


Terapi cairan resusitasi
Terapi cairan resusitasi ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh atau ekspansi
cepat dari cairan intravaskuler untuk memperbaiki perfusi jaringan. Misalnya pada keadaan syok dan
luka bakar. Terapi cairan resusitasi dapat dilakukan dengan pemberian infus Normal Saline (NS),
Ringer Asetat (RA), atau Ringer laktat (RL) sebanyak 20 ml/kg selama 30-60 menit. Pada syok
hemoragik bisa diberikan 2-3 L dalam 10 menit.
Terapi rumatan
Terapi rumatan bertujuan memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi. Orang dewasa rata-
rata membutuhkan cairan 30-35 ml/kgBB/hari dan elektrolit utama Na+ = 1-2 mmol/kgBB/hari dan
K+ = 1 mmol/kgBB/hari. Kebutuhan tersebut merupakan pengganti cairan yang hilang akibat
pembentukan urine, sekresi gastrointestinal, keringat (lewat kulit) dan pengeluaran lewat paru atau
dikenal dengan insensible water losses. Digunakan rumus Holiday Segar 4:2:1, yaitu:
Table 2.3 Rumus Holiday Segar

Terapi rumatan dapat diberikan infus cairan elektrolit dengan kandungan karbohidrat atau infus
yang hanya mengandung karbohidrat saja. Larutan elektrolit yang juga mengandung karbohidrat
adalah larutan KA-EN, dextran + saline, DGAA, Ringer's dextrose, dll. Sedangkan larutan rumatan
yang mengandung hanya karbohidrat adalah dextrose 5%. Tetapi cairan tanpa elektrolit cepat keluar
dari sirkulasi dan mengisi ruang antar sel sehingga dextrose tidak berperan dalam hipovolemik.

Pada pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, ke ruang peritoneum, ke luar
tubuh. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya pembedahan, yaitu :

6-8 ml/kg untuk bedah besar.

4-6 ml/kg untuk bedah sedang.

2-4 ml/kg untuk bedah kecil.

I. Terapi Cairan Preoperatif 6


Defisit cairan dan elektrolit pra bedah dapat timbul akibat dipuasakannya penderita terutama pada
penderita bedah elektif (sekitar 6-12 jam), kehilangan cairan abnormal yang seringkali menyertai
penyakit bedahnya (perdarahan, muntah, diare, diuresis berlebihan, translokasi cairan pada
penderita dengan trauma), kemungkinan meningkatnya insensible water loss akibat hiperventilasi,
demam dan berkeringat banyak. Sebaiknya kehilangan cairan pra bedah ini harus segera diganti
dengan rumus cairan rumatan sebelum dilakukan pembedahan.
J. Terapi Cairan Intraoperatif 6
Jumlah penggantian cairan selama pembedahan dihitung berdasarkan kebutuhan dasar ditambah
dengan kehilangan cairan akibat pembedahan (perdarahan, translokasi cairan dan penguapan atau
evaporasi). Jenis cairan yang diberikan tergantung kepada prosedur pembedahannya dan jumlah
darah yang hilang.
a. Pembedahan yang tergolong kecil dan tidak terlalu traumatis misalnya bedah mata (ekstrasi,
katarak) cukup hanya diberikan cairan rumatan saja selama pembedahan.
b. Pembedahan dengan trauma ringan misalnya: appendektomi dapat diberikan cairan sebanyak 2
ml/kgBB/jam untuk kebutuhan dasar ditambah 4 ml/kgBB/jam untuk pengganti akibat trauma
pembedahan. Total yang diberikan adalah 6 ml/kgBB/jam berupa cairan garam seimbang seperti
Ringer Laktat.
c. Pembedahan dengan trauma sedang diberikan cairan sebanyak 2 ml/kgBB/jam untuk kebutuhan
dasar ditambah 8 ml/kgBB/jam untuk pembedahannya. Total 10 ml/kgBB/jam.
K. Terapi Cairan Postoperatif 6
Terapi cairan pasca bedah ditujukan terutama pada hal-hal di bawah ini:
a. Pemenuhan kebutuhan dasar/harian air, elektrolit dan kalori/nutrisi. Kebutuhan air untuk penderita
di daerah tropis dalam keadaan basal sekitar 50 ml/kgBB/24 jam. Penderita dengan keadaan
umum baik dan trauma pembedahan minimum, pemberian karbohidrat 100-150 mg/hari cukup
memadai untuk memenuhi kebutuhan kalori dan dapat menekan pemecahan protein sampai 50%
kadar albumin harus dipertahankan melebihi 3,5 gr%. Penggantian cairan pasca bedah cukup dengan
cairan hipotonis dan bila perlu larutan garamisotonis. Terapi cairan ini berlangsung sampai penderita
dapat minum dan makan.

b. Mengganti kehilangan cairan pada masa pasca bedah:


Akibat demam, kebutuhan cairan meningkat sekitar 12% setiap kenaikan 1C suhu tubuh.
Adanya pengeluaran cairan lambung melalui sonde lambung atau muntah.
Penderita dengan hiperventilasi atau pernapasan melalui trakeostomi dan humidifikasi.
c. Melanjutkan penggantian defisit cairan pembedahan dan selama pembedahan yang belum selesai.
Bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gr%, sebaiknya diberikan transfusi darah untuk memperbaiki
daya angkut oksigen.
Koreksi terhadap gangguan keseimbangan yang disebabkan terapi cairan tersebut. Monitoring
organ-organ vital dilanjutkan secara seksama meliputi tekanan darah, frekuensi nadi, diuresis,
tingkat kesadaran, diameter pupil, jalan nafas, frekuensi nafas, suhu tubuh dan warna kulit.
L. Prognosis terapi cairan 1
Pada umumnya baik, terutama jika pendapat penanganan cepat dan adekuat. Kematian terjadi jika
mempunyai penyakit dasar yang berat dan penanganan yang tidak adekuat.
2.2. Tranfusi darah

A. Definisi tranfusi darah 1,11


Tranfusi darah pada hakekatnya adalah pemberian darah atau komponen darah dari satu
individu (donor) ke individu lainnya (resipien), dimana dapat menjadi penyelamat nyawa, tetapi
dapat pula berbahaya dengan berbagai komplikasi yang akan terjadi sehingga tranfusi darah
hendaklah dilakukan dengan indikasi yang jelas dan tepat sehingga diperoleh manfaat yang jauh
lebih besar dari pada risiko yang mungkin terjadi.

B. Komponen darah 1,8


Komponen darah ialah bagian darah yang dipisahkan dengan cara fisik/mekanik misalnya dengan
cara sentrifugasi. Meliputi :

Selular
Darah utuh (whole blood)
Sel darah merah pekat (packed red blood cell)
Sel darah merah pekat dengan sedikit leukosit (packed red blood cell leukocytes reduced)
Sel darah merah pekat cuci (packed red blood cell washed)
Sel darah merah pekat beku (packed red blood cell washed)
Trombosit konsentrat (concentrate platelets)
Granulosit feresis (granulocytes pheresis)
Non selular

Plasma sangat beku (fresh frozen plasma)


Plasma donor tunggal (single donor plasma)
Kriopresipitat faktor anti hemophilia (cryoprecipitale AHF)

C. Indikasi tranfusi darah 1,9,11


Oleh karena tranfusi mempunyai risiko yang cukup besar, maka pertimbangan risiko dan
manfaat benar-benar harus dilakukan dengan cermat sebelum memutuskan pemberian tranfusi.
Secara umum dari beberapa panduan yang telah dipublikasikan, tidak direkomendasikan untuk
melakukan tranfusi profilaksis, dan ambang batas untuk melakukan tranfusi adalah kadar
hemoglobin dibawah 7,0 atau 8,0 g/dl, kecuali untuk pasien dengan penyakit kritis.
Walaupun sebuah studi dengan 383 pasien dengan penyakit kritis melaporkan bahwa tidak ada
perbedaan mortalitas pada kelompok yang di tranfusi dengan batasan kadar hemoglobin dibawah
10,0 g/dl dan 7,0 g/dl, namun penelitian dengan jumlah pasien yang lebih besar masih perlu
dilakukan.
Kadar hemoglobin 8,0 g/dl adalah ambang batas tranfusi untuk yang dioperasi yang tidak
memiliki faktor risiko iskemia, sementara untuk pasien dengan risiko iskemia, ambang batasnya
dapat dinaikkan sampao 10,0 g/dl, namun tranfusi profilaksis tetap tidak dianjukan.
Pada bayi dan anak dengan kadar hemoglobin normal, kehilangan darah sebanyak 10-15%
volume darah, karena tidak memberatkan kompensasi tubuh maka cukup diberi cairan koloid atau
kristaloid, sedangkan diatas 15% perlu tranfusi darah karena adanya gangguan pegangkutan oksigen.
Sedangkan untuk orang dewasa dengan kadar Hb normal angka patokannya ialah 20%. Kehilangan
darah sampai 20% dengan gangguan faktor pembekuan maka diberi cairan kristaloid sebanyak 3 kali
lipat jumlah darah yang hilang, sedangkan koloid diberikan dengan jumlah sama.
Tranfusi darah >50% diberikan pada saat perioperasi dengan tujuan untuk menaikkan kapasitas
pengangkut oksigen dan volume intravascular. Kalau hanya kenaikan volume intravascular saja
cukup dengan koloid dan kristaloid.

D. Jenis tranfusi darah 1,8,12


a) Darah lengkap (whole blood)
Darah lengkap ini berisi sel darah merah, leukosit, trombosit, dan plasma. Satu unit kantong darah
lengkap berisi 450 mL darah dan 63 mL antikoagulan. Di Indonesia, satu kantong darah lengkap berisi
250 mL darah dengan 37 mL antikoagulan, ada juga yang satu kantong darah lengkap berisi 350 mL
darah dengan 49 mL antikoagulan. Suhu simpan antara 1-6o Celcius.
Lama simpan dari darah lengkap ini tergantung dari antikoagulan yang dipakai pada kantong darah,
pada pemakaian sitrat fosfat dekstrose (CPD) lama simpan adalah 21 hari, sedangkan dengan CPD
adenine (CPDA) adalah 35 hari. Menurut masa simpan invitro ada 2 macam darah lengkap, yaitu
darah segar dan darah baru. Darah segar yaitu darah yang disimpan sampai 48 jam, sedangkan darah
baru yaitu darah yang disimpan sampai dengan 5 hari.
Indikasi
Kehilangan darah lebih dari 25-30% volume darah total.

Kontraindikasi
Sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan anemia kronik yang normovolemik atau yang
bertujuan meningkatkan sel darah merah.

Dosis dan cara pemberian


Dewasa : 1 unit darah lengkap akan meningkatkan Hb 1 gr/dl atau hematokrit 3-4%.
Anak : 8 mL/kg darah lengkap akan meningkatkan Hb sekitar 1 g/dl.
Unit kantong darah yang dipakai yaitu antara lain 250 ml, 350 ml, 450 ml. Setiap unit darah lengkap
diberikan dalam 4 jam dengan tetesan sesuai keadaan klinis.
Rumus kebutuhan whole blood

6 x Hb (Hb normal -Hb pasien) x BB

Ket :

Hb normal : Hb yang diharapkan atau Hb normal


Hb pasien : Hb pasien saat ini

b) Sel darah merah pekat (packed red blood cell)


sel darah merah pekat terdiri eritrosit, trombosit, leukosit dan sedikit plasma. Sel darah merah ini
didapat dengan memisahkan sebagian besar plasma dari darah lengkap, sehingga diperoleh sel
darah merah dengan nilai hematokrit 60-70%. Volume nya diperkirakan 150-300 mL tergantung
besarnya kantung darah yang dipakai, dengan massa sel darah merah 100-200 mL.
Sel darah merah disimpan dalam suhu 1-6o Celcius. Bila menggunakan antikoagulan CPDA maka
masa simpanan dari sel darah merah ini 35 hari dengan nilai hematokrit 70-80 %, sedangkan bila
menggunakan antikoagulan CPD masa simpan dari sel darah merah ini 21 hari. Komponen sel darah
merah yang disimpan dalam larutan tambahan (buffer, dekstrosa, adenine, manitol) memiliki nilai
hematokrit 52-60% dan masa simpan 42 hari. Sediaan ini bukan merupakan sumber trombosit dan
granulosit, namun memiliki kemampuan oksigenasi seperti darah langkap.
Indikasi
Meningkatkan jumlah sel darah merah pada pasien yang menunjukkan gejala anemia, yang hanya
memerlukan massa sel darh merah pembawa oksigen saja misalnya pada pasien dengan gagal ginjal
atau anemia karena keganasan.
Kontraindikasi
Dapat menyebabkan hipervolemi jika diberikan dalm jumlah banyak dalam waktu singkat.
Dosis dan cara pemberian
Untuk menaikkan kadar Hb sebanyak 1 gr/dl diperlukan 4 ml/kgBB atau 1 unit dapat menaikkan
kadar hematokrit 3-5 %. Diberikan selama 2 sampai 4 jam dengan kecepatan 1-2 mL/menit, dengan
golongan darah ABO dan Rh yang diketahui.
Kebutuhan darah (ml) :

3 x Hb (Hb normal -Hb pasien) x


BB

Ket :

-Hb normal : Hb yang diharapkan atau Hb normal

-Hb pasien : Hb pasien saat ini

c) Trombosit pekat ( concentrate platelets)


Berisi trombosit, beberapa leukosit dan sel darah merah serta plasma. Trombosit pekat ini dapat
diperoleh dengan cara pemutaran (centrifugasi) darah lengkap segar atau dengan cara
tromboferesis. 1 kantong trombosit pekat yang berasal dari 450 mL darah lengkap seorang donor
berisi kira-kira 5,5x1010 trombosit dengan volume sekitar 50 mL. 1 kantong trombosit pekat yang
diperoleh dengan cara trpmoferesis seorang donor dapat berisi sekitar 3x1011 trombosit, setara
dengan 6 kantong trombosit yang berasal dari donor darah biasa.
Trombosit pekat ini dapat disimpan dalam suhu 20-24o celcius dengan kantong darah biasa yang
diletakkan pada rotator atau agitator yang selalu berputar atau bergoyang, trombosit dapat
disimpan selama 3 hari, sedangkan dengan kantong darah khusus dengan cara penyimpanan yang
sama trombosit dapat disimpan selama 5 hari. Produk ini daya hemostatik nya kurang sedangkan
viability pasca tranfusi nya lebih baik. Pada suhu 1-6o celcius, trombosit ini dapat disimpan selama 3
hari. Produk ini daya hemostatik nya lebih baik sedangkan viability pasca tranfusi nya kurang.
Indikasi
Setiap perdarahan spontan atau suatu operasi besar dengan jumlah trombositnya kurang dari
50.000/mm3. Misalnya perdarahan pada trombocytopenic purpura, leukemia, anemia aplastik,
demam berdarah, DIC dan aplasia sumsum tulang karena pemberian sitostatika terhadap tumor
ganas.
Splenektomi pada hipersplenisme penderita talasemia maupun hipertensi portal juga memerlukan
pemberian suspensi trombosit prabedah.
Rumus Transfusi Trombosit
BB x 1/13 x 0.3

d) Granulosit feresis (granulocytes pheresis)


Diperoleh dengan cara sitaferesis dari donor tunggal,berisi granulosit, limfosit, trombosit beberapa
sel darah merah dan sedikit plasma. Setiap unit mengandung sekitar 1,0 x1010 granulosit, sejumlah
limfosit, trombosit, 25-50 mL sel darah merah, dan mungkin sedikit hidroksietil starch (HES) dengan
volume 200-300 mL. suhu simpan dari sediaan ini 20-40 o celcius dan harus segera ditranfusikan.
Indikasi
Komponen ini dipakai untuk meningkatkan jumlah granulosit pada pasien sepsis dengan leucopenia
yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pemberian antibiotik.

E. Komplikasi yang dapat timbul 9.10


a) Reaksi Transfusi Hemolitik
Reaksi transfusi hemolitik merupakan reaksi yang jarang terjadi tetapi serius dan terdapat pada
satu diantara dua puluh ribu penderita yang mendapat transfusi. Lisis sel darah donor oleh antibodi
resipien. Hal ini bisa terjadi dengan cara reaksi transfusi hemolitik segera dan reaksi transfusi
hemolitik lambat
Reaksi ini sering terjadi akibat kesalahan manusia sebagai pelaksana, misalnya salah memasang
label atau membaca label pada botol darah.
Tanda-tanda reaksi hemolitik lain ialah menggigil, panas, kemerahan pada muka, bendungan vena
leher , nyeri kepala, nyeri dada, mual, muntah, nafas cepat dan dangkal, takhikardi, hipotensi,
hemoglobinuri, oliguri, perdarahan yang tidak bisa diterangkan asalnya, dan ikterus. Pada penderita
yang teranestesi hal ini sukar untuk dideteksi dan memerlukan perhatian khusus dari ahli anestesi,
ahli bedah dan lain-lain.
Tanda-tanda yang dapat dikenal ialah takhikardi, hemoglobinuri, hipotensi, perdarahan yang tiba-
tiba meningkat, selanjutnya terjadi ikterus dan oliguri.
Terapi reaksi transfusi hemolitik : pemberian cairan intravena dan diuretika. Cairan digunakan untuk
mempertahankan jumlah urine yang keluar. Diuretika yang digunakan ialah :
1. Manitol 25 %, sebanyak 25 gr diberikan secara intravena kemudian diikuti pemberian 40 mEq
Natrium bikarbonat.
2. Furosemid
Bila terjadi hipotensi penderita dapat diberi larutan Ringer laktat, albumin dan darah yang cocok.
Bila volume darah sudah mencapai normal penderita dapat diberi vasopressor. Selain itu penderita
perlu diberi oksigen. Bila terjadi anuria yang menetap perlu tindakan dialysis.

b) Reaksi Transfusi Non Hemilitik


1. Reaksi transfusi febrile
Tanda-tandanya adalah sebagai berikut : Menggigil, panas, nyeri kepala, nyeri otot, mual.
2. Reaksi alergi
Anafilaksis : Keadaan ini terjadi bila terdapat protein asing pada darah transfusi.
Urtikaria, paling sering terjadi dan penderita merasa gatal-gatal. Biasanya muka penderita
sembab.

Terapi yang perlu diberikan ialah antihistamin, dan transfusi harus disetop.
c) Reaksi Non Imunologi
1. Reaksi yang disebabkan oleh volume yang berlebihan
2. Reaksi karena darah transfusi terkontaminasi
3. Virus hepatitis, Malaria, sifilis, virus CMG dan virus Epstein-Barr parasit serta bakteri
4. AIDS

Untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya reaksi selama transfusi, dilakukan beberapa


tindakan pencegahan. Setelah diperiksa ulang bahwa darah yang akan diberikan memang ditujukan
untuk resipien yang akan menerima darah tersebut, petugas secara perlahan memberikan darah
kepada resipien, biasanya selama 2 jam atau lebih untuk setiap unit darah.

Karena sebagian besar reaksi ketidakcocokan terjadi dalam15 menit pertama, maka pada awal
prosedur, resipien harus diawasi secaraketat. Setelah itu, petugas dapat memeriksa setiap 30- 45
menit dan jika terjadi reaksi ketidakcocokan, maka transfusi harus dihentikan.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Terapi cairan ialah tindakan untuk memelihara ataupun mengganti cairan tubuh dengan pemberian
cairan infus kristaloid (elektrolit) atau koloid (plasma ekspander) secara intravena untuk mengatasi
berbagai masalah gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, meliputi mengantikan volume
cairan yang hilang akibat perdarahan, dehidrasi atau syok.
Terapi cairan perioperative meliputi tindakan terapi yang dilakukan pada masa pra-bedah,
selama pembedahan, dan pasca bedah. Dalam pembedahan dengan anestesia yang memerlukan
puasa sebelum dan sesudah pembedahan, maka terapi cairan berfungsi untuk mengganti cairan saat
puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti kebutuhan rutin saat pembedahan, mengganti
perdarahan yang terjadi, dan mengganti cairan yang pindah ke rongga ketiga.
Sedangkan Tranfusi darah pada hakekatnya adalah pemberian darah atau komponen darah dari
satu individu (donor) ke individu lainnya (resipien), dimana dapat menjadi penyelamat nyawa, tetapi
dapat pula berbahaya dengan berbagai komplikasi yang akan terjadi sehingga tranfusi darah
hendaklah dilakukan dengan indikasi yang jelas dan tepat sehingga diperoleh manfaat yang jauh
lebih besar dari pada risiko yang mungkin terjadi.
Transfusi darah dapat berupa darah lengkap atau hanya komponen-komponen darah yang
dibutuhkan saja misalkan preparat sel darah merah atau trombosit, tergantung indikasi resipien.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo W. A., Setiyohadi.B., dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Ed.5. Jilid 1. Internal
Publishing: Jakarta
2. Guyton AC dan Hell JE. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed.11. Jakarta : EGC.
3. Sherwood L .2009. Fisiologi manusia dari sel ke sistem edisi ke 6. Jakarta:EGC
4. Latief AS, dkk. 2001 petunjuk praktis anestesiologi : terapi cairan pada pembedahan, ed.2 bagian
anestesiologi dan terapi intensif, FK UI.
5. Dobson, Michel B. 2012. Penuntun praktis Anestesi. Prinsip terapi cairan dan elektrolit. Jakarta :
EGC.
6. Kaswiyan U. 2010. Terapi cairan perioperatif. Bagian Anestesiologi dan Reanimasi.Fakultas
Kedokteran Universitas padjajaran.
7. Mulyono, I. 2009. Jenis-jenis Cairan, dalam Symposium of Fluid and Nutrition Therapy in Traumatic
Patients, Bagian Anestesiologi FK UI/RSCM, Jakarta.
8. Grethlein, Sara J. 2012. Blood Substitutes . journal of emedicine medscape.
9. Kardon, Eric M . 2014. Transfusion Reactions In Emergency Medicine. journal of emedicine
medscape.
10. Adriansyah, Rizky dkk. 2009. Reaksi Hemolitik Akibat Transfusi. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol:
59, No: 8. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
11. Hanafie, Achsanuddin. 2009. Anemia dan Transfusi Sel Darah Merah pada Pasien Kritis. Majalah
Kedokteran Nusantara Vol. 39, No. 3. SMF-Anestesi dan Reanimasi FK-USU/RSUP Haj Adam Malik,
Medan, RSU Dr. Pirngadi Medan
12. WHO. 2013. the clinical use of blood in general medicine obstetric pediatrics surgery & anaesthasia
trauma and Bums.

13. Ario, Dewangga dkk. 2011. Kebutuhan Optimal Cairan Ringer Laktat untuk Resusitasi Terbatas
(Permissive Hypotension) pada Syok Perdarahan Berat yang Menimbulkan Kenaikan Laktat Darah
Paling Minimal. Journal of Emergency Vol. 1. No. 1. Departemen/SMF Ilmu Bedah, Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Anda mungkin juga menyukai