Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Kejang demam adalah kejang yang terkait dengan demam (suhu tubuh di
atas 380C) serta tidak didapatkan infeksi intrakranial ataupun kelainan lain di
otak. Berkisar 2%-5% anak di bawah 5 tahun pernah mengalami bangkitan
kejang demam. Lebih dari 90% penderita kejang demam terjadi pada anak
berusia di bawah 5 tahun. Terbanyak bangkitan kejang demam terjadi pada anak
berusia antara usia 6 bulan sampai dengan 22 bulan. Insiden bangkitan kejang
demam tertinggi terjadi pada usia 18 bulan. Di Amerika Serikat dan Eropa
prevalensi kejang demam berkisar 2-5%. Di Asia prevalensi kejang demam
meningkat dua kali lipat bila dibandingkan di Eropa dan di Amerika. Di Jepang
kejadian kejang demam berkisar 8,3%-9,9%. Di Indonesia belum ada data nasional.
Sekitar 80% diataranya adalah kejang demam simpleks. Kejang demam dikelompokkan
menjadi dua, yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks
Kejang demam merupakan salah satu kelainan saraf tersering pada anak.
Faktor-faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu : faktor demam,
usia, dan riwayat keluarga, dan riwayat prenatal (usia saat ibu hamil), riwayat
perinatal (asfiksia, usia kehamilan dan bayi berat lahir rendah).
Kebanyakan kejang umum memiliki prognosis yang baik, namun
bangkitan kejang akibat demam cukup mengkhawatirkan bagi orang tua pasien.
Karena sebagian besar orang tua tidak mengetahui dan sering kali panik jika
terjadi kejang akut pada anaknya. Sehingga, dibutuhkan edukasi yang baik akan
tatalaksana kejang demam bagi orang tua yang memiliki anak dibawah lima tahun
terutama pada anak yang pernah mengalami bangkitan kejang sebelumnya.

1
BAB II
STATUS PEDIATRIK

2.1 IDENTIFIKASI
Nama : An. AAZ
Umur : 2 Tahun 6 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Nama Ayah : Tn. T
Pekerjaan Ayah : Wiraswasta
Nama Ibu : Ny. W
Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Alamat : Muara Enim
MRS : 07 Maret 2017

2.2 ANAMNESIS
(Alloanamnesis dilakukan tanggal 07 Maret 2017, diberikan oleh ibu pasien)
Keluhan utama : Kejang
Keluhan tambahan : Demam
Riwayat Perjalanan Penyakit
Dua hari SMRS anak batuk (+) pilek (+), batuk tidak berdahak, dan tidak
disertai keluhan sesak napas atau napas cepat, demam (+) tidak terlalu tinggi, terus
menerus, namun suhu tidak diukur oleh ibu, ruam di kulit (-), muntah (-), nafsu
makan menurun (+), BAB dan BAK tidak ada keluhan. Anak hanya di kompres air
hangat, belum dibawa berobat.
Enam jam SMRS anak demam tinggi (+), mendadak, terus menerus, anak di
kompres air hangat. Tiga jam SMRS anak kejang pada saat demam tinggi, anak
mengalami kejang dengan mata mendelik ke atas, kelojotan seluruh tubuh
sebanyak 1 x, kejang berlangsung selama 5 menit, setelah kejang anak menangis

2
dan lemas lalu mengatuk, sesak napas (-), muntah (-) batuk (+), pilek (+), bintik
kemerahan di kulit (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan, lalu anak dibawa ke IGD
RSUD Rabain Muara Enim.

Riwayat Penyakit Dahulu


o Riwayat kejang sebelumnya disangkal
o Riwayat trauma disangkal

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


o Riwayat kejang di dalam keluarga ada ( ibu pasien )

Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Masa kehamilan : Aterm
Penyulit kehamilan : (-)
Partus : Pervaginam
Tempat : Klinik
Ditolong oleh : Bidan
Tanggal : 10 Agustus 2014
Berat badan : 2900 gram
Panjang badan : Ibu lupa
Lingkar kepala : Ibu lupa

Riwayat Nutrisi
1. Usia 0-6 bulan : ASI, frekuensi minum ASI tiap kali bayi menangis dan
tampak kehausan, sehari biasanya kurang lebih 8 kali dan lama menyusui 10
menit, bergantian kiri kanan.
2. Usia 6-8 bulan : bubur susu 2-3 kali sehari satu mangkok kecil, dengan
diselingi dengan ASI jika bayi lapar. Buah pisang/pepaya sekali sehari satu
potong (siang hari).

3
3. Usia 8-12 bulan : nasi tim 3 kali sehari satu mangkok kecil dengan sayur
hijau/wortel, lauk ikan /tempe, dengan diselingi dengan ASI jika bayi masih
lapar. Buah pepaya/pisang sehari 2 potong.
4. Usia 1 tahun - sekarang : diperkenalkan dengan makanan dewasa dengan
sayur bervariasi dan lauk ikan, /tempe, porsi menyesuaikan, 3 kali sehari. ASI
kadang-kadang. Buah pisang/papaya jumlah menyesuaikan.
Kesan : kualitas dan kuantitas cukup

Riwayat Imunisasi
Vaksin I II III IV V
BCG Skar (+)
DPT
POLIO
HEPATITIS B
HiB
CAMPAK
Tidak ada KMS atau buku catatan imunisasi penderita. Menurut Ibu, pasien
mendapat semua imunisasi yang diwajibkan pemerintah yaitu imunisasi BCG
(skar +), imunisasi DPT, Hepatitis B, HiB, Polio dan Campak.
Kesan: Imunisasi dasar lengkap.

Riwayat Perkembangan
Gigi Pertama : 7 bulan
Berbalik : 4 bulan
Tengkurap : 5 bulan
Merangkak : 6 bulan
Duduk : 8 bulan
Berdiri : 11 bulan
Berjalan : 12 bulan
Berbicara : 13 bulan
Kesan : Perkembangan anak sesuai usia.

4
2.3 PEMERIKSAAN FISIK
(Dilakukan tanggal 7 Maret 2017)

Pemeriksaan Fisik Umum


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : E4M6V5
Nadi : 98 kali/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 24 kali/menit
Suhu : 38,1oC
Berat badan : 9,5 kg
Tinggi badan : 84 cm
BB/U : di bawah -2 SD kesan: Gizi Kurang
TB(PB)/U : 0 (-2) SD kesan: normal
BB/TB(PB) : -1 (-2) SD kesan : status gizi baik

Keadaan Spesifik
Kepala
Mata : cekung (-), konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks
cahaya (+/+), pupil bulat, isokor, 3 mm/3 mm
Hidung : sekret tidak ada, napas cuping hidung tidak ada
Mulut : Sianosis sirkumoral tidak ada
Tenggorok : Dinding faring posterior hiperemis, T1-T1 hiperemis
Leher : perbesaran KGB tidak ada, JVP tidak meningkat
Thorax
Paru-paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris, retraksi (-)
Palpasi : Strem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Jantung
Inspeksi : Pulsasi, iktus cordis, dan voussour cardiaque tidak terlihat

5
Palpasi : Thrill tidak teraba
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : HR = 98 kali/menit, irama reguler, murmur dan gallop tidak ada,
bunyi jantung I dan II normal
Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Lemas, hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit normal
Perkusi : Timpani
Lipat paha dan genitalia
Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada
Ekstremitas
Superior : Akral dingin (-), pucat (-), sianosis (-), edema (-), petechie (-), CRT <2s
Inferior : Akral dingin (-), pucat (-), sianosis (-), edema (-), petechie (-)

Status neurologis
Pemeriksaan Superior Inferior
motorik Kanan Kiri Kanan Kiri
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - - Tidak ada Tidak ada
Refleks fisiologi Normal Normal Normal Normal
Refleks patologi Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Tanda rangsang meningeal tidak ada

Sensorik : uji sentuhan (+), uji rasa nyeri (+).


Otonom : disfungsi sfingter urine dan retensio alvi tidak ada
Kesan: pemeriksaan neurologis dalam batas normal.

6
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
(Pemeriksaan Laboratorium, 7 Maret 2017 Pukul 15:03 di RSUD Rabain)
Hb : 10,5 g/dl
Eritrosit : 4,35 x 106/mm
Leukosit : 15,23 x 10/mm
Ht : 31,8%
Trombosit : 517 x 103/mm3
Hitung Jenis : 0/0/23/65/11
BSS : 147 gr/dl
Widal tes : Negatif
Malaria : Negatif

2.5 RESUME
Dua hari SMRS anak batuk (+) pilek (+), batuk tidak berdahak, dan tidak
disertai keluhan sesak napas atau napas cepat, demam (+) tidak terlalu tinggi, terus
menerus, namun suhu tidak diukur oleh ibu, anak hanya dikompres air hangat. Enam
jam SMRS anak demam tinggi (+), mendadak, terus menerus,. Tiga jam SMRS anak
kejang pada saat demam tinggi, anak mengalami kejang dengan mata mendelik ke
atas, kelojotan seluruh tubuh sebanyak 1 x, kejang berlangsung selama 5 menit,
setelah kejang anak menangis dan lemas, sesak napas (-), muntah (-) batuk (+), pilek
(+), bintik kemerahan di kulit (-), BAB dan BAK tidak ada keluhan, lalu anak dibawa
ke IGD RSUD Rabain Muara Enim. Riwayat imunisasi dasar lengkap sesuai umur.
Riwayat perkembangan dan pertumbuhan baik. Riwayat pemeliharaan prenatal baik.
Riwayat kehamilan dan kelahiran baik. Pada pemeriksaan fisik diperoleh keadaan
umum sedang, kompos mentis dan gizi kesan baik. Pemeriksaan tenggorok didapat
faring hiperemis. Tanda vital: N: 98x/menit, RR: 24x/menit, t= 38,1 oC, pemeriksaan
neurologi dalam batas normal. Status gizi secara antropometri: gizi baik. Pemeriksaan
laboratorium Hb 10,5 g/dl, Eritrosit 4,35x 106/mm, Leukosit 15,23 x 10/mm, Ht
31,8%, Trombosit 517 x 103/mm3, Hitung Jenis 0/0/23/65/11.

7
2.6 DAFTAR MASALAH
Kejang
Demam
Batuk pilek

2.7 DIAGNOSIS BANDING


Kejang demam sederhana + faringitis viral
Kejang demam sederhana + infeksi intrakranial

2.8 DIAGNOSIS KERJA


Kejang demam sederhana + faringitis viral

2.9 PENATALAKSANAAN
Observasi tanda vital
Observasi kejang
IVFD KAEN 1 B gtt XX
Paracetamol sirup 3 x 1 cth
Stesolid (jika T 38,50C)
Ambroxol 2 x cth

2.10 PROGOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam

8
2.11 FOLLOW UP
Tanggal 8 Maret 2017 (pukul 07:00)
S : demam (+) tidak tinggi, kejang (-)
O : Sensorium : compos mentis
N : 94 x/menit (isi/tegangan cukup)
RR : 22 x/menit
T : 37,6oC
Kepala : edema palpebra (-/-), napas cuping hidung (-), konjungtiva
anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), dinding faring posterior
hiperemis (+)
Thorax : simetris, retraksi dada (-)
Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-).
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) normal
Ekstremitas : akral hangat (+), CRT <2, petechie (-)
A : Kejang demam sederhana + faringitis viral
P :
- IVFD KAEN 1 B gtt X
- Paracetamol sirup 3 x 1 cth
- Stesolid (jika T 38,50C)
- Ambroxol 2 x cth

Tanggal 9 Maret 2017 (pukul 07:00)


S : demam (-) kejang (-)
O : Sensorium : compos mentis
N : 90 x/menit (isi/tegangan cukup)
RR : 22 x/menit
T : 36,6oC
Kepala : edema palpebra (-/-), napas cuping hidung (-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), dinding faring
posterior hiperemis (+)

9
Thorax : simetris, retraksi dada (-)
Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-).
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) normal
Ekstremitas : akral hangat (+), CRT <2
A : Kejang demam sederhana + faringitis viral
P :
- IVFD KAEN 1 B gtt X
- Paracetamol sirup 3 x 1 cth
- Stesolid (jika T 38,50C)
- Ambroxol 2 x cth

Tanggal 10 Maret 2017 (pukul 07:00)


S : demam (-) kejang (-)
O : Sensorium : compos mentis
N : 92 x/menit (isi/tegangan cukup)
RR : 22 x/menit
T : 36,5oC
Kepala : edema palpebra (-/-), napas cuping hidung (-),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-), dinding faring
posterior hiperemis (+)
Thorax : simetris, retraksi dada (-)
Cor : ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba,
BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+/+) normal, rhonki (-/-), wheezing (-/-).
Abdomen : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, BU (+) normal
Ekstremitas : akral hangat (+), CRT <2
A : Kejang demam sederhana + faringitis viral
P : - Paracetamol sirup 3 x 1 cth (k/p)
- Ambroxol 2 x cth
- Rencana pulang

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Kejang Demam


3.1.1 Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur
6 bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 380
C, dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses
intracranial.

3.1.2 Epidemiologi
Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% di Amerika Serikat,
Amerika Selatan dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira-kira
20% kasus merupakan kejang demam kompleks. Umumnya kejang demam
timbul pada tahun kedua kehidupan (17-23 bulan). Kejang demam sedikit lebih
sering pada laki-laki. Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan
samapi 5 tahun.

3.1.3 Etiologi
Etiologi dari kejang demam masih tidak diketahui. Penyakit yang
paling sering menimbulkan kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan
atas, otitis media akut, pneumonia, gastroenteritis akut, bronchitis, dan infeksi
saluran kemih dan terjadi disaat suhu tubuh naik dan bukan pada saat
setelah terjadinya kenaikan suhu tubuh. Beberapa faktor yang berperan
menyebabkan kejang demam antara lain adalah demam, demam setelah
imunisasi DPT dan morbili, efek toksin dari mikroorganisme, respon alergik
atau keadaan imun yang abnormal akibat infeksi, perubahan keseimbangan
cairan dan elektrolit.

11
3.1.4 Klasifikasi
a. Kejang Demam Sederhana ( Simple Febrile Seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit),
bentuk kejang umum (tonik dan atau klonik), serta tidak berulang dalam
waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh
kejang demam. Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung
kurang dari 5 menit dan berhenti sendiri.
b. Kejang Demam Kompleks (Complex Febrile Seizure)
Kejang demam dengan ciri berikut ini :
1.) Kejang lama > 15 menit
Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit
atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang
anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam.
2.) Kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahului kejang
parsial.
3.) Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, dan di
antara 2 bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada
16% anak yang mengalami kejang demam.

3.1.5 Patofisiologi
Terjadinya infeksi di ekstrakranial seperti otitis media akut, tonsillitis
dan bronchitis dapat menyebabkan bakteri yang bersifat toksik tumbuh
dengan cepat, toksik yang dihasilkan dapat menyebar ke seluruh tubuh
melalui hematogen dan limfogen. Pada keadaan ini tubuh mengalami
inflamasi sistemik. Dan hipotalamus akan merespon dengan menaikkan
pengaturan suhu tubuh sebagai tanda tubuh dalam bahaya secara sistemik.
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak
diperlukan suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk
metabolisme otak yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah
oksidasi dimana oksigen disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan

12
diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak
adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2 dan air.
Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam
adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal
membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan
sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion
Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan
sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan diluar
sel, maka terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran sel
dari sel neuron.
Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi
dan bantuan enzim Na-KATPase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya :
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
b. Rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis, kimiawi
atau aliran listrik dari sekitarnya.
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.

Disaat tubuh mengalami peningkatan suhu 1C secara fisiologi tubuh


akan menaikkan metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen
sebesar 20%. Pada seorang anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai
65% dari seluruh tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya
15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat
terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi,
dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini
demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke
membran sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut
neurotransmitter dan terjadilah kejang.

13
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung
tinggi rendahnya ambang kejang seeorang anak menderita kejang pada
kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang rendah,
kejang telah terjadi pada suhu 38C sedangkan pada anak dengan ambang
kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40C atau lebih. Dari
kenyataan inilah dapat disimpulkan bahwa terulangnya kejang demam lebih
sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam
penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita
kejang.

3.1.6 Manifestasi Klinis


Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan
bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang
disebabkan oleh infeksi diluar susunan saraf pusat, misalnya tonsilitis, otitis
media akut, bronkitis, furunkulosis dan lain-lain. Serangan kejang biasanya
terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan
sifat bangkitan dapat berbentuk tonik klonik, tonik, klonik, fokal atau
akinetik. Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang
biasanya berlangsung selama 10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan
relaksasi otot yang kuat dan berirama, biasanya berlangsung selama 1-2
menit), lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya terkatup rapat,
inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya),
gangguan pernafasan, apneu (henti nafas), dan kulitnya kebiruan.
Kejang umumnya berhenti sendiri. Begitu kejang berhenti, anak tidak
memberi reaksi apapun untuk sejenak, tetapi beberapa detik/menit kemudian
anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa kelainan saraf. Kejang demam
yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan
gejala sisa. Tetapi kejang yang berlangsung lama (> 15 menit) sangat
berbahaya dan dapat menimbulkan kerusakan permanen dari otak.

14
3.1.7 Tatalaksana
a. Anamnesis
1.) Adanya kejang , jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu sebelum/saat
kejang, frekuensi, interval, pasca kejang, penyebab demam diluar
susunan saraf pusat.
2.) Riwayat perkembangan, kejang demam dalam keluarga, epilepsi dalam
keluarga.
3.) Singkirkan penyebab kejang lainnya.

b. Pemeriksaan fisik : kesadaran, suhu tubuh, tanda rangsal meningeal, tanda


peningkatan tekanan intrakranial, tanda infeksi di luar SSP.

c. Pemeriksaan Penunjang
1.) Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi
disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan
misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah.

2). Pemeriksaan pungsi lumbal


Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan
atau menyingkirkan kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti
terbaru, saat ini pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin
pada anak berusia < 12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana
dengan keadaan umum baik. Indikasi pungsi lumbal:
a. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
b. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan klinis.

15
c. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang
sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik
tersebut dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis.

3). Elektroensefalografi (EEG)


Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, kecuali
apabila bangkitan bersifat fokal. EEG hanya dilakukan pada kejang fokal
untuk menentukan adanya fokus kejang di otak yang membutuhkan
evaluasi lebih lanjut. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat
memprediksi berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan
kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak
direkomendasikan. Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada
keadaan kejang demam tidak khas misalnya kejang demam kompleks
pada anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal.

4.) Pencitraan
Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin
dilakukan pada anak dengan kejang demam sederhana (level of evidence
2, derajat rekomendasi B). Pemeriksaan tersebut dilakukan bila terdapat
indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya
hemiparesis atau paresis nervus kranialis.

3.1.8 Komplikasi
Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada
waktu pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam
keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah
diazepam intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-
lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis
maksimal 10 mg.

16
Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma kejang
pada umumnya. Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
(prehospital)adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75
mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari
12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg. Bila setelah pemberian
diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan
dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian
diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit
dapat diberikan diazepam intravena. Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme
tatalaksana status epileptikus. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat
selanjutnya tergantung dari indikasi terapi antikonvulsan profilaksis.

a. Pemberian obat pada saat demam


Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi
risiko terjadinya kejang demam (level of evidence 1, derajat
rekomendasi A). Meskipun demikian, dokter neurologi anak di
Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis
parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6
jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.
Antikonvulsan
1. Pemberian obat antikonvulsan intermiten
Antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan yang
diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis intermiten diberikan
pada kejang demam dengan salah satu faktor risiko:
- Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
- Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
- Usia.

Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3-0,5


mg/kg/kali per oral atau rektal 0,5 mg/kg/kali sebanyak 3 kali sehari,
dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam

17
intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu
diinformasikan pada orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan
dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.

2. Pemberian obat antikonvulsan rumat


Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak
berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping
yang tidak diinginkan, maka pengobatan rumat hanya diberikan
terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek (level of evidence
3, derajat rekomendasi D). Indikasi pengobatan rumat:
- Kejang fokal
- Kejang lama >15 menit
- Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah
kejang, misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.

Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat adalah obat


fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang. Pemakaian fenobarbital
setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan
belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam
valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang
dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi
hati.

Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam


2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.
Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan
rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun
dilakukan pada saat anak tidak sedang demam.

18
ALGORITME TATALAKSANA KEJANG

19
3.1.1 Prognosis
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan
sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan
mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya
normal. Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang
berulang, baik umum maupun fokal. Suatu studi melaporkan terdapat gangguan
recognition memory pada anak yang mengalami kejang lama. Hal tersebut
menegaskan pentingnya terminasi kejang demam yang berpotensi menjadi
kejang lama.
Kemungkinan berulangnya kejang demam. Kejang demam akan
berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya kejang
demam adalah: 1. Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga 2. Usia
kurang dari 12 bulan 3. Suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius saat kejang
4. Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya kejang.
5. Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks. Bila
seluruh faktor tersebut di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam
adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan
berulangnya kejang demam hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang
demam paling besar pada tahun pertama.
Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari adalah: 1. Terdapat
kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam
pertama 2. Kejang demam kompleks 3. Riwayat epilepsi pada orangtua atau
saudara kandung 4. Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau
lebih dalam satu tahun. Masing-masing faktor risiko meningkatkan
kemungkinan kejadian epilepsi sampai 4-6%, kombinasi dari faktor risiko
tersebut akan meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%.
Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat
rumatan pada kejang demam. Kematian Kematian langsung karena kejang
demam tidak pernah dilaporkan. Angka kematian pada kelompok anak yang
mengalami kejang demam sederhana dengan perkembangan normal
dilaporkan sama dengan populasi umum.

20
3.2 Faringitis Viral
3.2.1 Definisi
Faringitis merupakan suatu kondisi dimana terjadi
peradangan dinding faring yang dapat disebabkan oleh virus (40-
60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, toksin dan lain-lain.
Jaringan yang mungkin terlibat antara lain nasofaring,orofaring,
hipofaring, tonsil dan adenoid.

3.2.2 Etiologi
Banyak mikroorganisma yang dapat menyebabkan faringitis
yaitu, virus (40-60%) bakteri (5-40%). Respiratory viruses merupakan
penyebab faringitis yang paling banyak teridentifikasi dengan
Rhinovirus (20%) dan coronaviruses (5%). Selain itu juga ada
Influenza virus, Parainfluenza virus, adenovirus, Herpes simplex virus
type 1 & 2, Coxsackie virus A, Cytomegalovirus dan Epstein-Barr
virus (EBV). Selain itu infeksi HIV juga dapat menyebabkan terjadinya
faringitis.
Faringitis yang disebabkan oleh bakteri biasanya oleh grup S.
pyogenes dengan 5-15% penyebab faringitis pada orang dewasa.
Group A streptococcus merupakan penyebab faringitis yang utama
pada anak-anak berusia 5-15 tahun, ini jarang ditemukan pada anak
berusia < 3tahun. Bakteri penyebab faringitis yang lainnya (<1%)
antara lain Neisseria gonorrhoeae, Corynebacterium diptheriae,
Corynebacterium ulcerans, Yersinia eneterolitica dan Treponema
pallidum, Mycobacterium tuberculosis.
Faringitis dapat menular melalui droplet infection dari
orang yang menderita faringitis. Faktor resiko penyebab faringitis
yaitu udara yang dingin, turunnya daya tahan tubuh, konsumsi
makanan yang kurang gizi, konsumsi alkohol yang berlebihan.

21
3.2.3 Gejala Klinis
Rinovirus menimbulkan gejala rhinitis dan beberapa hari
kemudian akan menimbulkan faringitis. Demam disertai rinorea,
mual, nyeri tenggorokan dan sulit menelan. Pada pemeriksaan
tampak faring dan tonsil hiperemis. Virus influenza, Coxsachievirus,
dan cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat. Coxsachievirus
dapat menimbulkan lesi vesicular di orofaring dan lesi kulit
berupa maculopapular rash.

Gambar 1. Faringitis Virus

Selain menimbulkan gejala faringitis, adenovirus juga


menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada anak. Epstein-Barr
virus (EBV) menyebabkan faringitis yang disertai produksi eksudat
pada faring yang banyak. Terdapat pembesaran kelenjar limfa di
seluruh tubuh terutama retroservikal dan hepatosplenomegali.
Faringitis yang disebabkan HIV menimbulkan keluhan nyeri
tenggorok, nyeri menelan, mual dan demam. Pada pemeriksaan
tampak faring hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut di leher
dan pasien tampak lemah.

3.2.4 Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis faringitis dapat dimulai dari
anamnesa yang cermat dan dilakukan pemeriksaan suhu tubuh dan
evaluasi tenggorokan, sinus, telinga, hidung dan leher. Pada faringitis dapat
dijumpai faring yang hiperemis, eksudat, tonsil yang membesar dan
hiperemis, pembesaran kelenjar getah bening di leher.

22
3.2.5 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu dalam
penegakkan diagnose antara lain yaitu :
- pemeriksaan darah lengkap
- GABHS rapid antigen detection test bila dicurigai faringitis
akibat infeksi bakteri streptococcus group A
- Kultur tenggorokan

3.2.6 Tatalaksana
Pada faringitis virus pasien dianjurkan untuk istirahat, minum
yang cukup dan berkumur dengan air yang hangat. Analgetika
diberikan jika perlu. Antivirus metisoprinol (isoprenosine) diberikan
pada infeksi herpes simpleks dengan dosis 60-100mg/kgBB dibagi
dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang dewasa dan pada anak
< 5 tahun diberikan 50mg/kgBb dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari.

3.2.7 Komplikasi
Komplikasi dari faringitis dapat terbagi dua, yaitu komplikasi
lokal dan general. Pada komplikasi lokal dapat terjadi penyebaran
langsung ke laring di bagian inferior dimana terjadinya edema glotis
sehingga bisa menyebabkan obstruksi pernafasan. Pada komplikasi
general, penyakit ini dapat menyebabkan demam, dan dapat terjadi
kejang, toksemia, bakteremia, dan septikemia.

3.2.8 Prognosis
Umumnya prognosis pasien dengan faringitis adalah baik.
Pasien dengan faringitis biasanya sembuh dalam waktu 1-2 minggu.

23
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien An. AAZ, Perempuan, usia 2 tahun 6 bulan datang dengan


keluhan utama kejang, ibu pasien juga mengatakan anaknya demam tinggi.
Dua hari SMRS anak batuk (+) pilek (+), batuk tidak berdahak, dan tidak
disertai keluhan sesak napas atau napas cepat, demam (+) tidak terlalu
tinggi, terus menerus, namun suhu tidak diukur oleh ibu. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan faring posterior hiperemis, Tonsil T1-T1
hiperemis, dan dendritus (-). Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik
didapatkan pasien mengalami faringitis karena ditemukan faring
hiperemis disertai dengan tonsil yang kemerahan. Pada sebagian besar
kasus, faringitis disebabkan oleh virus (40-60%) terutama pada anak-anak
berusia kurang dari 15 tahun.
Enam jam SMRS anak demam tinggi (+), mendadak, terus menerus,
anak di kompres air hangat. Tiga jam SMRS anak kejang pada saat demam
tinggi, anak mengalami kejang dengan mata mendelik ke atas, kelojotan
seluruh tubuh sebanyak 1 x, kejang berlangsung selama 5 menit, setelah
kejang anak menangis dan lemas. Pada saat demam tinggi, anak
mengalami kejang dengan kaku seluruh tubuh, mata mendelik ke atas,
kelojotan seluruh tubuh sebanyak 1 x, kejang berlangsung selama 3 menit,
setelah kejang anak menangis. Kejang demam adalah kejang yang
diakibatkan oleh demam atau peningkatan suhu rektal lebih dari 38,0oC
yang disebabkan oleh proses ekstrakranial. Kemungkinan pasien ini
mengalami kejang demam akibat faringitis.
Menurut klasifikasi kejang demam IDAI, kejang demam terbagi
menjadi 2 jenis, yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam
kompleks. Kejang demam sederhana memiliki kriteria sebagai berikut:
Kejang berlangsung kurang dari 15 menit
Kejang umum tonik klonik tanpa ada gejala fokal
Kejang <2 kali dalam 24 jam

24
Dari anamnesis, pasien mengalami satu kali kejang, kejang umum
tonik klonik, tidak berulang kurang dari 24 jam, lama kejang sekitar 5
menit, setelah kejang pasien menangis dan lemas, kejang demam yang
dialami pasien adalah kejang demam sederhana disertai faringitis viral.
Pasien ditatalaksana awal yakni pemasangan IVFD KAEN 1B
dengan gtt XX, diberikan parasetamol sirup 1 sendok teh. Pada pasien
tidak diberikan tatalaksana kejang akut ketika sampai di IGD RSUD
Rabain karena pasien datang dalam keadaan tidak kejang lagi.
Pasien diberikan parasetamol dengan dosis 10-15mg/KgBB dalam
bentuk parasetamol sirup 1 sendok teh (1 sendok teh = 5ml = 120 mg).
Pada pasien ini diberikan terapi kejang intermitten karena terdapat
faktor risiko berulangnya kejang demam. Faktor risiko berulangnya kejang
demam adalah: riwayat kejang dalam keluarga, usia <12 bulan, suhu tubuh
yang rendah saat kejang, dan cepat kejang setelah demam. Pada pasien
tidak diberikan tatalaksana medikamentosa faringitis. Dikarenakan
kemungkinan penyebabnya adalah virus, sehingga talalaksana cukup tirah
baring dan pemberian cairan yang cukup.

25
DAFTAR PUSTAKA

Arif Mansjoer., d.k.k,. 2000. Kejang Demam di Kapita Selekta Kedokteran.


Media Aesculapius FKUI. Jakarta.
Bailey BJ, Johnson JT. 2006. American Academy of Otolaryngology
Head and Neck Surgery. Lippincott Williams & Wilkins,
Fourth Edition, Volume one, United States of America. p601-13.
Behrem RE, Kliegman RM,. 1992. Nelson Texbook of Pediatrics. WB
Sauders.Philadelpia.
Hardiono D. Pusponegoro, dkk,.2005. Kejang Demam di Standar Pelayanan
Medis Kesehatan Anak. Badan penerbit IDAI. Jakarta
Hardiono D. Pusponegoro,dkk. 2015. Konsensus Penatalaksanaan Kejang
Demam. Badan Penerbit IDAI 2016. Jakarta
Rusmarjono, Soepardi EA. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
dan Tenggorokan Edisi Ketujuh, Cetakan pertama. Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Staf Pengajar IKA FKUI. 1985. Kejang Demam di Ilmu Kesehatan Anak 2.
FK UI. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai