PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korporasi merupakan istilah yang biasa di gunakan oleh para ahli hukum pidana dan
kriminologi untuk menyebut badan hukum. Konsep badan hukum itu sebenarnya bermula dari
konsep hukum perdata yang tumbuh akibat dari perkembangan masyarakat. Pengertian
korporasidalam hukum pidana indonesia lebih luas dari pengertian badan hukum sebagaimana
dalam konsep hukum perdata. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan hukum pidana
di Indonesia dinyatakan bahwa pengertian korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang
dan atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan.
Kejahatan korporasi merupakan salah satu bentuk white collar crime.Ada berbagai
istilah yang berkaitan dengan korporasi, yaitu crime for corporation, crime against corporation
dan criminal corporations. Crimes for corporation inilah yang merupakan kejahatan korporasi.
Kejahatan korporasi itu merupaakan perbuatan yang dilakukan oleh badan hukum, perseroan,
perserikatan orang, yayasan atau organisasi-organisasi yang dapat dijatuhi sanksi oleh hukum
administrasi negara, hukum perdata, dan hukum pidana. Hal ini merupakan pengertian normatif
sedangkan secara sosiologis, kriminologis dan viktimologis, kejahatan korporasi dapat di
artikan sebagai praktik-praktik atau kegiatan korporasi yang bertentangan dengan nilai-nilai
dalam masyarakat dan dengan skala korban yang cukup luas, yang kadang-kadang masih belum
terjangkau.
Motif-motif kejahatan korporasi pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu tujuan
korporasi, yaitu untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya yangtercemin dari ciri-ciri
individual, dan terjadi kontradiksi antara tujuan-tujuan korporasi dengan kebutuhan-kebutuhan
para pesaing, negara, pekerja, konsumen dan masyarakat.
Karasteristik korban kejahatan korporasi dapat di identifikasikan sebagai berikut. (1)
Unaware victim, ialah korban yang tidak menyadari bahwa dirinya menjadi korban. (2) Abstac
victim, ialah korban yang sifatnya abstrak sehingga sulit menentukan secara khusus, (3) The
diffsion of victimization, ialah penyebaran korban yang sangat luas sehingga secara individual
kerugianya sangat sedikit. Pemahaman terhadap korban kejahatan korporasimdapat dikaji dari
pihak-pihak yang mempunyai tujuan atau kepentingan yang berlawanan dengan tujuan atau
kepentingan korporasi yang bersifat menyimpang. Pihak-pihak itulah yang akhirnya menjadi
korban kejahatan korporasi antara lain pesaing, konsumen, pekerja, masyarakat dan negara.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat diambil beberapa permasalahan,
yaitu :
a. Penegakan hukum pidana lingkungan terhadap korban pencemaran
lingkungan
BAB II
PEMBAHASAN
1
Sukanda Husein, Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 11
2
Ibid, hlm 12
3
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Rajawali Press, Jakarta,
1989, hlm. 8
4
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1998, hlm 7
5
Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Penerbit Rajawali, Jakarta 1990, hlm. 5
5. Faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergulan hidup
Lebih jauh lagi, menurut I.S Susanto, bahwa paling tidak ada empat dimensi
yang dapat mempengaruhi kualitas penegakan hukum yaitu disamping
undang-undangnya, maka penegakan hukum secara konkrit melibatkan
pelanggar hukum, korban (masyarakat) dan aparat penegak hukum di dalam
suatu hubungan yang bersifat saling mempengaruhi dan berlangsung dalam
wadah, struktur, politik, sosial, ekonomi, dan budaya pada suatu situasi
tertentu.
Dalam masalah pencemaran udara oleh perusahaan penghasil logam berat, diperlukan
upaya penegakan hukum lingkungan khususnya penegakan hukum pidana yang secara
terpadu dari semua pihak pihak aparat penegak hukum maupun masyarakat. Penegak
hukum haruslah konsisten dalam menindak para pengusaha yang terbukti memakai
bahan kimia yang tidak terkontrol dengan baik sehingga mengakibatkan pencemaran
udara.
Hal yang prinsip dalam penegakan hukum lingkungan ini adalah harus adanya
persamaan prinsip tentang lingkungan hidup, terutama dalam tindak pidana mengenai
pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.Persamaan persepsi tersebut penting sekali
terutama bagi jajaran aparat hukum. Essensinya adalah sama-sama berpandangan bahwa
penegakan hukum tersebut untuk menekan membengkaknya lebih banyak pencemaran
dan pengrusakan lingkungan hidup yang akan menghambat jalannya pembangunan dan
kan langsung merugikan masyarakat. Persamaan persepsi tersebut mengarah pada sistem
peradilan pidana terpadu (intergrited criminal justice system) dan hukum lingkungan
yang betujuan untuk menghindari mekanisme kerja aparat penegak hukum yang seakan-
akan terpisah-pisah yang berorientasi pada sektoral instansinya saja.Seperti misalnya
penyidik yang berorientasi pada penyidikannya saja tanpa memperdulikan bagaimana
proses perkara berikutnya. Sinonim dengan Penuntut Umum tanpa berkeinginan untuk
membuktikan perkara yang telah dilimpahkan ke Pengadilan dan hanya berpandangan
sempit pada lingkup tugasnya saja. Untuk meningkatkan pelaksanaan sistem peradilan
pidana terpadu, diperlukan profesionalisme dan kerjasama yang baik antara subsistem
yakni Polisi, Jaksa dan Pengadilan serta masyarakat. Kesan adanya pengkotak-kotakan
yang membuat masingmasing instansi penegak hukum seakan-akan memiliki kapling
tugas sendirisendiri harusnya dihilangkan.
Pasal 41 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
menyebutkan bahwa:
barang siapa secara melawan hukum dengan sengaja melaukan perbuatan yang
mengaibatkan pencemaran dan/atau pengrusakan lingkungan hidup, diancam
dengan pidana penjara paling lama sepulih tahun dan denda paling banyak lima
ratus juta rupiah.
Dari rumusan pasal tersebut dapat diketahui bahwa kejahatan lingkungan tidak
menganut sistem delik aduan yang berati bahwa dala perkara pidana lingkungan, laporan
tentang dugaan adanya pencemaran dan perusakan lingkungan dapat dilakukan oleh
penderita atau anggota masyarakat atau aparat penegak hukum dan laporan tersebut dapa
langsung diteruskan ke Pengadilan Negeri sebagaimana telah ditentukan dan diatur di
dalam KUHAP.
Pengaturan hukum pidana mengenai korban kejahatan secara mendasar dikenal dua
model yaitu:
1. Procedural rights model
Adalah model perlindungan korban kejahatan yang menekankan
padadimungkinkannya si korban untuk memainkan peranan aktif di dalam
kejahatan diberi hak untuk mengadakan tuntutan pidana atau membantuk jaksa
atau hak untuk dihadirkan atau didengar di seiap tingkatan sidang pengadilan yang
mana kepentingan terkait di dalamnya termsuk hak untuk diminta konsultasi oleh
lembaga permasyarakatan sebelum diberikan lepas bersyarat dan pada akhirnya
hak untuk mengadakan perdamaian atau mengajukan gugatan secara perdata.
Pendekatan semacam ini melihat si korban sebagai seorang subyek yang harus
menuntu mengejar kpentingannya
2. Services model
Adalah model perlindungan korban yang penekanannya diletakkan pada
perlunya diciptakan standar-standar baku bagi pembinaan korban kejahatan yang
dapat digunakan oleh polisi. Misalnya dalam pemberian kompensasi sebagai
sanksi pidana yang bersifat restitutif dan dampak pernyataan-pernyataan korban
sebelum pidana dijatuhkan. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai
sasaran untuk dilayani dalam kerangka kegiatan polisi dan para pemegak hukum
yang lain.
Stephen Schfer dalam bukunya The Victim and His Criminal mengemukakan adanya
lima sitem pemberian restitusi kepada korban kejahatan, yaitu:
1. Ganti rugi yang bersifat keperdataan. Sistem ini memisahkan tuntutan ganti rugi
korban dari proses pidana
2. Kompensasi yang bersifat keperdataan. Diberikan melalui proses pidana
3. Restitusi yang bersifat perdata bercampur dengan sifat pidana, diberikan melalui
proses pidana namun tida diragukan sifat pidana nya. Salah satu bentuk restitusi
menurut sistem ini adalah denda kompensasi
4. Kompensasi yang bersifat perdata. Diberikan melalui proses pidana dan disokong
oleh sumber-sumber penghasilan negara. Dalam hal ini, kompensasi tidak
mempunyai aspek pidana apapun, walaupun diberikan dalam proses pidana. Jadi
tetap meerupakan lembaga keperdataan murni, tetapi negara yang
memenuhi/menanggung kewajiban ganti rugi yang dibebankan pengadilan pada
pelaku. Hal ini merupaka pengakuan bahwa negara telah gagal menjalankan
tugasnya melindungi korban dan gagal mencegah terjadinya kejahatan
5. Kompensasi yang bersifat netral. Diberikan melalui prosdur khusus. Sistem ini
diterapkan apabila korban memerlukan ganti rugi sedangkan pelaku dalam
keadaan bangkrut dan tidak dapat emmenuhi tuntutan korban.
Adanya kemungkinan ganti rugi menurut Pasal 14C KUHP pada dasarnya tidak
bersifat pidana, ia hanya sekedar syarat pengganti untuk menghidari atau tidak menjalani
pidana, jadi, tetap pada pemikiran dasar seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa latar
belakang atau konsep pemidanaan yang berorientasi pada orang/pelaku tindak pidana,
tidak dilandasi konsep pemidanaan yang berorientasi pada korban.
Terkait dengan restitusi oleh negara sebagaimana disebutkan oleh Stephen di atas
bahwa restitusi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia khususnya dalam hal
perlindungan korban, maka perlu dikebangkan sistem restitusi nomor 4 dan 5 seperti di
atas. Hal ini penting karena negara merupakan penjamin utama hak-hak dasar warga
negaranya. Selain itu, resolusi Majelis Umum PBB 40/34 juga menghimbau agar negara
memberikan restitusi atau kompensasi kepada korban dengan catatan bahwa apabila para
aparat/petugas publik dalam melakukan tugasnya melanggar hukum pidana positif, maka
para korban seharusnya menerima restitusi dari negara.6 Kemudian dalam butir 12
dinyatakan apabila kompensasi tidak sepenuhnya diperoleh dari pelaku tindak pidana
atau sumber-sumber lain maka negara harus menetapkan kompensasi kepada korban
yang menderita luka badan selama-lamanya atau rusak/melemah kesehatan fisik dan
mentalnya serta kepada keluarga terutama orang-orang yang menjadi tanggungan dari
orang yang mati atau cacat fisik/mental sebagai akibat dari kejahatan berat.
BAB III
PENUTUP
6
Butir 11 Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power yang
berbunyi: Where public officials or other agents acting in an official or quasi-official capacity have
violated national criminal laws, the victims should receiverestitution from the State whose officials or
agents were responsible for theharm inflicted. In cases where the Government under whose authority the
victi-mizing act or omission occurred is no longer in existence, the State orGovernment successor in title
should provide restitution to the victims, https://www.unodc.org/pdf, 22 Desember 2014
Kesimpulan :
Dalam masalah pencemaran udara akibat pemakaian bahan kimia yang tidak
terkontrol dengan baik, diperlukan upaya penegakan hukum lingkungan khususnya
penegakan hukum pidana yang seara terpadu dari semua pihak pihak aparat penegak
hukum maupun masyarakat. Penegak hukum haruslah konsisten dalam menindak para
pengusaha yang terbukti memakai bahan kimia secara tidak terkontrol dengan baik
yang mengakibatkan pencemaran udara.Pengaturan hukum pidana mengenai korban
kejahatan secara mendasar dikenal dua model yaitu The Procedural Rights Model dan
Services Model. Adanya kemungkinan ganti rugi menurut Pasal 14C KUHP pada
dasarnya tidak bersifat pidana, ia hanya sekedar syarat pengganti untuk menghidari atau
tidak menjalani pidana, jadi, tetap pada pemikiran dasar seperti yang telah dipaparkan
di atas bahwa latar belakang atau konsep pemidanaan yang berorientasi pada
orang/pelaku tindak pidana, tidak dilandasi konsep pemidanaan yang berorientasi pada
korban
Saran : Harus adan persamaan prinsip tentang lingkungan hidup, terutama dalam
tindak pidana mengenai pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Persamaan persepsi tersebut penting sekali terutama bagi jajaran aparat hukum.
Tujuannya adalah mengarah pada sistem peradilan pidana terpadu (intergrited
criminal justice system)
Mengembangkan sistem kompensasi/restitusi dimana negara ikut serta dalam
memberikan restitusi/kompensasi tersesbut kepada korban asap akibat
pembakaran hutan dan lahan sebagai bentuk tanggungjawab negara dalam
melindungi hak-hak asasi warga negaranya
Daftar Pustaka
Arief Barda Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1998.
Husein Sukanda, Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.