Anda di halaman 1dari 42

HUKUM KONSUMEN DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan. Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus
diberikan perlindungan oleh hukum. Menurut pasal 1 butir 1 UU No. 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen yaitu Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang
menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Kepastian hukum itu berarti mempunyai hak untuk memperoleh barang atau jasa yang
menjadi kebutuhannya serta mempunyai hak untuk menuntut apabila dirugikan oleh
perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut.

Kepastian hukum tersebut secara umum bertujuan untuk memberikan perlindunga


n (pengayoman) kepada masyarakat. Dari pengertian itu dapat disimpulkan bahwa tujuan
perlindungan konsumen adalah untuk menjamin adanya kepastian hukum sehingga
perlindungan konsumen tidak dapat terlepas dari adanya hukum konsumen dan hukum
perlindungan konsumen. Jadi sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan
konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya.

Hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang
mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan
atau jasa konsumen di dalam pergaulan hidup sedangkan hukum perlindungan konsumen adalah
bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan juga
mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Jadi dapat disimpulkan bahwa hukum
berskala lebih luas daripada hukum perlindungan konsumen. Hukum perlindungan konsumen
merupakan bagian dari hukum konsumen yang engatur lebih rinci asas-asas perlindungan bagi
konsumen sebagai pihak yang lebih leah dibandingkan dengan produsen.

Hal-hak Konsumen
Kedudukan konsumen terhadap produsen yang seharusnya seimbang menjadi lemah
karena rendahnya pengetahuan konsumen akan hak-haknya sebagai konsumen
sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen.

Hak-hak Konsumen adalah :

1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang


dan/atau jasa.
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nili tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur menganai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa.
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang ddan/atau jassa yang
digunakan.
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen.
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskrimintif.
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian apabilang barang/atau
jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tiddk sebagaiman mestinya.
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-udangan lainnya.

Konsumen mempunyai berbagai macam hakyang seharusnya diperhatikan dan


tidak boleh dilanggar oleh para pelaku usaha. Menurut pasal 4 UU No. 8 tahun 1999
tebtang Perlindungan Konsumen tersebut terdapat 9 macam hak yang melekat pada
konsumen, tetapi hanya 4 hak dasar yang diakui internasional yaitu hak untuk
memndapatkan keamanan (the right to safety) , hak untuk endapatkan informasi (the right
to be informed), ak untuk memilih (the right to choose), dan hak untuk didengar (the right to
be heard). Hak-hak konsumen ini perlu diketahui oleh masyarakat luas sebagai konsumen,
untuk menjamin kepastian hukum dan perlindunagn terhadap konsumen.
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
UNDANGUNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 1999
TENTANG
PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undangundang
ini yang dimaksud dengan :
1. Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen
2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk
hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri
maupun bersamasama
melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi.
Halaman 2
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
4. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak
maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat
untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
5. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan
bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
6. Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang
dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang
akan dan sedang diperdagangkan.
7. Impor barang adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.
8. Impor jasa adalah kegiatan penyediaan jasa asing untuk digunakan di dalam wilayah
Republik Indonesia.
9. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah lembaga nonpemerintah
yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan
menangani perlindungan konsumen.
10. Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syaratsyarat
yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang
dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi
oleh konsumen.
11. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani
dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
12. Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah badan yang dibentuk untuk
membantu upaya pengembangan perlindungan konsumen.
13. Menteri adalah menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi
bidang perdagangan.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Halaman 3
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan
keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.
Pasal 3
Perlindungan konsumen bertujuan :
a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi
diri;
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses
negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut
hakhaknya
sebagai konsumen;
d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum
dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen
sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan
konsumen.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN
Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban Konsumen
Pasal 4
Hak konsumen adalah :
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
Halaman 4
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
i. hakhak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan
lainnya.
Pasal 5
Kewajiban konsumen adalah :
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Pasal 6
Hak pelaku usaha adalah :
a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi
dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik;
Halaman 5
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen;
d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. hakhak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan
lainnya.
Pasal 7
Kewajiban pelaku usaha adalah :
a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
BAB IV
PERBUATAN YANG DILARANG
BAGI PELAKU USAHA
Pasal 8
(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang:
Halaman 6
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundangundangan;
b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya;
d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut
e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode,
atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan
barang dan/atau jasa tersebut;
f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan
atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/
pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
"halal" yang dicantumkan dalam label;
i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan
lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/ dibuat;
j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundangundangan
yang berlaku.
(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak,
cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar.
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
Halaman 7
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pasal 9
(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolaholah:
a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus,
standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau
guna tertentu;
b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor,
persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciriciri
kerja atau aksesori
tertentu;
d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor,
persetujuan atau afiliasi;
e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j. menggunakan katakata
yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak
mengandung risiko atau efek sampingan tampak keterangan yang lengkap;
k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
(2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk
diperdagangkan.
(3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan
penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
Halaman 8
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat
pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal 11
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang
mengelabui/ menyesatkan konsumen dengan;
a. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolaholah
telah memenuhi standar mutu
tertentu;
b. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolaholah
tidak mengandung cacat
tersembunyi;
c. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk
menjual barang lain;
d. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan
maksud menjual barang yang lain;
e. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan
maksud menjual jasa yang lain;
f. menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku
Halaman 9
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah
yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan.
Pasal 13
(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang
dan/jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain
secara cumacuma
dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak
sebagaimana yang dijanjikannya.
(2) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat
tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan
cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.
Pasal 14
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk:
a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa;
c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
Pasal 15
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang dilarang melakukan dengan
cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis
terhadap konsumen.
Pasal 16
Halaman 10
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk:
a. tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang
dijanjikan;
b. tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
Pasal 17
(1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga
barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau
jasa;
d. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau
persetujuan yang bersangkutan;
f. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundangundangan
mengenai
periklanan.
(2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar
ketentuan pada ayat (1).
BAB V
KETENTUAN PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU
Pasal 18
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap
dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
Halaman 11
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang
yang dibeli konsumen;
c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;
d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;
e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan
jasa yang dibeli oleh konsumen;
f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;
g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,
tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku
usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang
dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan
undangundang
ini.
Halaman 12
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
BAB VI
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Pasal 19
(1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan,
pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan atau
jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang
atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau
perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan
yang berlaku.
(3) Pemberian gantirugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah
tanggal transaksi.
(4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih
lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila
pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan
konsumen.
Pasal 20
Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat
yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.
Pasal 21
Halaman 13
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
(1) Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila
importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar
negeri.
(2) Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa
asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.
Pasal 22
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan
tanggungjawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan
pembuktian.
Pasal 23
Pelaku usaha yang menolak dan atau tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi
ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1),ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau
mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.
Pasal 24
(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain
bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila:
a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun
atas barang dan/atau jasa tersebut;
b. pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan
barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan
contoh, mutu, dan komposisi.
Halaman 14
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab
atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang
membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan
perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 25
(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam
batas waktu sekurangkurangnya
1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang
dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan
yang diperjanjikan.
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan
ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut:
a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas
perbaikan;
b. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
Pasal 26
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang
disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Pasal 27
Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian
yang diderita konsumen, apabila:
a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk
diedarkan;
Halaman 15
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
b. cacat barang timbul pada kemudian hari;
c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya
jangka waktu yang diperjanjikan.
Pasal 28
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggungjawab
pelaku usaha.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 29
(1) Pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan perlindungan
konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta
dilaksanakannya kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
(2) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan konsumen
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri
teknis terkait.
(3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan koordinasi atas
penyelenggaraan perlindungan konsumen.
(4) Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) meliputi upaya untuk:
a. terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat antara pelaku usaha
dan konsumen;
Halaman 16
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
b. berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
c. meningkatnya kualitas sumberdaya manusia serta meningkatnya kegiatan
penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan konsumen.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 30
(2) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta penerapan
ketentuan peraturan perundangundangannya
diselenggarakan oleh pemerintah,
masyarakat,dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
(3) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
(4) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang beredar di pasar.
(5) Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ternyata
menyimpang dari peraturan perundangundangan
yang berlaku dan membahayakan
konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis mengambil tindakan sesuai dengan
peraturan perundangundangan
yang berlaku.
(6) Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan kepada masyarakat dan dapat
disampaikan kepada Menteri dan menteri teknis.
(7) Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
BADAN PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL
Bagian Pertama
Halaman 17
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Nama, Kedudukan, Fungsi, dan Tugas
Pasal 31
Dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan
Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 32
Badan Perlindungan Konsumen Nasional berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik
Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Pasal 33
Badan Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai fungsi memberikan saran dan
pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya mengembangkan perlindungan konsumen
di
Indonesia.
Pasal 34
(1) Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Badan
Perlindungan Konsumen Nasional mempunyai tugas:
a. memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka
penyusunan kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
b. melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundangundangan
yang berlaku di bidang perlindungan konsumen;
c. melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut
keselamatan konsumen;
d. mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat;
e. menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan
memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;
Halaman 18
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
f. menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari masyarakat, lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha;
g. melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan
Perlindungan Konsumen Nasional dapat bekerjasama dengan organisasi konsumen
internasional.
Bagian Kedua
Susunan Organisasi dan Keanggotaan
Pasal 35
(1) Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiriatas seorang ketua merangkap anggota,
seorang wakil ketua merangkap anggota, serta sekurangkurangnya
15 (lima belas)
orang dan sebanyakbanyaknya
25 (duapuluh lima) orang anggota yang mewakili
semua unsur.
(2) Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas usul Menteri, setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
RepublikIndonesia.
(3) Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional
selama (3) tiga tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan
berikutnya.
(4) Ketua dan wakil ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional dipilih oleh anggota.
Pasal 36
Anggota Badan Perlindungan Konsumen Nasional terdiri atas unsur:
a. pemerintah;
Halaman 19
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
b. pelaku usaha;
c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
d. akademis; dan
e. tenaga ahli.
Pasal 37
Persyaratan keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional adalah:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. berbadan sehat;
c. berkelakuan baik;
d. tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; dan
f. berusia sekurangkurangnya
30 (tiga puluh) tahun.
Pasal 38
Keanggotaan Badan Perlindungan Konsumen Nasional berhenti karena:
a. meninggaldunia;
b. mengundurkan diri atas permintaan sendiri;
c. bertempat tinggal di luar wilayah Republik Indonesia;
d. sakit secara terus menerus;
e. berakhir masa jabatan sebagai anggota; atau
f. diberhentikan.
Pasal 39
(1) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen, Nasional dibantu
oleh sekretariat.
(2) Sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang sekretaris yang
diangkat oleh Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
(3) Fungsi, tugas, dan tata kerja sekretariat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Halaman 20
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pasal 40
(1) Apabila diperlukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional dapat membentuk
perwakilan di Ibu Kota Daerah Tingkat I untuk membantu pelaksanaan tugasnya.
(2) Pembentukan perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut
dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 41
Dalam pelaksanaan tugas, Badan Perlindungan Konsumen Nasional bekerja berdasarkan
tata kerja yang diatur dengan keputusan Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional.
Pasal 42
Biaya untuk pelaksanaan tugas Badan Perlindungan Konsumen Nasional dibebankan kepada
anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sesuai dengan peraturan
perundangundangan
yang berlaku.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Perlindungan Konsumen Nasional
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IX
LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN
SWADAYA MASYARAKAT
Pasal 44
(1) Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat.
Halaman 21
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
(2) Lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat memiliki kesempatan untuk
berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen.
(3) Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat meliputi kegiatan:
a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan
kewajiban dan kehatihatian
konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa;
b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan
konsumen;
d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima
keluhan atau pengaduan konsumen;
e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap
pelaksanaan perlindungan konsumen.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB X
PENYELESAIAN SENGKETA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 45
(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang
bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui
peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
(2) Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar
pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
Halaman 22
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
(3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undangundang.
(4) Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan,
gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan
tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Pasal 46
(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b. kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat,
yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya
menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah
untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan
sesuai dengan anggaran dasarnya;
d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi
atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban
yang tidak sedikit.
(2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
huruf c,atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak
sedikit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Bagian Kedua
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Halaman 23
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Pasal 47
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai
kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan
tertentu
untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang
diderita oleh konsumen.
Bagian Ketiga
Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Pasal 48
Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang
peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.
BAB XI
BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
Pasal 49
(1) Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II
untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi anggota badan penyelesaian sengketa konsumen,
seseorang harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. warga negara Republik Indonesia;
b. berbadan sehat;
c. berkelakuan baik;
d. tidak pernah dihukum karena kejahatan;
e. memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen;
f. berusia sekurangkurangnya
30 (tiga puluh) tahun.
Halaman 24
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
(3) Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah, unsur
konsumen, dan unsur pelaku usaha.
(4) Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah sedikitdikitnya
3
(tiga) orang, dan sebanyakbanyaknya
5 (lima) orang.
(5) Pengangkatan dan pemberhentian anggota badan penyelesaian sengketa konsumen
ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 50
Badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1)
terdiri atas:
a. ketua merangkap anggota;
b. wakil ketua merangkap anggota;
c. anggota.
Pasal 51
(1) Badan penyelesaian sengketa konsumen dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh
sekretariat.
(2) Sekretariat badan penyelesaian sengketa konsumen terdiri atas kepala sekretariat dan
anggota sekretariat.
(3) Pengangkatan dan pemberhentian kepala sekretariat dan anggota sekretariat badan
penyelesaian sengketa konsumen ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 52
Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi:
a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui
mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
Halaman 25
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam
Undangundang
ini;
e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap
mengetahui pelanggaran terhadap Undangundang
ini;
i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau
setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia
memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan
Undangundang
ini.
Pasal 53
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian
sengketa konsumen Daerah Tingkat II diatur dalam surat keputusan menteri.
Pasal 54
(1) Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan penyelesaian
sengketa konsumen membentuk majelis.
Halaman 26
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
(2) Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ganjil dan
sedikitsedikitnya
3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 49 ayat (3), serta dibantu oleh seorang panitera.
(3) Putusan majelis final dan mengikat.
(4) Ketantuan teknis lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas majelis diatur dalam surat
keputusan menteri.
Pasal 55
Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam
waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima.
Pasal 56
(1) Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan
penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku
usaha wajib melaksanakan putusan tersebut.
(2) Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14
(empatbelas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
(3) Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa
konsumen.
(4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak dijalankan
oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan
tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan
perundangundangan
yang berlaku.
(5) Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
Pasal 57
Halaman 27
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dimintakan penetapan
eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.
Pasal 58
(1) Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56 ayat (2) dalam waktu paling lambat 21 (duapuluh satu) hari sejak
diterimanya keberatan.
(2) Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung Republik Indonesia.
(3) Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.
BAB XII
PENYIDIKAN
Pasal 59
(1) Selain Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu
dilingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang
perlindungan konsumen juga diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Undangundang
Hukum Acara Pidana yang berlaku.
(2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang lain atau badan hukm yang diduga
melakukan tindak pidana dibidang perlindungan konsumen;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan
dengan peristiwa tindak pidana dibidang perlindungan konsumen;
Halaman 28
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan
dengan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen;
e. melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti serta
melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan
bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan konsumen.
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di
bidang perlindungan konsumen.
(3) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia.
BAB XIII
SANKSI
Bagian Pertama
Sanksi Administratif
Pasal 60
(1) Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi administratif
terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal
25 dan Pasal 26.
(2) Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00
(duaratus juta rupiah).
(3) Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
lebih lanjut dalam peraturan perundangundangan.
Bagian Kedua
Halaman 29
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
Sanksi Pidana
Pasal 61
Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.
Pasal 62
(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal
9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf
e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal
12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f
dipidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.
Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman
tambahan, berupa:
a. perampasan barang tertentu;
b. pengumuman keputusan hakim;
c. pembayaran ganti rugi;
d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. pencabutan izin usaha.
Halaman 30
UU PERLINDUNGAN KONSUMEN
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Segala ketentuan peraturan perundangundangan
yang bertujuan melindungi konsumen
yang telah ada pada saat undangundang
ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam
undangundang
ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
Undangundang
ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun sejak diundangkan. Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undangundang
ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
HUKUM DAN UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN
Pengertian dan Perkembangan Hukum Ketenagakerjaan

Hukum Ketenagakerjaan merupakan istilah baru dalam ilmu hukum pada umumnya
dan hukum perburuhan pada khususnys, Menurut UU No. 13 Tahun 2003, pengertian
ketenagakerjaan adalah lebih luas dibandingkan dengan perburuhan sebagaimana dalam
KUHPerdata. Namun demikian pelaksanaan peraturan perundang undangan di bidang
ketenagakerjaan masih mempergunakan beberapa undang-undang yang dikeluarkan
sebelum dikeluarkan UU No. 13 Tahun 2003. Adapun perkembangan Hukum
Ketenegakerjaan dapat dicatat dalam 5 (lima) fase.

Hakikat dan Sifat Hukum Ketenagakerjaan

Secara yuridis hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah sama, walaupun
secara social-ekonomi kedudukan antara pekerja dan pengusaha adalah berbeda. Dan
segala sesuatu mengenai hubungan kerja diserahkan kepada kedua belah pihak, oleh karena
itu untuk memenuhi trasa keadilan perlu ada peraturan perundang-undangan untuk
melindungi pekerja. Peraturan mana adalah mengatur tentang hak dan kewajiban diantara
kedua belah pihak.

Pre Employment, During Employment, dan Post Employment

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003, antara lain menyebutkan bahwa : Tiap-tiap


tenaga kerja barhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan , oleh
karena itu tidak boleh ada diskriminasi antara pekerja wanita dan pria. Adapun ruang
lingkup tenaga kerja menurut UU No. 13 Tahun 2003 adalah pre employment, during
employment, dan post employment. Selain itu tenaga kerja berhak atas pembinaan dan
perlindungan dari pemerintah.

Hubungan Kerja dan Norma Kerja

Perjanjian Kerja dan hubungan Industrial

Dalam Hukum Ketenagakerjaan memang belum dapat diberikan batasan yang jelas
tentang definisi dari hubungan kerja, namun dapat diperoleh pengertian bahwa : hubungan
kerja itu timbul sebagai akibat dari pelaksanaan perjanjian kerja, dimana pekerja atau
serikat pekerja disatu pihak mengikatkan dirinya untuk melakukan pekerjaan pada
pengusaha atau organisasi pengusaha dilain pihak selama suatu waktu, dengan menerima
upah.

Peraturan yang mengatur perjanjian kerja adalah sebagaimana diatur dalam


KUHPerdata tentang perjanjian untuk melakukan pekerjaan.

Pengertian hubungan kerja antara pelaku proses produksi baik barang maupun jasa pada
dewasa ini lebih dikenal dengan istilah Hubungan Industrial yang merupakan suatu
peningkatan tata nilai kaidah hukum ketenagakerjaan.

Peraturan Perusahaan

Kesepakatan Kerja adalah perjanjian perburuhan antara pekerja atau serikat


pekerja dengan pengusaha atau organisasi pengusaha sebagaimana dimaksud oleh UU
No.13 Tahun 2003

Istilah Kesepakatan Kerja merupakan perubahan istilah perjanjian perburuhan atau


perjanjian kerja sebagai pencerminan Hubungan Industrial Pancasila.

Kesepakatan Kerja merupakan salah satu sarana pendukung pelaksanaan


Hubungan Industrial Pancasila yang dari waktu kewaktu perlu ditingkatkan baik kuantitas
maupun kualitasnya.

Perjanjian Kerja Bersama

Perjanjian Kerja Bersama (PKB) merupakan salah satu sarana hubungan Industrial
Pancasila yang pada hakikatnya merupakan perjanjian perburuhan sebagaimana dimaksud
dalam Undang _ Undang Nomor 13 Tahun 2003

Permintaan pembuatan PKB selain harus diajukan oleh salah satu pihak, juga harus
diikuti oleh itikad baik, jujur, tulus, dan terbuka. Sedang tempat pembuatannya dilakukan di
Kantor Perusahaan yang bersangkutan dengan biaya perusahaan, kecuali bila Serikat Pekerja
mampu ikut membiayai.
Pembinaan Norma Kerja

Pemerintah membina perlindungan kerja termasuk norma kerja yang meliputi :


perlindungan tenaga kerja yang berkaitan dengan waktu kerja, system pengupahan,
istirahat, cuti, pekerja anak dan wanita, tempat kerja, perumahan, kesusilaan, beribadat
menurut agama dan kepercayaan yang diakui oleh pemerintah, kewajiban sosial dan
sebagainya. Hal ini wajib dilakukan untuk memelihara kegairahan dan noral kerja yang dapat
menjamin daya guna kerja yang tinggi serta menjaga perlakuan yang sesuai dengan
martabat manusia dan moral agama.

Sedang yang dimaksud dengan pembinaan norma perlindungan adalah


pembentukan, pengertian dan pengawasannya. Norma adalah standard/ukuran tertentu
yang harus dijadikan pegangan.

Perlindungan Tenaga Kerja

Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Masalah keselamatan dan kesehatan kerja bukanlah masalah kecil bagi pengusaha.
Kecelakaan kerja sangat merugikan baik pengusaha, tenaga kerja, pemerintah, dan
masyarakat.

Dengan terjadinya kecelakaan kerja , maka akan menimbulkan kerugian yang


berupa hilang atau berkurangnya kesempatan kerja, modal, dan lain sebagainya.

Pengusaha diwajibkan untuk mengatur dan memelihara tempat kerja yang


menyangkut ruangan , alat, perkakas dimana pekerja melakukan tugasnya, termasuk
petunjuk-petunjuk bagi pekerja agar pekerja terhindar dari kecelakaan kerja. Terhadap
pengusaha yang tidak mengindahkan hal ini, maka mereka wajin mengganti kerugian
apabila terjadi musibah terhadap pekerja.

Sedang disisi lain harus diadakan kesehatan kerja yaitu perlindungan terhadap
tenaga kerja dari eksploitasi tenaga kerja oleh pengusaha.
Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional sasaran utamanya adalah


meningkatkan kesejahteraan bangsa secara merata.

Tenaga kerja sebagai salah satu unsure pembangunan yang mempunyai kegiatan
produktif perlu mendapat perlindungan, pemeliharaan, dan pengembangan terhadap
kesejahteraannya

Perlindungan tersebut diberikan baik semasa pekerja ada dalam hubungan kerja
maupun setelah berakhirnya hubungan kerja.

Perlindungan Upah

Kebijakan ketenagakerjaan di bidang perlindungan tenaga kerja ditujukan kepada


perbaikan upah, syarat-syarat kerja, kondisi kerja , dan hubungan kerja.

Sistem pengupahan ditujukan kepada system pembayaran upah secara


keseluruhan tidak termasuk uang lembur.

Sistem ini didasarkan atas prestasi kerja dan tidak dipengaruhi oleh tunjangan-
tunjangan yang tidak ada hubungannya dengan prestasi kerja. Pembayaran upah diberikan
dalam bentuk uang, namun tidak mengurangi kemungkinan pembayaran dapat berupa
barang yang jumlahnya dibatasi.

Upah pada dasarnya merupakan imbalan dari pengusaha kepada pekerja untuk
sesuatu pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan.

Kualitas tingkat upah dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti, kondisi perusahaan,
keterampilan, standard hidup, dan jenis pekerjaan.

Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Undang Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial dilengkapi dengan
Peraturan-Peraturan Tahun 1993 dan Asuransi Sosial Tenaga Kerja (ASTEK), Asuransi Sosial
Pegawai Negeri Sipil, dan Asuransi Sosial ABRI (ASABRI).

Undang-Undang RI Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional


Perselisihan Hubungan Industrial dan Pemutusan Hubungan Kerja

Kebijakan dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan


Perburuhan dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan
Kerja selama ini belum mewujudkan penyelesian perselisihan secara cepat, tepat, adil, dan
murah sehingga dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004

Menurut undang-undang ini penyelesaian perselisihan hubungan industrial


diupayakan jalan damai melalui musyawarah dan sejauh mungkin dihindarkan pemutusan
hubungan kerja

Apabila hal ini tidak tercapai, maka pemerintah dalam upayanya untuk memberikan
pelayanan masyarakat khususnya kepada masyarakat pekerja dan pengusaha, berkewajiban
memfasilitasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Upaya tersebut dilakukan
dengan menyediakan mediator yang bertugas untuk mempertemukan kepentingan kedua
belah pihak yang berselisih.

Disamping itu perlu diakomodasikan keterlibatan masyarakat dalam menyelesaikan


perselisihan melalui konsiliasi atau arbitase.

Lain dari pada itu pemerintah juga mengatur cara dan tingkat penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.

Tata Cara Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan UU No.2 Tahun 2004,


telah diterapkan prinsip-prinsip terciptanya suatu penyelesaian yang didasarkan atas
musyawarah untuk mencapai mufakat, sehingga penyelesaian tersebut sedapat mungkin
tidak menimbulkan konplik antara para pihak.

Dengan diterapkannya Hubungan Industrial Pancasila dalam pelaksanaan Undang-


Undang Nomor 2 Tahun 2004, bukan berarti tidak lagi terjadi PHK. Akan tetapi fungsi dan
peranan HIP telah mengubah pola hubungan ketenagakerjaan antara pihak-pihak, bukan
lagi sebagai lawan, melainkan sebagai partner dalam proses produksi
Tata Cara Pemutusan Hubungan Kerja

Pemutusan hubungan kerja harus sedapat mungkin dicegah, akan tetapi apabila hal
ini tidak dapat dihindari, maka pengusaha harus merundingkan maksud dan tujuan dari
pemutusan hubungan kerja dengan serikat pekerja atau kepada pekerja secara perorangan
kelau mereka tidak menjadi anggota dari serikat pekerja.

Hal lain yang harus diperhatikan dalam pemutusan hubungan kerja :

- mengadakan pemberitahuan terlebih dahulu kepada pekerja yang akan di PHK


- mengajukan permohonanpenetapan secara tertulis disertai dasar dan alasan-
alasannya kepada pengadilan hubungan industrial
- Sebelum adanya penetapan, maka masing-masing pihak tetap melakukan
kewajibannya
- Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap hal diatas berupa tindakan
skorsing kepada pekerja yang sedang dalam proses PHK
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
- Undang-Undang nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial

- Surat Edaran Menteri Tenaga erja dan Transmigrasi Nomor


SE.907/Men.PHI.PPHI/X/2004 tentang Pencegahan Pemutusan
Hubungan Kerja Massal

- Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan transmigrasi Nomor SE.13/Men/SJ-HK/I/2005


tentang Putusan Mahkamah Konstitusi RI tentang Hak Materiil UU
No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap Undang-
Undang dasar RI Tahyun 1945

- Surat Menteri Tenaga Kerja dan transmigrasi omor B.600/Men/Sj-HK/VIII/2005 perihal


Uang Penggantian Perumahan serta Pengobatan dan Perawatan

Peranan Pengawasan Ketenagakerjaan

Pengawasan Ketenagakerjaan mempunyai peranan yang sangat penting dalam


pelaksanaan hubungan kerjs, seperti mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-
undangan dengan memberikan penyuluhan, melakukan pengusutan, serta mencari masukan
tentang peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku.

Pengawasan bukanlah alat perlindungan bagi pekerja , melainkan lebih merupakan


suatu usaha untuk menjamin pelaksanaan perasturan perlindungan dapat berjalan
sebagaimana mestinya.

Faedah dari pengawasan adalah terpel;iharanya ketertiban masyarakat, khususnya


masyarakat industri yang terwujud dengan meningkatnya produktifitas dan effesiensi kerja,
perlindungan bagi kesejahteraan rakyat secara keseluruhan dan terciptanya suasana yang
harmonis dalam dunia industry

Pengawasan Ketenagakerjaan Terpadu

Pengawasan akan berhasil apabila ada kesatuan gerak dari aparat pengawasan.
Selain itu harus ada tujuan yang jelas, rencana kerja yang pasti dan didukung oleh petugas
yang dapa melaksanakan pengawasan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 jo. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1951 tentang
Pengawasan Perburuhan

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan


HAK CIPTA DAN HAK PATEN

A.Hak Cipta

Hak Cipta adalah hak eksklusif Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengatur
penggunaan hasil penuangan gagasan atau informasi tertentu. Pada dasarnya, hak cipta
merupakan "hak untuk menyalin suatu ciptaan". Hak cipta dapat juga memungkinkan
pemegang hak tersebut untuk membatasi penggandaan tidak sah atas suatu ciptaan. Pada
umumnya pula, hak cipta memiliki masa berlaku tertentu yang terbatas.
Hak cipta berlaku pada berbagai jenis karya seni atau karya cipta atau "ciptaan". Ciptaan
tersebut dapat mencakup puisi, drama, serta karya tulis lainnya,film, karya-karya koreografis
(tari, balet, dan sebagainya), komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar, patung,
foto, perangkat lunak komputer,siaran radio dan televisi, dan (dalam yurisdiksi tertentu)
desain industri.

Hak cipta merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual, namun hak cipta
berbeda secara mencolok dari hak kekayaan intelektual lainnya (seperti paten, yang
memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi), karena hak cipta bukan merupakan
hak monopoli untuk melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang
melakukannya.

Hukum yang mengatur hak cipta biasanya hanya mencakup ciptaan yang berupa
perwujudan suatu gagasan tertentu dan tidak mencakup gagasan umum, konsep, fakta,
gaya, atau teknik yang mungkin terwujud atau terwakili di dalam ciptaan tersebut. Sebagai
contoh, hak cipta yang berkaitan dengan tokoh kartun Miki Tikus melarang pihak yang tidak
berhak menyebarkan salinan kartun tersebut atau menciptakan karya yang meniru tokoh
tikus tertentu ciptaan Walt Disney tersebut, namun tidak melarang penciptaan atau karya
seni lain mengenai tokoh tikus secara umum.

Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu, yang berlaku
saat ini, Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut, pengertian
hak cipta adalah "hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi
pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku" (pasal 1
butir 1).

Contoh hasil dari hak cipta (hasil karya yang di lindungi) :


1. Karya sastra seperti buku, pamflet, novel, puisi, laporan, iklan, instruksi
manual, artikel surat kabar dan bahkan daftar belanjaan dan kertas ujian.
2. karya-karya drama (yaitu, sesuai yang dimaksudkan untuk dipertunjukkan,
sebagai contoh skenario, naskah drama). Tidak ada keharusan karya drama tersebut
disajikan dalam bentuk tulisan, bisa juga dalam bentuk rekaman).
3. karya-karya koreografi
4. komposisi-komposisi musik (semua suara atau musik bisa merupakan obyek
perlindungan asalkan disajikan dalam bentuk tertentu (contoh : transkrip atau
rekaman).
5. karya-karya sinematografi (gambar-gambar bergerak : films, videotapes,
iklan, program televisi dan klip video).
6. Karya-karya artistik seperti gambar, lukisan, arsitektur, patung, ukiran,
model, diagram, peta, ukiran kayu dan cetakan. Karya-karya tersebut tidak harus
merupakan karya seni yang bagus.
7. foto-foto
8. ilustrasi, peta, diagram dan rancangan
9. karya-karya turunan (derivative works), seperti terjemahan, adaptasi dan
aransemen musik
Menurut TRIPs, karya-karya berikut ini harus dilindungi :
1. karya-karya yang dilindungi oleh konvensi Bern
2. program komputer
3. data base
4. seni pertunjukan (baik secara hidup/langsung, dalam bentuk penyiaran atau
rekaman dalam fonogram).
5. Fonogram (rekaman suara atau media lainnya)
6. Penyiaran (termasuk program televisi dan radio serta liputan tentang
pertunjukan hidup).

Undang-undang Hak Cipta mengatur hal yang kurang lebih sama. Pasal 12(1) menetapkan
karya -karya dibidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra dilindungi, sebagai berikut :
1. buku-buku, program komputer, pamflet, susunan perwajahan karya tulis, dan
karya-karya tulis lainnya.
2. khotbah, kuliah, pidato dan karya-karya lisan lainnya.
3. alat bantu visual yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan
4. lagu, termasuk karawitan dan phonogram
5. karya-karya drama, tari (karya-karya koreografis), pertunjukan boneka,
pantomim
6. pertunjukan-pertunjukan
7. karya-karya penyiaran
8. semua bentuk seni, seperti lukisan, gambar, ukiran, kaligrafi, pahatan,
patung, collase, kerajinan tangan motif, diagram, sketsa, logo dan bentuk huruf.
9. arsitektur
10. peta
11. seni batik
12. foto
13. karya-karya sinematografi
14. terjemahan, interpretasi, adaptasi, antologi dan database (ini dilindungi
sebagai ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi hak cipta atas ciptaan aslinya).
Konsep yang mendasar dari hukum hak cipta adalah bahwa hak cipta tidak melindungi ide-
ide, informasi atau fakta-fakta, tetapi lebih melindungi bentuk pengungkapan daripada ide-
ide, informasi atau fakta-fakta tersebut. Hak cipta hanya ada dalam bentuk-bentuk yang
nyata, bukan ide-ide itu sendiri. Dengan demikian hak cipta tidak melindungi ide-ide atau
informasi sampai ide atau informasi tersebut dituangkan dalam bentuk yang dapat dihitung
atau dalam bentuk materi, dan dapat diproduksi ulang.

Hal ini tercermin dalam Pasal 2 TRIPs yang menyatakan bahwa perlindungan hak cipta
diberikan untuk "pengungkapan bukan ide-ide, tata cara, metode dari pengoperasian
konsep matematika".
Meskipun demikian, adalah mungkin untuk beberapa ide yang bernilai komersial dilindungi
dengan hukum rahasia dagang.

Contoh lain dari ide yang tidka dilindungi, tetapi bentuk konkret dari
pengungkapannya dilindungi adalah :

Informasi-informasi ilmu pengetahuan yang terdapat dalam buku-buku teks


universitas tidak dilindungi oleh hak cipta, tetapi, kata-kata, bagan-bagan atau ilustrasi yang
digunakan oleh pengarang adalah dilindungi.
Suatu ide untuk menulis biografi orang terkenal, sebagai contoh bintang rock, tidak
dilindungi oleh hak cipta dan informasi yang didapat oleh pengarang juga tidak dilindungi,
tetapi bentuk dari kata-kata yang digunakan oleh pengarang adalah dilindungi.
Ide untuk menulis naskah sandiwara tentang Pemilu 1999 tidak dilindungi, tetapi
kata-kata dalam sandiwara berdasarkan pemilu tersebut serta musik dan peralatan yang
digunakan mungkin dilindungi.
Hak-hak yang tercakup dalam hak cipta :

Hak Eksklusif

Yang dimaksud dengan hak eksklusif dalam hal ini adalah bahwa hanya pemegang hak
ciptalah yang bebas melaksanakan hak cipta tersebut, sementara orang atau pihak lain
dilarang melaksanakan hak cipta tersebut tanpa persetujuan pemegang hak cipta.
Beberapa hak eksklusif yang umumnya diberikan kepada pemegang hak cipta adalah hak
untuk:

1. Hak untuk memproduksi ulang karya; hal ini merupakan hak dasar dari
pemegang hak cipta. Pemegang hak cipta berhak menyalin karyanya dalam bentuk
apapun (contoh : dengan memfotokopy, mengetik, menyalin dengan tangan,
menscannya kedalam komputer atau membuat rekaman).
2. Hak untuk mempublikasikan; pemegang hak cipta atas karya sastra, drama,
musik dan karya artistik mempunyai hak untuk mempublikasikannya untuk
pertamakalinya.
3. Hak untuk mempertunjukkan karya di depan umum; pemilik hak cipta di
bidang sastra, drama, dan musik mempunyai hak untuk mempertunjukkan karyanya
di depan umum. Pemilik hak cipta di bidang rekaman suara mempunyai hak untuk
memperdengarkannya di depan umum. Hal ini termasuk memainkan lagu-lagu yang
dilindungi hak cipta di restoran-restoran atau tempat kerja. Pemilik hak cipta atas
film mempunyai hak untuk memperlihatkan dan memperdengarkannya di depan
umum.
4. Hak untuk menyiarkan karya kepada khalayak; untuk karya sastra, drama dan
musik, rekaman suara dan film sinematografi, pemilik hak cipta mempunyai hak
eksklusif untuk menyiarkan karyanya. Hak untukmembuat adaptasi: pemilik dari hak
cipta atas karya sastra, drama atau musik mempunyai hak untuk membuat adaptasi
atas karyanya (contoh : terjemahan, dramatisasi).
5. Hak untuk menyewakan karyanya; pemilik hak cipta atas program komputer
dan karya sinemagrafis memilii hak untuk mengontrol penyewaan yang bersifat
komersial atas karyanya.
6. Hak untuk mengimpor / mengekspor karyanya; pemilik hak cipta biasanya
mengkontrol pengimporan dan pengeksporan karyanya untuk kepentingan
komersial. Pemilik hak cipta boleh menjual atau memberikan lisensi satu atau semua
haknya.
7. Menjual atau mengalihkan hak eksklusif tersebut kepada orang atau pihak
lain.
Pengalihan hak cipta

Karena hak cipta merupakan kekayaan pribadi, maka terhadapnya dapat diperlakukan
sebagaimana halnya perlakuan atas bentuk kekayaan lainnya. Hak cipta dapat;
-diberikan begitu saja
-dilisensikan
-dialihkan (contoh: dialihkan kepada orang lain)
-dijual
-diwasiatkan
-bahkan diambil alih
Hak ekonomi dan hak moral

Hak cipta di Indonesia juga mengenal konsep hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi
adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah
hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku (seni, rekaman, siaran) yang tidak dapat
dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan.
Contoh pelaksanaan hak moral adalah pencantuman nama pencipta pada ciptaan, walaupun
misalnya hak cipta atas ciptaan tersebut sudah dijual untuk dimanfaatkan pihak lain. Hak
moral diatur dalam pasal 2426 Undang-undang Hak Cipta.

Pencipta bisa menuntut sebab hukum Indonesia melindungi apa yang disebut sebagai hak-
hak moral. Hak-hak moral merupakan kekayaan pribadi yang dipunyai oleh
pengarang/pencipta dari materi hak cipta dan ada secara terpisah dari hak-hak lainnya yang
telah dijual/dilisensikan oleh pemilik hak cipta kepada orang lain. Terdapat dua jenis utama
hak-hak moral (pasal 24), yaitu :

1. Hak untuk diakui dari karya : yaitu hak dari pengarang untuk dipublikasikan
sebagai pengarang atas karyanya, untuk mencegah orang lain mengaku sebagai
pengarang karya tersebut, atau untuk mencegah orang lain menghubungkan
kepengarangan kepada orang lain; dan
2. Hak keutuhan: yaitu hak untuk mengajukan keberatan atas penyimpangan
atas karyanya atau perubahan lainnya atau tindakan-tindakan yang bisa menurunkan
kualitas.
Bahkan kalau pemegang hak cipta atau ahli warisnya memberi atau melisensikan hak
ciptanya kepada orang lain, pemegang hak cipta asli dapat menuntut kalau namanya, judul
atau isi karya diubah tanpa ijinnya.

Jangka Waktu Perlindungan

Pasal 29 UU RI No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa hak cipta atas;
1. buku, pamlet dan semua karya-karya tulis lainnya
2. tari, koreografi
3. segala bentuk seni rupa seperti seni lukis, seni pahat, dan seni patung
4. seni batik
5. ciptaan lagu atau musik dengan atau tanpa teks
6. arsitektur
7. ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan sejenis lainnya
8. alat perga
9. peta
10. terjemahan, tafsir, saduran dan bunga rampai
Dilindungi selama hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 tahun setelah pengarang
meninggal. Jangka waktu hak cipta beralku selama hidup pencipta meninggal dunia paling
akhir dan berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun sesudahnya.

Hak cipta atas ciptaan ;


1. program komputer
2. sinematografi
3. fotografi
4. database
5. karya hasil pengalihwujudan,
berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan.

Hak cipta atas perwajahan karya tulis yang diterbitkan berlaku selama 50 (lima puluh) tahun
sejak pertama kali diterbitkan.
Perlu dicatat bahwa hak cipta yang dipegang oleh negara atas karya-karya kebudayaan
tanpa batas waktu. Tetapi jika negara memegang hak cipta mewakili karya yang tidak
diketahui pengarangnya dan belum diterbitkan, jangka waktu perlindungan hak cipata
dibatasi sampai 50 tahun (Pasal 31).

Karya-karya yang tidak diberikan perlindungan hak cipta :


a. pertemuan terbuka dari institusi-institusi tinggi negara
b. hukum dan perundang-undangan
c. pidato-pidato kenegaraan dan pidato pejabat pemerintah
d. keputusan pengadilan dan perintah pengadilan
e. keputusan badan arbitrasi.

Pendaftaran Hak Cipta


Perlindungan suatu ciptaan timbul secara otomatis sejak ciptaan itu diwujudkan dalam
bentuk yang nyata. Pendaftaran ciptaan tidak merupakan suatu kewajiban untuk
mendapatkan hak cipta. Namun demikian, pencipta maupun pemegang hak cipta yang
mendaftarkan ciptaannya akan mendapat surat pendaftaran ciptaan yang dapat dijadikan
sebagai alat bukti awal di pengadilan apabila timbul sengketa di kemudian hari terhadap
ciptaan tersebut. Ciptaan dapat didaftarkan ke Kantor Hak Cipta, Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual-Departemen Hukum dan HAM (Ditjen HKI-DepkumHAM)

Pendaftaran dianjurkan berdasarkan beberapa alasan. Pertama, pendaftaran memampukan


perusahaan-perusahaan atau orang-orang yang ingin mengadakan perjanjian lisensi untuk
meneliti apakah seseorang sudah mendaftarkan sebuah perjanjian lisensi yang serupa.
Kedua, pendaftaran memungkinkan pemerintah untuk mengontrol perjanjian lisensi yang
merugikan negara. Perjanjian lisensi tidak boleh berisi peraturan-peraturan yang merugikan
perekonomian negara, dan jika ini terjadi, Direktur Jenderal Hak Cipta dapat menolak
pendaftaran perjanjian lisensi tersebut.

Syarat-syarat Pendaftaran :

Syarat-syarat pengajuan pendaftaran hak cipta adalah sebagai berikut :


1. Surat Kuasa Khusus yang ditandatangani diatas materai 6.000,-
2. Surat Pernyataan Khusus yang ditandatangani diatas materai 6.000,-
3. Etiket atau logo maupun gambar ciptaan sebanyak 15 lembar
4. Copy KTP dan NPWP pendirian Badan Usaha yang dilegalisir (bagi pemohon atas nama
badan usaha).

B. Hak Paten

Kata paten, diambil dari bahasa Inggris yaitu patent, yang awalnya berasal dari kata
patere yang artinya membuka diri (untuk pemeriksaan publik), dan juga berasal dari istilah
letters patent, yaitu surat keputusan yang dikeluarkan kerajaan yang memberikan hak
eksklusif kepada individu dan pelaku bisnis tertentu. Dari definisi kata paten itu sendiri,
konsep paten mendorong inventor untuk membuka pengetahuan demi kemajuan
masyarakat dan sebagai gantinya, inventor mendapat hak eksklusif selama periode tertentu.
Mengingat pemberian paten tidak mengatur siapa yang harus melakukan invensi yang
dipatenkan, sistem paten tidak dianggap sebagai hak monopoli.

Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil
Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri
Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk
melaksanakannya. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 1)
Sementara itu, arti Invensi dan Inventor (yang terdapat dalam pengertian di atas, juga
menurut undang-undang tersebut, adalah):

Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan
masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau
penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 2)
Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara
bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan
Invensi. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 3)
Hukum yang mengatur
Saat ini terdapat beberapa perjanjian internasional yang mengatur tentang hukum
paten. Antara lain, WTO Perjanjian TRIPs yang diikuti hampir semua negara.

Pemberian hak paten bersifat teritorial, yaitu, mengikat hanya dalam lokasi tertentu.
Dengan demikian, untuk mendapatkan perlindungan paten di beberapa negara atau
wilayah, seseorang harus mengajukan aplikasi paten di masing-masing negara atau wilayah
tersebut. Untuk wilayah Eropa, seseorang dapat mengajukan satu aplikasi paten ke Kantor
Paten Eropa, yang jika sukses, sang pengaju aplikasi akan mendapatkan multiple paten
(hingga 36 paten, masing-masing untuk setiap negara di Eropa), bukannya satu paten yang
berlaku di seluruh wilayah Eropa.
Subjek yang dapat dipatenkan
Secara umum, ada tiga kategori besar mengenai subjek yang dapat dipatenkan:
proses, mesin, dan barang yang diproduksi dan digunakan. Proses mencakup algoritma,
metode bisnis, sebagian besar perangkat lunak (software), teknik medis, teknik olahraga dan
semacamnya. Mesin mencakup alat dan aparatus. Barang yang diproduksi mencakup
perangkat mekanik, perangkat elektronik dan komposisi materi seperti kimia, obat-
obatan, DNA,RNA, dan sebagainya.

Kebenaran matematika, termasuk yang tidak dapat dipatenkan.Software yang


menerapkan algoritma juga tidak dapat dipatenkan kecuali terdapat aplikasi praktis
(di Amerika Serikat) atau efek teknikalnya (di Eropa).

Saat ini, masalah paten perangkat lunak (dan juga metode bisnis) masih merupakan
subjek yang sangat kontroversial. Amerika Serikat dalam beberapa kasus hukum di sana,
mengijinkan paten untuk software dan metode bisnis, sementara di
Eropa, softwaredianggap tidak bisa dipatenkan, meski beberapa invensi yang
menggunakan software masih tetap dapat dipatenkan.
HUKUM PERPAJAKAN
Pajak merupakan lapangan hukum yang utama. Soal pajak adalah soal negara
berarti bahwa menyangkut seluruh rakyat yang berada di wilayah Republik Indonesia.
Hukum pajak belum lama menjelma menjadi suatu cabang ilmu pengetahuan tersendiri
yang berarti bahwa hukum pajak itu menjadi sumber inspirasi baik yang bersifat ilmiah
maupun yang bersifat popularitas.
Sehubungan dengan perubahan struktur masyarakat maka hukum perpajakan
Indonesia mengalami perubahan-perubahan dan disesuaikan dengan jiwa baru atau jiwa
reformasi dalam era globalisasi dunia, karena itu maka hukum perpajakan Indonesia bukan
saja penting bagi pendidikan akan tetapi perlu mendapat perhatian khusus dari para
pemimpin rakyat dan politisi.
Arti hukum perpajakan
Hukum pajak disebut juga hukum fiscal yang berarti adalah keseluruhan dari
peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan
seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas negara. Hukum
perpajakan merupakan bagaian dari hukum public yang mengatur hubungan-hubungan
antara negara dan orang-orang atau badan-badan hukum yang berkewajiban membayar
pajak.
Tugas hukum perpajakan
Menelaah keadaan-keadaan dalam masyarakat yang dapat dihubungkan dengan
pengenaan pajak, merumuskannya dalam peraturan-peraturan hukum dan menafsirkan
peraturan-peraturan hukum itu. yang penting disini adalah tidak boleh diabaikan latar
belakang ekonomis dari keadaan-keadaan dalam masyarakat.
Luasnya hukum perpajakan erat hubungannya dengan klehidupan masyarakat
terutama dibidang kehidupan ekonomi dalam masyarakat, maka peraturan-peraturan
perpajakan sering berubah-ubah atau mengharuskan perubahan-perubahan peraturan
pajaknya. Artinya cara pengatran pajak harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat
sebagai reaksi dari perubahan dalam kehidupan ekonomi masyarakat itu.
Definisi hukum perpajakan
Menurut Prof . Dr. Adriani
Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh wajib pajak
sesuai peraturan-peraturannya dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung
dapat ditunjuk serta kegunaannya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran
umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pengertian diatas tersebut adalah :
Memasukkan pajak dianggapnya suatu keharusan dalam arti yang luas, disamping itu
devinisi ini dititik beratkan pada fungsi budgetair sedangkan pajak masaih mempunyai
fungsi lain yaitu fungsi mengatur.
Yang dimaksud dengan tidak mendapat pretasi kembali dari negara adalah prestasi
khusus yang erat hubungannya dengan pembayaran itu sendiri, prestasi seperti hak untuk
mempergunakan jalan-jalan umum, perlindungan dan penjagaan dari pihak kepolisian dan
TNI.
Sudah barang tentu diperoleh dari para pembayar pajak itu, akan tetapi diperolehnya itu
tidak secara individual dan tidak ada hubungannya langsung dengan pembayaran itu sendiri,
buktinya orang yang tidak membayarpun dapat mengenyam kenikmatannya.
Menurut Prof DR. Suparman Sumahamijaya
Didalam desertasinya Pajak Berdasarkan Azas Gotong Royong yang dibuat di UNPAD pada
tahun 1964 menyebutkan pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut
oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menuntut biaya produksi barang-
barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.
Ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak dikesimpulkan yang dari pengertian diatas
tersebut adalah :
- Pajak dipungut berdasarkan atau dengan ketentuan undang-undang serta peraturan
pelaksanannya
- Dalam pembayaran pajak, tidak ada ketentuan untuk mendapatkan prestasi individu
atau perorangan oleh pemerintah
- Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah
daerah
- Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintahan yang bila dari
peasukannya masih terdapat surplus maka dipergunakan untuk membiayai kepentingan
umum (public interest)
- Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgetair yaitu mengatur bagaiman
pajak itu dibayar.
Prof.Dr.Rohmat Soemitro, S.H, didalam bukunya berjudul Dasar-Dasar Hukum Pajak Dan
Pajak Pendapatan isinya sebagai berikut :
Pajak adalah iuran rakyat kepada negara berdsarkan undang-undang (yang dipaksakan)
dengan tidak mendapatkan kontra prestasi atau jasa timbal yang langsung,dapat digunakan
untuk membayar pengeluaran umum.
Penjelasan tentang defenisi tersebut diatas adalah sbb:
- Dapat dipaksakan artinya bila hutang itu tidak dibayar maka dapat ditagih dengan
menggunakan kekerasan,melalui surat paksa dan surat sita serta dilakukan penyanderaan.
Yang dimaksud dengan kontraprestasi berarti tidak mendapatkan prestasi dari pemerintah.
- Pajak adalah pweralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk
membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya (kelebihannya) digunakan kepentingan
public/persediaan untuk kepentingan public
Prof. DR. Smeets
Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum,yang
dapat dipaksakan tanpa adanya kontra prestasi individual untuk membiayai pengeluaran
pemerintah.
Dalam hal ini smets mengakui bahawa defenisinya hanya menonjolkan fungsi budgeter
saja,dan kemudian ia menambahkan fungsi mengatur pada defenisinya.
Sistem perpajakan yang lama tidak sesuai lagi dengan tingkat kehidupan sosial ekonomi
masyarakat di Indonesia, baik dari segi kegotongroyongan nasional maupun dari laju
pembangunan nasional, maka peran pajak sangat penting bagi subjek pajak karena
penerimaan pajak dalam negeri sangat dibutuhkan guna mewujudkan kelangsungan dan
peningkatan pembangunan nsaional. Oleh karena itu pemerintah mengundangkan Undang-
undang Nomor 28 tahun 2007 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 16 tahun 2000
tentang tata cara pemungutan pajak, dan juga Undnag-undang Nomor 17 tahun 2000
sebagai pengganti dari Undag-undang Nomor 10 tahun 1994 tentang PPh.
Karakteristik dan prinsip dari pemungutan pajak adalah sbb:
1. Pemungutan pajak merupakan perwujudan dan maupun peran serta warga negara dan
angoota masyarakat (wajib pajak) untuk membiayai keperluan pemerintah dan
pembangunan nasional.
2. Anggoata masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan sepenuhnya untuk mebayar dan
melapor sendiri pajak yang terhutang (self assesment), sehingga melalui sistem ini
pelaksanaan administrasi perpajakan diharapkan dapat dilaksanakn dengan lebih
mudah,tertib dan terkendali.
3. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan berada pada anggota masyarakat wajib
pajak itu sendiri. Pemerintah dan pengawasan serta pemeriksaan terhadap pelaksanaan
kewajiban perpajakan wajib pajak,berdasarkan ketentuan yang telah digariskan dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan itu.
Kesimpulan:
Disimpulan, bahwa dalam sistem pemungutan pajak ini, fiskus memberi kepercayaan yang
lebih besar kepada anggota masyarakat wajib pajak untuk melaksanakan kewajiban
perpajakannya. Selain itu jaminan dan kepastian hukum mengenai hakdan kewajiban
perpajakan bagi masyarakat wajib pajak lebih diperhatikan, sehingga dapat merangsang
peningakatan kesadaran dan tanggung jawab perpajakan di masyarakat.
Pengertian-pengertian:
1. Wajib pajak adalah orang atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-
unjdangan perpajakan di tentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan.
2. Badan adalah perseroan terbatas,BUMN atau BUMD dalam bentuk apapun,
persekutuan,perseroan atau perkukmpulan lainnya seperti: firma,kongsi,perkumpulan
kopersasi,yayasan atau lembaga dan bentuk usaha yang lain yang tetap.
3. Surat paksa adalah surat perintah membayar pajak dan tagihan yang berkaitan dengan
pajak sesuai dengan UU No.19 tahun 2000 tentang penagihan pajak negara dengan surat
paksa
4. Masa pajak adalah jangka waktu tertentu yang digunakan sebagai dasar untuk
menghitung jumlah pajak yang terhutang. Pada umumnya tahun pajak sama dengan tahun
takwimatau tahun kalender.
Wajib pajak dapat menggunakan tahun pajak yang tidak sama dengan tahun takwim selama
12 bulan hal ini harus dilaporkan kepada Dirjen pajak setempat. Ketentuan tersebut dapat
dilaksanakan apabila telah disetujui oleh Dirjen pajak.
1. Tahun pajak sama dengan tahun takwim atau sama dengan tahun kalender dimulai 1
Januari 2008 sampai dengan 31 Desember 2008, hal ini berarti pembukuan dimulai 1 anuari
2008 dan berakhir 31 Desemberd 2008 (disebut juga tahun pajak 2008).
1. Tahun pajak tidak sama dengan tahun takwim
- 1 uli 2008 sampai dengan 30 Juni 2009
Pembukuan dimulai dari 1 Juli 2008 dan berakhir pada 30 Juni 2009 karena 6 bulan pertama
jatuh pada tahun 2008 maka disebut tahun pajak 2008
- 1 April 2008 sampai dengan 30 Maret 2008
Pembukuan dimulai 1 April 2008 dan berakhir pada 30 Maret 2009 disebut juga tahun pajak
2008 karena lebih dari 6 bulan jatuh pada tahun 2009
Hukum pajak termasuk hukum public
Hukum pajak adalah sebagian dari hukum public dan meruakan bagian dari tata tertib
hukum yang mengatur hubungangan antara penguasa dan warganya, artinya ketentuan
yang memuat cara-cara, mengatur pemerintah.
Yang termasuk kedalam hukum publik :
- Hukum Tatat Negara
- Hukum Pidana
- Hukum Administratif
Hukum pajak merupakan anak bagian dari hukum administrative, meskipun ada yang
menghendaki agar hukum pajak diberikan tempat tersendiri disamping hukum
adminuistratif yang diartikan sebagai otonomi hukum pajak karena hukum pajak
mempunyai tugas yang bersifat lain daripada hukum administrative yaitu hukum pajak
dipergunakan juga sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian, selain itu hukum
pajak pada umumnya mempunyai tata tertib dan istilah tersendiri untuk lapangan
pekerjaannya.
Hunungan hukum pajak dengan hukum perdata
Hukum perdata adalah bagian dari keseluruhan hukum yang mengatur hubungan antar
orang-orang pribadi, dimana hukum pajak banyak sekali sangkut pautnya, ini berarti bahwa
kebanyakan hukum pajak mencari dasar pemungutannya atas kejadian-kejadian, keadaan-
keadaan dan perbuatan-perbuatan hukum yang bergerak dalam lingkup perdata seperti:
- Pendapatan
- Kekayaan
- Perjanjian atau penyerahan
- Pemindahan hak karena warisan
Penerimaan Negara
1. BEA dan CUKAI
Pada hakekatnya bea dan cukai termasuk pajak tidak langsung dan merupakan pungutan
pemerintah pusat (Direktorat Jenderal Bea dan Cukai)
BEA
1. Bea masuk yaitu dipungut atas barang yang dimasukan kedalam daerah pabean
berdasarkan harga nilai barang tersebut atau berdasarkan tariff yang sudah ditentukan.
2. Bea keluar yaitu dikenakan atas sejumlah barang yang dikeluarkan keluar daerah
pabean berdasarkan tariff yang sudah sitentukan bagi masing-masing golongan barang, bea
ini sekarang sudah tidak dilaksanakan lagi dan sekarang diganti dengan pajak export
tambahan.
CUKAI
Yaitu pungutan yang dikenakan atasa barang-barang tertetu berdasarkan tariff yang sudah
ditetapkan untuk masing-masing jenis barang tertentu.
Contoh : rokok, minuman keras, dsb.
1. RETRIBUSI
Yaitu pungutan yang dilakukan sehubungan dengan sesuatu jasa atau fasilitas yang
diberikan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah secara langsung dan nyata
kepada pembayar.
Contoh : retribusi parker, retribusi jalan tol, dsb.
1. IURAN
Yaitu pungutan yang dilakukan sehubungan dengan sesuatu jasa atau fasilitas yang
diberikan oleh pemerintah secara langsung dan nyata kepada kelompok atau golongan
pembayar.
Contoh : iuran sampah, iuran keamanan, dsb.
Dalam prakteknya tidak ada perbedaan yang tajam antara pemberian jasa atau fasilitas
kepada individu atau kelompok sehingga terdapat istilah retribusi dan iuran.
1. SUMBANGAN
Yaitu pungutanyang tidak termasuk kedalam retribusi dan iuran dengan demikian pungutan
yang dilakukan tidak jelas nampak ada diberikan suatu balas jasa atau fasilitas sebagai
imbalannya.
Contoh ; sumbangan wajib.
INTRODUCTION TO BUSINESS

SANGGIA GANA
ESRA LASGANDA SITORUS (C1K013014)
BAYU RIZKI NUGRAHANTO (C1K013019)
DARA AJENG MANDIRA (C1K013027)
ADITYA RAKA BAGASKARA (C1K013041)

UNIVERSITAS JENDERAL
SOEDIRMAN
2013

Anda mungkin juga menyukai