Anda di halaman 1dari 22

II.

1 Metabolic disease
Hati berperan penting dalam memelihara homeostasis metabolik. Oleh
karena itu tidak mengherankan bahwa perkembangan penyakit hati yang penting
secara klinis disertai dengan bermacam manifestasi metabolisme yang terganggu.
Walau beberapa fungsi lebih peka daripada lainnya, hati sungguh-sungguh
mempunyai kapasitas cadangan, sehingga cedera sel yang minimal atau bahkan;;
mungkin tidak ditunjukkan dengan perubahan metabolik yang dapat diukur.
Namun, berbagai cacat mungkin tampak, tergantung pada sifat dan luas akibat
awal. (Corwin J. 2000)
Fungsi biokimiawi hati yang berperanan penting termasuk (1)
metabolisme intermedia asam amino dan karbohidrat, (2). Sintesis dan degradasi
protein dan glikoprotein, (3) metabolisisme dan degradasi obat dan hormon, dan
(4) regulasi metabolisme lipid dan kolesterol. Kekacauan fungsi ini dibahas
berhubungan kejadiannya dalam berbagai bentuk penyakit hati parenkim.
Perubahan bilirubin, garam empedu, dan metabolisme porfirin dibahas di lain
tempat. (Corwin J. 2000)
Kekacauan metabolik paling jelas pada pasien dengan penyakit hati lanjut,
dan manifestasi tersebut sama tanpa menghiraukan akibat etiologi awal. Terhadap
berbagai tingkat, kelainan yang sama tampak pada pasien dengan hepatitis kronik
yang berat, sirosis mikronoduler dan sirosis pascanekrotik. Karena fungsi hati
yang banyak mungkin dipengaruhi berbagai tingkat pasien perseorangan, tidak
ada uji tunggal yang mengukur semua keadaan fungsi hati secara efektif. (Corwin
J. 2000)

II.1.1 Metabolisme karbohidrat


Setelah makan, hati menerima konsumsi glokusa nett mis., untuk
membentuk glikogen dan zat-zat antar metabolic melalui glikolisis dan siklus
asam trikat boksilat). Hal ini terjadi akibat penggabungan beberapa efek. Pertama,
kadar subtract seperti glukosa meningkat kedua, kadar hormone yang
mempengaruhi jumlah data aktivitas enzim-enzim metabolik berubah. Jadi ,
ketika glukosa darah meningkat, rasio insulin terhadap glukagon dalam aliran
darah meningkat. Efek akhirnya adalah meningkatnya pemakaian glukosa olh
hati. (Ganong. 2000)
Fungsi hati untuk memelihara kadar gula darah yang normal dengan
kombinasi glikogenesis, glikogenolisis, glikolisis, dan glukoneogenesis. Jalur ini
diatur oleh sejumlah hormon, termasuk insulin, glukagon, hormon pertumbuhun
dan katekolamin tertentu. Walau telah diduga bahwa sensitivitas hepatosit yang
hebat sekali tehadap insulin bertanggung jawab atas ambilan beban glukosa oral
dan hati terdapat juga data yang meragukan kepentingan ambilan glukosa
diperantarai insulin oleh hepatosit. Pada keadaan puasa, hati menambah
homeostasis giukosa dengan glikogenolisis dan glukoneogenesis dalam respons
terhadap hipoinsulinemia dan hiperglukagonemia. Pemeliharaan kadar glukosa
darah yang normal melalui glukoneogenesis akhirnya berhubungan dengan
katabolisme protein otot, yang memberikan prekursor asam amino yang
diperlukan, terutama alanin. Dengan cara yang saling melengkapi, dalam keadaan
pascaprandial, hati mengarahkan alanin dan asam amino rantai-cabang ke jaringan
perifer, tempat asam amino ini kemudian digabung ke dalam protein otot. Bentuk
jalur kumparan glukosa-alanin yang timbal balik diatur oleh perubahan sekeliling
pada hormon yang disebutkan di atas (Gbr. 2-1). Sementara telah diduga bahwa
sintesis glikogen dan asam lemak pada keadaan pascaprandial timbul dari
konversi glukosa langsung, terdapat data untuk memberi kesan bahwa, pada
kenyataan, jalur ini adalah tidak langsung, dengan produk yang berasal dari
metabolit tiga-karbon dari glukosa atau senyawa glukoneogenik lainnya seperti
laktat, fruktosa, dan alanin. (Isselbacher. 2000)
Kelainan homeostasis glukosa sering terjadi pada sirosis (Tabel 264-1).
Hiperglikemia dan intoleransi glukosa adalah yang paling sering tampak.
Intoleransi glukosa karena kadar insulin plasma yang normal atau meningkat
(kecuali pada pasien dengan hemo-kromatosis), mengesankan bahwa resistensi
insulin lebih mungkin bertanggung jawab dibanding defisiensi insulin. Salah satu
faktor yang mungkin memainkan peranan dalam resistensi insulin yang nyata
adalah penurunan absolut pada kemampuan hati untuk me-metabolisis beban
glukosa karena penurunan dalam memfungsikan massa hepatoseluler. Terdapat
juga bukti bahwa respons terhadap insulin dikurangi karena cacat reseptor dan
pascareseptor dalam hepatosit pasien dengan sirosis. Selain itu, hiperinsulinemia
dan hiperglukagonemia mungkin terdapat karena penurunan bersihan hepatik dari
hormon ini yang diakibatkan dari pintas portal-sistemik. Namun, pada pasien
dengan hemokromatosis, kadar insulin mungkin rendah karena endapan besi dan
kadang bersamaan dengan diabetes melitus. Pasien dengan sirosis mungkin juga
memiliki kadar laktat serum yang meningkat, menunjukkan penurunan kapasitas
hati terhadap penggunaan laktat untuk glukoneogenesis. (Isselbacher. 2000)
Hipoglikemia, walau lebih sering pada hepatitis fulminan akut, mungkin
juga tampak bersama sirosis stadium-akhir. Glikogen dalam ati bertanggung
jawab atas 5 sampai 7 persen berat jaringan yang normal. Karena kapasitas hati
untuk menyimpan gikogen terbatas (kira-kira 70 g) dan kebutuhan glukosa tetap
pada kecepatan konstan (kira-kira 150 g/hari), cadangan glikogen hepatik
dihabiskan sesudah puasa 1 hari. Hipoglikemia pada sirosis stadium-akhir
mungkin karena penurunan cadangan glikogen hepatik, kehabisan responsi-vitas
glukagon, atau penurunan kapasitas untuk mensintesis glikogen karena destruksi
parenkim yang luas. (Isselbacher. 2000)

GAMBAR 2.1 Pertukaran karbohidrat-protein antara otot dan hati. Setelah berpuasa
semalaman terdapat pelepasan bersih asam amino oleh otot (terutama alanin dan glutamin). Hal ini
berasal dari transaminasi piruvat, asam amino diturunkan, dan glukosa. Asam amino rantai-cabang
(BCAA) sangat penting sebagai sumber nitrogen untuk sintesis alanin. Alanin digunakan untuk
glukoneogenesis oleh hati, dan urea dibentuk sebagai hasil tambahan. Tempat utama ambilan
glutamin adalah ganjal dan usus, yang secara berurutan digunakan untuk produksi amonia dan
sebagai sumber energi. Pencernaan protein makanan selanjutnya, otot lurik masuk ke dalam fase
anabolik; terdapat pelepasan hati dan ambilan otot dari BCAA makanan yang selektif, penurunan
curah alanin dan glutamin otot, dan penurunan kecepatan glukoneogenesis hati. Protein jaringan
hati juga masuk ke dalam fase anabolik mengikuti pencernaan protein. (Dimodifikasi dengan izin
dari AS Tavill in Wright et al). (Isselbacher. 2000)

II.1.2 Metabolisme asam amino dan amonia


Berkaitan dengan peran pentingnya dalam metabolism protein, hati
merupakan tempat utama proses-proses deaminasi oksidatif dan traminasi. Kedua
reaksi ini memungkinkan gugus-gugus amino dipertukarkan di antara berbagai
molekul untuk menghasilkan substrat bagi metabolism karbohidrat dan sintesis
asam amino. Demikian juga, siklus urea memungkinkan nitrogen diekskresikan
dalam bentuk urea, yang jauh kurang toksik ketimbang gugus amino bebas dalam
bentuk ion ammonium. (Ganong. 2000)
Melalui berbagai proses anabolik dan katabolik, hati adalah tempat
interkonversi asam amino yang utama. Asam amino yang digunakan untuk
sintesis protein hepatik berasal dari protein makanan, pergantian protein endogen
metabolik (terutama dari otot), dan sintesis langsung dalam hati. Sebagian besar
asam amino yang memasuki hati melalui vena porta dikatabolisme menjadi urea
(kecuali untuk asam amino rantai-cabang leusin, isoleusin, dan valin). Jumlah
yang lebih sedikit dilepaskan ke dalam sirkulasi umum sebagai asam amino
bebas, dan mempunyai peran yang penting dalam siklus glukosa-alanin yang
disebutkan di atas. Selain itu, asam amino digunakan untuk sintesis protein,
protein plasma, dan senyawa khusus seperti glutation, glutamin, taurin, karnosin,
dan kreatin hati intraseluler. Gangguan metabolisme asam amino yang normal
mungkin ditunjukkan pada perubahan konsentrasi asam amino plasma. Pada
umumnya, kadar asam amino aromatik biasanya dimetabolisme oleh hati (seperti
metionin) ditingkatkan, sedangkan asam amino rantai-cabang, sebagian besar
yang digunakan oleh otot lurik, cenderung menjadi normal atau menurun. Telah
dianggap bahwa perubahan rasio dua tipe asam amino ini berperan dalam
perkembangan ensefalopati hepatik (lihat bawah), tetapi tidak terdapat persetujuan
atas konsep ini. (Isselbacher. 2000)
Katabolisme hepatik atau degradasi asam amino melibatkan dua reaksi
utama: transaminasi dan deaminasi oksidatif. Pada transaminasi, kelompok amino
dari asam amino ditransfer menjadi asam keto. Proses ini dikatalisis oleh
aminotransferase, yang ditemukan dalam jumlah yang sangat tinggi dalam hati
tetapi juga terdapat dalam jaringan lainnya, seperti ginjal, otot, jantung, paru, dan
otak. Asam glutamat-oksaloasetat transaminase (aspartat aminotransferase, AST)
telah diperiksa paling luas, dan kadar yang meningkat ditemukan dalam serum
sebagai akibat berbagai tipe cedera hati (misalnya, hepatitis virus akut dan akibat-
obat). Sebagai akibat transaminasi, asam amino dapat memasuki siklus asam sitrat
dan kemudian berfungsi dalam metabolisme perantara karbohidrat dan lipid.
Sebagian besar asam amino nonesensial juga disintesis dalam hati dengan
transaminasi. Deaminasi oksidatif, yang menyebabkan konversi asam amino
menjadi asam keto (dan amonia), dikatalisis oleh asam L-amino oksidase dengan
dua pengecualian: oksidasi glisin dikatalisis oleh glisin oksidase, dan glutamat
oksidasi dikatalisis oleh glutamat dehidrogenase. Bersama kerusakan hati yang
berat (misalnya, nekro-sis hepatik masif), penggunaan asam amino terganggu,
asam amino bebas dalam aliran darah meningkat, dan "limpahan" tipe amino-
asiduria mungkin timbul. (Isselbacher. 2000)
Produksi urea sangat berhubungan dengan jalur metabolik yang diuraikan
di atas, memberikan alat untuk pembuangan amonia, produk dari metabolisme
nitrogen yang toksik. Gangguan proses ini merupakan kepentingan klinis yang
khusus pada pasien dengan penyakit hati akut dan kronik yang berat. Fiksasi NH3
asalasam amino dalam bentuk urea dikeluarkan melalui siklus Krebs-Henseleit.
Langkah akhir siklus ini, pembentukan urea oleh arginase, adalah ireversibel.
Pada penyakit hati lanjut, sintesis urea sering menurun, menyebabkan
penumpukan NH3, biasanya bersama dengan penurun-an nitrogen urea darah
(BUN) yang nyata, tanda gagal hati yang tidak menyenangkan. Temuan ini dapat
dikaburkan oleh pemburukan ginjal yang menumpangi, dan sering berkembang
pada pasien dengan gagal hati yang berat. Sebagian besar urea diekskresikan oleh
ginjal, tetapi kira-kira 25 persen akan berdifusi ke dalam usus dan dikonversi
menjadi NH3 oleh urease bakteri. Produksi amonia usus juga terjadi dari
deaminasi asam amino yang tidak diabsorpsi dan protein yang berasal dari
makanan, sel yang mengelupas, atau darah dalam saluran makanan oleh bakteri.
(Isselbacher. 2000)
NH3 usus diabsorpsi dan ditranspor ke hati melalui vena porta, tempat
NH3 usus diubah lagi menjadi urea. Ginjal juga memproduksi jumlah NH3 yang
berubah-ubah, sebagian besar melalui deaminasi glutamin. Sumbangan usus dan
ginjal terhadap sintesis amonia mempunyai maksud yang penting untuk
penatalaksanaan keadaan hiperamonemia yang sering tampak pada pasien dengan
penyakit hati lanjut, biasanya bersamaan dengan pintas portal-sistemik darah.
Sementara perantara kimia dari ensefalopati hepatik masih tidak diketahui dan
mungkin termasuk senyawa benzodiazepin endogen, peningkatan kadar NH3
darah umumnya berhubungan dengan tingkat ensefalopati, walaupun kira-kira 10
persen pasien seperti itu memiliki kadar amonia darah yang normal. Selain itu,
cara terapeutik yang menurunkan kadar NH3 serum biasanya juga menyebabkan
perbaikan klinis. Beberapa mekanisme yang diketahui menyebabkan peningkatan
kadar NH3 darah pada pasien dengan sirosis digambarkan pada Gbr. 2.2 dan
termasuk berikut ini: (1) Bila terdapat bahan nitrogen berlebih dalam usus (dari
perdarahan atau protein makanan), kelebihan jumlah NH3 akan dibentuk melalui
deaminasi asam amino oleh bakteri. Bila motilitas usus menurun, yang ditandai
oleh konsti-pasi, produksi amonia oleh bakteri akan meningkat karena waktu yang
memanjang untuk degradasi potein dan asam amino luminal. (2)Bila fungsi ginjal
menurun (seperti pada sindroma hepatorenal), nitrogen urea darah meningkat,
menyebabkan peningkatan difusi urea ke dalam lumen usus, tempat urease bakteri
berubah menjadi NH3. (3) Bila fungsi hati menurun secara berarti, penurunan
sintesis urea mungkin terjadi dengan akibat penurunan dalam pengeluaran NH3.
(4) Bila alkalosis (sering karena hiperventilasi sentral) dan hipokalemia yang
menyertai dekompensasi hati, mungkin terdapat penurunan ketersediaan ion H+
ginjal; akibatnya, NH3 yang diproduksi dari glutamin oleh kerja glutaminase
ginjal dapat memasuki vena renalis (dibanding yang diekskresi sebagai NH4+),
menyebabkan peningkatan kadar NH3 darah perifer. Selain itu, hipokalemia itu
sendiri menyebabkan.peningkatan.produksi.NH3.ginjal..(5).Bila.terdapat
hipertensi portal dan terdapat anastomosis antara vena porta dan saluran vena
sistemik, pintas portal-sistemik ini akan menyebabkan NH3 dari usus memintasi
detoksifikasi hati, menyebabkan peningkatan kadar NH3 darah. Dengan demikian,
bersama pintas portal-sistemik darah, peningkatan kadar NH3 darah mungkin
berkembang bersama disfungsi hepatoselulersedangsecararelatif. Tidak jelas apa
yang mempengaruhi faktor yang sama ini mungkin memakai senyawa lain yang
memainkan peranan dalam perkembangan ensefalopati hati. (Isselbacher. 2000)

GAMBAR 2.2 Faktor utama (langkah 1 sampai 4) yang mempengaruhi kadar amonia
darah. Pada sirosis dengan hipertensi portal, kolateral vena menyebabkan amonia memintasi hati
(langkah 5), menyebabkan masuknya amonia ke dalam sirkulasi sistemik (pintas portal-sistemik).
(Isselbacher. 2000)
Faktor tambahan penting dalam menentukan apakah kadar NH3 yang biasa
dalam darah akan merusak sistem saraf pusat adalah pH darah. Makin sering basa
pH, makin toksik kadar NH3 yang biasa terjadi. Pada 37C, pNH3 adalah 8,9;
angka ini cukup dekat dengan pH darah yang mengalami sedikit perubahan pH
dapat mempengaruhi rasio NH47NH3. Karena NH3 yang tidak berionisasi
melintasi membrana lebih mudah daripada ion NH4+, alkalosis menyokong
masuknya amonia ke dalam otak (dengan perubahan selanjutnya dalam
metabolisme sel) melalui pergeseran keseimbangan reaksi berikut ke kanan

NH4+ + OH" ?* NH3 + HOH


Sebagai akibatnya, alkalosis tidak hanya meningkatkan kadar NH, darah
perifer melalui mekanisme ginjal tetapi juga meningkatkan kadar jaringan dengan
mempengaruhi difusi NH3 melintasi membran. Demikian pula, perubahan pada
pH kandungan lumen usus juga akan mempengaruhi keseimbangan antara NH4+
dan NH3; lumen yang lebih alkali akan menggeser keseimbangan untuk
kepentingan NH3, menyebabkan peningkatan absorpsi. Dalam teori, laxatif yang
menyebabkan pengasaman kandungan lumen yang relatif (misalnya, laktulosa)
mungkin lebih efektif sebagai agen untuk terapi ensefalo-pati hati. Namun, efek
teoritis ini terhadap keseimbangan antara NH4+ dan NH3 belum pernah
diperlihatkan secara meyakinkan untuk laxatif yang tersedia. (Isselbacher. 2000)

II.1.3 Sintesis dan degradasi protein


Hati membentuk dan mengeluarkan banyak protein yang terdapat plasma,
termasuk albumin, beberapa faktor pembekuan darah, sejumlah protein pengikat,
dan bahkan hormone dan precursor hormone tertentu. Karena kerja protein
protein ini hati memiliki peran penting dalam mempertahankan tekanan onkotik
plasma (albumin serum), koagulasi (sintesis dan modifikasi factor pembekuan),,
tekanan darah (angiotensinogen), pertumbuhan (factor pertumbuhan yang mirip-
insulin 1), dan metabolism (protein pengikat hormone tiroid dan steroid).
(Ganong. 2000)
Hati adalah tempat sintesis dan degradasi protein yang penting. Walaupun
massa otot tubuh menghasilkan jumlah protein total terbesar, hati mempunyai
kecepatan sintesis per gram jaringan yang tertinggi. Hati tidak hanya mensintesis
protein yang dibutuhkannya, tetapi juga dan mungkin lebih penting, hati
memproduksi banyak protein ekspor. Di antara protein ekspor, albumin adalah
yang paling penting; albumin diproduksi pada kecepatan kira-kira 12 g/hari,
mewakili 25 persen sintesis protein hati total dan setengah dari semua protein
yang diekspor. Rata-rata waktu-paruh albumin serum yang normal adalah 17
sampai 20 hari. Bagian hepatosit yang mengeluarkan sintesis albumin yang aktif
bervariasi dari 10 sampai 60 persen tergantung pada kebutuhan tubuh. Kira-kira
60 persen albumin ditemukan dalam ruang ekstravaskuler, tetapi albumin plasma
masih merupakan protein sirkulasi yang paling berlimpah. (Isselbacher. 2000)
Albumin berperan secara berarti pada tekanan onkotik plasma. Selain itu,
albumin adalah protein pengikat dan protein transpor yang utama untuk banyak
zat, termasuk beberapa hormon, asam lemak, logam kelumit (trace), triptofan,
bilirubin, dan anion organik lainnya asal endogen dan eksogen. Meskipun banyak
fungsi albumin yang penting, jarang individu dengan analbuminemia kongenital
tampak tidak memiliki kekacauan fisiologik yang utama dibanding kelebihan
penumpukan cairan ekstraseluler. Sementara banyak ligand yang kurang
hidrofobik ditranspor dalam bentuk tidak terikat; hal ini mengesankan bahwa
protein serum lainnya mungkin juga memainkan peranan dalam pengikatan dan
transpor. (Isselbacher. 2000)
Banyak yang telah dipelajari mengenai mekanisme yang terlibat dalam
sintesis protein sekretori, khususnya albumin. Poliribosom yang terikat dengan
retikulum endoplasma kasardari hepatosit adalah tempat utama translasi
penyandian messenger asam ribonukleat (mRNA) untuk protein ekspor;
sebaliknya, protein yang diperuntuk-kan untuk penggunaan intraseluler, seperti
feritin, disintesis lebih bebas daripada terikat poliribosom dalam sitoplasma.
Setelah puasa jangka-pendek, terdapat penurunan sejumlah mRNA albumin yang
terkait dengan retikulum endoplasma yang kasar; terlebih lagi, banyak mRNA
yang ditemukan dalam sitosol dan dalam keadaan terpisah dari poliribosom.
Albumin, seperti protein sekretori yang diproduksi oleh organ lainnya, muncul
untuk disintesis pada permulaannya sebagai prekursor yang lebih besar,
preproalbumin. Molekul pre-kursor ini mengandung 24 residu asam amino ekstra
tambahan pada ujung terminal N, disebut pada peptida sinyal, yang mengalami
dua rangkaian pembelahan (atau "pemrosesan"). Bagian "pre" preproalbumin
dibelah dalam retikulum endoplasma yang kasar bahkan sebelum sintesis protein
diselesaikan; segmen "pro" disingkirkan dalam lumen retikulum endoplasma yang
kasar. Kemudian molekul tersebut ditranspor ke aparatus Golgi sebelum sekresi.
Sekali sintesis dan pemrosesan diselesaikan, albumin ditranspor dari vesikel
Golgi ke permukaan hepatosit melalui mekanisme yang tidak jelas tetapi hampir
pasti melibatkan aparatus mikrofilamen dan mikrotubulus sel. Walaupun ruang
Disse limfe hati memberikan kesempatan yang potensial untuk albumin yang baru
dilepas, sebagian besar protein yang disekresi memasuki plasma. (Isselbacher.
2000)
Sintesis albumin merupakan subjek terhadap sejumlah pengaruh
pengaturan. Hal ini termasuk kecepatan transkripsi mRNA spesifik dan
ketersediaan substrat tRNA (transfer RNA). Pada tingkat translasi, integritas
poliribosom dan kemampuan sintesisnya diubah oleh faktor yang mempengaruhi
permulaan, pemanjangan, dan pelepasan peptida dan protein seperti melalui
ketersediaan ATP, GTP, dan ion magnesium. Kecepatan sintesis albumin juga
dipengaruhi oleh ketersediaan prekursor asam amino, terutama triptofan, asam
amino esensial yang paling langka. Tentu saja, pada pasien dengan tumor
karsinoid yang besar, sintesis albumin mungkin menurun secara tergesa-gesa bila
triptofan dikonsumsi oleh sel karsinoid pada produksi 5-hidroksitriptofan
(serotonin) (lihat Bab 276). Kecepatan sintesis albumin juga dipengaruhi oleh
tekanan onkotik koloid, dengan penurunan produksi yang terjadi dalam respons
terhadap penurunan tekanan onkotik. Akhirnya, pengaruh hormon seperti insulin
dan glukagon terhadap metabolisme protein hati sangat berintegrasi dengan faktor
nutrisi yang dibahas di atas. (Isselbacher. 2000)
Hati juga memproduksi bermacam protein sekretori lainnya, yang
sebagian besar memiliki jalur sintesis dan prosedur pemrosesan yang sama
dengan yang terjadi pada albumin. Adanya peptida sinyal, seperti segmen
"prepro" albumin, yang kemudian disingkirkan selama pematangan protein
tampak merupakan mekanisme umum untuk menghadapi protein dalam
membrana retikulum endoplasma dan lebih mengarahkan protein ini untuk ekspor
daripada untuk penggunaan intraseluler atau degradasi. Bahkan sebagian besar
protein mengalami modifikasi lanjutan dalam bentuk rangkaian glikosilasi dalam
retikulum endoplasma yang kasar dan aparatus Golgi. Setengah karbohidrat dari
glikoprotein ini tampak penting untuk menentukan tempat kerjanya dan kecepatan
ambilan jaringan setelah sekresi. Beberapa glikoprotein sekretori yang penting
secara klinis termasuk seruloplasmin, a,-antitripsin, dan sebagian besar globulin
alfa dan beta lainnya. Sementara tempat katabolisme albumin tidak tentu,
penyingkiran residu asam sialat terminal setelah sekresi dan akibat pemajanan
galaktosa yang kedua dari belakang atau residu N-asetil-glukosamin tampak
menyebabkan ambilan protein "tua" yang di-perantarai reseptor oleh hepatosit dan
sel Kupffer, disertai oleh rangkaian degradasinya. Penurunan sejumlah reseptor
hati untuk asialoglikoprotein tampak menyebabkan peningkatan konsentrasi
glikoprotein serum pada pasien dengan penyakit hati yang parah dan kronik.
(Isselbacher. 2000)
Salah satu kekacauan yang paling penting secara klinis dalam
metabolisme protein adalah timbulnya hipoalbuminemia, yang sebagian besar
diakibatkan dari penurunan aktivitas sintesis. Penurunan sintesis mungkin
disebabkan oleh penurunan dalam jumlah dan fungsi hepatosit. Penurunan suplai
asam amino makanan juga dapat menyebabkan kekurangan sintesis. Untuk
beberapa tingkat tubuh berusaha untuk kompensasi terhadap penurunan sintesis
albumin dengan menurunkan kecepatan degradasi. Usaha untuk meningkatkan
kadar albumin serum dengan infus intravena sering sia-sia karena mekanisme
kompensasi ini dapat ditumpulkan dan penurunan degradasi albumin mungkin
tidak terjadi. Penurunan degradasi albumin bukan fenomena umum pada penyakit
hati kronik karena protein lain seperti fibrinogen didegradasi lebih cepat dari
normal. Pada pasien dengan asites, derajat hipoalbuminemia diperburuk oleh
kehilangan jumlah besar albumin tubuh ke dalam cairan asites. Bila terdapat
peningkatan tekanan vena hepatika (seperti pada pascasinusoid atau
penghambatan aliran vena hepatika), mungkin terdapat peningkatan produksi
limfe hati dengan ekstravasasi ke dalam rongga peritoneum. Berbeda dengan
limfe usus, kandungan protein limfe hati timbul secara relatif tidak dipengaruhi
oleh tekanan onkotik asites, sebagian besar cenderung menunjukkan ketiadaan
hubungan erat antara sel endotel sinusoid. (Isselbacher. 2000)
Protein lain yang diproduksi oleh hati termasuk banyak faktor pembekuan-
darah: fibrinogen (faktor I), protrombin (faktor II), dan faktor V, VII, IX, dan X,
seperti penghambat koagulasi dan fibrinolisis. Faktor II, VII, IX, dan X responsif-
vitamin K dan tergantung pada absorpsi lemak usus yang normal. Vitamin K
mengaktivasi sistem enzim dalam retikulum endoplasma hati yang mengkatalisis
karboksilasi y dari residu glutamil terpilih dalam prekursor faktor pembekuan.
Karboksilasi y meningkatkan Ca2+ dan kapasitas pengikatan-fosfolipid dari
protrombin dan mempermudah konversi cepatnya menjadi trombin dalam
keberadaan faktor V dan X. (Isselbacher. 2000)
Hati terlibat dalam proses hemostasis melalui fungsi anabolik dan
katabolik. Seperti yang diharapkan, penyakit hati yang berat menyebabkan
penurunan sintesis protrombin, faktor pembekuan ter-gantung-vitamin K. Adanya
malnutrisi, penggunaan antibiotik spektrum luas, atau kekacauan absorpsi lemak
yang bersamaan karena penurunan konsentrasi garam empedu usus (misalnya,
kolestasis) mungkin mengutamakan hipoprotrombinemia dengan mengurangi
jumlah vitamin K yang dapat diabsorbsi dari usus. Pada situasi ini, kadar
protrombin mungkin paling sedikit dikoreksi secara parsial oleh pemberian
vitamin K parenteral. Namun, bila koagulopati yang diakibatkan dari kekacauan
fungsi hepatoseluler dan bukan kolestasis atau faktor usus, vitamin K eksogen
tidak mungkin mengoreksi atau memperbaiki sintesis protrombin. Protein
pembekuan tergantung-vitamin K mempunyai waktu-paruh serum yang jauh lebih
singkat daripada albumin; oleh karena itu, hipoprotrombinemia biasanya
mendahului perkembangan hipoalbuminemia, khususnya pada pasien dengan
penyakit hepatoseluler akut. Pada sirosis, koagulopati mungkin lebih diperburuk
oleh trombositopenia yang diakibatkan dari hipersplenisme. (Isselbacher. 2000)
Karena hati juga merupakan tempat produksi faktor pembekuan
tergantung-nonvitamin K, cedera penyakit hati yang berat mungkin menyebabkan
penurunan konsentrasi faktor V plasma di samping faktor II, VII, IX, dan X.
Tidak lazin untuk fibrinogen diturunkan secara berarti, kecuali terdapat koagulasi
intravaskuler diseminata [disseminated intravascular coagulation (DIC)] yang
terkait. Untuk alasan yang tidak jelas, kerusakan hati akhirnya mungkin
menyebabkan peningkatan jumlah fibrinogen seperti protein lainnya secara
bersama yang ditandai reaktan fase-akut (protein C-reaktif, haptoglobin,
seruloplasmin, dan transferin). Transferin diproduksi dalam respons terhadap
cedera hati (misalnya, hepatitis kronik aktif yang parah) dan berhubungan dengan
penyakit sistemik seperti kanker, rematoid artritis, infeksi bakteri, luka bakar, dan
infark miokard. Sitokin, termasuk interleukin 1 dan 6, tampak sebagai rangsangan
sintesis reaktan fase-akut hati yang utama. Namun, sementara hati yang
berpenyakit mungkin memproduksi jumlah fibrinogen yang normal atau
meningkat, molekul itu sendiri mungkin abnormal secara kualitatif (misalnya,
secara struktural dan secara fungsional), menunjukkan kekacauan yang lebih tidak
kentara dalam sintesis protein. Molekul fibrinogen yang abnormal secara
fungsional mungkin menyebabkan perubahan hemostasis yang sering ditemukan
pada pasien dengan penyakit hati kronik. (Isselbacher. 2000)

II.1.4 Mekanisme detofikasi


Sebagian besar enzim yang mengatalisis proses metabolik yang diperlukan
untuk detofikasi dan eksresi obat dan zat lain terletak di retikulum endoplasma
hepatosit. Jalur ini digunakan tidak saja untuk metabolisme obat eksogen tapi juga
untuk banyak zat endogen yang, tanpa metabolisme ini, akan sukar dieksekresikan
dari sel (mis., bilirubin dan kolesterol). Pada kebanyakan kasus, metabolisme ini
berupa perubahan zat lipofilik (hidrofobik) (yang sulit dieksekresikan dari sel
karena cenderung melekat pada membran sel) menjadi zat yag lebih hidrofilik.
Proses-proses ini melibatkan katalis modifikasi kovalen agar substansi menjadi
lebih bermuatan sehingga substansi tersebut lebih mudah memisahkan diri ke
dalam medium air atau paling tidak cukup larut dalam empedu. Akibat proses ini,
yang secara keseluruhan disebut biotransformasi, sebagian zat yang tadinya
tertahan di membran sel kemudian diekskresikan langsung di urine atau diangkut.
(Ganong. 2000)
Obat larut air dan zat endogen biasanya diekskresi tidak berubah dalam
urin atau empedu. Namun, senyawa larut-lemak cenderung untuk menumpuk
dalam tubuh dan mempengaruhi proses seluler, kecuali kalau diubah menjadi
senyawa kurang aktif atau metabolit yang lebih larut-air yang lebih mudah
diekskresi. Aliran darah hati, pengikatan protein, dan kapasitas intrinsik hati
untuk mengeluarkan obat merupakan faktor penentu utama bersihan obat hati.
Hati mempunyai peranan yang penting dalam metabolisme banyak obat eksogen
dan hormon endogen melalui sifat beberapa sistem enzim yang terlibat dalam
transformasi biokimiawi seperti "efek lintas-pertama" aliran darah dari
keseluruhan saluran makanan yang sebenarnya melewati hati melalui sirkulasi
portal. Kepentingan relatif dari berbagai faktor ini berbeda tergantung pada sebaik
apa suatu obat disaring oleh hati. Ada dua tipe reaksi utama. Pertama, reaksi fase
I, menyebabkan modifikasi kimia dari kelompok reaktif oleh oksidasi, reduksi,
hidroksilasi, sulfooksidasi, deaminasi, dealkilasi, atau metilasi. Modifikasi seperti
itu biasanya melibatkan satu dari beberapa sistem enzim, termasuk oksidase
fungsi-campuran, sitokrom b5 dan P-450 (mikrosom), dan glutation S-
asiltransferase (sitoplasma). Reaksi biokimiawi ini biasanya menyebabkan
inaktivasi obat seperti barbiturat dan benzodiazepin. Namun, aktivasi mungkin
juga terjadi. Sebagai contoh, kortison diaktivasi menjadi kortisol dan prednison
(kedua produk menjadi lebih poten daripada senyawa induk); imipramin,
depresan, diubah menjadi desmetilimipramin, antidepresan. Dengan cara yang
sama, bahkan reaksi fase I mungkin mengubah senyawa nontoksik menjadi
toksik, seperti pada metabolisme isoniazid dan asetaminofen. Demikian pula,
beberapa karsinogen mungkin diaktivasi melalui pembentukan lanjutan epoksid
yang sangat reaktif, sedangkan karsinogen lainnya mungkin didetoksifikasi.
(Isselbacher. 2000)
Enzim yang bertanggung jawab untuk reaksi fase I, khususnya yang
melibatkan sistem sitokrom P-450, dapat diakibatkan oleh obat seperti etanol,
barbiturat, haloperidol, dan glutetimid. Sebaliknya, enzim mikrosom hati
mungkin dihambat oleh agen seperti kloram-fenikol, simetidin, disulfiram,
dekstropropoksifen, alopurinol, dan, dengan berlawanan asas, etanol. Pemberian
bersamaan dua obat yang dimetabolisme oleh enzim mikrosom yang sama
mungkin menyebabkan modifikasi, potensiasi, atau pengurangan kemanjuran
farma-kologik masing-masing atau kedua obat. Aktivasi reaksi fase I mungkin
juga berubah bersama penuaan. (Isselbacher. 2000)
Reaksi fase II mungkin menyertai reaksi fase I atau berjalan secara bebas;
hal ini melibatkan perubahan zat menjadi derivat glukuronida, sulfat, asetil,
taurin, atau glisin, dengan demikian mengubah zat lipofilik menjadi derivat larut-
air dan memperbolehkan ekskresinya dalam empedu atau urin. Konjugasi yang
dikatalisis oleh UDP (uridin difosfat)-glukuroniltransferase mikrosom untuk
membentuk derivat glukuronida merupakan salah satu reaksi fase II yang paling
sering. Pada umumnya, konjugat lebih larut daripada senyawa induk dan tidak
aktif secara farmakologis. (Isselbacher. 2000)
Kesadaran bahwa mungkin terdapat berbagai derajat kekacauan dalam
ambilan, detoksifikasi, dan ekskresi hati dari obat tertentu penting dalam
penatalaksanaan klinis pasien dengan penyakit hati kronik. Pemintasan darah
portal-sistemik mungkin menurunkan "efek lintas-pertama" obat yang diabsorpsi
dari usus. Pada sirosis, hemo-dinamika intrahepatik yang berubah karena
gangguan arsitektur hati mungkin juga menurunkan kecepatan bersihan obat hati.
Hipoalbuminemia akan menyebabkan obat terikat dengan albumin untuk terdapat
dalam peningkatan konsentrasi bentuknya yang tidak terikat dalam sirkulasi dan
ruang ekstraseluler; hal ini mungkin menyebabkan peningkatan aktivitas obat
seperti itu. Yang terpenting, penurunan sejumlah fungsi enzim mikrosom yang
bertanggung jawab untuk reaksi fase I dan fase II akan mengakibatkan kecepatan
inaktivasi dan pengeluaran obat lebih lambat. Obat yang mungkin menurunkan
bersihan pada pasien dengan penyakit hati termasuk antikonvulsan (misalnya,
fenitoin, fenobarbital), obat antiinflamasi (misalnya, asetaminofen, fenilbutazon,
glukokortikoid), tranquilizer minor, obat kardioaktif (misalnya, lidokain, kuinidin,
propranolol), dan antibiotik (misalnya, nafsilin, kloramfenikol, tetrasiklin,
trimeto-prim, rifampin, pirazinamid). Hal ini akan menyebabkan penurunan
kebutuhan dosis dan mempersempit rentang antara kadar obat terapi dan toksik.
Akhirnya, pasien dengan penyakit hati kronik mungkin memperlihatkan
perubahan pada efek farmakologik dari obat atau selain kebebasan perubahan
farmakokinetiknya, seperti peningkatan sensitivitas sistem saraf pusat terhadap
opiat dan sedatif lainnya. (Isselbacher. 2000)
Kesulitan dalam memberikan agen farmakologik dengan aman kepada
pasien penyakit hati akut maupun kronik ditegaskan dengan frekuensi pemberian
benzodiazepin yang disebut sebagai pencetus koma hepatik. Secara klinis,
mungkin sangat sulit untuk menentukan apakah agitasi, konfusi, dan kelakuan
irasional disebabkan ensefalo-pati hati yang dini atau karena penggunaan bersama
benzodiazepin, opiat, barbiturat, dan depresan lainnya. Sebaiknya dikenali begitu
terdapat perbedaan bersihan obat yang besar pada pasien dengan penyakit hati;
walaupun data dari bersihan rata-rata mungkin memberikan penilaian yang masuk
akal untuk dosis awal, pencocokan berikut dalam kebutuhan dosis perseorangan
supaya mencapai konsentrasi obat yang diinginkan dalam plasma. (Isselbacher.
2000)
Mekanisme dengan beberapa agen menimbulkan efek hepatotoksik
mungkin melibatkan jalur metabolik yang sama dan bertanggung jawab untuk
detoksifikasi obat yang normal. Mekanisme toksisitas asetaminofen merupakan
yang paling ilustratif. Asetami-nofen dimetabolisme dan didetoksifikasi oleh
sistem oksigenase fungsi-campuran hati, tetapi salah satu dari produk perantara
adalah radikal bebas yang poten (dirumuskan metabolit N-asetilimido-quinon)
yang dapat menginaktivasi banyak enzim dan protein dengan mengikat kelompok
sulfidrilnya secara ireversibel. Biasanya, interaksi ini dapat dicegah dengan
glutation tereduksi. Adanya jumlah radikal bebas asetaminofen yang berlebihan
(misalnya, dari kelebihan dosis atau penyakit hati yang mendasari), kadar
glutation hepatosit habis dipakai dengan cepat, dan kelebihan radikal bebas dapat
menyebabkan inaktivasi protein seluler dan menyebabkan nekrosis hepato-seluler
yang tersebar luas. Dalam kasus kelebihan dosis asetaminofen, pemberian
kelompok sulfhidril yang sangat dini dalam bentuk V-asetilsistein dapat
mencegah cedera hati akibat-obat. (Isselbacher. 2000)

II.1.5 Metabolisme hormon


Selain peranannya dalam metabolisme bermacam agen farmakologik, hati
juga bertanggung jawab terhadap inaktivasi atau modifikasi beberapa hormon
endogen; oleh karena itu, penyakit hati kronik mungkin disertai dengan tanda
keseimbangan hormonal yang nyata. Beberapa hormon (misalnya, insulin dan
glukagon) diinaktivasi dalam hati melalui proteolisis atau deaminasi. Tiroksin dan
triiodotironin dimetabolisme dalam hati melalui reaksi yang melibatkan
deiodinasi. Hormon steroid, seperti glukokortikoid dan aldosteron, adalah yang
pertama diinaktivasi menjadi derivat tetrahidronya (melalui reduksi ikatan ganda
A4 dan kelompok 3-keto), disertai dengan konjugasi, sebagian besar dengan asam
glukuronat. Testosteron dimetabolis menjadi isomer andros-teron 17-ketosteroid
dan etiokolanolon dan diekskresi dalam urin sebagian besar sebagai konjugat
sulfat. Estrogen, seperti estradiol, mungkin diubah menjadi estriol dan estron dan
kemudian ber-konjugasi dengan asam glukuronat atau sulfat. Kelainan dalam
metabolisme estrogen (dan testosteron) dipercayai berpengaruh terhadap
perkembangan angioma (spider angioma), kehilangan rambut aksilla dan pubis,
dan atrofi testis yang sering tampak pada pasien dengan penyakit hati kronik.
Selain itu, peningkatan pemirauan portal-sistemik dari testosteron dan
androstenedion sekunder terhadap hipertensi portal mungkin menyebabkan
perkembangan ginekomastia pada laki-laki yang sirosis karena peningkatan
konversi perifer menjadi estradiol dan estron, khususnya pada pasien dengan
sirosis alkoholik. Pada pasien dengan penyakit hati alkoholik, feminisasi mungkin
juga karena efek toksik alkohol yang langsung terhadap aksis hipotalamus-
hipofisis-gonade yang menyebabkan penurunan yang menyeluruh dalam
testosteron serum yang ditemukan pada pasien dengan sirosis. Efek yang sama
juga tampak pada pasien dengan hemokromatosis karena penumpukkan besi pada
tempat ini. Namun, ginekomastia sering tiada pada pasien dengan hemokroma-
tosis, rupanya karena penurunan yang serupa pada konsentrasi androstenedion
plasma, suatu prekursor utama untuk sintesis estrogen. (Isselbacher. 2000)
Estrogen juga berkerja secara langsung pada hati untuk mengganggu
aktivitas sekresi hati. Estradiol dan estrogen yang terkait, seperti yang terdapat
pada pil kontraseptif, mengganggu natrium sulfobromoftalein dan garam empedu
dan memperburuk cacat yang ada sebelumnya dalam sekresi bilirubin
terkonjugasi pada pasien dengan sindroma Dubin-Johnson; estrogen mungkin
juga meningkat-kan kadar fosfatase alkali plasma (lihat Bab 263). Steroid terkait
seperti etiokolanolon dan pregnanediol telah diperlihatkan men-stimulasi aktivitas
asam <5-aminolevulinat (ALA) sintetase, yang menyebabkan peningkatan
ekskresi porfobilinogen. Karena steroid ini menggunakan efek ini hanya dalam
bentuk tidak berkonjugasi, peningkatan kadar asam 6-aminolevulinat sintetase
hati pada pasien dengan sirosis alkoholik mungkin sekunder terhadap kerja
steroid gonade. (Isselbacher. 2000)

II.1.6 Metabolisme lipid: asam lemak dan trgliserida


Hati merupakan pusat metabolism lipid. Hati membentuk hamper 80%
kolesterol yang disintesis di tubuh dari astIL-K0A melalui suatu jalur yang
menghubungkan metabolisme karbohidrat dengan metabolism lipid selain itu hati
dapat membentuk menyimpan,dan mengekspor trigliserida hati juga merupakan
tempat pembentukan asam keto melalui jalur oksidasi asam lemak yang
menghubungkan katabolisme lipid dengan akitivitas siklus asam trikarboksilat.
(Ganong. 2000)
Pada proses pengaturan kadar kolestrol dan trigili serida tubuh, hati
menyusun, menyekresikan dan menyerap berbagai partikel lipoprotein sebagian
ini (very low densy lipoproteinsVLDL), lipoprotein berdensitas sangat rendah)
berfungsi mendistribusikan lipid ke jaringan lain untuk segera digunakan. Dalam
proses ini, struktur partikel VLDL dimodifikasi melalui pengurangan komponen
lipid dan protein. Partikel low density lipoprotein (LDL, Lipoprotein berdensitas
rendah) yang berbentuk kemudian dikembalikan ke hati berkat afinitas partikel ini
terdapat di permukaan berbagai sel tubuh, termasuk hepatosit. Partikel lipoprotein
berdensitas tinggi) dibentuk dan disekresikan dari hati. Partikel ini membersihkan
kelebihan kolestrol dan trigliserida dari jaringan lain dan dari aliran darah yang
mengembalikannya ke hati tempat partikel-partikel tersebut diekresikan. Karena
itu, sekresi HDL dan pembersihan LDL adalah mekanisme kebutuhan berbagai
jaringan dari aliran darah . (Ganong. 2000)
Pada kondisi normal, sebagian besar asam lemak yang diambil oleh hati
dan diesterifikasi menjadi trigliserida berasal dari jaringan adiposa atau diet.
Beberapa asam lemak (khususnya masing-masing disaturasi) disintesis dalam hati
dari asetat. Kemudian asam lemak mungkin diubah secara enzimatis menjadi
trigliserida, diesterifikasi bersamakolesterol, digabung dalam fosfolipid, atau
dioksidasi menjadi CO2 atau badan keton. Sebagian besar trigliserida diproduksi
untuk ekspor, tetapi supaya disekresi trigliserida harus diubah menjadi lipoprotein
melalui penggabungan dengan pertengahan apoprotein yang spesifik secara
relatif. Hal ini menegaskan pentingnya sintesis protein untuk pelepasan dan
sekresi trigliserida dari hati. Sebaiknya diperhatikan bahwa hati memainkan
peranan utama dalam mengatur kadar lipoprotein melalui kebaikan fungsi
degradasi dan sintesisnya. Dengan demikian hati adalah tempat utama
katabolisme lipoprotein densitas-rendah (LDL) secara kuantitatif, dengan rangkap
jalur perantara-reseptor afinitas-tinggi dan jalur perantara-reseptor-afinitas-rendah
memainkan peranan. Selain itu, sisa kilomikron disingkirkan dan didegradasi oleh
hati, dan unsur pokoknya mem-punyai sejumlah efek metabolik. Hati tidak hanya
merupakan tempat utama sekresi lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL)
tetapi juga berperan besar bagi degradasi unsur pokoknya melalui mekanisme
yang sama dengan mekanisme degradasi sisa kilomikron dan konversi menjadi
LDL melalui kerja lipase hati. Hati mungkin juga berperan dalam katabolisme
lipoprotein densitas-tinggi (HDL). Patut diperhatikan bahwa dengan pengecualian
penyakit kolestatis (lihat bawah), perubahan yang nyata secara klinis dalam
metabolisme lipoprotein dan kolesterol biasanya tidak ditemukan pada pasien
dengan penyakit hati kronik. (Isselbacher. 2000)
Pemeriksaan terhadap produksi perlemakan hati telah memperlihatkan
bahwa satu demi satu atau dalam gabungan, satu atau lebih langkah yang
digambarkan dalam Gbr. 2.3 mungkin terlibat. Peningkatan influks asam lemak
yang dimobilisasi dari jaringan adiposa karena obat (misalnya, etanol atau
glukokortikoid) atau sekunder terhadap ketosis diabetes mungkin menyebabkan
perlemakan hati. Demikian pula, peningkatan kadar asam lemak dalam hati, baik
dari peningkatan sintesis asam lemak atau dari penurunan oksidasi asam lemak,
mungkin menyebabkan peningkatan pem-bentukan trigliserida. Pada beberapa
keadaan (misalnya, kelebihan etanol) mungkin terdapat juga peningkatan
kekuatan karbohidrat, a-gliserofosfat, yang terlibat dalam esterifikasi asam lemak
menjadi trigliserida. Karena pelepasan trigliserida melibatkan pembentukan
lipoprotein, penumpukan lipid mungkin terjadi karena penurunan sintesis
apoprotein. Hal ini muncul pada kasus perlemakan hati yang tampak pada pasien
dengan malnutrisi protein-kalori (kwashiorkor) dan karena toksin seperti karbon
tetraklorida, fosfor, atau etionin, dan juga menyertai kelebihan dosis antibiotik
seperti tetrasiklin yang dapat menghambat sintesis protein. Akhirnya, mungkin
terdapat gangguan sekresi lipoprotein dari hati. Perubahan berbeda yang
mengganggu metabolisme lemak hati mungkin menyebabkan pola yang berbeda
dari penumpukan lemak yang dirancang makrovesikuler (paling sering) dan
mikrovesikuler; hal ini ditinjau kembali dalam Bab 270. Alkohol mungkin
merupakan agen tersering yang menyebabkan perlemakan hati, tetapi mekanisme
bagaimana alkohol menyebabkan peningkatan trigliserida hati tidak jelas.
Tergantung pada faktor seperti dosis atau durasi, pencernaan alkohol mungkin
mempengaruhi apa saja dari tujuh langkah yang diperlihatkan dalam Gbr. 2.3;
namun, faktor utama untuk produksi perlemakan hati akibat-alkohol tetap harus
ditentukan. Perubahan dalam keadaan redoks (reduksi-oksidasi) karena kelebihan
penumpukan NADH akibat dari oksidasi alkohol mungkin juga mempengaruhi.
(Isselbacher. 2000)
Selain perubahan yang menyebabkan perlemakan hati, terdapat banyak
perubahan metabolik yang mungkin ditemukan dalam darah pasien yang
menyertai pencemaan jumlah besar alkohol. Hal ini termasuk, antara lain,
peningkatan kadar laktat, prolin, urat, dan trigliserida plasma dan penurunan
kadar glukosa, magnesium, fosfat, dan triiodotironin (T3) plasma.

Gambar 2.3 Faktor yang berperan dalam ambilan dan esterifikasi asam lemak menjadi
trigliserida, termasuk pembentukan dan pelepasan trigliserida menjadi Iipoprotein. Tiap nomor
merujuk pada langkah, yang bila berubah dapat meningkatkan trigliserida hati (misalnya,
perlemakan hati). (Isselbacher. 2000)

II.1.7 Kolesterol
Sintesis kolesterol dan garam empedu terutama dikeluarkan oleh hati.
Sintesis kolesterol berlaku untuk sejumlah kontrol metabolik, sebagian besar
diperantarai melalui biosintesis kecepatan-terbatas enzim 3-hidroksi-3-
metilglutaril ko-enzim A reduktase (HMG-CoA reduktase). Kolesterol terdapat
bebas atau bergabung dengan asam lemak dalam bentuk ester kolesterol; dalam
plasma, keduanya terutama ditemukan dalam gabungan dengan /S-lipoprotein.
Plasma dan hati juga mengandung lesitin-kolesterol asiltrasferase (LCAT), enzim
yang terlibat dalam konversi kolesterol bebas menjadi bentuk teresterifikasi.
Karena terdapat pertukaran kolesterol bebas antara jaringan, perubahan kadar
kolesterol plasma menunjukkan perubahan kolesterol total tubuh. Namun,
penurunan ester kolesterol plasma mungkin menunjukkan kerusakan dan
gangguan esterifikasi kolesterol hati. (Isselbacher. 2000)
Cedera hati yang berat sering menyebabkan penurunan kadar kolesterol
serum total, termasuk fraksi bebas maupun teresterifikasi. Hal ini mungkin karena
penurunan sintesis kolesterol dan ester kolesterol, penurunan sintesis apoprotein,
atau keduanya. Pada kolestasis (baik intrahepatik maupun ekstrahepatik),
kolesterol serum total sering meningkat secara mencolok. Penyakit kolestasis
berhubungan dengan kelainan metabolisme Iipoprotein yang nyata. Pada sirosis
empedu primer terdapat peningkatan yang nyata dalam kolesterol bebas dan LDL
serum; sebaliknya HDL serum diturunkan dan mungkin menghilang dari serum
pada pasien dengan penyakit yang sudah berjalan lama. Perubahan yang sama
tetapi kurang nyata tampak pada kondisi kolestasis lainnya. (Isselbacher. 2000)
Peningkatan kolesterol bebas serum (dan fosfolipid) dan penurunan yang
seiringan dalam kolesterol teresterifikasi pada kolestasis mungkin berhubungan
dengan penurunan produksi LCAT hati. Penurunan kadar LCAT juga
berhubungan dengan penampilan LDL yang abnormal, disebut sebagai
Iipoprotein X (LP-X). Walaupun LP-X, yang mempunyai kandungan kolesterol
bebas dan trigliserida . yang tinggi, semula dianggap sebagai indikator obstruksi
saluran empedu yang spesifik, jelas bahwa hal ini tampak pada kondisi kolestasis.
Sementara penurunan produksi LCAT hati mungkin bertanggung jawab terhadap
perubahan kandungan lipid dan komposisi Iipoprotein, faktor yang menyebabkan
peningkatan kolesterol serum total yang menyeluruh adalah tidak jelas. Pada
binatang percobaan, ligasi duktus biliaris mengakibatkan peningkatan netto dalam
sintesis kolesterol hati, dan dalam "regurgitasi" garam empedu, kolesterol, dan
LP-X ke dalam radikal vena. Namun, sulit untuk mewujudkan temuan eksperimen
ini ke pasien dengan sirosis biliaris primer kecuali penurunan sel yang membatasi
kanalikuli dan duktulus biliaris dapat mengganggu keseimbangan sintesis dan
penyingkiran lipid yang sulit. (Isselbacher. 2000)
Perubahan kolesterol dan zat yang:|erkait yang diakibatkan oleh penyakit
hati mungkin menyebabkan perubahan komposisi membran eritrosit yang nyata.
Perubahan dalam komposisi seperti itu menyebabkan perubahan morfologi
dengan perkembangan bentuk sel taji (spur) dan bur (burr). Adanya eritrosit yang
berubah ini biasanya merupakan tanda penyakit hati lanjut yang tidak
menyenangkan. (Isselbacher. 2000)
Sebagian besar kekacauan metabolisme hati yang dibahas di atas hanya
jelas pada pasien dengan penyakit hati yang berat atau yang sudah berjalan lama.
Sebenarnya pada semua kasus, tetapi pada kasus hepatitis virus akut terberat,
fungsi metabolik hati dipertahankan dengan baik, dan pada sebagian besar kasus
hepatitis virus akut ringan sampai sedang, jarang untuk mengamati perubahan
dalam metabolisme karbohidrat, protein, dan lipid yang penting secara klinis.
Namun, pada pasien dengan hepatitis berat atau fulminan, apakah dari virus atau
agen toksik, kekacauan metabolik mungkin sama seperti yang tampak pada
penyakit yang lebih kronik. Sebagai contoh, pada hepatitis fulminan mungkin
terdapat hipoprotrombinemia yang berat dan gangguan koagulasi,
hipoalbuminemia, dan perkembangan asites akut secara relatif, dan juga
hiperamonemia dan ensefalopati. Namun, berbeda dengan pasien sirosis, kelainan
metabolisme karbohidrat lebih cenderung menyebabkan hipoglikemia
dibandingkan hiperglikemia. Hipoglikemia ini tampak menunjukkan penurunan
cadangan glikogen hati yang nyata dan penurunan responsivitas glukagon.
Mungkin terdapat juga asupan oral yang buruk karena nausea dan anoreksia
bersama dengan peningkatan penggunaan glukosa sekunder terhadap
hiperinsulinemia (karena pemintasah portal-sistemik dan penurunan degradasi
insulin). (Isselbacher. 2000)

Anda mungkin juga menyukai