Anda di halaman 1dari 13

NO TATA URUTAN : POINTER

TOPIK / JUDUL KEDUDUKAN AHLI WARIS BERPINDAH AGAMA


TERHADAP TANAH WARIS MENURUT
HUKUM WARIS ADAT BALI

(Studi Kasus Terhadap Ahli Waris Berpindah Agama Di Desa


Sindu, Cakranegara)

PENELITI /
PENULIS dr. I Made Arimbawa
Nama
No. Mhs
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang : Telah disadari bahwa yang menjadi tujuan dari pada
pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, seperti yang tercantum di dalam
Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945. Oleh karenanya
tidak ada pilihan lain bagi Bangsa Indonesia di dalam
mengejar dan mencapai tujuannya itu dengan melaksanakan
pembangunan nasional secara gigih, tekun dan ulet. Adapun
pembangunan itu haruslah dilaksanakan di segala bidang,
baik pembangunan fisik maupun spiritual.

Negara telah memberikan kebebasan bagi setiap


warganegaranya untuk memeluk agama dan kepercayaannya
masing-masing seperti yang tercantum dalam sila pertama
Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa serta dipertegas
dalam pasal 29 ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan
beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Oleh
karenanya tidak ada pilihan lain bagi Bangsa Indonesia di
dalam mengejar dan mencapai tujuannya itu dengan
melaksanakan pembangunan nasional secara gigih, tekun
dan ulet serta dilaksanakan di segala bidang, baik
pembangunan fisik maupun spiritual.

Hal tersebut sesuai dengan pernyataan yang tercantum


dalam Bab II angka I Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Ketetapan MPR No. II/MPR/1978)
yaitu :
Kebebasan agama adalah salah satu hak yang paling asasi
diantara hak asasi manusia, karena kebebasan beragama itu
langsung bersumber kepada martabat manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan. Hak kebebasan beragama bukan
pemberian Negara atau pemberian golongan.1

Jelaslah sudah negara telah memberikan kebebasan bagi


setiap Bangsa Indonesia untuk mengejar kebahagiaan
spritual berdasarkan agama dan kepercayaan yang
dianutnya. Negara menyediakan dan membantu sepenuhnya
sarana untuk mencapai suatu kebahagiaan spritual itu. Dalam
kenyataan, kebebasan beragama juga dapat menimbulkan
permasalahan antara lain terjadinya peralihan agama dari
satu agama ke agama lain yang diyakini, sehingga terkadang
dalam suatu keluarga terjadi perbedaan agama yang dianut.

Walaupun saat ini hukum nasional masih perlu disusun


dan untuk penyusunan hukum nasional diperlukan konsepsi
konsepsi yang berasal dari hukum adat. Sebagaimana oleh
para sarjana telah disepakati pada Seminar Hukum Adat dan
Pembinaan Hukum Nasional tahun 1975 di Yogyakarta :
Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting
untuk memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum
nasional yang menuju ke arah univikasi hukum yang terutama
akan dilaksanakan melalui pembuatan peraturan perundang-
undangan.2

Univikasi hukum merupakan usaha di dalam peningkatan


pembinaan hukum nasional, namun masih dalam bidang-
bidang tertentu dengan memperhatikan kesadaran hukum
masyarakat. Dan menuju suatu cita-cita untuk mewujudkan
Hukum Waris Nasional, yang mana selama ini Hukum Waris
Nasional itu belum ada dan saat ini masih dipergunakannya
Hukum Adat Waris yang dipengaruhi oleh prinsip garis
keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan.

Adanya perbedaan ini kemungkinan besar berpengaruh


kepada sistem pembagian warisan dimana sebagian besar
masyarakat di Indonesia masih menganut sistem patrilineal
atau sistem pembagian warisan dari garis keturunan laki-laki.
Para ahli berpendapat hukum adat waris masih dipengaruhi
oleh prinsip garis keturunan yang berlaku dalam masyarakat
yang bersangkutan. V. E. Korn dalam perspektif hukum adat
Bali menyatakan bahwa hukum pewarisan adalah bagian
paling sulit dari hukum adat Bali dikarenakan adanya
perbedaan-perbedaan di beberapa daerah dalam wilayah
hukum Bali (Desa Kala Patra), baik mengenai banyaknya
barang-barang yang boleh diwariskan atau mengenai
banyaknyabagian masing-masing ahli waris, maupun
mengenai putusan-putusan pengadilan adat.3

Perkembangan hukum adat waris dipengaruhi oleh


berbagai faktor sebagai pembawa perubahan dan
perkembangan hukum adatnya, salah satunya adalah faktor
agama. I Gusti Ketut Sutha menyatakan bahwa :
Dalam lapangan hukum waris juga dipengaruhi oleh faktor
agama yaitu dalam pembagian yang erat hubungannya
dengan masalah pengabenan (kematian) dan harta warisan
yang diperuntukkan untuk tujuan keagamaan.4

Berbicara tentang warisan menyalurkan pikiran dan


perhatian orang kearah suatu kejadian penting dalam suatu
masyarakat tertentu, yaitu ada seorang anggota dari
masyarakat itu meninggal dunia. Seorang manusia selaku
anggota masyarakat, selama masih hidup mempunyai tempat
dalam masyarakat dengan disertai berbagai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban terhadap orang-orang anggota lain dari
masyarakat itu dan terhadap barang-barang yang berada
dalam masyarakat rakyat itu. Dengan lain perkataan, ada
berbagai perhubungan hukum antara seorang manusia itu
disuatu pihak dan dunia luar disekitarnya dilain pihak
sedemikian rupa bahwa ada saling mempengaruhi dari kedua
belah pihak itu berupa kenikmatan atau beban yang dirasakan
oleh masing-masing pihak.

Ketika seorang manusia itu meninggal dunia, apakah yang


terjadi dengan hubungan-hubungan hukum tadi? Tidak cukup
dikatakan, bahwa perhubunganperhubungan hukum itu
lenyap seketika itu. Oleh karena itu biasanya pihak yang
ditinggalkan oleh pihak yang lenyap itu, tidak merupakan
seorang manusia saja atau sebuah barang saja, dan juga
oleh karena hidupnya seorang manusia yang meninggal dunia
itu berpengaruh langsung pada kepentingan-kepentingan
beraneka warna dari berbagai orang anggota lain dari
masyarakat dan kepentingan-kepentingan ini, selama hidup
seorang itu membutuhkan pemeliharaan dan penyelesaian
oleh orang lain. Maka dari itu, pada setiap masyarakat
dibutuhkan suatu peraturan hukum yang mengatur
bagaimana cara kepentingan dalam masyarakat itu
diselamatkan.

Jika beralih agama dihubungkan dengan hukum adat waris


khususnya mengenai harta warisan yang ditinggalkan oleh
pewaris, maka akan timbul berbagai pendapat diantara para
sarjana. Salah satu pihak mengatakan bahwa perpindahan
agama tidak mengakibatkan hilangnya bagian dari ahli waris
sedangkan pihak lain berpendapat sebaliknya.

Peralihan agama dalam hal ini dari agama Hindu ke agama


Kristen, dapat menimbulkan perbedaan dalam pembagian
warisan. Hal tersebut berkaitan dengan konsep Desa Kala
Patra sehingga memungkinkan ahli waris bisa tetap
mendapatkan kewarisannya, dikarenakan kebijaksanaan yang
diberikan oleh orang tua kepada anak ataupun karena
perbedaan adat dalam wilayah hukum Bali, sedangkan di sisi
lain peralihan agama menyebabkan hilangnya hak mewaris
oleh ahli waris. Walaupun secara tegas telah dijamin oleh
Pancasila dan pasal 29 ayat (2) UUD 1945, tetapi jika beralih
agama ini dihubungkan dengan hukum adat waris di Bali
dimana yang diwariskan adalah harta yang berwujud benda
dan harta yang tidak berwujud benda yaitu berupa kewajiban-
kewajiban yang bersifat immaterial, yang kesemuanya
dibebankan kepada ahli warisnya. Dari hal tersebut diatas
akan menimbulkan persoalan dari keturunan yang
seharusnya sebagai ahli waris tetapi karena beralih agama
maka perlu dipertanyakan apakah ahli waris beralih agama
masih mempunyai hak dan kewajiban sebagai ahli waris
sebagaimana sebelum ahli waris tersebut berpindah agama.
Maka berdasarkan uraian diatas kami tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai kedudukan ahli waris yang
berpindah agama terhadap harta warisan orang tuanya
menurut hukum perjanjian, hukum waris dan fenomena
adanya perpindahan agama dimana fenomena tersebut
berkaitan dengan hak atas tanah waris individu yang
melakukan perpindahan agama tersebut.

Berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas, melatar


belakangi penulisan skripsi ini dengan mengangkat judul
Kedudukan Ahli Waris Berpindah Agama Terhadap Tanah
Waris Menurut Hukum Waris Adat Bali (Studi Kasus Terhadap
Ahli Waris Berpindah Agama di desa Sindu, Cakranegara).

Rumusan Masalah : Dengan bertitik tolak pada latar belakang diatas,


permasalahan yang dapat diangkat untuk selanjutnya diteliti
dan dibahas dalam penulisan skripsi ini yaitu sebagai berikut:
1) Bagaimanakah kedudukan ahli waris yang berpindah
agama dari Hindu ke Islam menurut hukum waris
adat Bali?
2) Apakah ahli waris berpindah agama dari Hindu ke
Islam masih boleh menerima suatu pemberian berupa
tanah dari orang tuanya ?

Tujuan dan Manfaat : Dalam membahas mengenai sesuatu masalah ataupun


Penelitian objek tertentu mempunyai tujuan-tujuan yang sesuai
dengan apa yang menjadi objek penyusunan skripsi
tersebut. Adapun tujuan disusunnya skripsi ini secara garis
besarnya dapat diperinci sebagai berikut:
Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami secara lebih dalam
tentang kedudukan ahli waris berpindah agama terhadap hak
atas tanah waris di desa Sindu, Cakranegara.
Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui kedudukan ahli waris berpindah
agama dari Hindu ke Islam menurut hukum waris adat
Bali
2. Untuk mengetahui apakah ahli waris berpindah
agama dari Hindu ke Islam masih boleh menerima
suatu pemberian berupa tanah dari orang tuanya.
Adapun manfaat yang dapat diambil dalam penelitian ini
adalah sebagai
berikut :
Manfaat Teoritis
1. Memberikan sumbangan pemikiran dalam
perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan
dengan kedudukan ahli waris yang berpindah agama, serta
dapat menambah bahan-bahan kepustakaan. Untuk
mendalami dan mempraktekkan teori-teori yang telah
diperoleh selama menjalani proses perkuliahan di
Fakultas Hukum Universitas MAHASARASWATI Mataram .
Manfaat Praktis
1.Bagi pihak-pihak yang mempunyai kasus yang sama
yaitu ahli waris berpindah agama skripsi ini dapat digunakan
sebagai perbandingan dalam membuat suatu perjanjian.
2.Bagi hakim dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan
untuk membuat keputusan bilamana ditemukan kasus yang
menyerupai permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini.
3.Bagi pengacara dapat digunakan sebagai bahan
pembelaan bilamana mendapat kasus yang menyerupai
permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini.
4.Bagi aparat desa dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam membuat perjanjian bilamana mendapati
warga yang berpindah agama.
BAB II TINJAUAN 2.1 Pengertian Hukum Waris Adat
PUSTAKA Pengertian hukum waris adalah hukum yang mengatur
tentang kedudukan hukum harta kekayaan atau yang
mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal
dunia. Hilman Hadikusuma memberikan pengertian hukum
waris adalah hukum yang memuat ketentuan tentang sistem
dan azas-azas hukum tentang warisan, pewaris dan cara-cara
bagaimana harta warisan itu dialihkan penguasaan dan
pemilikannya dari pewaris kepada ahli waris.5

Hukum waris adat menurut R. Soepomo adalah memuat


peraturanperaturan yang mengatur proses meneruskan dan
mengoperkan harta benda dan barang-barang tidak berwujud
benda dari suatu angkatan manusia pada turunannya.6
Hukum waris adat memuat ketentuan-ketentuan yang
mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan
(berwujud ataupun tidak berwujud) dari pewaris kepada ahli
warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu
dapat berlangsung sejak pewaris masih hidup atau setelah
pewaris meninggal dunia.

Sedangkan pengertian hukum waris adat Bali menurut Ayu


Putu Nantri adalah suatu proses penerusan dari pewaris
kepada ahli waris tentang barangbarang materiil maupun
barang-barang immateriil yang mana hal ini berarti bahwa
penerusan ini menyangkut penerusan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban.7

Hubungan hukum antara individu sebagai warga adat


dalam kekerabatan meliputi hubungan hukum antara orang
tua dengan anak, antara anak dengan anggota keluarga pihak
bapak dan ibu serta tanggungjawab mereka secara timbal
balik dengan keluarga. Di dalam kehidupan masyarakat di
Indonesia terdapat keanekaragaman sifat sistem
kekeluargaan yang dianut. Sistem kekeluargaan itu dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :
1. Sistem kekeluargaan patrilinial
2. Sistem kekeluargaan matrilinial
3. Sistem kekeluargaan parental atau bilateral

Dalam sistem kekeluargaan patrilineal dalam suatu


masyarakat hukum adat, dimana para anggotanya menarik
garis keturunan ke atas melalui garis bapak, bapak dari bapak
terus keatas sehingga kemudian dijumpai seorang lakilaki
sebagai moyang. Adapun daerah di Indonesia yang menganut
sistem ini antara lain Batak, Bali, Seram, Nias dan Ambon.

Sistem kekeluargaan matrilinial yaitu sistem dimana para


anggotanya menarik garis keatas melalui ibu, ibu dari ibu
terus keatas sehingga kemudian dijumpai seorang
perempuan sebagai moyangnya. Contoh daerah yang
menganut sistem matrilinial di Indonesia adalah Minangkabau
dan Enggano. Pada sistem kekeluargaan parental atau
bilateral yakni suatu sistem dimana para anggotanya menarik
garis keturunan keatas melalui garis bapak dan ibu, terus
keatas sehingga kemudian dijumpai seorang laki-laki dan
seorang perempuan sebagai moyangnya. Sistem ini dapat
ditemui pada daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Madura, Aceh, Sulawesi dan Kalimantan.

Pada masyarakat adat Bali umumnya anak laki-laki


mempunyai kedudukan lebih utama karena semua kewajiban
dari orang tuanya akan beralih pada anaknya dan anak laki-
laki itu akan mendapatkan harta warisan yang ditinggalkan
pewaris. Namun hal tersebut tidak berarti hubungan si anak
dengan keluarga ibu tidak ada artinya sama sekali.

Berlangsungnya proses pewarisan harus memenuhi tiga


unsur menurut
hukum adat yaitu :
1. Pewaris
2. Harta warisan
3. Ahli waris
Pewaris adalah orang-orang yang mempunyai harta
peninggalan selagi ia masih hidup atau sudah wafat, yang
mana harta peninggalan tersebut akan diteruskan
pemilikannya dalam keadaan tidak terbagi-bagi atau terbagi-
bagi.

Harta warisan adalah suatu peninggalan yang berupa


harta benda yang dimiliki oleh seseorang setelah pewaris
meninggal dunia. Ahli waris adalah orangorang yang berhak
mewaris dimana orang tersebut berhak untuk meneruskan
penguasaan dan pemilikan harta warisan atau berhak
memiliki bagian yang telah ditentukan dalam pembagian harta
warisan diantara ahli waris tersebut.

Dalam hukum adat waris, anak-anak dari si peninggal


warisan merupakan golongan ahli waris yang terpenting
dibandingkan dengan golongan ahli waris pengganti lainnya,
karena apabila si peninggal harta warisan meninggalkan anak
maka anaknya itulah sebagai ahli waris utama. Secara umum
terdapat empat golongan hak mewaris menurut undang-
undang yaitu :

1. Golongan pertama yaitu anak-anak beserta keturunan


dalam garis lancang
ke bawah dengan tidak membedakan urutan kelahiran.
2. Golongan kedua yaitu orang tua dan saudara dari si
pewaris.
3. Golongan ketiga yaitu ahli waris dimana sama sekali tidak
terdapat
anggota keluarga dari golongan pertama maupun golongan
kedua.
4. Golongan keempat yaitu ahli waris dari harta yang
ditinggalkan apabila
tidak terdapat golongan pertama, kedua maupun ketiga.
Pada penganut susunan kekeluargaan patrilinial, syarat yang
harus
dipenuhi sebagai ahli waris adalah :
1. Ahli waris harus mempunyai hubungan darah, yaitu
misalnya anak
pewaris sendiri.
2. Anak itu harus laki-laki.
3. Bila tidak ada anak barulah jatuh kepada anak yang bukan
sedarah yang karena hukum ia berhak menjadi ahli waris
misalnya anak angkat.
4. Bila tidak ada anak dan tidak ada anak angkat, hukum
Hindu membuka kemungkinan adanya penggantian melalui
penggantian atas kelompok ahli waris dengan hak keutamaan
kepada kelompok dengan hak penggantian lainnya yang
memenuhi syarat.

Dari persyaratan tersebut jelaslah bahwa anak laki-laki


lebih diutamakan sebagai ahli waris. Jika tidak ada anak laki-
laki maupun anak angkat maka dimungkinkan adanya
penggantian ahli waris.

2.2 Pengertian Hukum Waris Adat Bali Menurut Para Ahli


2.3 Pengertian Hukum Keluarga
2.4 Pengertian Hukum Keluarga Secara Umum Di Bali
2.5 Prinsip Keturunan Dalam Hukum Kekeluargaan
2.6 Prinsip Keturunan Dalam Hukum Keluarga Di Bali
2.7 Unsur Pewarisan Dalam Hukum Waris Adat Bali
2.8 Syarat - Syarat Sebagai Ahli Waris Menurut Hukum
Waris Adat Bali
2.9 Cara Pembagian Harta Warisan
BAB III METODE
PENELITIAN
-Pendekatan yang : Adapun metodelogi yang digunakan adalah sebagai berikut,
digunakan Metode Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
yuridis empiris.
-Jenis penelitian : Penelitian ini menggunakan penelitian hukum empiris.
Dimana dalam penelitian hukum empiris, hukum dikonsepkan
sebagai suatu gejala empiris yang dapat diamati didalam
kehidupan nyata. Dalam konteks ini hukum tidak semata-
semata dikonsepkan sebagai suatu gejala normatif yang
otonom, sebagai ius constisuendum (law as what ought to
be), dan tidak semata-semata sebagai iusconstitutum (law as
what its in the book), akan tetapi secara empiris sebagai ius
operatum (law as what its in society). Hukum sebagai law as
what its in society, hukum sebagai gejala sosio empirik dapat
dipelajari di satu sisi sebagai independent variable yang
menimbulkan efek-efek pada berbagai kehidupan sosial, dan
di lain sisi sebagai suatu dependent variable yang muncul
sebagai akibat berbagai ragam kekuatan dalam proses sosial
(studi mengenai law in process).
Pada intinya, penelitian hukum empiris berbeda dengan
penelitian sosial pada umumnya yang berobyek hukum
(misalnya seorang sosiolog yang sedang meneliti hukum).
Perbedaan tersebut dapat dicermati dari karakteristik data
yang digunakan. Dalam penelitian hukum empiris digunakan
data sekunder dan data primer. Data sekunder dalam
penelitian hukum empiris merupakan bahan hukum. Data
sekunder tersebut diatas digunakan sebagai data awal dan
kemudian secara terus-menerus digunakan dengan data
primer. Setelah data primer diperoleh dari penelitian di
lapangan, kedua data tersebut digabung, ditelaah dan
dianalisis.

-Pendekatan : Dalam penulisian skripsi ini menggunakan 3 jenis pendekatan


masalah yaitu :
a. Pendekatan Kasus (The Case Approach)
b. Pendekatan Fakta (The Fact Approach)
c. Pendekatan Sejarah (Historical Approach)

-Jenis dan sumber : a. Data Primer


data / bahan hukum Teknik pengumpulan data primer adalah dengan
melakukan wawancara, karena wawancara
merupakan salah satu teknik yang sering dan paling
lazim digunakan dalam penulisan hukum empiris.
Wawancara ini bukan sekedar bertanya pada
seseorang, melainkan dilakukan pertanyaan-
pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh
jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah
penelitian kepada informan. Agar hasil wawancara
nanti memiliki nilai validitas dan realibitas, dalam
berwawancara peneliti menggunakan alat berupa
pedoman wawancara atau interview guide. Melalui
hasil wawancara yang dilakukan dengan warga yang
melakukan pernikahan sehingga mengalami
perpindahan agama.
b. Data Sekunder
Bahan hukum primer meliputi KUHPerdata, bahan-
bahan kepustakan, dokumen, arsip, artikel, makalah,
literatur, majalah serta surat kabar.Selain itu
dilakukan pula penelitian lapangan yang dilakukan
untuk menunjang data primer.

-Analisis data / : Analisis data yang dilakukan menggunakan metode analisis


bahan hukum deskriptif, yaitu sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.
Pendekatan ini diarahkan pada latar belakang individu secara
holistik (utuh). Jadi dalam hal ini tidak boleh
mengisolisasikaan individu atau institusi ke dalam variabel
atau hipotesis tetapi perlu memandangnya sebagai bagian
dari suatu keutuhan.
BAB IV PEMBAHASAN Berangkat dari perumusan Bab I, hasil penelitian ini akan
mengungkapkan mengenai hak dan kewajiban ahli waris
beralih agama terhadap pewaris, keluarga, masyarakat dan
beralih agama tetap memungkinkan ahli waris mempunyai
hak mewaris harta warisan orang tuanya.

Pada umumnya Hukum Adat Waris merupakan bagian


terpenting dalam Hukum Adat yang terkait dengan Hukum
Kekeluargaan dan Hukum Perkawinan, dalam hal akibat-
akibat hubungan keluarga terhadap harta warisan yang
ditinggalkan serta bentuk perkawinan yang dilakukan oleh
masing-masing masyarakat tersebut.

Hukum Adat Waris yang dipergunakan di sini adalah


Hukum Adat Waris Bali, yang membatasi kedudukan mewaris
ahli waris beralih agama dari agama Hindu ke agama Islam.
Hasil wawancara yang telah dilakukan oleh penulis dengan
responden bahwa menurut data yang ada.......

BAB V PENUTUP
Kesimpulan : Dari keseluruhan uraian tersebut di atas, maka dapatlah
ditarik kesimpulan sebagai intisari dari uraian permasalahan
tersebut sebagai berikut :

Saran : Sebagai sumbangan pemikiran dalam menhadapi dan


memecahkan permasalahan hukum di masyarakat khususnya
masalah tentang kedudukan ahli waris beralih agama
terhadap harta warisan orang tuanya menurut Hukum Adat
Bali, maka penulis menyarankan sebagai berikut :
........

DAFTAR PUSTAKA : 1 I Gede Pudja. 1982. Pedoman Penghayatan dan


Pengamalan Pancasila dan Ajaran Hindu Dharma. Cet. IV.
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha
Departemen Agama RI. h. 68.
2 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Seminar Hukum
Adat dan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, Bandung,
1976, h. 251.
3 Gede Penetje. 2004. Aneka Catatan Tentang Hukum Adat
Bali. CV. Kayumas Agung. Denpasar. h 101. (selanjutya
disebut Gede Penetje I)
4 I Gusti Ketut Sutha. 1987. Bunga Rampai Beberapa
Aspekta Hukum Adat. Liberty.Yogyakarta. h. 105
5 Hilman Hadikusuma. 1980. Pokok Pokok Pengertian
Hukum Adat. Bandung: Alumni.h.67 (selanjutnya disingkat
Hilman Hadikusuma I
6 R. Soepomo. 1986. Bab Bab Tentang Hukum Adat.
Jakarta: Pradnya Paramita. h.35 (selanjutnya disebut R.
Soepomo I)
7 Ayu Putu Nantri. 1982. Kedudukan Ahli Waris Yang Beralih
Agama Menurut Hukum Adat Waris di Kabupaten Badung.
Laporan Penelitian. Denpasar h. 34 (selanjutnya disebut R.
Soepomo I)
8 ......

Anda mungkin juga menyukai