disusun oleh:
Dikry Feisal R. NIM 1503582
Ersa Isdiyanti NIM 1503834
Indri Putri Dwi Y. NIM 1506688
Muhamad Afrizal NIM 1500030
BANDUNG
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
tentang Perlawanan Terhadap Pemerintah Kolonial Belanda pada abad ke-17 sampai
abad ke-19 di Wilayah Makasar, Maluku, Bali, dan Kalimantan Selatan Barat ini
dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima
kasih pada Bapak Dr. Agus Mulyana, Bapak Tarunasena, M. Pd. dan Bapak Moch.
Eryck Kamsori, S. Pd. selaku Dosen mata kuliah Sejarah Kolonialisme Barat di
Indonesia UPI yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai sejarah kolonialisme barat di Indonesia.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................ii
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................3
A. Kesimpulan...........................................................................................................33
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada abad ke-19 pengaruh kekuasaan politik kolonial Belanda semakin besar
pengaruhnya terhadap wilayah yang ada di Nusantara. Pengaruh yang
ditimbulkan kolonial Belanda banyak sekali yang menyengsarakan rakyat. Hal
ini menimbulkan suatu rekasi untuk lepas dari pengaruh ketidak sewenangan
tersebut. Salah satu bentuk reaksi perlawanan yang ditunjukan rakyat adalah
melalui peperangan.
1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana jalannya perlawanan rakyat pada abad ke-19 terhadap kolonial
Belanda di daerah Makassar?
2. Bagaimana jalannya perlawanan rakyat pada abad ke-19 terhadap kolonial
Belanda di daerah Maluku?
3. Bagaimana jalannya perlawanan rakyat pada abad ke-19 terhadap kolonial
Belanda di daerah Bali?
4. Bagaimana jalannya perlawanan rakyat pada abad ke-19 terhadap kolonial
Belanda di daerah Kalimantan Selatan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui jalannya perlawanan rakyat pada abad ke-19 terhadap
kolonial Belanda di daerah Makassar;
2. untuk mengetahui jalannya perlawanan rakyat pada abad ke-19 terhadap
kolonial Belanda di daerah Maluku;
3. untuk mengetahui jalannya perlawanan rakyat pada abad ke-19 terhadap
kolonial Belanda di daerah Bali;
4. untuk mengetahui jalannya perlawanan rakyat pada abad ke-19 terhadap
kolonial Belanda di daerah Kalimantan Selatan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
termasuk wilayah Bone. Sehubungan dengan itu, salah satu penguasa Bone,
Arung Palaka, berusaha melepaskan diri dari Kerajaan Gowa.
Salah satu pertempuran terbesar yang terjadi sebagai usaha Arung Palaka
dalam mempertahankan Kerajaan Bone terjadi pada tahun 1660. Namun pada
kenyataannya, Arung Palaka menyadari bahwa basis kekuatannya dalam
melawan Kerajaan Gowa, tidaklah sebanding dan hanya akan menimbulkan
kerugian yang besar bagi Kerajaan Bone. Oleh karena itu, ia berusaha untuk
meninggalkan daerahnya dan berhasil mendapatkan perlindungan dari Sultan
Buton, dan akhirnya berhasil menyingkir ke Batavia (Patunru, 1967, hlm.42).
Dengan dasar itu, lahirlah kerja sama antara Arung Palaka dan Belanda untuk
menghadapi Sultan Hassanudin. Dalam hubungan itu, Kerajaan Gowa (Sultan
Hassanudin) dibantu sepenuhnya oleh Kerajaan Wajo, dan Kerajaan Bone (Arung
Palaka) dibantu sepenuhnya oleh Kerajaan Soppeng.
Kerjasama antara kedua kekuatan ini pada akhirnya mengakhiri kekuasaan
Gowa terhadap Bone dan Sultan Hassanudin harus menerima kenyataan bahwa
Belanda akan memegang monopoli perdagangan di Sulawesi Selatan. Arung
Palaka berhasil membebaskan Kerajaan Bone dari kekuasaan Kerajaan Gowa,
dan kemudian diangkat sebagai Raja Bone. Upaya Belanda dalam memanfaatkan
situasi politik pada saat itu dengan menawarkan bantuan pada Kerajaan Bone,
membawa keuntungan besar bagi pihak Belanda karena dengan begitu Belanda
berhasil menguasai Sulawesi Selatan dan kekuasaannya tersebut diakui oleh
kerajaan lainnya seperti, Lamuru, Mario, Soppeng, dan Wajo.
Namun upaya perlawanan yang dilakukan oleh kerjaan-kerajaan di Sulawesi
Selatan tidak berakhir begitu saja. Hal ini tampak ketika para penguasa kerajaan
melakukan usaha untuk melepaskan diri dari pihak Belanda dengan dibantu oleh
para bajak laut, pasukan-pasukan kerajaan dan Kerajaan Wajo melakukannya
pada tahun 1710. Perlawanan yang kuat berhasil kembali di lakukan ketika
Lamaddukkeleng menjadi Arung Matoa Wajo. Ia berhasil membangun kekuatan
kembali bersama Kerajaan Gowa. Usaha itu berhasil ketika Pabbicara Butta
Gowa, yaitu La Maplasepe Karaeng Bontolangkasa, juga sangat tidak senang
dengan kekuasaan Belanda. Pada tahun 1739 kedua tokoh anti Belanda itu
melakukan serangan dalam bentuk menyerang beberapa daerah kekuasaan
4
Belanda di Makassar. Akan tetapi serangan-serangan yang dilakukan oleh Wajo
dan Lowa itu tidak berhasil, karena orang-orang Bone yang berhasil dipengaruhi
mantan permaisuri Raja Bone yang lari ke Makassar dan mendapat perlindungan
dari Belanda. Arung Matoa Wajo Lamaddukkeleng adalah seorang raja Wajo
yang hampir seluruh mata pemerintahannya dipenuhi oleh usaha-usaha untuk
mengusir Belanda dari Sulawesi Selatan. Akan tetapi usahanya dapat dikatakan
tidak berhasil, bahkan sampai pada saat akhir pengunduran dirinya pun pada
tahun 1754 beliau tetap melakukan usaha-usahanya untuk melawan Belanda.
Pada tahun 1811 terjadi perubahan penguasa kolonial di Nusantara, wilayah
Nusantara termasuk Sulawesi Selatan berada dibawah pemerintahan kolonial
Inggris. Namun hal tersebut tidak membawa perubahan yang berarti, pola
penjajahan Inggris tetap sama dengan Belanda. Adanya kekuasaan Inggris di
Sulawesi Selatan mendapatkan berbagai pertentangan dari kerajaan setempat,
Kerajaan Bone salah satunya yang beranggapan bahwa Kerajaan Bone
merupakan negara yang merdeka. Sikap pertentangan dari Kerajaan Bone,
Tanete, dan Suppa masih ditunjukan ketika Belanda kembali ke Sulawesi Selatan
pada tahun 1816. Lain halnya dengan Kerajaan Gowa yang bersikap lebih lunak
kepada Belanda. Banyak penguasa Sulawesi Selatan yang beranggapan bahwa
hubungan mereka sebelumnya dengan pihak Belanda telah putus karena
menyerahnya Belanda kepada Inggris pada tahun 1811 dan bahwa Perjanjian
Bongaya (1667) tidak lagi mempunyai kekuatan hukum (Ricklefs, 2005, hlm.
207). Hal tersebut menunjukan bahwa kekuasaan Belanda di Sulawesi Selatan
tidak cukup mampu untuk menekan sama sekali kekuasaan raja-raja kerajaan
Sulawesi Selatan. Agar kekuatannya bertambah, penguasa kolonial melakukan
pendekatan kepada beberapa raja yang bersedia memihak padanya, dengan upaya
kolonial Belanda yang bermaksud untuk melakukan perubahan terhadap
perjanjian Bongaya. Sulawesi Selatan merupakan suatu tantangan besar bagi
pihak Belanda.
2. Jalannya Proses Perlawanan
5
mempertahankan wilayah kerajaannya dari serangan tersebut, tetapi mereka gagal
karena kekuatan yang kurang seimbang. Karena Raja La Patau menyadari
kekuatan yang tidak seimbang, maka dari itu ia segera mengundurkan diri dan
menyerahkan takhta kerajaan kepada saudara perempuannya, Da Eng
Tanningsangsa. Raja ini diakui oleh Belanda karena bersedia menandatangani
perubahan Perjanjian Bongaya yang dikehendaki oleh Belanda (Patunru, 1967,
hlm. 3). Dengan demikian, Kerajaan Tanete berhasil dikuasai oleh Belanda.
Untuk menjaga perlawanan yang mungkin timbul lagi, Belanda mendirikan pos-
pos di tempat-tempat yang strategis.
Bekas Raja La Patau kemudian mendapat pengampunan, bahkan kemudian
diangkat kembali sebagai Arung Matoa. Akan tetapi, raja ini tidak dapat
dikendalikan oleh Belanda, justru kemudian melakukan perlawanan terhadap
kekuasaan Belanda. Penentangan La Patau terus berlangsung sampai akhirnya, ia
harus meninggalkan daerahnya karena tidak mampu menghadapi kekuatan
Belanda yang dibantu oleh beberapa raja lainnya. Dia kemudian digantikan oleh
Larumpung Megga Dulung Lamuru yang diangkat oleh Belanda (Patunru, 1967,
hlm. 3).
Pada tanggal 4 Agustus 1824, Belanda mendarat di daerah Pare-Pare, yaitu
kota pelabuhan yang terletak beberapa kilometer (sebelah selatan) dari Suppa, di
bawah pimpinan Letnan Laut Buys. Kedatangan pihak Belanda disambut dengan
perlawanan yang kuat oleh pasukan Suppa. Saat pertempuran tersebut terjadi,
Belanda dibantu oleh pasukan dari beberapa kerajaan lainnya seperti Kerjaan
Sidenreng. Meskipun mendapat bala bantuan dari pasukan Sidenreng, pada
akhirnya Belanda harus menerima kekalahan dari Kerjaan Suppa.
Setelah pertempuran tersebut selesai, Belanda menyadari bahwa Suppa
merupakan kerjaan yang cukup tangguh dan kuat untuk dikalahkan, maka dari itu
Belanda berusaha membangun kembali kekuatan pasukan gabungannya dengan
Kerajaan Sidenreng untuk dikirimkan ke Suppa. Penyerangan ke Suppa kembali
dilakukan pada bulan Agustus 1824. Pada pertempuran tersebut, Belanda berhasil
mempertahankan diri dari serangan pasukan-pasukan Suppa, mesikupun pada
akhirnya Belanda harus kehilangan beberapa orang perwiranya yang tewas
seperti Letnan Bauff, van Pelt, dan Banhoff. Pasukan Suppa terus melakukan
6
perlawanan dengan bersembunyi di dalam lubang-lubang dan parit-parit, pasukan
Suppa melakukan berbagai gangguan terhadap pasukan Belanda yang sedang
berjaga-jaga di pos-pos atau yang sedang berpatroli. Jika dilihat dari segi
geografis, Suppa merupakan sebuah negara kecil. Namun, perlawanan yang
dilakukannya terhadap penguasa kolonial Belanda cukup tangguh dan
menyulitkan posisi Belanda di Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, pimpinan
militer Belanda mengirimkan sebuah pasukan bantuan untuk memperkuat
pasukan ekspedisi yang dikirimkan itu. Pada tanggal 23 Agustus 1824 sebuah
kapal perang yang membawa 110 orang serdadu infanteri yang membawa serta
10 pucuk meriam tiba di pelabuhan Pare-Pare. Suppa kemudian dikepung oleh
gabungan pasukan Belanda dan Sidenreng yang berkekuatan kurang lebih 2000
orang. Akan tetapi pada akhirnya usaha ini pun berhasil di gagalkan, karena
pihak Sidenreng yang mengundurkan diri karena salah seorang anak
pemimpinnya menderita luka berat (Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm.
219).
Kegagalan tersebut belum juga mampu mendorong Belanda mengurungkan
maksudnya untuk menghancurkan Suppa. Belanda tetap melakukan
penyerangannya yang sudah sekian kali gagal itu, dengan kembali menerima
bantuan dari pasukan Sinereng dengan jumlah yang lebih besar. Namun pada
kenyataannya pihak Belanda harus menerima kembali kegagalannya, salah satu
penyebabnya adalah karena semangat perang di dalam diri pasukan-pasukan
Sinereng yang sudah menurun dan membuat Belanda harus bersandar pada
kekuatannya sendiri.
Di lain pihak, Kerajaan Bone juga tetap melanjutkan usaha perlawanannya
terhadap kekuasaan Belanda, dalam bentuk penyerangan-penyerangan terhadap
pos-pos Belanda yang berada di Pangkajene dan di Labbakang, juga berhasil
menduduki wilayah Tanete yang saat itu dikuasai oleh Belanda. Dan pada
akhrinya Bone juga berhasil menguasai jalan penting yang menghubungkan
Makassar dan Maros yang terletak di sebelah utara Makassar, karena
kemenangannya dalam pertempuran melawan Belanda yang pada saat itu
dibawah pimpinan Kapten La Clerq. Keadaan pasukan Bone memang sangat kuat
dan mempu melakukan penyerangan yang sangat membahayakan. Wilayah
7
kerajaan berhasil diperluas dengan melakukan ekspedisi dan mengusir penguasa
yang diangkat oleh pihak Belanda sampai ke wilayah seluruh Semenanjung
Sulawesi Selatan. Dengan demikian, keadaan Belanda semakin terjepit dan
situasi membahayakan tersebut mendorong gubernur jenderal untuk mengerahkan
kekuatan militer yang masih ada paadanya.
3. Akhir Perlawanan
Dengan posisi Kerajaan Bone yang cukup tangguh bagi Belanda, hal tersebut
membuat Belanda berupaya lebih keras untuk memperkuat posisinya dengan
melakukan ekspedisi-ekspedisi militer besar-besaran untuk mengalahkan Bone.
Belanda menyadari bahwa Bone merupakan penghalang dalam upaya Belanda
memperluas wilayah kekuasaannya di Sulawesi Selatan, oleh karena itu hal
tersebut mendapat perhatian khusus dari pemerintah Belanda di Batavia yang
kemudian mengirimkan pasukan ekspedisi berkekuatan besar yang dipimpin oleh
Mayor Jenderal van Geen. Tugas utamanya adalah memperkuat pasukan Belanda
dan menarik simpati sebanyak mungkin dari penguasa-penguasa setempat untuk
menghadapi Kerajaan Bone.
Akhirnya pasukan van Geen bergerak ke daerah selatan berhadapan dengan
pasukan Bone yang berkedudukan di Bonthain. Dalam pertempuran ini pasukan
Belanda berhasil mendesak pasukan Bone. Demikian pula pertahanan Bone di
Bulukumba terpaksa ditinggalkan, dan berhasil di duduki oleh pasukan Belanda.
Pertempuran terjadi pula ketika pasukan Bone yang berkedudukan di benteng-
benteng Kajang dan Sinjai mendapat serangan dari Belanda. Semua benteng
Kerajaan Bone itu pada akhirnya jatuh ke tangan Belanda, walaupun telah
diusahakan untuk dipertahankan oleh pasukan Bone. Salah satu faktor yang
memperlemah kekuatan Bone ialah diserahkannya kedudukan raja Tanete kepada
seorang raja perempuan yang berpihak pada Belanda. Sehingga kekuatan
Belanda menjadi bertambah dengan dukungan yang diberikan pihak Sidenreng
dan Tanete. Dengan sekutunya tersebut, Belanda berharap dapat mengimbangi
kekuatan dari negara-negara lain yang menentangnya seperti Suppa, Segeri,
Labbakang, dan Pangkajene.
Perlawanan-perlawanan yang dilakukan kerajaan-kerajaan di Sulawesi
Selatan sepanjang abad ke-19 tersebut membuktikan bahwa penanaman
8
kekuasaan Belanda di wilayah Sulawesi Selatan tidak dapat dilakukan dengan
mudahnya, dibuktikan dengan banyaknya pertentangan dan perlawanan kuat
yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan setempat. Usaha perlawanan ini tetap
berlangsung sampai abad ke-19 dan awal abad ke-20.
B. Perlawanan terhadap Kolonial Belanda di Maluku
1. Latar Belakang Perlawanan
Penguasaan Maluku oleh VOC dalam abad ke-17 telah memberikan dampak
positif dan dampak negatif yang berupa kepincangan-kepincangan yang
ditimbulkan sistem-sistem saat itu. Dampak positif tersebut dapat dilihat dari
adanya sistem perkebunan cengkih, sistem pemerintahan desa, dan sistem
pendidikan desa. Poesponegoro & Notosusanto (2011, hlm. 179) menjelaskan
bahwa sejak VOC menguasai Maluku dalam abad ke-17, timbul pemukiman-
pemukiman baru dengan nama negeri di daerah pantai Kepulauan Maluku
Tengah. Berangsur-angsur muncul suatu struktur sosial di negeri-negeri yang
merupakan gabungan antara unsur-unsur sistem budaya lama dengan unsur-unsur
yang dimasukkan oleh VOC. Masyarakat negeri di pantai Kepulauan Ambon-
Uliase mendapat hak atas tanah (dati) untuk perkebunan-perkebunan cengkih,
disamping tanah-tanah pusaka milik keluarga masing-masing. Hasil cengkih
setiap dati dijual kepada VOC dengan harga tertentu, sedangkan hasil tanah
pusaka berupa bahan makanan dipakai oleh keluarga (famili) yang
mengerjakannya.
9
pribumi. Poesponegoro & Notosusanto (2011, hlm. 179) menjelaskan bahwa
selama berlangsungnya ekspedisi itu, banyak pemuda negeri yang menjadi
pendayung kora-kora meninggal karena kekurangan makanan atau dibunuh
musuh. Selain itu, waktu yang digunakan sering melebihi waktu yang disepakati,
yaitu tiga bulan dan kebetulan jatuh pada masa panen cengkih (akhir tahun)
tatkala tenaga mereka justru dibutuhkan di dati masing-masing.
Selain itu, kepincangan lain dari sistem yang dibangun oleh VOC adalah
korupsi. Sejak bagian kedua abad ke-18, penyakit ini mulai menjalar
dikalangan pejabat-pejabat Belanda. Mental pedagang yang merupakan ciri
bekas pejabat-pejabat Belanda pada abad ke-17, mulai berganti dengan
mental pegawai pemerintah dalam abad ke-18 sehingga untung rugi
perusahaan sebagai pendorong utama, berganti dengan usaha memperkaya
diri masing-masing. Para residen di daerah-daerah menjual suplai bahan-
bahan keperluan yang disalurkan VOC ke daerah-daerah dengan harga yang
menguntungkan.
Leverantie bahan bangunan merupakan suatu bagian dari sistem VOC sejak
pertengahan abad ke-17 yang mewajibkan negeri-negeri tertentu di Ambon dan
Uliase untuk menyediakan bahan-bahan bangunan dan bahan-bahan untuk
perbaikan kapal dihidupkan kembali oleh pejabat-pejabat Belanda setelah
sebelumnya dihapus oleh pihak Inggris dan seluruh Leverantie bahan bangunan
10
dibayar pihak Inggris. Tindakan tersebut merupakan penyalahgunaan yang
kemudian tidak memuaskan penduduk.
11
berdasarkan laporan dari Johanis Risakotta, seorang guru dari negeri Porto
menyebut persoalan ini sebagai dorongan utama yang menimbulkan perlawanan.
Pada pertemuan tanggal 14 Mei 1817 di Pulau Saparua, para pemuda dan
penguasa-penguasa desa (raja atau patih dan orang kaya) memutuskan untuk
menghancurkan pusat kekuasaan kolonial di banteng Duurstede yang terletak di
pulau Saparua. Keputusan yang sangat dirahasiakan ini diteruskan kepada setiap
negeri di pulau itu. Selain itu, dalam musyawarah di tempat itu juga mereka
memilih Thomas Matulesy sebagai pemimpin perang dengan julukan Pattimura
12
(Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm. 184). Pattimura adalah bekas sersan
mayor dalam tentara milisi Inggris di Ambon ketika Inggris untuk sementara
menduduki Kepulauan Maluku. Setelah Belanda mengambil alih kembali
Maluku, Pattimura dan teman-temannya diberhentikan dan mereka pulang ke
kampong masing-masing. Saat itu Pattimura mengunjungi Saparua dan bertemu
pemuda-pemuda yang dilanda rasa khawatir terhadap kebijakan milisi Belanda
dimana para pemuda akan diangkut secara paksa untuk menjadi serdadu di Pulau
Jawa. Adik Pattimura yang juga merasa khawatir telah mempengaruhi Pattimura
yang akhirnya mereka membulatkan tekad mengadakan perlawan untuk
menentang kebijakan itu.
Perlawanan itu mulai terjadi pada malam hari tanggal 14, saat itu kelompok
pemuda dari desa Porto hampir menggagalkan rencana penyerbuan Duurstede
karena ketidaksabaran. Mereka mendatangi dan membongkar orambay pos
(perahu milik pemerintah) yang sedianya akan mengangkut kayu bahan bangunan
dari Porto ke Ambon. Residen van den Berg pada keesokan harinya berkuda dari
banteng Duurstede ke Porto dan kemudian ditangkap oleh para pemuda. Namun,
Pattimura berhasil menengahi persoalan ini yang kemudian Residen van den Berg
dipulangkan ke Duurstede.
13
Saparua, Kapitan Pattimura sudah bersiap-siap dengan strateginya. Namun,
pasukan ini kemudian mengundurkan diri setelah melihat pasukan Pattimura
mulai menyerbu pantai, mereka segera bergegas kembali ke arombay.
Pengunduran tersebut tidak teratur yang kemudian malah menyebabkan
kehancuran Beetjes. Seluruh pasukan Beetjes termasuk Beetjes sendiri musnah di
Waisisil. Kekalahan ini kembali menimbulkan kegemparan di kalangan
pemerintahan Belanda.
14
persetujuan. Pasukan-pasukan Haruku kemudian menghadapi lawan yang lebih
kuat. Pada pertengahan bulan Juni Gubernur Middelkoop mengirim sebuah
ekspedisi dibawah pimpinan Kapitan Luitenant Groot. Selain itu, para pemuda
terpaksa menghentikan serbuan-serbuan karena adanya patroli-patroli laut di
sekitar Pulau Haruku yang dilakukan oleh kapal-kapal perang Inggris dan Maria
Rijgersbergen.
15
para pemuda menjadi serdadu di luar Maluku dihapusakan dan lain-lain. Jika
Belanda bersedia memenuhi hal-hal tersebut maka mereka bersedia mengadakan
perundingan. Namun, perundingan yang diprakarsai Groot gagal dan peperangan
kembali terjadi. Banteng Duurstede berhasil dikuasai oleh Groot namun, diluar
tembok-temboknya pasukan Pattimura tetap berkuasa.
3. Akhir Perlawanan
Perlawanan yang tidak kunjung reda di Saparua, Haruku, dan Ambon dengan
bantuan pasukan-pasukan Alifuru dari seram itu berlangsung terus dalam bulan
Agustus sampai November (Poesponegoro & Notosusanto,2011, hlm. 192).
Meski persenjataan Pattimura saat itu tidak lengkap, ia terus melangsungkan
perlawanan. Perlawanan ini terutama sangat terbantu oleh siasat-siasat
penyergapan yang efektif. Sergapan-sergapan ini sering terjadi pada saat yang
tepat dan akhirnya menguntungkan pasukan Pattimura. Selain itu, ketersediaan
mesiu diperoleh dengan cara menukarkan cengkih.
Pihak Belanda kemudian mengambil langkah yang lebih tegas lagi. Dibawah
pimpinan Laksamana Muda A. A. Buyskes pulau-pulau di sekitar Saparua
berhasil ditaklukkan. Buyskes menyusun siasat yang sangat jitu. Setelah itu, Hitu
berhasil pula diduduki. Pertempuran Hitu ini dipimpin oleh Mayor Meyer.
Selanjutnya, pasukan Buyskes dengan komandan operasi Mayor Meyer
menyerang daerah Haruku dan pasukan-pasukun Haruku mengundurkan diri.
Ketika akan melanjutkan penyerangan ke Saparua, desa Porto dan Haria
ditembaki dan para pemuda disana mengundurkan diri. Selain itu, pasukan
Belanda menghadapi perlawanan yang gigih di Paperu namun akhirnya Paperu
berhasil disergap dan banyak korban berjatuhan. Kemunduran-kemunduran
pasukan Pattimura ini bisa disebabkan karena tidak memahami benar siasat yang
digunakan Buyskes dan juga lebih unggulnya teknologi perang musuh.
16
menunjukkan tempat persembunyiannya. Kemudian pertempuran kembali
berkobar di desa-desa Sirisory, Ualt, dan Ouw. Namun perlawanan ini tetap tidak
mampu menandingi siasat musuh yang akhirnya membuat pasukan
mengundurkan diri. Pada salah satu perlawanan ini Kapitan Paulus Tiahahu dari
Nusalaut dan putrinya Marta Kristina Tiahahu tertangkap. Perlawanan rakyat
Maluku ini pada akhirnya berujung dengan kekalahan. Menurut Poesponegoro &
Notosusanto (2011, hlm. 195) menjelaskan bahwa dalam bulan Desember 1817
Kapitan Pattimura bersama tiga orang panglimanya dijatuhi hukuman mati yang
dijalankannya di banteng Niuew Victoria di Ambon.
Pulau Bali memiliki beberapa kerajaan yang memiliki kekuasa sendiri dan
menjalankan kegiatan politik masing-masing. Kerajaan-kerajaan yang berdiri di
Bali antara lain adalah Kerajaan Karangasem, Kerajaan Buleleng, Kerajaan
Badung, dll. Kebanyakan kerajaan tersebut bercorak Hindu meskipun pada abad
ke-19 Islam telah menyebar ke Nusantara.
hubungan antara raja-raja Bali dengan Belanda sebenarnya telah ada sejak
abad ke-17. Hubungan antara raja-raja Bali pada tahun 1827 dan seterusnya
sampai 1831 dengan pemerintah Hindia Belanda hanyalah dalam bidang sewa
menyewa orang untuk dijadikan bala tentara pemeritah Hindia Belanda.
17
yang kedua adalah kekhawatiran akan adanya kemungkinan kekuatan Eropa
lainnya yang akan melakukan intervensi atau menguasai Bali.
Tawan karang adalah lembaga hukum adat antar bangsa yang berlaku di Bali
dan Lombok, yaitu suatu hak yang dimiliki oleh raja-raja dan rakyat pantai
untuk melakukan perampasan terhadap kapal-kapal laut atau perahu yang
kandas di pantai. Kapal atau perahu yang terdampar itu boleh ditolong oleh
penduduk pantai di wilayah itu, sedangkan penduduk dari wilayah lain
dilarang.
Hukum tawan karang yang diberlakukan oleh kerajaan-kerajaan di Bali
sangat memberatkan kolonial Belanda. Akan tetapi disisi lain, kerajaan-kerajaan
tersebut memiliki kepentingan yang berbeda-beda terhadap hubungan mereka
dengan kolonial Belanda. Hal ini mendorong pihak Belanda untuk beberapa kali
mengirim utusan kepada Raja-Raja Bali dengan tujuan menghapuskan hak tawan
karang, namun dipihak Kerajaan di Bali seperti Buleleng, Klungkung,
Karangasem, dan Badung tetap teguh dengan pendirian mereka untuk
menjalankan Hak Tawan Karang (Wiguna, dkk. 2014, hlm. 3). Hal inilah yang
18
menimbulkan bibit konflik sehingga Belanda berniat untuk menaklukan kerajaan-
kerajaan di Bali.
Pada tanggal 27 Juni 1846 telah tiba dipantai Buleleng pasukan ekspedisi
Belanda yang berkekuatan 1.700 orang pasukan darat, terdiri atas 400 orang
serdadu Eropa, 700 orang serdadu Pribumi, 100 orang serdadu Afrika, dan 500
orang bantuan dari Madura (Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm. 251).
19
Setelah diketahui raja Buleleng tidak memberikan jawaban atas ultimatum,
pasukan Belanda mulai mengadakan pendaratan. Prajurit-prajurit Bali tentunya
sudah bersiap-siap untuk menyambut serangan pasukan yang akan mendarat.
Menyerahnya Bali pada tanggal 28 Juni 1846 belum berarti semangat dan
jiwa kepahlawanan raja dan rakyat Buleleng telah memudar. Patih Gusti Ketut
Jelantik telah mengambil keputusan untuk mengundurkan pasukannya dan
memilih Desa Jagaraga sebagai pusat pertahanan Buleleng (Setiawan, dkk. 2014,
hlm. 3).
Perjanjian yang dibuat dengan pihak Belanda tersebut ternyata hanyalah suatu
siasat bagi kerajaan-kerajaan Bali untuk mempersiapkan pasukan guna melawan
Belanda. Poesponegoro & Notosusanto (2011, hlm. 252) menyebutkan bahwa,
20
Mereka terus memperkuat pertahanan dan melatih pasukannya untuk melawan
pihak Belanda.
Pertempuran yang terjadi selama tiga jam diempat benteng Jagaraga tersebut,
pasukan Bali telah dapat menewaskan lima opsir dan 74 serdadu Belanda. Di
samping itu, tujuh opsir dan 98 serdadu menderita luka-luka. Jendral van der
Wijck yang memimpin pasukan darat tidak berhasil mendesak pasukan Bali
meninggalkan garis pertahanannya. Oleh karena itu ia menarik mundur
pasukannya, dan kembali ke pantai (Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm.
253). Hal tersebut merupakan pukulan telak bagi pihak Kolonial Belanda di
wilayah Bali.
I Gusti Ketut Jelantik dan Raja Buleleng yang dibantu oleh Jro Jempiring
dalam kurun waktu 1846 sampai 1848 telah melakukan langkah-langkah strategi
perang sebagai berikut (Kepala Dinas Kabupaten Buleleng) :
a) Menyusun benteng-benteng pertahanan di sekitar Jagaraga;
b) Melatih prajurit-prajurit Buleleng dan Jagaraga teknik dan taktik berperang;
c) Membangkitkan semangat perang masyarakat Jagaraga dan sekitarnya dengan
menggunakan rumah-rumah penduduk untuk menyimpan logistik perang;
d) Meminta bantuan kepada Raja-Raja di Bali diantaranya Raja Karangasem,
Raja Klungkung, Raja Gianyar, Raja Mengwi dan Raja Jembrana lengkap
dengan persenjataannya;
e) Strategi yang digunakan dalam perang Jagaraga adalah Supit Surang (Makara
Wyuhana). Makara Wyuhana yaitu strategi perang yang diterapkan oleh
Prabu Yudistira dalam cerita Bharata Yudha.
f) Di belakang tembok benteng yang dijadikan pusat markas dan komando I
Gusti Ketut Jelantik berdiri tegak Pura Dalem Segara Madu Jagaraga.
21
Kekalahan Belanda pada perang yang terjadi pada tahun 1848 menimbulkan
niat balas dendam. Menurut Gede Agung (dalam Setiawan, dkk. 2014, hlm. 3)
menyebutkan bahwa, pengiriman ekspedisi militer baru ketiga terhadap Bali
untuk menghancurkan kekuasaan Raja Buleleng, Karangasem dan Dewa Agung
di Klungkung dengan sekutunya hanya menunggu waktu persiapannya saja.
Pasukan Bali tidak dapat menghalau pasukan musuh bahkan mereka terdesak
dan terpaksa meninggalkan benteng-bentengnya pada hari itu juga. Pada
pertempuran ini, pihak Bali banyak berjatuhan korban, terutama pasukan Gusti
Jelantik di benteng ke-3 yang dikatan hampir punah. Sisa pasukan Buleleng
banyak yang lari ke Karangasem, sedangkan raja Buleleng dan Gusti Jelantik
menyingkir ke daerah batas kerajaan Buleleng dengan Karangasem. Hal ini
menyebabkan kepala-kepala daerah bawahan terpaksa menyerah kepada Belanda,
seperti Gusti Nyoman Lebak, kepala daerah Sangsit yang menyerah pada tanggal
18 April 1849, kemudian disusul oleh pembekel di daerah tersebut pada tanggal
20 April 1849 (Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm. 256).
3. Akhir Perlawanan
22
Buleleng yang membantu Belanda. Pasukan siap untuk memukul pasukan
Karangasem (Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm. 257).
Kondisi kerajaan-kerajaan Bali yang terbagi dalam dua aliran ini antara
melawan dan menentang Belanda menjadi keuntungan tersendiri bagi pihak
kolonial Belanda. Pihak Belanda yang mendapat bantuan dari kerajaan-kerajaan
Bali yang memihak kepadanya menjadikan pekerjaan mereka menjadi lebih
mudah. Poesponegoro & Notosusanto (2011, hlm. 258) menyebutkan bahwa,
karena sebagian rakyat di daerah dekat pantai banyak yang menyatakan
menyerah kepada Belanda, pengikut raja Karangasem yang terbatas jumlahnya
kalah dan raja sendiri meninggal. Raja Buleleng dan Gusti Jelantik dapat
meloloskan diri ke bukit. Dengan kekalahan ini, kerajaan Karangasem diduduki
oleh Belanda.
23
Sultan Banjar (Asia, 2016). Jika dilihat lebih jauh, dikalangan rakyat sudah
tertanam kebencian yang mendalam karena persoalan pajak dan kerja wajib yang
memberatkan. Pajak yang semakin berat ini berhubungan dengan semakin
kecilnya daerah kekuasaan kesultanan (Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm.
271).
Pada masa awal, hidup dan matinya Belanda benar-benar tergantung pada
kebijakan sultan. Akan tetapi setelah melakukan perdagangan selama setegah
abad disana muncul kesempatan untuk untuk berkembangbang dengan
munculnya konflik diantara para bangsawan mengenai kedudukan sultan antara
Pangeran Nata dan Pangeran Amir. Untuk mempertahankan kekuasaannya,
Pangeran Nata meminta bantuan kepada Belanda. Pangeran Amir dapat
ditangkap oleh Belanda kemudian dibuang ke Ceylon. Bantuan yang diberikan
Belanda kepada Pangeran Nata ternyata tidak gratis. Pada 13 Agustus 1787
mereka mengadakan perjanjian baru dimana dalam perjanjian baru tersebut
sebagian wilayah kesultanan harus diserahkan kepada Belanda seperti daerah
Tanah Bambu, Pegatan, Kutai, Bolongan, dan Kota Waringin. Sementara wilayah
negara lain tetap dikuasai sultan, tetapi sebagai pinjaman ( Poesponegoro &
Notosusanto, 2011, hlm. 273).
24
Perjanjian yang merugikan kesultanan tidak hanya dibuat satu kali saja tetapi
hingga tahun-tahun berikutnya. Untuk semakin memperkuat posisi Belanda di
Banjar agar tidak terdesak oleh Inggris, Belanda mengangkat seorang gubernur.
Sebagaimana telah disinggung bahwa penyempitan daerah kesultanan sangat
mempengaruhi kondisi sosial-ekonomi para penguasa. Kemudian pula dengan
adanya kontak dengan unsur-unsur kebudayaan Barat mengakibatkan
meningkatnya kebutuhan hidup mereka. Untuk mengatasi kesulitan ini penguasa
mengakalinya dengan menaikan pajak. Selain pajak, rakyat juga dikenakan kerja
wajib. Dengan demikian, tidak mengherakan jika persoalan pajak dan kerja wajib
menjadi pangkal timbulnya kegelisahan sosial. Dilain pihak, campur tangan
Belanda dalam urusan intern Kesultanan yaitu dalam pengangkatan pejabat-
pejabat penting termasuk jabatan sultan, membuat kegelisahan ini semakin besar.
Dalam hal ini bukan saja rakyat yang merasa tidak senang, melainkan beberapa
orang dari kalangan penguasa dari tingkat yang rendah sampai ketingkat tinggi
yaitu sultan (Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm. 274).
Rasa tidak senang terhadap Belanda karena urusan intern muncul tahun 1851,
yaitu ketika Mangkubumi meninggal dunia. Timbul perbedaan pendapat
mengenai penggantinya. Sultan Adam menginginkan Prabu Anom putranya yang
ke-4 sebagai pengganti, sedangkan Belanda tidak setuju dan mengusulkan
Pangeran Tamjidillah (putra kakak Prabu Anom, yaitu Sultan Muda
Abdurakhman dengan Nyai Aminah). Lepas dari perbedaan pendapat tersebut,
muncul masalah baru, yaitu meninggalnya Sultan Muda Abdurakhman pada
tahun 1852. Sultan Adam menghendaki Pangeran Hidayat sebagai pengganti.
Keinginan Sultan Adam tidak disetujui oleh Belanda yang menganggap Pangeran
Hidayat tidak cakap karena tidak pernah bergaul dengan Belanda dan tidak
pernah menolong dalam perdagangan. Belanda memaksa Sultan Adam untuk
mencabut usulnya, yaitu mencalonkan Pangeran Hidayat sebagai Sultan Muda
dan agar menggantinya dengan pangeran Tamjidillah. Demikian pula usul Sultan
Adam mengangkat Prabu Anom sebagai mangkubumi dicabut (Poesponegoro &
Notosusanto, 2011, hlm. 275).
25
Adanya berbagai pertetangan seperti yang sudah disebutkan diatas memaksa
Sultan Adam pada tahun 1855 secara diam-diam melantik Prabu Anom sebagai
Raja Muda. Ia juga membuat surat wasiat yang boleh dibuka ketika ia sudah
meninggal dunia. Surat wasiat itu menetapkan Pangeran Hidayat sebagai
penggantinya. Anaknya sendiri, yaitu Prabu Anom, dan cucunya, Pangeran
Tamjidillah, akan diancam hukuman mati jika menghalangi maksudnya.
Sehubungan dengan pengangkatan Prabu Anom dan pembuatan surat wasiat,
Sultan Adam memecat Pangeran Tamjidillah sebagai mangkubumi. Akan tetapi
pada tahun 1856 datang surat dari Belanda yang meyatakan Pangeran Tamjidillah
diangkat sebagai Sultan Muda kemudian memaksa Sultan Adam untuk mengakui
keputusan tersebut dan selanjutnya akan daingkat mangkubumi yang baru.
Sementara Prabu Anom dilarang meningalkan Banjar dan gerak geriknya
diawasi.
Pada bulan Mei 1856, Sultan Adam juga mengusulkan agar Pangeran Hidayat
diangkat menjadi mangkubumi. Usulnya diterima, dan pada bulan Agustus 1856
Pangeran Hidayat dilantik menjadi mangkubumi oleh Belanda. Pengajuan
Pangeran Hidayat sebagai mangkubumi oleh Sultan Adam merupakan siasat guna
mendinginkan hati rakyat yang menilai bahwa Prabu Anom dijadikan tawanan.
Sesudah Pelantikan Pangeran Hidayat sebagai mangkubumi, tanggal 1 November
1856 Sultan Adam meninggal dunia. Dua hari kemudian, Pangeran Tamjidillah
dilantik menjadi sultan (Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm. 276).
26
rakyat. Terakhir, adanya surat wasiat dari Sultan Adam bahwa Pangeran Hidayat
yang akan menggantikannya ketika ia meninggal dunia.
Kericuhan ini dijadikan alasan oleh Belanda untuk ikut campur didalamnya.
Kolonel Andresen, utusan Pemerintah Belanda di Batavia datang ke Banjarmasin
untuk menyelidiki penyebab kericuhan. Andresen kemudian berkesimpulan
bahwa Pangeran Tamjidillah yang tidak disenangi oleh rakyat adalah sumber
kericuhan itu. Sultan Tamjidillah akhirnya diturunkan dari tahta dan kekuasaan
Kesultanan Banjarmasin diambil alih oleh Pemerintah kolonial Belanda.
Penentangan rakyat terhadap Pangeran Tamjidillah beralih kepada Pemerintah
Belanda. Dalam situasi demikian, Pangeran Hidayat lebih condong kepada rakyat
(Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm 277).
27
Belanda di Pengaron. Bersama-sama dengan Haji Nasrun pada tanggal 30 Juni
1859, Kiai Demang Leman menyerbu pos Belanda yang berada di Istana
Martapura. Dalam bulan Agustus 1859 berasam Haji Buyasin dan Kia Langlang,
Kiai Demang Leman berhasil merebut benteng Belanda di Tabanio (Poeponegoro
& Notosusanto, 2011, hlm. 277).
28
ada. Perluasan pengaruh perlawanan kemudian dibatasi. Kepala-kepala daerah
dan para ulama diberi peringatan agar bersikap setia kepada Pemerintah Belanda
dan mengecam para kaum pejuang. Ancaman tersebut disertai dengan anacaman
yang berat bagi yang tidak mengindahkannya. Hal itu membuat mereka cemas
tetapi kebanyakan tidak menindahkan peringatan tersebut dan malah bergadung
dengan kaum pejuang.
Gerakan cepat pasukan Pangeran Hidayat dari satu daerah ke daerah lain
cukup menyulitkan Belanda. Pasukan Pangeran Hidayat di Gunung Mandela
dapat diketahui. Belanda mendatangkan pasukan sebanyak 140 orang dari Pantai
Ambawang bersenjatakan senapan bayonet. Akan tetapi, pasukan Belanda tidak
dapat menemukan pasukan Pangeran Hidayat karena mereka sudah
meninggalkan Gunung Mandela menuju Haroman. Kemudian Belanda
mengerahkan pasukan untuk mengejar pasukan Pangeran Hidayat, akan tetapi
karena kecepat pergerakan pasukan Pangeran Hidayat, sekali lagi Belanda
mengalami kegagalan. Kecepatan Pasukan Pangeran Hidayat membuat Belanda
kesal. Pangeran diancam akan tetap dianggap sebagai pemberontak.
29
Menyerahnya Kiai Demang Leman kepada Belanda pada 2 Oktober 1861 atas
kemauannya sendiri menyebabkan melemahnya semangat para pejuang. Namun,
penangkapan Pangeran Hidayat yang kemudian diasingkan ke Jawa pada tanggal
3 Februari 1862 membuat Kiai demang Leman kecewa. Ia menuntuk Pemerintah
Belanda untuk membatalkan pengasingan tersebut, namun tidak disetujui
Belanda. Karena hal itu lah, Kiai Demang Leman melarikan diri dari lingkungan
Belanda dan kembali mengobarkan perlawanan terhadap Belanda.
30
bersenjata, dia ditangkap. Kemudian Demang Leman diangkut ke
Martapura. Pemerintah Belanda menetapkan hukuman gantung terhadapnya. Dia
menjalani hukuman gantung sampai mati di Martapura, sebagai pelaksanaan
keputusan Pengadilan Militer Belanda tanggal 27 Februari 1864. Selesai
digantung dan mati, kepalanya dibawa oleh Konservator Rijksmuseum van
Volkenkunde Leiden. Kepala Demang Lehman kabarnya disimpan di Museum
Leiden di Negeri Belanda, sehingga mayatnya dimakamkan tanpa kepala
(Subhanie, 2015)
3. Akhir Perlawanan
31
Dalam membicarakan perlawanan di daerah lain perlu disebut tokoh Demang
Wangkang yang juga berpengaruh. Di Marabahan Ia sepakat dengan
Tumenggung Surapati untuk menyerang Ibu Kota Banjarmasin. Pada tanggal 25
November 1870 Ia bersama pengikutnya berjumlah 500 orang meninggalkan
Marabahan menuju Banjarmasin. Pertempuran terjadi di dalam kota. Tetapi
karena kekuatan Belanda cukup besar, Demang Wangkang kembali menarik
pasukannya keluar kota. Dalam gerak mundurnya tersebut, pasukan Demang
Wangkang tidak kembali ke Marabahan tetapi mendirikan pertahanan di
Durakhman. Ia dikejar pasukan Belanda sehingga terjadi pertempuran di
Durakhman dan dalam pertempuran ini Demang Wangkang menemui ajalnya
(Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm. 282).
Gusti Matseman pada akhir bulan Agustus 1883 beroperasi di daerah Dusun
Hulu. Ia dengan pasukannya bergerak ke daerah Telok Mayang dan berkali-kali
melakukan serangan terhadap pos Belanda di Muara Taweh. Sementara,
Pangeran Perbatasari, menantu Gusti Matseman mengadakan perlawanan
terhadap Belanda di Pahu, daerah Kutai. Kekalahannya menyebabkan Ia
ditangkap pada 1885. Demikian pula perlawananTumenggung Gamar di Lok
Tanggul tidak berhasil, sehingga Ia dengan pasukannya mundur ke Tanah
Bumbu. Tumenggung Gamar gugur pada suatu pertempuran pada 1886.
Sementara Gusti Matseman masih melanjutkan perlawanan di daerah Kahayan
Hulu. Gusti Matseman berusaha mendirikan benteng disekita hilir Sungai Taweh.
Usaha ini membuat Belanda memperkuat posnya di Kahayan dengan menambah
pasukan baru. Pada suatu ketika benteng diserang pasukan Belanda. Dalam
pertempuran itu pasukan Gusti Matseman terdesak hingga memaksa mereka
mundur dan benteng jatuh pada pihak Belanda kemudian dibakar. Gusti
Matseman masih terus melakukan perlawanan walaupun teman-teman
seperjuangannya, yaitu Gusti Acil, Gusti Arsat, dan Antung Durakhman
menyerah pada pemerintah Hindia Belanda. Perlawanannya baru berhenti setelah
Ia gugur pada tahun 1905 (Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm. 283).
32
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
33
DAFTAR PUSTAKA
Kepala Dinas Sosial Kabupaten Buleleng. (t.t). Ringkasan perang Jagaraga 1848-
1849. Diakses dari:
http://bulelengkab.go.id/assets/bankdata/Ringkasan%20Perang%20Jagaraga
%20Tahun%2011848%20-%2011849_358525.pdf.
34
http://daerah.sindonews.com/read/1051819/29/perjuangan-demang-lehman-
panglima-perang-banjar-1444387914/7. Diakses pada 23 September 2016.
35