Anda di halaman 1dari 56

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Data WHO pada tahun 2010 menunjukkan bahwa gangguan refraksi


menempati urutan pertama dengan proporsi sebesar 42% sebagai penyebab gangguan
penglihatan pada populasi dunia disusul oleh katarak sebesar 33%. Dari sekitar 6
milyar populasi dunia, Asia tenggara menjadi salah satu wilayah dengan angka
gangguan penglihatan paling tinggi. Miopia merupakan salah satu penyebab terbesar
gangguan penglihatan di dunia.1

Saat ini, prevalensi miopia pada anak usia sekolah terus meningkat di seluruh
dunia. Berbagai penelitian telah dilakukan baik secara global maupun secara lokal
untuk mengetahui perkembangan miopia pada anak. Penelitian Junghans,dkk2 pada
tahun 1990 menunjukkan bahwa 6,5% anak usia 4-12 tahun di Australia terkena
miopia. Penelitian Fan,dkk3 pada tahun 2013 di Hongkong terdapat 36,71% anak
berusia 5-16 tahun yang terkena miopia. Diketahui pula bahwa anak usia 11 tahun ke
atas memiliki resiko 15x lebih tinggi terkena miopia dibandingkan dengan anak yang
berusia 7 tahun ke bawah.

Prof. Brien Holden dari Carl Zeiss Vision Institute berkata, myopia berlaku
kepada 1.6 bilion penduduk seluruh dunia dan angkanya meningkat dengan pantas
setiap tahun terutama melibatkan golongan kanak-kanak.4 Di Malaysia sahaja,
daripada sejumlah 12.5 juta penduduk yang mengalami miopia, 7 juta adalah mereka
yang berusia di bawah 16 tahun sedangkan anak-anak di bawah usia 12 tahun sahaja
berjumlah 2.1 juta orang yang merupakan satu angka yang tinggi dan
membimbangkan.4

Berbagai faktor telah diketahui memengaruhi terjadinya miopia pada pelajar.


Menurut The Beijing Childhood Eye Study5 pada tahun 2012, faktor yang

1
mempengaruhi miopia pada pelajar adalah usia yang lebih tua, jenis kelamin
perempuan, penghasilan keluarga yang tinggi, profesi ayah yang lebih tinggi, usia
muda saat terdeteksi miopia, membaca dengan penerangan redup, waktu tidur yang
singkat serta kondisi psikologis yang buruk/dalam tekanan. Penelitian dari Sydney
dan Singapura mengidentifikasi bahwa faktor usia yang lebih tua, jenis kelamin
perempuan, tinggal di daerah maju (urban), jenis sekolah yang lebih maju serta
aktivitas diluar ruangan yang kurang mempengaruhi terjadinya miopia di wilayah
tersebut.5 Lingkungan perkotaan dan pedesaan juga mempengaruhi miopia pada
siswa, Dimana daerah perkotaan dengan fasilitas telekomunikasi yang lebih maju
seperti televisi, komputer dan video game akan meningkatkan aktivitas melihat jarak
dekat pada pelajar yang berujung pada peningkatan progresivitas miopia pada
pelajar.6

Tidak dapat dipungkiri bahwa fungsi indera penglihatan merupakan salah satu
fungsi vital dalam menjalankan aktivitas sehari-hari sehingga apabila terdapat
gangguan dari penglihatan akan sangat mengganggu baik bagi individu dengan
gangguan penglihatan tersebut maupun orang-orang yang ada disekitar mereka.
Terutama bagi para pelajar, fungsi penglihatan akan sangat mempengaruhi jumlah
informasi yang dapat diterima selama proses belajar mengajar. Sehingga penurunan
fungsi penglihatan akibat miopia dapat mengganggu prestasi siswa di sekolah serta
membatasi aktivitas yang memerlukan penglihatan jauh seperti membaca papan tulis
dari deretan kursi bagian belakang.3
Di Sungai Besar belum ada skrining atau pemeriksaan mata anak usia pra-
sekolah dan usia sekolah yang secara berkala dilakukan untuk menyaring miopia
sehingga dapat segera diatasi atau dikoreksi dengan kacamata.7 Hal ini penting karena
koreksi dari kelainan refraktif dapat memberikan penglihatan normal pada anak. 8 Upaya
ini juga dapat mencegah akibat yang timbul seperti gangguan belajar pada anak.4
Oleh karena latar belakang diatas, perlu dilakukan penelitian mengenai prevalensi
miopia dan faktor yang mempengaruhinya pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar,
Selangor.

2
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka masalah penelitian ini dirumuskan
sebagai berikut:

i. Apakah faktor-faktor resiko terhadap kejadian miopia pada siswa sekolah


dasar di Sungai Besar, Selangor?
ii. Apakah prevelensi kejadian miopia pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar,
Selangor?
iii. Apakah ada riwayat pemeriksaan mata pada siswa sekolah dasar di Sungai
Besar, Selangor?
iv. Apakah riwayat keturunan menjadi faktor kejadian miopia pada siswa sekolah
dasar di Sungai Besar, Selangor?
v. Apakah jenis kelamin menjadi faktor kejadian miopia pada siswa sekolah
dasar di Sungai Besar, Selangor?
vi. Apakah status ekonomi menjadi faktor kejadian miopia pada siswa sekolah
dasar di Sungai Besar, Selangor?
vii. Apakah pekerjaan orang tua menjadi faktor kejadian miopia pada siswa
sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor?
viii. Apakah jenis sekolah menjadi faktor kejadian miopia pada siswa sekolah
dasar di Sungai Besar,Selangor?
ix. Apakah perilaku melihat jarak dekat menjadi faktor kejadian miopia pada
siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor?

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengidentifikasi faktor-faktor resiko terhadap kejadian miopia pada
siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor.

1.3.2. Tujuan Khusus


1.3.2.1. Untuk mengetahui prevalensi miopia pada siswa sekolah dasar di
Sungai Besar, Selangor

3
1.3.2.2. Untuk mengetahui karakteristik faktor-faktor resiko miopia pada
siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor
1.3.2.3. Untuk mengetahui riwayat pemeriksaan mata pada siswa sekolah
dasar di Sungai Besar, Selangor

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Sebagai sumbangan bahan pemikiran dan informasi pada pihak sekolah dan
Dinas Kesehatan tentang faktor-faktor resiko miopia.
1.4.2. Sebagai salah satu sumber ilmiah yang diharapkan dapat menambah ilmu
pengetahuan dan bermanfaat untuk penelitian selanjutnya.
1.4.3. Bagi peneliti sendiri sebagai pengalaman berharga dalam memperluas wawasan
dan pengetahuan melalui penelitian.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi bola mata


Mata merupakan organ penting bagi manusia karena dengan mata kita mampu
melihat bagaimana indahnya dunia. Dari luar, mata terdiri atas, kelopak mata, bulu
mata, serta bola mata.9 Bola mata terbenam dalam corpus adiposum orbitae, namun
terpisah oleh selubung fasia bola mata. Penampang bola mata seperti terlihat dalam
gambar 2.1. terdiri atas tiga lapisan, dari luar ke dalam adalah: tunika fibrosa, tunika
vasculosa, dan tunika sensoria bulbi. Tunika fibrosa terdiri atas bagian posterior yang
opak, sklera, dan bagian anterior yang transparan, yaitu kornea. Tunika vasiculosa
dari belakang ke depan, disusun oleh: choroidea, corpus ciliare dan iris. Tunika
sensoria terdiri atas retina.9

Gambar 2.1. Bagian-bagian bola mata10

5
Media refraksi adalah bagian mata yang akan membiaskan cahaya dalam
proses melihat sehingga bayangan benda jatuh pada retina. Media refraksi terdiri dari
kornea, cairan mata, lensa dan badan kaca. Kornea adalah selaput mata yang bening
dan tembus cahaya dan merupakan jaringan yang menutup bola mata bagian depan.
Pembiasan terkuat dilakukan oleh kornea. Lensa mata terdiri dari zat tembus cahaya
yang jernih atau transparan yang berbentuk cakram bikonveks. Lensa mata dapat
menebal dan menipis pada saat terjadinya akomodasi. Badan kaca mata memiliki
fungsi yang sama dengan cairan mata untuk mempertahankan bola mata agar tetap
bulat. Peranannya mengisi ruang untuk meneruskan sinar dari lensa ke retina. Retina
merupakan bagian bola mata yang mengandung reseptor cahaya. Fungsi retina adalah
menerima rangsangan cahaya dari luar dan akan diteruskan ke otak melalui saraf
optik.9

2.2. Fisiologi Penglihatan


Proses melihat dimulai saat cahaya memasuki mata, terfokus pada retina dan
menghasilkan sebuah bayangan yang kecil dan terbalik. Jika sistem saraf simpatis
teraktivasi, sel-sel ini berkontraksi dan melebarkan pupil sehingga lebih banyak
cahaya dapat memasuki mata. Kontraksi dan dilatasi pupil terjadi pada kondisi
dimana intensitas cahaya berubah dan ketika kita memindahkan arah pandangan kita
ke benda atau objek yang dekat atau jauh. Pada tahap selanjutnya, setelah cahaya
memasuki mata, pembentukan bayangan pada retina bergantung pada kemampuan
refraksi mata. Kornea merefraksi cahaya lebih banyak dibandingkan lensa. Lensa
hanya berfungsi untuk menajamkan bayangan yang ditangkap saat mata terfokus pada
benda yang dekat dan jauh. Setelah cahaya mengalami refraksi, melewati pupil dan
mencapai retina, tahap terakhir dalam proses visual adalah perubahan energi cahaya
menjadi aksi potensial yang dapat diteruskan ke korteks serebri. Proses perubahan ini
terjadi pada retina. Setelah aksi potensial dibentuk pada lapisan sensori retina, sinyal
yang terbentuk akan diteruskan ke nervus optikus, optic chiasm, optic tract, lateral
geniculate dari thalamus, superior colliculi, dan korteks serebri.9,10

6
Gambar 2.2. Proses melihat 9,10

Dapat dilihat dari gambar 2.2. penglihatan yang baik adalah hasil kombinasi
jalur visual neurologik yang utuh, mata yang secara struktural sehat dan dapat
memfokuskan secara tepat.11 Agar dapat menghasilkan informasi visual yang akurat,
cahaya harus difokuskan dengan tepat di retina. Ketika sinar cahaya paralel dari objek
jauh jatuh di retina dengan mata dalam keadaan istirahat atau tidak berakomodasi,
keadaan refraktif mata dikenal sebagai emetropia. Sedangkan apabila sinar cahaya
paralel tidak jatuh pada fokus di retina pada mata dalam keadaan istirahat, keadaan
refraktif mata disebut ametropia.9
Mata ametropia memerlukan lensa koreksi agar bayangan benda terfokus
dengan baik. Gangguan optik ini disebut gangguan refraksi. Refraksi adalah prosedur
untuk menetapkan dan menghitung kesalahan optik alami ini.11 Keseimbangan dalam
penglihatan sebagian besar ditentukan oleh dataran depan, kelengkungan kornea dan
panjangnya bola mata. Kornea mempunyai daya pembiasan sinar paling kuat
dibandingkan dengan bagian mata lainnya. Bila terdapat kelainan pembiasan sinar

7
oleh kornea atau adanya perubahan panjang bola mata maka sinar normal tidak dapat
terfokus pada makula.9

2.3. Ametropia
Dalam bahasa Yunani, amertos berarti tidak sebanding atau tidak seimbang,
sedangkan ops berarti mata. Sehingga kata ametropia berarti keadaan pembiasan mata
dengan panjang bola mata yang tidak seimbang. Hal ini dapat disebabkan oleh
gangguan pembiasan sinar pada media penglihatan atau kelainan bentuk bola mata.9
Berdasarkan penyebabnya, ametropia dibagi menjadi dua, ametropia aksial
dan ametropia refraktif. Ametropia aksial adalah ametropia yang terjadi akibat sumbu
bola mata lebih panjang atau lebih pendek sehingga bayangan benda difokuskan di
depan atau di belakang retina. Sedangkan ametropia refraktif adalah ametropia yang
terjadi akibat kelainan sistem pembiasan sinar di dalam mata. Bila daya bias kuat,
maka bayangan benda terletak di depan retina atau bila daya bias kurang, maka
bayangan benda akan terbentuk di belakang retina.9
Ametropia dapat dibagi menjadi miopia, hipermetropia dan astigmatisma.
Miopia (penglihatan dekat), terjadi bila kekuatan optik mata terlalu tinggi,biasanya
karena bola mata yang panjang, dan sinar cahaya paralel jatuh pada fokus di depan
retina. Hipermetropia (penglihatan jauh), terjadi apabila kekuatan optik mata terlalu
rendah, biasanya karena mata terlalu pendek, dan sinar cahaya paralel mengalami
konvergensi pada titik di belakang retina. Astigmatisme, dimana kekuatan optik
kornea di bidang yang berbeda tidak sama. Sinar cahaya paralel yang melewati
bidang yang berbeda ini jatuh ke titik fokus yang berbeda.

2.3.1. Hubungan Ametropia dengan Kebutaan

Terminologi kebutaan didefinisikan berbeda beda di setiap negara seperti


kebutaan total, kebutaan ekonomi, kebutaan hukum dan kebutaan Sosial. Publikasi
WHO pada tahun 1966 memberikan 65 definisi kebutaan. Di bidang oftalmologi,
kebutaan adalah orang yang oleh karena penglihatannya menyebabkan ia tidak
mampu melakukan aktifitas sehari-hari.12

8
Pada tahun 1972 WHO13 mendefinisikan kebutaan adalah tajam penglihatan
<3/60. Kemudian pada tahun 1979, WHO menambahkannya dengan
ketidaksanggupan menghitung jari pada jarak 3 meter dengan koreksi maksimal. Pada
tahun 2008, revisi yang direkomendasikan WHO dan International Classification of
Disease (ICD) membagi berkurangnya penglihatan menjadi 5 kategori dengan
maksimum tajam penglihatan kurang dari 6/18 Snellen, kategori 1 dan 2 termasuk
pada low vision sedangkan kategori 3, 4 dan 5 disebut blindness. Pasien dengan
lapang pandangan 5 10 ditempatkan pada kategori 3 dan lapang pandangan kurang
dari 5 ditempatkan pada kategori 4 ( lihat tabel 2.1.)12

Tabel 2.1. Klasifikasi terhadap gangguan penglihatan menurut WHO-ICD 2007


Tingkat Ketajaman Penglihatan
Kategori Gangguan Penglihatan Level Tajam Penglihatan ( Snellen )
Penglihatan Normal 6 / 6 sampai 6 / 18
Penurunan Tajam Penglihatan 1. Kurang dari 6 / 18 sampai 6 / 60
2. Kurang dari 6 / 60 sampai 3 / 60
Kebutaan 1. Kurang dari 3 / 60 (Hitung jari dari jarak 3 m)
sampai 1 / 60 ( Hitung jari pada jarak 1 m ) atau
lapangan pandang antara 5 10.
2. Kurang dari 1 / 60 ( Hitung jari dari jarak 1 m)
dengan persepsi cahaya atau lapangan pandang
kurang dari 5
3. Tidak dapat mempersepsi cahaya

Sumber: Renardi ANC. Prevalensi kebutaan akibat kelainan refraksi di Kabupaten Langkat
[tesis]. Universitas Sumatera Utara. 2009.12

Kebutaan akibat miopia yang tidak dikoreksi atau akibat koreksi yang tidak
adekuat dari kelainan refraksi mulai muncul pada usia lebih muda dibandingkan
kebutaan yang disebabkan oleh katarak, yang cenderung memanifestasikan dirinya di
usia tua. Jika dampak dari kebutaan akibat kelainan refraksi dihitung dalam jumlah
kebutaan per orang per tahun, maka seseorang yang menjadi buta karena kelainan
refraksi di usia muda yang tidak dikoreksi, menghasilkan jumlah tahun dalam kondisi
buta yang lebih lama daripada jumlah tahun kebutaan karena katarak sehingga beban
sosial ekonomi di masyarakat menjadi lebih besar.14

9
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebutaan akibat kelainan refraksi dapat
menghambat pendidikan, pengembangan kepribadian, dan peluang karir, dan juga
menyebabkan beban ekonomi di masyarakat.14

Dampak kebutaan dari miopia mungkin berbeda dari hiperopia, karena


kebutaan akibat miopia cenderung memiliki visus dekat yang lebih baik daripada
kebutaan akibat hiperopia. Meskipun tidak ada data yang tersedia mengenai kerugian
ekonomi akibat dari kebutaan karena kelainan refraksi, namun hal ini memberikan
dampak penting dalam bidang ekonomi karena proporsi mereka yang terkena dalam
kelompok usia produktif cukup tinggi. Akan tetapi, beban kerugian ekonomi ini dapat
bervariasi sesuai dengan jenis kelainan refraksi.14

2.4. Miopia
Miopia didefinisikan sebagai keadaan refraksi dimana pantulan paralel sinar
yang masuk ke mata saat istirahat difokuskan di depan retina.15 Pantulan sinar pada
bola mata yang mengalami miopia terlihat pada gambar 2.3. Sedangkan juvenile-
onset miopia adalah miopia dengan onset (angka kejadian) antara usia 7 hingga 16
tahun, terutama tergantung dari pertumbuhan globe axial length.16

Gambar 2.3. Mata miopia dan koreksinya.17

10
Pada miopia, panjang bola mata anteroposterior dapat terlalu besar atau
kekuatan pembiasan media refraksi terlalu kuat.9 Dikenal beberapa bentuk miopia,
antara lain miopia refraktif dan miopia aksial. Miopia refraktif adalah miopia yang
terjadi akibat bertambahnya indeks bias media penglihatan. Hal ini terjadi akibat
pembiasan media penglihatan kornea dan lensa yang terlalu kuat. Miopia aksial
adalah miopia yang terjadi akibat panjangnya sumbu bola mata, dengan
kelengkungan kornea dan lensa yang normal.9 Menurut derajat beratnya, miopia
dibagi dalam miopia ringan, dimana miopia lebih kecil dari 3 dioptri (D); miopia
sedang, dimana miopia antara 3-6 D; dan miopia berat atau tinggi, dimana miopia
lebih besar dari 6 D.
Progresi miopi 1 D atau lebih dilaporkan pada 15%-25% anak usia 7-13
tahun, prevalensi miopia paling meningkat pada anak perempuan usia 9-10 tahun,
sedangkan pada anak laki-laki usia 11-12 tahun. Semakin dini terjadinya miopia,
semakin besar progresinya. Pada sebagian besar individu, progresi miopi berhenti
pada pertengahan usia remaja, sekitar usia 15 tahun untuk anak perempuan dan 16
tahun untuk anak laki-laki. 75% miopia pada remaja bersifat stabil.16
Gejala miopia antara lain penglihatan kabur melihat jauh dan hanya jelas pada
jarak tertentu/dekat, selalu ingin melihat dengan mendekatkan benda yang dilihat
pada mata, gangguan dalam pekerjaan, dan jarang sakit kepala.18
Koreksi mata miopia seperti yang terlihat pada gambar 2.3. adalah dengan
memakai lensa minus/negatif. Lensa yang digunakan adalah dengan ukuran teringan
yang sesuai untuk mengurangi kekuatan daya pembiasan di dalam mata. Biasanya
pengobatan dengan kaca mata dan lensa kontak. Pemakaian kaca mata dapat terjadi
pengecilan ukuran benda yang dilihat, yaitu setiap -1D akan memberikan kesan
pengecilan benda 2%. Pada keadaan tertentu, miopia dapat diatasi dengan
pembedahan pada kornea antara lain keratotomi radial, keratektomi fotorefraktif,
Laser Asissted In situ Interlamelar Keratomilieusis (Lasik).18

11
2.4.1. Etiologi dan Faktor Resiko Miopia
Prevalensi miopia di seluruh dunia terus meningkat, namun patogenesisnya
masih belum jelas. Etiologi miopia diyakini multifaktorial dengan interaksi yang erat
antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik dapat menurunkan sifat
sifat kelainan refraksi ke keturunannya, baik secara autosomal dominan maupun
autosomal resesif. Orangtua yang mempunyai sumbu bola mata yang lebih panjang
dari normal akan melahirkan keturunan yang memiliki sumbu bola mata yang lebih
panjang dari normal pula.10 Adanya riwayat miopia pada paling tidak salah satu orang
tua, berhubungan dengan kejadian miopia. Riwayat miopia pada minimal salah satu
orang tua secara signifikan lebih tinggi pada penderita miopia dibandingkan dengan
orang tanpa miopia (45,5% vs 17,8%).19 Miopia lebih banyak diderita oleh
perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan presentase pada penelitian di Iran
sebesar 60,7% : 39,3%.16 Pada penelitian kelainan refraktif siswa usia 7-15 tahun di
Qazvin, Iran didapatkan juga bahwa prevalensi miopia meningkat seiring dengan
pertambahan usia.20

Faktor genetik mungkin merupakan faktor yang paling penting; namun faktor
lain meliputi pekerjaan jarak dekat dan pendidikan juga dapat mempengaruhi.
Terdapat hubungan antara aktivitas melihat dekat meliputi waktu yang dihabiskan
untuk membaca, penggunaan komputer, menonton televisi dan bermain video game,
serta lamanya pajanan terhadap cahaya dengan kejadian miopia.19 Gangguan
penerangan dapat menimbulkan gangguan akomodasi mata, kontraksi otot siliar
secara terus-menerus akan menimbulkan gangguan refraksi mata yaitu miopia.21

Berdasarkan hasil penelitian mengenai prevalensi miopia dan faktor resikonya


pada siswa sekolah dasar di Malaysia, diantara beberapa faktor resiko miopia, tingkat
pendidikan yang lebih tinggi memiliki kecenderungan yang lebih besar dalam
peningkatan prevalensi miopia.4 Namun belum jelas apakah tingkat pendidikan itu
sendiri yang merupakan faktor resiko miopia atau tingkat pendidikan memperberat
atau memicu faktor lain seperti aktivitas yang memerlukan penglihatan dekat seperti

12
membaca. Hal ini ditunjukkan dari hasil penelitian tersebut dimana didapatkan bahwa
prevalensi miopia untuk siswa kelas tiga adalah 21,74% sedangkan untuk siswa kelas
enam adalah 30%.4
Faktor lainnya telah diketahui memengaruhi terjadinya miopia pada pelajar
menurut The Beijing Childhood Eye Study5 pada tahun 2012, adalah usia yang lebih
tua, jenis kelamin perempuan, penghasilan keluarga yang tinggi, profesi ayah yang
lebih tinggi, usia muda saat terdeteksi miopia, membaca dengan penerangan redup,
waktu tidur yang singkat serta kondisi psikologis yang buruk/dalam tekanan.
Penelitian dari Sydney dan Singapura5 mengidentifikasi bahwa faktor usia yang lebih
tua, jenis kelamin perempuan, tinggal di daerah maju (urban), jenis sekolah yang
lebih maju serta aktivitas diluar ruangan yang kurang mempengaruhi terjadinya
miopia di wilayah tersebut. Lingkungan perkotaan dan pedesaan juga mempengaruhi
miopia pada siswa, Dimana daerah perkotaan dengan fasilitas telekomunikasi yang
lebih maju seperti televisi, komputer dan video game akan meningkatkan aktivitas
melihat jarak dekat pada pelajar yang berujung pada peningkatan progresivitas miopia
pada pelajar.6
Tidak dapat dipungkiri bahwa fungsi indera penglihatan merupakan salah satu
fungsi vital dalam menjalankan aktivitas sehari-hari sehingga apabila terdapat
gangguan dari penglihatan akan sangat mengganggu baik bagi individu dengan
gangguan penglihatan tersebut maupun orang-orang yang ada disekitar mereka.
Terutama bagi para pelajar, fungsi penglihatan akan sangat mempengaruhi jumlah
informasi yang dapat diterima selama proses belajar mengajar. Sehingga penurunan
fungsi penglihatan akibat miopia dapat mengganggu prestasi siswa di sekolah serta
membatasi aktivitas yang memerlukan penglihatan jauh seperti membaca papan tulis
dari deretan kursi bagian belakang.3,4
Di Sungai Besar belum ada skrining atau pemeriksaan mata anak usia pra-sekolah
dan usia sekolah yang secara berkala dilakukan untuk menyaring miopia sehingga dapat
segera diatasi atau dikoreksi dengan kacamata.7 Hal ini penting karena koreksi dari
kelainan refraktif dapat memberikan penglihatan normal pada anak.8

13
Upaya ini juga dapat mencegah akibat yang timbul seperti gangguan belajar pada
anak serta penurunan prestasi di sekolah.3,7

2.4.2. Penanganan Miopia


1. Kaca mata
Kacamata dan lensa kontak meperbaiki kelainan refraktif dengan cara
menambah atau mengurangi kekuatan fokus pada kornea dan lensa. Kekuatan yang
diperlukan untuk memfokuskan gambaran secara langsung ke retina diukur dalam
dioptri. Pengukuran ini juga dikenal sebagai resep kacamata.22

Pada miopia, kornea dan lensa terlalu banyak memiliki kekuatan fokus, sehingga
cahaya yang dibisakan bertemu pada suatu titik didepan retina. Kacamata dan lensa
kontak mengatasi keadaan ini dengan cara mengurangi kekuatan fokus mata yang alami
dan memungkinkan cahaya terfokus pada retina. Untuk miopia, resepnya adalah negatif,
misalnya -4,25 dioptri.22

Cara membaca resep


kacamata Contoh :
Sferis Silindris Axis
OD (mata kanan) -1,25 -2,50 90
OS (mata kiri) -0,75 -2,25 90

Resep ini dibaca sebagai berikut :


Mata kanan minus 1,25; minus 2,50; axis 90. Mata kiri minus 0,75; minus
2,25; axis 90. Artinya mata kanan menderita miopi sebesar 1,25 dioptri, astigmata
sebesar 2,50 dioptri dengan orientas silindris 90 derajat. Mata kiri menderita miopi
sebesar 0,75 dioptri, astigmata sebesar 2,25 dioptri dengan orientasi silindris 90
derajat. Diperlukan kacamata bifokus dengan kekuatan lensa sebesar +1D untuk
membantu membaca.22

2. Lensa kontak
Banyak yang mengira bahwa dengan menggunakan lensa kontak maka
penglihatan menjadi lebih alami. Lensa kontak memerlukan perawatan yang lebih
teliti, bisa merusak mata dan pada orang-orang tertentu tidak dapat memperbaiki

14
penglihatan sebaik kacamata. Lansia dan penderita artritis mungkin akan mengalami
kesulitan dalam merawat dan memasang lensa kontak. Terdapat berbagai jenis lensa
kontak yang dapat digunakan antara lain lensa kontak yang kaku (keras), yaitu lensa
berupa lempengan tipis yang terbuat dari plastik keras. Lensa lainnya yang dapat
ditembus gas terbuat dari silikon dan bahan lainnnya, lensa ini kaku tetapi
memungkinkan penghantaran oksigen yang lebih baik ke kornea. Ada juga lensa
kontak hidrofilik yang lunak terbuat dari plastik lentur yang lebih lebar dan menutupi
seluruh kornea serta lensa non-hidrofilik yang paling lunak terbuat dari silikon.22
Penderita miopia usia lanjut biasanya lebih menyukai lensa yang lunak karena
perawatannya lebih mudah dan ukurannya lebih besar. Lensa ini juga tidak mudah
lepas atau debu atau kotoran lainnya tidak mudah masuk ke bawahnya. Selain itu
lensa kontak yang lunak memberikan kenyamanan ketika pertama kali dipakai,
meskipun memerlukan perawatan yang cermat. Kebanyakan lensa kontak harus
dilepas dan dibersihkan setiap hari. Atau bisa digunakan lensa sekali pakai, ada yang
diganti setiap satu sampai 2 minggu sekali atau ada juga yang diganti setiap hari.
Lensa sekali pakai tidak perlu dibersihkan dan disimpan karena setiap kali diganti
dengan yang baru.22
Setiap jenis lensa kontak memiliki resiko yaitu komplikasi yang serius,
termasuk ulserasi kornea akibat infeksi yang bisa menyebabkan kebutaan. Resiko ini
bisa dikurangi dengan mengikuti aturan pemakaian dari pembuat lensa kontak dan
petunjuk dari dokter mata. Jika timbul rasa tidak nyaman, air mata yang berlebihan,
perubahan penglihatan atau mata menjadi merah, sebaiknya lensa segera dilepas dan
periksakan mata ke dokter mata.22

3. Pembedahan & Terapi Laser


Pembedahan dan terapi laser bisa digunakan untuk memperbaiki miopia,
hiperopia, dan astigmata. Tetapi prosedur tersebut bisaanya tidak mampu
memperbaiki penglihatan sebaik kacamata dan lensa kontak. Sebelum menjalani
prosedur tersebut, sebaiknya penderita mendiskusikannya dengan seorang ahli mata
dan mempertimbangkan keuntungan serta kerugiannya.22

15
Pembedahan refraktif biasanya dijalani oleh penderita yang penglihatannya
tidak dapat dikoreksi dengan kacamata atau lensa kontak dan pederita yang tidak
dapat menggunakan kacamata atau lensa kontak.22
a. Keratotomi Radial dan Keratotomi Astigmatik
Pada keratotomi radial (KR), dibuat sayatan radial (jari-jari roda) pada kornea,
bisaanya sebanyak 4-8 sayatan. Keratotomi stigmatic (KA) digunakan untuk
memperbaiki astigmata alami dan astigmata setelah pembedahan katarak atau
pencangkokan kornea. Pada keratotomi astigmatic dibuat sayatan melengkung.22
Pembedahan bertujuan mendatarkan kornea, sehingga kornea bisa lebih
memfokuskan cahaya yang masuk ke retina. Dengan pembedahan ini penglihatan
penderita menjadi lebih baik dan sekitar 90% penderita yang menjalani pembedahan
bisa mengemudi tanpa bantuan kacamata maupun lensa kontak.22
Efek samping yang dapat ditimbulkan antara lain penglihatan berubah-ubah
(kadang jelas, kadang kabur), terutama pada beberapa bulan pertama setelah
pembedahan, kornea menjadi lemah, lebih mudah robek jika terpukul secara
langsung, infeksi, kesulitan dalam memasang lensa kontak, silau jika melihat cahaya,
nyeri yang bersifat sementara.22
b. Keratektomi Fotorefraktif
Prosedur pembedahan laser ini bertujuan untuk kembali membentuk kornea.
Digunakan sinar berfokus tinggi untuk membuang sebagian kecil kornea sehingga
bentuknya berubah. Dengan merubah bentuk kornea, maka cahaya akan lebih
terfokus ke retina dan penglihatan menjadi lebih baik. Masa penyembuhan dari terapi
laser ini lebih lama dan lebih terasa nyeri dibandingkan dengan pembedahan
refraktif.22
c. Laser In Situ Keratomileusis (LASIK)
LASIK tidak terlalu sakit dan penyembuhan penglihatannya lebih baik
dibandingkan dengan keratektoi fotorefraktif.22

16
2.4.3. Pencegahan Miopia

Selama bertahun-tahun, banyak pengobatan yang dilakukan untuk mencegah


atau memperlambat progresi miopia, antara lain dengan koreksi penglihatan dengan
bantuan kacamata, pemberian tetes mata atropin, menurunkan tekanan dalam bola
mata, penggunaan lensa kontak kaku untuk memperlambat perburukan rabun dekat
pada anak, latihan penglihatan berupa kegiatan merubah fokus jauh dekat.23

2.5. Tajam Penglihatan atau Visus


Penglihatan dapat dibagi menjadi penglihatan sentral dan penglihatan perifer.
Ketajaman penglihatan sentral diukur dengan memperlihatkan sasaran dengan
berbagai ukuran yang terpisah pada jarak standar dari mata.11 Pemeriksaan tajam
penglihatan merupakan pemeriksaan fungsi mata. Untuk mengetahui tajam
penglihatan seseorang, dapat digunakan kartu snellen seperti pada gambar 3 dan bila
penglihatan mata kurang maka tajam penglihatan diukur dengan menentukan
kemampuan melihat jumlah jari ataupun proyeksi sinar.9
Ukuran besarnya kemampuan mata untuk membedakan bentuk dan rincian
benda ditentukan dengan kemampuan melihat benda terkecil yang masih dapat dilihat
pada jarak tetentu. Biasanya pemeriksaan tajam penglihatan ditentukan dengan
melihat kemampuan mata membaca huruf-huruf berbagai ukuran pada jarak baku
untuk kartu. Hasilnya dinyatakan dengan angka pecahan seperti 20/20 untuk
penglihatan normal.9 Nilai pertama adalah jarak tes dalam kaki antara kartu snellen
dengan mata pasien dan nilai kedua adalah baris huruf terkecil yang dapat dibaca
mata pasien dari jarak tes. Penglihatan 20/60 berarti mata pasien hanya dapat
membaca dari jarak 20 kaki huruf yang cukup besar dibaca dari jarak 60 kaki oleh
mata orang normal.11

17
Gambar 2.4. Snellen chart.24

2.6. Pemeriksaan Visus


Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan pada mata dengan atau tanpa
kacamata. Setiap mata diperiksa terpisah. Biasakan memeriksa tajam penglihatan
kanan dahulu kemudian kiri lalu mencatatnya.9 Dengan gambar kartu Snallen
ditentukan tajam penglihatan dimana mata hanya dapat membedakan 2 titik terpisah
bila titik tersebut membentuk sudut 1 menit. Satu huruf hanya dapat dilihat bila
seluruh huruf membentuk sudut 5 menit dan setiap bagian dipisahkan dengan sudut 1
menit. Makin jauh harus dilihat, maka makin besar huruf tersebut harus dibuat karena
sudut yang terbentuk harus tetap 5 menit.9
Pemeriksaan tajam penglihatan sebaiknya dilakukan pada jarak 5 sampai 6
meter, karena pada jarak ini mata akan melihat benda dalam keadaan beristirahat atau
tanpa akomodasi. Untuk mengetahui sama atau tidaknya ketajaman penglihatan kedua
mata dapat dilakukan dengan menutup salah satu mata. Bila seseorang diragukan
apakah penglihatannya berkurang akibat kelainan refraksi, maka dilakukan uji
pinhole. Melihat kartu Snellen melalui sebuah lempengan dengan lubang kecil
mencegah sebagian besar berkas yang tidak terfokus memasuki mata.9 Hanya sedikit

18
berkas yang terfokus di pusat yang dapat mencapai retina, sehingga
menghasilkan bayangan yang lebih tajam.11 Bila dengan pinhole
penglihatan lebih baik, maka ada kelainan refraksi yang masih dapat
dikoreksi dengan kacamata. Bila penglihatan berkurang dengan
diletakkannya pinhole di depan mata berarti ada kelainan organik atau
kekeruhan media penglihatan yang mengakibatkan penglihatan menurun.
Pada seseorang yang terganggu akomodasinya atau adanya presbiopi, maka
apabila melihat benda-benda yang sedikit didekatkan akan terlihat kabur.9

2.7. Kerangka teori


Berdasarkan tinjauan kepustakaan di atas, berikut ini disajikan
kerangka teori dari penelitian mengenai Faktor-faktor resiko terhadap
kejadian miopia pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor.

Faktor Usia Jenis Kelamin Status Ekonomi Pekerjaan Orang Jenis Sekolah Membaca
Keturunan Keluarga Tua Buku/Belajar

MIOPIA

Menonton TV Bermain Video Menggunakan Membaca dengan Waktu Tidur Aktivitas di Luar Kondisi
Game Komputer Penerangan Redup Ruangan Psikologis

: Variabel Independen : Variabel yang diteliti


: Variabel Dependen : Variabel yang tidak diteliti
Skema 2.1
Kerangka teori miopia

19
Terdapat banyak faktor resiko yang dapat mempengaruhi terjadinya miopia
3,4,6
pada pelajar. Dalam penelitian ini, ada sembilan faktor resiko yang akan diteliti
sebagai variabel independen yaitu faktor keturunan, jenis kelamin, status ekonomi,
pekerjaan orangtua, jenis sekolah serta perilaku melihat jarak dekat berupa menonton
televisi, bermain video game, menggunakan komputer, belajar/membaca buku dan
membaca dengan penerangan redup terhadap kejadian miopia sebagai variabel
dependen. Faktor resiko berupa usia, waktu tidur, aktivitas di luar ruangan serta
kondisi psikologis tidak dilakukan dalam penelitian ini karena keterbatasan waktu dan
tenaga.

20
BAB III

KERANGKA KONSEP

3.1. Dasar Pemikiran Variabel Penelitian

Dengan semakin meningkatnya prevalensi miopia pada anak usia sekolah


maka perlu diketahui faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan prevalensi
tersebut sehingga dapat ditemukan metode intervensi yang tepat baik untuk mencegah
semakin meningkatnya prevalensi penderita miopia dikalangan pelajar serta
mengatasi keluhan dan efek samping ke depannya dari miopia pada pelajar. 4,5
Berdasarkan tinjauan pustaka, miopia terjadi akibat multifaktorial terutama
hasil interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Sehingga di antara
berbagai faktor tersebut, maka variabel dependen yaitu miopia dan variabel
independen yaitu faktor keturunan, jenis kelamin serta faktor lingkungan yang terdiri
atas perilaku melihat jarak dekat (menonton televisi/TV, membaca buku/belajar,
bermain video game, bekerja/belajar menggunakan komputer), pekerjaan orang tua,
penghasilan orang tua dan jenis sekolah.6 Penentuan variabel tersebut didasarkan
pada kontribusi faktor-faktor tersebut dalam terjadinya miopia di berbagai belahan
dunia. Variabel usia dalam hal ini dapat dihilangkan karena usia subjek dalam
populasi penelitian yang homogen. Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan
penelitian pada faktor resiko berupa perilaku melihat jarak dekat sehingga variabel
jumlah waktu tidur, aktivitas di luar ruangan serta kondisi psikologis tidak diteliti.
Oleh karena itu, penelitian ini perlu dilakukan untuk menilai faktor-faktor
resiko tersebut terhadap kejadian miopia pada siswa sekolah dasar khususnya di
sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor.

21
Faktor Keturunan Perilaku melihat jarak
Karakteristik dekat:
responden: Menonton TV
Jenis kelamin Membaca
Status ekonomi buku/belajar jarak
keluarga dekat
Pekerjaan orang tua Bermain video game
Jenis sekolah Bekerja/bermain
menggunakan
komputer

Miopia

Skema 3.1
Kerangka konsep penelitian hubungan antara faktor-faktor resiko terhadap kejadian miopia
pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor

3.2. Definisi Operasional

3.2.1. Miopia
a) Definisi
Kemampuan untuk melihat jauh dengan tajam penglihatan kurang dari
6/18
b) Alat ukur
Kartu Snellen
c) Cara ukur
Pengukuran dilakukan di ruang kelas yang pencahayaannya cukup,
dengan cara siswa duduk di bangku dengan jarak 6 meter dari kartu
Snellen. Kemudian tajam penglihatan kedua mata diperiksa satu
persatu. Saat sedang dilakukan pameriksaan pada mata kanan maka
mata kiri subjek akan ditutup dengan telapak tangan dengan rapat

22
namun tidak menekan bola mata, demikian pula sebaliknya. Kemudian
subjek akan diminta menyebutkan nama huruf pada kartu snellen yang
ditunjuk pemeriksa. Pemeriksa akan menunjuk satu persatu seluruh
huruf pada kartu snellen, dimulai dari huruf di baris paling atas hingga
subjek salah menyebut 3 huruf dari baris yang ditunjuk. Lalu
pemeriksa akan mencatat katajaman penglihatan subjek sesuai standar
yang tertera pada kartu snellen. Apabila hasil tajam penglihatan subjek
adalah 6/6, maka pemeriksa akan meletakkan lensa positif di depan
mata subjek untuk melihat apakah mata subjek normal atau subjek
menderita hipermetropia. Apabila hasil tajam penglihatan subjek
kurang dari 6/6, maka pemeriksa akan meletakkan lensa negatif di
depan mata subjek. Apabila penglihatan subjek lebih baik, maka
subjek menderita miopia. Kemudian pemeriksa akan melakukan uji
pinhole. Pinhole akan diletakkan di depan mata yang akan diperiksa
dan subjek diminta membaca baris terakhir yang masih dapat dibaca
sebelumnya. Apabila dengan uji pinhole penglihatan tidak bertambah
baik maka kemungkinan terdapat kelainan organik pada mata seperti
kelainan retina atau saraf optik.9,15
d) Hasil ukur
1. Mata normal: Visus 6/6 6/18
2. Miopia: Visus > 6/18

3.2.2. Faktor keturunan


a) Definisi
Pelajar yang mempunyai salah satu atau kedua orang tua yang
menderita miopia.
b) Alat ukur
Wawancara orang tua via telepon

23
c) Cara ukur
Responden diberikan pertanyaan tentang penggunaan kacamata miopia
dalam keluarga
d) Hasil ukur
1. Ada : Terdapat anggota keluarga yang menggunakan kacamata untuk
melihat jarak jauh
2. Tidak ada: Tidak terdapat anggota keluarga yang menggunakan
kacamata untuk melihat jarak jauh

3.2.3. Jenis Kelamin


a) Definisi
Perbedaan secara seksual dari responden
b) Alat ukur
Kuesioner
c) Cara ukur
Melalui pencatatan variabel sesuai yang diperoleh dari kuesioner
d) Hasil ukur :
1. Laki-laki
2. Perempuan

3.2.4. Status ekonomi keluarga


a) Definisi
Kondisi keuangan keluarga pelajar berdasarkan hasil penggabungan
penghasilan kedua orangtua.
b) Alat ukur
Wawancara orang tua via telepon
c) Cara ukur
Responden diberikan pertanyaan tentang pekerjaan dan penghasilan
keluarga.

24
d) Hasil ukur
1. Golongan menengah ke bawah : penghasilan kurang dari RM
2.000 -
2. Golongan menengah ke atas : Penghasilan lebih dari RM 2.000,-

3.2.5. Pekerjaan orangtua


a) Definisi
Kegiatan utama yang dilakukan orangtua pelajar untuk memenuhi
kebutuhan keuangan keluarga.
b) Alat ukur
Wawancara orang tua via telepon
c) Cara ukur
Responden diberikan pertanyaan tentang pekerjaan
d) Hasil ukur
1. Institusi pemerintah: bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dalam
berbagai bidang baik dalam bidang pemerintahan, kesehatan, hukum,
maupun pada badan usaha milik negara (BUMN)
2. Institusi non pemerintah: bekerja baik sebagai pemilik maupun
pegawai dari instansi swasta maupun usaha pribadi lainnya.

3.2.6. Jenis sekolah


b) Definisi

Pengelompokan tempat pendidikan pelajar berdasarkan kepemilikan


oleh negara berupa sekolah negeri dan sekolah swasta
c) Alat ukur
Kuesioner
d) Cara ukur
Melalui pencatatan variabel sesuai yang diperoleh dari kuesioner
e) Hasil ukur

25
1. Sekolah Agama Tahfiz Al-Quran: pelajar yang bersekolah di Sekolah
Agama Tahfiz Al-Quran sebagai perwakilan sekolah swasta
2. Sekolah Kebangsaan Seri Makmur: pelajar yang bersekolah di Sekolah
Kebangsaan Seri Makmur sebagai perwakilan sekolah negeri

3.2.7. Kebiasaan menonton televisi


a) Definisi
Kebiasaan subjek dalam aktivitas menonton tayangan televisi dengan
jarak antara posisi duduk dengan layar televisi lebih dari 2 meter dan
durasi kurang dari 3 jam sehari tanpa henti.
b) Alat ukur
Kuesioner
c) Cara ukur
Responden diberikan 2 pertanyaan dalam kuesioner mengenai kebiasaan
menonton televisi
d) Hasil ukur
1. Mengikuti syarat: Jawaban dari kedua pertanyaan sesuai dengan
kondisi menonton televisi yang benar
2. Tidak mengikuti syarat: Jawaban dari kedua pertanyaan tidak sesuai
dengan kondisi menonton televisi yang benar

3.2.8. Kebiasaan membaca


c) Definisi
Kebiasaan subjek menelaah buku dengan jarak mata terhadap buku
lebih dari 30 cm, dalam posisi duduk dan penerangan yang cukup.
d) Alat ukur
Kuesioner
e) Cara ukur
Responden diberikan 4 pertanyaan dalam kuesioner mengenai
kebiasaan membaca

26
f) Hasil ukur
1. Mengikuti syarat: Jawaban dari keempat pertanyaan sesuai dengan
kondisi membaca yang benar
2. Tidak mengikuti syarat: Jawaban dari keempat pertanyaan tidak sesuai
dengan kondisi membaca yang benar

3.2.9. Kebiasaan bermain video game


a) Definisi
Kebiasaan subjek dalam aktivitas permainan elektronik dengan jarak
mata dengan layar televisi lebih dari 2 meter dan durasi kurang dari 3 jam
sehari dan jarak mata dengan layar video game portable lebih dari 30
sentimeter dan durasi kurang dari 3 jam sehari
b) Alat ukur
Kuesioner
a) Cara ukur
Responden diberikan 5 pertanyaan dalam kuesioner mengenai kebiasaan
bermain video game
d) Hasil ukur
1. Mengikuti syarat: Jawaban dari kelima pertanyaan sesuai dengan
kondisi bermain video game yang benar.
2. Tidak mengikuti syarat: Jawaban dari kelima pertanyaan sesuai dengan
kondisi bermain video game yang benar.

3.2.10. Kebiasaan menggunakan computer


a) Definisi
Kebiasaan subjek dalam aktivitas menatap, mengetik, membaca atau
browsing dengan jarak mata dengan layar komputer lebih dari 60 cm dan
durasi kurang dari 3 jam sehari.
b) Alat ukur

Kuesioner

27
c) Cara ukur
Responden diberikan 3 pertanyaan dalam kuesioner mengenai kebiasaan
menggunakan komputer
d) Hasil ukur
1. Mengikuti syarat: Jawaban dari ketiga pertanyaan sesuai dengan
kondisi menggunakan komputer yang benar
2. Tidak mengikuti syarat: Jawaban dari ketiga pertanyaan tidak sesuai
dengan kondisi menggunakan komputer yang
benar

3.2.11. Riwayat pemeriksaan mata


a) Definisi
Riwayat pemeriksaan mata yang pernah dijalani
b) Alat ukur

Kuesioner

c) Cara ukur

Responden diberikan 4 pertanyaan dalam kuesioner mengenai riwayat


pemeriksaan mata sebelumnya
d) Hasil ukur

Hasil ukur berupa ; pernah atau tidak pernah

28
BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis penelitian


Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Jenis studi ini bertujuan untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan kejadian miopia pada siswa
sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor.
Penelitian dimulai dengan memberikan kuesioner kepada siswa kelas 5
sekolah dasar swasta dan negeri untuk mengidentifikasi faktor-faktor miopia pada
siswa tersebut. Oleh karena itu, desain ini dapat dilakukan dalam waktu singkat serta
hasil penelitian dapat digeneralisasikan ke populasi karena berasal dari sampel yang
representatif.25

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian


4.2.1. Tempat Penelitian
Dalam penelitian ini faktor yang akan diteliti antara lain adalah status
ekonomi serta jenis sekolah terhadap kejadian miopia pada siswa
sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor. Untuk itu, diperlukan tempat
penelitian yang dapat mewakili faktor-faktor tersebut. Dalam hal ini,
dipilih Sekolah Agama Tahfiz Al-Quran sebagai representasi sekolah
swasta di Sungai Besar, Selangor dan Sekolah Kebangsaan Seri
Makmur sebagai representasi dari sekolah negeri di Sungai Besar,
Selangor.

4.2.2. Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan tanggal 25 29 Januari 2016

29
4.3. Populasi dan Sampel
4.3.1. Populasi
1. Populasi target
Populasi target adalah siswa sekolah dasar yang mengikuti pendidikan
di Sungai Besar, Selangor.
2. Populasi terjangkau
Populasi terjangkau adalah siswa kelas 5 sekolah dasar dari lokasi
penelitian yang telah ditentukan. Pemilihan populasi ini didasarkan
pada kondisi siswa kelas 5 yang memiliki usia antara 11 tahun dimana
usia ini memiliki resiko paling tinggi menderita miopia.
4.3.2. Sampel
Sampel adalah sejumlah pelajar Kelas 5 Sekolah Agama Tahfiz Al-
Quran dan Sekolah Menengah Seri Makmur yang terdiri dari laki-laki
dan perempuan serta memenuhi kriteria inklusi dan kriteria ekslusi.
Perhitungan besar sampel yang dibutuhkan dalam suatu penelitian
menggunakan rumus Slovin. Pemilihan sampel dilakukan secara
Simple Random Sampling.

Jadi besar sampel yang diperlukan:


n= N/(N.d2+1)
n= 176/(176x0.052)+1
n= 122,2 122

30
Kriteria seleksi:
1. Kriteria inklusi:
Subjek kelas 5 yang bersedia mengikuti penelitian
2. Kriteria eksklusi:
a. Subjek yang tidak hadir pada saat penelitian
b. Subjek sejak awal menderita miopia
c. Subjek dengan gangguan penglihatan lainnya
d. Subjek yang tidak memberikan informasi dalam kuesioner dan
wawancara secara lengkap

4.4. Metode Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian

4.4.1. Jenis Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Data
primer diperoleh dengan cara kunjungan ke lokasi penelitian dan
wawancara orangtua via telepon serta membagikan kuesioner untuk
diisi sendiri oleh responden serta pemeriksaan tajam penglihatan
dengan menggunakan kartu Snellen.

4.4.2. Instrumen Penelitian


1. Kuesioner dan wawancara digunakan sebagai alat pengumpul data.
2. Kartu Snellen digunakan untuk mengukur tajam penglihatan

4.5. Manajemen Penelitian

4.5.1 Pengumpulan data


Pengumpulan data dilakukan setelah memperoleh perizinan dari
pemerintah setempat, dan instansi yang terkait, dalam hal ini sekolah
dasar di Sungai Besar, Selangor serta orang tua siswa. Kemudian
peneliti akan menghubungi orang tua siswa untuk wawancara.

31
Selanjutnya kuisoner dibagikan ke responden untuk diisi, setelah itu
hasilnya langsung dimasukkan kedalam tabel yang telah disediakan
dan dilakukan pengukuran tajam penglihatan pada siswa menggunakan
kartu Snellen.

4.5.2. Pengolahan dan Penyajian Data


Data primer yang diperoleh dari hasil penelitian diolah dan
dikumpulkan menurut variabel dan kemudian akan diolah
menggunakan komputer dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi secara deskriptif.

4.6. Etika Penelitian


Hal-hal yang terkait dengan etika penelitian dalam penelitian ini adalah
1. Menyertakan surat pengantar yang ditujukan kepada pihak pemerintah
setempat dan instansi terkait sebagai permohonan izin untuk melakukan
penelitian
2. Menjaga kerahasiaan subjek penelitian dengan cara tidak menuliskan
nama responden tetapi hanya berupa nomor register, sehingga diharapkan
tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas penelitian yang dilakukan
3. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak
yang terkait sesuai dengan manfaat penelitian yang telah disebutkan
sebelumnya.
4. Bagi subjek yang terdeteksi menderita miopia , disarankan pada orangtua
untuk memeriksakan anaknya ke dokter mata.

32
BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini diadakan di Sekolah Kebangsaan Seri Makmur dan Sekolah


Agama Tahfiz Al-Quran, pada tanggal 25 29 Januari 2016 dengan besar sampel 122
orang pelajar kelas V periode 2016/2017. Data yang digunakan merupakan data
primer, pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuesioner dan wawancara
orangtua via telepon. Setelah semua informasi diperoleh, kuesioner dinilai
berdasarkan kriteria objektif, kemudian hasilnya diolah menggunakan komputer dan
disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi secara deskriptif.

Berikut ini merupakan data hasil penelitian yang diperoleh dan disajikan
dalam bentuk tabel :

Tabel 5.1 Deskripsi subjek penelitian

Frekuensi
Variabel Kategori Presentase(%)
(n=122)

Keturunan Ada 36 29,5


Tidak ada 86 70,5
Jenis
kelamin Laki-laki 48 39,3
Perempuan 74 60,7
Status ekonomi Menengah ke atas 98 80.3
Menengah ke bawah 24 19,7
Pekerjaan orangtua Institusi pemerintah 28 23,0
Institusi non pemerintah 94 77,0
Sekolah Sek. Keb. Seri Makmur 52 42,6
Sek. Agama Tahfiz Al-
Quran 70 57.4
Kebiasaan menonton Memenuhi syarat 64 52,5
TV Tidak memenuhi syarat 58 47,5
Kebiasaan membaca Memenuhi syarat 72 59,0
Tidak memenuhi syarat 50 41,0
Kebiasaan bermain Memenuhi syarat 60 49,2
video game Tidak memenuhi syarat 62 50,8
Kebiasaan Memenuhi syarat 45 36,9
menggunakan
komputer Tidak memenuhi syarat 77 63,1
Sumber: Data primer

33
Berdasarkan tabel 5.1, Subjek yang memiliki keluarga dengan miopia lebih
sedikit dari pada yang tidak memiliki anggota keluarga dengan miopia. Subjek yang
berjenis kelamin laki-laki lebih sedikit bila dibandingkan dengan perempuan. Subjek
dengan status ekonomi menengah ke atas lebih banyak daripada menengah ke bawah.
Orang tua subjek lebih banyak bekerja di institusi non pemerintah dibandingkan
institusi pemerintah. Untuk aktivitas melihat dekat, subjek yang memiliki kebiasaan
menonton TV yang memenuhi syarat lebih banyak bila dibandingkan dengan yang
tidak memenuhi syarat. Begitu pula dengan subjek dengan kebiasaan membaca
memenuhi syarat, kebiasaan bermain video game memenuhi syarat dan kebiasaan
menggunakan komputer sesuai dengan tata cara yang benar.

Tabel 5.2 Deskripsi riwayat pemeriksaan mata


Frekuensi Presentase
Variabel Kategori
(n) (%)
Mata pernah diperiksa Ya 52 42,6
Tidak 70 57,4
Pemeriksa Petugas optik 10 19,2
Petugas kesehatan 42 80,8
Pertama kali
memeriksakan Kelas 1 2 3,8
mata Kelas 2 10 19,2
Kelas 3 14 27,0
Kelas 4 18 34,6
Kelas 5 8 15,4
Sulit melihat tulisan di papan
Keluhan tulis 6 11,5
Sulit membaca tulisan kecil 16 30,8
Sakit kepala 6 11,5
Lain-lain 10 19,2
Tanpa keluhan 14 26,9
Sumber: Data primer
Jumlah responden yang pernah memeriksakan mata lebih sedikit bila
dibandingkan dengan responden yang sama sekali belum pernah memeriksakan mata.
Dimana responden lebih banyak diperiksa oleh petugas kesehatan. Responden paling
banyak memeriksakan kondisi mata ketika duduk di kelas empat dengan keluhan sulit
membaca tulisan berukuran kecil.

34
Tabel 5.3 Deskripsi hasil pemeriksaan ketajaman penglihatan

Tajam Penglihatan Frekuensi Presentase


Miopia 18 14.7%
Visus <6/18
Gangguan penglihatan 60 49,2%
Visus 6/7.5-6/18
Penglihatan normal 44 36,1%
Visus 6/6
Sumber: Data primer

Berdasarkan definisi dari WHO dan definisi operasional yang diambil dalam
penelitian ini subjek dianggap menderita miopia apabila diperoleh tajam penglihatan
<6/18 dari hasil pemeriksaan. Tabel 5.3 menunjukkan bahwa responden dengan
gangguan penglihatan memiliki jumlah yang lebih banyak yaitu sebanyak 49,2%
daripada responden dengan tajam penglihatan yang normal maupun dengan menderita
miopia.

1.1. Karakteristik Keturunan sebagai Faktor Resiko Miopia

Tabel 5.4 Karakteristik Keturunan sebagai Faktor Resiko Miopia pada Siswa
Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016.

Variabel Miopia Gangguan Normal Jumlah


Penglihatan
n % n % n % n %
Ada 16 44,4 20 50,0 0 0,0 36 100,0
Tidak Ada 2 2,3 40 46,5 44 51,2 86 100,0
Sumber : Data Primer

35
Keturunan
100
90
80
70
60
Miopia
50
Gangguan Penglihatan
40
Normal
30
20
10
0
Ada Tidak Ada

Grafik 1. Karakteristik Keturunan sebagai Faktor Resiko Miopia pada Siswa


Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016

Tabel 5.4 dan Grafik 1 menunjukkan karakteristik keturunan sebagai faktor


resiko miopia. Dari 122 sampel diperoleh 36 orang (29,5%) memiliki keluarga yang
menderita miopia, dan 86 orang (70,5%) tidak memiliki keluarga yang menderita
miopia.

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini bahwa terdapat 36 orang subjek
yang memiliki keluarga dengan miopia, 16 orang daripadanya menderita miopia dan
20 orang daripadanya memiliki gangguan penglihatan. Manakala, siswa yang tidak
ada riwayat keluarga yang menderita miopia kebanyakannya memiliki penglihatan
normal yaitu sebanyak 44 orang (51,2%) dari sejumlah 86 orang.

36
1.2. Karakteristik Jenis Kelamin sebagai Faktor Resiko Miopia

Tabel 5.5 Karakteristik Jenis Kelamin sebagai Faktor Resiko Miopia pada Siswa
Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016.

Variabel Miopia Gangguan Normal Jumlah


Penglihatan
n % n % n % n %
Laki-laki 7 14,6 25 52,1 16 33,3 48 100,0
Perempuan 11 14,9 35 47,3 28 37,8 74 100,0
Sumber : Data Primer

Jenis Kelamin
100
90
80
70
60
Miopia
50
Gangguan Penglihatan
40
Normal
30
20
10
0
Laki-Laki Perempuan

Grafik 2. Karakteristik Jenis Kelamin sebagai Faktor Resiko Miopia padaSiswa


Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016

Tabel 5.5 dan grafik 2 menunjukkan karakteristik jenis kelamin sebagai faktor
resiko miopia. Dari 122 sampel terdiri dari 48 laki-laki orang (39,3%) dan perempuan
sebanyak 74 orang (60,7%).

37
Dari 48 orang laki-laki ditemukan sebanyak 7 orang (14,6%) yang menderita
miopia dan gangguan penglihatan sebanyak 25 orang (52,1%) serta terdapat 16 orang
(33,3%) memiliki penglihatan normal. Sedangkan dari 74 orang perempuan
didapatkan 11 orang (14,9%) yang menderita miopia dan 35 orang (47,3%) terganggu
penglihatannya serta siswa dengan penglihatan normal sebanyak 28 orang (37,8%).

1.3. Karakteristik Status Ekonomi sebagai Faktor Resiko Miopia

Tabel 5.6 Karakteristik Status Ekonomi sebagai Faktor Resiko Miopia pada
Siswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016.

Variabel Miopia Gangguan Normal Jumlah


Penglihatan
n % n % n % n %
Menengah Ke Atas 14 14,3 48 49,0 36 36,7 98 100,0
Menengah Ke Bawah 4 16,7 12 50,0 8 33,3 24 100,0
Sumber : Data Primer

Status Ekonomi
100
90
80
70
60
Miopia
50
Gangguan Penglihatan
40
Normal
30
20
10
0
Menengah Ke Atas Menengah Ke Bawah

Grafik 3. Karakteristik Status Ekonomi sebagai Faktor Resiko Miopia


padaSiswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016

38
Tabel 5.6 dan grafik 3 menunjukkan karakteristik status ekonomi sebagai
faktor resiko miopia. Dari 122 sampel terdapat 98 orang siswa(80,3%) berasal dari
keluarga dengan status ekonomi menengah ke atas dan sebanyak 24 orang (19,7%)
dari keluarga dengan status ekonomi menengah ke bawah.

Dari 98 orang siswa dengan status ekonomi menengah ke atas, ditemukan


sebanyak 14 orang (14,3%) menderita miopia dan gangguan penglihatan sebanyak 48
orang (49,0%) serta terdapat 36 orang (36,7%) memiliki penglihatan normal.
Sedangkan dari 24 orang siswa dengan status ekonomi menengah ke bawah,
didapatkan 4 orang (16,7%) menderita miopia dan 12 orang (50,0%) terganggu
penglihatannya serta siswa dengan penglihatan normal sebanyak 8 orang (33,3%).

1.4. Karakteristik Pekerjaan Orang Tua sebagai Faktor Resiko Miopia

Tabel 5.7 Karakteristik Pekerjaan Orang Tua sebagai Faktor Resiko Miopia
pada Siswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016.

Variabel Miopia Gangguan Normal Jumlah


Penglihatan
n % n % n % n %
Institusi Pemerintah 6 21,4 18 64,3 4 14,3 28 100,0
Institusi Non-Pemerintah 12 12,8 42 44,7 40 42,5 94 100,0
Sumber : Data Primer

39
Pekerjaan Orang Tua
100
90
80
70
60
Miopia
50
Gangguan Penglihatan
40
Normal
30
20
10
0
Institusi Pemerintah Institusi Non-Pemerintah

Grafik 4. Karakteristik Pekerjaan Orang Tua sebagai Faktor Resiko Miopia


padaSiswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016

Tabel 5.7 dan Grafik 4 menunjukkan karakteristik pekerjaan orang tua


sebagai faktor resiko miopia. Dari 122 sampel diperoleh 28 orang (23,0%) memiliki
orang tua yang bekerja di institusi pemerintah, dan 94 orang (77,0%) memiliki
keluarga yang menderita miopia.

Didapatkan rata-rata siswa yang memiliki orang tua yang bekerja di institusi
pemerintah lebih sedikit kejadian miopia dan gangguan penglihatan yaitu sebanyak 6
orang (21,4%) dan 18 orang (64,3%) masing - masing. Manakala, siswa yang orang
tuanya bekerja di institusi non-pemerintah lebih banyak menderita miopia dan
gangguan penglihatan yaitu sebanyak 12 orang (12,8%) dan 42 orang (44,7%) masing
- masing.

40
1.5. Karakteristik Jenis Sekolah sebagai Faktor Resiko Miopia

Tabel 5.8 Karakteristik Jenis Sekolah sebagai Faktor Resiko Miopia pada Siswa
Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016.

Variabel Miopia Gangguan Normal Jumlah


Penglihatan
n % n % n % n %
Sek. Keb. Seri Makmur 7 13,5 27 51,9 18 34,6 52 100,0
Sek. Agama Tahfiz Al-Quran 11 15,7 33 47,1 26 37,1 70 100,0
Sumber : Data Primer

Jenis Sekolah
100
90
80
70
60 Miopia
50
Gangguan Penglihatan
40
Normal
30
20
10
0
Sek. Keb. Seri Makmur Sek. Agama Tahfiz Al-Quran

Grafik 5. Karakteristik Jenis Sekolah sebagai Faktor Resiko Miopia padaSiswa


Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016

Tabel 5.8 and Grafik 5 menunjukkan karakteristik jenis sekolah sebagai faktor
resiko miopia. Sekolah Kebangsaan Seri Makmur sebagai representasi dari sekolah
negeri dan Sekolah Agama Tahfiz Al-Quran sebagai representasi sekolah swasta di
Sungai Besar, Selangor. Dari 122 sampel diperoleh 52 orang (42,6%) daripada
Sekolah Kebangsaan Seri Makmur, manakala 70 orang (57,4%) daripada Sekolah
Agama Tahfiz Al-Quran.

41
Dari 52 orang siswa Sekolah Kebangsaan Seri Makmur, didapatkan 7 orang
(13,5%) yang menderita miopia, 27 orang (51,9%) memiliki gangguan penglihatan
dan 18 orang (34,6%) daripadanya normal. Sekolah Agama Tahfiz Al-Quran
memiliki lebih banyak siswa yang menderita miopia yaitu sebanyak 11 orang (15,7%)
dan 33 orang (47,1%) terganggu penglihatannya serta siswa yang normal
penglihatannya sebanyak 26 orang (37,1%).

1.6. Karakteristik Kebiasaan Menonton TV sebagai Faktor Resiko Miopia

Tabel 5.9 Karakteristik Kebiasaan Menonton TV sebagai Faktor Resiko Miopia


pada Siswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016.

Variabel Miopia Gangguan Normal Jumlah


Penglihatan
n % n % n % n %
Memenuhi Syarat 3 4,7 27 42,2 34 53,1 64 100,0
Tidak Memenuhi Syarat 15 25,9 33 56,9 10 17,2 58 100,0
Sumber : Data Primer

Kebiasaan Menonton TV
100
90
80
70
60
Miopia
50
Gangguan Penglihatan
40
Normal
30
20
10
0
Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat

42
Grafik 6. Karakteristik Kebiasaan Menonton TV sebagai Faktor Resiko Miopia
padaSiswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016

Tabel 5.9 dan Grafik 6 menunjukkan karakteristik kebiasaan menonton TV


terhadap miopia. Dari 122 sampel diperoleh 64 orang (52,5%) memenuhi syarat
dalam perilaku menonton TV dengan benar, sedangkan 58 orang (47,5%)
daripadanya tidak memenuhi syarat.

Dari 64 orang yang memenuhi syarat dalam perilaku menonton TV dengan


benar hanya 3 orang (4,7%) yang menderita miopia dan 27 orang (42,2%) memiliki
gangguan penglihatan manakala terdapat 15 orang (25,9%) yang menderita miopia
serta 33 orang (56,9%) terganggu penglihatannya karena tidak memenuhi syarat
dalam perilaku menonton TV dengan benar.

1.7. Karakteristik Kebiasaan Membaca sebagai Faktor Resiko Miopia

Tabel 5.10 Karakteristik Kebiasaan Membaca sebagai Faktor Resiko Miopia


pada Siswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016.

Variabel Miopia Gangguan Normal Jumlah


Penglihatan
n % n % n % n %
Memenuhi Syarat 5 6,9 32 44,4 35 48,6 72 100,0
Tidak Memenuhi Syarat 13 26,0 28 56,0 9 18,0 50 100,0
Sumber : Data Primer

43
Kebiasaan Membaca
100
90
80
70
60 Miopia
50
Gangguan Penglihatan
40
Normal
30
20
10
0
Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat

Grafik 7. Karakteristik Kebiasaan Membaca sebagai Faktor Resiko Miopia


padaSiswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016

Tabel 5.10 dan Grafik 7 menunjukkan karakteristik kebiasaan membaca


terhadap miopia. Dari 122 sampel diperoleh 72 orang (59,0%) memenuhi syarat
dalam perilaku membaca dengan benar, sedangkan 50 orang (41,0%) daripadanya
tidak memenuhi syarat.

Dari 64 orang yang memenuhi syarat dalam perilaku membaca dengan benar
hanya 5 orang (6,9%) yang menderita miopia dan 32 orang (44,4%) memiliki
gangguan penglihatan manakala terdapat 13 orang (26,0%) yang menderita miopia
serta 28 orang (56,0%) terganggu penglihatannya karena tidak memenuhi syarat
dalam perilaku membaca dengan benar.

44
1.8. Karakteristik Kebiasaan Bermain Video Game sebagai Faktor Resiko
Miopia

Tabel 5.11 Karakteristik Kebiasaan Bermain Video Game sebagai Faktor Resiko
Miopia pada Siswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016.

Variabel Miopia Gangguan Normal Jumlah


Penglihatan
n % n % n % n %
Memenuhi Syarat 4 6,7 24 40,0 32 53,3 60 100,0
Tidak Memenuhi Syarat 14 22,6 36 58,1 12 19,4 62 100,0
Sumber : Data Primer

Kebiasaan Bermain Video Game


100
90
80
70
60 Miopia
50
Gangguan Penglihatan
40
Normal
30
20
10
0
Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat

Grafik 8. Karakteristik Kebiasaan Bermain Video Game sebagai Faktor Resiko


Miopia padaSiswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia, 2016

45
Tabel 5.11 dan Grafik 8 menunjukkan karakteristik kebiasaan bermain video
game terhadap miopia. Dari 122 sampel diperoleh 60 orang (49,2%) memenuhi syarat
dalam perilaku bermain video game dengan benar, sedangkan 62 orang (50,8%)
daripadanya tidak memenuhi syarat.

Dari 60 orang yang memenuhi syarat dalam perilaku bermain video game
dengan benar, didapatkan hanya 4 orang (6,7%) yang menderita miopia, 24 orang
(40,0%) memiliki gangguan penglihatan dan 32 orang (53,3%) daripadanya memiliki
penglihatan normal. Manakala, terdapat lebih banyak siswa yang menderita miopia
akibat tidak memenuhi syarat perilaku bermain video game yang benar yaitu
sebanyak 14 orang (22,6%).

1.9. Karakteristik Kebiasaan Menggunakan Komputer sebagai Faktor Resiko


Miopia

Tabel 5.12 Karakteristik Kebiasaan Menggunakan Komputer sebagai Faktor


Resiko Miopia pada Siswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia,
2016.

Variabel Miopia Gangguan Normal Jumlah


Penglihatan
n % n % n % n %
Memenuhi Syarat 2 4,4 12 26,7 31 68,9 45 100,0
Tidak Memenuhi Syarat 16 20,8 48 62,3 13 16,9 77 100,0
Sumber : Data Primer

46
Kebiasaan Menggunakan Komputer
100
90
80
70
60 Miopia
50
Gangguan Penglihatan
40
Normal
30
20
10
0
Memenuhi Syarat Tidak Memenuhi Syarat

Grafik 9. Karakteristik Kebiasaan Menggunakan Komputer sebagai Faktor


Resiko Miopia padaSiswa Sekolah Dasar di Sungai Besar, Selangor, Malaysia,
2016

. Tabel 5.12 dan Grafik 9 menunjukkan karakteristik kebiasaan menggunakan


komputer terhadap miopia. Dari 122 sampel diperoleh 45 orang (36,9%) memenuhi
syarat dalam perilaku menggunakan komputer dengan benar, sedangkan 77 orang
(63,1%) daripadanya tidak memenuhi syarat.

Dari 45 orang yang memenuhi syarat dalam perilaku menggunakan komputer


dengan benar, didapatkan hanya 2 orang (4,4%) yang menderita miopia, 12 orang
(26,7%) memiliki gangguan penglihatan dan 31 orang (68,9%) daripadanya memiliki
penglihatan normal. Manakala, terdapat lebih banyak siswa yang menderita miopia
akibat tidak memenuhi syarat perilaku menggunakan komputer yang benar yaitu
sebanyak 16 orang (20,8%) dan hanya13 orang (16,9%) yang memiliki penglihatan
normal.

47
BAB VI
PEMBAHASAN

6.1. Prevalensi Miopia

Pendidikan sekolah dasar adalah tahun pendidikan paling penting karena pada
ketika inilah anak-anak memperoleh proses pembelajaran yang banyak. Dengan
demikian, ketajaman visual yang baik pada anak-anak adalah penting untuk
memastikan potensi pendidikan yang optimal. Subyek dipilih untuk penelitian ini
diwakili oleh siswa dari sekolah dasar negeri dan juga sekolah dasar swasta, distribusi
jenis kelamin yang hampir serata, dan tidak mengambil kira dari segi ras.

Berdasarkan definisi dari WHO dan definisi operasional yang diambil dalam
penelitian ini subjek dianggap menderita miopia apabila diperoleh tajam penglihatan
<6/18 dari hasil pemeriksaan. Tabel 5.3 menunjukkan bahwa responden dengan
gangguan penglihatan memiliki jumlah yang lebih banyak daripada responden dengan
tajam penglihatan yang normal maupun menderita miopia. Dimana dalam hasil
penelitian ini hanya ditemukan 14,7% responden yang menderita miopia. Sedangkan
jumlah responden dalam kategori gangguan penglihatan ditemukan sebanyak 49,2%
dari total responden.

Adapun faktor resiko terjadinya miopia seperti riwayat keluarga, usia, jenis
kelamin, status ekonomi keluarga, pekerjaan orang tua, kebiasaan waktu tidur,
perilaku melihat jarak dekat, aktivitas di luar ruangan serta kondisi psikologis. Pada
penelitian ini diutamakan faktor resiko : keturunan, jenis kelamin, status ekonomi
keluarga, pekerjaan orang tua, jenis sekolah, dan perilaku melihat jarak dekat saat
menonton TV, membaca, bermain video game dan menggunakan komputer.

48
6.2. Faktor Keturunan dan Miopia
Riwayat keluarga/keturunan merupakan salah satu faktor resiko miopia yang
tidak dapat dihindari. Adanya riwayat keluarga yang menderita miopia atau ada
gangguan penglihatan akan meningkatkan resiko seseorang untuk menderita miopia.
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, terdapat 36 orang subjek yang memiliki
keluarga dengan miopia, 10 orang daripadanya menderita miopia. Sedangkan 86
orang subjek yang tidak memiliki keluarga dengan miopia, 8 orang diantaranya juga
menderita miopia. Dari hasil penelitian ini menujukkan bahwa faktor resiko
keturunan memainkan peran penting dalam kejadian miopia pada siswa sekolah dasar
di Sungai Besar, Selangor.
Hal ini sejalan dengan penelitian Morgan dan Kathryn26 yang menyebutkan
bahwa terdapat hubungan yang jelas antara faktor keluarga terhadap kelainan refraksi
dan panjang axis bola mata. Disebutkan dalam penelitian tersebut bahwa pada
familial miopia terjadi lokalisasi kromosom yang jelas dan pada beberapa kasus,
mutasi genetik. Penelitian lain yang dilakukan pada siswa sekolah dasar (usia 6-12
tahun) di Singapura tahun 1996-1999 menunjukkan bahwa 100 orang dari 153 orang
responden menderita miopia. Dan progresivitasnya berkisar 0,5 D sampai 1,0 D
pertahun menurut penelitian oleh Dorothy dan Lisa.14

6.3. Karakteristik Responden dan Miopia


6.3.1. Jenis kelamin dan miopia

Pada hasil penelitian terdapat 60,7% responden perempuan yang menderita


miopia dan gangguan penglihatan. Jumlah ini lebih banyak dibandingkan dengan
responden laki-laki dengan 39,3%. Hal ini sejalan dengan penelitian Aniza, dkk27
yang memperoleh hasil yang sama dimana jumlah responden perempuan lebih banyak
yang menderita miopia daripada responden laki-laki. Hal ini terjadi oleh karena
perempuan cenderung memiliki aktifitas seperti membaca yang lebih banyak
sehingga menjadi salah satu faktor resiko mengidap miopia.

Pengaruh jenis kelamin terhadap miopia memang belum dapat dijelaskan


dengan baik dalam penelitian-penelitian sebelumnya. Cukup banyak literatur yang

49
menyebutkan jenis kelamin perempuan lebih beresiko terhadap terjadinya miopia.
Penelitian pada siswa sekolah dasar di Hongkong menyebutkan bahwa siswa laki-laki
memiliki insidens terkena miopia yang lebih rendah dibandingkan siswa
perempuan.3,7,16,27 Namun pada penelitian retrospektif selama 30 tahun di Australia
terdapat perbedaan jumlah penderita miopia antara laki-laki dan perempuan turut
ditentukan oleh variabel umur.2

6.3.2. Status ekonomi dan miopia


Dari hasil penelitian ditemukan status ekonomi keluarga tidak memainkan
peran terhadap kejadian miopia pada pelajar sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor.
Terdapat 14,3% responden dengan kondisi ekonomi menengah ke atas menderita
miopia, sedangkan terdapat 16,7% responden yang menderita miopia berasal dari
keluarga dengan status ekonomi menengah ke bawah. Hal ini tidak sejalan dengan
penelitian menurut Sheng You,dkk7 bahwa pelajar yang berasal dari keluarga dengan
penghasilan lebih tinggi lebih cenderung menderita miopia.

6.3.3. Pekerjaan orang tua dan miopia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerjaan orang tua cukup berpengaruh


terhadap terjadinya miopia. Jumlah responden dengan miopia maupun gangguan
penglihatan berjumlah sangat banyak yang berasal dari keluarga yang bekerja pada
institusi non-pemerintah sebanyak 54 orang daripada 94 orang semuanya.
Hal ini sejalan dengan penelitian di Beijing bahwa pelajar yang memiliki
orang tua dengan pekerjaan dan tingkat pendidikan yang lebih baik beresiko lebih
tinggi terkena miopia.7

6.3.4. Jenis sekolah dan miopia


Berdasarkan hasil yang diperoleh, jenis sekolah swasta memberikan pengaruh
terhadap terjadinya miopia pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor. Hal
ini dapat disebabkan sekolah swasta berkait rapat dengan status ekonomi keluarga
yang lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang belajar di sekolah negeri. Menurut
penelitian di Singapura, Australia, maupun di Jogjakarta, jenis sekolah yang

50
memberikan kontribusi terhadap terjadinya miopia adalah sekolah yang terletak di
daerah urban (kota) bila dibandingkan dengan sekolah di daerah rural (desa).
Sehingga lokasi sekolah-lah yang memberikan kontribusi terhadap miopia pada
pelajar. 2,3,6

6.4. Perilaku Melihat Jarak Dekat dan Miopia


Perilaku melihat jarak dekat seperti membaca, menonton televisi,
bermain video game serta menggunakan komputer diduga berkaitan erat dengan
kejadian miopia diberbagai belahan dunia. Dimana ketika mata melihat pada jarak
dekat, maka bola mata akan memanjang untuk memaksimalkan ketajaman gambar
pada retina. Bila hal ini dipertahankan dalam jangka waktu panjang dan konstan maka
dapat menyebabkan penurunan penglihatan yang permanen. Penglihatan jauh akan
menjadi kabur karena mata dipaksa fokus secara berlebihan.10,11,12 Selain itu,
melihat dengan pencahayaan redup dapat memperberat terjadinya miopia oleh karena
cahaya merupakan salah satu faktor protektif terhadap miopia. Melakukan aktivitas
jarak dekat dengan pencahayaan yang cukup akan meningkatkan jumlah dopamin
yang dikeluarkan dari retina. Dimana dopamin merupakan penghambat elongasi axis
bola mata.7

6.4.1. Kebiasaan menonton televisi dan miopia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa menonton televisi (TV) pada jarak dekat
dan dalam waktu lama dapat meningkatkan resiko terkena miopia, dimana responden
yang mengalami gangguan penglihatan dan miopia akibat tidak memenuhi syarat
dalam perilaku menonton TV yang benar adalah sebanyak 33 orang (56,9%) dan 15
orang (25,9%) masing-masing.

Aktivitas visual yang paling banyak dilakukan oleh siswa sekolah dasar
adalah menonton TV. Dengan tingginya akses terhadap media ini serta rendahnya
pengawasan orang tua dapat memperberat kejadian miopia pada pelajar. Hal ini
sejalan dengan penelitian oleh Aniza,dkk27 bahwa menonton TV memberikan
pengaruh terhadap terjadinya miopia pada pelajar sekolah dasar di Beranang,
Selangor.

51
6.4.2. Kebiasaan membaca dan miopia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan membaca merupakan salah


satu faktor terhadap miopia. Terdapat 26,0% responden yang menderita miopia akibat
tidak memenuhi syarat membaca dengan benar seperti membaca dengan jarak dekat,
waktu lama maupun penerangan yang redup. Telah banyak penelitian yang
menyatakan bahwa terdapat hubungan erat antara kebiasaan melihat dekat seperti
membaca maupun menonton televisi terhadap kejadian miopia. Hal ini dikaitkan
dengan melemahnya otot siliaris akibat terlalu sering digunakan sehingga sulit
berkontraksi agar dapat memfokuskan pandangan jauh.4 Misalnya penelitian
Konstantopaulus,dkk10 yang menyatakan bahwa membaca dalam waktu lama dapat
memberi pengaruh terhadap miopia.

6.4.3 Kebiasaan bermain video game dan miopia

Perilaku bermain video game memberikan hasil signifikan terhadap terjadinya


miopia. Hal ini karena berdasarkan penelitian, lebih banyak siswa yang mengidap
miopia akibat tidak memenuhi syarat bermain video game yang benar. Siswa yang
bermain video game dengan jarak dekat dan waktu lama dapat beresiko lebih tinggi
terkena miopia. Dengan perkembangan teknologi saat ini, banyak siswa sekolah dasar
yang telah memiliki telepon genggam maupun difasilitasi dengan media permainan
lainnya seperti, Playstation, PSP maupun permainan video game online di komputer.
Tidak jarang siswa sekolah dasar juga mengunjungi tempat penyewaan atau warung
internet untuk menyalurkan keinginan mereka dalam bermain. Kecilnya ukuran layar,
intensitas dan durasi media video game yang dimainkan turut menimbulkan pengaruh
terhadap terjadinya miopia. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Sheng You,dkk7
bahwa terdapat pengaruh bermain video game dengan jarak dekat dan waktu lama
terhadap miopia.

52
6.4.4. Kebiasaan menggunakan komputer dan miopia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebiasaan menggunakan komputer


dengan jarak dekat dan dalam waktu lama berkaitan dengan timbulnya miopia pada
pelajar. Hal ini bisa disebabkan karena responden dalam usia seperti ini belum terlalu
mengenal media komputer bila dibandingkan dengan televisi. Hasil ini sejalan dengan
penelitian Rahman, dkk di Kuala Lumpur dimana siswa di sana sering menggunakan
komputer dengan cara yang salah sehingga banyak siswanya yang menderita miopia
seawal usia 11 tahun.4 Berdasarkan teori bahwa penggunaan komputer sebagai salah
satu aktivitas yang memerlukan penglihatan jarak dekat dapat menimbulkan
kelelahan otot siliaris, yang bila terus dibiarkan akan menimbulkan kelemahan yang
berujung pada miopia. Radiasi yang dipancarkan oleh media elektronik seperti
komputer juga dapat membuat mata mudah lelah.16 Penelitian di Australia,
Hongkong, Beijing maupun Yunani menunjukkan bahwa memang terdapat hubungan
antara penggunaan komputer jarak dekat dalam waktu lama dapat menimbulkan
miopia.2,3,7

53
BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

1. Riwayat miopia dalam keluarga merupakan salah satu faktor resiko yang
dapat meningkatkan resiko kejadian miopia pada setiap individu.
2. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, golongan perempuan lebih
beresiko mendapat miopia.
3. Menurut penelitian ini, dapat disimpulkan bahawa status ekonomi keluarga
dan pekerjaan orang tua memainkan peran terhadap kejadian miopia pada
siswa di sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor.
4. Selain itu, jenis sekolah yaitu sekolah negeri dan sekolah swasta juga menjadi
faktor resiko terhadap kejadian miopia
5. Perilaku melihat jarak dekat seperti ketika menonton televisi, membaca,
bermain video game dan menggunakan komputer amat berpengaruh terhadap
kejadian miopia pada siswa sekolah dasar di Sungai Besar, Selangor.

7.2 Saran

1. Siswa dengan tajam penglihatan menurun segera diperiksa ke dokter mata


2. Edukasi dari orang tua dan pihak sekolah kepada siswa untuk mengurangi
perilaku melihat jarak dekat yang salah demi mencegah terjadinya miopia
pada pelajar sekolah dasar
3. Bagi penelitian selanjutnya untuk meneliti mengenai faktor-faktor yang lain
supaya dapat mencegah terjadinya miopia bagi siswa sekolah dasar.

54
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. 2010, Global Data on Visual Impairments 2010. [on line], Dari:
http://www.who.int./ [12 Januari 2016]
2. Junghans BM, Crewther SG. Little evidence for an epidemic of miopia in
Australian primary school children over the last 30 years. BMC
Ophthalmology 2005; Feb; 5:1. Dari: http://www.biomedcentral.com/
3. Fan DS, et al. Prevalence, Incidence, and Progression of Miopia of School
Children in Hong Kong. Invest Ophthalmol Vis Sci.2004; April; 45:1071
1075
4. Rahman B.R. Miopia di Kalangan Kanak Kanak. [online] Januari 2016.
Dari: http://www.utusan.com.my/ [13 Januari 2016]
5. Tiharyo I, Gunawan W, Suhardjo. Pertambahan Miopia Pada Anak Sekolah
Dasar Daerah Perkotaan dan Pedesaan Di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Jurnal Oftalmologi Indonesia Vol. 6, No. 2, Agustus 2008 : Hal. 104 - 1 12
6. You, et al. Faktors Associated with Miopia in School Children in China: The
Beijing Childhood Eye Study. PLoS ONE 2012; Des; 7(12): e52668.
7. Season of Birth, Natural Light, and Miopia diakses 13 Januari 2016
8. WHO: Visual impairment and blindeness diakses 13 Januari 2016
9. A Konstantopoulos, G Yadegarfar, M Elgohary. Near worrk, education,
family history, and miopia in Greek conscripts. Eye(2008)22,542546. Dari:
http://www.v2020la.org/
10. Prevalence of Refractive Errors in Primary School Children 7-15 years of
qazvin city diakses 14 Januari 2016
11. Barliana JD, Mangunkusumo VW. Prevalensi dan faktor resiko miopia pada
pelajar kelas tiga dan enam sekolah dasar. Oftalmologica Indonesiana
2005;32:74-83.
12. Renardi ANC. Prevalensi kebutaan akibat kelainan refraksi di Kabupaten
Langkat [tesis]. Universitas Sumatera Utara. 2009.
13. Sardegna J, Shelly S, Rutzen AR, Steidl SM. The Encyclopedia of Blindness
and Vision Impairment 2nd Edition. New York : Facts On File Inc., 2002 ; 195
14. Dandona L, Dandona R. Refractive error blindness. Bulletin of World Health
Organization 2001; 237 43.
15. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Ed 2. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2002
16. WHO. Visual impairment and blindness. [online] Januari 2016. Dari:
http://www.who.int/ [14 Januari 2016]

55
17. Philmena MT. Effectiveness Of Planned Teaching Programme On Eye Health
Problems Of School Children Among Rural Primary School Teachers Of Selected
Schools In Bangalore [Dissertation]. Rajiv Gandhi University.2010.
http://www.eurojournals.com/ejsr_28_2_01.pdf
18. Patu I. Kelainan refraksi. [online]. 2010. Dari: http://cpddokter.com/ [14 Januari
2016 ].
19. Basic and clinical science course section 3: optics, refraction and contac lenses.
USA: American Academy of Ophtalmology. 1997. P:118
20. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. Oftalmologi umum. Ed 14. Jakarta: Widya
Medika. 2000.
21. Komunitas dan Perpustakaan Online Indonesia. Hal umum penyebab mata
menjadi rabun jauh/miopi/miopia [online].2009. Dari : http://organisasi.org/. [
14 Januari 2016 ].
22. Media informasi obat dan penyakit. [online]. 2012. Dari:
http://medicastore.com/.[ 14 Januari 2016 ].
23. Media Online Klik Dokter. [online]. 2012. Dari: http://www.klikdokter.com/ [
14 Januari 2016 ].
24. Saw SM, Koh D, Lee J, et all. Prevalence rates of refractive errors in sumatra,
Indonesia. Investigative Ophtalmology & Visual Science. Vol 43, No.10. 2002.
3174
25. Lapau,B. Metode penelitian kesehatan: Metode ilmiah penulisan skripsi, tesis
dan disertasi. Edisi revisi.Jakarta: YOI.2013.
26. Morgan I, Kathryn R, How Genetic Is School Myopia, Retinal and Eye
Research. 24(1) 1-38, 2004
27. Aniza I, Azmawati MN, Jamsiah M, et all. Prevalence of Visual Acuity
Impairment and Its Associated Factor Among Secondary School Students in
Beranang, Selangor. Malaysian Journal of Public Health Medicine. Vol. 12 (1):
39-44, 2012.

56

Anda mungkin juga menyukai