Hak dapat diartikan sebagai hubungan hukum antara subjek dengan objek,
dalam hal ini orang dan atau badan hukum terhadap tanah yang diatur dan ditetapkan
oleh negara42. Hak atas tanah menurut UUPA pada hakekatnya mengandung
kewajiban. Hak seseorang atas tanah semestinya harus dihormati dalam arti tidak
boleh orang lain melakukan tindakan yang melawan hukum untuk memiliki tanah
tersebut.
Oleh karena itu, jika ada hak seseorang di atas tanah seyogianya hak tersebut
harus didukung oleh bukti hak, dapat berupa sertifikat bukti hak tertulis non sertifikat
ataupun pengakuan dan keterangan yang dapat dipercaya kebenarannya. Dengan kata
lain, penguasaan atas tanah yang didasarkan atas kekuasaan arogansi dan kenekatan
semata pada hakekatnya dapat dikatakan bahwa penguasaan tersebut sudah melawan
hukum. Dengan demikian, secara hukum yang bersangkutan tidak bisa dikatakan
42
Tampil Anshari Siregar, Op.Cit,.hal. 3
43
Ibid., hal. 2
Pengaturan hak-hak atas tanah di Indonesia sudah ada sejak zaman kolonial
pengaturan hak atas tanah di Indonesia secara garis besar dapat dibedakan atas dua
kurun waktu, yaitu pengaturan hak atas tanah sebelum terbitnya UUPA dan
Hukum agraria pada masa pemerintahan kolonial Belanda dibangun atas dasar
kepentingan dan tujuan atau sendi-sendi pemerintahan jajahan. Hukum tanah pada
masa itu dibuat dan dilaksanakan sesuai kepentingan politik pertanahan kolonial.
Dilihat dari sejarahnya, pengaturan hukum agraria pada masa kolonial terbagi atas
sekurangnya enam periode, yaitu: (1) masa terbentuknya VOC (1602-1799); (2) masa
van den Bosch; (5) masa berlakunya Agrarische Wet Stb 1870 No. 55; dan (6) masa
berlakunya Agrarische Besluit Stb. 1870 No. 118. Masing-masing periode memiliki
Pengaturan hak atas tanah pada masa kolonial mengalami dualisme, karena
perbedaan-perbedaan hukum yang berlaku atas tanahnya. Pada masa itu terdapat
44
Urip Santoso, Hukum Agraria, Kajian Komprehensif; Penerbit Kencana; 2013, hal. 14-25.
empat jenis pengaturan hukum atas tanah di Indonesia, yaitu: (i) tanah-tanah dengan
hak-hak barat atau tanah-tanah Eropa, seperti hak eigendom, hak erfpacht dan hak
45
opstal; (ii) hak-hak atas tanah adat, yaitu tanah-tanah dengan hak-hak Indonesia
Hindia Belanda, seperti hak Agrarisch Eigendom, Landerijen Bezitrecht; (iv) hak-hak
tanah ciptaan Pemerintah Swapraja, seperti Grant Sultan. Jenis hak-hak atas tanah
selain hak-hak barat di atas disebut juga sebagai tanah hak Indonesia, yang cakupan
pengertiannya lebih luas dari tanah-tanah hak adat47. Dengan kata lain, sifat dualisme
agraria barat, hukum agraria adat, hukum agraria swapraja, hukum agraria
administratif dan hukum agraria antargolongan), dan (b) hak atas tanah (Hak
Eigendom, Hak Opstal, Hak Erfpacht; tanah-tanah hak adat; Grant Sultan, Agrarisch
tahun kemerdekaan, tepatnya sejak terbitnya UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Terbitnya
45
Hak Eigendom (dikonversi menjadi Hak Milik) yaitu hak milik atas tanah, yang
terpenuh,tertinggi yang dapat dipunyai seseorang .Hak Erfpacht (dikonversi menjadi HGU) yaitu hak
menikmati kegunaan benda tidak bergerak milik orang lain dengan membayar uang kepada pemiliknya
.Hak Opstal (dikonversi menjadi HGB) adalah hak untuk mempunyai rumah atau bangunan di atas
tanah milik orang lain
46
Tanah dengan hak-hak adat termasuk hak ulayat, hak milik adat, hak pakai adat, (termasuk
hak partuanan, gogolan dll)
47
Boedi Harsono, Op.Cit,hal. 53.
48
Urip Santoso, Op.Cit, hal. 21-22.
dengan kepentingan nasional, terlepas dari pengaturan agraria sebelumnya yang sarat
dualisme, serta tidak menjamin kepastian hukum bagi kepentingan rakyat Indonesia.
melalui UUPA antara lain penggunaan kebijaksanaan dan tafsir baru 49yang
disesuaikan dengan Pancasila dan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945; penghapusan hak-hak
Terkait dengan pengaturan hak atas tanah, UUPA tidak secara khusus
mendefinisikan apa yang disebut dengan hak atas tanah. Pada Pasal 4 ayat (2)
disebutkan hak-hak atas tanah yang merujuk kepada hak menguasai negara seperti
dimaksud dalam Pasal 2. Pada Pasal 4 ayat (1) disebutkan adanya macam-macam
hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan
dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain,
antara hak-hak penguasaan atas tanah dengan hak-hak atas tanah. Hak-hak
49
Sebagai contoh adalah mengenai hubungan antara negara dengan tanah, yang tidak lagi
menerapkan domein verklaring (negara sebagai pemilik tanah) melainkan negara sebagai yang
menguasai tanah (bukan memiliki).
50
Urip Santoso, Op.Cit, hal. 32-36.
51
Bambang Eko Supriyadi, Hukum Agraria Kehutanan: Aspek Hukum Pertanahan dalam
Pengelolaan Hutan Negara, PT. Rajagrafindo Persada, 2013, hal. 48.
penguasaan atas tanah adalah hak-hak yang masing-masing berisikan kewenangan,
tugas/kewajiban dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu
dengan bidang tanah yang mempunyai hak atas tanah tersebut. Sementara itu hak atas
tanah adalah hak atas permukaan bumi, yaitu hanya meliputi sebagian tertentu dari
Hak-hak atas tanah diberikan kepada orang atau badan hukum sesuai dengan
kedudukan hukumnya, peruntukan dan penggunaannya, serta di atas tanah mana hak
itu diberikan. Pemberian atau penetapan hak-hak atas tanah dimaksudkan sebagai
upaya untuk pemberian jaminan kepastian hukum bagi pemegang haknya, yang
Hak-hak atas tanah berdasarkan sistem UUPA terikat kepada beberapa azas
atau prinsip terutama adanya prinsip hak menguasai Negara, zas kebangsaan, prinsip
kesamaan kedudukan, fungsi sosial hak atas tanah dan lain-lain, yang kesemua
prinsip tersebut melekat pada masing-masing hak atas tanahnya53. Pasal 16 UUPA
menyebutkan hak-hak atas tanah terdiri dari (a) Hak Milik, (b) Hak Guna Usaha, (c)
Hak Guna Bangunan, (d) Hak Pakai, (e) Hak Sewa, (f) Hak Membuka Tanah; (g) Hak
Memungut Hasil Hutan, (h) hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut
52
Muhammad Yamin Lubis & Abd Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Penerbit Mandar
Maju, 2008, hal. 4.
53
Tampil Anshari,0p.Cit.,hal.26
sementara. 54 Pihak yang dapat menerima atau memiliki hak atas tanah menurut Pasal
4 ayat (1) UUPA terdiri dari perorangan (baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain) dan badan hukum. Hak untuk menguasai tanah berupa tanah ulayat dapat
juga dimiliki oleh suatu persekutuan hukum yang disebut masyarakat hukum adat,
seperti diatur dalam Pasal 3 UUPA. Selain ketiga subjek tersebut di atas, subjek yang
bisa menerima atau memiliki hak atas tanah adalah instansi Pemerintah, berdasarkan
Daerah Swatantra). Hak pengelolaan untuk pertama kali disebut dan diatur dalam
Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 tahun 1965 tentang Pelaksanaan Konversi Hak
undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri yang terbit sejak tahun 1965
54
Defenisi yang lengkap mengenai masing-masing hak atas tanah telah diuraikan dalam bunyi
pasal-pasal terkait dalam UUPA
55
Bambang Eko Supriyadi, Op.Cit, hal. 65.
56
Urip Santoso, Op.Cit, hal 161-162.
Sementara itu, A.P. Parlindungan berpendapat bahwa Hak Pengelolaan
merupakan suatu hak atas tanah yang sama sekali tidak ada istilahnya dalam UUPA,
dalam Pasal 2 ayat (4) UUPA memberikan kemungkinan untuk membuka penerbitan
hak baru yang namanya ketika itu belum ada, tetapi merupakan suatu delegasi
penguasaan, dan istilah ini sudah muncul dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Thn
1953 yang berisikan: (a) merencanakan, peruntukan, penggunaan tanah tersebut; (b)
uang pemasukan/ganti rugi dan atau uang wajib tahunan. Pada peraturan-peraturan
yang diterbitkan selanjutnya istilah hak penguasaan itu kemudian berganti menjadi
Hak Pengelolaan.58
Penempatan Hak Pengelolaan sejajar dengan hak atas tanah lain yang diatur
59
dalam pasal 16 UUPA tampak dalam peraturan perundang-undangan yaitu: diatur
57
A.P.parlindungan,Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Penerbit: Mandar Maju,
Bandung, hal.1
58
Ibid,hal.6
59
Maria,S.W.Sumardjono, Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Penerbit:
PT.Kompas Nusantara,Jakarta, 2008, hal.204.
Tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah, dan dalam Permendagri
No.5/1973 Tentang Ketentuan Mengenai Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah.
Daerah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, PT. Persero, Badan
Otorita, dan badan-badan hukum lainnya yang ditunjuk oleh Pemerintah. Hak
Pengelolaan tidak bisa diberikan kepada perorangan. Menurut Urip Santoso60 Hak
Pengelolaan dapat dikategorikan sebagai hak atas tanah yang bersifat right to use
tidak right of dispossal, yaitu pemegang hak pengelolaan hanya mempunyai hak
mempunyai hak untuk mengalihkan hak pengelolaan kepada pihak lain. Arie Sukanti
merupakan salah satu hak atas tanah, namun hanya merupakan pelimpahan hak
menggunakan dan mengambil manfaat dari suatu bidang tanah tertentu dan memberi
dengan tujuan pemberian haknya tersebut. Dengan demikian jelaslah bahwa tanah
60
Urip Santoso, Op.Cit,hal.177-178
61
Arie Sukanti Hutagalung & Markus Gunawan, Kewenangan Pemerintah di Bidang
Pertanahan, Penerbit Rajawali Pers, 2008, hal 49.
dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi, sedang hak atas tanah adalah hak
atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang berbatas,berdimensi dua dengan ukuran
penguasaan atas tanah yang terdiri dari : (1) hak bangsa Indonesia atas tanah; (2) hak
menguasai negara atas tanah; (3) hak ulayat masyarakat hukum adat; dan (4) hak
dengan kawasan hutan. Hal itu terlihat jelas dalam ketentuan yang termuat dalam
No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (sebagai pengganti UU no. 5 Tahun 1967).
Definisi hutan menurut UU No. 5 Thn 1967 adalah suatu lapangan bertumbuhan
beserta alam lingkungannya dan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai hutan.
Menteri ditetapkan untuk dipertahankan sebagai hutan tetap. Dalam Pasal 1 angka
62
Urip Santoso, Op.Cit.hal.75
63
Ibid.,hal 77
sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam
hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu
dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Selanjutnya dalam Pasal 1 angka (3)
pegertian kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapakan
menekankan pada pengertian fisik dan ekologi hutan, yaitu berupa lapangan
hamparan lahan yang didominasi pepohonan tersebut tidak dapat dipisahkan dengan
persekutuan alam lingkungannya. Lahan atau tanah merupakan alam lingkungan yang
hutan dalam UU Kehutanan secara tersirat tidak memisahkan antara aspek hutan
mengacu pada hal yang sama yaitu suatu wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah
untuk dipertahankan sebagai hutan tetap. Definisi kawasan hutan lebih mengacu
kepada aspek yuridis atau status hukum, sementara pengertian hutan mengacu
Jika ketentuan dalam bunyi Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan tersebut dijadikan
sebagai patokan untuk mengartikan kawasan hutan maka setiap wilayah yang
ditunjuk oleh pemerintah sebagai hutan baik terdapat atau tidak terdapat tumbuhan
selama ini telah menimbulkan permasalahan sengketa atau konflik di antara berbagai
pihak yang berkepentingan dengan sumberdaya yang ada di dalam kawasan hutan,
karena dalam banyak kasus penetapan tersebut dilakukan mencakup suatu wilayah
atau areal yang dalam kenyataannya di lapangan tidak berupa hutan lagi, atau karena
wilayah yang ditetapkan mencakup areal yang terdapat hak penguasaan lain atas
tanahnya.
Persoalan yuridis tidak hanya terjadi dalam kaitan penetapan suatu kawasan
problematika yuridis, yaitu menyangkut apakah tanah yang ada di dalam kawasan
sengketa tanah yang terjadi di suatu wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan hutan
dari sudut Hukum Tanah, tanah di atas mana ada tumbuh-tumbuhannya itu, biarpun
mengajukan permohonan untuk memperoleh hak atas tanah yang berada di areal
HPH-nya jika tanah tersebut digunakan untuk usaha yang sesuai dengan pemberian
yang bersangkutan. Tetapi sebaliknya mengenai penggunaan tanah dalam areal HPH
yang tidak sesuai dengan pemberiannya, maka pengusaha wajib meminta hak atas
pemberian hak atas tanah tersebut dilakukan oleh Menteri Agraria/Kepala BPN
Kehutanan adalah Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Memungut Hasil Hutan.
64
Boedi Harsono, Op.Cit, hal. 9
Di pihak lain ada ahli hukum yang berpandangan bahwa tanah di kawasan
hutan adalah objek hukum yang sekaligus menyatu dalam lingkup hukum kehutanan,
bukan sesuatu yang bisa dipisahkan satu sama lain. Bambang Eko Supriyadi 65
misalnya tidak sependapat dengan ahli hukum yang mengatakan bahwa penguasaan
bukan hutan lagi dan statusnya kembali menjadi tanah Negara . Menurut Bambang
penguasaan tanah kawasan hutan oleh instansi kehutanan sudah berlangsung sejak
lama, yang bisa dibuktikan jika merunut kepada sejarah pengelolaan hutan sejak
Selain itu, ketentuan Pasal 1 angka (2) UU Kehutanan disebutkan secara jelas juga
menyiratkan hal itu, karena pengertian kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan
mengandung arti yang sama dengan tanah. Dengan demikian UU Kehutanan dinilai
sebagian ahli secara jelas menyiratkan hak atas tanah di dalam kawasan hutan
65
Bambang Eko Supriyadi, Op.Cit, hal. 79-87.
Perbedaan pandangan dan tafsiran atas ketentuan hukum berkaitan dengan
pemegang wewenang pengurusan hak atas tanah di dalam kawasan hutan tersebut
suatu fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa sengketa tanah di kawasan hutan
yang dulunya termasuk kawasan hutan dan ditumbuhi pepohonan telah menjadi
kawasan perumahan dan perkantoran. Didukung oleh berbagai faktor seperti adanya
perluasan lahan yang tidak sedikit untuk membangun berbagai fasislitas yang
usaha makin meluas bahkan cenderung melampaui batas sampai pada tahap
terjadinya saling klaim atas lahan di kawasan hutan antara pemerintah dan atau
pengusaha sebagai mitranya dengan masyarakat yang sudah hidup lama dan menetap
di kawasan hutan tersebut. Konflik seperti ini sudah berlangsung lama dan terjadi
Konflik tanah di kawasan hutan antara lain terjadi karena di satu sisi
masyarakat lokal sebagai pemilik hak penguasaan lahan di kawasan hutan berpegang
dan mendasarkan haknya kepada hukum adat dan hak ulayat66 sebagai aspek historis
yang dikelolanya pada aturan formal dengan izin yang sah dari Pemerintah, sehingga
masing-masing pihak memiliki dasar yang kuat untuk tetap mempertahankan hak
munculnya upaya untuk mempertahankan hak-hak atas tanah dari setiap intervensi
dari pihak luar, yang pada gilirannya menimbulkan konflik, baik konflik terbuka
maupun tersembunyi.67
Dalam banyak kasus sengketa agraria di kawasan hutan antara penduduk lokal
dengan badan usaha, peran dari institusi Negara sangat menentukan karena selama ini
kepada pengusaha yang memiliki izin pengusahaan hutan di satu pihak, dan
66
Van Vollenhoven mengatakan bahwa hak ulayat merupakan hak komunitas secara
keseluruhan (persekutuan hidup atau masyarakat hukum adat) atas tanah-tanah yang diduduki, atas
pohon-pohon atau benda-benda yang berada dibawah maupun di atas permukaan tanah dalam suatu
wilayah yang dikuasainya, disebutnya dengan istilah beschikkingrecht, sedangkan masyarakat
hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai suatu
komunitas bersama dalam suatu persekutuan hukum karena kesamaan tingga ataupun atas dasar
keturunan /hubungan darah.
67
Endang Suhendar danYohana Budi Winarni, Op.Cit,hal.2
68
Ibid.,hal. 132
Dalam menyelesaikan konflik agraria yang berkepanjangan perlu kesadaran
dari semua warga untuk memahami sejauh mana kita mengetahui bahwa tanah
merupakan sumber daya alam yang sangant vital, yang melandasi semua aspek
kehidupan. Bukan hanya sekedar asset tetapi juga merupakan basis untuk meraih
kuasa-kuasa ekonomi, sosial dan politik.69Hak seseorang atau kelompok atas suatu
luasan tanah akan terjamin kepastiannya jika memperoleh pengakuan secara utuh
Salah satu sumber konflik yang terjadi selama ini khususnya antara Pemerintah
dan swasta dengan masyarakat karena tidak jelasnya batas-batas kewenangan yang
untuk memperoleh kepastian hukum atas suatu kawasan hutan harus melalui proses
pengukuhan.
69
Gunawan Wiradi, Reforma Agraria: Perjalanan Yang Belum Berakhir, Penerbit:Insist Press,
KPA dan Pustaka Pelajar,Yogyakarta,2000,hal.85-87
70
Supriadi, Hukum Kehutanan,Hukum Perkebunan di Indonesia,Sinar Grafika,Jakarta, 2010,
hal:50
ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadannya
sebagai hutan tetap. Berdasarkan definisi itu, dapat diartikan bahwa suatu wilayah
dapat menjadi kawasan hutan hanya berdasarkan pada penunjukan saja, maupun
pengukuhan kawasan hutan yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum atas
hutan harus dilakukan melalui proses sebagai berikut: (a) penunjukan kawasan hutan;
(b) penataan batas kawasan hutan; (c) pemetaan kawasan hutan; dan (d) penetapan
kawasan hutan. Disebutkan juga dalam Pasal 15 ayat (2) bahwa pengukuhan kawasan
statusnya yang terdiri dari dua jenis yaitu hutan negara dan hutan hak.71 Hutan
negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaannya
hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Selain itu, jika dilihat
dari fungsinya, pengurusan hutan menjadi salah satu poin yang penting yang diatur
71
Pasal 5 angka (1) UU Kehutanan
72
Ketentuan UU Kehutanan yang menyebut hutan adat sebagai hutan negara sudah diubah
dengan adanya Putusan MK 35/PUU-X/2012 yang menetapkan bahwa hutan adat bukan termasuk
hutan negara.
kehutanan, penelitian dan pengembangan pendidikan, serta penyuluhan dan
pengawasan. Dalam Pasal 11 ayat (2) disebutkan bahwa perencanaan kehutanan harus
tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi: Semua hutan dalam wilayah
telah menimbulkan banyak komplikasi di tengah masyarakat selama ini, yang antara
lain bersumber dari adanya bunyi pasal-pasal tertentu yang dinilai tidak bisa
memenuhi rasa keadilan warga negara yang merasa hak-haknya terabaikan berkaitan
dengan penguasaan tanah di kawasan hutan. Meskipun ada ketentuan dalam Undang-
undang yang dinilai tidak bisa memenuhi rasa keadilan warga, tapi tidak tersedia
bisa diubah, kecuali berdasarkan kemauan politik dari DPR dan Pemerintah. Namun
1945 (salah satu dari lima wewenang MK) merupakan tugas yang mendominasi
Undang-undang yang lahir pada awal reformasi, yaitu era demokratisasi, keterbukaan
masyarakat baik secara individu maupun kelompok khususnya masyarakat yang ada
di dalam dan sekitar kawasan hutan. Permohonan uji materi terhadap UU Kehutanan
73
Maruarar Siahaan , Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Indonesia, Sinar Grafika,Jakarta,
2012, hal 14
menyangkut bunyi pasal-pasal yang dimuat di dalam Undang-undang tersebut.
Permohonan uji materi UU Kehutanan dilakukan oleh beragam pihak mulai dari
Sampai dengan tahun 2014 tercatat sudah ada delapan permohonan uji materi
dibentuk sebelum dilakukan empat kali amandemen UUD 45 (1999- 2003), sehingga
memiliki ketidak sesuaian dengan norma konstitusi baru hasil amandemen. Kedua,
ini sebenarnya produk hukum yang sepenuhnya belum jadi. Selain itu, UU Kehutanan
terbatas.
Dari (8) delapan perkara pengujian UU Kehutanan, nampak bahwa pihak yang
74
Yance Arizona, Op.Cit
juga merupakan pengujian Undang-undang yang kualifikasi pemohonnya paling
individu warga negara yang berprofesi sebagai petani, LSM, kesatuan masyarakat
hukum adat, pengusaha sampai dengan kepala daerah.75 Dari delapan permohonan uji
materi tersebut, hanya tiga kasus yang diterima dan dikabulkan seluruhnya atau
sebagian oleh Mahkamah Konstitusi, sedangkan sisanya tidak diterima. Tiga putusan
hutan adat yang dimohonkan oleh Aliansi Masyarakat Hukum Adat. Pokok
Uji materiil (Yudicial Review) adalah suatu hak atau kewenangan yang dimiliki
oleh lembaga yudikatif untuk melakukan pengujian mengenai sah atau tidaknya suatu
75
Yance Arizona, Ibid
peraturan perundang-undangan terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih
bahwa Uji Materiil merupakan upaya pengujian oleh lembaga judicial terhadap
produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan
merupakan penerapan prinsip Checks and Balances yang menjadi salah satu pokok
Hak uji materiil ini dibedakan atas dua macam yaitu, (1) uji materiil atas
tidak jelas pengaturan hukumnya, sehingga terjadi kekosongan hukum tentang hak uji
prinsip baru dalam ketatanegaraan antara lain prinsip pemisahan kekuasaan, yang
76
Faturrohman, Memahami keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2004,hal 34
77
Jimly Asshiddiqie, Workshop tentang Koordinasi, Konsultasi, Evaluasi, Implementasi MOU
Helsinki dan UU No.11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh serta Penyelenggaraan Pemilukada
Aceh 2011 yang Aman, Tertib dan Damai, di Jakarta, Kamis 8 Desember 2011.
dipertegas dengan diaturnya mekanisme penegakan hukum dimulai dari penegakan
konstitusi sebagai hukum tertinggi. Amandemen UUD 1945 merupakan dasar hukum
pembentukan Mahkamah Konstitusi yaitu dalam Pasal 24 ayat (2) yang menyatakan
bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah
manusia.78
Ada dua macam hak menguji yaitu: (1) Hak menguji formal (formale
formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk legislatif dibuat dengan
cara-cara prosedur sebagaimana telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku. Hak
uji materiil adalah wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah suatu peraturan
78
Irianti A.Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah
Konstitusi:Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi,Penerbit
PT.Alumni,Bandung,2008,hal ix
79
Sri Soemantri, Hak Uji Materil di Indonesia, Penerbit PT.Alumni,Bandung 1996,hal.8
dengan materi muatan dari Undang-undang yang menyangkut bunyi pasal, ayat dan
atau bagian Undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dapat
hak menguji materiil Undang-undang terhadap UUD didasarkan pada Pasal 24C ayat
(1) UUD 1945, yaitu Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang
terhadap UUD. Pengaturan yang sama juga terdapat dalam pasal 29 ayat (1) UU
Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman, dan Pasal 10 ayat (1) UU
Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Yang diuji materiil atas suatu
Undang-undang bisa terhadap satu bab, pasal atau kalimat dalam Undang-undang
Putusan Hakim adalah suatu pernyataan oleh hakim sebagai pejabat negara
dan dibacakan pada Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum
80
Ibid, hal 20
81
Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2004
pada tanggal 21 Februari 2012. Putusan Mahkamah Konstitusi ini yang mengadili
Mahkamah Konstitusi pada 22 Agustus 2011, yang dimohonkan oleh para pemohon
2. Drs. Hambit Bintih, MM, Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, sebagai
Pemohon II
Pemohon III,
Pemohon IV
Pemohon V
Palangkaraya,sebagai Pemohon VI
Para pemohon mengajukan permohonan uji materi Pasal 1 angka (3) Undang-
undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang berbunyi: Kawasan hutan
adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk
Permohonan uji materi diajukan ke Mahkamah Konstitusi dengan alasan bahwa hak
dan atau kewenangan konstitusional pemohon maupun masyarakat Kabupaten
2.1. Kedudukan hukum (Legal Standing) dan alasan permohonan Uji Materiil
Pemohon mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan 85. Sementara itu,
82
Jimly Asshiddqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Sekretariat Jenderal
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,Jakarta 2005,hal.68
83
Ibid,hal.17
84
Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa pihak-pihak yang dapat
menjadi pemohon uji materi meliputi: (a) perorangan warga negara Indonesia; (b) kesatuan masyarakat
hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; (c) badan hukum publik atau privat,
atau (d) lembaga negara. Sedangkan yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang
diatur dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
85
Tugas dan wewenang kepala daerah untuk mewakili daerahnya di dalam dan di luar
pengadilan diatur dalam Pasal 25 huruf f UU No. 32 Thn 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pemohon I memenuhi
sebagai perorangan.
86
Mahkamah Konstitusi berpendirian bahwa kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Mahkamah Konstitusi harus memenuhi lima syarat, yaitu :
(1) adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; (2) hak
dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya
Undang-undang yang dimohonkan pengujian; (3) kerugian tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan
terjadi; (4) adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya
Undang-undang yang dimohonkan pengujian; (5) adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya
permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi
87
Lihat Putusan MK 45/2011, hal.22-27
penunjukan kawasan hutan; (b) penataan batas kawasan hutan; (c) pemetaan
kawasan hutan; dan (d) penetapan kawasan hutan. Pada ayat (2) disebutkan
Pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah. Dengan demikian,
seharusnya status suatu kawasan hutan baru mempunyai kepastian hukum
ketika sudah melalui proses pengukuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 15
ayat (1) UU Kehutanan. Pada faktanya, terdapat beberapa Keputusan dan
Peraturan yang menyatakan bahwa penunjukan sama dengan penetapan
kawasan hutan88.
b. Akibat penafsiran Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan oleh Pemerintah, seluruh
wilayah Kabupaten Kapuas dimasukkan kedalam kawasan hutan, maka
Pemohon I tidak bisa melaksanakan kewenangan otonomi seluas-luasnya
khususnya dalam memberikan perizinan usaha yang baru dan perpanjangan
izin lama terkait usaha perkebunan, pertambangan, peternakan dan
sebagainya. Hal itu terkait dengan Penunjukan Areal Hutan di Wilayah
Provinsi Kalimantan Tengah yang sudah pernah diterbitkan berdasarkan
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 759/Kpts/Um/10/1982 tertanggal 12
Oktober 1982, seluas 15.300.000 hektar yang di dalamnya menunjuk
wilayah hutan di Kabupaten Kapuas. Surat Edaran Menteri Kehutanan No.
404/Menhut-II/03 tanggal 10 Juli 2003 menyatakan bagi provinsi yang
belum ada Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang penunjukan kembali
atas kawasan hutan yang didasarkan pada hasil pemaduserasian antara
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan Tata Guna Hutan
Kesepakatan (TGHK), maka kawasan hutan pada provinsi tersebut mengacu
dan berpedoman pada Keputusan Menteri Kehutanan tentang TGHK. Karena
Provinsi Kalimantan Tengah belum memiliki padu serasi antara RTRWP
dengan TGHK, maka yang digunakan adalah TGHK yang mengacu kepada
Kepmentan Nomor 759 Thn 1982 tadi. Padahal menurut pemohon lokasi-
lokasi di Kabupaten Kapuas secara faktual bukan berupa hutan, namun
dinyatakan sebagai kawasan hutan akibat adanya ketentuan Pasal 1 angka (3)
UU Kehutanan. Aset-aset daerah Pemohon I maupun fasilitas lainnya berada
di kawasan hutan.Dengan kenyataan seluruh wilayah Kabupaten Kapuas
termasuk kedalam kawasan hutan berdasarkan Kepmentan Nomor 759 Thn
1982 itu, Pemohon I mendapat ancaman kriminalisasi oleh aparat penegak
88
Pemohon menunjukkan contoh: (i) Surat Menteri Kehutanan No. S.426/Menhut-VIII/2006 tgl
12 Juli 2006 perihal Penjelasan Menteri Kehutanan tentang Status Kawasan Hutan yang Ditujukan
kepada Kapolri, dengan tembusan kepada Presiden, Wakil Presiden, Menkum HAM, Meneg LH, Jaksa
Agung dan Eselon I lingkup Dephut; (ii) Peraturan Menteri Kehutanan No. P.50/Menhut-II/2009
tentang Penegasan Status dan Fungsi Kawasan Hutan; yang dalam Pasal 2 ayat (1) disebutkan:
Kawasan hutan telah mempunyai kekuatan hukum apabila: (a) telah ditunjuk dengan keputusan
Menteri, atau (b) telah ditata batas oleh Panitia Tata Batas, atau (c) Berita Acara Tata Batas Kawasan
Hutan telah disahkan oleh Menteri, atau (d) Kawasan Hutan telah ditetapkan dengan Keputusan
Menteri.
hukum dan Kementerian Kehutanan karena dianggap memberikan izin baru
atau perpanjangan izin lama di areal yang dianggap sudah masuk kawasan
hutan. Karena itu, Pemohon I beserta seluruh penduduk Kapuas dapat
dipidana berdasarkan Pasal 50 ayat (3) huruf a dan b jo. Pasal 78 ayat (2) UU
Kehutanan.
c. Pemohon I selaku Pemerintah Daerah tidak bisa melaksanakan kewenangan
otonomi seluas-luasnya, padahal Kabupaten Kapuas telah menjadi daerah
otonom sejak 1953, dan pemohon mempunyai hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 18 ayat (2),
Pasal 18 ayat (5), Pasal 18 ayat (6), Pasal 18A ayat (2) dan Pasal 28D ayat
(1) Undang-Undang Dasar 194589. Dalam Pasal 28D ayat (1) dinyatakan
bahwa:Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Di sisi lain, berdasarkan Pasal 27 ayat (1) huruf b dan c Undang-undang
Pemerintahan Daerah dinyatakan bahwa: Kepala Daerah mempunyai
kewajiban meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan memelihara
ketenteraman dan ketertiban masyarakat. Namun, dengan penafsiran Pasal 1
angka (3) UU Kehutanan tersebut di atas, maka Pemohon I tidak
mendapatkan jaminan kepastian hukum dalam menjalankan kewenangannya.
Sementara itu, dengan bunyi pasal 1 angka (3) tersebut kerugian konstitusional
Pemohon II-VI selaku perorangan warga negara dapat diringkaskan sebagai berikut:
a. Pemohon II, III, IV dan V adalah warga negara yang memiliki hak-hak
konstitusional yang dijamin oleh konstitusi negara untuk mendapatkan
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil dalam
naungan Negara hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) dan
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Namun pada saat mengajukan permohonan,
Pemohon secara pribadi yang pekerjaannya sebagai Bupati di wilayahnya
masing-masing diancam pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal
50 juncto Pasal 78 UU Kehutanan karena memberikan izin baru atau
memperpanjang izin yang ada sebelumnya di dalam kawasan
89
Pasal 1 (3) berbunyi, Negara Indonesia adalah negara hukum.
Pasal 18 ayat (2), Pemerintahan daerah propinsi,daerah kabupaten dan kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut azas otonomi dan tugas perbantuan.
Pasal 18 ayat (5), Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan
pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai sebagai urusan pemerintahan pusat.
Pasal 18 ayat (6),Pemerintah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas perbantuan
Pasal 18A ayat (2), Hubungan keuangan,pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksankan secara adil dan
selaras berdasarkan Undang-Undang.
hutan90,sehingga tindakan para Pemohon mengeluarkan izin di wilayahnya
dipandang Kementerian Kehutanan sebagai bentuk pelanggaran tindak
pidana kehutanan.
b. Pemohon VI selaku perorangan mengalami kerugian konstitusional berupa
tidak adanya kepastian hukum menyangkut hak kebendaan sebagaimana
dilindungi dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, hilangnya hak kebendaan
sebagaimana dilindungi dalam Pasal 28G ayat (1) dan hak milik
sebagaimana dilindungi dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 194591. Dalam kasus
yang dialami oleh Pemohon VI, yang bersangkutan tidak mendapatkan
kepastian hukum atas dua petak tanah miliknya di Palangkaraya yang dibeli
dengan bukti Surat Kepemilikan Tanah. Hak atas harta benda yang dibawah
kekuasaannya dan hak miliknya terancam hilang atau diambil oleh negara
karena letaknya dianggap berada di dalam kawasan hutan.
menyatakan Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan sepanjang frasa ditunjuk dan atau
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
90
Ancaman pidana tersebut terkait dengan adanya Surat Menteri Kehutanan No.S.193/Menhut-
IV/2011 tanggal 18 April 2011 perihal Tim Penyelidikan dan Penyidikan Penggunaan Kawasan Hutan
Yang Tidak Prosedural di Provinsi Kalimantan Tengah. Jugaterkaitdengan SE Menhut No.
S.95/Menhut IV/2010 tgl 25 Februaru 2010 tentang Laporan Penggunaan Kawasan Hutan Tidak
Prosedural, yang mengindikasikan adanya dugaan pelanggaran tindak pidana kehutanan berupa
penggunaan kawasan hutan tanpa izin dari Menteri Kehutanan.
91
Pasal 28G ayat(1), Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi,keluarga,kehormatan,martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak azasi.
Pasal 28H ayat (4),Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak
boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Mahkamah Konstitusi memberikan pertimbangan hukum Mahkamah atas pokok
92
Putusan MK 45/2011,bagian Pertimbangan hakim, hal 150-159
penunjukan dalam ketentuan Pasal 1 angka (3) UU a quo dapat dipersamakan
dengan penetapan kawasan hutan yang tidak memerlukan tahap-tahap sebagaimana
ditemukan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-undang a quo;
[3.12.4] Bahwa menurut Mahkamah, tahap-tahap proses penetapan suatu kawasan
hutan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1) UU Kehutanan di atas sejalan
dengan asas negara hukum yang antara lain bahwa pemerintah atau pejabat
administrasi negara taat kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya ayat (2) dari pasal tersebut yang menentukan, Pengukuhan kawasan
hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan rencana
tata ruang wilayah, menurut Mahkamah ketentuan tersebut antara lain
memperhatikan kemungkinan adanya hak-hak perseorangan atau hak pertuanan
(ulayat) pada kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut,
sehingga jika terjadi keadaan seperti itu maka penataan batas dan pemetaan batas
kawasan hutan harus mengeluarkannya dari kawasan hutan supaya tidak
menimbulkan kerugian bagi pihak lain, misalnya masyarakat yang berkepentingan
dengan kawasan hutan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan tersebut;
[3.13] Menimbang bahwa karena penetapan kawasan hutan adalah proses akhir dari
rangkaian proses pengukuhan kawasan hutan, maka frasa ditunjuk dan atau yang
terdapat dalam Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan bertentangan dengan asas negara
hukum, seperti tersebut dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Selain itu frasa ditunjuk
dan atau tidak sinkron dengan Pasal 15 Undang-undang a quo. Dengan demikian
ketidaksinkronan tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil
sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menentukan, Setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama di hadapan hukum;
[3.14] Menimbang bahwa adapun mengenai ketentuan peralihan dari UU Kehutanan,
khususnya Pasal 81 yang menyatakan, Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau
ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebelum
berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang
ini, menurut Mahkamah, meskipun Pasal 1 angka (3) dan Pasal 81 Undang-undang a
quo mempergunakan frasa ditunjuk dan atau ditetapkan, namun berlakunya untuk
yang ditunjuk dan atau ditetapkan dalam Pasal 81 Undang-undang a quo tetap sah
dan mengikat;
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, menurut
Mahkamah, permohonan para Pemohon beralasan hukum.
2.3. Amar Putusan
Berdasarkan alasan-alasan pemohon dan uraian pertimbangan hakim
dengan kepastian hukum pemegang hak atas tanah di kawasan hutan. Selanjutnya,
dilihat pula persoalan hukum apa saja yang masih berpotensi menjadi kendala bagi
pemegang hak atas tanah di kawasan hutan untuk mendapatkan penguatan jaminan
pengujian Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan, maka semua warga Negara sebagai pihak
yang tergolong sebagai pemegang hak atas tanah secara yuridis juga telah
ditunjuk dan atau dalam Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan bertentangan dengan
93
Ibid, hal 160-161
UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan dibatalkannya
frasa ditunjuk dan atau maka proses pengukuhan kawasan hutan sebagaimana
proses yang tidak terputus yaitu (a) penunjukan kawasan hutan, (b) penataan batas
kawasan hutan, (c) pemetaan kawasan hutan, dan (d) penetapan kawasan hutan.
Dengan demikian kepastian hukum mengenai penetapan kawasan hutan baru benar-
benar berlaku jika semua tahapan tersebut telah dijalankan. Putusan MK 45/2011
secara jelas telah mengoreksi ketidaksinkronan antara Pasal 1 angka (3) dengan Pasal
hutan, dan menganggap jika suatu kawasan hutan telah ditunjuk maka hal itu sudah
berarti sudah ditetapkan dan memiliki kepastian hukum, dinyatakan keliru oleh
pemerintahan otoriter, karena bertindak tidak sesuai dengan hukum dan peraturan
perundang-undangan. Agar lebih jelas berikut ini adalah uraian analisis Putusan MK
45/2011 terhadap kepastian hukum pemegamg hak atas tanah di kawasan hutan.
94
Irianto A. Baso Ence,Op.Cit.hal 196-199
eksekutorial. Sebuah Putusan Mahkamah Konstitusi sejak selesai diucapkan dalam
sidang pleno terbuka untuk umum secara yuridis sudah memiliki ketiga kekuatan
tersebut di atas. Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-
menjadi hukum, sekaligus meniadakan atau menciptakan suatu keadaan hukum baru.
Namun, Putusan Mahkamah Konstitusi juga tidak bersifat retroaktif (tidak berlaku
surut) sesuai dengan Pasal 28I UUD 1945 yang menjadi hukum dasar berlakunya asas
non-retroaktif95.
sebagai subjek pemegang hak atas tanah berdasarkan apa yang disebut sebagai Hak
Negara yang diberikan kepada instansi pemerintah, yang dengan hak tersebut instansi
tugasnya (right to use) tapi tidak dapat mengalihkan hak pengelolaan itu kepada
pihak lain (right of disposal). Pihak-pihak lain yang dapat menggunakan tanah yang
95
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945berbunyi hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum
yang berlaku surut adalah hak azasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
diperoleh melalui hak pengelolaan dari suatu instansi pemerintah digolongkan
mendapatkan ruang yang lebih terbuka untuk mendapatkan kepastian haknya atas
tanah berdasarkan Putusan MK 45/2011. Penguatan kepastian hak atas tanah tersebut
mencakup hak-hak pengelolaan atas tanah yang berada di dalam kawasan hutan yang
hanya berdasarkan penunjukan sesuai Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan dan belum
dikukuhkan dan ditetapkan sebagai kawasan hutan seperti diatur dalam Pasal 14 dan
frasa ditunjuk dan atau dalam Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan, maka secara
tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga Pemerintah Daerah memiliki
peluang lebih besar untuk mendapatkan kepastian hukum atas hak pengelolaan tanah
yang berada di kawasan hutan. Dengan kata lain, Putusan MK 45/2011 memberikan
amanat UU No. 32 Thn 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, Kepala
Daerah juga bisa terhindar dari ancaman dipidanakan karena sangkaan melakukan
bagi penguatan kepastian hukum, tetapi belum secara penuh memberikan kepastian
hukum yang riil bagi pemegang hak atas tanah di kawasan hutan, termasuk Hak
Pengeloaan yang dipegang oleh Pemerintah Daerah. Ada dua alasan untuk
oleh Mahkamah Konstitusi. Asas hukum non-retroaktif tersebut menjadi asas hukum
yang berlaku di Indonesia dan diatur secara jelas dalam Pasal 28I UUD 1945 yang
menyatakan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Alasan
Oleh karena itu, untuk mendapatkan jaminan kepastian hukum yang lebih nyata
bagi para pemegang hak atas tanah di kawasan hutan, maka Putusan Mahkamah
96
Pasal 81 UU Kehutanan menyatakan, Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau
ditetapkan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, sebelum berlakunya undang-undang ini
dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang ini.
tindakan penyesuaian perangkat hukum pada tataran yang lebih teknis, baik melalui
bawahnya. Philip Wells dkk97 berpendapat bahwa tanpa pengaturan lebih lanjut pasca
Putusan MK 45/2011, maka tidak akan ada kejelasan bagaimana otoritas Kementerian
namun belum ditetapkan sebagai kawasan hutan. Hal yang sama berlaku pula bagi
pemohon pada khususnya maupun bagi pemegang hak atas tanah di kawasan hutan
pada umumnya, tidak ada kejelasan mengenai bagaimana UU Kehutanan Tahun 1999
akan diterapkan di masa depan untuk mencegah kerugian lebih jauh pada hak-hak
Pemerintah yang dapat menerima Hak Pengelolaan atas tanah di kawasan hutan bisa
menjadi lebih nyata apabila kawasan hutan hasil penunjukan di masa lalu akan
ditetapkan dan dikukuhkan. Sampai dengan tahun 2012 terdapat 130,8 juta hektar
kawasan hutan di Indonesia, tapi yang sudah ditetapkan atau dikukuhkan sebagai
kawasan hutan baru mencapai 14,2 juta hektar (sekitar 10%). 98 Dengan adanya
dalam proses tersebut Pemerintah Daerah adalah salah satu pihak yang harus
97
Philip Wells, Neil Franklin, Petrus Gunarso, Gari Paoli, Tiza Mafira, Dimas Riyo Kusumo
dan Ben Clanchy, Kajian atas Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 45/PUU-
IX/2011 tentang Kawasan Hutan, Dampak terhadap Hutan, Pembangunan dan REDD+; Daemeter
Consulting, Tropenbos International Indonesia & MakarimTairas; 2012; hal 1-2.
98
Ibid. hal 2
dilibatkan secara aktif dalam pelaksanaannya. Dengan demikian, upaya untuk
penguatan kepastian hukum bagi Pemerintah Daerah terkait hak pengelolaan atas
hutan tersebut, dimana Pemerintah Daerah sebagai pemegang Hak Pengelolaan dapat
Konstitusi, pihak-pihak yang tergolong sebagai badan hukum tidak ada yang terlibat
memberikan manfaat secara tidak langsung bagi badan hukum dalam hal penguatan
kepastian hukum sebagai pihak yang berhak atas tanah sebagaimana diatur dalam
Pasal 16 UUPA. Manfaat secara tidak langsung mereka dapatkan melalui menguatnya
kepastian hukum hak pengelolaan yang diberikan kepada Pemerintah Daerah. Badan
hukum yang telah mendapatkan izin lokasi penggunaan lahan dari Pemerintah
sebagai kawasan hutan, maka dengan Putusan MK 45/2011 peluang untuk penguatan
kepastian haknya atas tanah semakin besar. Sebaliknya, jika Pemerintah Daerah
hukum yang telah mengantongi izin usaha di kawasan itu juga akan kehilangan hak-
haknya. Oleh karena itu, badan hukum dapat dikatakan sebagai pihak yang menerima
manfaat secara tidak langsung dari Putusan MK 45/2011 terkait kepastian hukum
dan seorang perorangan dari unsur partikelir. Putusan MK 45/2011 tentu tidak hanya
berimpilikasi hukum kepada para pemohon langsung, tetapi juga terhadap semua
perorangan warga Negara yang memenuhi kategori sebagai pemegang hak atas tanah
sesuai Pasal 16 UUPA. Hak-hak kebendaan, hak kepemilikan atau hak untuk
dijamin, dan dilindungi berdasarkan Pasal 28D, Pasal 28G dan Pasal 28H UUD 1945.
mendapatkan jaminan kepastian hukum pemilikan atas bidang tanah tidak dapat
berada di areal yang berdasarkan Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan termasuk kawasan
hutan. Dengan adanya Putusan MK 45/2011 tidak secara otomatis kepastian hukum
atas kepemilikan tanahnya menjadi lebih kuat, melainkan baru sebatas terbukanya
ruang yang lebih besar bagi mereka untuk mendapatkan kepastian hukum.
Dilema yang dihadapi oleh perorangan pemegang hak milik atas tanah sama
seperti yang berlaku bagi pemegang hak pengelolaan, yaitu Pemerintah Daerah,
Kepastian hukum baru bisa didapatkan jika Putusan MK 45/2011 tadi ditindaklanjuti
Daerah dalam bentuk pengukuhan dan penetapan kawasan hutan berdasarkan Pasal
tanah di kawasan hutan baru benar-benar bisa didapatkan apabila areal dimana lokasi
bidang tanah perorangan tadi sudah dikeluarkan dari peta kawasan hutan. Dengan
demikian, perorangan pemegang hak atas tanah secara khusus, maupun pemegang
hak kebendaan, hak milik dan hak bertempat tinggal bagi warga masyarakat pada
umumnya di kawasan hutan secara yuridis belum memiliki kepastian hukum apabila
Dari uraian pada bagian terdahulu jelas bahwa Putusan MK 45/2011 belum
secara nyata memberikan kepastian hukum bagi para pihak pemegang hak atas tanah
pemegang hak pengelolaan, badan hukum, maupun perorangan dan warga masyarakat
angka (3) UU Kehutanan pra-uji materi (sebelum frasa ditunjuk dan atau
dibatalkan) merupakan tindakan yang berciri otoriter dan tidak berdasarkan hukum
ditunjuk dan atau dalam Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan tersebut belum
memberikan ruang bagi upaya penguatan kepastian hukum yang masih harus
Tindak lanjut yang sudah dilakukan oleh Pemerintah, dalam hal ini
diterbitkan tanggal 15 November 2013. Dalam Pasal 1 ayat (2) Permenhut 44/2012
rumusan yang sah dari Pasal 1 angka (3) UU Kehutanan menurut Putusan MK
45/201199.
99
Meskipun definisi ini sudah mengakomodasi Putusan MK 45/2011, dalam Permenhut
44/2012 tersebut sama sekali tidak menyebutkan Putusan MK 45/2011 dalam bagian Menimbang.
Dalam Pasal 3 ayat (1) Permenhut 44/2012 dinyatakan, dalam hal suatu areal
telah ditunjuk dengan Keputusan Menteri maka yang digunakan sebagai acuan
kawasan hutan adalah penunjukan kawasan hutan. Dengan ketentuan pasal ini,
menegaskan bahwa proses pengukuhan suatu kawasan hutan, seperti dalam kasus
permohonan uji materi pada Perkara Nomor 45/PUU-IX/2011), tetap merujuk kepada
penunjukan kawasan hutan berdasarkan Kepmentan Nomor 759 Thn 1982. Dalam
Batas menyelesaikan hak-hak pihak ketiga100 yang berada: (a) di sepanjang trayek
batas dikelurakan dari trayek batas, dan (b) di dalam kawasan hutan (enclave)
dikeluarkan dari kawasan hutan. Pasal 24 memberikan rincian mengenai bukti dan
pembuktian hak-hak pihak ketiga yang harus dan dikeluarkan dari kawasan hutan.
MK 45/2011 masih harus diikuti dengan langkah politik, administrasi dan yuridis
dari para pemangku kepentingan di bidang kehutanan. Pertama, harus dimulai dari
100
Dalam Pasal 1 angka (18) Permenhut 44/2012 disebutkan, Hak-hak pihak ketiga atau hak-
hak atas lahan/tanah adalah hak-hak yang dimiliki oleh orang perorangan atau badan hukum berupa
pemilikan atau penguasaan atas tanah yang diperoleh atau dimiliki berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
kemauan politik Pemerintah untuk melangkah dari proses penunjukan kawasan hutan
Selain Putusan MK 45/2011, terdapat dua putusan lain mengenai uji materi
dalam bagian akhir bab ini karena dua alasan. Alasan pertama, dua putusan tersebut
juga menyangkut aspek yang sama dengan pokok kajian dalam tesis ini, yaitu
berkaitan dengan kepastian hukum pemegang hak atas tanah di kawasan hutan.
Alasan kedua, dua putusan tersebut mewakili dua kategori pemegang hak atas tanah
1. Putusan MK 34/PUU-IX/2011
tanggal 16 Juli 2012, yang mengadili perkara konstitusi yang dimohonkan oleh
Maskur Anang bin Kemas Anang Muhamad, perorangan warga negara pemilik
pertanian menjadi hutan cadangan untuk perluasan Hutan Tanaman Industri (HTI).
Pasal 4 ayat (2) huruf b dan Pasal 3 UU Kehutanan. Pasal 4 ayat (2) huruf b
menyatakan, Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberi wewenang kepada pemerintah untuk (b) menetapkan status wilayah tertentu
sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan bukan sebagai kawasan hutan. Pasal 4
ayat (3) menyatakan, Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak
masyarakat hukum adat sepanjang masih ada dan diakui keberadaannya serta tidak
menyatakan Pasal 4 ayat (2) huruf b [dan dengan demikian juga ayat (3)] UU
khususnya Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4).
hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak atas tanah yang telah
pertentangan antara norma Pasal 4 ayat 2 huruf b UU Kehutanan dengan Pasal 28A,
Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Terhadap
harus juga memperhatikan hak-hak yang telah dilekatkan atas tanah (seperti hak
milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak-hak lainnya) selain hak
masyarakat hukum adat yang telah dimuat dalam UU Kehutanan. Terkait dengan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengingat
sepanjang tidak dimaknai, Penguasaan hutan oleh Negara tetap wajib melindungi,
masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan
nasional.
Putusan MK 34/2011 menyatakan tindakan pemerintah dalam melakukan
regulasi tentang penetapan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan merupakan
berkewajiban untuk melakukan penyeleseaian terlebih dahulu secara adil dengan para
bagi pemegang hak atas tanah untuk mendapatkan kepastian hukum mengenai hak-
haknya tersebut jika lokasinya berada di dalam kawasan hutan yang ditetapkan oleh
pemerintah. Dalam kasus Putusan MK 34/2011 ini penguatan kepastian hukum yang
dimaksud adalah bagi para pemegang hak perorangan di dalam kawasan hutan, yang
di dalam ketentuan Pasal 4 ayat (3) tidak dinyatakan secara eksplisit. Mahkamah
Konstitusi memberikan penguatan itu tidak dalam bentuk mengubah bunyi pasal,
karena hal itu bukan menjadi domain MK, melainkan dengan cara memberikan
2. Putusan MK 35/PUU-X/2012
sidang peleno Mahkamah Konstitusi tanggal 16 Mei 2013, atas perkara konstitusi
Hukum Adat Kasepuhan Cisitu selaku kesatuan masyarakat hukum adat. Pemohon
mengajukan permohoan uji materi beberapa pasal dalam UU Kehutanan, yaitu : Pasal
1 angka 6, Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat 1-4, Pasal 67 ayat 2 sepanjang kata negara
yang dianggap bertentangan dengan beberapa pasal di dalam UUD 1945 yaitu Pasal 1
ayat 3, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 33 ayat 3.
Dalam Pasal 1 angka (6) UU Kehutanan dinyatakan, Hutan adat adalah hutan negara
(garis bawah oleh penulis) yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
norma dalam UUD 1945. Oleh karena itu Pemohon memohon kepada Mahkamah
kata negara bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum
mengikat, sehingga Pasal 1 angka (6) berbunyi: Hutan adat adalah hutan yang
alasan antara lain sebagai berikut: (i) UU Kehutanan telah dijadikan sebagai alat oleh
negara untuk mengambil alih hak kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah
hutan adatnya untuk kemudian dijadikan sebagai hutan negara, dan selanjutnya atas
menggunakan hutan adat mereka; (ii) dengan memasukkan hutan adat sebagai hutan
masyarakat hukum adat atas wilayah adatnya; (iii) UU Kehutanan telah digunakan
untuk menggusur dan mengusir kesatuan masyarakat hukum adat dari kawasan hutan
adat yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat hukum adat;
(iv) semua tanah dan sumberdaya alam dari kawasan hutan di Indonesia dikuasai oleh
ketakutan dan merampas rasa kenyamanan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
Pasal 1 angka (6), dengan menyatakan kata negara dalam Pasal 1 angka (6) UU
Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, sehingga Pasal 1 angka (6) UU Kehutanan menjadi Hutan adat adalah
hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Defenisi baru ini
diharapkan praktek pengelolaan hutan adat benar-benar diakui, dihormati dan turut
dijaga oleh pemerintah, sehingga tidak ada lagi pencaplokan wilayah adat untuk
dijadikan sebagai kawasan hutan negara tanpa adanya persetujuan dari masyarakat
adat.102Karena itu, hutan adat adalah bagian dari hutan hak. Sementara itu, terkait
dengan pengakuan masyarakat hukum adat pada Pasal 67 ayat (2) UU Kehutanan,
Dikeluarkannya hutan adat dari status hutan negara, maka hak pengelolaan atas
wilayah hutan adat secara konstitusional sudah menjadi domain dari masyarakat adat
itu sendiri. Namun demikian, untuk mendapatkan kepastian hukum yang nyata
mengenai hak-hak masyarakat hukum adat atas hutan adatnya masih harus didahului
Untuk sampai ke tahap itu tentu tidak mudah, bukan hanya sebatas perjuangan
102
Gaung Aman, Majalah Edisi ke 49, September 2013, Hutan Adat Bukan Lagi hutan Negara,
hal.12