Anda di halaman 1dari 16

Rencana Baca : Selasa , 30 Agustus 2016

Pukul : 08.30 WIB

Book Reading
EOSINOPHILS IN CUTANEOUS
DISEASES I
Kristin M. Leiferman & Margor S.Peters
Fitzpatricks, Dermatology in General Medicine, 8th Edition.
Chapter 36 , Page 386-394

Pembimbing: dr. Chairiyah Tanjung,


SpKK (K)
Penyaji: dr. Dewi Sartika

DEPARTEMEN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN


KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA
UTARA
RSUP H. ADAM MALIK
MEDAN
2016

0
Eosinofil pada Penyakit Kutaneus

Sekilas tentang eosinofil dalam penyakit kutaneus :


Eosinofil dapat ditemukan pada spesimen biopsi kulit dari berbagai macam penyakit
kutaneus namun bukan merupakan patognomis untuk dermatosis apapun.
Eosinofil merupakan komponen penting dari gambaran histologis pada beberapa
penyakit diantaranya :
Hiperplasia angiolimfoid dengan eosinofilia.
Erupsi eosinofilik, polimorfik dan pruritik yang berhubungan dengan
radioterapi.
Folikulitis pustular eosinofilik.
Eritema toksikum neonatorum
Ulkus eosinofilik mukosa oral.
Eosinofilik vaskulitis.
Granuloma fasialis.
Sindrom hipereosinofilik.
Inkontinensia pigmenti
Penyakit Kimura.
Dermatitis pachydermatosa eosinofilik
Sindrom Wells
Gambaran reaksi klinis berhubungan dengan eosinofilik memberikan peran patogen
dan merupakan komponen histologis, namun tidak untuk mendiagnosis.
Bukti hubungan eosinofil dalam penyakit kutaneus diambil dari observasi eosinofil
yang intake pada lesi jaringan dan/atau immunostains untuk granul toksik
proteinnya, yang terdeposit dalam jaringan.

Eosinofil memiliki banyak peranan dalam proses peradangan suatu penyakit.


( Lihat Chapter 31). Eosinofilia darah tepi dan/atau infiltrasi jaringan oleh eosinofil
terjadi pada berbagai penyakit umum maupun penyakit yang jarang terjadi termasuk
infeksi, imunologis dan neoplasma. Penyakit eosinofil berhubungan dengan organ
spesifik terjadi pada kulit, paru-paru dan saluran pencernaan. Eosinofil mudah terlihat
pada bagian jaringan yang diwarnai dengan hematoxilin dan eosin karena ikatannya
yang kuat dengan pewarnaan eosin. Dermatosis yang biasanya berhubungan dengan
eosinofil ialah gigitan artropoda dan erupsi obat. Infeksi parasit terutama yang
disebabkan ektoparasit dan helminthes, biasanya mengalami eosinofilia. Penyakit
autoimun blister, seperti pemfigoid bulosa dan berbagai macam pemphigus, sering
ditandai infiltrasi eosinofil yang menonjol, termasuk gambaran histologis eosinofilik
spongiosis. Infiltrasi eosinofil pada jaringan subkutaneus disebut dengan eosinophil

1
panniculitis. Eosinofil dapat ditemukan pada histiosit sel Langerhans, neoplasma
epitel kutaneus dan penyakit limfoproliperatif. Walaupun eosinofil merupakan salah
satu gambaran histologis pada berbagai penyakit kutaneus, infiltrasi eosinofil
merupakan kriteria diagnosis histologis pada beberapa penyakit. ( Tabel 36-1).

Ketidadaan, keberadaan atau jumlah eosinofil pada spesimen biopsi kulit


memiliki nilai terbatas pada pemilihan diagnosis banding dengan peranan penting dan
berbeda pada penatalaksanaan klinisnya, seperti reaksi obat graft versus host disease.
Eosinofil memiliki peranan pada reaksi klinis tertentu, terutama yang memiliki
karakteristik edema. Kadar deposit granul protein eosinofil pada jaringan penyakit
tertentu, yang menunjukkan sedikit atau tidak ada eosinofil intake, memberikan kesan
patogenik eosinofil mungkin tidak berhubungan pada jumlahnya dalam jaringan.
Kadar infiltrasi eosinofil kutaneus harus dipertimbangkan pada gambaran klinis dan
gambaran histologisnya. Eosinofil memiliki aktivitas biologis potensial, terutama
karena memiliki granul khusus dan eosinofil dapat memberikan peranan patologis
dalam ketiadaan sel yang dapat diidentifikasi jaringan.
SINDROM HIPEREOSINOFILIA

2
Sekilas Sindrom Hipereosinofilik :
Wujud spektrum yang dinilai dari kriteria ( Tabel 36-2)
Lesi kutaneus sering ditemukan
Dua sindrom hipereosinofilik ( HES) subtipe dan beberapa varian
HES limfositik ditandai oleh klon sel-T yang menghasilkan interleukin 5
Varian dari subtipe HES dapat berkembang menjadi limfositik HES.
Restriksi-organ
Berhubungan dengan penyakit spesifik seperti sindrom Churg
Strauss
Tidak jelas jinak, kompleks, episodik
HES myeloproliferatif berhubungan dengan delesi kromosom 4 yang
menghasilkan fusion tirosin kinase gen Fip1-like1/platelet-derived growth
factor receptor- atau mutasi lain yang berhubungan dengan klonal eosinofil.
Responsif terhadap imatinib
Ulkus mukoas yang parah menandakan prognosis buruk
kecuali HES diobati
Tumpang tindih dengan mastositosis
Variasi HES familial, riwayat keluarga eosinifilia persisten dengan penyebab
tidak diketahui.
Kejadian emboli yang berhubungan dengan kegawatdaruratan
Penyakit endomiokardial eosinofilik terjadi pada HES dan pasien dengan
eosinofilia darah perifer jangka panjang dengan berbagai penyebab.

Epidemiologi
Hipereosinofilia sindrom ( HES) merupakan penyakit yang dapat terjadi di
seluruh dunia dan rentang semua usia. Lebih dari 90% pasien dengan HES
myeloproliferatif adalah laki-laki, namun HES limfositik menunjukkan distribusi jenis
kelamin yang sama. Frekuensi relatif pada subtipe ini tidak diketahui namun sebanyak
25% pasien HES ialah HES limfositik. Kasus familial yang jarang telah dilaporkan.
Miniepidemik dari esophagitis eosinofilia, sebuah subtipe dari HES dengan penyakit
restriksi-organ, muncul pada dekade terakhir dengan prevalensi perkiraan sebanyak 1:
2,500 diantara anak-anak dan 1: 4,000 pada dewasa.
Etiologi

3
Eosinofil berhubungan dalam penyebab kerusakan organ pada semua subtipe
HES. Peningkatan klinis biasanya seiring dengan penurunan jumlah eosinofil. Pasien
dengan HES limfositik memiliki klon sel T abnormal dengan fenotip yang tidak biasa,
termasuk CD3+ CD4-CD8- dan CD3-CD4+. Sel T ini menunjukkan marker aktivasi,
seperti CD25, dan mensekresikan sitokin T helper 2, termasuk kadar interleukin 5 (IL-
5) yang tinggi. Delesi 800- kilobase pada band kromosom 4q21 yang mengkode
tirosin kinase telah ditemukan pada HES myeloproliferatif. Pasien dengan mutasi gen
F1P1L1-PDGFRA membentuk subset HES dengan kardiomiopati dan fibrosis
endomiokardium yang memberi respon terhadap imatinib. Pasien dengan subset HES
ini memiliki kadar serum tryptase yang tinggi dan peningkatan sel mast bentuk
spindle pada sumsum tulang. Walaupun tidak memiliki manifestasi klinis pada
mastositosis sistemik atau memperlihatkan marker imunologisnya, pasien ini
memenuhi kriteria mastositosis. Gen F1P1L1-PDFGRA dideteksi pada sel mast,
eosinofil, neutrofil dan sel mononuklear. Banyak pasien HES juga memiliki
neutrofilia yang menonjol, akibat gen yang menyimpang dari neutrofil. Dengan
demikian, perubahan dari beberapa sel berpengaruh pada patogenesis HES
myeloproliferatif. Abnormalitas kromosom multipel lainnya telah ditemukan pada
HES myeloproliferatif, termasuk translokasi, delesi kromosom parsial, komplit dan
trisomy 8,15 dan 21. HES myeloproliferatif dengan mutasi juga dikenal sebagai
leukemia eosinofilik kronis. WHO telah memperbarui skema untuk penyakit myeloid
dan eosinofilia. Penyebab dari variasi HES lain tidak terlalu dipahami, meskipun
pasien dibeberapa subtipe HES termasuk dengan episode angioedema dan eosinofilia
[ sindrom Gleich, lihat bagian Angioedema episodic berhubungan dengan Eosinofilia
(Sindrom Gleich)],dan sindrom nodul, eosinofilia, rheumatism, dermatitis dan
swelling (NERS), telah menghasilkan sel T klon.

4
Gambaran Klinis
Pasien yang memenuhi kriteria diagnostik HES (Tabel 36-2) menunjukkan
gambaran tanda dan gejala yang berhubungan dengan sistem organ yang diinfiltrasi
oleh eosinofil. HES sering menunjukkan lesi kulit yang merupakan satu-satunya
manifestasi HES. Makula, papul, plak, urtikaria atau nodul eritema yang gatal tampak
pada 50% pasien. Lesi meliputi kepala, badan dan ekstremitas. Urtikaria dan
angioedema terjadi pada semua subtipe HES dan merupakan karakteristik variasi
subtipe tertentu. Eritema annulare centrifugum, pemfigoid bulosa, papulosis
limfomatoid, retikularis livedo, purpura dan/atau tanda lain vaskulitis, sindrom Wells
(eosinofilik selulitis), dan manifestasi mukokutaneus multipel lain juga dapat
ditemukan pada pasien HES (Tabel 36-2) .
Pada HES myeloproliferatif, gejala yang sering timbul adalah demam,
penurunan berat badan, fatigue, malaise, lesi kulit dan hepatosplenomegali. Ulkus
mukosa orofaring atau regio anogenital (Fig 36-1) menandakan penyakit yang agresif,
kematian dapat terjadi dalam 2 tahun jika penyakit tidak diobati. Penyakit jantung
juga sering terjadi. Eosinofil adhesi pada endokardium dan melepaskan granul protein
ke dalam sel endotel, diikuti dengan pembentukan thrombus dan akhirnya terjadi
fibrosis subendokardial dengan kardiomiopati resriktif. Insufisiensi katup mitral atau
trikuspid terjadi akibat dari gangguan korda tendinae. Abnormalitas jantung mirip
dengan HES namun terbatas pada region intramural dapat terjadi tanpa eosinofilia
darah perifer.

5
Perdarahan splinter dan infark lipatan kuku dapat berpengaruh pada onset
penyakit tromboemboli. Sistem saraf pusat dan perifer, paru-paru dan sangat jarang
ginjal dapat terkena dampaknya. Pasien dengan HES myeloproliferatif sering
menunjukkan gambaran klinis yang mirip dengan leukemia myelogenus kronis dan
bergantung pada klasifikasinya, sering dianggap menderita leukemia eosinofilia
kronis. Walaupun abnormalitas kromosom merupakan karakteristik subtipe ini dan
dapat berkembang menjadi leukemia, ciri kematangan eosinofil dan kurangnya bukti
ekspansi klonal dapat menjadi pengecualian klasifikasi tersebut.

HES limfositik umumnya berhubungan dengan pruritus, eksim, eritroderma,


urtikaria dan angioedema berat dan juga limfadenopati, dan yang sangat jarang terjadi
fibrosis endomiokardial. Kebalikan dari HES myeloproliferatif, HES limfositik
umumnya penyakit yang jinak, dan klon sel T dapat stabil selama beberapa tahun.
Pasien harus diobservasi ketat dan dianggap memiliki proliferasi sel T malignan atau
premalignan karena penyakit dapat berkembang menjadi limfoma.

6
Sindrom Churg-Strauss ( lihat Bab 164) merupakan variasi subtipe HES. Variasi
lain subtipe HES antara lain lihat bagian Angioedema episodic berhubungan dengan
Eosinofilia (Sindrom Gleich)].
Selama satu atau beberapa dekade setelah diagnosis HES dapat berkembang
menjadi leukemia akut dan yang lebih jarang, berhubungan dengan limfoma sel-B.
Angka bertahan hidup selama 5 tahun untuk pasien HES adalah 80%, gagal jantung
kongestif akibat kardiomiopati restriktif penyakit endomiokardial eosinofil
merupakan penyebab terbesar kematian, diikuti dengan sepsis.
Tes Laboratorium
Kriteria kunci diagnosis ditandai dengan eosinofilia darah perifer.(lihat Tabel
36-2). Penyebab lain eosinofilia, termasuk penyakit alergi dan parasitik, harus
disingkirkan. Tes untuk mendeteksi keterlibatan organ, khususnya pengukuran kadar
enzim liver, penting dilakukan. Karena penyakit endomiokardial eosinofilik dapat
berkembang pada pasien harus menjalani echocardiography periodic bersamaan
dengan observasi ketat tanda-tanda tromboemboli. Peningkatan kadar serum

7
immunoglobulin E (IgE) sering terjadi pada pasien HES limfositik, dan kadar vitamin
B12 dan triptase dapat meningkat pada HES myeloproliferatif. Chic2 fluorescent in
situ hybridization assay mendeteksi delesi yang menghasilkan produk gen F1P1L1-
PDGFRA dan harus dilakukan karena pasien dengan mutasi ini memberikan respon
dengan pengobatan menggunakan imatinib. Alternatif lain, mutasi gen dapat dideteksi
dengan pemeriksaan polymerase chain reaction. Kedua tes tersedia secara komersil.
Pada pasien yang kekurangan gen fusi, tes abnormalitas sitogenetik lain atau sel-T
klon abnormal ditemukan. Sitoflow dari limfosit darah perifer dan imunofenotip dari
limfosit jaringan harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis HES limfositik dan
diulang secara berkala untuk mendeteksi transformasi variasi tipe HES menjadi HES
limfositik atau limfoma sel T. Penilaian pemeriksaan HES pada pasien dengan
eosinofilia diterangkan pada Tabel 36-4.
Gambaran histopatologis HES bervariasi, tergantung pada lesi kulit. Spesimen
biopsi kulit dari lesi urtikaria memiliki kemiripan dengan urtikaria idiopatik berupa
perivascular nonspesifik yang ringan dan infiltrasi limfosit, eosinofil dan terkadang
neutrofil interstisial. Immunistaining menunjukkan deposit berlebih dari granul
protein, dengan tidak ada eosinofil intak dalam angioedema episodik disertai
eosinofilia. HES dengan ulkus mukosa dalam jaringan sinovial dan NERDS. Selain
sindrom Churg-Strauss, vaskulitis sangat jarang timbul dalam HES.

8
Diagnosa Banding
(Box 36-1)

Secara klinis, infeksi dan infestasi parasit dapat memiliki kemiripan dengan
HES. Riwayat berkunjung ke daerah endemis atau paparan makanan tertentu dan
melibatkan helminthiasis. Seiring dengan eosinofilia, kadar serum IgE total lebih dari
500 IU/ml sering ditemukan pada infeksi helminthes. Pemeriksaan tinja untuk ova dan
parasit dan uji serologis untuk antibodi Strongyloides harus dilakukan. Pada pasien
dengan plak urtikaria terisolasi dengan atau tanpa angioedema. Diagnosis bandingnya
harus dipertimbangkan urtikaria dan urtikaria persisten, namun timbulnya gejala
multiorgan mendukung HES. HES dengan angioedema episodic dapat memiliki
kemiripan dengan angioedema herediter secara klinis, walaupun pasien dengan
angioedema herediter sering memiliki riwayat penyakit keluarga yang sama dan
jarang menunjukkan peningkatan jumlah eosinofil yang merupakan karakteristik
HES, dan dapat dibedakan oleh abnormalitas komplemen. Lesi eksim pruritus dari
HES limfositik dapat memiliki kemiripan dengan dermatitis atopi, dermatitis kontak,
reaksi obat, infeksi jamur dan limfoma sel T. Terdapat berbagai penyakit sebagai
diagnosis banding pasien dengan ulkus orogenital, termasuk diantaranya yang
berhubungan dengan thrombosis, seperti sindrom Behcet, penyakit Crohn, colitis
ulseratif, dan sindrom Reiter. Pertimbangan lain adalah stomatitis apthous rekuren,
penyakit imunobulosa, eritema multiformis, liken planus, infeksi herpes simpleks dan
sifilis.
Pengobatan
Tujuan pengobatan adalah untuk menyembuhkan gejala dan meningkatkan
fungsi organ dan mempertahankan eosinofil darah perifer pada 1,000 hingga
2,000/mm3 dan meminimalisir efek samping pengobatan.(Gambar 36-2). Review
terbaru telah menggambarkan pemeriksaan penatalaksannan HES. HES

9
myeloproliferatif respon terhadap imatinib. Pasien dengan mutasi gen F1P1L1-
PDGFRA, pemberian imatibib mesylate merupakan indikasi dan biasanya
mengakibatkan remisi hematologis, namun penyakit endomiokardial dapat bertambah
parah selama beberapa hari pertama pengobatan. Kadar troponin harus dimonitor
sebelum dan selama terapi imatinib. Untuk meningkatkan fungsi kardio,
glukokortikoid harus diberikan sebelum dan dengan inisiasi terapi imatinib. Resisten
terhadap imatinib dapat muncul. Dalam absen mutasi gen, setelah infeksi
Strongyloides disingkirkan, terapi lini pertama adalah prednisone. Kira-kira 70%
pasien akan memberikan respon, dengan jumlah eosinofil perifer kembali normal.
Pasien yang gagal dengan monoterapi glukokortikoid akan memiliki prognosis
buruk dalam kasus tersebut atau efek samping jangka panjang menjadi permasalahan,
pengobatan lain harus diberikan. Pengobatan efektif HES pada pasien yang respon
terhadap imatibib menghasilkan peningkatan yang berhubungan dengan kondisi
jantung berkaitan dengan endokarditis dan myelofibrosis dan penyakit kulit dengan
pemfigoid bulosa. Pasien yang memiliki gejala HES myeloproliferatif namun tidak
memiliki mutasi F1P1LI1-PDGFRA kemungkinan masih memiliki respon terhadap
imatinib. Interferon (IFN)- telah memberikan efek positif dalam mengobati HES
myeloid dan limfositik. Pada seorang pasien, hilangnya mutasi F1P1L1-PDGFRA
setelah beberapa tahun menggunakan terapi IFN- berhubungan dengan remisi
sempurna. Fotoferesis ekstrakorporeal saja atau dengan kombinasi IFN- menjadikan
pilihan terapi lain. Pengobatan lain untuk HES yang dilaporkan memberikan hasil
yaitu dengan hydroxyurea, dapson, vincristine sulfat, siklofosfamid, methotrexate, 6-
thioguanine, 2-chlorodeoxyadenosine dan terapi kombinasi cytarabine, klorambusil
pulsed, etoposide, siklosporin, immunoglobulin intravena, dan fototerapi psoralen
plus ultraviolet A ( UVA).
Penyakit yang sulit diobati dapat merespon pada infliximab (antitumor
necrosis factor-) atau alemtuzumab (anti-CD52), juga pada transplantasi alogenik
sumsum tulang dan sel stem darah perifer. Dua antibodi monoklonal selain human IL-
5 berhubungan dengan peningkatan klinis dan reduksi eosinofil dermal dan darah
perifer, terutama pada pasien dengan HES limfositik. Pengobatan yang menargetkan
IL-5 telah memberikan pandangan baru dalam pemahaman penyakit yang
berhubungan dengan eosinofil.

10
11
SINDROM WELLS

Sekilas Sindrom Wells ( Eosinofilik Selulitis)


Lesi tunggal atau multipel biasanya pada ekstremitas atau badan
Lesi dapat terasa nyeri atau gatal
Berhubungan dengan malaise namun jarang demam
Lesi edema dan eritema berkembang menjadi plak dengan batas keunguan
Blister dapat menjadi gambaran prominen
Lesi individual bertahan selama berminggu-minggu dan berubah dari merah menjadi
biru kelabu atau hijau kelabu, mirip dengan morphea.
Rekuren multipel
Eosinofil darah perifer
Gambaran histiologi ditandai dengan infiltrasi dermal eosinofil, dan flame figures
dikelilingi dengan histiosit
Terapi dengan glukortikoid sistemik

Gambaran Klinis dan Perjalanan Penyakit


Edema kutaneus merupakan gambaran klinis yang sering timbul pada empat
kasus pertama yang dilaporkan oleh Wells. Setelah rasa terbakar atau gatal prodromal,
lesi dimulai dengan eritema dan edema (Gambar 36-3A), kadang dalam bentuk plak
atau nodul arkuata atau anular. Setelah periode beberapa hari lesi ini berkembang
menjadi plak edema besar dengan batas violaseus. Bula dapat muncul. Lesi individual
dapat berubah dari merah terang menjadi merah kecoklatan dan kemudian biru kelabu
atau hijau kelabu, mirip dengan morphea (Gambar 36-3B). Gambaran klinis yang
lebih jarang ditemukan adalah papul vesikel (Gambar 36-4) dan bula hemoragik. Lesi
kutaneus dapat satu atau multipel dan dapat muncul pada berbagai lokasi, tersering
pada ekstremitas, dan jarang pada badan. Keluhan sistemik yang paling sering pada
penderita sindrom Wells adalah malaise sedangkan demam terjadi pada sedikit kasus.
Lesi dapat sembuh tanpa bekas, biasanya dalam beberapa minggu hingga bulan,
namun rekuren multipel juga sering muncul.

12
Uji Laboratorium dan Histopatologi
Eosinofilia darah tepi ditemukan pada kira-kira 50% pasien. Lesi kulit secara
histologi memiliki karakteritik infiltrasi dermal difusa dengan eosinofil, histiosit dan
foci dari amorphous dan/atau material granular yang berhubungan dengan jaringan
ikat serat, yang diberikan istilah flame figures oleh Wells. Pada stadium awal terdapat

13
juga edema dermal. Kemudian histiosit mengelilingi flame figure. Sebagai tambahan
delapan pasien dengan sindrom tersebut, laporan pada tahun 1979 oleh Wells dan
Smith mengikutsertakan sembilan pasien dengan gambaran histologi tipikal dari
selulitis eosinofilik namun berhubungan dengan variasi diagnosis klinis, termasuk
pemfigoid, eksim dan tinea. Laporan subsekuen flame figures pada lesi dari pasien
dengan spektrum luas ( Tabel 36-5) penyakit yang mengindikasikan flame figures
merupakan tanda namun bukan diagnostik dari sindrom Wells. Ketika granul eosinofil
mayor basic protein diperiksa menggunakan immunofluorescence, flame figures
menunjukkan staining (Fig 36-5) ekstraseluler terang, menandakan degranulasi
eosinofil ekstensif telah terjadi.

Diagnosa Banding

14
(Box 36-2)
Urtikaria, erysipelas dan selulitis akut harus dipertimbangkan sebagai
diagnosis banding pada Sindrom Wells. (lihat Gambar 36-3A) Selanjutnya plak dapat
menjadi mirip dengan morphea.(lihat Gambar 36-3B) Adanya blisters dapat mengarah
pada pemfigoid.(lihat Gambar 36-4) Flame figures merupakan tanda utama Sindrom
Wells, namun karena mereka diidentifikasi dalam spesimen biopsi dermatosis lain
(Tabel 36-5), hal ini saja tidak cukup untuk menegakkan diagnosis.
Akan tetapi, diagnosis Sindrom Wells tanpa ditemukannya flame figures
menimbulkan pertentangan, walaupun disertai dengan adanya infiltrasi dermal
eosinofil dan histiosit.

Pengobatan
Sindrom Wells biasanya membaik setelah diberikan glukokortikoid
sistemik, dan dosis tapering steroid selama 1 bulan telah diterima dengan baik pada
sebagian besar pasien. Rekurensi dapat diobati dengan pengobatan tambahan
glukokortikoid sistemik. Untuk pasien yang tidak memberikan respon, atau yang
mengalami relaps, sering menimbulkan perhatian terhadap efek samping jangka
panjang terapi glukokortikoid sistemik, pilihan lain adalah minosiklin, dapson,
gliseofulvin dan antihistamin. Siklosporin dan IFN-apha juga memiliki keberhasilan
dalam pengobatan. Untuk pengobatan penyakit yang ringan, glukokortikoid topikal
dapat diberikan.

15

Anda mungkin juga menyukai