Anda di halaman 1dari 7

Learning objective..!

1. Definisi dan tipe herbal medicine fitofarmaka


Jawaban :
obat tradisional ialah bahan atau ramuan bahanyang berasal dari tumbuhan, hewan, mineral,
sediaan sarian(galenik) atau campuran dari bahan tersebut, yang secaraturun temurun telah
digunakan untuk pengobatanberdasarkan pengalaman. Obat tradisional Indonesia atau obat asli
Indonesia yang lebih dikenal dengan nama jamu,umumnya campuran obat herbal, yaitu obat
yang berasal dari tanaman. Bagian tanaman yang digunakan dapat berupaakar, batang, daun,
umbi atau mungkin juga seluruh bagian tanaman.
Fitofarmaka adalah obat dari bahan alam terutama darialam nabati, yang khasiatnya jelas dan
terbuat dari bahan baku, baik berupa simplisia atau sediaan galenik yang telahmemenuhi
persyaratan minimal, sehingga terjamin kese-ragaman komponen aktif, keamanan dan
kegunaannya.
Sumber : Hedi w, pengembangan obat tradisional indonesia menjadi fitofarmaka,dept
farmakologi fk UI, majalah kedokteran indonesia vol 57 no 7 th 2007, jakarta.

2. Mengetahui step tahapan uji preklinik dan uji klinik


Jawaban :
Tahapan Pengembangan Obat Tradisional Indonesia Agar obat tradisional dapat
diterima di pelayanan kesehatan formal/profesi dokter, maka hasil data empirik harus didukung
oleh bukti ilmiah adanya khasiat dan keamanan penggunaannya pada manusia. Bukti tersebut
hanya dapat diperoleh dari penelitian yang dilakukan secara sistematik. Tahapan
pengembangan obat tradisional menjadi fitofarmaka adalah sebagai berikut :
1. Seleksi
2. Uji preklinik, terdiri atas uji toksisitas dan uji farma- kodinamik
3. Standarisasi sederhana, penentuan identitas dan pem- buatan sediaan terstandar
4. Uji klinik

Tahap Seleksi Sebelum memulai penelitian, perlu dilakukan pemilihan jenis obat
tradisional/obat herbal yang akan diteliti dan dikembangkan. Jenis obat tradisional/obat herbal
yang diprioritaskan untuk diteliti dan dikembangkan adalah :
1. Diharapkan berkhasiat untuk penyakit yang menduduki urutan atas dalam angka kejadiannya
(berdasarkan pola penyakit)
2. Berdasarkan pengalaman berkhasiat untuk penyakit tertentu
3. Merupakan alternatif jarang untuk penyakit tertentu, seperti AIDS dan kanker.

Tahap Uji Preklinik


Uji preklinik dilaksanakan setelah dilakukan seleksi jenis obat tradisional yang akan
dikembangkan menjadi fitofarmaka. Uji preklinik dilakukan secara in vitro dan in vivo pada
hewan coba untuk melihat toksisitas dan efek farmakodinamiknya. Bentuk sediaan dan cara
pemberian pada hewan coba disesuaikan dengan rencana pemberian pada manusia. Menurut
pedoman pelaksanaan uji klinik obat tradisional yang dikeluarkan Direktorat Jenderal POM
Departemen Kesehatan RI hewan coba yang digunakan untuk sementara satu spesies tikus atau
mencit, sedangkan WHO menganjurkan pada dua spesies. Uji farmakodinamik pada hewan
coba digunakan untuk memprediksi efek pada manusia, sedangkan uji toksisitas dimaksudkan
untuk melihat keamanannya

Uji Toksisitas
Uji toksisitas dibagi menjadi uji toksisitas akut, sub- kronik, kronik, dan uji toksisitas khusus
yang meliputi uji teratogenisitas, mutagenisitas, dan karsinogenisitas. Uji toksisitas akut
dimaksudkan untuk menentukan LD50 (lethal dose50) yaitu dosis yang mematikan 50% hewan
coba, menilai berbagai gejala toksik, spektrum efek toksik pada organ, dan cara kematian. Uji
LD50 perlu dilakukan untuk semua jenis obat yang akan diberikan pada manusia. Untuk
pemberian dosis tunggal cukup dilakukan uji toksisitas akut. Pada uji toksisitas subkronik obat
diberikan selama satu atau tiga bulan, sedangkan pada uji toksisitas kronik obat diberikan
selama enam bulan atau lebih. Uji toksisitas subkronik dan kronik bertujuan untuk mengetahui
efek toksik obat tradisional pada pemberian jangka lama. Lama pemberian sediaan obat pada
uji toksisitas ditentukan berdasarkan lama pemberian obat pada manusia

Tabel. Hubungan Lama Pemberian Obat pada Manusia dan Lama Pemberian Obat pada Hewan
Coba pada Uji Toksisitas

Lama pemberian pada manusia Lama pemberian obat pada hewan


coba

Dosis tunggal atau <1 minggu 2 minggu 1 bulan


Dosis berulang + 1-4 minggu 4 minggu 3 bulan
Dosis berulang + 1-6 bulan 3-9 bulan
Dosis berulang >6 bulan 9-12 bulan

Uji toksisitas khusus tidak merupakan persyaratan mutlak bagi setiap obat tradisional agar
masuk ke tahap uji klinik. Uji toksisitas khusus dilakukan secara selektif bila :
1. Obat tradisional berisi kandungan zat kimia yang potensial menimbulkan efek khusus
seperti kanker, cacat bawaan
2. Obat tradisional potensial digunakan oleh perempuan usia subur
3. Obat tradisional secara epidemiologik diduga terkait dengan penyakit tertentu misalnya
kanker.
4. Obat digunakan secara kronik

Uji Farmakodinamik
Penelitian farmakodinamik obat tradisional bertujuan untuk meneliti efek farmakodinamik dan
menelusuri mekanisme kerja dalam menimbulkan efek dari obat tradisional tersebut. Penelitian
dilakukan secara in vitro dan in vivo pada hewan coba. Cara pemberian obat tradisional yang
diuji dan bentuk sediaan disesuaikan dengan cara pemberiannya pada manusia. Hasil positif
secara in vitro dan in vivo pada hewan coba hanya dapat dipakai untuk perkiraan ke- mungkinan
efek pada manusia

Uji klinik Obat tradisional


Untuk dapat menjadi fitofarmaka maka obat tradisional/ obat herbal harus dibuktikan khasiat
dan keamanannya melalui uji klinik. Seperti halnya dengan obat moderen maka uji klinik
berpembanding dengan alokasi acak dan tersamar ganda (randomized double-blind controlled
clinical trial) merupakan desain uji klinik baku emas (gold standard). Uji klinik pada manusia
hanya dapat dilakukan apabila obat tradisional/obat herbal tersebut telah terbukti aman dan
berkhasiat pada uji preklinik. Pada uji klinik obat tradisional seperti halnya dengan uji klinik
obat moderen, maka prinsip etik uji klinik harus dipenuhi. Sukarelawan harus mendapat
keterangan yang jelas mengenai penelitian dan memberikan informed-consent sebelum
penelitian dilakukan. Standar- disasi sediaan merupakan hal yang penting untuk dapat
menimbulkan efek yang terulangkan (reproducible). Uji klinik dibagi empat fase yaitu:
- Fase I : dilakukan pada sukarelawan sehat, untuk me- nguji keamanan dan tolerabilitas
obat tradisio- nal
- Fase II awal: dilakukan pada pasien dalam jumlah terbatas, tanpa pembanding Fase II
akhir:dilakukan pada pasien jumlah terbatas, dengan pembanding
- Fase III : uji klinik definitif
- Fase IV : pasca pemasaran,untuk mengamati efek sam- ping yang jarang atau yang lambat
timbulnya
Untuk obat tradisional yang sudah lama beredar luas di masyarakat dan tidak menunjukkan
efek samping yang merugikan, setelah mengalami uji preklinik dapat langsung dilakukan uji
klinik dengan pembanding. Untuk obat tradisional yang belum digunakan secara luas harus
melalui uji klinik pendahuluan (fase I dan II) guna mengetahui tolerabilitas pasien terhadap
obat tradisional tersebut. Berbeda dengan uji klinik obat modern, dosis yang digunakan
umumnya berdasarkan dosis empiris tidak didasarkan dose-ranging study. Kesulitan yang
dihadapi adalah dalam melakukan pembandingan secara tersamar dengan plasebo atau obat
standar. Obat tradisional mungkin mempunyai rasa atau bau khusus sehingga sulit untuk dibuat
tersamar.
Sumber : Hedi w, pengembangan obat tradisional indonesia menjadi fitofarmaka,dept
farmakologi fk UI, majalah kedokteran indonesia vol 57 no 7 th 2007, jakarta.

3. Mengetahui penggunaan obat herbal


Jawaban :
Obat herbal telah diterima secara luas di hampir seluruh Negara di dunia. Menurut WHO,
negara-negara di Afrika, Asia dan Amerika Latin menggunakan obat herbal sebagai pelengkap
pengobatan primer yang mereka terima. Bahkan di Afrika, sebanyak 80% dari populasi
menggunakan obat herbal untuk pengobatan primer (WHO, 2003).Faktor pendorong terjadinya
peningkatan penggunaan obat herbal di negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih
panjang pada saat prevalensi penyakit kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat
modern untuk penyakit tertentu di antaranya kanker serta semakin luas akses informasi
mengenai obat herbal di seluruh dunia.

WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam pemeliharaan


kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit, terutama untuk penyakit kronis,
penyakit degeneratif dan kanker. WHO juga mendukung upaya-upaya dalam peningkatan
keamanan dan khasiat dari obat tradisional (WHO, 2003). Penggunaan obat tradisional secara
umum dinilai lebih aman dari pada penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat
tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern.

Efek samping obat tradisional relatif kecil jika digunakan secara tepat, yang melliputi :
1. Kebenaran bahan : lempuyang emprit dan gajah berkhasiat sebagai penambah nafsu
makan, lempuyang wangi berkhasiat sebagai pelangsing.
2. Ketetapan dosis : Takaran yang tepat dalam penggunaan obat tradisional memang belum
banyak didukung oleh data hasil penelitian. Peracikan secara tradisional menggunakan
takaran sejumput, segenggam atau pun seruas yang sulit ditentukan ketepatannya.
Penggunaan takaran yang lebih pasti dalam satuan gram dapat mengurangi kemungkinan
terjadinya efek yang tidak diharapkan karena batas antara racun dan obat dalam bahan
tradisional amatlah tipis. Dosis yang tepat membuat tanaman obat bisa menjadi obat,
sedangkan jika berlebih bisa menjadi racun.
3. Ketetapan waktu penggunaan : Kunyit diketahui bermanfaat untuk mengurangi nyeri haid
dan sudah turun-temurun dikonsumsi dalam ramuan jamu kunir asam yang sangat baik
dikonsumsi saat datang bulan. Akan tetapi jika diminum pada awal masa kehamilan
beresiko menyebabkan keguguran. Hal ini menunjukkan bahwa ketepatan waktu
penggunaan obat tradisional menentukan tercapai atau tidaknya efek yang diharapkan.
4. Ketetapan cara penggunaan : Satu tanaman obat dapat memiliki banyak zat aktif yang
berkhasiat di dalamnya. Masing-masing zat berkhasiat kemungkinan membutuhkan
perlakuan yang berbeda dalam penggunaannya. Sebagai contoh adalah daun Kecubung jika
dihisap seperti rokok bersifat bronkodilator dan digunakan sebagai obat asma. Tetapi jika
diseduh dan diminum dapat menyebabkan keracunan / mabuk
5. Ketetapan telaah informasi
6. Tanpa penyalahgunaan
7. Ketetapan pemilihan obat untuk indikasi tertentu.

Sumber : lusia O, 2006, pemanfaatan obat tradisional dengan pertimbangan manfaat dan
keamanannya, vol III no I,staf pengajar prog studi farmasi univ jember, majalah ilmu
kefarmasian, jember.

4. Proses standarisasi pada herbal


Jawaban :
Standarisasi didefinisikan sebagai petunjuk penetapan kualitas produk obat herbal yang
mengatur preparasi produkobat herbal meliputi isi dari konstituen atau kelompok dari senyawa-
senyawa dengan efek terapeutik.

Standarisasi Ekstrak Herbal


Pembuatan Simplisia
Sediaan obat tradisional atau herbal dibuat dari simplisia tanaman atau bagian dari
hewan, atau mineral dalam keadaan segar atau telah dikeringkan dan diawetkan. Agar
sediaan obat tradisional atau herbal tersebut dapat dipakai dengan aman, terjaga
keseragaman mutu dan kadar kandungan senyawa aktifnya, maka diperlukan
standardisasi. Sebelum melalui tahap standardisasi sediaan, maka diperlukan
standardisasi bahan baku simplisia, yang meliputi :
- Bahan baku simplisia
- Dapat berupa tumbuhan liar atau berupa tumbuhan budidaya
- Proses pembuatan simplisia termasuk cara penyimpanan bahan baku simplisia

Cara pengepakan dan penyimpanan simplisia (Depkes RI, 1985).


a.Pengumpulan Bahan Baku
Kualitas bahan baku simplisia sangat dipengaruhi beberapa faktor, seperti :
umur tumbuhan atau bagian tumbuhan pada waktu panen, bagian tumbuhan, waktu
panen dan lingkungan tempat tumbuh.
b.Sortasi
Sortasi dilakukan untuk memisahkan kotoran kotoran atau bahan bahan
asing lainnya dari bahan simplisia sehingga tidak ikut terbawa pada proses selanjutnya
yang akan mempengaruhi hasil akhir. Sortasi terdiri dari dua cara, yaitu:
- Sortasi basah : Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau
bahan asing lainnya setelah dilakukan pencucian dan perajangan.
- Sortasi kering : Sortasi kering bertujuan untuk memisahkan benda-benda asing
seperti bagian-bagian tumbuhan yang tidak diinginkan dan pengotoran lain yang
masih ada dan tertinggal pada simplisia kering.

c.Pengeringan
Pengeringan dilakukan agar memperoleh simplisia yang tidak mudah rusak,
sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama. Pengeringan dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu pengeringan secara alami dan secara buatan. Pengeringan alami
dilakukan dengan memanfaatkan sinar matahari baik secara langsung maupun ditutupi
dengan kain hitam. Sedangkan pengeringan secara buatan dilakukan dengan oven.
Bahan simplisia dapat dikeringkan pada suhu 50-60c

d.Pengemasan dan Penyimpanan


Pengepakan simplisia dapat menggunakan wadah yang inert, tidak beracun,
melindungi simplisia dari cemaran serta mencegah adanya kerusakan.Sedangka
penyimpanan simplisia sebaiknya di tempat yang kelembabannya rendah, terlindung
dari sinar matahari, dan terlindung dari gangguan serangga maupun tikus.

Standardisasi Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai bahan obat, kecuali
dipergunakan sebagai bahan obat, kecuali dinyatakan lain berupa bahan yang telah
dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia terdiri dari simplsiia
nabati, hewani dan mineral. nabati, hewani dan mineral. Simplisia nabati adalah
simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau eksudat tanaman. Yang di
maksud eksudat tanaman adalah isi sel yang secara spontan keluar dari selnya atau zat-
zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya. Simplisia
hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh atau zat-zat yang berguna yang
dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni. Simplisia pelikan atau
mineral adalah simplisia yang berupa bahan pelikan atau mineral yang belum diolah
dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni. Untuk menjamin
keseragaman senyawa aktif, keamanan maupun kegunaan simplisia harus memenuhi
persyaratan minimal untuk standardisasi simplisia. Standardisasisimplisia mengacu
pada tiga konsep antara lain sebagai berikut:

Simplisia sebagai bahan baku harus memenuhi 3 parameter mutu umum


(nonspesifik) suatu bahan yaitu kebenaran jenis (identifikasi), kemurnian, aturan
penstabilan (wadah, penyimpanan, distribusi) Simplisia sebagai bahan dan produk siap
pakai harus memenuhi trilogi Quality-Safety-Efficacy Simplisia sebagai bahan dengan
kandungan kimia yang berkontribusi terhadap respon biologis, harus memiliki
spesifikasi kimia yaitu komposisi (jenis dan kadar) senyawa kandungan.

Kontrol kualitas merupakan parameter yang digunakan dalam proses


standardisasi suatu simplisia. Parameter standardisasi simplisia meliputi parameter non
spesifik dan spesifik. Parameter nonspesifik lebih terkait dengan faktor lingkungan
dalam pembuatan simplisia sedangkan parameter spesifik terkait langsung dengan
senyawa yang ada di dalam tanaman. Penjelasan lebih lanjut mengenai parameter
standardisasi simplisia sebagai berikut:

1. Kebenaran simplisia
Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan dengan cara organoleptik,
makroskopik dan mikroskopik. Pemeriksaan organoleptik dan makroskopik dilakukan
dengan menggunakan indera manusia dengan memeriksa kemurnian dan mutu
simplisia dengan mengamati bentuk dan ciri-ciri luar serta warna dan bau simplisia.
Sebaiknya pemeriksaan mutu organoleptik dilanjutkan dengan mengamati ciri-ciri
anatomi histologi terutama untuk menegaskan keaslian simplisia.
a. Parameter non spesifik
Parameter non spesifik meliputi uji terkait dengan pencemaran yang
disebabkan oleh pestisida, jamur, aflatoxin, logam berat, penetapan kadar abu, kadar
air, kadar minyak atsiri, penetapan susut pengeringan.

b. Parameter spesifik
Parameter ini digunakan untuk mengetahui identitas kimia dari simplisia.Uji
kandungan kimia simplisia digunakan untuk menetapkan kandungan senyawa tertentu
dari simplisia. Biasanya dilkukan dengan analisis kromatografi lapis tipis.

Standardisasi Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif
dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang
diperoleh diperlukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan.
Standardisasi ekstrak tidak lain adalah serangkaian parameter yang dibutuhkan
sehingga ekstrak persyaratan produk kefarmasian sesuai dengan persyaratan yang
berlaku.
Ekstrak terstandar berarti konsistensi kandungan senyawa aktif dari setiap batch
yang diproduksi dapat dipertahankan, dan juga dapat mempertahankan pemekatan
kandungan senyawa aktif pada ekstrak sehingga dapat mengurangi secara signifikan
volume permakaian per dosis, sementara dosis yang diinginkan terpenuhi, serta ekstrak
yang diketahui kadar senyawa aktifnya ini dapat dipergunakan sebagai bahan
pembuatan formula lain secara mudah seperti sediaan cair , kapsul, tablet, dan lain-lain.
1.Parameter Non Spesifik

a. Susut Pengeringan
Susut pengeringan merupakan pengukuran sisa zat setelah pengeringan pada
temperatur 105oC selama 30 menit atau sampai konstan, yang dinyatakan dalam
porsen. Dalam hal khusus (jika bahan tidak mengandung minyak menguap/atsiri dan
sisa pelarut organik) identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena berada di
atmosfer/lingkungan udara terbuka
b. Bobot Jenis
Parameter bobot jenis ekstrak merupakan parameter yang mengindikasikan spesifikasi
ekstrak uji. Parameter ini penting, karena bobot jenis ekstrak tergantung pada jumlah
serta jenis komponen atau zat yang larut didalamnya
c. Kadar air
Kadar air adalah banyaknya hidrat yang terkandung zat atau banyaknya air yang diserap
dengan tujuan untuk memberikan batasan minimal atau rentang tentang besarnya
kandungan air dalam bahan
d. Kadar abu
Parameter kadar abu merupakan pernyataan dari jumlah abu fisiologik bila simplisia
dipijar hingga seluruh unsur organik hilang. Abu fisiologik adalah abu yang diperoleh
dari sisa pemijaran.

2.Parameter Spesifik
A. Identitas
Identitas ekstrak dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Deskripsi tata nama:
Nama Ekstrak (generik, dagang, paten)
Nama latin tumbuhan (sistematika botani
Bagian tumbuhan yang digunakan (rimpang, daun, buah,)
Nama Indonesia tumbuhan
Ekstrak dapat mempunyai senyawa identitas artinya senyawa tertentu yang
menjadi petunjuk spesifik dengan metode tertentu. Parameter identitas ekstrak
mempunyai tujuan tertentu untuk memberikan identitas obyektif dari nama dan
spesifik dari senyawa identitas

B. Organoleptik
Parameter oranoleptik digunakan untuk mendeskripsikan bentuk, warna, bau,
rasa menggunakan panca indera dengan tujuan pengenalan awal yang sederhana
dan seobyektif mungkin.

C. Kadar sari
Parameter kadar sari digunakan untuk mengetahui jumlah kandungan senyawa
kimia dalam sari simplisia. Parameter kadar sari ditetapkan sebagai parameter uji
bahan baku obat tradisional karena jumlah kandungan senyawa kimia dalam sari
simplisia akan berkaitan erat dengan reproduksibilitasnya dalam aktivitas
farmakodinamik simplisia tersebut

D. Pola kromatogram
Pola kromatogram mempunyai tujuan untuk memberikan gambaran awal
komponen kandungan kimia berdasarkan pola kromatogram kemudian
dibandingkan dengan data baku yang ditetapkan terlebih dahulu.

Sumber : depkes 2000, farmakope indonesia dan ilmu galenik

Anda mungkin juga menyukai