Anda di halaman 1dari 37

PRESENTASI KASUS

EFUSI PLEURA SUSPEK ET CAUSA TB PARU

Oleh:

Zata Yuda Amaniko


1113103000047

Pembimbing:

dr. Ratih Pahlesia, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK PULMONOLOGI


RSUP FATMAWATI
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN DAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit menular yang disoroti oleh WHO.
Menurut data WHO tahun 2016, Indonesia merupakan urutan kedua negara dengan
kasus tuberkulosis terbanyak di dunia. Keadaan saat ini merupakan perburukan dari
data sebelumnya yaitu tahun 2010 yang menyatakan bahwa Indonesia menduduki
peringkat kelima dengan jumlah ppenderita tuberkulosis terbanyak dengan jumlah
prevalensi berjumlah 660.000 kasus. Estimasi insiden berjumlah 430.000 kasus
petahunnya. Kematian karena tuberkulosis diperkirakan 61.000 kematian per
tahunnya.

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terjadi akumulasi cairan yang berlebih di
dalam rongga pleura, jika kondisi ini dibiarkan maka akan mengancam jiwa penderitanya.
Akumulasi ini dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme termasuk peningkatan
permeabilitas membran pleura, peningkatan tekanan kapiler paru, penurunan tekanan negatif
intrapleural, penurunan tekanan onkotik, dan terhambatnya aliran limfatik (Maskell dan
Burland, 2003).

Rongga pleura dalam keadaan normal berisi sekitar 10 20 ml cairan yang berfungsi
sebagai pelicin agar paru dapat bergerak dengan leluasa saat bernapas. Akumulasi cairan
melebihi volume normal dan menimbulkan gangguan jika cairan yang diproduksi oleh pleura
parietal dan viseral tidak mampu diserap oleh pembuluh limfe dan pembuluh darah
mikropleura viseral atau sebaliknya yaitu apabila produksi cairan melebihi kemampuan
penyerapan.

Menurut WHO jumlah kasus efusi pleura di seluruh dunia cukup tinggi, menduduki
urutan ketiga setelah kanker paru, sekitar 10-15 juta dengan 100-250 ribu kematian tiap
tahunnya. Tingkat kegawatan oleh efusi pleura ditentukan oleh jumlah cairannya, kecepatan
pembentukan cairan, dan tingkat penekanan paru. Berdasarkan data yang dilaporkan
Departemen Kesehatan tahun 2006 menyebutkan di Indonesia kasus efusi pleura 2,7% dari
penyakit infeksi saluran napas dengan Case Fatality Rate (CFR) 1,
Tuberkulosis paru (Tb paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama menyerang
parenkim paru akibat infeksi dari Mycobacterium tuberculosis. Tb paru ini bersifat menahun
dan secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan.
Tb paru dapat menular melalui udara, waktu seseorang dengan Tb aktif pada saat batuk,
bersin, ataupun bicara.

Data WHO pada tahun 2013, diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012
dimana 1,1 juta orang (13%) diantaranya adalah pasien TB dengan HIV positif. Sekitar 75%
dari pasien tersebut berada di wilayah Afrika. Di indonesia prevalensi TB tertinggi ke-3
setelah China dan India. Diperkirakan terdapat 250.000 kasus baru TB dan sekitar 140.000
kematian akibat TB setiap tahunnya. Penyebab utama meningkatnya beban masalah TB
antara lain akibat masih tingginya tingkat kemiskinan di negera berkembang, kegagalan
program TB, meningkatnya jumlah penduduk, dan tinggiinya penderita HIV.
BAB II

ILUSTRASI PASIEN

1. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. Yusran Rasyid

Alamat : Kp gunung selatan

Jenis kelamin : Laki-laki

TTL : Jakarta, 24 November 1997

Usia : 19 tahun

Pekerjaan : Pegawai Swasta

Agama : Islam

Pendidikan terkahir : Tamat SLTA

No. Rekam Medik : 01521856

2. ANAMNESIS PASIEN
Keluhan utama: Pasien mengeluh sesak nafas sejak 5 hari sebelum masuk IGD
RSUP Fatmawati.
Riwayat penyakit sekarang: Pasien masih mengeluh sesak nafas. Selain itu
pasien juga mengeluh batuk berdahak berwarna kehijaun.Sesak dirasakan
semakin memberat sejak 5 hari sebelum masuk IGD yang di sertai oleh demam
tinggi.Pasien mengeluhkan perut nya yng sering perih dan terasa tidak enak.
Keringat malam (+), berat badan dirasakan turun, lemas (+), pusing (+), mual
(+), muntah (+), nafsu makan berkurang BAK & BAB lancar.
Riwayat penyakit dahulu: Riwayat penyakit TB (-), konsumsi OAT(-)
penyakit DM (-), Penyakit liver (-), Hipertensi (-), Asma (-), Alergi obat (-),
Alergi makanan (-).
Riwayat penyakit di keluarga: Riwayat keluarga sakit TB (-), Hipertensi (-),
DM (-), Penyakit paru (-).
Riwayat aktivitas dan sosial: Pasien beraktifitas sehari-hari sebagai office boy,
pasien seorang perokok aktif sejak usia 13 tahun hingga saat ini, merokok
kuranglebih satu hari 1 bungkus rokok.
Indeks Brinkman : 12 X 7 = 84 -> Perokok Ringan

3. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
BB & TB : Berat badan = 38 kg, Tinggi badan= 164cm
TTV : TD=110/80 mmHg, FN= 82 x/menit, FP= 24
x/menit, Suhu= 360 celsius.

PEMERIKSAAN FISIK ORGAN:

Kepala : Normocephal, rambut berwarna hitam

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil


isokhor, RCL (+/+), RCTL (+/+)

Hidung : Deviasi septum (-), sekret (-)

Gigi dan Mulut : Karies gigi (-), lidah kotor (-), stomatitis (-/-),
sianosis (-)

Telinga : Normotia (+/+), nyeri tekan tragus (-/-), sekret (-)

Tenggorok : Faring hiperemis (-/-), post nasal drip (-), tonsil


T1/T1

Leher : Pembesaran KGB (-/-)


Paru :

Inspeksi dada Kanan Kiri


Depan Dada simetris saat statis dan dinamis
Barrel chest (-)
Belakang Dada simetris saat statis dan dinamis
Barrel chest (-)
Palpasi dada Kanan Kiri
Depan
Belakang Fremitus menurunl Fremitus normal
Perkusi dada Kanan Kiri
Depan Redup Sonor
Belakang Redup Sonor
Auskultasi paru Kanan Kiri
Depan Vesikuler, Vesikuler
wheezing (-), rhonki(+) wheezing (-), rhonki(+),
Belakang Vesikuler, Vesikuler
wheezing (-), rhonki(+) wheezing (-), rhonki(+)

Jantung :

Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis di sela iga V di sebelah medial midclavicula kiri.

Perkusi :

Batas kanan jantung sela iga IV linea sternalis dextra

Batas kiri jantung sela iga V, 1 cm medial linea midklavikula sinistra

Batas pinggang jantung sela iga III, linea parasternalis sinistra


Auskultasi : BJ I dan II normal regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :

Inspeksi : Normal, tidak buncit, simetris, petechie(-).

Palpasi : Supel, turgor baik , nyeri tekan epigastric (+), Hati dan limpa
tidak teraba membesar

Perkusi : Timpani, shifting dullness (-)

Auskultasi : Bising usus 16 x/menit, (+) normal

Genitalia : Tidak ada kelainan

Ektremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik

4. PEMERIKSAAN PENUNJANG
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN
29 Juni 2017
Golongan darah B
Rhesus +
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13,0 g/dL 13,2-17,3 g/dL
Hematokrit 43 % 33-45 %
Leukosit 13,8 ribu/ul 5-10 ribu/ul
Trombosit 304 ribu /ul 150-440 ribu/ul
Eritrosit 5,59 juta /ul 4,40-5,90 juta /ul
VER 76,5 fl 80-100 fl
HER 23,3 pg 26-34 pg
KHER 30,4 g/dl 32-36 juta /ul
RDW 16,9 % 11,5-14,5 %

KIMIA KLINIK
FUNGSI HATI
SGOT 55 U/I 0-34 U/I
SGPT 45 U/I 0-40 U/I
FUNGSI GINJAL
Ureum darah 21 mg/dl 20-40 mg/dl
Kreatinin darah 0,6 mg/dl 0,6-1,5 mg/dl
GULA DARAH
Gula darah sewaktu 76 mg/dl 70-140 mg/dl
ANALISA GAS DARAH
pH 7,462 7,37-7,44
Pco2 24,2mmHg 35-45 mmHg
Po2 67,5 mmHg 83-108 mmHg
BP 758 mmHg -
HCO3 16,9 mmol/L 21-28 mmHg
Saturasi O2 94,8% 95-99 %
BE (Base Excess) -4,8 mmol/L -2,5 - 2,5 %
FUNGSI HATI
30 Juni 2017
Albumin 2,70 g/dl 3,4-4,8 mg/dl

PEMERIKSAAN RAPIDTEST ANTI HIV

Hasil : NON REAKTIF


PEMERIKSAAN FOTO THORAX
TANGGAL PEMERIKSAAN HASIL PEMERIKSAAN
29 Juni 2017 - Hillus kedua paru suram
- infiltrat sebagian milier ke kedua
lapangan paru
- perselubungan di laterobasal
hemithorax kanan yang menutupi
batas kanan jantung
- kesan :
Gambaran TB paru milier
disertai efusi pleura kanan
Suspek efusi pleura kiri

PEMERIKSAAN ULTRASONOGRAFI THORAX


TANGGAL PEMERIKSAAN HASIL PEMERIKSAAN
4 Juli 2017 Pasien di posisikan duduk
membungkuk :
Tampak fluid collection di
intravakum pleura kanan
berseptasi disertai internal echo
tidak dapat dilakukan marker
Kesan :
Efusi pleura kanan berseptasi
disertai debris
PEMERIKSAAN SPUTUM (DAHAK)
Pemeriksaan BTA sputum sediaan langsung SPS:
S: -
P: Negatif (-)
S:-
5. DAFTAR MASALAH
TB Paru
Pneumonia
Efusi Pleura bersepta-septa
Hiponatremi
Syndrome Dyspepsia

6. DIAGNOSIS
DIAGNOSIS PRIMER
- TB Paru
- Pneumonia
- Efusi Pleura ec
DIAGNOSIS SEKUNDER
- Hiponatremi
7. MANAJEMEN TATA LAKSANA
Terapi suportif
o O2 nasal canul 4 liter/menit
o IVFD RL 500 cc / 12 jam
Terapi medikamentosa
o Rifampisin tab 1x 450 mg/hari PO
o Isoniaid tab 1x 300 mg/hari PO
o Pirazinamid tab 2x 500 mg/hari PO
o Ethambutol tab 2x 500 mg/hari PO
o Streptomisin vial inj. 1x 750 mg/hari IM
o N-acetyl cystein caps 3x 200 mg/hari PO
o Salbutamol 2 mg 3 x tab PO
8. PROGNOSIS
o Ad vitam : dubia ad bonam
o Ad functionam : dubia ad bonam
o Ad sanationam : dubia ad bonam
9. ANJURAN
o Cek AGD ulang setelah pemberian terapi
o Cek fungsi hati (SGPT, SGOT, albumin, bilirubin direk dan indirek)
o Cek Gene Xpert dan kultur resistensi sputum
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

1. Tuberkulosis
A. Pendahuluan

Tuberkulosis merupakan infeksi yang dsebabkan oleh oleh infeksi


Mycobacterium tuberculosis pada paru. Infeksi kuman tb ini menyebar melalui
inhalasi droplet nuclei. Sering dikaitkan dnegan keadaan lingkungan tempat
tinggal penderita bertempat pada daerrah yang padat dan kumuh serta kurangnya
cahaya matahari yang masuk pada rumah penderita tb.

Pada tahun 1882 Robert Koch menemukan kuman penyebab tuberkulosis,


yaitu kuman yang berbentuk batang. Kemudian kuman tsb diidentifikasi dan
ditemukan bahwa kuman TB bisa dipindahkan kepada binatang yang rentan. Dari
percobaan itu, ditemukan konsep imunitas dan dikembangan vaksin BCG yang
dibuat dari salah satu strain Mycobacteium bovis yang dtemukan oleh Albert
Calmette dan Camille Guerin di Institut Pasteur Perancis dan diberikan pertama
kali ke manusia pada tahun 1921. Sebagai penghargaan telah menemukan kuman
penyebab tuberkulosis, Robert Koch ini kemudian mendapatan gelar sebagai
Bapak Tuberkulosis. Diagnosis tuberkulosis dimudahkan dengan penemuan sinar
X-ray oleh Rontgen.

Sejarah eradikasi kuman TB dengan penggunaan obat dimulai pada tahun


1944 ketika seorang perempuan perempuan berusia 21 tahun dengan penyakit TB
paru lanjut menerima injeksi Streptomisin untuk pertama kali yang sebelumnya
diisolasi oleh Selman Waksman. Kemudian diikuti penemuan berturut-turut yaitu
Asam Para Amino Salisilik (PAS), Isoniazid tahun 1952, Pirazinamid tahun 1954,
Etambutol tahun 1952, dan yang terakhir Rifampisin pada tahun 1963.
B. Epidemiologi
Semenjak tuberkulosis dinyatakan oleh WHO sebagai global health
emergency pada Maret 1993 tuberkulosis menjadai salah satu masalah kesehatan
yang diperhatikan. Catatan WHO pada tahun 2016 bahwa Indonesia menjadi
posisi kedua sebagai negara dengan jumlah penderita tuberkulosis terbanyak
kedua di dunia setelah India. Laporan pada tahun 2004 menyatakan bahwa
terdapat 8,8 juta kasus baru yang dian taranya 3,9 juta adalah kasus BTA positif.
Pada survei keasehatan rumah tangga tahun 2001 didapatkan bahwa
tuberkulosis adalah penyebab kematian pertama dari golongan penyalit infeksi.
C. Patogenesis
Tuberkuosis menuar melalui droplet nuclei yang dikeluarkan oleh pasien
TB melalui batuk, bersisn ataupun saat bicara. Partikel ini dapat bertahan di
udara bebas selama 1-2 jam, tergantung ada tidaknya sinar matahari/ sinar
ultraviolet, ventilasi yang kurang baik dan kelembaban. Dalam suasana lembab
dan gelap, kuman TB dapat bertahan berhari-hari sampai berbulan-bulan. Setelah
partikel kuman terinhalasi dalam tubuh kemudian masuk ke alveoli. Bila kuman
dapat bertahan di jaringan paru, kuman akan berkembang biak di dalam
sitoplasma makrofag. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan membentuk
sarang tuberkulosis yang disebut dengan sarang (fokus) Ghon.
Dari fokus Ghon kemudian akan menjadi peradangan saluran kelenjar
getah bening lokal (limfangitis lokal), dan kemudian diikuti limfadenitis
regional. Dari fokus Ghon, limfangitis lokal dan limfadenitis regional ini
membentuk kompleks primer (Ranke). Proses ini berlansung selama 3-8 minggu.
Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi 3 hal, yaitu sembuh total,
sembuh dengan meninggalkan bekas (misalnya fibrosis paru, kalsifikasi di hilus),
atau bisa menjadi komplikasi setelah menyebar baik secara hematogen maupun
limfogen.
Gambar 1 Patofisiologi TB
D. Manifestasi Klinis
Gejala klinis tuberkulosis dibagi menjadi gejala lokal dan gejala sitemik.
Jika tuberkuloasis menyerng paru, maka yang muncul adalah gejala respiratorik
yang meliputi:
a. Batuk/batuk darah
Batuk merupakan mekanisme perahanan tubuh dalam membuang
produk hasil mucus yang ada di bronkus. Batuk yang terjadi mulai dari batuk
yang tidak mengandung sekret hingga mengandung secret kental berwarna
hijau, bahkan dapat berupa batuk darah jika terjadi pecah pembuluh darah.
b. Sesak napas
Sesak napas terjadi jika infiltrasi sudah mencapai setengah dari bagian
paru.
c. Nyeri dada
Manifestasi nyeri dada ini muncul jika bakteri tuberklosis terlah
menginfeksi selaput pleura, sehingga terad pleuritis.
Gejala sistemik meliputi:
a. Demam
Demam biasanya subfebris. Serangan demam pertama biasanya dapat
sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat muncul kembali. Keadaan ini
biasanya dipengaruhi oleh daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya
infeksi kuman tuberkulosis yang masuk.
b. Malaise
Gejala yang sering muncul adalah anoreksia/tidak nafsu makan, berat badan
menurun, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam hari.

Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,


misalnya pada limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak
nyeri dari kelenjar getah bening. Pada meningitis tuberkulosis akan terlihat
gejala meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosis terdapat gejala sesak
napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan.
E. Klasifikasi

TB diklasifikasikan berdasarkan empat hal, yaitu:

1. Berdasarkan lokasi nya


TB Paru, yaitu TB yang terjadi pada parenkim paru, termasuk di
dalamnya adalah TB milier
TB Ekstra paru, yaitu TB yang terjadi pada organ selain paru,
diantaranya kelenjar limfe, pleura, abdomen, saluran kemih, selaput
otak, kulit, sendi, dan tulang.
2. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya
TB kasus baru, yaitu pasien yang belum pernah menjalani terapi OAT
sebelumnya atau sudah pernah tetapi kurang dari satu bulan
Pasien yang sudah pernah menjalani pengobatan TB sebelumnya lebih
dari satu bulan, terbagi menjadi:
- Kasus kambuh, yaitu pasien yang sudah selesai pengobatan dan
dinyatakan sembuh dan saati ini di diagnosis TB berdasarkan klinis
dan pemeriksaan mikrobiologis

- Kasus putus berobat (Lost-to-follow up), yaitu pasien yang tidak


memulai pengobatan atau pengobatan putus selama dua bulan atau
lebih.

- Kasus gagal berobat, yaitu pasien yang sudah menjalani pengobatan


tetapi gagal (tb nas 2014)

3. Berdasarkan hasil uji kepekaan obat


Mono resistan (TB MR), yaitu pasien yang resistan terhadap salah
satu jenis OAT lini pertama saja
Poli resistan (TB PR), resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT
lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara
bersamaan
Multi drug resistan (TB MDR), resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan
Extensive drug resistan (TB XDR), TB MDR disertai resistan
terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal
salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin,
Kapreomisin dan Amikasin)
Resistan Rifampisin (TB RR), resistan terhadap Rifampisin dengan
atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi
menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip
(konvensional).
4. Berdasarkan status HIV
Pasien TB dengan HIV positif, dinyatakan dengan hasil tes HIV
sebelumnya atau saat didiagnosis TB positif
Pasien TB dengan HIV negatif, dinyatakan dengan hasil tes HIV
sebelumnya atau saat didiagnosis TB negatif
Pasien TB yang tidak diketahui status HIV
F. Diagnosis
Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan mikrobiologi, radiologi, dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Gejala utama pada penyakit TB adalah batuk berdahak selama dua


minggu atau lebih, batuk berdarah, sesak napas, badan lemas, penurunan BB dan
nafsu makan, malaise, berkeringat malam hari tanpa aktivitas fisik, serta demam
naik turun lebih dari satu bulan. Pasien dewasa dengan gejala-gejala tersebut patut
dicurigai TB dan harus dilakukan pemeriksaan bakteriologis untuk dapat
menegakkan diagnosis.

Pada pemeriksaan fisik tuberkulosis paru, kelainan yang didapat


tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan
penyakit umunya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru
pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan
segmen posterior, serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki
basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum.7

Pemeriksaan bakteriologis untuk menemukan kuman tuberkuloasis


mempunyai arti sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk
pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar, urin,
feses, dan jaringan biopsi. Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari
berturut-turut atau dengan cara sewaktu/spot (dahak sewaktu kunjungan), dahak
pagi (keesokan harinya), dan sewaktu/spot (pada saat mengantarkan dahak pagi)

Pasien dinyatakan TB jika salah satu hasil pemeriksaan dahak BTA


positif. Pada pasien yang semua hasil pemeriksaan dahaknya negatif, dilakukan
pemeriksaan klinis dan penunjang, penegakan diagnosis TB dilakukan
berdasarkan hasil pemeriksaan radiologis yang menunjukkan gambaran TB, yaitu:

- Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus


atas paru dan segmen superior lobus bawah
- Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular
- Bayangan bercak milier
- Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
Gambar 2 Diagnosis tuberkulosis paru
G. Penatalaksanaan
Pengobatan pasien TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien,
memperbaiki kualitas hidup pasien, mencegah kekambuhan dan kematian, serta
mencegah penularan TB. Pengobatan TB dilakukan dengan pemberian Obat
Anti Tuberkulosis (OAT) yang minimal mengandung empat macam obat untuk
mencegah terjadinya resistensi terhadap kuman TB. Pengobatan harus diberikan
dengan dosis yang tepat, dalam jangka waktu yang cukup, serta dilakukan
pengawasan oleh Pengawas Menelan Obat (PMO) sampai selesai pengobatan.

Pengobatan TB terbagi menjadi 2 tahap. Pada pengobatan tahap


pertama bertujuan untuk menurunkan jumlah kuman yang ada di dalam tubuh
secara efektif dan dilakukan setiap hari dalam jangka waktu dua bulan; dan tahap
kedua yang bertujuan untuk membunuh sisa kuman yang ada di dalam tubuh yang
berlangsung selama 4 atau 7 bulan. Paduan OAT yang digunakan terdiri dari
paduan obat utama dan tambahan

OAT lini pertama terdiri dari isoniazid (H), rifampisin (R),


pirazinamid (Z), etambutol (E), dan streptomisin (S). Sedangkan lini kedua
terdiri dari kanamicin (Km), sapreomycin (Cm), levofloxacin (Lfx),
moxifloxacin (Mfx), ethionamide (Eto), sikloserin (Cs), dan para amino
salicylic (PAS). Sementara itu, obat kombinasi dosis tetap terdiri dari empat
obat tuberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75
mg, pirazinamid 400 mg, dan etambutol 275 mg serta tiga obat
antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg,
dan pirazinamid 400mg.
Gambar 3 OAT lini pertama

Gambar 4 Dosis OAT lini pertama untuk dewasa

OAT yang digunakan di Indonesia berdasarkan Pedoman Nasional


Pengendalian Tuberkulosis adalah sebagai berikut:
Kategori 1 : 2HRZE/4(HR)3
Kategori 1 diberikan pada pasien TB baru yang terdiagnosis secara
bakteriologis ataupun klinis dan pasien TB ekstraparu.
Kategori 2 : 2HRZES/HRZE/5(HR)3E3
Kategori dua diberikan untuk pasien TB yang BTA + dan sudah pernah
menjalani pengobatan TB sebelumnya. Termasuk dalam kategori ini adalah
pasien yang sudah pernah menyelesaikan pengobatan OAT kemudian
kambuh, pasien yang sudah pernah menyelesaikan pengobatan OAT
namun gagal, dan pasien yang putus berobat.
Kategori anak : 2HRZ/4HR

Gambar 5 Dosis OAT KDT kategori 1

Gambar 6 Dosis OAT KDT kategori 2

Paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari isoniazid, rifampisin,
pirazinamid dan etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paket kombipak ini
dapat diberikan pada pasien yang terbukti mengalami efek samping pada pengobatan
dengan OAT KDT sebelumnya.
Gambar 7 Dosis OAT kombipak kategori 1

Gambar 8 Dosis OAT kombipak kategori 2

H. Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pengobatan pada pasien TB dewasa dilakukan dengan pemeriksaan
ulang dahak secara mikroskopis sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil
pemeriksaan dinyatakan negatif jika kedua pemeriksaan dahak negatif.
Pengobatan TB tetap dilanjutkan ke fase lanjutan meskipun hasil pemeriksaan
dahak ulang menunjukkan hasil negatif. Pemeriksaan dahak ulang berikutnya
dilakukan pada bulan kelima dan pada akhir pengobatan.
Pada pasien kategori 1, jika hasil pemeriksaan ulang dahak di bulan keduanya
menunjukkan hasil positif, maka dilakukan pemberian dosis lanjutan selama satu
bulan, kemudian diperiksa kembali. Jika hasil pemeriksaan positif, maka perlu
dilakukan uji kepekaan obat. Sedangkan pasien kategori 2 yang hasil pemeriksaan
ulang dahak di bulan keduanya menunjukkan hasil positif, maka dinyatakan
sebagai terduga pasien TB-MDR dan perlu pemeriksaan kepekaan obat.
Pasien TB dinyatakan sembuh jika hasil pemeriksaan mikroskopis di akhir
pengobatan dan salah satu pemeriksaan sebelumnya negatif.

Gambar 9 evaluasi pengobatan TB

2. EFUSI PLEURA
A. Definisi

Pleura adalah membran tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura viseralis dan pleura
parietalis. Kedua lapisan ini bersatu di hilus arteri dan mengadakan penetrasi dengan cabang
utama bronkus, arteri dan vena bronkialis.

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terjadi akumulasi cairan dari dalam kavum
pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis, dapat berupa cairan transudat atau cairan
eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura hanya mengandung cairan sebanyak 10-20 ml,
cairan pleura komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada cairan pleura
mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu < 1,5 gr/dl.
B. Etiologi

Pleura adalah membran tipis terdiri dari 2 lapisan yaitu pleura viseralis dan pleura
parietalis. Kedua lapisan ini bersatu di hilus arteri dan mengadakan penetrasi dengan cabang
utama bronkus, arteri dan vena bronkialis.

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terjadi akumulasi cairan dari dalam kavum
pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis, dapat berupa cairan transudat atau cairan
eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura hanya mengandung cairan sebanyak 10-20 ml,
cairan pleura komposisinya sama dengan cairan plasma, kecuali pada cairan pleura
mempunyai kadar protein lebih rendah yaitu < 1,5 gr/dl.

C. Klasifikasi

Secara umum efusi pleura di bagi menjadi dua jenis yaitu efusi pleura jenis
eksudat dan efusi pleura jenis transudat.

1. Efusi Pleura Transudat


Efusi pleura transudat terbentuk apabila ada faktor sistemik yang
mempengaruhi pembentukan dan penyerapan pleura mengalami perubahan,
pada efusi transudat sering terjadi bilateral. dan sering di jumpai pada
kelainan ekstrapulmonal seperti pada pasien yang mengalami gangguan
kardiovaskular, hipoalbuminemia, meigs syndrome, hipoalbuminemia.
a. Gangguan kardiovaskular
Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan
penyebab lainnya adalah perikarditis konstriktiva, dan sindroma vena kava
superior. Patogenesisnya adalah akibat terjadinya peningkatan tekanan
vena sistemik dan tekanan kapiler dinding dada sehingga terjadi
peningkatan filtrasi pada pleura parietalis. Di samping itu peningkatan
tekanan kapiler pulmonal akan menurunkan kapasitas reabsorpsi
pembuluh darah subpleura dan aliran getah bening juga akan menurun
(terhalang) sehingga filtrasi cairan ke rongg pleura dan paru-paru.
Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh rongga dada
dapat juga menyebabkan efusi pleura yang bilateral. Tapi yang agak sulit
menerangkan adalah kenapa efusi pleuranya lebih sering terjadi pada sisi
kanan. Terapi ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan jantungnya
teratasi dengan istirahat, digitalis, diuretik dll, efusi pleura juga segera
menghilang. Kadang-kadang torakosentesis diperlukan juga bila penderita
amat sesak.
b. Hipoalbuminemia
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan
pleura dibandingkan dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi
kebanyakan bilateral dan cairan bersifat transudat. Pengobatan adalah
dengan memberikan diuretik dan restriksi pemberian garam. Tapi
pengobatan yang terbaik adalah dengan memberikan infus albumin.
c. Meigs Syndrom
Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada
penderitapenderita dengan tumor ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang
dapat menimbulkan sindrom serupa : tumor ovarium kistik,
fibromyomatoma dari uterus, tumor ovarium ganas yang berderajat rendah
tanpa adanya metastasis. Asites timbul karena sekresi cairan yang banyak
oleh tumornya dimana efusi pleuranya terjadi karena cairan asites yang
masuk ke pleura melalui porus di diafragma. Klinisnya merupakan
penyakit kronis.
d. Sirosis Hati
Efusi pleura timbul bersamaan dengan asites. Cairan asites dan
cairan pleura memiliki kesamaan, karena terdapat hubungan fungsional
antara rongga pleura dan rongga abdomen melalui saluran getah bening
atau celah jaringan otot diafragma. Efusi pleura kanan terjadi hampir 70%
dan bisa juga bilateral
2. Efusi Pleura Eksudat
Efusi pleura jenis eksudat terjadi karena penyakit dari pleura itu
sendiri, dapat juga terbentuk akibat dari proses inflamasi paru. berkaitan
dengan bertambahnya permeabilitas lapisan pleura. Penyebab terbentuknya
cairan eksudat diantaranya parapneumonia, keganasan, tuberkulosis.
a. Efusi parapneumoni
Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia
bakteri, abses paru atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah
dijumpai predominan sel-sel PMN dan pada beberapa penderita cairannya
berwarna purulen (empiema). Meskipun pada beberapa kasus efusi
parapneumonik ini dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun drainage
kadang diperlukan pada empiema dan efusi pleura yang terlokalisir.
Menurut Light, terdapat 4 indikasi untuk dilakukannya tube thoracostomy
pada pasien dengan efusi para pneumonik:
Adanya pus di dalam kavum pleura
Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura
Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl
Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah
daripada nilai pH bakteri.
Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi
parapneumonik yang mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam waktu
beberapa jam saja
b. Efusi pleura karena neoplasma
misalnya pada tumor primer pada pleura,paru-paru, neoplasma
metastatik. Efusi pleura yang terjadi akibat neoplasma biasanya
unilateraltetapi bisa juga bilateral. Keluhan paling banyak adalah sesak,
akumulasi cairan yang terbentuk akan kembali dengan cepat walaupun
telah dilakukan torakosintesis, warna efusi bisa sero-santokrom ataupun
hemoragik (terdapat lebih dari 100.000 sel eritrosit per cc), didalam cairan
ditemukan sel-sel limfosit yang dominan, dan banyak sel mesotelial.
Patofisiologi terjadinya efusi ini diduga karena :
Penumpukan sel tumor akan meningkatkan permeabilitas pleura
terhadap air dan protein.
Adanya massa tumor mengakibatkan tersumbatnya aliran pembuluh
darah vena dan getah bening, sehingga rongga pleura gagal dalam
memindahkan cairan dan protein.
Adanya tumor membuat infeksi lebih mudah terjadi reaksi inflamasi
dan terjadi kebocoran kapiler.

c. Pleuritis tuberkulosa
Penyakit pleuritis tuberkulosa kebanyakan terjadi sebagai
komplikasi tuberkulosis paru melalui fokus subpleural yang robek atau
melalui aliran getah bening, sebab lain dapat juga secara hematogen dan
menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya cairan efusi disebabkan
oleh rupturnya focus subpleural dari jaringan nekrosis perkijuan, sehingga
tuberkuloprotein yang ada didalamnya masuk ke rongga pleura,
menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Cairan efusi biasanya
serous, terkadang bisa juga haemoragik, jumlah laukosit antara 500-2000
per cc. Mula-mula yang dominan adalah sel polimorfonuklear, kemudian
sel limfosit. Pada cairan efusi sedikit mengan dung tuman TB dan pada
dinding pleura dapat ditemukan granuloma.
Diagnosa utama adanya kumat TB dalam cairan efusi (biakan) atau
dengan biopsi jaringan pluera. Pengobatan seperti pengobatan pada
tuberkulosis paru, pengobatan tersebut dapat membuat cairan terserap
kembali tapi untuk menghilangkan dengan cepat dapat dilakukan
torakosintesis, bisa disertai pemberian kortikosteroid secara sistemik.
(prednison 1 mg/kg BB selama 2 minggu kemudian dosis diturunkan
secara perlahan).
d. Pleuritis karena virus dan mikoplasma
Pleuritis karena virus dan mikoplasma agak jarang, bila terjadi
jumlahnya sedikit jenis-jinus virusnya adalah echo-virus, virus coxsackie,
Rickettsia, Chlamydia dan mikoplasma. Cairan efusi biasanya eksudat dan
berisi leukosit antara 100-6000/cc. Gejala penyakit dapat dengan keluhan
sakit kepala, demam, malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala
perikarditis. Diagnosa dapat dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi
terhadap virus dalam cairan efusi.5
e. Pleuritis karena bakteri piogenik
permukaan pleura dapat ditempeli oleh bakteri yang berasal dari
jaringan parenkim paru dan menjalar secara hematogen. Bakteri penyebab
dapat merupakan bakteri aerob (Streptococcus paeumonie, Streptococcus
mileri, Staphylococcus aureus, Pseudomonas sp, Hemophillus, E. Coli)
dan bakteri anaerob (Bakteriodes spp, peptostreptokokus, fusobakterium).
Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antibotika ampicillin dan
metronidazol serta mengalirkan cairan infus yang terinfeksi keluar dari
rongga pleura.
f. Pleuritis karena fungi
Biasanya terjadi karena penjalaran infeksi fungi dari jaringan paru,
jenis fungi penyebabnya: Aktinomikosis, koksidioimikosis, Aspergillus,
kriptokokus, histoplasmo-lisis, blastomikosis, dll. Efusi timbul karena
reaksi hipersensitivitas lambat terhadap organisme fungi.
g. Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid,
Skleroderma.

D. Manifestasi Klinis
1. Gejala Utama.
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika
mekanika paru terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah sesak,
berupa rasa penuh dalam dada atau dispneu. Nyeri bisa timbul akibat efusi
yang banyak, berupa nyeri dada pleuritik atau nyeri tumpul. Adanya gejala-
gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada pleuritis
(pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak keringat,
batuk, banyak riak. Deviasi trakea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi
jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan.

a. Pemeriksaan Fisik.
Inspeksi: pada pasien efusi pleura bentuk hemithorax yang sakit
mencembung,
iga mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan pernafasan menurun.
Pendorongan mediastinum ke arah hemithorax kontra lateral yang
diketahui dari
posisi trakhea dan ictus kordis. RR cenderung meningkat dan
Pernapasannya
biasanya dyspneu.
Palpasi: Fremitus tokal menurun terutama untuk efusi pleura yang jumlah
cairannya > 250 cc
Perkusi: Suara perkusi redup sampai peka tegantung jumlah cairannya.
Bila
cairannya tidak mengisi penuh rongga pleura, maka akan terdapat batas
atas
cairan berupa garis lengkung dengan ujung lateral atas ke medical
penderita dalam posisi duduk. Garis ini disebut garis Ellis-Damoisseaux.
Garis ini paling jelas di bagian depan dada, kurang jelas di punggung.
Auskultasi: Suara nafas menurun sampai menghilang. Jika terjadi
inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila terjadi atelektasis
kompresif (kolaps paru parsial) dapat menyebabkan bunyi napas bronkus.
Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan,
karena cairan akan berpindah tempat. pada auskultasi daerah ini didapati
vesikuler melemah dengan ronki.
E. Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan


fisik yang teliti, diagnosis pasti ditegakkan biopsi dan analisa cairan pleura
Manifestasi Klinis

Batuk
Nyeri dada
Sesak napas

Pemeriksaan Fisik

Inspeksi : Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih cembung


Palpasi : Penurunan vocal fremitus
Perkusi : Pekak pada perkusi,
Auskultasi : Penurunan bunyi vesikuler

Pemeriksaan Penunjang

Foto thoraks

Pada foto dada posterior anterior (PA) permukaan cairan yang


terdapat dalam rongga pleura akan membentuk bayangan seperti kurva,
dengan permukaan daerah lateral lebih tinggi dari pada bagian medial, tampak
sudut kostrofrenikus menumpul. Pada pemeriksaan foto dada posisi lateral
dekubitus, cairan bebas akan mengikuti posisi gravitasi. Cairan dalam pleura
juga bisa tidak membentuk kurva, karena terperangkap atau terlokalisasi.
Keadaan ini sering terdapat pada daerah bawah paru-paru yang berbatasan
dengan permukaan atas diafragma. Cairan ini juga dinamakan juga sebagai
efusi subpulmonik.

Cairan yang kurang dari 300 cc, pada fluoroskopi maupun foto toraks PA
tidak tampak. Mungkin kelainan yang tampak hanya berupa penumpulan
sinus kostofrenikus.
Gambar 10 Foto thoraks yang menunjukkan adanya efusi pleura pada
sisi kanan (McGrath dan Anderson 2011).

F. Tatalaksana
1. Thorakosentesis

Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana diagnostik maupun terapeutik.


Pelaksanaannya sebaiknya dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian bawah
paru sela iga garis aksilaris posterior dengan jarum abbocath nomor 14 atau 16.
Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi.
Untuk diagnosis cairan pleura dilakukan pemeriksaan:

Gambar 11 Thorakosentesis
a. Warna cairan.
Cairan pleura bewarna agak kekuning-kuningan (serous-santrokom).
b. Biokimia.
Terbagi atas efusi pleura transudat dan eksudat. Perbedaannya dapat dilihat
pada tabel dibawah:

2. Drainase cairan jika efusi pleura menimbulkan gejala subjektif seperti nyeri,
dispneu. Cairan sebanyak 1-1,5 liter perlu dikeluarkan segera untuk mencegah
meningkatnya edema paru.
3. Pleurodesis
Pemberian obat (tetrasiklin, kalk, bieomisin) melalui selang interkostalis
untuk melekatkan lapisan pleura dan mencegah akumulasi cairan.
4. Tirah baring
Tirah baring bertujuan menurunkan kebutuhan oksigen karena peningkatan
aktivitas akan meningkatkan kebutuhan oksigen sehingga dispneu.
5. WSD (Water Seal Drainage)

Water Seal Drainage (WSD) adalah Suatu sistem drainage yang menggunakan water
seal untuk mengalirkan udara atau cairan dari cavum pleura ( rongga pleura).
Tujuannya adalah:

a. Mengalirkan / drainage udara atau cairan dari rongga pleura untuk mempertahankan
tekanan negatif rongga tersebut
b. Dalam keadaan normal rongga pleura memiliki tekanan negatif dan hanya terisi
sedikit cairan pleura / lubrican.
Indikasi pemasangan WSD:
a. Hemotoraks, efusi pleura
b. Pneumotoraks ( > 25 % )
c. Profilaksis pada pasien trauma dada yang akan dirujuk
d. Flail chest yang membutuhkan pemasangan ventilator

Kontraindikasi pemasangan WSD

a. Infeksi pada tempat pemasangan


b. Gangguan pembekuan darah yang tidak terkontrol.

Cara pemasangan WSD

Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks dihubungkan
dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara lambat dan aman. Pemasangan
WSD dilakukan sebagai berikut:
a. Tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya di sela iga 7, 8, 9 linea aksilaris
media atau ruang sela iga 2 atau 3 linea medioklavikuralis.
b. Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal selebar kurang
lebih 2 cm sampai subkutis.
c. Dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang.
d. Jaringan subkutis dibebaskan secara tumpul dengan klem sampai mendapatkan pleura
parietalis.
e. Selang dan trokar dimasukkan ke dalam rongga pleura dan kemudian trokar ditarik.
Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi selang toraks.
f. Setelah posisi benar, selang dijepit dan luka kulit dijahit serta dibebat dengan kasa
dan plester.
Selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang
dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang diletakkan
dibawah permukaan air sedalam sekitar 2 cm, agar udara dari luar tidak dapat masuk
ke dalam rongga pleura)
BAB IV

PEMBAHASAN

Diagnosis efusi TB paru BTA (+)dengan Efusi pleura ditegakkan dari

A. Anamnesis
Anamnesis didapatkan bahawa pasien dtang dnegan keluhansesak napas sejak
5 hari yang lalu, dengan riwayat batuk berdahak sejak 1 bulan yang lalu.
B. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan ronkhi (+) pada kedua lapang paru.
C. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan BTA daha SPS, ditemukan positif (+1) pada pagi. Pada
pemeriksaan foto toraks ditemukan infiltat di kedua lapang paru.
Pada pemeriksaan laboratorium darah, terdapat hipoalbumin yang dapat
menyebabkan efusi pleura transudatif.
D. Tata Laksana
Keluhan utama sesak napas diberikan terapi suportif oksigen nasal canul
4L/menit. Untuk terapi tuberkulosis nya diberikan pengobatan kategori dua
yaitu dengan yaitu 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. Pasien baru akan memulai
fase intensif pengobatan TB, sehingga sekarang baru diberikan regimen
2(HRZE)S. Selain itu karena pasien juga mengeluh batuk berdahak warna
kekuningan , maka diresepkan obat mukolitik dan ekspektoran, yaitu N-
Acetyl systein.
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan


Penatalaksanaan di Indonesia. 2002
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis. KEMENKES RI. 2014.
3. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2016. 2016.
4. Jason, Robert J. et all. Murray and Nadels Textbook of Respiratory Medicine
4th ed. Elsevier. 2005
5. Kementrian Kesehatan RI. 2011. Strategi Nasional Pengendalian Tuberkulosis

Anda mungkin juga menyukai