PENDAHULUAN
Saat ini, prevalensi miopia pada anak usia sekolah terus meningkat di seluruh
dunia. Berbagai penelitian telah dilakukan baik secara global maupun secara lokal
untuk mengetahui perkembangan miopia pada anak. Penelitian Junghans,dkk2 pada
tahun 1990 menunjukkan bahwa 6,5% anak usia 4-12 tahun di Australia terkena
miopia. Penelitian Fan,dkk3 pada tahun 2013 di Hongkong terdapat 36,71% anak
berusia 5-16 tahun yang terkena miopia. Diketahui pula bahwa anak usia 11 tahun ke
atas memiliki resiko 15x lebih tinggi terkena miopia dibandingkan dengan anak yang
berusia 7 tahun ke bawah.
Prof. Brien Holden dari Carl Zeiss Vision Institute berkata, myopia berlaku
kepada 1.6 bilion penduduk seluruh dunia dan angkanya meningkat dengan pantas
setiap tahun terutama melibatkan golongan kanak-kanak.4 Di Malaysia sahaja,
daripada sejumlah 12.5 juta penduduk yang mengalami miopia, 7 juta adalah mereka
yang berusia di bawah 16 tahun sedangkan anak-anak di bawah usia 12 tahun sahaja
berjumlah 2.1 juta orang yang merupakan satu angka yang tinggi dan
membimbangkan.4
1
mempengaruhi miopia pada pelajar adalah usia yang lebih tua, jenis kelamin
perempuan, penghasilan keluarga yang tinggi, profesi ayah yang lebih tinggi, usia
muda saat terdeteksi miopia, membaca dengan penerangan redup, waktu tidur yang
singkat serta kondisi psikologis yang buruk/dalam tekanan. Penelitian dari Sydney
dan Singapura mengidentifikasi bahwa faktor usia yang lebih tua, jenis kelamin
perempuan, tinggal di daerah maju (urban), jenis sekolah yang lebih maju serta
aktivitas diluar ruangan yang kurang mempengaruhi terjadinya miopia di wilayah
tersebut.5 Lingkungan perkotaan dan pedesaan juga mempengaruhi miopia pada
siswa, Dimana daerah perkotaan dengan fasilitas telekomunikasi yang lebih maju
seperti televisi, komputer dan video game akan meningkatkan aktivitas melihat jarak
dekat pada pelajar yang berujung pada peningkatan progresivitas miopia pada
pelajar.6
Tidak dapat dipungkiri bahwa fungsi indera penglihatan merupakan salah satu
fungsi vital dalam menjalankan aktivitas sehari-hari sehingga apabila terdapat
gangguan dari penglihatan akan sangat mengganggu baik bagi individu dengan
gangguan penglihatan tersebut maupun orang-orang yang ada disekitar mereka.
Terutama bagi para pelajar, fungsi penglihatan akan sangat mempengaruhi jumlah
informasi yang dapat diterima selama proses belajar mengajar. Sehingga penurunan
fungsi penglihatan akibat miopia dapat mengganggu prestasi siswa di sekolah serta
membatasi aktivitas yang memerlukan penglihatan jauh seperti membaca papan tulis
dari deretan kursi bagian belakang.3
Di Sungai Besar belum ada skrining atau pemeriksaan mata anak usia pra-
sekolah dan usia sekolah yang secara berkala dilakukan untuk menyaring miopia
sehingga dapat segera diatasi atau dikoreksi dengan kacamata.7 Hal ini penting karena
koreksi dari kelainan refraktif dapat memberikan penglihatan normal pada anak. 8 Upaya
ini juga dapat mencegah akibat yang timbul seperti gangguan belajar pada anak.4
Oleh karena latar belakang diatas, perlu dilakukan penelitian mengenai prevalensi
miopia dan faktor yang mempengaruhinya pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar,
Selangor.
2
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka masalah penelitian ini dirumuskan
sebagai berikut:
3
1.3.2.2. Untuk mengetahui karakteristik faktor-faktor resiko miopia pada
siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor
1.3.2.3. Untuk mengetahui riwayat pemeriksaan mata pada siswa sekolah
dasar di Sungai Besar, Selangor
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
Media refraksi adalah bagian mata yang akan membiaskan cahaya dalam
proses melihat sehingga bayangan benda jatuh pada retina. Media refraksi terdiri dari
kornea, cairan mata, lensa dan badan kaca. Kornea adalah selaput mata yang bening
dan tembus cahaya dan merupakan jaringan yang menutup bola mata bagian depan.
Pembiasan terkuat dilakukan oleh kornea. Lensa mata terdiri dari zat tembus cahaya
yang jernih atau transparan yang berbentuk cakram bikonveks. Lensa mata dapat
menebal dan menipis pada saat terjadinya akomodasi. Badan kaca mata memiliki
fungsi yang sama dengan cairan mata untuk mempertahankan bola mata agar tetap
bulat. Peranannya mengisi ruang untuk meneruskan sinar dari lensa ke retina. Retina
merupakan bagian bola mata yang mengandung reseptor cahaya. Fungsi retina adalah
menerima rangsangan cahaya dari luar dan akan diteruskan ke otak melalui saraf
optik.9
6
Gambar 2.2. Proses melihat 9,10
Dapat dilihat dari gambar 2.2. penglihatan yang baik adalah hasil kombinasi
jalur visual neurologik yang utuh, mata yang secara struktural sehat dan dapat
memfokuskan secara tepat.11 Agar dapat menghasilkan informasi visual yang akurat,
cahaya harus difokuskan dengan tepat di retina. Ketika sinar cahaya paralel dari objek
jauh jatuh di retina dengan mata dalam keadaan istirahat atau tidak berakomodasi,
keadaan refraktif mata dikenal sebagai emetropia. Sedangkan apabila sinar cahaya
paralel tidak jatuh pada fokus di retina pada mata dalam keadaan istirahat, keadaan
refraktif mata disebut ametropia.9
Mata ametropia memerlukan lensa koreksi agar bayangan benda terfokus
dengan baik. Gangguan optik ini disebut gangguan refraksi. Refraksi adalah prosedur
untuk menetapkan dan menghitung kesalahan optik alami ini.11 Keseimbangan dalam
penglihatan sebagian besar ditentukan oleh dataran depan, kelengkungan kornea dan
panjangnya bola mata. Kornea mempunyai daya pembiasan sinar paling kuat
dibandingkan dengan bagian mata lainnya. Bila terdapat kelainan pembiasan sinar
7
oleh kornea atau adanya perubahan panjang bola mata maka sinar normal tidak dapat
terfokus pada makula.9
2.3. Ametropia
Dalam bahasa Yunani, amertos berarti tidak sebanding atau tidak seimbang,
sedangkan ops berarti mata. Sehingga kata ametropia berarti keadaan pembiasan mata
dengan panjang bola mata yang tidak seimbang. Hal ini dapat disebabkan oleh
gangguan pembiasan sinar pada media penglihatan atau kelainan bentuk bola mata.9
Berdasarkan penyebabnya, ametropia dibagi menjadi dua, ametropia aksial
dan ametropia refraktif. Ametropia aksial adalah ametropia yang terjadi akibat sumbu
bola mata lebih panjang atau lebih pendek sehingga bayangan benda difokuskan di
depan atau di belakang retina. Sedangkan ametropia refraktif adalah ametropia yang
terjadi akibat kelainan sistem pembiasan sinar di dalam mata. Bila daya bias kuat,
maka bayangan benda terletak di depan retina atau bila daya bias kurang, maka
bayangan benda akan terbentuk di belakang retina.9
Ametropia dapat dibagi menjadi miopia, hipermetropia dan astigmatisma.
Miopia (penglihatan dekat), terjadi bila kekuatan optik mata terlalu tinggi,biasanya
karena bola mata yang panjang, dan sinar cahaya paralel jatuh pada fokus di depan
retina. Hipermetropia (penglihatan jauh), terjadi apabila kekuatan optik mata terlalu
rendah, biasanya karena mata terlalu pendek, dan sinar cahaya paralel mengalami
konvergensi pada titik di belakang retina. Astigmatisme, dimana kekuatan optik
kornea di bidang yang berbeda tidak sama. Sinar cahaya paralel yang melewati
bidang yang berbeda ini jatuh ke titik fokus yang berbeda.
8
Pada tahun 1972 WHO13 mendefinisikan kebutaan adalah tajam penglihatan
<3/60. Kemudian pada tahun 1979, WHO menambahkannya dengan
ketidaksanggupan menghitung jari pada jarak 3 meter dengan koreksi maksimal. Pada
tahun 2008, revisi yang direkomendasikan WHO dan International Classification of
Disease (ICD) membagi berkurangnya penglihatan menjadi 5 kategori dengan
maksimum tajam penglihatan kurang dari 6/18 Snellen, kategori 1 dan 2 termasuk
pada low vision sedangkan kategori 3, 4 dan 5 disebut blindness. Pasien dengan
lapang pandangan 5 10 ditempatkan pada kategori 3 dan lapang pandangan kurang
dari 5 ditempatkan pada kategori 4 ( lihat tabel 2.1.)12
Sumber: Renardi ANC. Prevalensi kebutaan akibat kelainan refraksi di Kabupaten Langkat
[tesis]. Universitas Sumatera Utara. 2009.12
Kebutaan akibat miopia yang tidak dikoreksi atau akibat koreksi yang tidak
adekuat dari kelainan refraksi mulai muncul pada usia lebih muda dibandingkan
kebutaan yang disebabkan oleh katarak, yang cenderung memanifestasikan dirinya di
usia tua. Jika dampak dari kebutaan akibat kelainan refraksi dihitung dalam jumlah
kebutaan per orang per tahun, maka seseorang yang menjadi buta karena kelainan
refraksi di usia muda yang tidak dikoreksi, menghasilkan jumlah tahun dalam kondisi
buta yang lebih lama daripada jumlah tahun kebutaan karena katarak sehingga beban
sosial ekonomi di masyarakat menjadi lebih besar.14
9
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebutaan akibat kelainan refraksi dapat
menghambat pendidikan, pengembangan kepribadian, dan peluang karir, dan juga
menyebabkan beban ekonomi di masyarakat.14
2.4. Miopia
Miopia didefinisikan sebagai keadaan refraksi dimana pantulan paralel sinar
yang masuk ke mata saat istirahat difokuskan di depan retina.15 Pantulan sinar pada
bola mata yang mengalami miopia terlihat pada gambar 2.3. Sedangkan juvenile-
onset miopia adalah miopia dengan onset (angka kejadian) antara usia 7 hingga 16
tahun, terutama tergantung dari pertumbuhan globe axial length.16
10
Pada miopia, panjang bola mata anteroposterior dapat terlalu besar atau
kekuatan pembiasan media refraksi terlalu kuat.9 Dikenal beberapa bentuk miopia,
antara lain miopia refraktif dan miopia aksial. Miopia refraktif adalah miopia yang
terjadi akibat bertambahnya indeks bias media penglihatan. Hal ini terjadi akibat
pembiasan media penglihatan kornea dan lensa yang terlalu kuat. Miopia aksial
adalah miopia yang terjadi akibat panjangnya sumbu bola mata, dengan
kelengkungan kornea dan lensa yang normal.9 Menurut derajat beratnya, miopia
dibagi dalam miopia ringan, dimana miopia lebih kecil dari 3 dioptri (D); miopia
sedang, dimana miopia antara 3-6 D; dan miopia berat atau tinggi, dimana miopia
lebih besar dari 6 D.
Progresi miopi 1 D atau lebih dilaporkan pada 15%-25% anak usia 7-13
tahun, prevalensi miopia paling meningkat pada anak perempuan usia 9-10 tahun,
sedangkan pada anak laki-laki usia 11-12 tahun. Semakin dini terjadinya miopia,
semakin besar progresinya. Pada sebagian besar individu, progresi miopi berhenti
pada pertengahan usia remaja, sekitar usia 15 tahun untuk anak perempuan dan 16
tahun untuk anak laki-laki. 75% miopia pada remaja bersifat stabil.16
Gejala miopia antara lain penglihatan kabur melihat jauh dan hanya jelas pada
jarak tertentu/dekat, selalu ingin melihat dengan mendekatkan benda yang dilihat
pada mata, gangguan dalam pekerjaan, dan jarang sakit kepala.18
Koreksi mata miopia seperti yang terlihat pada gambar 2.3. adalah dengan
memakai lensa minus/negatif. Lensa yang digunakan adalah dengan ukuran teringan
yang sesuai untuk mengurangi kekuatan daya pembiasan di dalam mata. Biasanya
pengobatan dengan kaca mata dan lensa kontak. Pemakaian kaca mata dapat terjadi
pengecilan ukuran benda yang dilihat, yaitu setiap -1D akan memberikan kesan
pengecilan benda 2%. Pada keadaan tertentu, miopia dapat diatasi dengan
pembedahan pada kornea antara lain keratotomi radial, keratektomi fotorefraktif,
Laser Asissted In situ Interlamelar Keratomilieusis (Lasik).18
11
2.4.1. Etiologi dan Faktor Resiko Miopia
Prevalensi miopia di seluruh dunia terus meningkat, namun patogenesisnya
masih belum jelas. Etiologi miopia diyakini multifaktorial dengan interaksi yang erat
antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik dapat menurunkan sifat
sifat kelainan refraksi ke keturunannya, baik secara autosomal dominan maupun
autosomal resesif. Orangtua yang mempunyai sumbu bola mata yang lebih panjang
dari normal akan melahirkan keturunan yang memiliki sumbu bola mata yang lebih
panjang dari normal pula.10 Adanya riwayat miopia pada paling tidak salah satu orang
tua, berhubungan dengan kejadian miopia. Riwayat miopia pada minimal salah satu
orang tua secara signifikan lebih tinggi pada penderita miopia dibandingkan dengan
orang tanpa miopia (45,5% vs 17,8%).19 Miopia lebih banyak diderita oleh
perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan presentase pada penelitian di Iran
sebesar 60,7% : 39,3%.16 Pada penelitian kelainan refraktif siswa usia 7-15 tahun di
Qazvin, Iran didapatkan juga bahwa prevalensi miopia meningkat seiring dengan
pertambahan usia.20
Faktor genetik mungkin merupakan faktor yang paling penting; namun faktor
lain meliputi pekerjaan jarak dekat dan pendidikan juga dapat mempengaruhi.
Terdapat hubungan antara aktivitas melihat dekat meliputi waktu yang dihabiskan
untuk membaca, penggunaan komputer, menonton televisi dan bermain video game,
serta lamanya pajanan terhadap cahaya dengan kejadian miopia.19 Gangguan
penerangan dapat menimbulkan gangguan akomodasi mata, kontraksi otot siliar
secara terus-menerus akan menimbulkan gangguan refraksi mata yaitu miopia.21
12
membaca. Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian tersebut dimana didapatkan bahwa
prevalensi miopia untuk siswa kelas tiga adalah 21,74% sedangkan untuk siswa kelas
enam adalah 30%.4
Faktor lainnya telah diketahui memengaruhi terjadinya miopia pada pelajar
menurut The Beijing Childhood Eye Study5 pada tahun 2012, adalah usia yang lebih
tua, jenis kelamin perempuan, penghasilan keluarga yang tinggi, profesi ayah yang
lebih tinggi, usia muda saat terdeteksi miopia, membaca dengan penerangan redup,
waktu tidur yang singkat serta kondisi psikologis yang buruk/dalam tekanan.
Penelitian dari Sydney dan Singapura5 mengidentifikasi bahwa faktor usia yang lebih
tua, jenis kelamin perempuan, tinggal di daerah maju (urban), jenis sekolah yang
lebih maju serta aktivitas diluar ruangan yang kurang mempengaruhi terjadinya
miopia di wilayah tersebut. Lingkungan perkotaan dan pedesaan juga mempengaruhi
miopia pada siswa, Dimana daerah perkotaan dengan fasilitas telekomunikasi yang
lebih maju seperti televisi, komputer dan video game akan meningkatkan aktivitas
melihat jarak dekat pada pelajar yang berujung pada peningkatan progresivitas miopia
pada pelajar.6
Tidak dapat dipungkiri bahwa fungsi indera penglihatan merupakan salah satu
fungsi vital dalam menjalankan aktivitas sehari-hari sehingga apabila terdapat
gangguan dari penglihatan akan sangat mengganggu baik bagi individu dengan
gangguan penglihatan tersebut maupun orang-orang yang ada disekitar mereka.
Terutama bagi para pelajar, fungsi penglihatan akan sangat mempengaruhi jumlah
informasi yang dapat diterima selama proses belajar mengajar. Sehingga penurunan
fungsi penglihatan akibat miopia dapat mengganggu prestasi siswa di sekolah serta
membatasi aktivitas yang memerlukan penglihatan jauh seperti membaca papan tulis
dari deretan kursi bagian belakang.3,4
Di Sungai Besar belum ada skrining atau pemeriksaan mata anak usia pra-sekolah
dan usia sekolah yang secara berkala dilakukan untuk menyaring miopia sehingga dapat
segera diatasi atau dikoreksi dengan kacamata.7 Hal ini penting karena koreksi dari
kelainan refraktif dapat memberikan penglihatan normal pada anak.8
13
Upaya ini juga dapat mencegah akibat yang timbul seperti gangguan belajar pada
anak serta penurunan prestasi di sekolah.3,7
Pada miopia, kornea dan lensa terlalu banyak memiliki kekuatan fokus, sehingga
cahaya yang dibisakan bertemu pada suatu titik didepan retina. Kacamata dan lensa
kontak mengatasi keadaan ini dengan cara mengurangi kekuatan fokus mata yang alami
dan memungkinkan cahaya terfokus pada retina. Untuk miopia, resepnya adalah negatif,
misalnya -4,25 dioptri.22
2. Lensa kontak
Banyak yang mengira bahwa dengan menggunakan lensa kontak maka
penglihatan menjadi lebih alami. Lensa kontak memerlukan perawatan yang lebih
teliti, bisa merusak mata dan pada orang-orang tertentu tidak dapat memperbaiki
14
penglihatan sebaik kacamata. Lansia dan penderita artritis mungkin akan mengalami
kesulitan dalam merawat dan memasang lensa kontak. Terdapat berbagai jenis lensa
kontak yang dapat digunakan antara lain lensa kontak yang kaku (keras), yaitu lensa
berupa lempengan tipis yang terbuat dari plastik keras. Lensa lainnya yang dapat
ditembus gas terbuat dari silikon dan bahan lainnnya, lensa ini kaku tetapi
memungkinkan penghantaran oksigen yang lebih baik ke kornea. Ada juga lensa
kontak hidrofilik yang lunak terbuat dari plastik lentur yang lebih lebar dan menutupi
seluruh kornea serta lensa non-hidrofilik yang paling lunak terbuat dari silikon.22
Penderita miopia usia lanjut biasanya lebih menyukai lensa yang lunak karena
perawatannya lebih mudah dan ukurannya lebih besar. Lensa ini juga tidak mudah
lepas atau debu atau kotoran lainnya tidak mudah masuk ke bawahnya. Selain itu
lensa kontak yang lunak memberikan kenyamanan ketika pertama kali dipakai,
meskipun memerlukan perawatan yang cermat. Kebanyakan lensa kontak harus
dilepas dan dibersihkan setiap hari. Atau bisa digunakan lensa sekali pakai, ada yang
diganti setiap satu sampai 2 minggu sekali atau ada juga yang diganti setiap hari.
Lensa sekali pakai tidak perlu dibersihkan dan disimpan karena setiap kali diganti
dengan yang baru.22
Setiap jenis lensa kontak memiliki resiko yaitu komplikasi yang serius,
termasuk ulserasi kornea akibat infeksi yang bisa menyebabkan kebutaan. Resiko ini
bisa dikurangi dengan mengikuti aturan pemakaian dari pembuat lensa kontak dan
petunjuk dari dokter mata. Jika timbul rasa tidak nyaman, air mata yang berlebihan,
perubahan penglihatan atau mata menjadi merah, sebaiknya lensa segera dilepas dan
periksakan mata ke dokter mata.22
15
Pembedahan refraktif biasanya dijalani oleh penderita yang penglihatannya
tidak dapat dikoreksi dengan kacamata atau lensa kontak dan pederita yang tidak
dapat menggunakan kacamata atau lensa kontak.22
a. Keratotomi Radial dan Keratotomi Astigmatik
Pada keratotomi radial (KR), dibuat sayatan radial (jari-jari roda) pada kornea,
bisaanya sebanyak 4-8 sayatan. Keratotomi stigmatic (KA) digunakan untuk
memperbaiki astigmata alami dan astigmata setelah pembedahan katarak atau
pencangkokan kornea. Pada keratotomi astigmatic dibuat sayatan melengkung.22
Pembedahan bertujuan mendatarkan kornea, sehingga kornea bisa lebih
memfokuskan cahaya yang masuk ke retina. Dengan pembedahan ini penglihatan
penderita menjadi lebih baik dan sekitar 90% penderita yang menjalani pembedahan
bisa mengemudi tanpa bantuan kacamata maupun lensa kontak.22
Efek samping yang dapat ditimbulkan antara lain penglihatan berubah-ubah
(kadang jelas, kadang kabur), terutama pada beberapa bulan pertama setelah
pembedahan, kornea menjadi lemah, lebih mudah robek jika terpukul secara
langsung, infeksi, kesulitan dalam memasang lensa kontak, silau jika melihat cahaya,
nyeri yang bersifat sementara.22
b. Keratektomi Fotorefraktif
Prosedur pembedahan laser ini bertujuan untuk kembali membentuk kornea.
Digunakan sinar berfokus tinggi untuk membuang sebagian kecil kornea sehingga
bentuknya berubah. Dengan merubah bentuk kornea, maka cahaya akan lebih
terfokus ke retina dan penglihatan menjadi lebih baik. Masa penyembuhan dari terapi
laser ini lebih lama dan lebih terasa nyeri dibandingkan dengan pembedahan
refraktif.22
c. Laser In Situ Keratomileusis (LASIK)
LASIK tidak terlalu sakit dan penyembuhan penglihatannya lebih baik
dibandingkan dengan keratektoi fotorefraktif.22
16
2.4.3. Pencegahan Miopia
17
Gambar 2.4. Snellen chart.24
18
berkas yang terfokus di pusat yang dapat mencapai retina, sehingga
menghasilkan bayangan yang lebih tajam.11 Bila dengan pinhole
penglihatan lebih baik, maka ada kelainan refraksi yang masih dapat
dikoreksi dengan kacamata. Bila penglihatan berkurang dengan
diletakkannya pinhole di depan mata berarti ada kelainan organik atau
kekeruhan media penglihatan yang mengakibatkan penglihatan menurun.
Pada seseorang yang terganggu akomodasinya atau adanya presbiopi, maka
apabila melihat benda-benda yang sedikit didekatkan akan terlihat kabur.9
Faktor Usia Jenis Kelamin Status Ekonomi Pekerjaan Orang Jenis Sekolah Membaca
Keturunan Keluarga Tua Buku/Belajar
MIOPIA
Menonton TV Bermain Video Menggunakan Membaca dengan Waktu Tidur Aktivitas di Luar Kondisi
Game Komputer Penerangan Redup Ruangan Psikologis
19
Terdapat banyak faktor resiko yang dapat mempengaruhi terjadinya miopia
3,4,6
pada pelajar. Dalam penelitian ini, ada sembilan faktor resiko yang akan diteliti
sebagai variabel independen yaitu faktor keturunan, jenis kelamin, status ekonomi,
pekerjaan orangtua, jenis sekolah serta perilaku melihat jarak dekat berupa menonton
televisi, bermain video game, menggunakan komputer, belajar/membaca buku dan
membaca dengan penerangan redup terhadap kejadian miopia sebagai variabel
dependen. Faktor resiko berupa usia, waktu tidur, aktivitas di luar ruangan serta
kondisi psikologis tidak dilakukan dalam penelitian ini karena keterbatasan waktu dan
tenaga.
20
BAB III
KERANGKA KONSEP
21
Faktor Keturunan Perilaku melihat jarak
Karakteristik dekat:
responden: Menonton TV
Jenis kelamin Membaca
Status ekonomi buku/belajar jarak
keluarga dekat
Pekerjaan orang tua Bermain video game
Jenis sekolah Bekerja/bermain
menggunakan
komputer
Miopia
Skema 3.1
Kerangka konsep penelitian hubungan antara faktor-faktor resiko terhadap kejadian miopia
pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor
3.2.1. Miopia
a) Definisi
Kemampuan untuk melihat jauh dengan tajam penglihatan kurang dari
6/18
b) Alat ukur
Kartu Snellen
c) Cara ukur
Pengukuran dilakukan di ruang kelas yang pencahayaannya cukup,
dengan cara siswa duduk di bangku dengan jarak 6 meter dari kartu
Snellen. Kemudian tajam penglihatan kedua mata diperiksa satu
persatu. Saat sedang dilakukan pameriksaan pada mata kanan maka
mata kiri subjek akan ditutup dengan telapak tangan dengan rapat
22
namun tidak menekan bola mata, demikian pula sebaliknya. Kemudian
subjek akan diminta menyebutkan nama huruf pada kartu snellen yang
ditunjuk pemeriksa. Pemeriksa akan menunjuk satu persatu seluruh
huruf pada kartu snellen, dimulai dari huruf di baris paling atas hingga
subjek salah menyebut 3 huruf dari baris yang ditunjuk. Lalu
pemeriksa akan mencatat katajaman penglihatan subjek sesuai standar
yang tertera pada kartu snellen. Apabila hasil tajam penglihatan subjek
adalah 6/6, maka pemeriksa akan meletakkan lensa positif di depan
mata subjek untuk melihat apakah mata subjek normal atau subjek
menderita hipermetropia. Apabila hasil tajam penglihatan subjek
kurang dari 6/6, maka pemeriksa akan meletakkan lensa negatif di
depan mata subjek. Apabila penglihatan subjek lebih baik, maka
subjek menderita miopia. Kemudian pemeriksa akan melakukan uji
pinhole. Pinhole akan diletakkan di depan mata yang akan diperiksa
dan subjek diminta membaca baris terakhir yang masih dapat dibaca
sebelumnya. Apabila dengan uji pinhole penglihatan tidak bertambah
baik maka kemungkinan terdapat kelainan organik pada mata seperti
kelainan retina atau saraf optik.9,15
d) Hasil ukur
1. Mata normal: Visus 6/6 6/18
2. Miopia: Visus > 6/18
23
c) Cara ukur
Responden diberikan pertanyaan tentang penggunaan kacamata miopia
dalam keluarga
d) Hasil ukur
1. Ada : Terdapat anggota keluarga yang menggunakan kacamata untuk
melihat jarak jauh
2. Tidak ada: Tidak terdapat anggota keluarga yang menggunakan
kacamata untuk melihat jarak jauh
24
d) Hasil ukur
1. Golongan menengah ke bawah : penghasilan kurang dari RM
2.000 -
2. Golongan menengah ke atas : Penghasilan lebih dari RM 2.000,-
25
1. Sekolah Agama Tahfiz Al-Quran: pelajar yang bersekolah di Sekolah
Agama Tahfiz Al-Quran sebagai perwakilan sekolah swasta
2. Sekolah Kebangsaan Seri Makmur: pelajar yang bersekolah di Sekolah
Kebangsaan Seri Makmur sebagai perwakilan sekolah negeri
26
f) Hasil ukur
1. Mengikuti syarat: Jawaban dari keempat pertanyaan sesuai dengan
kondisi membaca yang benar
2. Tidak mengikuti syarat: Jawaban dari keempat pertanyaan tidak sesuai
dengan kondisi membaca yang benar
Kuesioner
27
c) Cara ukur
Responden diberikan 3 pertanyaan dalam kuesioner mengenai kebiasaan
menggunakan komputer
d) Hasil ukur
1. Mengikuti syarat: Jawaban dari ketiga pertanyaan sesuai dengan
kondisi menggunakan komputer yang benar
2. Tidak mengikuti syarat: Jawaban dari ketiga pertanyaan tidak sesuai
dengan kondisi menggunakan komputer yang
benar
Kuesioner
c) Cara ukur
28
BAB IV
METODE PENELITIAN
29
4.3. Populasi dan Sampel
4.3.1. Populasi
1. Populasi target
Populasi target adalah siswa sekolah dasar yang mengikuti pendidikan
di Sungai Besar, Selangor.
2. Populasi terjangkau
Populasi terjangkau adalah siswa kelas 5 sekolah dasar dari lokasi
penelitian yang telah ditentukan. Pemilihan populasi ini didasarkan
pada kondisi siswa kelas 5 yang memiliki usia antara 11 tahun dimana
usia ini memiliki resiko paling tinggi menderita miopia.
4.3.2. Sampel
Sampel adalah sejumlah pelajar Kelas 5 Sekolah Agama Tahfiz Al-
Quran dan Sekolah Menengah Seri Makmur yang terdiri dari laki-laki
dan perempuan serta memenuhi kriteria inklusi dan kriteria ekslusi.
Perhitungan besar sampel yang dibutuhkan dalam suatu penelitian
menggunakan rumus Slovin. Pemilihan sampel dilakukan secara
Simple Random Sampling.
30
Kriteria seleksi:
1. Kriteria inklusi:
Subjek kelas 5 yang bersedia mengikuti penelitian
2. Kriteria eksklusi:
a. Subjek yang tidak hadir pada saat penelitian
b. Subjek sejak awal menderita miopia
c. Subjek dengan gangguan penglihatan lainnya
d. Subjek yang tidak memberikan informasi dalam kuesioner dan
wawancara secara lengkap
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data
primer diperoleh dengan cara kunjungan ke lokasi penelitian dan
wawancara orangtua via telepon serta membagikan kuesioner untuk
diisi sendiri oleh responden serta pemeriksaan tajam penglihatan
dengan menggunakan kartu Snellen.
31
Selanjutnya kuisoner dibagikan ke responden untuk diisi, setelah itu
hasilnya langsung dimasukkan kedalam tabel yang telah disediakan
dan dilakukan pengukuran tajam penglihatan pada siswa menggunakan
kartu Snellen.
32
BAB V
HASIL PENELITIAN
Berikut ini merupakan data hasil penelitian yang diperoleh dan disajikan
dalam bentuk tabel :
Frekuensi
Variabel Kategori Presentase(%)
(n=122)
33
Berdasarkan tabel 5.1, Subjek yang memiliki keluarga dengan miopia lebih
sedikit dari pada yang tidak memiliki anggota keluarga dengan miopia. Subjek yang
berjenis kelamin laki-laki lebih sedikit bila dibandingkan dengan perempuan. Subjek
dengan status ekonomi menengah ke atas lebih banyak daripada menengah ke bawah.
Orang tua subjek lebih banyak bekerja di institusi non pemerintah dibandingkan
institusi pemerintah. Untuk aktivitas melihat dekat, subjek yang memiliki kebiasaan
menonton TV yang memenuhi syarat lebih banyak bila dibandingkan dengan yang
tidak memenuhi syarat. Begitu pula dengan subjek dengan kebiasaan membaca
memenuhi syarat, kebiasaan bermain video game memenuhi syarat dan kebiasaan
menggunakan komputer sesuai dengan tata cara yang benar.
34
Tabel 5.3 Deskripsi hasil pemeriksaan ketajaman penglihatan
Berdasarkan definisi dari WHO dan definisi operasional yang diambil dalam
penelitian ini subjek dianggap menderita miopia apabila diperoleh tajam penglihatan
<6/18 dari hasil pemeriksaan. Tabel 5.3 menunjukkan bahwa responden dengan
gangguan penglihatan memiliki jumlah yang lebih banyak yaitu sebanyak 49,2%
daripada responden dengan tajam penglihatan yang normal maupun dengan menderita
miopia.
Tabel 5.4 Karakteristik Keturunan sebagai Faktor Resiko Miopia pada Siswa
Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016.
35
Keturunan
100
90
80
70
60
Miopia
50
Gangguan Penglihatan
40
Normal
30
20
10
0
Ada Tidak Ada
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini bahwa terdapat 36 orang subjek
yang memiliki keluarga dengan miopia, 16 orang daripadanya menderita miopia dan
20 orang daripadanya memiliki gangguan penglihatan. Manakala, siswa yang tidak
ada riwayat keluarga yang menderita miopia kebanyakannya memiliki penglihatan
normal yaitu sebanyak 44 orang (51,2%) dari sejumlah 86 orang.
36
1.2. Karakteristik Jenis Kelamin sebagai Faktor Resiko Miopia
Tabel 5.5 Karakteristik Jenis Kelamin sebagai Faktor Resiko Miopia pada Siswa
Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016.
Jenis Kelamin
100
90
80
70
60
Miopia
50
Gangguan Penglihatan
40
Normal
30
20
10
0
Laki-Laki Perempuan
Tabel 5.5 dan grafik 2 menunjukkan karakteristik jenis kelamin sebagai faktor
resiko miopia. Dari 122 sampel terdiri dari 48 laki-laki orang (39,3%) dan perempuan
sebanyak 74 orang (60,7%).
37
Dari 48 orang laki-laki ditemukan sebanyak 7 orang (14,6%) yang menderita
miopia dan gangguan penglihatan sebanyak 25 orang (52,1%) serta terdapat 16 orang
(33,3%) memiliki penglihatan normal. Sedangkan dari 74 orang perempuan
didapatkan 11 orang (14,9%) yang menderita miopia dan 35 orang (47,3%) terganggu
penglihatannya serta siswa dengan penglihatan normal sebanyak 28 orang (37,8%).
Tabel 5.6 Karakteristik Status Ekonomi sebagai Faktor Resiko Miopia pada
Siswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016.
Status Ekonomi
100
90
80
70
60
Miopia
50
Gangguan Penglihatan
40
Normal
30
20
10
0
Menengah Ke Atas Menengah Ke Bawah
38
Tabel 5.6 dan grafik 3 menunjukkan karakteristik status ekonomi sebagai
faktor resiko miopia. Dari 122 sampel terdapat 98 orang siswa(80,3%) berasal dari
keluarga dengan status ekonomi menengah ke atas dan sebanyak 24 orang (19,7%)
dari keluarga dengan status ekonomi menengah ke bawah.
Tabel 5.7 Karakteristik Pekerjaan Orang Tua sebagai Faktor Resiko Miopia
pada Siswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016.
39
Pekerjaan Orang Tua
100
90
80
70
60
Miopia
50
Gangguan Penglihatan
40
Normal
30
20
10
0
Institusi Pemerintah Institusi Non-Pemerintah
Didapatkan rata-rata siswa yang memiliki orang tua yang bekerja di institusi
pemerintah lebih sedikit kejadian miopia dan gangguan penglihatan yaitu sebanyak 6
orang (21,4%) dan 18 orang (64,3%) masing - masing. Manakala, siswa yang orang
tuanya bekerja di institusi non-pemerintah lebih banyak menderita miopia dan
gangguan penglihatan yaitu sebanyak 12 orang (12,8%) dan 42 orang (44,7%) masing
- masing.
40
1.5. Karakteristik Jenis Sekolah sebagai Faktor Resiko Miopia
Tabel 5.8 Karakteristik Jenis Sekolah sebagai Faktor Resiko Miopia pada Siswa
Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016.
Jenis Sekolah
100
90
80
70
60 Miopia
50
Gangguan Penglihatan
40
Normal
30
20
10
0
Sek. Keb. Seri Makmur Sek. Agama Tahfiz Al-Quran
Tabel 5.8 and Grafik 5 menunjukkan karakteristik jenis sekolah sebagai faktor
resiko miopia. Sekolah Kebangsaan Seri Makmur sebagai representasi dari sekolah
negeri dan Sekolah Agama Tahfiz Al-Quran sebagai representasi sekolah swasta di
Sungai Besar, Selangor. Dari 122 sampel diperoleh 52 orang (42,6%) daripada
Sekolah Kebangsaan Seri Makmur, manakala 70 orang (57,4%) daripada Sekolah
Agama Tahfiz Al-Quran.
41
Dari 52 orang siswa Sekolah Kebangsaan Seri Makmur, didapatkan 7 orang
(13,5%) yang menderita miopia, 27 orang (51,9%) memiliki gangguan penglihatan
dan 18 orang (34,6%) daripadanya normal. Sekolah Agama Tahfiz Al-Quran
memiliki lebih banyak siswa yang menderita miopia yaitu sebanyak 11 orang (15,7%)
dan 33 orang (47,1%) terganggu penglihatannya serta siswa yang normal
penglihatannya sebanyak 26 orang (37,1%).
Kebiasaan Menonton TV
100
90
80
70
60
Miopia
50
Gangguan Penglihatan
40
Normal
30
20
10
0
Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat
42
Grafik 6. Karakteristik Kebiasaan Menonton TV sebagai Faktor Resiko Miopia
padaSiswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016
43
Kebiasaan Membaca
100
90
80
70
60 Miopia
50
Gangguan Penglihatan
40
Normal
30
20
10
0
Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat
Dari 64 orang yang memenuhi syarat dalam perilaku membaca dengan benar
hanya 5 orang (6,9%) yang menderita miopia dan 32 orang (44,4%) memiliki
gangguan penglihatan manakala terdapat 13 orang (26,0%) yang menderita miopia
serta 28 orang (56,0%) terganggu penglihatannya karena tidak memenuhi syarat
dalam perilaku membaca dengan benar.
44
1.8. Karakteristik Kebiasaan Bermain Video Game sebagai Faktor Resiko
Miopia
Tabel 5.11 Karakteristik Kebiasaan Bermain Video Game sebagai Faktor Resiko
Miopia pada Siswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016.
45
Tabel 5.11 dan Grafik 8 menunjukkan karakteristik kebiasaan bermain video
game terhadap miopia. Dari 122 sampel diperoleh 60 orang (49,2%) memenuhi syarat
dalam perilaku bermain video game dengan benar, sedangkan 62 orang (50,8%)
daripadanya tidak memenuhi syarat.
Dari 60 orang yang memenuhi syarat dalam perilaku bermain video game
dengan benar, didapatkan hanya 4 orang (6,7%) yang menderita miopia, 24 orang
(40,0%) memiliki gangguan penglihatan dan 32 orang (53,3%) daripadanya memiliki
penglihatan normal. Manakala, terdapat lebih banyak siswa yang menderita miopia
akibat tidak memenuhi syarat perilaku bermain video game yang benar yaitu
sebanyak 14 orang (22,6%).
46
Kebiasaan Menggunakan Komputer
100
90
80
70
60 Miopia
50
Gangguan Penglihatan
40
Normal
30
20
10
0
Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat
47
BAB VI
PEMBAHASAN
Pendidikan sekolah dasar adalah tahun pendidikan paling penting karena pada
ketika inilah anak-anak memperoleh proses pembelajaran yang banyak. Dengan
demikian, ketajaman visual yang baik pada anak-anak adalah penting untuk
memastikan potensi pendidikan yang optimal. Subyek dipilih untuk penelitian ini
diwakili oleh siswa dari sekolah dasar negeri dan juga sekolah dasar swasta, distribusi
jenis kelamin yang hampir serata, dan tidak mengambil kira dari segi ras.
Berdasarkan definisi dari WHO dan definisi operasional yang diambil dalam
penelitian ini subjek dianggap menderita miopia apabila diperoleh tajam penglihatan
<6/18 dari hasil pemeriksaan. Tabel 5.3 menunjukkan bahwa responden dengan
gangguan penglihatan memiliki jumlah yang lebih banyak daripada responden dengan
tajam penglihatan yang normal maupun menderita miopia. Dimana dalam hasil
penelitian ini hanya ditemukan 14,7% responden yang menderita miopia. Sedangkan
jumlah responden dalam kategori gangguan penglihatan ditemukan sebanyak 49,2%
dari total responden.
Adapun faktor resiko terjadinya miopia seperti riwayat keluarga, usia, jenis
kelamin, status ekonomi keluarga, pekerjaan orang tua, kebiasaan waktu tidur,
perilaku melihat jarak dekat, aktivitas di luar ruangan serta kondisi psikologis. Pada
penelitian ini diutamakan faktor resiko : keturunan, jenis kelamin, status ekonomi
keluarga, pekerjaan orang tua, jenis sekolah, dan perilaku melihat jarak dekat saat
menonton TV, membaca, bermain video game dan menggunakan komputer.
48
6.2. Faktor Keturunan dan Miopia
Riwayat keluarga/keturunan merupakan salah satu faktor resiko miopia yang
tidak dapat dihindari. Adanya riwayat keluarga yang menderita miopia atau ada
gangguan penglihatan akan meningkatkan resiko seseorang untuk menderita miopia.
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, terdapat 36 orang subjek yang memiliki
keluarga dengan miopia, 10 orang daripadanya menderita miopia. Sedangkan 86
orang subjek yang tidak memiliki keluarga dengan miopia, 8 orang diantaranya juga
menderita miopia. Dari hasil penelitian ini menujukkan bahwa faktor resiko
keturunan memainkan peran penting dalam kejadian miopia pada siswa sekolah dasar
di Sungai Besar, Selangor.
Hal ini sejalan dengan penelitian Morgan dan Kathryn26 yang menyebutkan
bahwa terdapat hubungan yang jelas antara faktor keluarga terhadap kelainan refraksi
dan panjang axis bola mata. Disebutkan dalam penelitian tersebut bahwa pada
familial miopia terjadi lokalisasi kromosom yang jelas dan pada beberapa kasus,
mutasi genetik. Penelitian lain yang dilakukan pada siswa sekolah dasar (usia 6-12
tahun) di Singapura tahun 1996-1999 menunjukkan bahwa 100 orang dari 153 orang
responden menderita miopia. Dan progresivitasnya berkisar 0,5 D sampai 1,0 D
pertahun menurut penelitian oleh Dorothy dan Lisa.14
49
menyebutkan jenis kelamin perempuan lebih beresiko terhadap terjadinya miopia.
Penelitian pada siswa sekolah dasar di Hongkong menyebutkan bahwa siswa laki-laki
memiliki insidens terkena miopia yang lebih rendah dibandingkan siswa
perempuan.3,7,16,27 Namun pada penelitian retrospektif selama 30 tahun di Australia
terdapat perbedaan jumlah penderita miopia antara laki-laki dan perempuan turut
ditentukan oleh variabel umur.2
50
memberikan kontribusi terhadap terjadinya miopia adalah sekolah yang terletak di
daerah urban (kota) bila dibandingkan dengan sekolah di daerah rural (desa).
Sehingga lokasi sekolah-lah yang memberikan kontribusi terhadap miopia pada
pelajar. 2,3,6
Hasil penelitian menunjukkan bahwa menonton televisi (TV) pada jarak dekat
dan dalam waktu lama dapat meningkatkan resiko terkena miopia, dimana responden
yang mengalami gangguan penglihatan dan miopia akibat tidak memenuhi syarat
dalam perilaku menonton TV yang benar adalah sebanyak 33 orang (56,9%) dan 15
orang (25,9%) masing-masing.
Aktivitas visual yang paling banyak dilakukan oleh siswa sekolah dasar
adalah menonton TV. Dengan tingginya akses terhadap media ini serta rendahnya
pengawasan orang tua dapat memperberat kejadian miopia pada pelajar. Hal ini
sejalan dengan penelitian oleh Aniza,dkk27 bahwa menonton TV memberikan
pengaruh terhadap terjadinya miopia pada pelajar sekolah dasar di Beranang,
Selangor.
51
6.4.2. Kebiasaan membaca dan miopia
52
6.4.4. Kebiasaan menggunakan komputer dan miopia
53
BAB VII
7.1 Kesimpulan
1. Riwayat miopia dalam keluarga merupakan salah satu faktor resiko yang
dapat meningkatkan resiko kejadian miopia pada setiap individu.
2. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, golongan perempuan lebih
beresiko mendapat miopia.
3. Menurut penelitian ini, dapat disimpulkan bahawa status ekonomi keluarga
dan pekerjaan orang tua memainkan peran terhadap kejadian miopia pada
siswa di sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor.
4. Selain itu, jenis sekolah yaitu sekolah negeri dan sekolah swasta juga menjadi
faktor resiko terhadap kejadian miopia
5. Perilaku melihat jarak dekat seperti ketika menonton televisi, membaca,
bermain video game dan menggunakan komputer amat berpengaruh terhadap
kejadian miopia pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor.
7.2 Saran
54
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. 2010, Global Data on Visual Impairments 2010. [on line], Dari:
http://www.who.int./ [12 Januari 2016]
2. Junghans BM, Crewther SG. Little evidence for an epidemic of miopia in
Australian primary school children over the last 30 years. BMC
Ophthalmology 2005; Feb; 5:1. Dari: http://www.biomedcentral.com/
3. Fan DS, et al. Prevalence, Incidence, and Progression of Miopia of School
Children in Hong Kong. Invest Ophthalmol Vis Sci.2004; April; 45:1071
1075
4. Rahman B.R. Miopia di Kalangan Kanak Kanak. [online] Januari 2016.
Dari: http://www.utusan.com.my/ [13 Januari 2016]
5. Tiharyo I, Gunawan W, Suhardjo. Pertambahan Miopia Pada Anak Sekolah
Dasar Daerah Perkotaan dan Pedesaan Di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jurnal Oftalmologi Indonesia Vol. 6, No. 2, Agustus 2008 : Hal. 104 - 1 12
6. You, et al. Faktors Associated with Miopia in School Children in China: The
Beijing Childhood Eye Study. PLoS ONE 2012; Des; 7(12): e52668.
7. Season of Birth, Natural Light, and Miopia diakses 13 Januari 2016
8. WHO: Visual impairment and blindeness diakses 13 Januari 2016
9. A Konstantopoulos, G Yadegarfar, M Elgohary. Near worrk, education,
family history, and miopia in Greek conscripts. Eye(2008)22,542546. Dari:
http://www.v2020la.org/
10. Prevalence of Refractive Errors in Primary School Children 7-15 years of
qazvin city diakses 14 Januari 2016
11. Barliana JD, Mangunkusumo VW. Prevalensi dan faktor resiko miopia pada
pelajar kelas tiga dan enam sekolah dasar. Oftalmologica Indonesiana
2005;32:74-83.
12. Renardi ANC. Prevalensi kebutaan akibat kelainan refraksi di Kabupaten
Langkat [tesis]. Universitas Sumatera Utara. 2009.
13. Sardegna J, Shelly S, Rutzen AR, Steidl SM. The Encyclopedia of Blindness
and Vision Impairment 2nd Edition. New York : Facts On File Inc., 2002 ; 195
14. Dandona L, Dandona R. Refractive error blindness. Bulletin of World Health
Organization 2001; 237 43.
15. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Ed 2. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2002
16. WHO. Visual impairment and blindness. [online] Januari 2016. Dari:
http://www.who.int/ [14 Januari 2016]
55
17. Philmena MT. Effectiveness Of Planned Teaching Programme On Eye Health
Problems Of School Children Among Rural Primary School Teachers Of Selected
Schools In Bangalore [Dissertation]. Rajiv Gandhi University.2010.
http://www.eurojournals.com/ejsr_28_2_01.pdf
18. Patu I. Kelainan refraksi. [online]. 2010. Dari: http://cpddokter.com/ [14 Januari
2016 ].
19. Basic and clinical science course section 3: optics, refraction and contac lenses.
USA: American Academy of Ophtalmology. 1997. P:118
20. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. Oftalmologi umum. Ed 14. Jakarta: Widya
Medika. 2000.
21. Komunitas dan Perpustakaan Online Indonesia. Hal umum penyebab mata
menjadi rabun jauh/miopi/miopia [online].2009. Dari : http://organisasi.org/. [
14 Januari 2016 ].
22. Media informasi obat dan penyakit. [online]. 2012. Dari:
http://medicastore.com/.[ 14 Januari 2016 ].
23. Media Online Klik Dokter. [online]. 2012. Dari: http://www.klikdokter.com/ [
14 Januari 2016 ].
24. Saw SM, Koh D, Lee J, et all. Prevalence rates of refractive errors in sumatra,
Indonesia. Investigative Ophtalmology & Visual Science. Vol 43, No.10. 2002.
3174
25. Lapau,B. Metode penelitian kesehatan: Metode ilmiah penulisan skripsi, tesis
dan disertasi. Edisi revisi.Jakarta: YOI.2013.
26. Morgan I, Kathryn R, How Genetic Is School Myopia, Retinal and Eye
Research. 24(1) 1-38, 2004
27. Aniza I, Azmawati MN, Jamsiah M, et all. Prevalence of Visual Acuity
Impairment and Its Associated Factor Among Secondary School Students in
Beranang, Selangor. Malaysian Journal of Public Health Medicine. Vol. 12 (1):
39-44, 2012.
56