Anda di halaman 1dari 38

PERLAWANAN TERHADAP PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA PADA ABAD

KE-17 SAMPAI ABAD KE-19 DI WILAYAH MAKASAR, MALUKU, BALI, DAN


KALIMANTAN BARAT
MAKALAH
disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Sejarah Kolonialisme Barat di Indonesia
yang diampu oleh:
Dr. Agus Mulyana, M. Hum.
Tarunasena, M. Pd.
Moch. Eryck Kamsori, S. Pd.

disusun oleh:
Dikry Feisal R. NIM 1503582
Ersa Isdiyanti NIM 1503834
Indri Putri Dwi Y. NIM 1506688
Muhamad Afrizal NIM 1500030

DEPARTEMEN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

BANDUNG

2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan
rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah
tentang Perlawanan Terhadap Pemerintah Kolonial Belanda pada abad ke-17 sampai
abad ke-19 di Wilayah Makasar, Maluku, Bali, dan Kalimantan Selatan Barat ini
dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterima
kasih pada Bapak Dr. Agus Mulyana, Bapak Tarunasena, M. Pd. dan Bapak Moch.
Eryck Kamsori, S. Pd. selaku Dosen mata kuliah Sejarah Kolonialisme Barat di
Indonesia UPI yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai sejarah kolonialisme barat di Indonesia.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran yang membangun dari Anda untuk menjadi masukan.

Bandung, September 2016

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................... ..i

KATA PENGANTAR...............................................................................................ii

DAFTAR ISI .............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................1

A. Latar Belakang .....................................................................................................1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................2
C. Tujuan...................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................3

A. Perlawanan terhadap Kolonial Belanda di Makassar ..........................................3


1. Latar Belakang Terjadinya Perlawanan ........................................................3
2. Jalannya Proses Perlawanan..........................................................................5
3. Akhir Perlawanan..........................................................................................8
B. Perlawanan terhadap Kolinial Belanda di Maluku...............................................9
1. Latar Belakang Terjadinya Perlawanan ........................................................9
2. Jalannya Proses Perlawanan..........................................................................12
3. Akhir Perlawanan..........................................................................................16
C. Perlawanan terhadap Kolonial Belanda di Bali ...................................................17
1. Latar Belakang Terjadinya Perlawanan ........................................................17
2. Jalannya Proses Perlawanan..........................................................................19
3. Akhir Perlawanan..........................................................................................22
D. Perlawanan terhadap Kolonial Belanda di Kalimantan ........................................23
1. Latar Belakang Terjadinya Perlawanan ........................................................23
2. Jalannya Proses Perlawanan..........................................................................27
3. Akhir Perlawanan..........................................................................................31

BAB III PENUTUP...................................................................................................33

A. Kesimpulan...........................................................................................................33

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................34

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada abad ke-19 pengaruh kekuasaan politik kolonial Belanda semakin besar
pengaruhnya terhadap wilayah yang ada di Nusantara. Pengaruh yang
ditimbulkan kolonial Belanda banyak sekali yang menyengsarakan rakyat. Hal
ini menimbulkan suatu rekasi untuk lepas dari pengaruh ketidak sewenangan
tersebut. Salah satu bentuk reaksi perlawanan yang ditunjukan rakyat adalah
melalui peperangan.

Beberapa perlawanan melalui peperangan terjadi di berbagai wilayah di


Nusantara. Peperangan melawan kolonial Belanda di daerah Maluku, Kalimantan
Selatan, Makassar, dan Bali merupakan beberapa contohnya. Keempat
perlawanan tersebut memiliki latar belakang munculnya masalah yang berbeda-
beda. Karakteristik perlawanan yang ditunjukan setiap daerah memiliki ciri yang
khas. Pemimpin yang muncul dalam perlawanan tersebut juga memiliki pengaruh
dan taktik perang yang berbeda. Rangkaian peristiwa yang terjadi sepanjang
perlawanan juga memiliki alur yang beragam.

Peperangan melawan kolonial Belanda di daerah Makassar, Maluku, Bali,


dan Kalimantan Selatan perlu mendapat perhatian melalui kajian yang lebih. Hal
ini ditujukan untuk menambah pemahaman yang lebih mendalam khususnya bagi
mahasiswa jurusan sejarah. Oleh karena itu, penulis menyusun makalah yang
berjudul Perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda pada abad ke-17
sampai abad ke-19 diwilayah Makassar, Maluku, Bali, dan Kalimantan Selatan.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana jalannya perlawanan rakyat pada abad ke-19 terhadap kolonial
Belanda di daerah Makassar?
2. Bagaimana jalannya perlawanan rakyat pada abad ke-19 terhadap kolonial
Belanda di daerah Maluku?
3. Bagaimana jalannya perlawanan rakyat pada abad ke-19 terhadap kolonial
Belanda di daerah Bali?
4. Bagaimana jalannya perlawanan rakyat pada abad ke-19 terhadap kolonial
Belanda di daerah Kalimantan Selatan?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui jalannya perlawanan rakyat pada abad ke-19 terhadap
kolonial Belanda di daerah Makassar;
2. untuk mengetahui jalannya perlawanan rakyat pada abad ke-19 terhadap
kolonial Belanda di daerah Maluku;
3. untuk mengetahui jalannya perlawanan rakyat pada abad ke-19 terhadap
kolonial Belanda di daerah Bali;
4. untuk mengetahui jalannya perlawanan rakyat pada abad ke-19 terhadap
kolonial Belanda di daerah Kalimantan Selatan.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perlawanan terhadap Kolonial Belanda di Makassar


1. Latar Belakang Terjadinya Perlawanan

Pada tahun 1607 Belanda berhasil menduduki wilayah Makassar ditandai


dengan didirikannya sebuah kantor dagang di Makassar. Dengan berhasil
didirikannya kantor dagang di Makassar, hal tersebut membuat pihak Belanda
semakin mudah untuk melakukan interaksi-interaksi secara intensif dengan para
pedagang tradisional setempat. Interaksi yang semakin intensif antara pihak
Belanda dengan pedagang setempat dapat pula menimbulkan peluang lebih besar
bagi Belanda yang bermaksud untuk menguasai seluruh perdagangan yang berada
di kawasan Sulawesi Selatan yang pada saat itu berada dibawah kekuasaan
pedagang setempat. Hal ini menimbulkan reaksi dari pihak penguasa setempat.
Reaksi yang terkuat muncul ketika kerajaan Gowa berada di bawah
pemerintahan Sultan Hassanudin (Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm.
212). Raja Gowa (Sombayya ri Gowa) menentang keras usaha-usaha Belanda
untuk menjadi penguasa di Sulawesi Selatan. Bentuk usaha-usaha penolakan
yang dilakukan Sultan Hassanudin terhadap monopoli dagang yang akan
dilakukan Belanda adalah penolakan pembatasan terhadap Portugis dan Spanyol
untuk ikut berdagang di wilayah negara kerajaannya. Ketegangan hubungan
antara pihak Kerjaan Gowa dan Belanda pada akhirnya menimbulkan peperangan
yang tidak dapat dihindari pada tahun 1666. Kenyataan tersebut menunjukan
bahwa dalam usahanya untuk menguasai wilayah dan arus perdagangan Sulawesi
Selatan, Belanda harus menghadapi reaksi aktif dari pihak penguasa setempat.
Dalam usahanya tersebut, Belanda menyadari bahwa keadaan politik dalam
negeri Sulawesi Selatan pada saat itu sedang tidak stabil, karena adanya
pertentangan antara Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone yang berawal dari
Kerajaan Gowa yang berusaha untuk memperluas dan mempertahankan
kekuasaannya di wilayah kerajaan-kerajaan lainnya di wilayah Sulawesi Selatan

3
termasuk wilayah Bone. Sehubungan dengan itu, salah satu penguasa Bone,
Arung Palaka, berusaha melepaskan diri dari Kerajaan Gowa.
Salah satu pertempuran terbesar yang terjadi sebagai usaha Arung Palaka
dalam mempertahankan Kerajaan Bone terjadi pada tahun 1660. Namun pada
kenyataannya, Arung Palaka menyadari bahwa basis kekuatannya dalam
melawan Kerajaan Gowa, tidaklah sebanding dan hanya akan menimbulkan
kerugian yang besar bagi Kerajaan Bone. Oleh karena itu, ia berusaha untuk
meninggalkan daerahnya dan berhasil mendapatkan perlindungan dari Sultan
Buton, dan akhirnya berhasil menyingkir ke Batavia (Patunru, 1967, hlm.42).
Dengan dasar itu, lahirlah kerja sama antara Arung Palaka dan Belanda untuk
menghadapi Sultan Hassanudin. Dalam hubungan itu, Kerajaan Gowa (Sultan
Hassanudin) dibantu sepenuhnya oleh Kerajaan Wajo, dan Kerajaan Bone (Arung
Palaka) dibantu sepenuhnya oleh Kerajaan Soppeng.
Kerjasama antara kedua kekuatan ini pada akhirnya mengakhiri kekuasaan
Gowa terhadap Bone dan Sultan Hassanudin harus menerima kenyataan bahwa
Belanda akan memegang monopoli perdagangan di Sulawesi Selatan. Arung
Palaka berhasil membebaskan Kerajaan Bone dari kekuasaan Kerajaan Gowa,
dan kemudian diangkat sebagai Raja Bone. Upaya Belanda dalam memanfaatkan
situasi politik pada saat itu dengan menawarkan bantuan pada Kerajaan Bone,
membawa keuntungan besar bagi pihak Belanda karena dengan begitu Belanda
berhasil menguasai Sulawesi Selatan dan kekuasaannya tersebut diakui oleh
kerajaan lainnya seperti, Lamuru, Mario, Soppeng, dan Wajo.
Namun upaya perlawanan yang dilakukan oleh kerjaan-kerajaan di Sulawesi
Selatan tidak berakhir begitu saja. Hal ini tampak ketika para penguasa kerajaan
melakukan usaha untuk melepaskan diri dari pihak Belanda dengan dibantu oleh
para bajak laut, pasukan-pasukan kerajaan dan Kerajaan Wajo melakukannya
pada tahun 1710. Perlawanan yang kuat berhasil kembali di lakukan ketika
Lamaddukkeleng menjadi Arung Matoa Wajo. Ia berhasil membangun kekuatan
kembali bersama Kerajaan Gowa. Usaha itu berhasil ketika Pabbicara Butta
Gowa, yaitu La Maplasepe Karaeng Bontolangkasa, juga sangat tidak senang
dengan kekuasaan Belanda. Pada tahun 1739 kedua tokoh anti Belanda itu
melakukan serangan dalam bentuk menyerang beberapa daerah kekuasaan

4
Belanda di Makassar. Akan tetapi serangan-serangan yang dilakukan oleh Wajo
dan Lowa itu tidak berhasil, karena orang-orang Bone yang berhasil dipengaruhi
mantan permaisuri Raja Bone yang lari ke Makassar dan mendapat perlindungan
dari Belanda. Arung Matoa Wajo Lamaddukkeleng adalah seorang raja Wajo
yang hampir seluruh mata pemerintahannya dipenuhi oleh usaha-usaha untuk
mengusir Belanda dari Sulawesi Selatan. Akan tetapi usahanya dapat dikatakan
tidak berhasil, bahkan sampai pada saat akhir pengunduran dirinya pun pada
tahun 1754 beliau tetap melakukan usaha-usahanya untuk melawan Belanda.
Pada tahun 1811 terjadi perubahan penguasa kolonial di Nusantara, wilayah
Nusantara termasuk Sulawesi Selatan berada dibawah pemerintahan kolonial
Inggris. Namun hal tersebut tidak membawa perubahan yang berarti, pola
penjajahan Inggris tetap sama dengan Belanda. Adanya kekuasaan Inggris di
Sulawesi Selatan mendapatkan berbagai pertentangan dari kerajaan setempat,
Kerajaan Bone salah satunya yang beranggapan bahwa Kerajaan Bone
merupakan negara yang merdeka. Sikap pertentangan dari Kerajaan Bone,
Tanete, dan Suppa masih ditunjukan ketika Belanda kembali ke Sulawesi Selatan
pada tahun 1816. Lain halnya dengan Kerajaan Gowa yang bersikap lebih lunak
kepada Belanda. Banyak penguasa Sulawesi Selatan yang beranggapan bahwa
hubungan mereka sebelumnya dengan pihak Belanda telah putus karena
menyerahnya Belanda kepada Inggris pada tahun 1811 dan bahwa Perjanjian
Bongaya (1667) tidak lagi mempunyai kekuatan hukum (Ricklefs, 2005, hlm.
207). Hal tersebut menunjukan bahwa kekuasaan Belanda di Sulawesi Selatan
tidak cukup mampu untuk menekan sama sekali kekuasaan raja-raja kerajaan
Sulawesi Selatan. Agar kekuatannya bertambah, penguasa kolonial melakukan
pendekatan kepada beberapa raja yang bersedia memihak padanya, dengan upaya
kolonial Belanda yang bermaksud untuk melakukan perubahan terhadap
perjanjian Bongaya. Sulawesi Selatan merupakan suatu tantangan besar bagi
pihak Belanda.
2. Jalannya Proses Perlawanan

Pada tahun 1824, Belanda mengirimkan ekspedisi militernya ke wilayah


Suppa dan Tanete. Belanda berusaha menaklukan daerah tersebut dengan
kekerasan. Rakyat Tanete di bawah pimpinan Raja La Patau mencoba

5
mempertahankan wilayah kerajaannya dari serangan tersebut, tetapi mereka gagal
karena kekuatan yang kurang seimbang. Karena Raja La Patau menyadari
kekuatan yang tidak seimbang, maka dari itu ia segera mengundurkan diri dan
menyerahkan takhta kerajaan kepada saudara perempuannya, Da Eng
Tanningsangsa. Raja ini diakui oleh Belanda karena bersedia menandatangani
perubahan Perjanjian Bongaya yang dikehendaki oleh Belanda (Patunru, 1967,
hlm. 3). Dengan demikian, Kerajaan Tanete berhasil dikuasai oleh Belanda.
Untuk menjaga perlawanan yang mungkin timbul lagi, Belanda mendirikan pos-
pos di tempat-tempat yang strategis.
Bekas Raja La Patau kemudian mendapat pengampunan, bahkan kemudian
diangkat kembali sebagai Arung Matoa. Akan tetapi, raja ini tidak dapat
dikendalikan oleh Belanda, justru kemudian melakukan perlawanan terhadap
kekuasaan Belanda. Penentangan La Patau terus berlangsung sampai akhirnya, ia
harus meninggalkan daerahnya karena tidak mampu menghadapi kekuatan
Belanda yang dibantu oleh beberapa raja lainnya. Dia kemudian digantikan oleh
Larumpung Megga Dulung Lamuru yang diangkat oleh Belanda (Patunru, 1967,
hlm. 3).
Pada tanggal 4 Agustus 1824, Belanda mendarat di daerah Pare-Pare, yaitu
kota pelabuhan yang terletak beberapa kilometer (sebelah selatan) dari Suppa, di
bawah pimpinan Letnan Laut Buys. Kedatangan pihak Belanda disambut dengan
perlawanan yang kuat oleh pasukan Suppa. Saat pertempuran tersebut terjadi,
Belanda dibantu oleh pasukan dari beberapa kerajaan lainnya seperti Kerjaan
Sidenreng. Meskipun mendapat bala bantuan dari pasukan Sidenreng, pada
akhirnya Belanda harus menerima kekalahan dari Kerjaan Suppa.
Setelah pertempuran tersebut selesai, Belanda menyadari bahwa Suppa
merupakan kerjaan yang cukup tangguh dan kuat untuk dikalahkan, maka dari itu
Belanda berusaha membangun kembali kekuatan pasukan gabungannya dengan
Kerajaan Sidenreng untuk dikirimkan ke Suppa. Penyerangan ke Suppa kembali
dilakukan pada bulan Agustus 1824. Pada pertempuran tersebut, Belanda berhasil
mempertahankan diri dari serangan pasukan-pasukan Suppa, mesikupun pada
akhirnya Belanda harus kehilangan beberapa orang perwiranya yang tewas
seperti Letnan Bauff, van Pelt, dan Banhoff. Pasukan Suppa terus melakukan

6
perlawanan dengan bersembunyi di dalam lubang-lubang dan parit-parit, pasukan
Suppa melakukan berbagai gangguan terhadap pasukan Belanda yang sedang
berjaga-jaga di pos-pos atau yang sedang berpatroli. Jika dilihat dari segi
geografis, Suppa merupakan sebuah negara kecil. Namun, perlawanan yang
dilakukannya terhadap penguasa kolonial Belanda cukup tangguh dan
menyulitkan posisi Belanda di Sulawesi Selatan. Oleh karena itu, pimpinan
militer Belanda mengirimkan sebuah pasukan bantuan untuk memperkuat
pasukan ekspedisi yang dikirimkan itu. Pada tanggal 23 Agustus 1824 sebuah
kapal perang yang membawa 110 orang serdadu infanteri yang membawa serta
10 pucuk meriam tiba di pelabuhan Pare-Pare. Suppa kemudian dikepung oleh
gabungan pasukan Belanda dan Sidenreng yang berkekuatan kurang lebih 2000
orang. Akan tetapi pada akhirnya usaha ini pun berhasil di gagalkan, karena
pihak Sidenreng yang mengundurkan diri karena salah seorang anak
pemimpinnya menderita luka berat (Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm.
219).
Kegagalan tersebut belum juga mampu mendorong Belanda mengurungkan
maksudnya untuk menghancurkan Suppa. Belanda tetap melakukan
penyerangannya yang sudah sekian kali gagal itu, dengan kembali menerima
bantuan dari pasukan Sinereng dengan jumlah yang lebih besar. Namun pada
kenyataannya pihak Belanda harus menerima kembali kegagalannya, salah satu
penyebabnya adalah karena semangat perang di dalam diri pasukan-pasukan
Sinereng yang sudah menurun dan membuat Belanda harus bersandar pada
kekuatannya sendiri.
Di lain pihak, Kerajaan Bone juga tetap melanjutkan usaha perlawanannya
terhadap kekuasaan Belanda, dalam bentuk penyerangan-penyerangan terhadap
pos-pos Belanda yang berada di Pangkajene dan di Labbakang, juga berhasil
menduduki wilayah Tanete yang saat itu dikuasai oleh Belanda. Dan pada
akhrinya Bone juga berhasil menguasai jalan penting yang menghubungkan
Makassar dan Maros yang terletak di sebelah utara Makassar, karena
kemenangannya dalam pertempuran melawan Belanda yang pada saat itu
dibawah pimpinan Kapten La Clerq. Keadaan pasukan Bone memang sangat kuat
dan mempu melakukan penyerangan yang sangat membahayakan. Wilayah

7
kerajaan berhasil diperluas dengan melakukan ekspedisi dan mengusir penguasa
yang diangkat oleh pihak Belanda sampai ke wilayah seluruh Semenanjung
Sulawesi Selatan. Dengan demikian, keadaan Belanda semakin terjepit dan
situasi membahayakan tersebut mendorong gubernur jenderal untuk mengerahkan
kekuatan militer yang masih ada paadanya.
3. Akhir Perlawanan

Dengan posisi Kerajaan Bone yang cukup tangguh bagi Belanda, hal tersebut
membuat Belanda berupaya lebih keras untuk memperkuat posisinya dengan
melakukan ekspedisi-ekspedisi militer besar-besaran untuk mengalahkan Bone.
Belanda menyadari bahwa Bone merupakan penghalang dalam upaya Belanda
memperluas wilayah kekuasaannya di Sulawesi Selatan, oleh karena itu hal
tersebut mendapat perhatian khusus dari pemerintah Belanda di Batavia yang
kemudian mengirimkan pasukan ekspedisi berkekuatan besar yang dipimpin oleh
Mayor Jenderal van Geen. Tugas utamanya adalah memperkuat pasukan Belanda
dan menarik simpati sebanyak mungkin dari penguasa-penguasa setempat untuk
menghadapi Kerajaan Bone.
Akhirnya pasukan van Geen bergerak ke daerah selatan berhadapan dengan
pasukan Bone yang berkedudukan di Bonthain. Dalam pertempuran ini pasukan
Belanda berhasil mendesak pasukan Bone. Demikian pula pertahanan Bone di
Bulukumba terpaksa ditinggalkan, dan berhasil di duduki oleh pasukan Belanda.
Pertempuran terjadi pula ketika pasukan Bone yang berkedudukan di benteng-
benteng Kajang dan Sinjai mendapat serangan dari Belanda. Semua benteng
Kerajaan Bone itu pada akhirnya jatuh ke tangan Belanda, walaupun telah
diusahakan untuk dipertahankan oleh pasukan Bone. Salah satu faktor yang
memperlemah kekuatan Bone ialah diserahkannya kedudukan raja Tanete kepada
seorang raja perempuan yang berpihak pada Belanda. Sehingga kekuatan
Belanda menjadi bertambah dengan dukungan yang diberikan pihak Sidenreng
dan Tanete. Dengan sekutunya tersebut, Belanda berharap dapat mengimbangi
kekuatan dari negara-negara lain yang menentangnya seperti Suppa, Segeri,
Labbakang, dan Pangkajene.
Perlawanan-perlawanan yang dilakukan kerajaan-kerajaan di Sulawesi
Selatan sepanjang abad ke-19 tersebut membuktikan bahwa penanaman

8
kekuasaan Belanda di wilayah Sulawesi Selatan tidak dapat dilakukan dengan
mudahnya, dibuktikan dengan banyaknya pertentangan dan perlawanan kuat
yang dilakukan oleh kerajaan-kerajaan setempat. Usaha perlawanan ini tetap
berlangsung sampai abad ke-19 dan awal abad ke-20.
B. Perlawanan terhadap Kolonial Belanda di Maluku
1. Latar Belakang Perlawanan

Penguasaan Maluku oleh VOC dalam abad ke-17 telah memberikan dampak
positif dan dampak negatif yang berupa kepincangan-kepincangan yang
ditimbulkan sistem-sistem saat itu. Dampak positif tersebut dapat dilihat dari
adanya sistem perkebunan cengkih, sistem pemerintahan desa, dan sistem
pendidikan desa. Poesponegoro & Notosusanto (2011, hlm. 179) menjelaskan
bahwa sejak VOC menguasai Maluku dalam abad ke-17, timbul pemukiman-
pemukiman baru dengan nama negeri di daerah pantai Kepulauan Maluku
Tengah. Berangsur-angsur muncul suatu struktur sosial di negeri-negeri yang
merupakan gabungan antara unsur-unsur sistem budaya lama dengan unsur-unsur
yang dimasukkan oleh VOC. Masyarakat negeri di pantai Kepulauan Ambon-
Uliase mendapat hak atas tanah (dati) untuk perkebunan-perkebunan cengkih,
disamping tanah-tanah pusaka milik keluarga masing-masing. Hasil cengkih
setiap dati dijual kepada VOC dengan harga tertentu, sedangkan hasil tanah
pusaka berupa bahan makanan dipakai oleh keluarga (famili) yang
mengerjakannya.

Dampak negatif yang berupa kepincangan-kepincangan yang ditimbulkan


sistem-sistem saat berkuasanya VOC di Maluku salah satunya adalah Ekspedisi
Hongi. Ekspedisi ini dilakukan VOC setiap tahun. Ekspedisi ini terdiri atas kora-
kora (perahu perang) milik masing-masing negeri di Kepulauan Ambon-Uliase
yang dimaksudkan untuk mengawasi pulau-pulau Seram, Buru, Manepa, dan
lain-lain yang dilarang menghasilkan cengkih. Dalam ekspedisi ini, serdadu-
serdadu VOC menebang pohon-pohon cengkih di pulau-pulau tersebut yang
kemudian diangkut oleh kora-kora tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk
mencegah agar jangan sampai harga cengkih di pasaran menurun karena
kebanyakan produksi. Ekspedisi menimbulkan banyak kesengsaraan bagi rakyat

9
pribumi. Poesponegoro & Notosusanto (2011, hlm. 179) menjelaskan bahwa
selama berlangsungnya ekspedisi itu, banyak pemuda negeri yang menjadi
pendayung kora-kora meninggal karena kekurangan makanan atau dibunuh
musuh. Selain itu, waktu yang digunakan sering melebihi waktu yang disepakati,
yaitu tiga bulan dan kebetulan jatuh pada masa panen cengkih (akhir tahun)
tatkala tenaga mereka justru dibutuhkan di dati masing-masing.

Poesponegoro & Notosusanto (2011, hlm. 179) menyebutkan bahwa,

Selain itu, kepincangan lain dari sistem yang dibangun oleh VOC adalah
korupsi. Sejak bagian kedua abad ke-18, penyakit ini mulai menjalar
dikalangan pejabat-pejabat Belanda. Mental pedagang yang merupakan ciri
bekas pejabat-pejabat Belanda pada abad ke-17, mulai berganti dengan
mental pegawai pemerintah dalam abad ke-18 sehingga untung rugi
perusahaan sebagai pendorong utama, berganti dengan usaha memperkaya
diri masing-masing. Para residen di daerah-daerah menjual suplai bahan-
bahan keperluan yang disalurkan VOC ke daerah-daerah dengan harga yang
menguntungkan.

Berdasarkan pernyataan pengikut-pengikut Pattimura hanya disebutkan


tindakan-tindakan pejabat yang mulai memerintah pada bulan Maret-April 1817.
Para pejabat ini mengambil alih pemerintahan Maluku Tengah dari tangan
pejabat-pejabat Inggris yang memerintah sejak tahun 1810. Para pejabat tersebut
melakukan pelanggaran-pelanggaran atas peraturan-peraturan lain yang meliputi
hampir seluruh segi kehidupan pedesaan. Setelah pemerintahan diambil alih,
timbul keresahan pada rakyat akibat rencana-rencana para pejabat seperti adanya
penyederhanaan sistem pendidikan dengan menghapuskan sekolah-sekolah desa
dan memusatkannya di satu atau dua negeri disetiap pulau dimana rencana
penyederhanaan dilakukan oleh sejumlah pejabat yang belum mengenal daerah
itu.

Leverantie bahan bangunan merupakan suatu bagian dari sistem VOC sejak
pertengahan abad ke-17 yang mewajibkan negeri-negeri tertentu di Ambon dan
Uliase untuk menyediakan bahan-bahan bangunan dan bahan-bahan untuk
perbaikan kapal dihidupkan kembali oleh pejabat-pejabat Belanda setelah
sebelumnya dihapus oleh pihak Inggris dan seluruh Leverantie bahan bangunan

10
dibayar pihak Inggris. Tindakan tersebut merupakan penyalahgunaan yang
kemudian tidak memuaskan penduduk.

Berkuasnya kembali VOC menimbulkan banyak kegelisahan dikalangan


penduduk. Banyak tindakan-tindakan VOC yang dianggap tidak pantas oleh
penduduk. Tindakan Gubernur van Middelkoop yang memerintahkan penduduk
Ambon-Lease untuk membuat garam dan ikan asin untuk keperluan kapal-kapal
perang Belanda yang sedang berlabuh di Ambon dianggap sebagai perbuatan
sewenang-wenang karena membuat garam dan ikan asin tidak pernah menjadi
kewajiban sebelumnya, perintah pembuatan garam dan ikan asin ini hanya untuk
keperluan tentara dan pegawai Belanda yang mengalami keterlambatan
penyediaan bahan makanan akibat hubungan yang sangat sulit dengan Batavia
pada saat itu.

Selain itu, tindakan yang menimbulkan keresahan penduduk ialah mengenai


sirkulasi uang. Poesponegoro & Notosusanto (2011, hlm. 181) menjelaskan
bahwa sejak masa VOC, penduduk selalu menerima uang logam untuk hasil
penjualan cengkih mereka. Uang kertas mulai diintroduksi Daendels di Jawa dan
pada tahun 1817 di Ambon. Pernyataan pengikut-pengikut Pattimura
menjelaskan adanya penyelewengan dalam hal ini. Pejabat-pejabat daerah
membayar hasil cengkih dengan uang kertas, tetapi penduduk yang membeli
bahan-bahan kebutuhan seperti tekstil di toko-toko pemerintah diwajibkan
membayar dengan uang logam. Lama-kelamaan uang logam habis dari peredaran
dan penduduk mulai panik karena belum percaya pada alat bayar dari kertas itu.
Tidak ada usah untuk mengatasi keguncangan-keguncangan perasaan ini dari
pejabat gubernemen. Hal lain yang menimbulkan kegelisahan penduduk ialah
pejabat-pejabat yang mengambil alih kekuasan Inggris tidak menyediakan
seorang pendeta yang biasanya sering disediakan saat pendudukan Inggris.

Tindakan-tindakan lain yang menimbulkan keresahan penduduk ialah adanya


paksaan bagi pemuda-pemuda negeri untuk menjadi soldadu di Jawa. Sejumlah
pemuda Ambon dan pulau Saparua diangkut dengan cara paksa. Pattimura
menyebut persoalan ini sebagai sumber keresahan yang penting. Bahkan

11
berdasarkan laporan dari Johanis Risakotta, seorang guru dari negeri Porto
menyebut persoalan ini sebagai dorongan utama yang menimbulkan perlawanan.

Dari uraian-uraian ditas dapat terlihat bahwa kembali berkuasanya VOC


menimbulkan kegelisahan diantara penduduk Maluku, mereka terbayang kembali
suasana penderitaan yang pernah terjadi dulu. Ketika Inggris menggantikan VOC,
penduduk tidak begitu merasa tertekan dan setidaknya penduduk mempunyai
harapan. Wiharyanto (2009, hlm. 2) menyebutkan bahwa pada masa
pemerintahan Inggris di Maluku timbul harapan bagi rakyat. Untuk menarik hati
rakyat, penguasa Inggris mengeluarkan peraturan yang meringankan beban-
beban rakyat, penyerahan paksa dihapus, dan pekerjaan rodi dikurangi.
Pemasukan barang-barang dagangan dilakukan. Tetapi keadaan ini tidak
berlangsung lama. Setelah daerah ini benar-benar kembali ke tangan Belanda,
praktek-praktek lama dijalankan kembali. Pemerintah Belanda lalu melakukan
tekanan-tekanan yang berat, sehingga kembali membebani kehidupan rakyat.
Hal inilah yang kemudian menimbulkan perlawanan rakyat Maluku.

2. Jalannya Proses Perlawanan

Penderitaan-penderitaan yang dialami rakyat Maluku kemudian menyebabkan


rakyat Maluku pada tahun 1817 bangkit mengangkat senjata melawan kekuasaan
Belanda. Sejak awal bulan Maret 1817 pelbagai kelompok penduduk Maluku
Tengah sudah mulai mengadakan pertemuan-pertemuan untuk membicarakan
situasi baru akibat adanya rencana-rencana pemindahan kekuasaan dari tangan
Inggris kepada Belanda. Pertemuan ini dilakukan secara rahasia dipelbagai
tempat seperti di pulau Haruku dan pulau Saparua, pertemuan ini pun dipimpin
oleh residen.

Pada pertemuan tanggal 14 Mei 1817 di Pulau Saparua, para pemuda dan
penguasa-penguasa desa (raja atau patih dan orang kaya) memutuskan untuk
menghancurkan pusat kekuasaan kolonial di banteng Duurstede yang terletak di
pulau Saparua. Keputusan yang sangat dirahasiakan ini diteruskan kepada setiap
negeri di pulau itu. Selain itu, dalam musyawarah di tempat itu juga mereka
memilih Thomas Matulesy sebagai pemimpin perang dengan julukan Pattimura

12
(Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm. 184). Pattimura adalah bekas sersan
mayor dalam tentara milisi Inggris di Ambon ketika Inggris untuk sementara
menduduki Kepulauan Maluku. Setelah Belanda mengambil alih kembali
Maluku, Pattimura dan teman-temannya diberhentikan dan mereka pulang ke
kampong masing-masing. Saat itu Pattimura mengunjungi Saparua dan bertemu
pemuda-pemuda yang dilanda rasa khawatir terhadap kebijakan milisi Belanda
dimana para pemuda akan diangkut secara paksa untuk menjadi serdadu di Pulau
Jawa. Adik Pattimura yang juga merasa khawatir telah mempengaruhi Pattimura
yang akhirnya mereka membulatkan tekad mengadakan perlawan untuk
menentang kebijakan itu.

Perlawanan itu mulai terjadi pada malam hari tanggal 14, saat itu kelompok
pemuda dari desa Porto hampir menggagalkan rencana penyerbuan Duurstede
karena ketidaksabaran. Mereka mendatangi dan membongkar orambay pos
(perahu milik pemerintah) yang sedianya akan mengangkut kayu bahan bangunan
dari Porto ke Ambon. Residen van den Berg pada keesokan harinya berkuda dari
banteng Duurstede ke Porto dan kemudian ditangkap oleh para pemuda. Namun,
Pattimura berhasil menengahi persoalan ini yang kemudian Residen van den Berg
dipulangkan ke Duurstede.

Pagi hari tanggak 15 Mei tembakan-tembakan mulai dilancarkan kemudian


Pattimura memimpin penyerbuan ke arah Duursted. Saat itu banteng Duurstede
di pulau Saparua berhasil dihancurkan. Residen van den Berg beserta
keluarganya terbunuh dalam peristiwa itu. Jatuhnya banteng Duurstede bagi
Belanda merupakan suatu pukulan besar, sehingga tidak lama kemudian mereka
menyusun suatu kekuatan untuk merebutnya kembali. Pasukan untuk merebut
kembali banteng Duurstede ini kemudian dipimpin oleh Mayor Beetjes yang
kemudian samapai ke Saparua pada tanggal 20 Mei 1817. Perjalanan pasukan ini
sangat menyedihkan, tidak ada desa yang bersedia menyerahkan perahu-perahu
untuk mengangkut pasukan Beetjes ke Saparua. Namun, setelah bersusah payah
akhirnya Residen Uitenbroek berhasil memperoleh satu kruisarombai (rembaya
perang) dan 6 arombay biasa. Mereka melakukan pendaratan di Pantai Waisisil di
sebelah barat Duurstede. Sejak armada arombay Beetjes memasuki Teluk

13
Saparua, Kapitan Pattimura sudah bersiap-siap dengan strateginya. Namun,
pasukan ini kemudian mengundurkan diri setelah melihat pasukan Pattimura
mulai menyerbu pantai, mereka segera bergegas kembali ke arombay.
Pengunduran tersebut tidak teratur yang kemudian malah menyebabkan
kehancuran Beetjes. Seluruh pasukan Beetjes termasuk Beetjes sendiri musnah di
Waisisil. Kekalahan ini kembali menimbulkan kegemparan di kalangan
pemerintahan Belanda.

Dengan beberapa kemenangan yang dialami, munculah rencana penyerbuan


Zeelandia di Pulau Haruku. Menurut Poesponegoro & Notosusanto (2011, hlm.
185-186) sebenarnya rencana penyerbuan ini telah direncanakan Pattimura
segera setelah menyerbu Duurstede pada tanggal 16 Mei 1817. Desa-desa yang
memihak kepada Kapitan Pattimura mengirimkan pasukan-pasukannya ke pulau
bersama para kapitannya. Penyerbuan pertama dilangsungkan pada tanggal 30
Mei. Pasukan disebar di desa-desa Pelau, Hulaliu, Aboru, dan ditaksir berjumlah
100 orang. Kemudian bantuan dari Saparua juga tiba sekitar tanggal 27 Mei.
Bersama dengan perisapan-persiapan itu, Uitenbroek juga melakukan tindakan-
tindakan untuk mengurangi pertikaian seperti membentuk sebuah komisi yang
terdiri atas Raja Sameth, bekas Raja Hulaliu, dan guru dari Oma untuk mendekati
kepala-kepala desa di Pulau Haruku dan Samet, selain itu juga Uitenbreok
mengirimkan hadiah-hadiah untuk mempengaruhi penguasa desa. Gubernur
Middelkoop juga menganjurkan agar membayar gaji para guru yang selama ini
belum dibayar sebagai usaha untuk menarik golongan ini ke pihaknya. Usaha-
usaha lain dari Uitenbroek adalah mendatangkan bala bantuan tentara.

Serangan pertama pasukan Pattimura pada tanggal 30 Mei berhasil


digagalkan oleh Belanda. Serangan yang dilancarkan pada tanggal 3 Mei dan 4
Mei pun gagal. Untuk memperkuat pasukan-pasukan di Haruku, Kapitan
Pattimura mengerahkan beberapa kapitan dari Pulau Saparua antara lain Kapitan
Lukas Aron Lisapali dari Ihamahu kemudian menyusul Melchiol Kesaulya yang
telah dijadikan raja Sisisory. Kira-kira satu minggu setelah usaha-usaha
penyerbuan Zeelandia ini, muncul beberapa pihak yang mencoba mengadakan
perundingan. Namun, jalan yang diambil pihak-pihak tersebut tidak mendapat

14
persetujuan. Pasukan-pasukan Haruku kemudian menghadapi lawan yang lebih
kuat. Pada pertengahan bulan Juni Gubernur Middelkoop mengirim sebuah
ekspedisi dibawah pimpinan Kapitan Luitenant Groot. Selain itu, para pemuda
terpaksa menghentikan serbuan-serbuan karena adanya patroli-patroli laut di
sekitar Pulau Haruku yang dilakukan oleh kapal-kapal perang Inggris dan Maria
Rijgersbergen.

Sementara itu, sejak pertengahan bulan Juli situasi di Pulau Ambon


khususnya daerah Hitu semakin bergolak. Setelah mendengar banteng Duurstede
berhasil dihancurkan, pihak Belanda mulai menyusun pertahanan di Pulau
Ambon. Pattimura kemudian mengangkat Ulupaha kapitan dari negeri Seit
sebagai panglima Hitu. Kapitan Ulupaha diperintahkan ke Seram untuk
mendapatkan bantuan pasukan. Dengan banyaknya bantuan dari pasukan-
pasukan Seram yang sangat ditakuti atau yang dalam tulisan-tulisan Belanda
dinamakan Alifuru, berhasil mengepung dan hampir membuat banteng
Amsterdam jatuh ke tangan Ulupaha. Pada tanggal 24 Juli dilakukan lagi
penyerangan kedua. Sekalipun tidak berhasil menduduki banteng Amsterdam,
serangan pada tanggal 24 Juli dapat dianggap berhasil. Karena hal ini akhirnya
Burggraaf yang memimpin pasukan Belanda saat itu digantikan oleh Smit de
Haart. Ketika pasukan Belanda dipimpin oleh Smit de Haart, pasukan Ulupaha
mengalami berbagai kekalahan dan akhirnya mereka harus mengakui kekuatan
lawan.

Ketika pertempuran-pertempuran bergejolak di Hitu, Belanda mencoba


merebut banteng Duurstede di Saparua tetapi gagal akibat sistem perbentengan
penduduk desa-desa di Hatawano (Utara Saparua) yang kukuh. Groot, pemimpin
ekspedisi saat itu mengadakan perundingan namun pada akhirnya perundingan
ini batal. Menurut Poesponegoro & Notosusanto (2011, hlm. 191-192) para
penguasa dari pulau-pulau Saparua, Haruku, Nusalaut dan Seram berkumpul di
Hatawano dan menyusun surat pernyataan yang berisi syarat-syarat perdamaian.
Mereka menuntut agar kecurangan-kecurangan dan ketidakadilan serta
penyelahgunaan kekuasaan yang selama ini mereka alami (yaitu zaman VOC)
dihentikan. Pemeliharaan kehidupan agama diperhatikan, kebiasaan memaksakan

15
para pemuda menjadi serdadu di luar Maluku dihapusakan dan lain-lain. Jika
Belanda bersedia memenuhi hal-hal tersebut maka mereka bersedia mengadakan
perundingan. Namun, perundingan yang diprakarsai Groot gagal dan peperangan
kembali terjadi. Banteng Duurstede berhasil dikuasai oleh Groot namun, diluar
tembok-temboknya pasukan Pattimura tetap berkuasa.

3. Akhir Perlawanan

Perlawanan yang tidak kunjung reda di Saparua, Haruku, dan Ambon dengan
bantuan pasukan-pasukan Alifuru dari seram itu berlangsung terus dalam bulan
Agustus sampai November (Poesponegoro & Notosusanto,2011, hlm. 192).
Meski persenjataan Pattimura saat itu tidak lengkap, ia terus melangsungkan
perlawanan. Perlawanan ini terutama sangat terbantu oleh siasat-siasat
penyergapan yang efektif. Sergapan-sergapan ini sering terjadi pada saat yang
tepat dan akhirnya menguntungkan pasukan Pattimura. Selain itu, ketersediaan
mesiu diperoleh dengan cara menukarkan cengkih.

Pihak Belanda kemudian mengambil langkah yang lebih tegas lagi. Dibawah
pimpinan Laksamana Muda A. A. Buyskes pulau-pulau di sekitar Saparua
berhasil ditaklukkan. Buyskes menyusun siasat yang sangat jitu. Setelah itu, Hitu
berhasil pula diduduki. Pertempuran Hitu ini dipimpin oleh Mayor Meyer.
Selanjutnya, pasukan Buyskes dengan komandan operasi Mayor Meyer
menyerang daerah Haruku dan pasukan-pasukun Haruku mengundurkan diri.
Ketika akan melanjutkan penyerangan ke Saparua, desa Porto dan Haria
ditembaki dan para pemuda disana mengundurkan diri. Selain itu, pasukan
Belanda menghadapi perlawanan yang gigih di Paperu namun akhirnya Paperu
berhasil disergap dan banyak korban berjatuhan. Kemunduran-kemunduran
pasukan Pattimura ini bisa disebabkan karena tidak memahami benar siasat yang
digunakan Buyskes dan juga lebih unggulnya teknologi perang musuh.

Meyer dan pasukannya merayakan hari kemenangan di desa Paperu


sementara pasukan Pattimura mulai merosot semangatnya (Poesponegoro &
Notosusanto, 2011, hlm. 194). Disamping itu, Kapitan Pattimura mengalami
pengkhianatan yang dilakukan oleh salah seorang musuh Pattimura dengan cara

16
menunjukkan tempat persembunyiannya. Kemudian pertempuran kembali
berkobar di desa-desa Sirisory, Ualt, dan Ouw. Namun perlawanan ini tetap tidak
mampu menandingi siasat musuh yang akhirnya membuat pasukan
mengundurkan diri. Pada salah satu perlawanan ini Kapitan Paulus Tiahahu dari
Nusalaut dan putrinya Marta Kristina Tiahahu tertangkap. Perlawanan rakyat
Maluku ini pada akhirnya berujung dengan kekalahan. Menurut Poesponegoro &
Notosusanto (2011, hlm. 195) menjelaskan bahwa dalam bulan Desember 1817
Kapitan Pattimura bersama tiga orang panglimanya dijatuhi hukuman mati yang
dijalankannya di banteng Niuew Victoria di Ambon.

C. Perlawanan terhadap Kolonial Belanda di Bali


1. Latar Belakang terjadinya Perlawanan

Pulau Bali memiliki beberapa kerajaan yang memiliki kekuasa sendiri dan
menjalankan kegiatan politik masing-masing. Kerajaan-kerajaan yang berdiri di
Bali antara lain adalah Kerajaan Karangasem, Kerajaan Buleleng, Kerajaan
Badung, dll. Kebanyakan kerajaan tersebut bercorak Hindu meskipun pada abad
ke-19 Islam telah menyebar ke Nusantara.

Pada abad ke-19 kekuasaan Kolonial Belanda telah masuk ke wilayah


Nusantara diantaranya masuk ke pulau Bali. Hubungan antara kolonial Belanda
dengan kerajaan-kerajaan Bali telah dimulai jauh dari abad ke-19. Poesponegoro
& Notosusanto (2011, hlm. 249) menyebutkan bahwa,

hubungan antara raja-raja Bali dengan Belanda sebenarnya telah ada sejak
abad ke-17. Hubungan antara raja-raja Bali pada tahun 1827 dan seterusnya
sampai 1831 dengan pemerintah Hindia Belanda hanyalah dalam bidang sewa
menyewa orang untuk dijadikan bala tentara pemeritah Hindia Belanda.

Hubungan antara kerajaan-kerajaan Bali dengan pemerintah Hindia Belanda


pada awalnya hanya sebatas sewa menyewa tanah dan penjualan budak. Akan
tetapi, pemerintah Hindia Belanda menambah agenda politik mereka terhadap
kerajaan-kerajaan yang ada di Bali. Belanda memiliki dua alasan untuk
menempatkan pulau Bali didalam wilayah kekuasannya. Ricklefs (2005, hlm.
203) menyebutkan bahwa, alasan pertama adalah perampokan dan perampasan
yang dilakukan oleh orang-orang Bali terhadap kapal-kapal yang terdampar dan

17
yang kedua adalah kekhawatiran akan adanya kemungkinan kekuatan Eropa
lainnya yang akan melakukan intervensi atau menguasai Bali.

Kondisi kerajaan-kerajaan di Pulau Bali tidak dalam satu kesatuan


pemerintahan. Hal ini menyebabkan satu kerajaan dengan kerajaan lainnya
berusaha untuk memperluas dan mempertahankan wilayah kekuasaannya. Hal ini
ternyata dimanfaatkan oleh piha kolonial Belanda. Salah satu contohnya adalah
hubungan politik antara pemerintah Hindia Belanda yang terjadi pada tahun 1841
tatkala raja Karangasem meminta bantuan dari pemerintah Hindia Belanda guna
memulihkan kekuasaannya di Lombok (Poesponegoro & Notosusanto, 2011,
hlm. 249). Hubungan tersebut menjadikan momentum bagi Belanda untuk
mengikat kerajaan tersebut dalam suatu perjanjian yang akan membuka pintu
untuk mengadakan hubungan politik dengan negara-negara diseluruh Bali.

Pemerintahan Hindia Belanda mulai terganggu dengan kebijakan adat yang


diberlakukan oleh kerajaan-kerajaan yang ada di pulau Bali yaitu hukum tawan
karang. Hal ini menjadi salah satu alasan Belanda harus menaklukan kerajaan-
kerajaan di Bali seperti yang telah disebutkan diatas. Vollenhoven (dalam
Purnawati, 2011, hlm. 176) menyebutkan bahwa,

Tawan karang adalah lembaga hukum adat antar bangsa yang berlaku di Bali
dan Lombok, yaitu suatu hak yang dimiliki oleh raja-raja dan rakyat pantai
untuk melakukan perampasan terhadap kapal-kapal laut atau perahu yang
kandas di pantai. Kapal atau perahu yang terdampar itu boleh ditolong oleh
penduduk pantai di wilayah itu, sedangkan penduduk dari wilayah lain
dilarang.
Hukum tawan karang yang diberlakukan oleh kerajaan-kerajaan di Bali
sangat memberatkan kolonial Belanda. Akan tetapi disisi lain, kerajaan-kerajaan
tersebut memiliki kepentingan yang berbeda-beda terhadap hubungan mereka
dengan kolonial Belanda. Hal ini mendorong pihak Belanda untuk beberapa kali
mengirim utusan kepada Raja-Raja Bali dengan tujuan menghapuskan hak tawan
karang, namun dipihak Kerajaan di Bali seperti Buleleng, Klungkung,
Karangasem, dan Badung tetap teguh dengan pendirian mereka untuk
menjalankan Hak Tawan Karang (Wiguna, dkk. 2014, hlm. 3). Hal inilah yang

18
menimbulkan bibit konflik sehingga Belanda berniat untuk menaklukan kerajaan-
kerajaan di Bali.

2. Jalannya Proses Perlawanan

Perjanjian yang dilakukan antara kerajaan-kerajaan Bali dengan Belanda


dilanggar oleh pihak Bali. Perjanjian tersebut terjadi pada tahun 1841 yang turut
mengikat raja-raja Klungkung, Badung, dan Buleleng. Perjanjian tersebut antara
lain menyatakan bahwa raja-raja Bali mengakui bahwa kerajaan-kerajaan Bali
berada dibawah kekuasaan negara Belanda; raja-raja Bali tidak akan
menyerahkan wilayahnya kepada bangsa-bangsa Eropa lainnya, raja memberi ijin
pengibaran bendera Belanda di daerahnya (Poesponegoro & Notosusanto, 2011,
hlm. 249).

Perjanjian antara kolonial Belanda dengan kerajaan-keajaan Bali kembali


diadakan pada tahun 1843. Poesponegoro & Notosusanto (2011, hlm. 250)
menyebutkan bahwa,

meskipun dalam tahun 1843 raja-raja Buleleng, Karangasem, dan beberapa


raja lainnya telah menandatangai perjanjian penghapusan tawan karang
ternyata mereka tidak pernah melaksanakannya dengan sungguh-sungguh.
Pada tahun 1844 di Pantai Prangcat dan Sangsit terjadi pula perampasan
terhadap kapal-kapal Belanda yang terdampar. Percekcokan kemudian timbul
antara kerajaan-kerajaan tersebut dengan Belanda. Raja-raja Bali dituntut
untuk menghapuskan hak tersebut.

Patih Buleleng, Gusti Ketut Jelantik, dengan tegas mengatakan bahwa


tuntutan tersebut tidak mungkin diterima. Gusti Jelantik yang terkenal sangat
menentang Belanda mengetahui akibat yang akan terjadi dengan penolakan
tuntutan pemerintah Hindia Belanda tersebut. Ia menghimpun pasukan,
menggiatkan latihan berperang, serta menambah perlengkapan dan persenjataan
guna menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan (Poesponegoro & Notosusanto,
2011, hlm. 250).

Pada tanggal 27 Juni 1846 telah tiba dipantai Buleleng pasukan ekspedisi
Belanda yang berkekuatan 1.700 orang pasukan darat, terdiri atas 400 orang
serdadu Eropa, 700 orang serdadu Pribumi, 100 orang serdadu Afrika, dan 500
orang bantuan dari Madura (Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm. 251).

19
Setelah diketahui raja Buleleng tidak memberikan jawaban atas ultimatum,
pasukan Belanda mulai mengadakan pendaratan. Prajurit-prajurit Bali tentunya
sudah bersiap-siap untuk menyambut serangan pasukan yang akan mendarat.

Poesponegoro & Notosusanto (2011, hlm. 251) menyatakan bahwa,

pertahanan prajurit Bali yang ada dikampung-kampung dekat pantai satu


demi satu akhirnya jatuh ketangan Belanda. Demikian pula benteng prajurit
Bali di Buleleng setelah dipertahankan secara gigih pada tanggal 28 Juni
1846 terpaksa ditinggalkan dan diduduki oleh pasukan Belanda. Istana raja
akhirnya pada tanggal 29 Juni 1846 dapat diduduki oleh Belanda.

Menyerahnya Bali pada tanggal 28 Juni 1846 belum berarti semangat dan
jiwa kepahlawanan raja dan rakyat Buleleng telah memudar. Patih Gusti Ketut
Jelantik telah mengambil keputusan untuk mengundurkan pasukannya dan
memilih Desa Jagaraga sebagai pusat pertahanan Buleleng (Setiawan, dkk. 2014,
hlm. 3).

Gusti Ketut Jelantik memilih berdamai melalui perjanjian dengan Belanda


pada 9 Juli 1846. Perjanjian tersebut mengajukan syarat bahwa dalam waktu tiga
bulan, raja Buleleng harus sudah menghapuskan benteng-bentengnya yang
pernah dipakai untuk melawan pemerintah Hindia Belanda. Selain itu, ia tidak
diperbolehkan membuat benteng baru. Raja Buleleng diharuskan juga mengganti
jumlah biaya perang yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda
(Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm. 251).

Perjanjian yang dibuat dengan pihak Belanda tersebut ternyata hanyalah suatu
siasat bagi kerajaan-kerajaan Bali untuk mempersiapkan pasukan guna melawan
Belanda. Poesponegoro & Notosusanto (2011, hlm. 252) menyebutkan bahwa,

penyerangan terhadap pasukan kecil Belanda yang ada di Bali, dan


perampasan senjata mereka, sering kali terjadi. Dalam hubungan ini Gusti
Jelantik makin giat memperkuat pasukannya. Pertahanan di pantai Buleleng
makin diperkukuh, sedangkan jalan yang menghubungkan pantai dengan ibu
kota dijaga prajurit-prajurit Bali yang bermarkas di kubu kubu pertahanan.

Pihak Belanda beberapa kali memberikan ultimatum kepada raja-raja


kerajaan Bali. Akan tetapi hal tersebut tidak ditanggapi oleh raja-raja tersebut.

20
Mereka terus memperkuat pertahanan dan melatih pasukannya untuk melawan
pihak Belanda.

Pada tanggal 6 Juni 1848 di Sangsit mendarat sebagian pasukan Belanda.


Keesokan hari dan lusanya tanggal 7 dan 8 Juni mendarat sebagian pasukan yang
lain. Pendaratan yang belakangan mendapat perlawanan pasukan Bali yang
mengadakan penjagaan dipantai. Pasukan Bali terdesak karena pasukan Belanda
lebih besar jumlahnya jika dibandingkan dengan pasukan yang dikirimkan tahun
1846 (Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm. 253)..

Pertempuran yang terjadi selama tiga jam diempat benteng Jagaraga tersebut,
pasukan Bali telah dapat menewaskan lima opsir dan 74 serdadu Belanda. Di
samping itu, tujuh opsir dan 98 serdadu menderita luka-luka. Jendral van der
Wijck yang memimpin pasukan darat tidak berhasil mendesak pasukan Bali
meninggalkan garis pertahanannya. Oleh karena itu ia menarik mundur
pasukannya, dan kembali ke pantai (Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm.
253). Hal tersebut merupakan pukulan telak bagi pihak Kolonial Belanda di
wilayah Bali.

I Gusti Ketut Jelantik dan Raja Buleleng yang dibantu oleh Jro Jempiring
dalam kurun waktu 1846 sampai 1848 telah melakukan langkah-langkah strategi
perang sebagai berikut (Kepala Dinas Kabupaten Buleleng) :
a) Menyusun benteng-benteng pertahanan di sekitar Jagaraga;
b) Melatih prajurit-prajurit Buleleng dan Jagaraga teknik dan taktik berperang;
c) Membangkitkan semangat perang masyarakat Jagaraga dan sekitarnya dengan
menggunakan rumah-rumah penduduk untuk menyimpan logistik perang;
d) Meminta bantuan kepada Raja-Raja di Bali diantaranya Raja Karangasem,
Raja Klungkung, Raja Gianyar, Raja Mengwi dan Raja Jembrana lengkap
dengan persenjataannya;
e) Strategi yang digunakan dalam perang Jagaraga adalah Supit Surang (Makara
Wyuhana). Makara Wyuhana yaitu strategi perang yang diterapkan oleh
Prabu Yudistira dalam cerita Bharata Yudha.
f) Di belakang tembok benteng yang dijadikan pusat markas dan komando I
Gusti Ketut Jelantik berdiri tegak Pura Dalem Segara Madu Jagaraga.

21
Kekalahan Belanda pada perang yang terjadi pada tahun 1848 menimbulkan
niat balas dendam. Menurut Gede Agung (dalam Setiawan, dkk. 2014, hlm. 3)
menyebutkan bahwa, pengiriman ekspedisi militer baru ketiga terhadap Bali
untuk menghancurkan kekuasaan Raja Buleleng, Karangasem dan Dewa Agung
di Klungkung dengan sekutunya hanya menunggu waktu persiapannya saja.

Jenderal Michiels memerintahkan serangan militer terhadap Benteng Jagaraga


pada dini hari tanggal 15 April 1849. Setiawan, dkk (2014, hlm. 7) menyebutkan
bahwa,

Pasukannya dibagi atas dua kesatuan yaitu kesatuan berada di bawah


komando kepala Staf Letnan Kolonel Jonkheer de Brauw, yang mendapat
tugas beroperasi ke Barat dan kesatuan lain berada di bawah komando Letnan
Kolonel J. van Swieten yang mendapat tugas menyerang benteng Jagaraga
dari muka (front).

Pasukan Bali tidak dapat menghalau pasukan musuh bahkan mereka terdesak
dan terpaksa meninggalkan benteng-bentengnya pada hari itu juga. Pada
pertempuran ini, pihak Bali banyak berjatuhan korban, terutama pasukan Gusti
Jelantik di benteng ke-3 yang dikatan hampir punah. Sisa pasukan Buleleng
banyak yang lari ke Karangasem, sedangkan raja Buleleng dan Gusti Jelantik
menyingkir ke daerah batas kerajaan Buleleng dengan Karangasem. Hal ini
menyebabkan kepala-kepala daerah bawahan terpaksa menyerah kepada Belanda,
seperti Gusti Nyoman Lebak, kepala daerah Sangsit yang menyerah pada tanggal
18 April 1849, kemudian disusul oleh pembekel di daerah tersebut pada tanggal
20 April 1849 (Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm. 256).

3. Akhir Perlawanan

Hasil perang yang menjadikan kerajaan-kerajaan Bali pihak yang kalah


memaksa kerajaan-kerajaan itu melunak terhadap Belanda seperti kerajaan
Badung dan Bangli. Pada tanggal 9 Mei 1849 Jenderal Michiels dan pasukannya
mendarat di teluk Labuhan Amuk, sebuah pantai disebelah tenggara Karangasem
yang berdekatan dengan batas kerajaan Klungkung. Kedua kerajaan tersebut
merupakan sasaran penyerangan Belanda. Di tempat lain, didekat Tulakuta, di
perbatasan Karangasem, mendarat juga seribu pasukan Gusti Nyoman Lebak dari

22
Buleleng yang membantu Belanda. Pasukan siap untuk memukul pasukan
Karangasem (Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm. 257).

Kondisi kerajaan-kerajaan Bali yang terbagi dalam dua aliran ini antara
melawan dan menentang Belanda menjadi keuntungan tersendiri bagi pihak
kolonial Belanda. Pihak Belanda yang mendapat bantuan dari kerajaan-kerajaan
Bali yang memihak kepadanya menjadikan pekerjaan mereka menjadi lebih
mudah. Poesponegoro & Notosusanto (2011, hlm. 258) menyebutkan bahwa,
karena sebagian rakyat di daerah dekat pantai banyak yang menyatakan
menyerah kepada Belanda, pengikut raja Karangasem yang terbatas jumlahnya
kalah dan raja sendiri meninggal. Raja Buleleng dan Gusti Jelantik dapat
meloloskan diri ke bukit. Dengan kekalahan ini, kerajaan Karangasem diduduki
oleh Belanda.

Pada tanggal 21 Juni 1849 orang-orang yang menjadi utusan masing-masing


kerajaan untuk menemui Gubernur Jenderal di Jakarta sudah berkumpul di
markas besar pasukan Belanda. Utusan-utusan yang mewakili negara Klungkung
adalah Ida Nyoman Pedada dan Ida Wayan Bagus; dari negara Badung adalah I
Made Rai, Ida Nyoman Mas, dan Pembekel Tuban; dari negara Tabanan adalah
Made Yaksa; sedangkan dari negara Gianyar adalah Nyoman Rai dan Gusti Putu
Getasan (Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm. 258-259). Dengan tunduknya
negara-negara di Bali tersebut berarti perlawanan-perlawanan besar telah
berakhir selama abad ke-19. Meskipun pada awal abad ke-20 terjadi perang lagi
di Bali melawan kolonial Belanda.

D. Perlawana terhadap Kolonial di Kalimantan Selatan


1. Latar Belakang Terjadinya Perlawanan

Perlawan yang terjadi di Kalimantan Selatan tepatnya di wilayah Banjar


berlangsung hampir setengah abad lamanya. Jika dilihat dari coraknya, maka
dapat dibedakan antara perlawanan yang bersifat ofensif (1859-1863) dan yang
bersifat defensive (1863-1905). Perlawanan ini meletus pada tahun 1859 karena
sikap Belanda turut mencampuri urusan pergantian takhta kerajaan Banjar dengan
mengangkat pangeran Tamjidillah yang tidak disukai rakyat Banjar menjadi

23
Sultan Banjar (Asia, 2016). Jika dilihat lebih jauh, dikalangan rakyat sudah
tertanam kebencian yang mendalam karena persoalan pajak dan kerja wajib yang
memberatkan. Pajak yang semakin berat ini berhubungan dengan semakin
kecilnya daerah kekuasaan kesultanan (Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm.
271).

Penyempitan daerah Banjar dari waktu ke waktu berdasarkan perjanjian


dengan Belanda berpangkal pada adanya komoditas tertentu yang dapat
diperdagangkan. Komoditas tersebut berupa lada, rotan, damar, emas, dan intan.
Adanya komoditas tersebut akhirnya mengundang bangsa Barat ( Belanda dan
Inggris) untuk datang ke Banjar. Pada awal abad ke 17 bangsa Eropa sangat
kesulitan untuk mendapatkan izin berdagang di Banjar. Bahkan pada akhirnya
setelah mereka mendapat izin mereka malah diusir karena merugikan pedagang
pribumi. Kedudukan kesultanan pada saat itu sangat kuat dan para pedagang
Eropa sangat lemah. Namun pengusiran ini ternyata tidak menyurutkan semangat
pedagang Eropa yaitu Belanda untuk kembali datang berdagang. Pada awal abad
ke 18, Banjar didatangi lagi oleh pedagang Belanda. Mereka berhasil mendekati
Sultan Tamjidillah dan pada tahun 1734 diadakan perjajanjian yang memberikan
fasilitas bagi Belanda untuk berdagang di wilayah Banjar.

Pada masa awal, hidup dan matinya Belanda benar-benar tergantung pada
kebijakan sultan. Akan tetapi setelah melakukan perdagangan selama setegah
abad disana muncul kesempatan untuk untuk berkembangbang dengan
munculnya konflik diantara para bangsawan mengenai kedudukan sultan antara
Pangeran Nata dan Pangeran Amir. Untuk mempertahankan kekuasaannya,
Pangeran Nata meminta bantuan kepada Belanda. Pangeran Amir dapat
ditangkap oleh Belanda kemudian dibuang ke Ceylon. Bantuan yang diberikan
Belanda kepada Pangeran Nata ternyata tidak gratis. Pada 13 Agustus 1787
mereka mengadakan perjanjian baru dimana dalam perjanjian baru tersebut
sebagian wilayah kesultanan harus diserahkan kepada Belanda seperti daerah
Tanah Bambu, Pegatan, Kutai, Bolongan, dan Kota Waringin. Sementara wilayah
negara lain tetap dikuasai sultan, tetapi sebagai pinjaman ( Poesponegoro &
Notosusanto, 2011, hlm. 273).

24
Perjanjian yang merugikan kesultanan tidak hanya dibuat satu kali saja tetapi
hingga tahun-tahun berikutnya. Untuk semakin memperkuat posisi Belanda di
Banjar agar tidak terdesak oleh Inggris, Belanda mengangkat seorang gubernur.
Sebagaimana telah disinggung bahwa penyempitan daerah kesultanan sangat
mempengaruhi kondisi sosial-ekonomi para penguasa. Kemudian pula dengan
adanya kontak dengan unsur-unsur kebudayaan Barat mengakibatkan
meningkatnya kebutuhan hidup mereka. Untuk mengatasi kesulitan ini penguasa
mengakalinya dengan menaikan pajak. Selain pajak, rakyat juga dikenakan kerja
wajib. Dengan demikian, tidak mengherakan jika persoalan pajak dan kerja wajib
menjadi pangkal timbulnya kegelisahan sosial. Dilain pihak, campur tangan
Belanda dalam urusan intern Kesultanan yaitu dalam pengangkatan pejabat-
pejabat penting termasuk jabatan sultan, membuat kegelisahan ini semakin besar.
Dalam hal ini bukan saja rakyat yang merasa tidak senang, melainkan beberapa
orang dari kalangan penguasa dari tingkat yang rendah sampai ketingkat tinggi
yaitu sultan (Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm. 274).

Rasa tidak senang terhadap Belanda karena urusan intern muncul tahun 1851,
yaitu ketika Mangkubumi meninggal dunia. Timbul perbedaan pendapat
mengenai penggantinya. Sultan Adam menginginkan Prabu Anom putranya yang
ke-4 sebagai pengganti, sedangkan Belanda tidak setuju dan mengusulkan
Pangeran Tamjidillah (putra kakak Prabu Anom, yaitu Sultan Muda
Abdurakhman dengan Nyai Aminah). Lepas dari perbedaan pendapat tersebut,
muncul masalah baru, yaitu meninggalnya Sultan Muda Abdurakhman pada
tahun 1852. Sultan Adam menghendaki Pangeran Hidayat sebagai pengganti.
Keinginan Sultan Adam tidak disetujui oleh Belanda yang menganggap Pangeran
Hidayat tidak cakap karena tidak pernah bergaul dengan Belanda dan tidak
pernah menolong dalam perdagangan. Belanda memaksa Sultan Adam untuk
mencabut usulnya, yaitu mencalonkan Pangeran Hidayat sebagai Sultan Muda
dan agar menggantinya dengan pangeran Tamjidillah. Demikian pula usul Sultan
Adam mengangkat Prabu Anom sebagai mangkubumi dicabut (Poesponegoro &
Notosusanto, 2011, hlm. 275).

25
Adanya berbagai pertetangan seperti yang sudah disebutkan diatas memaksa
Sultan Adam pada tahun 1855 secara diam-diam melantik Prabu Anom sebagai
Raja Muda. Ia juga membuat surat wasiat yang boleh dibuka ketika ia sudah
meninggal dunia. Surat wasiat itu menetapkan Pangeran Hidayat sebagai
penggantinya. Anaknya sendiri, yaitu Prabu Anom, dan cucunya, Pangeran
Tamjidillah, akan diancam hukuman mati jika menghalangi maksudnya.
Sehubungan dengan pengangkatan Prabu Anom dan pembuatan surat wasiat,
Sultan Adam memecat Pangeran Tamjidillah sebagai mangkubumi. Akan tetapi
pada tahun 1856 datang surat dari Belanda yang meyatakan Pangeran Tamjidillah
diangkat sebagai Sultan Muda kemudian memaksa Sultan Adam untuk mengakui
keputusan tersebut dan selanjutnya akan daingkat mangkubumi yang baru.
Sementara Prabu Anom dilarang meningalkan Banjar dan gerak geriknya
diawasi.

Pada bulan Mei 1856, Sultan Adam juga mengusulkan agar Pangeran Hidayat
diangkat menjadi mangkubumi. Usulnya diterima, dan pada bulan Agustus 1856
Pangeran Hidayat dilantik menjadi mangkubumi oleh Belanda. Pengajuan
Pangeran Hidayat sebagai mangkubumi oleh Sultan Adam merupakan siasat guna
mendinginkan hati rakyat yang menilai bahwa Prabu Anom dijadikan tawanan.
Sesudah Pelantikan Pangeran Hidayat sebagai mangkubumi, tanggal 1 November
1856 Sultan Adam meninggal dunia. Dua hari kemudian, Pangeran Tamjidillah
dilantik menjadi sultan (Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm. 276).

Pengankatan Pangeran Tamjidillah menimbulkan kekecewaan dikalangan


rakyat dan bangsawan. Kekecewaan itu karena Pangeran Tamjidillah merupakan
anak sultan muda (Pangeran Abdurakhman) dan Nyai Aminah yang keturunan
Tionghoa. Kebiasaan mabuk menyebabkan Ia dibenci oleh golongan agama.
Sementara Pangeran Hidayat yang sebenarnya berhak atas tahta, karena sebelum
Ia lahir telah ditetapkan oleh Sultan Sulaiman dan Sultan Adam untuk naik tahta
sesuai dengan perjanjian anatara sultan berdua dengan Mangkubumi Nataayah
Ratu Siti sebelum ibu Pangeran Hidayat dinikah dengan Sultan Muda. Menurut
tradisi, hanya sultan yang ibunya seorang keturunan yang boleh naik tahta. Selain
itu Pangeran Hidayat memiliki pribadi yang baik dan sangat disenangi oleh

26
rakyat. Terakhir, adanya surat wasiat dari Sultan Adam bahwa Pangeran Hidayat
yang akan menggantikannya ketika ia meninggal dunia.

Kedudukan Pangeran Hidayat sejak diangkat menjadi magkubumi mejadi


sulit. Sewaktu Pangeran Tamjidillah mengantikan Sultan Adam sebagai sultan,
Pangeran Hidayat merasa tersisihkan. Pendirianya selalu bertentangan dengan
Pangeran Tamjidilah. Pangeran Prabu Anom yang waktu itu dicurigai oleh
Belanda dapat ditangkap dengan menggunkan pengaruh Pangeran Hidayat
sebagai mangkubumi. Namun, pembuangan Pangeran Prabu Anom ke Jawa
menimbulakan kekecewaan Pangeran Hidayat karena menurut residen Belanda
bahwa Pangeran Prabu Anom hanya akan diatahan di Banjarmasin
(Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm. 277).

Kericuhan ini dijadikan alasan oleh Belanda untuk ikut campur didalamnya.
Kolonel Andresen, utusan Pemerintah Belanda di Batavia datang ke Banjarmasin
untuk menyelidiki penyebab kericuhan. Andresen kemudian berkesimpulan
bahwa Pangeran Tamjidillah yang tidak disenangi oleh rakyat adalah sumber
kericuhan itu. Sultan Tamjidillah akhirnya diturunkan dari tahta dan kekuasaan
Kesultanan Banjarmasin diambil alih oleh Pemerintah kolonial Belanda.
Penentangan rakyat terhadap Pangeran Tamjidillah beralih kepada Pemerintah
Belanda. Dalam situasi demikian, Pangeran Hidayat lebih condong kepada rakyat
(Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm 277).

2. Jalannya Proses Perlawanan

Perlawanan rakyat terhadap Belanda berkobar di daerah-daerah dibahawah


pimpinan Pangeran Antasari yang merupakan anak dari Sultan Hidayat. Pangeran
Antasari berhasil menghimpun kekuatan pasukan sebanya 3000 orang dan
menyerbu pos-pos Belanda. Pos-pos Belanda di Martapura dan Pengaron
diserang oleh pasukan Anatasari pada tanggal 28 April 1859. Disamping itu
kawan seperjuangan Pangeran Antasari juga telah mengadakan perlawanan
terhadap pasukan-pasukan Belanda yang dijumpai. Pada saat Pangeran Antasari
mengepung benteng Belanda di Pengaron, Kiai Demang Leman dengan
pasukannya telah bergerak disekitar Riam Kiwa dan mengancam Benteng

27
Belanda di Pengaron. Bersama-sama dengan Haji Nasrun pada tanggal 30 Juni
1859, Kiai Demang Leman menyerbu pos Belanda yang berada di Istana
Martapura. Dalam bulan Agustus 1859 berasam Haji Buyasin dan Kia Langlang,
Kiai Demang Leman berhasil merebut benteng Belanda di Tabanio (Poeponegoro
& Notosusanto, 2011, hlm. 277).

Pada tanggal 27 September 1859 pertempuran terjadi di benteng Gunung


Lawak yang dipertahankan oleh Kiai Demang Leman dan kawan-kawan. Dalam
pertempuran ini pasukan Demang Leman lebih kecil dibandingkan pasukan
musuh sehingga memaksanya untuk mundur. Karena setelah Belanda berhasil
menduduki benteng tersebut tetapi tetap mendapatkan seranga gerilya dari rakyat,
akhirnya Belanda menghancurkan Benteng kemudian meninggalkannya. Sewaktu
Belanda meninggalkan benteng, mereka terus menerus mendapat serangan
gerilya dari pasukan Demang Leman yang masih aktif melakukan serangan.

Sementara dilain pihak, Tumenggung Surapati menyanggupi permintaan


pemerinatah Belanda untuk menangkap Pangeran Antasari Setelah mengadakan
perundingan diatas akapal Ourust pada bulan Desember 1859, Tumenggung
Surapati berbalik menyerang Belanda kemudian merebut senjata mereka dan
menenggelamkan kapal mereka. Benteng pertahanan Tumenggung Surapati
mendapat serangan yang hebat dari Belanda pada Februari 1850. Serangan yang
kuat ini mendorong Tumenggung Surapati untuk meninggalkan benteng.
Tumenggung Jalil yang mengadakan perlawanan di daerah Amuntai dan Negara
mendapat serangan dari pasukan Belanda dengan bantuan dari Bupati Danureja,
yang sejak semula setia pada Belanda. Atas jasanya membantu Belanda, Buapti
Danureja akhirnya dijadikan kepala daerah Benua Lima (Poeponegoro &
Notosusanto, 2011, hlm. 278).

Kekosongan jabatan sultan dan mangkubumi dalam Kesultanan Banjarmasin,


mengakibatkan kesultanan dihapus oleh Pemerintah Belandan pada tanggal 11
Juni 1860. Kekuasaannya kemudian dimasukan kedalam kekuasaan Pemerintah
Hindia Belanda. Karena tindakan ini, selain perlawanan-perlawanan yang sedang
berlangsung, di daerah-daerah lain timbul perlawanan baru. Dengan meluasnya
perlawanan ini, Belanda semakin kesulitan dalam menghadapi perlawanan yang

28
ada. Perluasan pengaruh perlawanan kemudian dibatasi. Kepala-kepala daerah
dan para ulama diberi peringatan agar bersikap setia kepada Pemerintah Belanda
dan mengecam para kaum pejuang. Ancaman tersebut disertai dengan anacaman
yang berat bagi yang tidak mengindahkannya. Hal itu membuat mereka cemas
tetapi kebanyakan tidak menindahkan peringatan tersebut dan malah bergadung
dengan kaum pejuang.

Sementara itu, Pangeran Hidayat mengadakan perlawanan dengan para


pengikut setianya dari satu daerah ke daerah lainnya. Pada tanggal 16 Juni 1960,
Pangeran Hidayat bertempur selama satu minggu di Ambawang, kemudian
terpaksa mundur karena persenjataan Belanda ternyata lebih kuat. Pasukan
Pangeran Hidayat akhirnya sampai di Wang Bangkal. Tidak lama disini mereka
juga mendapat serangan dari Belanda. Dalam pertempuran ini pun pasukan
Pangeran Hidayat terpaksa mundur. Selama pengunduran pasukan pasukan ini
pun pasukan Pangeran Hidayat masih melakukan gangguan terhadap pasukan
Belanda menggunkan taktik gerilya. Sementara ditempat lain, Pasukan Pangeran
Antasari masih melakukan serangan terhadap pos-pos Belanda. Pada permulaan
Agustus 1860, pasukan Pangeran Antasari berada di Rinkau Katan, dan pada 9
Agustus terjadi kontak senjata dengan pasukan Belanda. Namun ditempat ini
pasukan Pangeran Antasari terdesak dengan datangnya bantuan pasukan Belanda
yang bergerak dari Amuntai melalui Awang sehingga pasukan Pangeran
Anatasari akhirnya mundur.

Gerakan cepat pasukan Pangeran Hidayat dari satu daerah ke daerah lain
cukup menyulitkan Belanda. Pasukan Pangeran Hidayat di Gunung Mandela
dapat diketahui. Belanda mendatangkan pasukan sebanyak 140 orang dari Pantai
Ambawang bersenjatakan senapan bayonet. Akan tetapi, pasukan Belanda tidak
dapat menemukan pasukan Pangeran Hidayat karena mereka sudah
meninggalkan Gunung Mandela menuju Haroman. Kemudian Belanda
mengerahkan pasukan untuk mengejar pasukan Pangeran Hidayat, akan tetapi
karena kecepat pergerakan pasukan Pangeran Hidayat, sekali lagi Belanda
mengalami kegagalan. Kecepatan Pasukan Pangeran Hidayat membuat Belanda
kesal. Pangeran diancam akan tetap dianggap sebagai pemberontak.

29
Menyerahnya Kiai Demang Leman kepada Belanda pada 2 Oktober 1861 atas
kemauannya sendiri menyebabkan melemahnya semangat para pejuang. Namun,
penangkapan Pangeran Hidayat yang kemudian diasingkan ke Jawa pada tanggal
3 Februari 1862 membuat Kiai demang Leman kecewa. Ia menuntuk Pemerintah
Belanda untuk membatalkan pengasingan tersebut, namun tidak disetujui
Belanda. Karena hal itu lah, Kiai Demang Leman melarikan diri dari lingkungan
Belanda dan kembali mengobarkan perlawanan terhadap Belanda.

Sementara itu, Pangeran Antasari semakin giat melakukan perlawanan setelah


mendengar kabar diasingkannya Pangeran Hidayat ke Jawa. Kemahirannya
dalam bertempur cukup memberikan kepercayaan kepada para pengikut atas
kepemimpinannya. Karena kepercayaan ini, pada 14 Maret 1862, Pangeran
Antasari ditetapkan sebagai pemimpin tertinggi agama dengan gelar Panembahan
Amiruddin Khalifatul Mukminin. Sudah barang tentu gelar tersebut memiliki
pengaruh besar bagi kepemimpinan Pangeran Antasari. Ia masih memimpin
perlawanan terhadap Belanda sampai akhir hayatnya pada tanggal 11 Oktober
1862 di Hulu Taweh, tempat pertahannya yang cukup kuat (Poesponegoro &
Notosusanto, 2013, hlm. 280).

Setelah Pangeran Antasari wafat, perlawanan masih terus dilanjutkan dengan


dipimpin oleh teman seperjuangan dan putra-putra Pangeran Antasari. Kiai
Demang Leman terus mengadakan perlawanan di daerah Martapura. Aminullah
memusatkan perlawanannya disekitar Pasir. Pangeran Prabu Anom bergerilya di
daerah sekitar Amandit. Demikian pula sekitar Khayahan Atas tidak aman bagi
Belanda karena gangguan gerilyawan. Belanda menyadari bahwa kekuatan
perlawanan rakyat terletak pada para pemimpin mereka. Oleh karena itu, para
pemimpin itu selalu dicari untuk ditangkap ataupun dibunuh. Hal ini dapat dilihat
misalnya usaha untuk menangkap Kiai Demang Leman. Atas bantuan kepala
pelarian orang-orang Jawa, Kiai Demang Leman dan kawan-kawan seperjuangan
seperti Tumenggung Aria Pati dapat ditemui Pangeran Syarif Hamid yang
dijadikan alat oleh Belanda. Pangeran Syarif Hamid melakukan ini karena
dijanjikan akan diangkat sebagai Raja di Batu jika Ia berhasil menangkap Kiai
Demang Leman. Sehabis menunaikan Salat Subuh dan dalam keadaan tidak

30
bersenjata, dia ditangkap. Kemudian Demang Leman diangkut ke
Martapura. Pemerintah Belanda menetapkan hukuman gantung terhadapnya. Dia
menjalani hukuman gantung sampai mati di Martapura, sebagai pelaksanaan
keputusan Pengadilan Militer Belanda tanggal 27 Februari 1864. Selesai
digantung dan mati, kepalanya dibawa oleh Konservator Rijksmuseum van
Volkenkunde Leiden. Kepala Demang Lehman kabarnya disimpan di Museum
Leiden di Negeri Belanda, sehingga mayatnya dimakamkan tanpa kepala
(Subhanie, 2015)

3. Akhir Perlawanan

Pangeran Muhammad Seman yang merupakan putra Pangeran Antasari terus


melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Demikian juga pejuang lain yang
tetap melanjutkan perlawanan terhadap Belanda. Sebagai penerus perlawanan
dapat disebutkan, antara lain Gusti Matsaid, Pangeran Mas Natawijaya,
Tumenggung Surapati, Tumenggung Naro, dan Penghulu Rasyid. Mereka
mengobarkan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda diperbatasan
anatara Amuntai, Kulua, dan Rantau. Meskipun perlawanan yang timbul itu tidak
sekuat seperti pada masa kepemimpinan Pangeran Antasari, tetapi hal itu cukup
menyulitkan Belanda dalam memperluas wilayah.

Pada tanggal 25 September 1864 Tumenggung Surapati beserta beserta


pengikutnya menyerang benteng Belanda di Muara Taweh dan membunuh dua
penjaga benteng. Karena kejadian ini, pada bulan Maret 1865 didirikan
pertahanan berkekuatan 4 opsir 75 serdadu yang dilengkapi 2 meriam pon dan 2
mortir di Muara Taweh. Tumenggung Surapati mencoba menyerang benteng
pertahanan tersebut tetapi gagal karena kuatnya pertahanan. Ia kemudian
bergerak menuju Sungai Kawatan. Pada tanggal 1 September 1865 satu pasukan
Belanda bergerak menuju Kuala Baru untuk memutuskan jalan-jalan yang
menuju tempat pihak pejuang di Kawatan. Pasukan Belanda yang lain pada hari
berikutnya berhasil mendekati Kawatan. Kemudian disana terjadi pertempuran,
akan tetapi pasukan Tumenggung Surapati menderita kekalahan dan akhirnya
mundur.

31
Dalam membicarakan perlawanan di daerah lain perlu disebut tokoh Demang
Wangkang yang juga berpengaruh. Di Marabahan Ia sepakat dengan
Tumenggung Surapati untuk menyerang Ibu Kota Banjarmasin. Pada tanggal 25
November 1870 Ia bersama pengikutnya berjumlah 500 orang meninggalkan
Marabahan menuju Banjarmasin. Pertempuran terjadi di dalam kota. Tetapi
karena kekuatan Belanda cukup besar, Demang Wangkang kembali menarik
pasukannya keluar kota. Dalam gerak mundurnya tersebut, pasukan Demang
Wangkang tidak kembali ke Marabahan tetapi mendirikan pertahanan di
Durakhman. Ia dikejar pasukan Belanda sehingga terjadi pertempuran di
Durakhman dan dalam pertempuran ini Demang Wangkang menemui ajalnya
(Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm. 282).

Gusti Matseman pada akhir bulan Agustus 1883 beroperasi di daerah Dusun
Hulu. Ia dengan pasukannya bergerak ke daerah Telok Mayang dan berkali-kali
melakukan serangan terhadap pos Belanda di Muara Taweh. Sementara,
Pangeran Perbatasari, menantu Gusti Matseman mengadakan perlawanan
terhadap Belanda di Pahu, daerah Kutai. Kekalahannya menyebabkan Ia
ditangkap pada 1885. Demikian pula perlawananTumenggung Gamar di Lok
Tanggul tidak berhasil, sehingga Ia dengan pasukannya mundur ke Tanah
Bumbu. Tumenggung Gamar gugur pada suatu pertempuran pada 1886.
Sementara Gusti Matseman masih melanjutkan perlawanan di daerah Kahayan
Hulu. Gusti Matseman berusaha mendirikan benteng disekita hilir Sungai Taweh.
Usaha ini membuat Belanda memperkuat posnya di Kahayan dengan menambah
pasukan baru. Pada suatu ketika benteng diserang pasukan Belanda. Dalam
pertempuran itu pasukan Gusti Matseman terdesak hingga memaksa mereka
mundur dan benteng jatuh pada pihak Belanda kemudian dibakar. Gusti
Matseman masih terus melakukan perlawanan walaupun teman-teman
seperjuangannya, yaitu Gusti Acil, Gusti Arsat, dan Antung Durakhman
menyerah pada pemerintah Hindia Belanda. Perlawanannya baru berhenti setelah
Ia gugur pada tahun 1905 (Poesponegoro & Notosusanto, 2011, hlm. 283).

32
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perjuangan perlawanan melalui peperangan melawan kolonial Belanda di


daerah Makassar, Maluku Tengah, Bali, dan Kalimantan Selatan memiliki kisah
yang berbeda-beda. Akan tetapi, pada umumnya peperangan tersebut merupakan
suatu bentuk gerakan dari rakayat daerah tersebut untuk menentang berdirinya
kekuasaan kolonial Belanda. Pemerintah kolonial Belanda dalam usahanya
menegakkan kekuasaan dengan cara politik intervensi dan politik devide et
impera.

Perlawanan di empat daerah tersebut memunculkan seseorang yang dijadikan


pemimpin perlawanan. Perjuangan rakyat Makassar dipimpin oleh Sultan
Hasanudin, perlawanan rakyat Maluku Tengah dipimpin oleh Kapitan Pattimura,
I Gusti Ketut Jelantik maju sebagai patih dalam perlawanan rakyat Bali, dan
Pangeran Antasari dengan rakyat Banjar berusaha melawan kesewenangan
Belanda. Orang yang dijadikan pemimpin tersebut pada umumnya merupakan
tokoh penting dalam kerajaan dan mereka memiliki keturunan seorang
bangsawan. Kedudukan yang mereka miliki menjadi suatu yang mempengaruhi
rakyat dalam perlawanan terhadap kolonial Belanda.

Pada umumnya, akhir dari perlawanan keempat daerah tersebut melawan


Belanda berujung kekalahan. Meskipun ada beberapa perlwanan yang menuai
kemenangan seperti yang terjadi di Bali. Kemenangan yang terjadi di pihak
kolonial Belanda disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor
pendukungnya adalah kesediaan alat-alat perang yang memadai dan berteknologi
tinggi dibandingkan dengan alat-alat yang dimiliki oleh kerajaan-kerajaan
tersebut.

33
DAFTAR PUSTAKA

Asia, W. (2016). Proses Perkembangan Kolonialisme dan Imperalisme Barat di


Indonesia. [Online]. Diakses dari
https://www.academia.edu/9416371/Makalah_Sejarah. Diakses pada 23
September 2016.

Kepala Dinas Sosial Kabupaten Buleleng. (t.t). Ringkasan perang Jagaraga 1848-
1849. Diakses dari:
http://bulelengkab.go.id/assets/bankdata/Ringkasan%20Perang%20Jagaraga
%20Tahun%2011848%20-%2011849_358525.pdf.

Mirawati, I. (2013). Dari Perahu Sri Komala hingga puputan; perlawanan


terhadap Pemerintahan Hindia Belanda 1906. Jurnal Sejarah Citra Leka, 17
(1), hlm. 33-42.

Patunru, A. R. D. (1967). Sejarah kerajaan Ternate. Yayasan Kebudayaan


Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Purnawati, D. M. O. (2012). Polarisasi geopolitik kerajaan di Bali abad XVI-XX.
Jurnal Media Komunikasi FIS, 11 (1), hlm. 1-15.

Poesponegoro, M. D. & Notosusanto, N. (2011). Sejarah nasional Indonesia IV.


Jakarta: Balai Pustaka.

Ricklefs, M. C. (2005). Sejarah Indonesia modern. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Setiawan, S. A. J. (2014). Peranan Nyoman Gempol dalam menentang


kolonialisme Belanda di Buleleng, Bali pada tahun 1858 (nilai-nilai
kepahlawanan dan pontesinya sebagai sumber pembelajaran Sejarah
Indonesia di SMA/SMK). Jurnal Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas
Ganesha Singaraja, hlm. 3.

Subhanie, D. (2015). Perjuangan Demang Lehman, Panglima Perang Banjar.


[Online]. Diakses dari

34
http://daerah.sindonews.com/read/1051819/29/perjuangan-demang-lehman-
panglima-perang-banjar-1444387914/7. Diakses pada 23 September 2016.

Wiharyanto, A. K. (2009). Perlawanan Indonesia terhadap Belanda pada abad


XIX. Jurnal Historia Vitae, 23, (2), hlm. 2.

Wiguna, G. O. dkk. (2013). Identifikasi nilai-nilai kepahlawanan Ida Made Rai


dalam mengusir kolonialisme Belanda di Desa Banjar pada tahun 1868
sebagai sumber pembelajaran Sejarah di SMA. Jurnal Jurusan Pendidikan
Sejarah Universitas Ganesha Singaraja, hlm. 3.

35

Anda mungkin juga menyukai