853 1679 1 SM PDF
853 1679 1 SM PDF
ABSTRAK
School myopia adalah kondisi mata minus yang baru timbul di masa anak-
anak, dimana faktor lingkungan berperan lebih besar dalam menyebabkan mata minus
dibanding faktor genetik. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan
antara aktivitas bermain video game dengan school myopia pada siswa-siswi SD Asy
Syifa 1 Bandung. Penelitian dirancang dengan metode korelasional dengan
pendekatan kuantitatif. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner dan alat
pemeriksaan visus dasar. Sampel penelitian sejumlah 85 orang. Analisis bivariat
dilakukan untuk mengidentifikasi hubungan dari kedua variabel. Dari hasil penelitian
didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara aktivitas bermain video
game dengan school myopia pada siswa-siswi SD Asy Syifa 1 Bandung.
Kemungkinan ini berarti peran video game dalam mengakibatkan school myopia
tidak banyak. Meski demikian, tetap dibutuhkan dukungan dari orang tua, guru,
maupun perawat untuk mencegah terjadinya school myopia.
ABSTRACT
Permainan anak yang dulu hanya dapat dilakukan secara tradisional dan
sederhana, seperti menata puzzle di atas papan sederhana, kini dapat dilakukan di
depan layar komputer dengan pilihan permainan yang lebih variatif. Pilihan
permainan yang lebih banyak inilah yang menyebabkan sebagian besar anak-anak
beralih dari permainan tradisional ke permainan di depan layar komputer, atau lebih
sebagai sesuatu yang menyediakan informasi digital dalam bentuk visual kepada satu
pemainnya atau lebih; menerima masukan data dari pemainnya; memproses data yang
masuk sesuai peraturan yang telah diprogram; dan mengubah informasi digital yang
disesuaikan untuk pemain. Video game sendiri telah berkembang jauh sebelum tahun
1970-an.
game semakin gencar dalam bersaing untuk memasarkan produknya. Kini, beberapa
jenis video game dapat dimainkan pada beberapa perangkat elektronik, seperti ponsel,
game watch, komputer, dan beberapa perangkat video game bermerek, seperti
(Kertamuda dan Permanadi, 2009). Selain itu, ada juga Playstation Portable (PSP)
dan beberapa pengembangan dari PSP lainnya yang lebih praktis dengan perangkat
online.
untuk individu yang bermain video game) ke dalam tiga jenis. Pertama adalah regular
gamers, dikarakteristikkan dengan bermain lebih dari satu kali sehari, setiap hari, atau
paling sedikit sekali seminggu. Kedua, casual gamers yang bermain seringkali pada
hari libur, satu atau dua kali sebulan, atau sesekali tapi mungkin berjam-jam. Dan
yang ketiga ialah non-gamers, yaitu individu yang tidak pernah bermain video game,
atau individu yang pernah mencoba bermain video game akan tetapi tidak
meneruskannya, atau individu yang dahulunya adalah pemain video game tetapi
modern seperti video game, sudah menjadi suatu kewajaran. Bermain adalah
pekerjaan anak. Dalam bermain anak secara kontinyu mempraktikkan proses hidup
yang rumit dan penuh stress, komunikasi, dan mencapai hubungan yang memuaskan
dengan orang lain. Bermain memiliki peran dalam perkembangan, dimana fungsi
sosialisasi, kreativitas, kesadaran diri, manfaat terapeutik, dan nilai moral (Wong,
2010).
belajar sejak dini. Sudah selayaknya setiap orang dapat tumbuh dan berkembang
kembang anak, maka akan berdampak jangka panjang bahkan menetap hingga
dewasa.
Berkaitan dengan hal di atas, Wong (2010) menyebutkan bahwa salah satu
beberapa pengaruh buruk game bagi anak, yaitu terhadap kesehatan, kepribadian,
memiliki kebiasaan bermain game, beresiko mengalami stres, RSI (Repetitive Strain
anak bisa menjadi agresif hingga melakukan tindakan kekerasan dalam hubungannya
dengan keluarga atau masyarakat. Sedangkan dalam pendidikannya, anak yang suka
Walaupun bermain video game juga dapat memberi pengaruh positif, namun
tanpa pengawasan yang cukup justru akan lebih banyak memberi pengaruh negatif.
Griffiths (dalam Broto, 2006) mengemukakan bahwa anak-anak mulai tertarik pada
video game pada usia sekitar tujuh tahun; sepertiga anak usia awal belasan tahun
bermain video game setiap hari, dan 7% dari mereka bermain video game paling
sedikit 30 jam per minggu. Artinya, mereka dapat bermain game, duduk di depan
layar komputer dengan mata terbuka, lebih dari empat jam setiap harinya. Dengan
bermain game selama itu maka anak tersebut kemungkinan beresiko mengalami
mata minus adalah kondisi organ bola mata lebih panjang dari ukuran normal
sehingga bayangan sinar tidak sampai tepat di pusat penglihatan (makula), melainkan
jatuh di depan makula (vitreus). Berdasarkan onset atau waktu timbulnya, myopia
dapat digolongkan dalam beberapa jenis, yaitu: congenital myopia, school myopia,
dan adult onset myopia. Khusus pada school myopia, dimana kondisi minus timbul di
diantaranya main game di komputer) berperan lebih besar dalam menyebabkan mata
Berkaitan dengan myopia di Asia, Lam and Goh (1991) menemukan bahwa
dari 383 anak sekolah dari usia 6 sampai 17 tahun, prevalensi myopia bertambah dari
30% pada usia 6-7 tahun, menjadi 70% pada usia 16-17 tahun. Saw (1996)
umur, dari 4% dari umur 6 tahun sampai 40% pada umur 12 tahun. Lebih dari 70%
dari umur 17 tahun dan lebih dari 75% pada umur 18 tahun. Di Indonesia, dari
seluruh kelompok umur (berdasarkan sensus penduduk tahun 1990), kelainan refraksi
Bandung) dan termasuk dalam satu gugus, yaitu SDN Rancabolang 1, SDN
siswa yang berkacamata. Dari hasil wawancara terhadap 15 siswa laki-laki di SD Asy
Dari hal-hal di atas dapat diketahui bahwa myopia pada anak merupakan
hubungannya dengan aktivitas bermain video game masih belum dapat dibuktikan
sepenuhnya. Dalam hal ini seharusnya perawat dilibatkan dalam mendorong orang
tua untuk mengetahui aktivitas internet (termasuk aktivitas video game) anak mereka
sambil memberikan aktivitas belajar yang tepat dengan komputer (Wong, 2010). Oleh
karena itu, peneliti tertarik mengangkat judul penelitian sebagai berikut: Hubungan
Aktivitas Bermain Video Game dengan School Myopia pada Siswa-Siswi SD Asy
Syifa 1 Bandung.
aktivitas bermain video game dengan school myopia pada siswa-siswi SD Asy Syifa 1
METODE PENELITIAN
penggunaan metode ini dimaksudkan untuk mencari hubungan antara satu variabel
Dalam penelitian ini, variabel independennya adalah aktivitas bermain video game
Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa-
siswi SD Asy Syifa 1 Bandung tahun ajaran 2011/2012 yang berjumlah 559 orang.
Populasi dibagi berdasarkan frekuensi bermain video game, yaitu non-gamers, casual
gamers, dan regular gamers yang kemudian dijadikan dasar penarikan sampel.
Pengumpulan data untuk penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu
pengumpulan data tahap I dan tahap II. Pada tahap I, peneliti membagikan kuesioner
mengenai aktivitas bermain video game kepada populasi dan sebelumnya diberikan
informed consent. Pada tahap II, Peneliti melakukan pemeriksaan tajam penglihatan
data output (penyajian data), dan tahapan yang terakhir yaitu data analyzing
distribusi frekuensi data dari variabel independen dan variabel dependen. Kemudian
antara aktivitas bermain video game dengan school myopia pada siswa-siswi SD Asy
Ha: Terdapat hubungan yang signifikan antara aktivitas bermain video game
Ho: Tidak ada hubungan yang signifikan antara aktivitas bermain video game
School Myopia
Aktivitas Bermain
f % p value
Video Game
Myopia (-) Myopia (+)
f % F %
Non-Gamers 4 5 2 2 6 7
Casual Gamers 27 32 17 20 44 52 0,911
Regular Gamers 23 27 12 14 35 41
dibagi dalam tiga kelompok, yaitu non-gamers, casual gamers, dan regular gamers.
Dari hasil penelitian, teridentifikasi bahwa lebih dari setengah responden adalah
casual gamers. Artinya mereka bermain video game seringkali hanya pada hari libur,
satu atau dua kali sebulan, atau hanya sesekali, tapi bisa berjam-jam. Hasil tersebut
sedikit berbeda dengan hasil penelitian Fromme (2003) yang mengambil sampel dari
mendapatkan lebih dari setengah anak laki-laki (55,7 %) dan sekitar 29 % anak
perempuan merupakan casual gamers; dan sekitar 6 % anak laki-laki dan 20 % anak
laki bermain game lebih sering dan lebih regular daripada anak perempuan.
bermain/jenis permainan dan perbedaan penggunaan waktu luang antara anak laki-
casual gamers. Hal ini kemungkinan terjadi karena gamers pada anak usia sekolah
dari setengah responden, yaitu sebanyak 35 orang (41 %) bermain secara regular,
artinya responden bermain lebih dari satu kali sehari, atau setiap hari, atau paling
sedikit sekali seminggu. Dan dari sebaran frekuensi non-gamers jumlahnya sangat
kecil yaitu hanya 6 orang responden (7 %). Non-gamers ialah individu yang tidak
pernah bermain video game, atau individu yang pernah mencoba bermain video game
akan tetapi tidak meneruskannya, atau individu yang dahulunya adalah pemain video
game tetapi sekarang tidak bermain lagi. Jika ditarik secara garis besar, maka hampir
seluruh responden adalah gamers, baik itu casual gamers, maupun regular gamers;
mengemukakan bahwa anak-anak mulai tertarik pada video game pada usia sekitar
dan 7% dari mereka bermain video game paling sedikit 30 jam per minggu. Padahal,
semakin dini mata seseorang terkena sinar terang secara langsung, maka semakin
dengan cepat pada tahun-tahun awal kehidupan (Curtin, 2002). Sinar terang di sini
salah satunya bisa berasal dari pancaran layar komputer dan perangkat elektronik
lainnya. Keadaan tersebut tentu seharusnya dapat dicegah jika orang tua tidak terlalu
Tingkat kejadian school myopia yang ada pada tabel 2 menunjukkan bahwa
pada anak usia sekolah dasar belum terdapat prevalensi myopia yang tinggi.
dasar. Seperti data yang didapat dari penelitian Morgan and Rose (2005), tingkatan
myopia dan kurang dari 5 % kejadian high myopia pada anak usia sekolah dasar. Data
tersebut merupakan hasil penelitian di Singapura yang merupakan salah satu dari
bermain video game. Begitu pula pada school myopia, faktor genetik memiliki
peranan terhadap kejadian school myopia namun perannya sangat kecil dibandingkan
dengan school myopia. Mutti et al. (2002) dan Quek et al. (2004) membuktikan
berpengaruh secara minimal. Hal ini diujikan pada negara-negara maju yang memiliki
lingkungan yang relatif homogen dalam hal sosial ekonomi dan edukasi, seperti
kesimpulan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kedua variabel tersebut.
Ini berarti aktivitas bermain video game berpengaruh minimal terhadap school
myopia; sejalan dengan penelitian Mutti et al. (2002) dan Quek et al. (2004). Ini
menunjukkan bahwa kondisi myopia yang terjadi pada siswa-siswi SD Asy Syifa 1
Bandung dalam kaitannya dengan aktivitas bermain video game perlu dijelaskan
melalui mekanisme yang lain. Misalnya, dengan melihat hubungan lama bermain
untuk mempermudah akses video game, memungkinkan anak-anak untuk lebih dini
terpapar pengaruh video game. Tentunya hal ini harus dicegah sedini mungkin.
pencegahan terhadap pengaruh negatif dari video game dapat didukung baik oleh
orang tua, tenaga pendidik, maupun oleh tenaga kesehatan khususnya perawat
komunitas. Pencegahan dari orang tua bisa dengan mengawasi aktivitas bermain anak
dan menentukan waktu yang tepat dimana anaknya baru boleh memainkan video
game. Hal itu juga didukung dengan tidak terlalu dini memfasilitasi anak dengan
mendorong orang tua untuk mengetahui aktivitas bermain video game yang dilakukan
anak mereka sambil memberikan aktivitas belajar yang tepat dengan komputer.
SIMPULAN
1. Sebagian besar siswa SD Asy Syifa 1 Bandung merupakan casual gamers yaitu
3. Tidak ada hubungan yang signifikan antara aktivitas bermain video game dengan
1. Bagi pihak Sekolah Dasar Asy Syifa 1 Bandung diharapkan membuat poster
mengenai aktivitas bermain video game yang sehat, bahaya dari aktivitas bermain
video game yang berlebihan, dan juga cara-cara untuk mencegah bertambahnya
ukuran dioptri pada anak yang sudah mengalami school myopia. Pendidik dapat
pula menghimbau para orang tua siswa untuk mengatur jadwal aktivitas bermain
penelitian ini, misalnya penelitian dengan judul: Hubungan Lama Bermain Video
Game dengan Kejadian School Myopia. Lama bermain video game disini bisa
dilihat dari waktu yang dihabiskan responden mulai dari pertama kali bermain
DAFTAR PUSTAKA
Morgan, I. and Rose, K. 2005. How Genetic is School Myopia? Progress in Retinal
and Eye Research 24 (2005) 1-38.
Saw Seang-Mei, Katz J., Schein O. D., et al. 1996. Epidemiology of Myopia.
Epidemiol Rev 1 8:2.
Saw Seang-Mei, Husain R., Gazzard G. M., et al. 2003. Causes of Low Vision and
Blindness in Rural Indonesia British Journal of Ophthalmology 87(9):
1075-1078.
Wong, D. L., et al. 2010. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Vol 1. Alih bahasa: Agus
Sutarna, Neti Juniarti, H. Y. Kuncara; editor edisi bahasa Indonesia: Egi
Komara Yudha, dkk. Jakarta. EGC.